Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN : 2548-1398

Vol. 5, No. 2 Februari 2020

�

AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN

 

Sri Wahyuningsih �dan Arbi Mei Gitarama

Program Studi Nautika, Akademi Maritim Cirebon (AMC)

Institut Teknologi dan Sains Nahdlatul Ulama Losarang

Email : syuni0389@gmail.com dan [email protected]

 

Abstract

Fish farming is a part of the main supplier of fish availability for the community aside from natural catches. The rapid growth of fish farming activities in various countries enables the community to meet the needs of animal protein from fish meat. As the activity progresses, fish farming can also produce by-products in the form of ammonia which can interfere with the fish farming system. That is because ammonia is toxic to fish in the waters. Especially ammonia in the form of NH3, these ions are uncharged and fat-soluble so they are more easily absorbed in the body of the fish and disrupt metabolism. Ammonia levels can be toxic to commercially cultivated fish at concentrations above 1.5 mg/l, even in extreme conditions an acceptable concentration of only 0.025 mg/l. This paper reviews the dynamics profile of ammonia in water on fish culture systems based on existing studies. The need for water quality management on a fish culture system that can minimize ammonia levels in water so that it is not toxic to fish and can increase the amount of fish production on a fish culture cycle.

 

Keywoard: Ammonia, Aquaculture System, Toxicity

 

Abstrak

Budidaya ikan merupakan bagian dari penyuplai utama ketersediaan ikan bagi masyarakat selain dari hasil tangkapan alam. Pertumbuhan kegiatan budidaya ikan yang sangat cepat di berbagai negara memungkinkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan protein hewani dari daging ikan. Seiring berjalannya kegiatan, budidaya ikan juga dapat menghasilkan produk sampingan berupa amonia yang dapat mengganggu sistem budidaya ikan. Hal ini dikarenakan amonia bersifat toksik bagi ikan di perairan. Terutama amonia dalam bentuk NH3, ion ini tidak bermuatan dan larut dalam lemak sehingga lebih mudah terserap dalam tubuh ikan dan menggganggu metabolisme. Kadar amonia dapat beracun bagi ikan yang dibudidayakan secara komersil pada konsentrasi diatas 1.5 mg/l, bahkan dalam kondisi ekstrim konsentrasi yang dapat diterima hanya 0.025 mg/l. Paper ini mereview profil dinamika amonia dalam air pada sistem budidaya ikan berdasarkan studi-studi yang telah ada. Perlunya manajemen kualitas air dalam sistem budidaya ikan yang dapat meminimalisir kadar amonia dalam air sehingga tidak bersifat toksik bagi ikan dan dapat meningkatkan jumlah produksi ikan dalam suatu siklus budidaya ikan.

 

Kata� kunci:� Amonia, Sistem Budidaya, Toksisitas

Pendahuluan

Budidaya ikan menjadi sektor produksi pangan utama yang tumbuh lebih cepat dengan menyumbang 44% dari total produksi ikan secara global. Meskipun tingkat pertumbuhan tahunan tidak lagi setinggi seperti di tahun 1980 dan 1990 an, namun pertumbuhan dua digit masih terjadi di beberapa negara, khususnya Afrika dari tahun 2006 hingga 2010 (FAO, 2018). Sayangnya pengembangan budidaya baik secara semi intensif maupun intensif akan diikuti dengan peningkatan dampak lingkungan (Mayunar, 1990) Dalam prosesnya kegiatan ini menghasilkan banyak bahan organik dan nutrien yang membutuhkan perawatan dan pembuangan. Setidaknya untuk produksi 1 ton (1000 kg) dari budidaya ikan lele dihasilkan 1.190 kg bahan kering, 60 kg nitrogen dan 12 kg fosfor sebagai limbah metabolisme (Ghaly, Kamal, & Mahmoud, 2005).

Sumber nitrogen pada sistem budidaya terutama berasal dari pakan dan hasil metabolisme ikan (Hargreaves & Tucker, 2004). Efisiensi asimilasi nitrogen oleh ikan berdampak penting bagi kualitas air dan keuntungan budidaya. Hasil dari berbagai sistem budidaya menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 25% (kisaran 11 sampai 36%) N ditambahkan pada pakan (Hargreaves, 1998). Selain itu ikan memanfaatkan protein pada pakan untuk menghasilkan energi. Berbeda dengan hewan darat yang sebagian besar menggunakan karbohidrat dan lipid untuk menghasilkan energi, sehingga kebutuhan protein pada ikan mencapai dua hingga tiga kali lipat dibandingkan hewan lainnya (Crab, Avnimelech, Defoirdt, & et al., 2007). Namun dari sejumlah pakan yang masuk, ikan hanya mampu menyerap 20-30% nutrisi, sementara sisanya diekskresikan dalam bentuk amonia dan protein organik yang merupakan produk akhir metabolisme protein (Avnimelech, 2006). Selanjutnya dari 80% nitrogen yang diekskresikan, 90% terdapat sebagai amonia dan 10% dalam bentuk urea (Ebeling, Timmons, & Bisogni, 2006).

Amonia di perairan terdapat dalam bentuk amonia (NH3) dan amonium (NH4+) yang bersama-sama disebut sebagai total amonia nitrogen (TAN). Jumlah proporsional dari keduanya adalah fungsi dari pH dan suhu. Meskipun keduanya bersifat toksik, bentuk amonia lebih beracun dikarenakan ion ini tidak bermuatan dan larut dalam lemak, sehingga membran biologis lebih mudah dilintasi dibandingkan ion amonium yang memiliki muatan dan terhidrasi (K�rner, Das, Veenstra, & Vermaat, 2001). Selain itu pada siklus nitrogen bakteri kemoautotrof. cenderung untuk mengoksidasi amonium menjadi nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-). Ion-ion ini dihilangkan oleh tanaman air, alga dan bakteri yang mengasimilasinya sebagai sumber nitrogen (Camargo, Alonso, & Salamanca, 2005).

Pada sistem budidaya dari semua parameter kualitas air, amonia menjadi faktor pembatas kedua setelah oksigen (Francis-Floyd, Watson, Petty, & Pourder 1996). Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah dapat dikontrol dengan aerasi, namun konsentrasi amonia yang tinggi menjadi manajemen praktis yang bermasalah (Hargreaves & Kucuk, 2001). Pada konsentrasi tinggi, amonia bersifat toksik, menyebabkan penurunan pasokan oksigen dalam jumlah besar dan perubahan yang tidak diinginkan dalam ekosistem perairan (Jang, Barford, Lindawati, & Renneberg, 2004). Amonia beracun bagi ikan yang dibudidayakan secara komersil pada konsentrasi diatas 1.5 mg N/l, bahkan pada beberapa kasus konsentrasi yang dapat diterima hanya 0.025 mg N/l (Chen, Ling, & Blancheton, 2006). Ikan memiliki beberapa mekanisme untuk mentoleransi kelebihan amonia dan mengurangi toksisitas amonia termasuk ekskresi dan konversi (Cheng, Yang, Ling, & et al., 2015). Namun paparan amonia pada tingkat berlebihan menyebabkan ekskresi amonia terganggu, sehingga terjadi peningkatan penyerapan amonia dan bahkan kematian (Sinha, Liew, Diricx, & et al., 2012).

Amonia tidak hanya bersifat toksik tetapi juga merupakan produk metabolisme nitrogen yang paling banyak diproduksi. Selain dari hasil metabolisme pakan yang mengandung nitrogen dan sisa pakan yang tidak termakan, amonia juga berasal dari dekomposisi organisme mati. Hal ini menyebabkan amonia menjadi salah satu kendala utama dalam usaha budidaya (Sutomo, 1989). Pengelolaan untuk mengurangi dampak amonia pada sistem budidaya dan lingkungan sekitar sangat diperlukan. Pemilihan yang tepat sumber protein murah dan efisiensi konversi nutrisi pakan yang tinggi diperlukan, sehingga mengurangi buangan ke lingkungan (Crab et al., 2007). Dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan ulasan mengenai profil amonia pada sistem budidaya.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penulisan paper ini menggunakan pendekatan kepustakaan berdasarkan kajian literatur dan penelitian yang telah ada. Hal ini untuk menggambarkan keberadaan, profil, peran dan dinamika amonia di perairan dalam suatu sistem budidaya ikan.

 

Hasil dan Pembahasan

1.      Dinamika Amonia pada Sistem Budidaya

Amonia adalah produk ekskresi utama ikan yang dihasilkan dari katabolisme protein makanan, dan diekskresikan melalui insang sebagai amonia tidak terionisasi (Ebeling et al., 2006). Banyaknya amonia yang dikeluarkan secara langsung berkaitan dengan tingkat pemberian dan protein dalam pakan. Sejumlah nitrogen digunakan untuk membentuk protein (termasuk otot), beberapa digunakan untuk menghasilkan energi, dan sebagian lainnya diekskresikan melalui insang sebagai amonia. Hal ini menunjukkan bahwa protein dalam pakan adalah sumber utama amonia dalam kolam ikan. Sumber utama amonia lainnya di kolam budidaya adalah difusi dari sedimen. Bahan organik dari alga atau yang ditambahkan ke kolam sebagai pakan, diproduksi dalam jumlah besar. Selain itu padatan feses diekskresikan oleh ikan dan alga yang mati, mengendap di dasar kolam kemudian membusuk. Ketika mereka membusuk, maka dekomposisi bahan organik ini menghasilkan amonia, yang kemudian akan berdifusi dari sedimen ke kolom air (Hargreaves & Tucker, 2004).

Biasanya amonia diekskresikan melalui difusi pasif melintasi epitel insang dari darah ke air, sebagai respon terhadap tekanan parsial gas amonia yang dipertahankan dengan kombinasi amonia dengan proton yang terbentuk dari hidrasi CO2 yang diekskresikan dalam lapisan batas epitel. Jika tekanan parsial amonia pada lapisan batas epitel lebih besar daripada di dalam darah, maka ekskresi amonia akan terhambat dan amonia akan berdifusi dari air ke dalam darah (Hargreaves & Kucuk, 2001).

Amonia di perairan terdapat dalam bentuk amonia tidak terionisasi (NH3) dan amonia terionisasi (NH4+), jumlah dari keduanya disebut sebagai total amonia nitrogen (TAN); (Losordo, 1998; Ebeling et al., 2006) Keduanya berada dalam kesetimbangan dipengaruhi oleh pH dan suhu. Berikut persamaan yang menunjukkan hubungan antara kedua bentuk amonia dalam suatu sistem kesetimbangan :

NH3 + H2O������������������� NH4+ + OH

Pada pH lebih dari 7 kesetimbangan bergeser ke arah kiri menyebabkan bentuk amonia lebih dominan, sementara pada pH kurang dari 7 reaksi bergeser ke arah kanan menyebabkan amonium lebih dominan (Titiresmi & Sopiah, 2006).

Pada kolam ikan eutrofik, konsentrasi NH3 mengalami fluktuasi harian diakibatkan oleh fotosintesis (meningkatkan pH) dan respirasi (mengurangi pH). Selama pagi hari, pH minimum dan TAN berada dalam bentuk NH4+. Sementara pada sore hari, ketika pH maksimum (sekitar 9.0 atau 9.5), keseimbangan TAN bergeser ke arah peningkatan jumlah NH3. Oleh karena itu selama sore hari pada kolam eutrofik, ikan dapat mengalami toksisitas sementara karena peningkatan pH lingkungan meningkatkan komponen NH3. Gambar fluktuasi harian amonia ditunjukkan pada gambar 1 (Hargreaves & Kucuk, 2001). Konsentrasi amonia juga berfluktuasi dipengaruhi oleh suhu. Saat musim panas, suhu tinggi menyebabkan aktivitas bakteri dan proses nitrifikasi meningkat, sehingga konsentrasi amonia rendah. Sebaliknya saat musim hujan, suhu lingkungan menurun menyebabkan aktivitas bakteri dan proses nitrifikasi berjalan lambat, akibatnya jumlah amonia di lingkungan meningkat (Hargreaves & Tucker, 2004; Titiresmi dan Sopiah, 2006).

Gambar 1. Pengaruh Fluktuasi Harian pH Terhadap Konsentrasi Amonia Tidak Terionisasi (NH3) pada Kolam Ikan (Hargreaves & Tucker, 2004)

Kolam ikan seperti tambak misalnya, umumnya memiliki kedalaman yang dangkal. Sebagian dicirikan dengan sedikit bahan organik, dengan dekomposisi materi dalam kolom air yang relatif singkat. Fitoplankton yang mati, padatan feses ikan, dan pakan yang tidak termakan mengendap dari kolom air ke dasar. Pada kolam yang ditambahkan pupuk kandang atau produk sampingan pertanian, konsumsi pakan oleh ikan secara lansgung minimal, sehingga sebagian besar input mengendap di sedimen. Profil amonia dalam pori sedimen ditandai dengan kosentrasi rendah pada permukaan sedimen dan meningkat dengan bertambahnya kedalaman (Hargreaves, 1998).

Secara alami amonia di perairan mengalami pembebasan dan transformasi menjadi bentuk lain sebagai bagian dari siklus nitrogen. Proses utama dalam siklus nitrogen ditunjukkan pada Gambar 2. Setidaknya ada tiga proses utama konversi nitrogen untuk menghilangkan amonia dalam sistem budidaya. Pertama penghilangan dengan fotoautotrofik oleh alga, kedua konversi bakteri autotrofik dari amonia menjadi nitrat, dan ketiga konversi amonia secara langsung oleh bakteri heterotrofik menjadi biomassa bakteri (Ebeling et al., 2006).

Pembebasan amonia terjadi melalui proses biologis asimilasi dan imobilisasi oleh alga yang didominasi oleh Cyanobacteria. Alga atau tanaman menggunakan nitrogen sebagai nutrisi untuk pertumbuhan,dan menyusun nitrogen menjadi bentuk organik. Fotosintesis alga bertindak sebagai penyerap, dimana peningkatan pertumbuhan alga akan diiringi dengan peningkatan penyerapan amonia. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini seperti cahaya yang cukup, suhu hangat, pasokan nutrisi, dan kepadatan alga (Hargreaves & Tucker, 2004).

Gambar 2. Transformasi Nitrogen pada Sistem Budidaya (Rijn, 1996)

Transformasi amonia pada kolam budidaya terjadi melalui proses biologis yang disebut nitrifikasi. Proses ini terjadi dalam dua langkah, pertama amonia dikonversi menjadi nitrit (NO2-) oleh beberapa genus bakteri termasuk Nitrosomonas. Kedua nitrit dikonversi menjadi nitrat (NO3-) oleh kelompok bakteri seperti Nitrobacter. Pada kolam ikan, proses ini terjadi di lapisan permukaan sedimen, dan pada tanaman atau struktur lainnya (Francis-Floyd et al., 1996). Secara keseluruhan proses nitrifikasi digambarkan dalam reaksi sebagai berikut (Titiresmi & Sopiah, 2006):

NH4+ + 2O2������������� NO3- + 2H+ + H2O

Bakteri nitrifikasi membutuhkan pH sedikit basa yakni 7 hingga 8.5 untuk pertumbuhan optimalnya. Pada pH lebih dari 8.5, Nitrobacter mungkin lebih terhambat pertumbuhannya dibandingkan Nitrosomonas.� Peningkatan nitrifikasi pada pH basa menunjukkan bahwa NH3 dapat menjadi substrat untuk nitrifikasi (Hargreaves, 1998). Poin penting lainnya dalam proses nitrifikasi adalah Nitrosomonas dan Nitrobacter� membutuhkan cukup oksigen dan alkalinitas. Jika kadar oksigen tidak mencukupi, maka proses nitrifikasi dapat terhambat, sehingga kadar amonia dan nitrit meningkat. Alkalinitas (bikarbonat dan karbonat) juga dibutuhkan oleh bakteri nitrifikasi. Jika alkalnits kurang dari 20 mg/L, bakteri nitrifikasi tidak akan berfungsi (Francis-Floyd et al., 1996).

Akumulasi amonia dalam sedimen terjadi dalam kondisi anoksik, untuk kemudian dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri nitrifkasi pada kondisi terdapat oksigen setelah drainase kolam. Penghilangan amonia tercapai setelah pengisian ulang kolam, sehingga memperbaharui kondisi anoksik dan meningkatkan konsentrasi nitrat dalam sedimen kolam yang selanjutnya akan mengembangkan populasi denitrifikasi (Rijn, 1996).

Denitrifikasi merupakan proses anoksik yang dilakukan oleh mikroorganisme heterotrof menggunakan nitrit dan nitrat sebagai akseptor elektron terakhir (Randall & Tsui, 2002). Lebih jelasnya bakteri heterotrofik ini menggunakan produk degradasi organik sebagai sumber karbon dan energi, dan nitrat digunakan sebagai akseptor elektron, mendesimilasi nitrat dalam kondisi anoksik melalui nitrit, nitrat oksida, dan dinitrogen oksida menjadi gas nitrogen yang selanjutnya dilepaskan ke udara (Rijn, 1996).

 

2.      Toksisitas Amonia

Amonia merupakan senyawa toksik yang dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan ikan (Levit, 2010). Pada kolam ikan yang dikelola dengan baik, amonia jarang terakumulasi menjadi konsentrasi yang mematikan. Namun amonia dapat memiliki apa yang disebut sebagai efek sub lethal (Hargreaves & Tucker, 2004), dimana konsentrasi yang lebih rendah mungkin tidak membunuh atau berdampak buruk terhadap ikan dalam waktu singkat, tetapi konsentrasi yang sama dapat membunuh atau merusak kehidupan air dalam jangka waktu yang lebih lama (Levit, 2010). Efek sub lethal amonia seperti menghambat pertumbuhan, konversi pakan yang buruk, mengurangi resistensi terhadap penyakit (Hargreaves & Tucker, 2004), penurunan jumlah sel darah, mengurangi kadar oksigen dalam darah dan kerusakan struktural beberapa jenis organ (Sutomo, 1989).

Nitrogen amonia dalam bentuk tidak terionisasi (NH3) sangat toksik bagi ikan. Meskipun amonia tidak terionisasi merupakan bentuk yang lebih beracun, toksisitas paling umum dinyatakan sebagai total amonia (TAN), yakni jumlah NH3 dan NH4+ dalam air (Levit, 2010). Keberadaan keduanya dipengaruhi oleh pH dan suhu, dimana amonia tidak terionisasi mendominasi saat pH tinggi. Sementara ion amonium relatif tidak beracun dan mendominasi saat pH rendah. Efek pH dan suhu terhadap proporsi keduanya ditunjukkan pada Gambar 3 (Hargreaves & Tucker, 2004). Lebih lanjut Losordo (1998) menjelaskan bahwa pada pH 7.0 sebagian besar amonia berada dalam bentuk terionisasi, sementara pada pH 8.75, hingga 30% amonia berada dalam bentuk tidak terionisasi.

Gambar 3. Proporsi Amonia Tidak Terionisasi Meningkat Sebagai Fungsi dari pH dan Suhu (Hargreaves & Tucker, 2004)

Sebagian besar membran biologis permeabel terhadap amonia, tetapi relatif tidak permeabel terhadap ion amonium (Randal & Tsui, 2002). Dinding sel organisme relatif kedap terhadap ion amonium, tetapi amonia dapat dengan mudah berdifusi melintasi penghalang jaringan dimana terdapat gradien konsentrasi. Dalam kondisi normal ada keseimbangan asam basa antara jaringan dan air. Jika keseimbangan ini berubah, sisi dimana terdapat pH lebih rendah akan menarik molekul amonia. Ini menjelaskan bagaimana molekul amonia berpindah dari air melalui epitel insang ke dalam darah, dan juga bagaimana molekul amonia berpindah dari darah ke jaringan (Svobodova, Lloyd, Machova,& Vykusova, 1993).

Toksisitas akut amonia pada ikan terutama karena efeknya terhadap sistem syaraf pusat, yang menyebabkan kejang-kejang sampai kematian. Proses ini terjadi ketika kadar amonia di lingkungan meningkat, dan menyebabkan gangguan terhadap ekskresi amonia atau menyebabkan serapan amonia dari lingkungan, dengan hasil akhirnya amonia menjadi meningkat dalam tubuh dan menyebabkan kejang dan kematian. Rata-rata nilai toksisitas akut NH3 untuk spesies air tawar adalah 2.79 mg/l dibandingkan dengan 1.86 mg/l untuk 17 spesies air laut. Perbandingan ini menunjukkan bahwa secara umum spesies air laut sedikit lebih sensitif terhadap toksisitas amonia daripada spesies air tawar. Namun perbedaan antar spesies dalam lingkungan manapun, bagaimanapun jauh lebih besar daripada perbedaan terkait salinitas. Lebih jelas lagi toksisitas amonia pada lingkungan akuatik, terutama sistem budidaya bervariasi dengan pH air, namun efek suhu dan salinitas jauh lebih penting (Randal & Tsui, 2002).

Beberapa penelitian mengenai toksisitas amonia telah banyak dilakukan. Seperti yang dilaporkan Hastuti & Subandiyono (2011), dimana ikan lele pada budidaya konvensional menunjukkan tanda stres seiring dengan meningkatnya kadar amonia dalam sistem. Kondisi ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah sel leukosit ikan lele di akhir percobaan yaitu 107.57 sel/ul darah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit ini sebagai respon terhadap tingginya kadar amonia pada media budidaya. Sementara hasil penelitian yang dilakukan El-Shafai et al (2004) menunjukkan bahwa konsentrasi amonia tidak terionisasi sebesar 0.144, 0.262, dan 0.434 mg/l memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan juvenil ikan nila (Oreochromis niloticus), namun tidak menyebabkan kematian pada tingkat tersebut. (Hargreaves, 1998) melaporkan bahwa toksisitas paling umum dan mungkin terjadi pada kolam budidaya adalah terhambatnya pertumbuhan daripada toksisitas akut yang mengarah pada kematian. Secara umum konsentrasi NH3 di kolam tidak boleh melebihi 0.05 mg/l. Konsentrasi NH3 0.02-0.07 mg/l telah terbukti menghambat pertumbuhan dan menyebabkan kerusakan jaringan pada beberapa spesies ikan. Namun ambang batas toksisitas amonia sangat bergantung pada jenis spesies, ukuran, padatan halus, senyawa aktif permukaan, logam dan nitrat (Colt, 2006).

Beberapa spesies mungkin dapat mentoleransi konsentrasi amonia yang tinggi di lingkungan. Mekanisme pembentukan glutamin menjadi salah satu strategi detoksifikasi amonia dalam otak ikan, terutama setelah makan. Detoksifikasi amonia menjadi urea juga telah diamati pada  Elasmobranchii dan beberapa teleostei. Pengurangan laju proteolisis dan laju katabolisme asam amino, menghasilkan penurunan produksi amonia. Mekanisme ini mungkin menjadi strategi dalam mengurangi toksisitas amonia (Randal & Tsui, 2002).�����������

3.      Manajemen Amonia pada Sistem Budidaya

Pengelolaan untuk amonia pada kolam sistem budidaya memang masih sulit dilakukan. Namun upaya untuk mengurangi konsentrasi amonia ke tingkat yang mematikan dapat dicegah dengan beberapa metode sebagai berikut.

a.       Manajemen pemberian pakan

Pemberian pakan berlebih adalah hal utama yang menyebabkan tingginya konsentrasi amonia. Tingginya konsentrasi amonia diperkirakan ketika tingkat pemberian pakan melebihi 100 pon per hektar per hari, atau ketika terjadi penumpukan pakan yang berasal dari sisa atau yang tidak termakan (Durborow, 1997). Hal pertama yang dapat dilakukan ketika amonia terdapat pada kolam adalah mengurangi pakan atau tidak memberi makan ikan. Saat periode stres amonia ikan tidak mungkin makan, sehingga pemberian pakan hanya akan mengakibatkan pakan tidak termakan dan menumpuk pada sistem budidaya., dan menghentikan pemberian pakan akan memungkinkan siklus nitrogen alami terus berjalan mengurangi beban nutrisi (Francis-Floyd et al., 1996).

b.      Pergantian air

Metode pergantian air untuk mengurangi konsentrasi amonia di kolam ikan telah dievaluasi. Setidaknya beberapa penelitian telah dilakukan pada beberapa ikan, seperti pergantian air pada kolam ikan lele sebanyak 0, 1, 2 atau 4 volume kolam selama bulan Juli hingga September tidak cukup untuk memperbaiki kualitas air budidaya. Selain itu pada kolam ikan intensif (500 m3) dengan biomassa lebih dari 10 kg/m2 , waktu retensi hidrolik > 24 jam diperlukan agar proses nitrifikasi berlanjut hingga selesai. Sementara pergantian air yang terlalu besar dapat menyebabkan penghilangan bakteri nitrifikasi (Hargreaves, 1998).

Pada kolam berukuran kecil, pergantian air dapat dilakukan sebanyak 25-50% volume air untuk membantu menghilangkan sebagian amonia. Namun ini tidak berlaku pada kolam berukuran besar (Francis-Floyd et al., 1996).. Sementara pada kebanyakan sistem resirkulasi, pergantian air biasanya dilakukan sebanyak 5 hingga 10% volume air.� Pertukaran air terutama perlu dilakukan setiap siklus panen selesai, untuk mengurangi penumpukan bahan anorganik dan organik terlarut (Losordo, 1998)

c.       Meningkatkan aerasi

Aerasi menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan pasokan oksigen terlarut di kolam budidaya. Oksigen terlarut mutlak diperlukan untuk bakteri dalam proses nitrifikasi. Menurut Losordo (1998) konsentrasi oksigen terlarut harus dipertahankan diatas 60% atau diatas 5 mg/l untuk proses oksidasi amonia menjadi bentuk lain. Pada konsentrasi oksigen dibawah 2 mg/l, bakteri nitrifikasi menjadi tidak efisien. Chen et al. (2006) menambahkan bahwa Nitrosomonas dapat tumbuh dengan konsentrasi oksigen diatas 1 mg/l, sedangkan Nitrobacter diatas 2 mg/l. Selain itu secara teoritis kebutuhan oksigen untuk oksidasi 1 mg NH3 dalam proses nitrifikasi adalah 3.43 mg/l O2 dan 1.14 mg untuk oksidasi 1 mg NO2-.

Sistem aerasi harus beroperasi terus menerus untuk mendukung kehidupan mikroorganisme dalam sistem. Hal ini dikarenakan konsentrasi amonia berhubungan langsung dengan durasi aerasi, terutama pada malam hari secara terus menerus ketika pasokan oksigen berkurang (Hargreaves, 1998). Hasil penelitian Hidayah et al (2018) menunjukkan bahwa penambahan aerasi dan waktu tinggal 4 hari pada limbah air domestik dengan reaktor constructed wetland mampu menurunkan kadar amonia sebesar 97%.

Pada kolam berukuran kecil, peningkatan aerasi mungkin menjadi alternatif dalam menurunkan kadar amonia toksik. Namun metode ini dapat menjadi tidak efektif untuk sistem budidaya skala besar, dimana peningkatan aerasi akan menyebabkan pengadukan sedimen dan dengan demikian meningkatkan kadar amonia lebih lanjut (YSI, 2010). Namun peningkatan aerasi pada budidaya skala besar, dengan luasan area kolam dan volume air yang besar pun sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan area yang diaerasi terbatas, sehingga diperlukan biaya dan waktu yang besar untuk mencakup sebagian besar wilayah kolam.

d.      Pemupukan dengan fosfat

Penambahan pupuk fosfat selama beberapa hari pada kolam dapat membantu meringankan tingkat TAN, dengan merangsang pertumbuhan fitoplankton yang membantu menghilangkan amonia dari sistem. Namun itu mungkin tidak akan efektif pada kolam dengan krisis amonia akut. Pemupukan dapat dilakukan dengan menambahkan pupuk pada tingkat 40 pound per hektar (Francis-Floyd et al., 1996). Di bawah kondisi normal, kepadatan alga sangan tinggi dan laju pertumbuhannya dibatasi oleh cahaya bukan nutrisi seperti fosfor atau nitrogen (YSI, 2010). Dengan demikian penambahan fosfat tidak akan bekerja, jika yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan alga bukan fosfor. Hal ini dikarenakan pada kondisi alami di kolam, alga sudah tumbuh pesat sehingga penambahan fosfat tidak banyak mengurangi kadar amonia.

e.       Penambahan bakteri

Beberapa cara untuk mengurangi level amonia di kolam seperti mengurangi tingkat pemberian pakan, meningkatkan aerasi, dan penambahan pupuk. Tapi kebanyakan pendekatan tersebut dianggap kurang cocok untuk kolam besar yang digunakan dalam budidaya komersial, sehingga penghilangan amonia dengan memanfaatkan mikroba adalah pendekatan yang dianggap menguntungkan dan banyak digunakan (Nithiya, Rao, & Kumar, 2016).

Penambahan amandemen bakteri menjadi bagian penting dari siklus konstan amonia pada sistem budidaya. Pengelolaan kolam yang khas menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri. Namun petumbuhan dan aktivitas ini lebih banyak dibatasi oleh ketersediaan oksigen dan suhu dibandingkan jumlah sel bakteri. Dalam sebagian besar kondisi, bakteri bertanggung jawab atas penguraian bahan organik. Dengan demikian ketika jumlah sel bakteri meningkat, proses dekomposisi bahan organik berjalan lebih cepat sehingga pengaruh buruk dapat terjadi dan kadar amonia sebenarnya dapat meningkat (YSI, 2010).

 

Kesimpulan

��������� Keberadaan amonia dibutuhkan dalam proses kimiawi perairan. Namun dalam kondisi dan kadar tertentu dapat bersifat toksik bagi lingkungan perairan terutama pada sistem budidaya ikan. Manajemen amonia dalam kolam budidaya ikan menjadi terpenting setelah faktor pembatas utama yaitu oksigen terlarut. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah akumulasi amonia yang dapat mengarah pada efek toksik bagi ikan dalam sistem budidaya. Manajemen pemberian pakan dapat menjadi salah satu solusi efektif dalam menekan kadar amonia di perairan sehingga dapat meningkatkan persentase keberhasilan sistem budidaya ikan.

 


BIBLIOGRAFI

 

Avnimelech, Y. (2006). Bio-filters: The Need for An New Comprehensive Approach. Aquaculture Engineering, 34, 172-178.

 

Camargo, J.A., Alonso, A., & Salamanca, A. (2005). Nitrate Toxycity to Aquatic Animals: a Review With New Data for Freshwater Invertebrates. Chemosphere, 58, 1255�1267.

�

Chen, S., Ling, J., & Blancheton, J.P. (2006). Nitrification kinetics of biofilm as affected by water quality factors. Aquaculture Engineering, 34, 179-197.

 

Cheng, C.H., Yang, F.F., Ling, R.Z., Liao, S.A., Miao, Y.T., Ye, C.X., & Wang, A.L. (2015). Effects of Ammonia Exposure on Apoptosis, Oxidative Stress and Immune Response in Pufferfish (Takifugu obscurus). Aquatic Toxicology, 164, 61�71.

 

Colt, J. (2006). Water Quality Requirements for Reuse Systems. Aquaculture Engineering, 34, 143-156.

 

Crab, R., Avnimelech, Y., Defoirdt, T., Bossier, P., & Verstraete, W. (2007). Nitrogen Removal Technique in Aquaculture for a Sustainable Production. Aquaculture, 270, 1-14.

 

Durborow, R.M., Crosby, D.M., & Brunson, M.W. (1997). Amonia in Fish Pond. SRAC Publication No. 463.

 

Ebeling, J.M., Timmons, M., & Bisogni J.J. (2006). Engineering analysis of the stoichiometry of photoautotrophic, autotrophic, and heterotrophic removal of ammonia�nitrogen in aquaculture systems. Aquaculture, 257, (1-4), 346-358.

 

El-Shafai, S.A., El-Gohary, F.A., Nasr, F.A., Steen, N.P., & Gijzen, H. (2004). Chronic Ammonia Toxicity to Duckweed-fed Tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture, 232, 117-127.

 

Food and Agriculture Organization (FAO). (2018). State of World Fisheries and Aquaculture. FAO, Rome.

 

Francis-Floyd, R., Watson, C., Petty, D., & Pourder, D.B. (1996). Ammonia in aquatic systems. Univ. Florida, Dept. Fisheries Aquatic Sci, Florida Coop, Ext. Serv. FA-16, 4 pp.

 

Ghaly, A.F., Kamal, M., & Mahmoud N.S. (2005). Phytoremediation of Aquaculture Wastewater for Water Recycling and Production of Fish Feed. Environmental International, 31(1), 1-13.

 

Hargreaves, J.A. (1998). Nitrogen Biogeochemistry of Aquaculture Ponds. Aquaculture 166(3-4),181-212.

 

Hargreaves JA, & Kucuk S. (2001). Effects of diel un-ionized ammonia fluctuation on juvenile hybrid striped bass, channel catfish, and blue tilapia. Aquaculture. 195 (1-2), 163-181.

 

Hargreave, J.A., & Tucker C.S. (2004). Managing ammonia in fish pond. SRAC Publication 4603. Louisiana State University Agricultural Center Mississippi State University.

 

Hastuti, S., & Subandiyono. (2011). Performa Hematologis Ikan Lele Dumbo (Clarias geriepinus_ dan Kualitas Air pada Sistim Budidaya dengan Penerapan Kolam Biofiltrasi. Jurnal Saintek Perikanan, 6(2), 1-5.

 

Hidayah, E.N., Djalalembah, A., Asmar, G.A., & Cahyunogroho, O.H. (2018). Pengaruh Aerasi dalam Constructed Wetland pada Pengolahan Air Limbah Domestik. Jurnal Ilmu Lingkungan, 16(2), 155-161.

 

Jang, J.D., Barford, J.P., Lindawati., & Renneberg, R. (2004). Application of Biochemical Oxygen Demand (BOD) Biosensor for Optimization of Biological Carbon and Nitrogen Removal from Synthetic Wastewater in a Sequencing Batch Reactor System. Biosensors and Bioelectronics, 19, 805�812.

 

K�rner, S., Das, S.K., Veenstra, S., & Vermaat, J.E., (2001). The effect of pH variation at the ammonium/ammonia equilibrium in wastewater and its toxicity to Lemna gibba. Aquatic Botany, 71, 71�78.

 

Levit, S.M. (2010). A Literature Review of Effects of Amonia on Fish. The Nature Conservancy, Center for Science in Public Participation, Bozeman, Montana.

 

Losordo, T.M., Masser, M.P., & Rakocy, J.M. (1998). Recirculating Aquaculture Tank Producion Systems: An Overview of Critical Considerations. SRAC Publication 451, USA.

 

Mayunar. (1990). Pengendalian Senyawa Nitrogen pada Budidaya Ikan dengan Sistem Resirkulasi. Oseana, 15(1), 43-55.

 

Nithiya, A., Rao, P.H., & Kumar T.S. (2016). Bioremediation of Aquaculture Water Using Nitrifying Bacteria-Microalga Consortium with Special Reference to Ammonial Nitrogen. International Journal of Current Research and Academic Review, 4(12), 164-177.

 

Rahmani, A.R., Mahvi, A.H., Mesdaghinia, A.R., & Nasse, S. (2004). Investigation of ammonia removal from polluted waters by clinoptilolite zeolit. International Journal of Environmental Science and Technology, 1(2), 125-133.

�

Randall, D.J., & Tsui, T.K.N. (2002). Ammonia Toxicity in Fish. Marine Pollution Bulletin, 45, 17-23.

 

Rijn, J.V., Tal, Y., & Schreier, H.J. (2006). Denitrification in recirculating systems: theory and applications. Aquaculture Engineering, 34, 364-376.

 

Sinha, A.K., Liew, H.J., Diricx, M., Blust, R., & Boeck, G.D. (2012). The Interactive Effects of Ammonia Exposure, Nutritional Status and Exercise on Metabolic and Physiological Responses in Gold Fish (Carassius auratus L.). Aquatic Toxicology, 109, 33�46.

 

Sutomo. (1989). Pengaruh Amonia Terhadap Ikan dalam Budidaya Sistem Tertutup. Oseana, 14(1), 19-26.

 

Svobodova, Z., Lloyd, R., Machova, J., & Vykusova, B. (1993). Water Quality and Fish Health. EIFAC Technical Paper No. 54. FAO. Rome. 59p.

 

Titiresmi., & Sopiah, N. (2006). Teknologi biofilter untuk pengolahan limbah amonia. Jurnal Teknologi Lingkungan, 7(2), 173-179.

 

YSI. (2010). Understanding Ammonia in Aquaculture Ponds. http://www.ysi.com/media/pdfs/ A585-Understanding-Ammonia-in-Aquaculture-Ponds.pdf.