Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
6, No. 2, Februari 2021
KEKUATAN PEMBUKTIAN BERITA ACARA
PEMERIKSAAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PERSIDANGAN
Muhamad Jufri Tabah
Universitas Hasanuddin, Indonesia
Email: leijhunsu@gmail.com
Abstract
This research aims to analyze
the strength of proof of
witness investigation minute as evidence in court, and to
analyze ratio decidendi of Kendari District Court judges and South
East Sulawesi High Court judges on
verdict number: 176/Pid.Sus/2019/PN.Kdi in matters of the
position of witness investigation minute as evidence. This research uses the juridical
empirical type. The
results are:
1) The position of witness investigation minute as evidence: first,
equal with witness testimony under circumstances of article 162 paragraph (1) and (2) criminal procedure code and
same with
witness testimony that given under oath;
second, it equal with documentary
evidence according to the article
187 letter a jo. Article 75
letter h
criminal procedure code and supreme
court circular number 1 of 1985, and same
as authentic deed, nevertheless
it cannot be used alone.
2) Ratio decidendi of Kendari District Court judges on
their verdict
is not considering at all. Beside,
the witness investigation minute is rejected as evidence because that is not match with
article 162 criminal procedure code. Meanwhile South East Sulawesi High Court judges admit
that witness investigation minute as evidence that equal
with witness testimony and documentary
evidence, and
found
the defendant was guilty.
Keywords: the strength
of proof; witness investigation minute; and evidence
Abstract
Penelitian ini bertujuan
menganalisis kedudukan BAP saksi sebagai alat bukti dalam
tahapan pembuktian dan untuk menganalisis rasio desidendi
hakim pada Pengadilan Negeri Kendari dan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dalam
putusan nomor: 176/Pid.Sus/2019/PN.Kdi
terkait kedudukan BAP saksi sebagai alat bukti. Penelitian ini
menggunakan tipe penelitian yuridis empiris. Adapun hasil penelitian: 1).
Kedudukan BAP saksi sebagai alat bukti dalam tahapan pembuktian: pertama dapat
dinilai sebagai keterangan saksi apabila BAP saksi dibacakan dihadapan persidangan dengan memenuhi ketentuan pasal 162
ayat (1) dan (2) KUHAP nilainya sama dengan keterangan saksi di bawah sumpah; kedua
dapat dinilai sebagai alat bukti surat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan pasal
187 huruf a KUHAP jo. Pasal 75 huruf h KUHAP dan SEMA nomor 1 tahun
1985, nilai pembuktiannya sebagai akta autentik namun tidak dapat berdiri
sendiri, 2). Rasio
desidendi hakim Pengadilan Negeri Kendari yaitu tidak
dipertimbangkan sama sekali. Selain itu majelis hakim Pengadilan Negeri Kendari
juga tidak mengakui BAP saksi sebagai alat bukti keterangan saksi karena tidak
memenuhi ketentuan pasal 162 KUHAP. Sementara rasio desidendi
hakim Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara mengakui kedudukan BAP saksi sebagai
alat bukti baik sebagai keterangan saksi mapun
sebagai alat bukti surat dan memasukannya dalam
pertimbangan hukumnya sehingga memutus para terdakwa bersalah.
Kata Kunci:
kekuatan pembuktian; BAP saksi, alat bukti
Pendahuluan
Pembuktian merupakan suatu tahapan penting
bagi penuntut umum dalam membuktikan
dakwaan dipersidangan. Benar tidaknya sangkaan yang telah ditujukan kepada terdakwa oleh penuntut umum dalam surat dakwaan
bergantung pada kualitas dari alat-alat bukti yang dimiliki baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk maupun keterangan terdakwa sebagaimana yang tersirat dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (Alfitra,
2011). Di mana penuntut umum dituntut untuk
dapat memaksimalkan segala upaya dalam
tahap pembuktian dengan berbekal pada alat-alat bukti tersebut untuk dapat meyakinkan hakim sehingga apa yang menjadi dakwaan penutut umum dapat
dibuktikan secara sah dan meyakinkan dihadapan hakim. Salah satu
yang menarik perhatian perihal pembuktian ialah pembuktian yang terjadi dalam tindak pidana pemilihan umum
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dikenal istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering
menggunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan
pidana atau tindak pidana (Ilyas, 2012).
Tindak
pidana pemilu di indonesia dalam perkembangannya
mengalami banyak perubahan baik berupa peningkatan jenis tindak pidana sampai
perbedaan tentang penambahan sanksi pidana (Santoso,
2006). Hal ini disebabkan karena semakin
hari tindak pidana pemilu semakin menjadi perhatian yang semakin serius karena
ukuran keberhasilan negara demokratis dilihat dari kesuksesannya
menyelenggarakan pemilu. Pemerintah kemudian memperketat aturan hukum tentang
pemilu dengan semakin memperberat sanksi pidana untuk pelaku tindak pidana
pemilu (Mulyadi, 2013).
Untuk mengefektifkan penanganan perkara pelanggaran pemilu yang menyangkut pidana maka bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan membentuk sentra penegakan hukum terpadu (sentra gakkumdu), payung hukumnya adalah kesepahaman bersama antara jaksa agung republik indonesia, kepala kepolisian republik indonesia dan ketua badan pengawasan pemilihan umum. Keanggotaan sentra gakkumdu di tingkat pusat terdiri dari kabareskrim polri, jaksa agung muda tindak pidana umum dan ketua bidang penanganan pelanggaran pemilu bawaslu. Di tingkat provinsi terdiri dari direktur reskrim/umum, asisten pidana umum kepala kejaksaan tinggi, koordinator bidang hukum dan penanganan pelanggaran pemilu panwaslu provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota anggotanya adalah kepala satuan reserse kriminal, kepala seksi pidana umum dan koordinator bidang hukum dan penanganan pemilu panwaslu kabupaten/kota (Santoso, 2006).
Pengadilan negeri memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tindak pidana pemilu
menggunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang
pemilu. Sidang pemeriksaan perkara pemilu dilakukan oleh majelis khusus. Pengadilan negeri memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tindak pidana pemilu perkara
tindak pidana pemilu paling lama 7 hari dan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa (Jurdi, 2018).
Sementara itu dari segi pembuktian
di persidangan, hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang terdakwa kecuali bila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (Harahap, 2002).
Keyakinan hakim diperoleh sejak dari berita acara penyidikan yang dirangkai menjadi surat dakwaan sampai kepada fakta-fakta
persidangan yang timbul dari proses pembuktian di dalam persidangan. Jelas bahwa setiap
produk dari system peradilan pidana memiliki keterkaitan erat dan tidak terpisahkan. Keseluruhan proses peradilan pidana ini bermuara pada putusan hakim. Sehingga hakim dapat disebutkan sebagai unjung tombak dari system peradilan pidana di Indonesia (Nisabella, 2011). Konstruksinya adalah berawal dari
berita acara penyidikan dan berakhir pada putusan hakim. Sehingga dapat disimpulkan kedudukan berita acara penyidikan termasuk didalamnya adalah berita acara pemeriksaan (selanjutnya disebut BAP) saksi, sangalah penting dalam system peradilan pidana di indonesia. Terlebih dalam peradilan pidana pemilu yang begitu limitative dari segi waktu
penyelesaiannya. Hakim dituntut
mampu mempertimbangkan segala bukti yang ada dengan akurat
dan seksama sehingga mampu menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinannya untuk menentukan terdakwa bersalah atau tidak
(Makarao & Suharsil, 2012).
Untuk mengantisipasi minimnya alat bukti, penuntut
umum mengajukan alat bukti surat
sebagai penunjang keterangan saksi diluar berkas, salah satunya adalah BAP saksi-saksi yang telah diperiksa ditingkat penyelidikan (sentra gakkumdu) dan penyidikan dengan berlandaskan pada ketentuan pasal 187 huruf
a KUHAP, akan tetapi
Tindakan penuntut umum tersebut mendapat perlawanan dari pihak terdakwa melalui penasihat hukumya yang menolak hal tersebut, demikian
pula majelis hakim pada tingkat pertama yang memeriksa perkara tersebut sama sekali
tidak menganulir alat bukti surat
yang diajukan penutut umum dalam amar
putusannya. Lantas bagaimanakah terkait kedudukan BAP saksi-saksi yang dibuat dan ditandatangani berdasarkan sumpah jabatan, dapatkah BAP saksi-saksi tersebut dinilai sebagai alat bukti surat
sebagaimana di maksud dalam pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP dan pasal 187 KUHAP mengingat rentan waktu pembuktian dalam penyelesaian perkara pemilu yang begitu singkat, bagaimanakah langkah strategis penuntut umum dalam menyelesaikan
perkara a quo
dan bagaimanakah pertimbangan
hakim tingkat pertama dan tingkat banding mengambil keputusan dalam penyelesaian perkara tindak pidana pemilu tersebut terutama terkait kedudukan BAP sebagai alat bukti
surat, menjadi hal yang menarik untuk dikaji oleh Penulis dalam Penelitian
ini.
Dalam
hal penelitian sebelumnya yang berjudul kedudukan berita acara pemeriksaan
saksi dalam sistem peradilan pidana indonesia menurut
KUHAP terkait dengan prinsip akusator dan inquisitor oleh (Nisabella,
2011), yang pada inti dari penelitian
tersebut adalah ada atau tidaknya pelanggaran prinsip akusator
yang dianut oleh KUHAP. Sementara penulis dalam karya ilmiahnya lebih fokus kepada
kekuatan pembuktian BAP saksi sebagai alat bukti surat dengan mengkerucutkan penelitian pada penyelesaian perkara pemilu.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis kedudukan berita acara pemeriksaan saksi sebagai alat bukti dalam tahapan
pembuktian di persidangan, serta menganalisis rasio desidendi hakim pada pengadilan negeri kendari dan pengadilan tinggi sulawesi tenggara dalam putusan perkara
nomor: 176/Pid.Sus/2019/PN.Kdi
terkait kedudukan berita acara pemeriksaan saksi sebagai alat bukti.
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan
sebagai bahan masukan bagi pihak terkait di bidang hukum pada umumnya dan
bidang hukum pembuktian pada khususnya terutama bagi yang
berhubungan dengan penanganan tindak pidana pemilu di indonesia.
Hasil penelitian ini juga sebagai sarana untuk memperluas wawasan bagi para
pembaca mengenai kekuatan pembuktian BAP sebagai alat bukti surat
dalam penanganan tindak pidana pemilu, serta untuk mengkaji secara
yuridis tentang bentuk dan kekutan pembuktian BAP sebagai alat bukti
surat di persidangan.
Metode Penelitian
Penelitian
ini dilakukan
di kota Kendari yakni
di Kejaksaan Negeri Kendari dan Pengadilan Negeri Kendari
karena
objek penelitian berupa perkara pemilu nomor: 176/Pid.Sus/2019/PN.Kdi
ditangani dan diselesaikan
di Kejaksaan Negeri Kendari dan Pengadilan Negeri Kendari.
Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis
empiris, yakni pendekatan penelitian yang dilakukan untuk menganalisa sejauh manakah efektivitas suatu peraturan perundang-undangan atau hukum didalam masyarakat
(Soekamto,
2012).
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam tipe penelitian
ini terdiri dari
pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang diteliti. Pendekatan ini peneliti dapat melihat konsistensi antara regulasi satu dengan yang lainnya. Metode pendekatan perundang-undangan peneliti dapat melihat filosofi
atau dasar-dasar pemikiran mengapa peraturan tersebut dikeluarkan
(Marzuki, 2005).
Pendekatan konseptual (conseptual approach)
yakni dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
di dalam ilmu hukum, penelitian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi serta sebagai sandaran dalam
membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.
Pendekatan kasus (case approach)
pendekatan ini dilakukan
dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut
paut dengan permasalahan (isu hukum)
yang
sedang dihadapi misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara undang-undang dasar dengan
undang-undang, undang-undang yang satu
dengan yang lain, dst.
Data
penelitian yang dikumpulkan akan dianalisis dengan mengadakan wawancara secara
mendalam (deep interview) dan tanya jawab dengan responden dan studi dokumentasi dengan mempelajari dokumen-dokumen yang berhubungan langsung atau tidak langsung
dengan analisa kekuatan pembuktian berita acara pemeriksaan sebagai alat
bukti surat dan putusan perkara nomor: 176/Pid.Sus/2019/PN.
Kendari.
Data
yang diperoleh baik secara primer maupun sekunder kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Yakni data yang bertitik tolak pada upaya menemukan asas-asas dan teori-teori dalam menganalisis masalah dalam penelitian ini. Hal ini dimaksudkan
agar penulis dapat menggambarkan keseluruhan hasil data yang diperoleh baik melalui wawancara
maupun studi kepustakaan. Selain itu, penulis berharap
dapat menggambarkan pendapat para ahli atau pakar hukum,
maupun referensi-referensi
yang telah dikumpulkan (Sunggono, 2012).
Hasil dan Pembahasan
A. Kedudukan Berita
Acara Pemeriksaan Saksi Sebagai Alat Bukti dalam Tahap Pembuktian di Persidangan
Alat bukti keterangan saksi
disebutkan pertama kali dalam urut-urutan alat bukti dalam pasal 184 ayat (1)
KUHAP. Keterangan saksi di dalam perkara pidana menjadi penting, mengingat
fungsi hukum dari acara pidana ialah mencari kebenaran materill
atau kebenaran sejati. Kebenaran sejati ini diharapkan dapat diketahui dari
keterangan saksi tersebut.
Agar keterangan seorang saksi dapat
dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, maka keterangan
saksi tersebut haruslah memenuhi kedua syarat, sebagai berikut:
a.
Syarat
Materiil
Seseorang baru dikatakan sebagai
seorang saksi bilamana ia memenuhi syarat materiil, sebagai berikut:
1.
Harus
memenuhi ketentuan pasal 1 angka 27 KUHAP yang mana dari ketentuan tersebut
dikatakan bahwa keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah pertama
apabila keterangan itu yang ia dengan sendiri, lihat sendiri alami sendiri;
kedua dengan menyebut alasan pengetahuannya itu. Syarat untuk dapat menjadi seorang
saksi sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 27 juga mengakibatkan bahwa
pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saksi, bukanlah
merupakan sebuah alat bukti keterangan saksi. Hal itu diatur dalam pasal 185
ayat (5) KUHAP.
2.
Bukan
merupakan kelompok orang yang dikecualikan dari kewajiban menjadi saksi yaitu
orang-orang yang dapat mengundurkan diri misalnya keluarga, sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai dengan
derajat ketiga daru terdakwa atau yang bersama-sama
terdakwa. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa (pasal 168 KUHAP); orang-orang yang dapat meminta untuk
dibebaskan menjadi saksi (Pasal 170 KUHAP); orang-orang yang dilarang untuk diperiksa
sebagai saksi (Pasal 171 KUHAP).
b. Syarat Formil
Selain syarat materiil, maka terdapat syarat formil
yang harus dipenuhi oleh seorang saksi agar keterangannya dapat digunakan
sebagai sebuah alat bukti yang sah menurut undang-undang yang berlaku, yakni:
1. Keterangan saksi harus diberikan dibawah sumpah atau janji.
Hal kewajiban Saksi
mengucapkan sumpah atau janji KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), dimana ditentukan pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak
suatu kesaksian sebagai alat bukti. Agar keterangan Saksi dapat dinilai sebagai
alat bukti yang sah dan kuat maka sebelumnya Saksi memberikan keterangan
terlebih dahulu wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, hal ini tercantum dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP (Sofyan & Abdul
Azis, 2014).
Hal ini dilakukan untuk menjamin adanya keterangan yang
sebenar-benarnya guna diperolehnya kebenaran yang sejati. Jika keterangan yang
diberikan ternyata palsu, maka terhadap saksi ini dapat dikenakan tindak pidana
memberikan sumpah palsu sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 174 ayat (2)
KUHAP jo pasal 242 ayat (1) KUHAP.
Keterangan saksi yang tidak dibarengi dengan sumpah atau
janji, baik diberikan dalam penyidikan (pasal 116 ayat (1) KUHAP), maupun yang
diberikan di depan persidangan (pasal 161 ayat (2) KUHAP), tidak mempunyai
nilai pembuktian apapun di mata hukum. Keterangan
tanpa sumpah ini dapat dipergunakan sebagai tambahan untuk menyempurnakan
kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, yaitu dapat menguatkan keyakinan hakim
(pasal 161 ayat (2) KUHAP) dan dapat dipakai sebagai petunjuk (penjelasan pasal
171 KUHAP) (Harahap,
2002).
2. Keterangan saksi harus diberikan didepan persidangan pasal 185 ayat (1) mengatur bahwa
keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan. Pokok pikiran supaya kesaksian harus diucapkan di hadapan hakim
sendiri bertujuan supaya hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu,
ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan pribadi saksi,
gerak-geriknya dan lain-lain (Harahap,
2002).
kemudian untuk menentukan kekuatan keterangan saksi dalam
BAP saksi yang dibacakan di depan persidangan, harus melihat pada ketentuan pasal
162 ayat (2) KUHAP telah menentukan jawabannya, yaitu:
“Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah
sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah
sumpah yang diucapkan di sidang.”
Dari bunyi pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa BAP saksi yang dibacakan di depan persidangan dapat bernilai
sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah, bilamana keterangan itu telah
diberikan di bawah sumpah pada proses penyidikan. Menyangkut sumpah pada tahap penyidikan
ini, ditentukan dalam Pasal 116 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:
“Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada
cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di
pengadilan.”
Pembacaan BAP Saksi ini sebenarnya
bukanlah sebuah masalah karena KUHAP telah mengaturnya dengan jelas. Jika
pembacaan BAP saksi di depan persidangan ini dilakukan dengan ketentuan dalam
KUHAP, maka BAP saksi tersebut dapat dipergunakan seutuhnya (Bawengan, 1977).
Berdasarkan uraian diatas, mengenai pembacaan BAP saksi di depan persidangan,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. BAP saksi diperbolehkan untuk
dibacakan di depan persidangan jika saksi yang berkaitan tidak dapat hadir,
karena alasan yang telah ditentukan di dalam pasal 162 ayat (1) KUHAP.
b. Keterangan dalam BAP saksi yang
dibacakan dapat dipersamakan dengan alat bukti keterangan saksi yang sah, bila
keterangan tersebut diberikan di bawah sumpah sebelumnya di tahap penyidikan.
BAP saksi yang dibacakan di depan
persidangan dapat menjadi alat bukti keterangan saksi yang sah jika keterangan
saksi pada tahap penyidikan sebelumnya diberikan dibawah
sumpah. Keterangan saksi dalam tahap penyidikan yang tidak diberikan dibawah sumpah tidak dapat menjadi alat bukti apapun, melainkan hanya dapat merupakan keterangan biasa
yang tidak memiliki kekuatan pembuktian yang dapat dipergunakan untuk
menguatkan keyakinan hakim jika ada persesuaian dengan alat bukti sah lainnya (Agus & Sahbani, 2011).
Pendapat banyak ahli hukum,
termasuk diantaranya Gerson
W. Bawengan dan Leden Marpaung (Marpaung, 2011), yang setuju bahwa BAP saksi merupakan alat bukti surat berdasarkan
pasal 187 huruf a KUHAP Jo. Pasal 75
ayat (1) huruf h KUHAP. Lebih lanjut, (Soesilo, 2011) dalam berbagai buku yang ia tulis, menyatakan
bahwa BAP saksi merupakan alat bukti keterangan saksi, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal 305 HIR, R. Soesilo
mengatakan pendapatnya sebagai berikut (Soesilo,
2011):
“Sesungguhnya berita acara itu dapat disamakan dengan suatu keterangan
saksi yang tertulis, bahkan nilainya sebagai alat bukti
lebih besar daripada kesaksian untuk membuktikan kesalahan terdakwa, oleh karena berita acara itu dibuat oleh pegawai penyidik yang oleh undang-undang diwajibkan untuk itu. Pada hakekatnya berita acara itu adalah suatu
keterangan saksi yang oleh undang-undang diberi nilai sebagai bukti
yang sah.”
Lebih lanjut, menyangkut kekuatan BAP saksi sebagai alat bukti
surat, menurut teguh samudera, ada tiga jenis
yakni sebagai berikut:
1. Kekuatan pembuktian lahir/luar (Salim,
2012), yaitu kekuatan yang berlaku juga bagi pihak ketiga. Kekuatan
pembuktian lahir merupakan kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir,
sepanjang tidak terbukti ketidakautentikannya. Ketidakautentikan suatu surat harus dibuktikan
oleh pihak lain, misalnya tanda tangan palsu.
2. Kekuatan pembuktian formal (Salim,
2012), yakni suatu kekuatan
pembuktian yang didasarkan atas benar tidaknya
pernyataan yang ditandatangani
dalam akta, bahwa oleh si penandatangan
akta telah diterangkan apa tercantum di dalam akta.
3. Kekuatan pembuktian materiil (Salim,
2012), yaitu suatu kekuatan
yang didasarkan atas benar atau tidaknya
isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa
perbuatan hukum yang dinyatakan di dalam akta benar-benar telah terjadi. Kekuatan pembuktian ini ganya memberikan
bukti terhadap si penandatangan.
Dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan tentang kekuatan penilaian alat-alat bukti ini, apakah alat-alat
bukti termuat dalam pasal 184 KUHAP dapat
digunakan permasing-masing atau dapat digunakan
berhubung-hubungan, untuk mengadakan keyakinan hakim. Demikian pula tidak ada ketentuan apakah
alat bukti tersebut dapat dilemahkan dengan bukti penyangkalan. Menurut Martiman, dengan ketiadaan ketentuan tersebut diatas, maka segala
penggunaan alat bukti yang sah dan ditentukan oleh undang-undang diserahkan pada kebijaksanaan
hakim, dengan berpegang
pada prinsip atau asas negatief wettelijk ( Prodjohamidjojo,
2012).
B. Rasio Desidendi Hakim pada Pengadilan
Negeri Kendari dan Pengadilan Tinggi Sulawesi
Tenggara dalam Putusan Nomor: 176/Pid.Sus/2019/PN.Kdi terkait
Kedudukan Berita Acara Pemeriksaan sebagai Alat Bukti
Surat.
Bahwa dari apa yang tersaji dalam pertimbangan putusan majelis hakim nomor :176/Pid.Sus/2019/PN.Kdi tersebut, menunjukan bahwa masih terdapat penyangkalan terkait kedudukan BAP Saksi-saksi sebagai alat bukti,
baik itu yang bernilai keterangan saksi ataupun sebagai
alat bukti surat. Padahal sebagaimana telah kita bahas pada bab sebelumnya, baik secara peraturan
perundang-undangan, doktrin
maupun peraturan internal mahkamah agung jelas-jelas telah mengakui kedudukan BAP saksi sebagai alat bukti.
Penolakan majelis hakim tingkat pertama terhadap pembacaan BAP saksi juga terlihat sangat janggal karena majelis hakim melandaskan penolakan tersebut dengan pasal 152 KUHAP
yang mengatur tentang pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
Hal ini menunjukan adanya kekeliruan dan kelalaian dari majelis hakim dalam menerapkan landasan hukum dalam pertimbangan hukumnya. Majelis hakim juga menampik kejanggalan dalam persidangan terkait fenomena hilangnya para saksi-saksi yang telah di BAP sebelumnya, dimana usaha jaksa
untuk menghadirkan saksi-saksi tersebut tidak maksimal karena keterbatasan waktu yang diberikan dalam penyelesaian perkara pemilu, dan upaya untuk membacakan
BAP saksi ditolak oleh Majelis hakim. Dimana dalam pertimbangan yuridisnya, majelis hakim menyimpulkan ketidakhadiran saksi-saksi tersebut sebagai wujud ketidakmampuan
penuntut umum dalam menghadirkan saksi-saksi.
Sedangkan hakim pada tingkat banding
mempertimbangkan BAP saksi sebagai alat bukti surat dan memasukannya kedalam pertimbangn hukum untuk membuktikan
unsur pasal: “dalam kegiatan pemilu mengikut sertakan aparatur sipil Negara (ASN)” diantaranya BAP saksi an. Margono (bap pendahuluan di bawaslu/sentra gakkumdu) dan saksi la taena (bap penyidikan) serta mempertimbangkan bukti surat berupa
print out percakapan SMS dan WA antara para terdakwa dengan saksi la mili. Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan saksi diluar berkas an. La aca sebagai dasar petrtimbangan
hukumnya (putusan banding No. 47/Pid.Sus/2019/PT. Kdi).
Dari pertimbangan majelis hakim tingkat banding tersebut, dapat disimpulkan terkait kedudukan dan kekuatan pembuktian BAP saksi sebagai alat bukti
surat sebagai berikut:
a BAP saksi dapat dibacakan dipersidangan sepanjang memenuhi ketentuan diantaranya telah dipanggil secara sah, tidak
datang karena alasan yang tidak jelas, telah disumpah
sebelumnya di Penyidikan
dan memenuhi ketentuan Pasal 162 KUHAP.
b Nilai pembuktian terhadap BAP Saksi yang dibacakan dihadapan persidangan dengan memenuhi ketentuan tersebut ialah sama dengan
keterangan saksi yang diberikan didepan persidangan dibawah sumpah.
c BAP Saksi yang tidak dibacakan didepan persidangan, namun karena dibuat oleh pejabat yang berwenang dibawah sumpah jabatan maka dapat
nilainya sama dengan alat bukti surat sebagaimana pasal 187 huruf a KUHAP.
d Semua alat bukti yang disajikan harus dipertimbangkan secara maksimal mulai dari keterangan
saksi, ahli, surat, petunjuk ataupun keterangan terdakwa, terlebih dalam perkara pemilu
yang memiliki waktu penyelesaian yang terbatas.
Kesimpulan
Kedudukan berita acara pemeriksaan saksi sebagai alat bukti dalam tahapan
pembuktian di persidangan yaitu: 1) dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan
saksi apabila BAP saksi tersebut dibacakan dipersidangan dengan memenuhi ketentuan pasal 162 ayat (1) dan (2) KUHAP, telah dipanggil secara sah, dan keterangan saksi tersebut diberikan dibawah sumpah pada tahap penyidikan. Adapun nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan keterangan saksi yang diperiksa didepan persidangan dibawah sumpah. 2) dapat dinilai sebagai
alat bukti surat dengan ketentuan
BAP saksi tersebut harus dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan, tanpa paksaan dan dibuat oleh pejabat yang berwenang atas kekuatan sumpah jabatannya, sehingga BAP Saksi dapat dipakai
sebagai alat bukti surat sebagaimana
ketentuan pasal 187 huruf
a KUHAP jo. Pasal 75 huruf
d KUHAP dan ketentuan SEMA nomor 1 tahun 1985. Adapun kekuatan pembuktian
BAP saksi sebagai alat bukti surat ialah sempurna karena dianggap sebagai akta autentik. Namun demikian, karena kedudukannya sebagai surat dihubungkan
dengan tujuan hukum acara pidana yang mencari kebenaran materiil, maka kedudukan alat bukti surat tidak
dapat berdiri sendiri namun harus
disertai dengan keberadaan alat bukti lainnya
misalnya keterangan saksi, ahli, terdakwa
ataupun petunjuk.
Rasio desidendi hakim pengadilan negeri kendari dalam perkara nomor:
176/Pid.Sus/2019/PN.Kdi terkait BAP saksi sebagai alat bukti
dalam putusannya yaitu hakim sama sekali tidak menilai
BAP saksi sebagai alat bukti
baik itu dinilai sebagai alat bukti keterangan
saksi yang dibacakan depan persidangan sesuai pasal 162 KUHAP ataupun sebagai alat bukti surat
sesuai ketentuan pasal
187 huruf a KUHAP Jo. Pasal
75 huruf d KUHAP. Khusus untuk BAP saksi yang dibacakan, majelis hakim pengadilan negeri kendari tidak sependapat dengan penuntut umum, majelis hakim menganggap hal tersebut tidak
memenuhi ketentuan pasal
162 KUHAP dan merupakan ketidakmampuan
penuntut umum dalam menghadirkan saksi. Terkait BAP saksi sebagai alat bukti
surat yang diajukan oleh penuntut umum, majelis hakim pengadilan negeri kendari sama sekali tidak mempertimbangkannya
dalam putusan, oleh karena itu pengadilan negeri kendari membebaskan para terdakwa dari dakwaan
penuntut umum.
BIBLIOGRAFI
Agus, & Sahbani. (2011). Permenkumham
Harmonisasi Peraturan Dinilai Konflik dengan UU.
Alfitra,
S. H. (2011). Hukum pembuktian dalam beracara pidana, perdata, dan korupsi
di Indonesia. Raih Asa Sukses.
Bawengan,
Gerson W. (1977). Penyelidikan perkara pidana dan teknik interogasi. PT
Pradnya Paramita, Jakarta.
Harahap,
M. Yahya. (2002). Pembahasan Permasalaha Dan Penerapan Kuhap: Penyidikan Dan
Penuntutan.
Ilyas,
Amir. (2012). Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education. Yogyakarta:
Yogyakarta & PuKAPIndonesia.
Jurdi,
Fajlurrahman. (2018). Pengantar Hukum Pemilihan Umum. Kencana.
Marpaung,
Leden. (2011). Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan Penyelidikan). Cetakan
Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta.
Marzuki,
M. Laica. (2005). Berjalan-jalan di ranah hukum: pikiran-pikiran lepas Prof.
Dr. HM Laica Marzuki, SH. Konstitusi Pers.
Matiman
Prodjohamidjojo. (2012). Sistem Pembuktian Alat-Alat Bukti Seri Pemerataan
Keadilan 10, Cet.5. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Mulyadi,
Dedi. (2013). Perbandingan tindak pidana pemilu legislatif dalam perspektif
hukum di Indonesia: UU no. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan UU no. 8 tahun 2012 tentang
pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Refika Aditama.
Nisabella,
Qorry. (2011). Respons Atas Gugatan Terhadap Keadilan Allah Dalam Kematian
Substitusi Penal Yesus Kristus: Suatu Kajian Berdasarkan Pada Teori Pendamaian
John Calvin. Sekolah Tinggi Amanat Agung.
Salim,
Peter Salim dan Yenny. (2012). Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer.
Santoso,
Topo. (2006). Election Offences as the Ground of Election Petition: A
Comparative Analysis. Indonesian J. Int’l L., 4, 346.
Soesilo,
R. (2011). Penelitian: Pengaruh Postmodernisme pada perencanaan dan perancangan
kota (research title: The postmodern impact on urban planning and design). Soegijapranata
Catholic University.
Sunggono,
Bambang. (2012). Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.