Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 2, Februari 2021
ANALISIS
ADMINISTRASI PAJAK PENGHASILAN ATAS CASHBACK
PADA INDUSTRI TEKNOLOGI KEUANGAN DOMPET ELEKTRONIK DI INDONESIA
Indah Kusumawardhani
dan Gunadi
Fakultas Ilmu Administrasi,
Universitas Indonesia
Email: Indah_adh@yahoo.com dan triguna.gunadi@gmail.com
Abstract
This study aims to analyze the income tax treatment applied to
transactions made by electronic wallet financial technology in connection with
providing cashback to users of electronic wallet financial technology. In
addition, analyzing income tax administration that can be applied to cashback
transactions in the electronic wallet financial technology industry. This study
uses qualitative research methods and in-depth interview data interview
techniques with taxation stakeholders in Indonesia and literature studies. This
study can analyze whether cashback is income in a tax perspective, tax
administration on cashback on electronic wallet financial technology and
electronic money financial technology, and income tax administration that can
be applied to cashback transactions in the electronic wallet financial
technology industry. The results showed that cashback is categorized as income
according to a tax perspective. Cashback is not an income that must be withheld
by the cashback giver and only needs to be reported on the cashback recipient's
annual tax return. In addition, in substance, cashback can be a deduction
form fiscal perspective on the SPT of Electronic Wallets and Electronic Money
Fintech actors as long as it is supported with a nominative list. Finally, a
suitable tax collection system is withholding tax with the schedular taxation
concept, where cashback which is considered as income is subject to final tax
at a certain rate.
Keywords: financial
technology; electronic money; electronic
wallet; cashback; tax
income
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis ketentuan PPh yang diterapkan atas transaksi yang dilakukan oleh Fintech Dompet Elektronik sehubungan dengan pemberian cashback pada pengguna
Fintech Dompet Elektronik. Selain itu, menganalisis
administrasi Pajak Penghasilan yang dapat diterapkan pada pada transaksi cashback
di industri Fintech Dompet Elektronik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan teknik pengumpulan data wawancara mendalam terhadap pemangku kepentingan perpajakan di Indonesia dan studi
literatur, penelitian ini dapat menganalisa
apakah cashback
merupakan penghasilan pada perspektif pajak, administrasi pajak penghasilan atas cashback pada Fintech Dompet Elektronik dan Fintech
Uang Elektronik, serta administrasi Pajak Penghasilan yang dapat diterapkan atas cashback pada Fintech Dompet Elektronik dan Fintech
Uang Elektronik di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cashback dikategorikan sebagai penghasilan menurut perspektif pajak. Cashback bukan
merupakan penghasilan yang harus dipotong oleh pemberi cashback
dan hanya perlu dilaporkan pada SPT Tahunan penerima cashback.
Selain itu, secara substansi cashback dapat
menjadi biaya pengurang penghasilan bruto pada SPT Badan pelaku
Fintech Dompet Elektronik
dan Uang Elektronik selama dilengkapi dengan daftar nominatif. Terakhir, sistem pemungutan pajak yang cocok diterapkan adalah withholding tax dengan
konsep schedular
taxation, yakni cashback yang dianggap sebagai penghasilan ini dikenakan pajak
secara final dengan tarif tertentu.
Kata kunci: financial
technology, uang elektronik, dompet elektronik, cashback, pajak
penghasilan
Pendahuluan
Saat
ini kita sedang memasuki era Revolusi Industri 4.0. Kagermann dalam (Prasetyo & Sutopo, 2018) menyampaikan
bahwa Revolusi Industri 4.0 ialah penggabungan dari Internet of Things and Services (IoT dan
IoS) dan Cyber
Physical System (CPS) ke dalam
proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya. Mengoptimalkan fungsi internet of things ini
mendorong terjadinya inovasi-inovasi pada bisnis atau kewirausahaan saat ini. Munculnya
berbagai model bisnis baru berasal dari
kemampuan innovator-inovator
untuk merancang strategi lewat platform digital. Pada era millennial ini, inovasi pun ada di berbagai aspek kehidupan kita salah satunya inovasi pada sektor jasa keuangan. Jasa keuangan kini mengenal
istilah financial
technology atau sering disingkat menjadi Fintech. Fintech
merupakan sebuah layanan yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menyediakan produk-produk keuangan (Ansori, 2019).
Menurut Fintechnews.sg (2016) dalam (Wulan, 2017),
para pengusaha yang menggunakan
fintech biasa disebut dengan Start-Up, penggunaan
fintech didasarkan karena besarnya pengguna internet yang mencapai 104,2 juta pada tahun 2016 dan akan di perkirakan pada tahun 2021 mencapai 144,2 penggunaan
internet tersebut untuk mengakses social media, mengirim pesan, atau mendengarkan
musik. Sedangkan menurut (Philippon, 2017)
dalam (Irawati, 2018),
fintech merupakan sebuah inovasi bisnis yang menggunakan teknologi dibidang keuangan dan merupakan inovasi digital dalam industri. Singkatnya, Fintech adalah hasil integrasi teknologi informasi dan jasa keuangan yang kemudian mengubah model bisnis pada sektor jasa keuangan dari
konvensional menjadi digital,
yang mulanya dalam bertransaksi harus tatap muka di jam kerja dan membawa sejumlah uang, sekarang bertransaksi dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Fintech merupakan hal vital di sektor keuangan, disaat kebutuhan untuk meningkatkan inklusi dan literasi keuangan serta juga menumbuhkan bisnis di lingkungan yang menantang dan dinamis. Fintech juga
membuka gerbang terhadap sistem cashless economy, dimana
terdapat kegiatan ekonomi yang dilakukan tanpa menggunakan uang fisik atau tunai.
Pada situasi
yang membatasi manusia untuk bertemu atau
bertatap muka secara langsung seperti pada situasi pandemik ini, industri
digital sangat dimanfaatkan
oleh semua warga negara
dunia termasuk Indonesia. Salah satu
bentuk industri digital
yang sedang bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir ini adalah industri
keuangan digital atau sering disebut dengan Financial Technology/Fintech. Produk-produk
yang dihasilkan oleh Fintech, seperti
yang dikutip dalam laman smartlegal.id, diantaranya
(1) Payments, Clearing and Settlement
(Pembayaran, Kliring, dan Penyelesaian); (2) Deposits,
Lending and Capital Raising (Deposito, Pinjaman
dan Penambahan Modal); (3) Market Provisioning/Aggregators; (4) Investment and Risk Management (Investasi dan Manajemen Resiko). Berikut grafik pertumbuhan jumlah perusahaan Fintech di
dunia tahun 2018-2020:
Grafik 1
Pertumbuhan Jumlah
Perusahaan Fintech di Dunia Tahun 2018-2020
Sumber:
www.statista.com (data per February 2020) yang teah diolah kembali oleh peneliti
Terlihat
dari grafik 1 bahwa industri Fintech dunia sangat berkembang dari tahun ke
tahun. Hal ini dilihat dari jumlah
perusahaan Fintech dunia yang terus
bertumbuh dari 2018 hingga 2020 bahkan pada tahun 2020 per Februari mencapai 20.925 perusahaan. Fintech
membawa inovasi baru ke layanan
keuangan tradisional dan dalam prosesnya dapat membantu menjangkau segmen populasi baru dan memungkinkan penyediaan produk dan layanan baru untuk pelanggan
yang sudah ada. Ekstensifikasi produk dilakukan Fintech secara cepat. Mengoptimalan fungsi internet of
things ini mendorong entitas jasa keuangan
yang masih tradisional bermigrasi ke technology atau
Fintech. Sehingga dapat bersaing dengan Fintech yang sudah ada. Dengan
demikian, pertumbuhan jumlah perushaan Fintech dunia
pun bertumbuh dari tahun ke tahun.
Berdasarkan
data dari 6 Negara yang termasuk
dalam anggota ASEAN, jumlah perusahaan Fintech pada 6
Negara ASEAN didominasi oleh perusahaan
Fintech yang berasal dari
Singapore, Indonesia dan Malaysia. Jumlah perusahaan Fintech dari 6 Negara
ASEAN (Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam) adalah sebanyak 1228 Perusahaan.
Indonesia menduduki posisi kedua negara dengan jumlah Fintech tertinggi di ASEAN
yaitu sebesar 20% atau 246 perusahaan Fintech per
September 2017. Berikut gambar
terkait jumlah Fintech di
ASEAN:
Gambar 2
Jumlah Perusahaan Fintech di ASEAN
Sumber: State of Fintech
in ASEAN dari www.uobgroup.com (data up to September
2017)
Salah satu produk dari Fintech yang sedang marak digunakan
pengguna internet di dunia adalah
Dompet Elektronik. Dompet Elektronik ini merupakan inovasi
pada instrumen pembayaran secara elektronik yang semula dalam bentuk
kartu debit atau kartu kredit, kemudian
berinovasi menjadi bentuk yang lebih praktis. Dalam berbagai literatur, istilah Dompet Elektronik dikenal sebagai dompet elektronik atau electronic wallet
atau e-wallet. Menurut (Muamar, Samsudin, & Fitriyah, 2020) dompet
elektronik atau electronic
wallet atau e-wallet ialah virtual product yang berfungsi
layaknya dompet di saku celana yang dapat digunakan untuk menyimpan kartu debit, uang tunai, dan uang
elektronik. E-wallet dapat menyimpan data keuangan secara digital (uang elektronik, kartu kredit, dan kartu debit) yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran.
Menurut (Armstrong, Kotler,
Merino, Pintado, & Juan, 2011) dalam (Muiz, Rachma, &
Slamet, 2019) sales
promotion bertujuan untuk mendorong adanya penjualan dan pembelian suatu produk dalam jangka
pendek. Pemberian promosi bertujuan untuk mengajak para konsumen untuk bisa menggunakan barang dan jasa, promosi mencakup iklan, penjualan personal, promosi penjualan, hubungan masyarakat, dan pemasaran secara langsung (Gabrielli et al., 2017).
Dengan adanya promosi yang dilakukan akan berpengaruh terhadap emosi positif konsumen dan berpengaruh terhadap adanya pembelian implusit (Alfarizi, Rachma, &
Hufron, 2019).
Adanya promosi yang dilakukan platfrom melalui iklan ataupun
dengan adanya potongan harga melalui media online
atau offlineberpengaruh terhadap kepuasan pelanggandan keputusan untuk menggunakan kembali aplikasi (Adriany, 2018).
Banyak Fintech yang menggunakan cashback sebagai media promosinya, seperti Shopeepay, Ovo cash, Go pay, Dana dan lain sebagainya. Saat ini setidaknya ada 51 perusahaan Fintech yeng telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia sebagai penyelenggara uang elektronik per 27 Mei 2020.
Cashback
berbeda dengan diskon. Diskon akan memotong harga
barang dan jasa yang akan dibayarkan konsumen. Sedangkan cashback akan diberikan dalam bentuk tambahan saldo atau poin
yang dapat ditarik atau dipergunakan untuk pembelanjaan selanjutnya tanpa memotong harga pembelian barang dan jasa bagi konsumen.
Jika kita lihat dari segi penghasilan,
diskon mengurangi harga barang dam jasa, dengan demikian
pengeluaran atau pembelanjaan konsumen lebih sedikit. Sementara cashback
memberikan konsumen tambahan uang atau kemampuan untuk mendapatkan barang dan jasa dalam transaksi
selanjutnya. Singkatnya, diskon adalah penghematan
bagi konsumen sedangkan cashback
tambahan kemampuan bagi konsumen.
Mengacu
pada Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang intinya menyebutkan bahwa penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima suatu pihak, yang berasal dari manapun, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau menambah kekayaan suatu pihak, dengan
bentuk apapun. Dengan demikian, seharusnya cashback
merupakan objek Pajak Penghasilan karena merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi penerima
cashback yaitu
konsumen. Ini sejalan dengan konsep penghasilan, yaitu the accretion
concept dari Schanz,
Haig, dan Simon (SHS) dinyatakan bahwa
istilah penghasilan dalam lingkup perpajakan
seharusnya tidak melihat sumber dan tidak membedakan pemakaiannya, namun lebih menitikberatkan kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai
barang dan jasa (Darussalam
dkk, 2020). Untuk itu harus ada
kebijakan pajak yang spesifik yang menegaskan bahwa cashback merupakan objek pajak penghasilan yang harus dipotong oleh perusahaa Fintech. Sehingga Pajak penghasilan yang menjadi tulang punggung penerimaan pajak di Indonesia dapat terhimpun dengan optimal.
Isu
perpajakan yang timbul dikarenakan belum adanya kebijakan pajak yang spesifik dan jelas yang menegaskan mengenai implikasi PPh atas cashback pada Dompet Elektronik.
Pada UU PPh di Indonesia, diatur
mengenai kewajiban untuk memotong Penghasilan yang diterima oleh lawan transaksi. Hal ini didukung oleh peraturan pelaksana yaitu SE-24/PJ/2018 (Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak) yang menyebutkan bahwa bonus yang diberikan penjual kepada pembeli sehubungan dengan pembelian dengan jumlah tertentu
dikategorikan sebagai imbalan atas jasa
manajemen yang harus dipotong PPh oleh penjual. Namun, terdapat peraturan pelaksana yang mengatur lain yaitu bahwa hadiah
langsung sehubungan dengan penjualan barang atau jasa
selama diberikan kepada semua pembeli
tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima pada saat pembelian barang atau jasa tidak
dilakukan pemotongan PPh oleh penjual (PER -
11/PJ/2015 (Peraturan Direktur
Jenderal Pajak). Ketidakselarasan ini memungkinkan timbulnya ketidakjelasan dan ketidakpastian
bagi pelaku industri Fintech khususnya bidang Dompet Elektronik.
Ketidakjelasan dan ketidakpastian
hukum ini dapat bermuara pada tidak optimalnya penerimaan pajak pada kategori pajak penghasilan di sisi otoritas pajak. Kemudian di sisi wajib pajak, ketidakjelasan
dan ketidakpastian hukum ini dapat berujung
pada cost of compliance atau cost of dispute
yang tinggi sehingga bukan tidak mungkin
industri fintech ini mati sebelum berkembang.
Metode Penelitian
Penelitian
ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang berlandaskan fenomenologi dan paradigma konstruktivisme di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (Ikbar,
2012). Lebih lanjut, Moleong dalam Ikbar mengemukakan
bahwa pendekatan kualitatif memiliki sebelas karakteristik, yaitu diantaranya penggunaan latar alamiah, penggunaan manusia sebagai instrumen utama, menggunakan metode kualitatif (pengamatan, wawancara, atau studi dokumen), menganalisis secara induktif, menyusun teori dari bawah
ke atas (grounded theory), menganalisis
secara deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, pembatasan penelitian berdasarkan fokus, dan lain sebagainya.
Jenis penelitian ini termasuk ke dalam
kelompok penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriptif analitis digunakan untuk melakukan penelitian terhadap status sosial sekelompok manusia, objek tertentu, dan pemikiran yang terjadi pada peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian adalah menggambarkan atau mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat berdasarkan fakta, sifat dan hubungan antara peristiwa yang akan diteliti.
Hasil dan Pembahasan
A. Administrasi Pajak
Penghasilan Atas Cashback
Pada Industri Fintech Dompet Elektronik
Pada
penelitian ini, peneliti melakukan penelitian terhadap 3 Fintech yang
memiliki nama besar di Indonesia dan memiliki investasi yang besar yaitu PT. X, PT. Y sebagai Fintech
Dompet Elektronik atau e-wallet dan PT. Z sebagai
Fintech Uang Elektronik atau
e-money. Pada proses pengenalan ketiga
Fintech ini, perusahaan
Fintech PT. X, PT. Y dan PT. Z menggunakan cashback untuk
membangun kesadaran merek dan produk dibenak konsumen. Penanaman awareness
kepada konsumen ini dilakukan untuk
mendorong konsumen baru untuk mendownload
aplikasi Fintech PT. X, PT. Y dan PT. Z dan melakukan transaksi melalui aplikasi Fintech PT. X,
PT. Y dan PT. Z.
Analisis ketentuan pajak penghasilan atas cashback pada industri
Fintech Dompet Elektronik akan ditinjau dari
dua sudut, yakni dari withholding tax atau pemotongan
pajak bulanan dan dari fiscal expense
atau biaya fiskal pada PPh Badan atau pemungutan pajak tahunan.
B.
Withholding tax atau
Pemotongan Pajak Bulanan
Untuk menganalisis ketentuan pajak penghasilan atas cashback
pada industri Fintech Dompet
Elektronik, akan lebih tepat apabila
ditelaah terlebih dahulu apakah cashback pada industri
Fintech dapat dikategorikan
sebagai penghasilan menurut perspektif pajak. Singkatnya, SHS dalam (Gunadi, 2013) menyimpulkan
bahwa penghasilan sebagai nilai pasar dari konsumsi ditambah
perubahan nilai kekayaan awal dan akhir periode. Simpulan ini dikenal
sebagai SHS income concept, accretion concept, atau comprehensive income concept, yang banyak
diikuti dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Menurut (Gunadi, 2013),
UU PPh merumuskan definisi penghasilan secara: (1) konseptual yang luas komprehensif berdasarkan konsep pertambahan atau accretion
concept, dan sekaligus merujuk
pada beberapa unsur penghasilan, yaitu (a) konsep, (b) pengakuan, (c) sumber, (d) pemanfaatan, dan (e) substansi, dan (2) ilustratif operasional (ilustrasi beberapa contoh konkrit tanpa membatasi
bentuk atau kategori penghasilan yang dapat lebih banyak
dari yang disebut mulai dengan huruf
a sampai dengan s agar lebih mudah dalam
pelaksanaan administrasi pengenaan dan pemungutan). Pada
UU PPh penghasilan diartikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau menambah kekayaan Wajib Pajak, dengan nama
dan dalam bentuk apapun. Jika frasa ‘tambahan kemampuan ekonomis’ menunjukkan konsep penghasilan UU PPh, frasa ‘diterima
atau diperoleh’ merujuk pada pengakuan penghasilan untuk pemajakan, frasa ‘baik berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia’ merajuk pada sumber penghasilan dan cakupan geografis pemajakan Indonesia (worldwide basis), frasa
‘dapat dipakai untuk konsumsi dan menambah kekayaan’ merujuk pada pemanfaatan penghasilan dan konsep penghasilan SHS (konsumsi dan tambahan kekayaan), dan frasa ‘dengan nama
dan bentuk apapun’ mempertegas substansi penghasilan tanpa memperhatikan bentuk formalnya (substance over form rule).
Dengan demikian sehubungan dengan cashback yang diterima
oleh pengguna aplikasi
Fintech PT. I, PT. K dan PT. W, dapat diartikan bahwa cashback merupakan penghasilan dalam perspektif pajak bagi pengguna
aplikasi Fintech PT. I, PT. K dan PT. W karena memperoleh tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis ini dapat dilihat
dari karakteristik cashback
yaitu tambahan saldo atau point dari Fintech Uang Elektronik atau Fintech Dompet Elektronik yang dapat dipergunakan untuk konsumsi selanjutnya. Jika kita bedah definisi
penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan mengaitkannya kepada transaksi cashback yang diterima oleh pengguna aplikasi Fintech, maka yang menjadi tambahan kemampuan ekonomis adalah cashback itu sendiri, kemudian pihak yang menerima atau memperoleh adalah pengguna aplikasi Fintech, lalu sumber penghasilannya berasal dari Indonesia, frasa dapat dipakai untuk
konsumsi dan menambah kekayaan ini mengacu
pada penggunaan cashback yang dapat
digunakan pada transaksi selanjutnya, terakhir frasa dengan nama
dan bentuk apapun ini mengacu pada bentuk cashback yang beragam yaitu berupa uang tunai, non tunai, point dan lain sebagainya.
Jika
cashback merupakan penghasilan
dalam perspektif pajak maka pertanyaan
selanjutnya yang timbul adalah apakah atas
cashback ini terutang pajak penghasilan mengingat tidak semua penghasilan terutang pajak penghasilan. Hal ini tercermin dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang mengatur tentang penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana ketentuan pajak penghasilan atas cashback pada industri teknologi keuangan Dompet Elektronik ini apakah dengan
mekanisme pot-put atau withholding
tax atau hanya perlu dilaporkan saja pada SPT Tahunan penerima cashback.
Saat ini, belum ada
kebijakan pajak yang spesifik dan jelas yang menegaskan mengenai ketentuan PPh atas
cashback khususnya
cashback pada Fintech Uang Elektronik dan Fintech Dompet Elektronik. Sehingga analisis implikasi PPh atas cashback mengacu pada ketentuan
umum peraturan perpajakan yang berlaku. Implikasinya, secara administrasi pajak, kondisi ini tidak
memberikan kejelasan bagi Wajib Pajak. Ketidakjelasan
timbul sehubungan
dengan belum adanya legal
certainty atau kepastian
hukum terkait implikasi pajak penghasilan atas cashback karena
belum ada aturan yang secara khusus mengatur cashback, maka
ketentuan yang dapat digunakan adalah ketentuan umum yaitu kententuan terdekat yang dapat digunakan yakni ketentuan tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan yang diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2015 (PER
11/2015) dan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE - 24/PJ/2018 (SE 24/2018).
Withholding tax adalah suatu sistem pemungutan
yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak
yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Secara
konseptual, withholding
tax adalah mekanisme pemotongan-pemungutan pajak yang ditujukan untuk mengamankan penerimaan negara khususnya penerimaan pajak dengan cara efisen
dan efektif bagi pemerintah. Martinez-Vazquez dalam
Darussalam, Septriadi dan Dhora
(2020:463) mengemukakan bahwa
mekanisme withholding
tax secara otomatis menutup celah adanya
pelanggaran yang dilakukan wajib pajak secara
signifikan.
Mekanisme pemotongan-pemungutan pajak ini dinilai efektif
pada sisi pemerintah selaku pemungut pajak karena dapat
mengurangi biaya pemungutan PPh. Hal ini didukung dengan
bukti empiris yang pada beberapa penelitian yang disampaikan oleh Dušek dan Bagchi bahwa mekanisme
pemotongan-pemungutan pajak
dapat meningkatkan efisiensi pemerintah. Selain itu, pada mekanisme pemotongan-pemungutan pajak, cash flow yang masuk
ke pemerintah diterima lebih cepat karena mekanisme
withholding tax cenderung
bersifat monthly
bukan yearly.
Dengan demikian, dapat membantu pemerintah dalam pengelolaan anggaran.
Di
sisi pihak ketiga (bukan fiskus
dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan), mekanisme ini dianggap
kompleks dan membebani arus kas pihak ketiga serta menimbulkan
biaya administrasi terkait pemenuhan tax compliance wajib
pajak. Sehingga pada sisi pemotong atau
pemungut pajak mekanisme ini menimbulkan
beban tambahan bagi perusahaan.
Kemudian, terdapat kondisi bahwa pemotong
atau pemungut pajak ini akan
menanggung sanksi administrasi jika terjadi kekeliruan ataupun keterlambatan dalam pemotongan atau pemungutan pajak.
Mengacu
pada ketentuan PER 11/2015 dan SE 24/2018, cashback
yang diterima oleh pengguna
Fintech bukan merupakan objek withholding tax, tetapi objek pajak yang harus dilaporkan pada SPT Tahunan. Dengan demikian, penerimaan negara pada aktivitas cashback pada Fintech ini
akan diterima secara yearly. Disisi pemotong atau pemungut
pajak yaitu perusahaan Fintech, kondisi ini efektif karena
perusahaan Fintech tidak terbebani biaya administrasi pemenuhan tax
compliance. Hal ini dapat mendorong perusahaan Fintech untuk berkembang secara optimal dan mencapai break even point yang lebih cepat.
Pada
Pasal 4 ayat (1) PER
11/2015 diatur bahwa hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa
sepanjang diberikan kepada semua pembeli
atau konsumen akhir tanpa diundi
dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa
tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan. Kemudian pada Pasal 4 ayat (2) PER 11/2015 disebutkan bahwa hadiah tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan yang wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Wajib
Pajak yang bersangkutan. Dengan demikian, pelaku usaha Fintech tidak perlu melakukan
pemotongan penghasilan atas pajak penghasilan
atas cashback yang diberikan
kepada penerima cashback.
Karena cashback diberikan kepada
semua pembeli atau konsumen akhir
tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
Selain ketentuan yang diatur dalam PER-11/PJ/2015, ketentuan terdekat setelah PER-11/PJ/2015
yang banyak dijadikan acuan di lapangan adalah ketentuan tentang Perlakuan Perpajakan atas Imbalan yang Diterima Oleh Pembeli Sehubungan dengan Kondisi Tertentu dalam Transaksi Jual Beli yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 24/PJ/2018 (SE
24/2018). SE 24/2018 ini mengatur
terkait pemajakan atas imbalan yang diperoleh dalam kegiatan jual beli
pada kondisi tertentu. Pada
bagian E angka 3 SE 24/2018
ini mengatur terkait imbalan yang diterima atau diperoleh
Pembeli sehubungan dengan pembelian oleh Pembeli mencapai jumlah tertentu. Imbalan dapat berupa
uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban. Imbalan ini dikategorikan
sebagai penghargaan. Penghargaan yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghargaan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:
•
PPh Pasal 21 dalam hal penerima
penghargaan adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;
•
PPh Pasal 23 dalam hal penerima
penghargaan adalah Wajib Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau
Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di
Indonesia, atau kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghargaan
yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;
•
PPh Pasal 26 dalam hal penerima
penghargaan adalah Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha
tetap di Indonesia, atau kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal
penghargaan yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh.
Terkait ketentuan SE 24/2018 tersebut, hubungannya dengan perusahaan Fintech Dompet Elektronik bahwa terdapat potensi Fintech Dompet Elektronik harus melakukan pemotongan pajak penghasilan atas cashback yang diberikan kepada pengguna Fintech Dompet Elektronik. Karena memang cashback
diberikan kepada semua pembeli atau
konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa,
tetapi pemberian cashback ini dilakukan jika
konsumen akhir melakukan transaksi pada jumlah tertentu. Sehingga bisa jadi
tidak semua konsumen akhir mendapatkan cashback dari Fintech
Dompet Elektronik ini tetapi hanya
konsumen akhir yang bertransaksi dalam jumlah tertentu yang mendapatkan cashback dari Fintech
Dompet Elektronik tersebut. Selain itu, terdapat kondisi
bahwa cashback juga dapat diberikan dalam keadaan tertentu yaitu hanya diberikan
kepada sebagian konsumen akhir dan untuk merchant/rekanan tertentu. Dengan demikian, tidak semua konsumen akhir mendapatkan cashback dari Fintech Dompet Elektronik ini tetapi hanya konsumen
akhir yang terpilih saja yang mendapatkan cashback.
Dengan demikian adanya PER 11/2015 dan
SE 24/2018 ini menyebabkan timbulnya dispute pada industri
Fintech khususnya Dompet Elektronik. Cashback yang diberikan
sehubungan dengan transaksi melalui aplikasi Fintech Uang Elektronik
dan Fintech Dompet Elektronik
ini terdiri dari tiga kondisi.
Kondisi pertama cashback
yang diterima ketika harus memenuhi syarat tertentu, kondisi kedua cashback diterima tanpa harus memenuhi syarat tertentu, dan kondisi terakhir cashback diberikan pada sebagaian konsumen akhir. Contoh untuk kondisi
pertama, pengguna aplikasi Fintech akan mendapatkan cashback sebesar 30% jika melakukan transaksi pada merchant rekanan
Fintech PT. I dengan syarat
minimum pembelian sebesar
Rp 50.000 dan melakukan pembayaran
melalui aplikasi Fintech
PT. I. Jika pengguna aplikasi
Fintech tidak memenuhi syarat minimum pembelian sebesar Rp 50.000, maka tidak ada cashback yang akan pengguna dapatkan.
Contoh untuk kondisi kedua, pengguna aplikasi Fintech akan mendapatkan cashback sebesar 30% jika melakukan transaksi pada merchant/rekanan Fintech PT. I tanpa syarat minimum pembelian dan melakukan pembayaran melalui aplikasi Fintech PT. I. Sehigga pada kondisi kedua ini semua
pengguna aplikasi Fintech
PT. I akan mendapatkan cashback
dengan jumlah transaksi berapapun, artinya tidak ada
syarat yang harus dipenuhi agar mendapatkan cashback
tersebut. Contoh kondisi ketiga, pengguna aplikasi Fintech akan mendapatkan cashback sebesar 30% jika terpilih sebagai pengguna yang diberikan cashback
oleh Fintech dan melakukan transaksi
pada merchant rekanan Fintech PT. I dengan syarat minimum pembelian sebesar Rp 50.000 serta melakukan pembayaran melalui aplikasi Fintech PT. I. Jika pengguna
aplikasi Fintech bukan pengguna terpilih dan tidak memenuhi syarat minimum pembelian sebesar Rp 50.000, maka tidak ada cashback yang akan pengguna dapatkan.
Cashback
yang diberikan pada kondisi
kedua ini tidak menimbulkan dispute baik mangacu pada ketentuan PER 11/2015 maupun ketentuan SE 24/2018. Namun cashback
yang diberikan pada kondisi
pertama dan kondisi ketiga ini yang menimbulkan dispute di lapangan. Pemberian cashback kondisi pertama ini adalah
kondisi yang paling banyak diterapkan Fintech Uang Elektronik
dan Fintech Dompet Elektronik
di Indonesia. Sedangkan kondisi
ketiga diterapkan oleh
Fintech pada occasion tertentu biasanya
untuk pengguna lama yang cenderung tidak aktif dalam beberapa
waktu, tujuannya agar pengguna lama tersebut dapat kembali aktif.
Cashback kondisi pertama
dan kondisi ketiga ini tidak termasuk
dalam ketentuan Pasal 3 PER 11/2015 yang mengatur
bahwa atas hadiah atau penghargaan
perlombaan, hadiah sehubungan kegiatan, dan penghargaan dikenakan Pajak penghasilan dengan mekanisme pemotongan-pemungutan atau withholding
tax. Karena cashback bukan hadiah
yang didapat dari perlombaan atau kegiatan. Namun, cashback kondisi pertama dan ketiga ini mungkin
masuk dalam ketentuan bagian E angka 3 SE 24/2018 yang mengatur terkait imbalan yang diterima atau diperoleh
Pembeli sehubungan dengan pembelian oleh Pembeli mencapai jumlah tertentu. Imbalan dapat berupa
uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban. Imbalan ini dikategorikan
sebagai penghargaan. Penghargaan yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghargaan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan pajak atau withholding tax atas imbalan ini.
Melihat ketentuan bagian E angka 3 SE 24/2018, pada sisi otoritas pajak akan cenderung manganggap bahwa cashback merupakan penghasilan yang harus dipotong oleh pemberi cashback. Namun perlu ditekankan bahwa Surat Edaran merupakan suatu perintah pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya. Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat
yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan Surat Edaran. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlukan dasar hukum karena
Surat Edaran merupakan suatu peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas. Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa
pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana
norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena
itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan
dasar hukum. Sehingga sebenarnya SE 24/2018 ini tidak dapat
menjadi dasar hukum bagi otoritas
pajak untuk manganggap bahwa cashback merupakan penghasilan yang harus dipotong oleh pemberi cashback. Selain itu, hal yang sebenarnya
dimuat di SE 24/2018 ini adalah perlakuan pajak atas imbalan
sehubungan dengan transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli dengan status pembeli merupakan distributor, agen, dan retailer. Hal ini diperkuat dengan lampiran SE 24/2018 yang memberikan
contoh kasus transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli dengan status pembeli merupakan distributor, agen, dan retailer. Jika memang cashback
pun dipaksakan dianggap sebagai imbalan sehubungan dengan pembelian dengan jumlah tertentu sehingga memenuhi syarat tertentu, namun pembeli yang menerima cashback ini bukan merupakan distributor, agen, dan retailer akan tetapi pembeli yang menerima cashback ini adalah end customer atau konsumen akhir. Dengan demikian mengacu pada ketentuan PER
11/2015 dan SE 24/2018 cashback bukan merupakan penghasilan yang harus dipotong oleh pemberi cashback. Penghasilan cashback
ini hanya perlu dilaporkan pada SPT Tahunan penerima cashback sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku.
C. Fiscal Expense Pada
PPh Badan
Cashback
yang diberikan oleh pelaku
Fintech kepada penggunanya,
umumnya akan dicatat pada beban promosi. Cashback
merupakan salah satu sales promotion. Menurut (Armstrong et al., 2011) dalam (Muiz et al., 2019),
sales promotion bertujuan
untuk mendorong adanya penjualan dan pembelian suatu produk dalam jangka
pendek. Pemberian promosi bertujuan untuk mengajak para konsumen untuk bisa menggunakan barang dan jasa, promosi mencakup iklan, penjualan personal, promosi penjualan, hubungan masyarakat, dan pemasaran secara langsung (Dianti, 2017). Dengan adanya promosi
yang dilakukan akan berpengaruh terhadap emosi positif konsumen
dan berpengaruh terhadap pembelian implusif (Alfarizi et al., 2019).
Adanya promosi yang dilakukan platfrom melalui iklan ataupun
dengan adanya potongan harga melalui media online
atau offline berpengaruh terhadap kepuasan pelanggandan keputusan untuk menggunakan kembali aplikasi (Adriany, 2018).
Cashback
yang berfungsi sebagai penetration market ini
diharapkan dapat menumbuhkan awareness
masyarakat terhadap produk dan aplikasi yang dimiliki pelaku Fintech. Kegiatan pemberian cashback yang tergolong
kegiatan promosi ini termasuk dalam
kegiatan sehubungan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau dikenal dengan istilah 3M sesuai Pasal 6 UU PPh. Sehingga singkatnya cashback ini dapat menjadi biaya
pengurang penghasilan bruto pada SPT Badan pelaku
Fintech Dompet Elektronik
dan Uang Elektronik ini. Kemudian biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto ini diatur lebih
lanjut pada Peraturan
Menteri Keuangan yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010 Tentang Biaya Promosi yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (PMK 2/2010). Mengacu pada
PMK 2/2010, terdapat 2 poin
penting yang perlu diperhatikan. Pertama, biaya promosi yang dapat dijadikan biaya pengurang penghasilan bruto secara fiskal harus
merupakan (a) biaya periklanan di media elektronik,
media cetak, dan/atau media
lainnya; (b) biaya pameran produk; (c) biaya pengenalan produk baru;dan/atau (d) biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk. Kedua, pelaku Fintech harus membuat daftar nominatif atas pengeluaran biaya promosi tersebut agar biaya promosi dapat
dijadikan biaya pengurang penghasilan bruto pada SPT Badan pelaku
Fintech. Daftar nominatif ini
paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, Nomor
Pokok Wajib Pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya
biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong. Adapun
format daftar nominatif ini
ditetapkan dalam Lampiran
PMK 2/2010 yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari PMK 2/2010 ini. Berikut format daftar nominatif
yang ada pada Lampiran PMK 2/2010:
Gambar 3
Format
Daftar Nominatif Biaya Promosi
Sumber: PMK Nomor 02/PMK.03/2010
Industri
Fintech memenuhi poin 1 di atas namun mungkin
tidak dapat memenuhi poin 2 di atas. Isu pajak
yang timbul atas biaya promosi ini
adalah terkait kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen yang perlu dijaga oleh pelaku Fintech sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 Tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran (PBI
16/1/PBI/2014). Mengacu pada Pasal
14 PBI 16/1/PBI/2014 yang mengatur bahwa Penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan
data dan/atau informasi Konsumen. Dalam rangka menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi Konsumen, Penyelenggara wajib memiliki dan melaksanakan kebijakan perlindungan data dan/atau informasi Konsumen. Kemudian pada Pasal 15 PBI 16/1/PBI/2014 mengatur
bahwa Penyelenggara dilarang memberikan data dan/atau informasi Konsumen kepada pihak lain.
Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia di atas,
pelaku Fintech akhirnya tidak dapat membuat
daftar nominatif secara formalitas sesuai dengan PMK 2/2010 dengan alasan menjaga kerahasiaan data pengguna. Pada
daftar nominatif, pelaku
Fintech tidak dapat melengkapi data berupa NPWP karena memang pada aplikasi Fintech tidak ada pilihan atau
menu untuk memasukkan data
NPWP. Kemudian, pelaku
Fintech juga tidak dapat memasukkan nama pengguna dengan alasan kerahasiaan data pengguna yang harus dijaga. Dengan demikian, isu pajak
yang mungkin timbul adalah daftar nominatif dianggap tidak lengkap atau tidak
sesuai dengan formalitas yang disyaratkan pada
PMK 2/2010 dan tidak dapat dibiayakan secara fiskal.
Di
lapangan, pelaku Fintech kesulitan untuk mendapatkan data berupa NPWP pengguna. Hal ini disebabkan karena pelaku Fintech belum menyediakan feature
untuk pengisian NPWP pengguna. Belum adanya feature untuk pengisian NPWP pengguna ini dilatarbelakangi dari psikologis pengguna yang ingin proses pendaftaran akun aplikasi Fintech dilakukan dengan mudah dan ringkas. Selain itu, secara psikologis,
pengguna aplikasi Fintech sensitif untuk membagikan data pribadinya terlebih data perpajakan. Bagi pengguna aplikasi
Fintech, data perpajakan NPWP sangat
sensitif, mereka mengkhawatirkan bahwa akan ada implikasi
pajak atas pemberian data tersebut atau merasa akan
ada kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi di masa yang akan datang. Alhasil, bisa saja pengguna
aplikasi justru malah tidak jadi
untuk mendaftarkan diri pada aplikasi Fintech tersebut. Kemudian pada akhirnya data NPWP ini mendistorsi keinginan pengguna untuk menggunakan aplikasi Fintech. Hal
ini bertentangan dengan salah satu asas ease of
administration yakni economy.
Bagi pelaku Fintech, permintaan data perpajakan berupa NPWP kepada pengguna aplikasi Fintech merupakan langkah yang cukup dilematis. Hal yang paling dikhawatirkan
adalah mengganggu atau menghambat proses bisnis. Sehingga bisnis tidak dapat
berkembang dengan optimal.
Karena permintaan data perpajakan
berupa NPWP ini dapat menjadi boomerang terhadap
bisnis Fintech yaitu pengguna tidak jadi menggunakan aplikasi Fintech tersebut. Terlepas dari kelengkapan
berupa NPWP, pelaku Fintech
juga masih terbentur dengan aturan BI yang dijelaskan di atas tentang kerahasiaan data pengguna. Dalam benturan ketentuan pajak dan ketentuan BI ini, pelaku Fintech ini cenderung mengacu
pada ketentuan BI sebagai
regulator industri Fintech dan sebagai
pemberi izin bisnis industri Fintech. Karena jika tidak memenuhi
ketentuan BI ini yaitu ketentuan PBI
16/1/PBI/2014, maka pelaku
Fintech dikenakan sanksi, sanksi tertinggi adalah pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan jasa Sistem
Pembayaran sesuai dengan Pasal 29 PBI 16/1/PBI/2014. Jika pencabutan
izin ini dilakukan maka bisnis pelaku Fintech ini akan terhenti
dan dapat bermuara pada matinya industri Fintech ini. Alhasil, pelaku
Fintech tidak dapat memberikan data yang transparent
terkait daftar penerima cashback. Sehingga
pelaku Fintech dalam perlaporan daftar nominatif sehubungan dengan biaya promosi terkait
pemberian cashback
hanya memberikan data unik berupa user id. Secara fomalitas,
hal ini mungkin
menjadi dispute
dikemudian hari. Namun secara substansi
sebenarnya biaya yang dikeluarkan oleh pelaku Fintech ini adalah biaya
yang benar benar terjadi dan bukan biaya fiktif. Dispute ini sebenarnya dapat diselesaikan di tahap pemeriksaan dengan cara pelaku Fintech memberikan data
transparent pada saat pemeriksaan
kepada pemeriksa pajak sesuai dengan
Pasal 29 ayat (4) UU KUP
yang menyebutkan bahwa dalam hal Wajib
Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta
keterangan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan pajak. Namun, bisa saja
dispute pajak
terkait biaya promosi tetep terjadi
dan tidak terselesaikan dalam tahap pemeriksaan
karena dari sisi pemeriksa pajak melihat bahwa
seharusnya pelaku Fintech ini menyampaikan daftar nominatif yang memenuhi formalitas dan substantif sesuai dengan PMK 2/2010 pada saat pemenuhan kewajiban perpajakan yaitu pada saat SPT Badan disampaikan ke kantor pajak tempat
pelaku Fintech terdaftar. Untuk itu sebenarnya
harus ada aturan khusus terkait
pelaporan biaya promosi untuk industri
Fintech ini yang dapat mengakomodir ketentuan pajak dan ketentuan BI selaku regulator dari industri Fintech. Jika tidak ada aturan khusus,
dikhawatirkan terdapat cost
of dispute yang harus dikeluarkan
industri Fintech ini untuk membuktikan bahwa biaya promosi
adalah biaya yang benar-benar terjadi pada proses hukum setelah pemeriksaan
pajak. Hal ini dapat menambah biaya pada industri Fintech yang
mana pada awal berdirinya industri ini mereka
masih menanggung biaya yang sangat besar pada pos biaya cashback. Dengan
demikian cost
of dispute ini akan menghambat industri Fintech dalam berkembang bahkan tidak menutup
kemungkinan dapat mematikan industri Fintech ini.
D. Administrasi Pajak Penghasilan yang Dapat
Diterapkan atas Cashback
Pada Industri Fintech Dompet Elektronik
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa cashback bukan merupakan penghasilan yang harus dipotong oleh pemberi cashback. Namun
memang cashback
ini memberikan ruang untuk tax dispute karena biaya
yang dikeluarkan Fintech ini
sangat fantastis yaitu sebesar ratusan
miliar hingga 1,5 Trilyun per tahun. Berdasarkan wawancara mendalam dengan pelaku Fintech, biaya yang dikeluarkan untuk cashback ini merupakan biaya terbesar pada awal-awal Fintech ini berdiri. Di sisi SPT Badan, perusahaan yang baru berdiri pasti
tidak membayar PPh Badannya karena
perusahaan dalam kondisi rugi. Hal ini juga yang dialami oleh
Fintech pada penelitian ini,
Fintech PT. X, PT. Y dan PT. Z masih dalam keadaan rugi
sehingga tidak membayar PPh Badan. Dengan demikian, potensi revenue
productivity dari industri
yang sedang berkembang pesat ini pun sepertinya
hanya harapan kosong.
Pada
sisi otoritas pajak sebagai penghimpun
pajak, otoritas pajak cenderung menginginkan adanya pemasukan pajak pada industri Fintech ini. Jika tidak ada pemasukan
pajak dari pos PPh Badan, otoritas pajak mengharapkan adanya penerimaan pajak dari pos PPh Pot-Put atau withholding tax. Sehingga
ada kontribusi pajak yang menjadi penerimaan pajak dari industri Fintech ini. Namun berbanding
terbalik pada sisi pelaku Fintech Dompet Elektronik dan Fintech Uang Elektronik
yang mengharapkan cashback
bukan objek PPh Pot-Put atau withholding tax. Karena pada awal-awal berdirinya Fintech ini, pelaku Fintech sudah terbebani biaya cashback
yang besar. Jika dibebani dengan cost of
compliance atau cost of tax collection karena harus memotong PPh atas cashback, maka akan
sangat menyulitkan dan membebani pelaku Fintech tersebut mengingat transaksi cashback
sangat massif atau tinggi. Kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah industri Fintech ini mati sebelum dapat
berkembang secara optimal.
Hal serupa dikemukakan oleh
Badan Kebijakan Fiskal
(BKF) yang menyampaikan bahwa
terhadap cashback
ini tidak perlu dilakukan pemotongan pajak agar tidak menyulitkan pelaku Fintech. Namun, BKF hanya menyarankan adanya perjanjian untuk memberikan data kepada DJP oleh Fintech terkait pemberian cashback
tersebut.
Pada
sisi Direktorat Jenderal Perpajakan sampai saat ini
belum ada rencana untuk melakukan
peraturan khusus yang mengatur terkait pengenaan atau pemotongan PPh atas cashback.
Adapun pihak Direktorat Jenderal Perpajakan masih memperlajari dan mengkaji skema cashback dan jenis-jenis
cashback yang ada.
Menurut (Mansury, 1999) kebijakan pajak atau kebijakan perpajakan ialah kebijakan yang berkenaan dengan penentuan subjek pajak, objek
pajak, dasar pengenaan pajak, dan tata cara menghitung pajak terutang serta tata cara pembayaran pajak terhutang. Sedangkan menurut (Salamun, 1991) kebijakan perpajakan adalah penentuan alternatif subjek pajak, objek pajak,
tarif pajak dan prosedur pajak didasarkan pada sasaran yang ingin dicapai. Pilihan kebijakan atau policy option
yang menyangkut subjek pajak yakni mengenai
siapa saja yang akan dipajaki dan siapa saja yang akan dikecualikan atau tidak dipajaki.
Begitu pula dengan penentuan objek pajak, yaitu suatu
pilihan kebijakan tentang apa saja
yang akan dipajaki dan apa saja yang akan
dikecualikan atau tidak dipajaki. Sedangkan tax policy
option menyangkut tarif
pajak adalah tarif progresif, regresif atau tarif
yang bersifat flat yang akan
dipilih.
Unsur terakhir dari tax policy option adalah
pilihan administrasi perpajakan. Pilihan kebijakan dari sisi administrasi antara lain, penentuan Wajib Pajak yang wajib dan Wajib Pajak yang tidak wajib memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT), tanggal pelaporan, cara pemungutan pajak dengan withholding
tax atau membayar sendiri, sistem yang akan diterapkan sistem self assessment atau official assessment.
Salah
satu unsur dari tax policy
option adalah sistem pemungutan pajak. Di Indonesia sistem pemungutan pajak terdiri dari
self
assessment, official assessment dan withholding
tax. Self assessment merupakan suatu
sistem pemungutan yang memberi wewenang sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Menurut (Rosdiana, 2014) ,
dalam sistem ini fiskus hanya
berperan untuk mengawasi, seperti misalnya melakukan penelitian apakah Surat Pemberitahuan (SPT) telah diisi dengan lengkap
dan semua lampiran sudah disertakan, juga meneliti kebenaran penghitungan dan penelitian. Meskipun demikian, untuk mengetahui kebenaran (material) data yang ada
dalam SPT, fiskus akan melakukan pemeriksaan. Di Indonesia, Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan
Badan serta Pajak Pertambahan Nilai menggunakan sistem ini.
Kemudian, official assessment adalah suatu
sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Menurut (Rosdiana, 2014) dalam sistem official assessment,
fiskus yang berperan aktif dalam menghitung
dan menetapkan besarnya pajak yang terhutang. Berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan fiskus, Wajib Pajak
membayar pajak yang terhutang tersebut. Salah satu contoh penerapan
sistem ini di Indonesia, Pajak Bumi dan Bangunan karena besarnya pajak yang terhutang dihitung dan ditetapkan oleh fiskus melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).
Terakhir, withholding tax adalah
uatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak
yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Secara
konseptual, withholding
tax adalah mekanisme pemotongan-pemungutan pajak yang ditujukan untuk mengamankan penerimaan negara khususnya penerimaan pajak dengan cara
efisen dan efektif bagi pemerintah. Martinez-Vazquez
dalam Darussalam, Septriadi
dan Dhora (2020:463) mengemukakan
bahwa mekanisme withholding tax secara
otomatis menutup celah adanya pelanggaran
yang dilakukan wajib pajak secara signifikan.
Mekanisme pemotongan-pemungutan pajak ini dinilai efektif
pada sisi pemerintah selaku pemungut pajak karena dapat
mengurangi biaya pemungutan PPh. Hal ini didukung dengan
bukti empiris yang pada beberapa penelitian yang disampaikan oleh Dušek dan Bagchi bahwa mekanisme
pemotongan-pemungutan pajak
dapat meningkatkan efisiensi pemerintah. Selain itu, pada mekanisme pemotongan-pemungutan pajak, cash flow yang masuk ke pemerintah diterima
lebih cepat karena mekanisme withholding tax cenderung
bersifat monthly
bukan yearly.
Dengan demikian, dapat membantu pemerintah dalam pengelolaan anggaran.
Di
sisi pihak ketiga (bukan fiskus
dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan), mekanisme ini dianggap
kompleks dan membebani arus kas pihak ketiga serta menimbulkan
biaya administrasi terkait pemenuhan tax compliance wajib
pajak. Sehingga pada sisi pemotong atau
pemungut pajak mekanisme ini menimbulkan
beban tambahan bagi perusahaan. Kemudian, terdapat kondisi bahwa pemotong
atau pemungut pajak ini akan
menanggung sanksi administrasi jika terjadi kekeliruan ataupun keterlambatan dalam pemotongan atau pemungutan pajak.
Melihat dari sistem pemungutan
pajak di Indonesia yang terdiri
dari self assessment, official assessment dan withholding
tax. Sistem pemungutan withholding tax dinilai
paling cocok untuk diterapkan dalam aktivitas cashback
pada dompet elektronik. Kemudian,
konsep yang paling cocok diterapkan adalah schedular taxation, yakni
cashback yang dianggap
sebagai penghasilan ini dikenakan pajak
secara final dengan tarif tertentu. Pada sistem ini, cashback akan langsung
dipotong oleh pelaku
Fintech melalui withholding
tax dengan memotong jumlah persentase tertentu dari jumlah
cashback yang diberikan
pelaku Fintech kepada pengguna aplikasi Fintech untuk diteruskan ke kas negara. Konsep ini paling cocok mengingat transaksi cashback pada Dompet
Elektronik ini memiliki kuantitas jumlah transaksi yang sangat banyak dengan
kualitas transaksi yang relatif kecil, dan tidak terdapat kelengkapan administrasi berupa NPWP. Selain itu, withholding tax bersifat final paling pas diterapkan
sebab mengakomodir asas ease of
administration, yakni simplicity dalam pemungutan
pajak. Hal ini sejalan dengan pendapat hampir seluruh narasumber pada penelitian ini yang menuturkan bahwa model perpajakan final adalah model perpajakan yang dapat diterapkan pada industri Fintech ini menimbang dari
kuantitas dan kualitas transaksi, jenis penghasilan yang belum termasuk dalam jenis penghasilan pemotongan pajak umum, dan dari sisi penerima cashback yang sepertinya
sulit melaporkan penghasilan pada SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Di
sisi lain, jika sistem pemungutan self assessment diterapkan yakni pengguna aplikasi Fintech Dompet Elektronik dan Fintech
Uang Elektronik yang diwajibkan
untuk melaporkan cashback sebagai
penghasilan di SPT Tahunannya,
maka hal tersebut akan lebih
sulit direalisasikan, mengingat tidak semua pengguna aplikasi Fintech merupakan Wajib Pajak yang memiliki NPWP. Hal ini juga akan bertentangan dengan asas convenience, yang tidak memberikan kenyamanan terhadap Wajib Pajak, karena pengguna
aplikasi Fintech dituntut untuk mencatat secara rinci penghasilan
yang diterima atas setiap transaksi cashback. Pencatatan
tersebut rasanya sulit dilakukan mengingat cashback
akan terus habis karena digunakan
oleh pengguna aplikasi
Fintech pada setiap transaksi
selanjutnya.
Di
sisi pemerintah, jika sistem official assessment yang diterapkan maka akan bertentangan
dengan salah satu indikator asas ease of administration yaitu efficiency.
Pemungutan pajak atas cashback tidak akan efisien jika
dilakukan dengan sistem official
assessment karena jumlah
pajak yang akan terhimpun tidak sebanding dengan cost of collection yang dikeluarkan pemerintah mengingat jumlah cashback per transaksi relatif rendah.
Penerapan withholding tax system atas transaksi
cashback yang dihadapi
pemerintah dan perusahaan menuai kendala, yaitu belum adanya
automatic system pada aplikasi Fintech Uang Elektronik
dan Fintech Dompet Elektronik
yang dapat memotong pajak penghasilan atas cashback
yang diberikan perusahaan
Fintech kepada pengguna aplikasi Fintech. Belum adanya automatic system ini
menyebabkan potensi tax compliance yang tinggi
bagi pelaku Fintech, yaitu pelaku Fintech berpotensi menanggung pokok pajak atas
pajak penghasilan atas cashback ini; selain itu,
pelaku Fintech berpotensi memotong pajak atas transaksi cashback ini satu persatu sehingga
akan sangat banyak sekali bukti
potong yang harus dicetak. Kemudian bisa saja data yang ada pada pelaku Fintech dengan data yang ada di pengguna aplikasi Fintech berbeda karena tidak ada sistem
yang menjembatani antara pelaku Fintech dengan pengguna aplikasi Fintech. Sehingga bukan tidak mungkin ada
data yang dimanipulasi oleh pelaku
Fintech untuk mengurangi bebannya; baik beban secara administrasi
ataupun beban secara substantif. Hal ini dapat mengurangi
kepatuhan Wajib Pajak. Oleh karena itu jika automatic system ini sudah
tersedia, maka jumlah pajak tidak
dapat dimanipulasi dan bisa mengurangi ketidakpatuhan Wajib Pajak. Pada sisi pemerintah, kendalanya ketika diterapkan automatic system adalah
pemerintah juga perlu meningkatkan law
enforcement terhadap jenis
transaksi ini.
Terakhir,
perlu adanya pengecualian terhadap pelaku Fintech Dompet Elektronik dan Fintech Uang Elektronik
berupa pemotongan pajak final atas cashback tidak
diwajibkan mengeluarkan bukti potong. Sehingga
pelaku Fintech dapat melakukan tax saving
atas penerbitan bukti potong ini
dan memenuhi asas ease of administration yakni efficiency
dan simplicity. Hanya
saja, pengecualian ini harus didukung
dengan sistem yang mumpuni yang dibahas di atas tadi sehingga
dapat mencapture jumlah cashback yang diberikan
secara detail, penerima cashback dan waktu
cashback diberikan.
Mengacu
pada salah satu indikator dari asas Ease of Administration yaitu economy, perlu diingat bahwa
jika penerapan kebijakan pengenaan pajak bersifat final atas cashback dilakukan pada industri Fintech Dompet Elektronik dan Fintech
Uang Elektronik ini, maka kebijakan yang sama juga harus diterapkan pada cashback diluar
Fintech Dompet Elektronik
dan Fintech Uang Elektronik agar menjamin
adanya level
playing field yang adil sehingga
tidak menyebabkan entry barrier.
Kesimpulan
Aktivitas
cashback pada dompet
elektronik di Indonesia dikategorikan
sebagai penghasilan menurut perspektif pajak karena memperoleh
tambahan kemampuan ekonomis. Kemudian, mengacu pada ketentuan perpajakan yang berlaku, cashback bukan
merupakan penghasilan yang harus dipotong oleh pemberi cashback.
Penghasilan cashback
ini hanya perlu dilaporkan pada SPT Tahunan penerima cashback. Selain
itu, secara substansi cashback
dapat menjadi biaya pengurang penghasilan bruto pada SPT Badan pelaku Fintech Dompet Elektronik dan Uang Elektronik selama dilengkapi dengan daftar nominatif.
Sistem
pemungutan pajak yang cocok diterapkan adalah withholding
tax dengan konsep schedular taxation, yakni
cashback yang dianggap
sebagai penghasilan ini dikenakan pajak
secara final dengan tarif tertentu. Pada sistem ini, cashback akan langsung
dipotong oleh pelaku
Fintech melalui withholding
tax dengan memotong jumlah persentase tertentu dari jumlah
cashback yang diberikan
pelaku Fintech kepada pengguna aplikasi Fintech untuk diteruskan ke kas negara. Konsep ini paling cocok mengingat transaksi cashback pada Dompet
Elektronik ini memiliki kuantitas jumlah transaksi yang sangat banyak dengan
kualitas transaksi yang relatif kecil, dan tidak terdapat kelengkapan administrasi berupa NPWP. Perlu diingat bahwa kebijakan pajak dengan mekanisme withholding tax ini seharusnya menunggu sampai keadaan pelaku industri Fintech kuat dan stabil agar tidak menambah beban tambahan yaitu tax collection cost yang mana akan membebani industri ini yang dapat menghambat perkembangan industri fintech ini, bahkan skenario
terburuknya adalah industri ini mati
sebelum berkembang secara optimal Konsep
schedular taxation merupakan konsep yang paling cocok untuk diterapkan,
yaitu setiap penghasilan dikenakan pajak secara final dengan tarif tertentu.
Dalam sistem ini, penghasilan akan langsung dipotong
oleh pihak pemberi penghasilan melalui withholding tax dengan
memotong jumlah persentase tertentu dari pembayaran untuk diteruskan ke kas Negara (Rosdiana, 2014).
Konsep ini paling cocok mengingat transaksi cashback
pada Dompet Elektronik ini memiliki kuantitas
jumlah transaksi yang sangat banyak dengan
kualitas transaksi yang relatif kecil, dan tidak terdapat kelengkapan administrasi berupa NPWP. Selain itu, withholding tax bersifat final paling cocok diterapkan karena sesuai dengan asas ease of administration, yaitu simplicity dalam
pemungutan pajak.
BIBLIOGRAFI
Adriany, Vina. (2018). Neoliberalism and practices
of early childhood education in Asia. SAGE Publications Sage UK: London,
England.
Alfarizi, Rizal Ahmad, Rachma, N., & Hufron, M. (2019).
Pengaruh promosi penjualan dan atmosfer toko terhadap pembelian impulsif dengan
emosi positif sebagai variabel intervening pada konsumen Superindo Tlogomas
Malang. JIRM, 8(09).
Ansori, Miswan. (2019). Perkembangan dan Dampak Financial
Technology (Fintech) terhadap Industri Keuangan Syariah di Jawa Tengah. Wahana
Islamika: JSK, 5(1).
Armstrong, Gary, Kotler, Philip, Merino, María Jesús,
Pintado, Teresa, & Juan, José María. (2011). Introducción al marketing
(Vol. 2). Pearson.
Gabrielli, Silvia, Dianti, Marco, Maimone, Rosa, Betta,
Marta, Filippi, Lorena, Ghezzi, Monica, & Forti, Stefano. (2017). Design of
a mobile app for nutrition education (TreC-LifeStyle) and formative evaluation
with families of overweight children. JMIR MHealth and UHealth, 5(4),
e48.
Gunadi. (2013). Panduan Komperhensif Pajak Penghasilan.
Ikbar, Yanuar. (2012). Metode penelitian sosial
kualitatif. Bandung: Refika Aditama.
Irawati, Rina. (2018). Pengaruh pelatihan dan pembinaan
terhadap pengembangan usaha kecil. Jurnal Ilmiah Bisnis Dan Ekonomi Asia,
12(1), 74–84.
Mansury, R. (1999). Kebijakan Fiskal, Jakarta.
Muamar, Afif, Samsudin, Samsudin, & Fitriyah, Linda.
(2020). Dompet Elektronik Dalam Transaksi Pelanggan Ovo Menurut Perspektif
Maqa> Ṣid Syarī’ah. Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum
Ekonomi Syariah, 5(1), 92–105.
Muiz, Muhammad, Rachma, N., & Slamet, Afi Rachmat.
(2019). Pengaruh Sales Promotion dan Kualitas Pelayanan Terhadap Minat
Pembelian Ulang di Mediasi Variabel Kepuasan Konsumen. Jurnal Ilmiah Riset
Manajemen, 8(10).
Philippon, Thomas. (2017). Le capitalisme d’héritiers-La
crise française du travail. Média Diffusion.
Prasetyo, Hoedi, & Sutopo, Wahyudi. (2018). Industri 4.0:
Telaah Klasifikasi aspek dan arah perkembangan riset. J@ Ti Undip: Jurnal
Teknik Industri, 13(1), 17–26.
Rosdiana. (2014). Pengantar Ilmu Pajak Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Salamun, A. T. (1991). Pajak, Citra dan Upaya Pembaruannya. Jakarta:
BinaRena Pariwara.