Syntax
Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN
: 2548-1398
Vol.
6, No. 3, Maret 2021
RAINFORCEMENT POSITIF UNTUK
MENURUNKAN GEJALA IMPULS SUKA MENGGANGU TEMAN PADA ANAK ADHD
Grace Latuheru dan Tatik Meiyutariningsih
Fakultas Psikologi Universitas
17 Agustus 1945 Surabaya, Indonesia
Email: Gracelatuheru8@gmail.com dan tatikmeiyun@untag-sby.ac.id
Abstract
Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) is an obstacle to focusing attention
accompanied by hyperactivity. This behavior disorder then has an impact on the
learning process and the relationship with the environment. The result that
will be received by someone with ADHD disorder is being shunned by the
environment because it is considered disturbing or disturbing. For this reason,
behavior modification is carried out to reduce the symptoms of the behavior. In
this study, researchers used a research method, namely an experimental method
with a case study approach by providing positive reinforcement in order to
control children's behavior so as not to disturb or tease their friends. The
number of subjects in this study was 1 person who showed ADHD symptoms. Subject
age 5 years. Taking subjects based on symptoms or symptoms obtained from the
results of observations and interviews and filling out the behavioral checklist
by parents. Data collection techniques used observation, interviews, and
psychological tests (BINET, CAT, CBCL). The intervention carried out was
behavior modification using positive reinforcement. The results obtained are
that the subject is able to reduce their behavior that likes to tease their
friends, and the subject is able to be responsible for decisions made together.
Keywords: ADHD; positive reinforcement.
Abstrak
Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan hambatan pemusatan
perhatian disertai kondisi hiperaktif. Gangguan perilaku ini kemudian berdampak
pada proses belajar maupun hubungan dengan lingkungan. Akibat yang akan
diterima seseorang yang mengalami gangguan ADHD adalah dijauhi oleh lingkungan
karena dianggap meresahkan atau mengganggu. Untuk itu dilakukan modifikasi
perilaku untuk menurunkan gejala perilaku tersebut. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan metode penelitian yaitu metode eksperimen dengan
pendekatan study kasus ini adalah dengan memberikan Reiforcement positif agar dapat mengontrol perilaku anak sehingga
tidak mengganggu atau menjaili temannya. Subjek dalam penelitian ini berjumlah
1 orang yang menunjukkan simptom ADHD. Usia subjek 5 tahun. Pengambilan subjek
berdasarkan gejala atau simptom yang didapatkan dari hasil observasi dan
wawancara serta pengisian lembar behavioral
checklist oleh orang tua. Teknik
pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan tes psikologi (BINET,
CAT, CBCL). Intervensi yang dilakukan yaitu modifikasi perilaku menggunakan reinforcement positif. Hasil yang
didapat adalah subjek mampu mengurangi perilakunya yang suka menjaili temannya,
serta subjek mampu bertanggungjawab atas keputusan yang dibuat bersama.
Kata kunci : ADHD; reinforcement positif
Coresponden Author
Email: gracelatuheru8@gmail.com
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Attention Deficit
Hyperactivity Disorder
(ADHD) merupakan hambatan
pemusatan perhatian disertai kondisi hiperaktif. Sudah banyak dilakukan
penelitian tentang penyebab ADHD akan tetapi belum dapat dipastikan faktor
utama yang mempengaruhi terjadinya hambatan tersebut. Menurut para ahli secara
umum faktor yang mempengaruhi Attention
Deficit Hyperactivity Disorder ialah masalah genetikal, bahan-bahan kimia,
virus, problem kehamilan dan persalinan serta kondisi yang dapat mengintervensi
penyebab rusaknya jaringan otak manusia. Faktor lingkungan sosial memiliki
peran cukup besar dalam menimbulkan penyebab terjadi ADHD. Penggunaan barang
elektronik seperti televisi, komputer, dan gadget
secara tidak tepat juga menyebabkan munculnya sindrom ADHD.
Pada umumnya tidak ada gejala khusus untuk mendiagnosa
gejala Attention Deficit Hyperactivity
Disorder. Gejala ADHD tersebut bergantung pada umur, situasi, dan
lingkungan anak. Dapat dikatakan, ADHD merupakan suatu gangguan yang kompleks,
yang berhubungan dengan kelainan aspek koginitif, psikomotorik, maupun afektif (Serfontein &
Lykissas, 1992).
Simptom utama yang muncul pada anak ADHD adalah hambatan
konsentrasi, pengendalian diri, serta hiperaktif dan biasanya besifat menahun
jika itu terjadi pada anak-anak (Paternotte &
Buitelaar, 2010). Adapun anak sering terlihat mengalami
kesulitan dalam memusatkan perhatian (tidak bisa fokus). Konsentrasi mereka
sangat terbatas sehingga menghambat penerimaan informasi dari lingkungan.
Selain itu, ada gejala Impulsifitas, anak mengalami kelainan sikap atau ketidak
harmonisan antara pikiran dengan tindakannya (disorder among think and
do). Anak biasanya susah menentukan aktifitas
mana yang harus dikerjakan duluan sehingga hal ini mengganggu kepribadian dan
aktifitas mereka dengan lingkungan. Pada gejala hiperaktifitas, aktifitas
motorik anak terjadi secera berlebihan tidak sebanding dengan anak normal
seusianya karena mereka biasanya sulit
untuk ditenangkan.
Pada panelitian kali ini, peneliti ingin melihat
apakah gejala impulsif pada anak ADHD bisa mengalami penurunan jika dilakukan
modifikasi perilaku dengan pendekatan reinforcement
positif. Subjek dengan gejala impulsifitas suka menjaili teman-temannya
sehingga membuat resah guru ataupun orang tua murid lainnya karena mengganggu
proses belajar mengajar. Proses menjailinya adalah : mengganggu teman-temannya,
mengambil barang milik temannya dan tidak mau mengakui.
Menurut
Skinner, perilaku manusia terbentuk atas konsekuensi yang diterima. Jika
perilaku akan berulang jika mendapat penguatan positif dan sebaliknya perilaku
akan berhenti jika mendapat penguatan negatif (hukuman). Pendekatan behavioral
lebih berorientasi pada masa depan dalam menyelesaikan masalah dengan proses
belajar dan lingkungan individu.
Reinforcement
adalah konsekuensi yang diberikan untuk memperkuat perilaku. Pemberian
reinforcement positif mengacu pada teori operant
conditioning dari Skinner yang memandang hadiah (reward) atau penguatan (reinforcement)
sebagai unsur yang penting dalam kegiatan pembelajaran, karena dengan pemberin
pengukuhan positif memberikan bukti salah satu bentuk perhatian dari konselor kepada
klien (Walgito, 2004). Mereka
digunakan dalam pengobatan ADHD untuk memberikan struktur untuk anak dan untuk
memperkuat perilaku yang sesuai. Dalam penelitian ini, menggunakan teknik
reinforcement positif dengan pemberian reward.
Menurut Skinner (Corey, 2010) reinforcement
positif yaitu sesuatu rangsangan (stimulus) untuk
memperkuat tingkah laku tertentu. Reinforcement
positif ini berbentuk reward (hadiah, atau imbalan), baik secara verbal
(kata-kata atau ucapan pujian), maupun secara non-verbal (isyarat, senyuman,
hadiah berupa benda-benda dan makanan), contohnya: pujian atau hadiah (sebagai
rangsangan) yang diberikan kepada anak yang telah berhasil menulis huruf
hijaiyah dengan baik, akan memperkuat, memperteguh atau mendorong anak untuk
lebih giat lagi dalam belajarnya.
Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa
modifikasi perilaku adalah salah satu cara efektif untuk menangani gangguan
perilaku ADHD seperti penelitian (Suprihatin, 2018) mengungkapkan bahwa
modifikasi token ekonomi mampu meningkatkan perilaku memperhatikan pada siswa
SD yang mengalami gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
(GPPH). Adapun penelitian yang dilakukan oleh (Calista, Kurniah, & Ardina, 2019) yaitu reinforcement dapat
meningkatkan disiplin pada anak di PAUD Negeri Pembina 1 Kota Bengkulu serta
penelitian yang dilakukan oleh (Maharani, n.d.) yang menjelaskan bahwa pemberian
reiforcement positif akan meningkatkan perilaku disiplin masuk kelas pada anak
dengan gangguan disabilitas intelektual.
Dari penelitian terdahulu terdapat
perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari beberapa aspek
yaitu subjek berbeda, tempat penelitian, perilaku yang hendak dirubah serta
jenis modifikasi perilaku yang digunakan. Peneliti menggunakan modifikasi
perilaku reinforcement positif untuk
menurunkan perilaku suka \/intervensi (Barlow, D. H. &
Hersen, 1984).
Kondisi A (baseline) peneliti melihat
perlakuan subjek tanpa ada pemberian penguatan seperti hadiah. Kondisi ini juga
biasa disebut sebagai no behavior
modification. Sementara, Kondisi B
(intervensi) subjek akan mendapat perlakuan yaitu dengan pemberian hadiah atau
reward jika berhasil merubah perilakunya. Kondisi ini juga biasa disebut dengan
high behavior modification. Pada fase
intervensi kedua (pengulangan) diharapkan terjadi perubahan pada perilaku
target; meningkat untuk perilaku yang diharapkan dan menurun untuk perilaku
yang tidak diharapkan (Barlow, D. H. &
Hersen, 1984); (Sunanto, Takeuchi,
& Nakata, 2005). Data kemudian akan dianalisis
secara kualitatif bertujuan untuk melihat apakah ada perubahan yang dialami
dengan riwayat perkembangan perilaku atau gangguan sebelum intervensi. Analisis kualitatif
dilakukan berdasarkan hasil observasi, laporan harian dan wawancara selama
proses penelitian (Creswell &
Creswell, 2017).
Hasil dan Pembahasan
1.
Profil
Subjek
Subjek
adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Subjek lahir secara caesar pada sebuah RS dikota Surabaya. Saat masa kehamilannya, ibu
subjek mengaku bahwa sering mengidam makan ayam chrispy entah KFC atau mc.Donnals. Jadi selama masa kehamilannya
beliau selalu mengkonsumsi makanan cepat saji. Subjek kemudian tidak
mendapatkan ASI dari ibunya. Dia mengkonsumsi susu formula. Klien kemudian tumbuh
seperti anak seusianya.
Awal
mula subjek menunjukkan perilaku yang “aneh” menurut keluarganya yaitu saat
subjek berusia 3 tahun. Pada usianya 3 tahun itu, subjek sempat dibawa ke Ambon
dan tinggal disana selama satu bulan. Menurut ibunya, subjek dibawa ke Ambon
karena ibunya harus ke Malaysia sehingga tidak ada yang merawatnya. Kedua kakaknya pun masih bersekolah serta
ayahnya bekerja sehingga tidak bisa merawat klien. Saat di Ambon, subjek
dirawat oleh kakak sepupunya. Saat di Ambon, sudah ada keluhan dari yang
merawat subjek, kakak sepupunya menyebutkan bahwa subjek saat ditegur seperti
tidak mendengarkan atau mengabaikan saat dia sedang asik bermain di pekarangan
rumah yang memang cukup luas.
Saat
subjek kembali dari Ambon klien menjadi sangat aktif. Orang tuanya menganggap
karena lama tidak berjumpa sehingga subjek berlari kesana-kemari saat didalam
rumah. Mereka beranggapan bahwa subjek masih terbawa suasana saat di Ambon
bermain di pekarangan rumah yang cukup luas, sehingga saat di Surabaya tinggal
di perumahan serta dibatasi oleh pagar membuat subjek tidak bisa tenang. Menurut
ibunya juga, subjek suka makan coklat dan permen, karena saat itu masih ada
sisa coklat dan permen dari Malaysia. Saat subjek mengkonsumsi coklat atau
permen, subjek akan sangat aktif. Namun, belum disadari oleh orang tua. Sampai
saat di Gereja, guru sekolah minggu klien memberitahu bahwa subjek ini susah
fokus dan tidak bisa tenang serta menganjurkkan untuk mengurangi pemberian
permen dan makanan atau minuman yang terlalu manis agar subjek tidak seaktif
biasanya.
Subjek
saat di sekolah sulit diatur, menurut gurunya harus ditegur berkali-kali baru
kemudian subjek akan mendengar. Subjek saat berbaris untuk mau masuk kelas, dia
selalu keluar dari barisannya dan berputar-putar menjaili teman-temannya.
Menurut gurunya saat didalam kelas, subjek akan berlari kesana-kemari dan
mendatangi teman-temannya. Subjek juga tidak bisa disuruh kerjakan bersama
dengan teman-temannya. Klien mudah marah dan terpancing emosinya. Subjek
beberapa kali dipisahkan dari teman-temannya, dibiarkan kerja tugas di ruang
kepala sekolah. Namun, menurut guru subjek memiliki kemampuan akademis yang
baik. Dia mampu mengerjakan soal-soal atau tugas yang diberikan di sekolah.
Hanya saja, perilakunya yang sulit dikontrol dan konsentrasi yang cepat buyar.
Hal
tersebut dibenarkan oleh orang tua subjek, ibu subjek bercerita bahwa subjek
saat dirumah akan berlari kesana-kemari. Awalnya dia berpikir, mungkin saat di
Ambon, ruang geraknya luas sehingga saat di Surabaya yang halaman rumahnya
sempit itu membuat subjek seperti kebingungan. Namun, lama-kelamaan perilaku
itu tidak berhenti atau tidak berkurang akan tetapi stabil dan kadang-kadang
lebih aktif. Ibunya menyebutkan, subjek sering bertengkar dengan kakaknya yang
nomor dua. Subjek saat di rumah, sukanya bermain mobil-mobilan. Namun, tidak
seberapa lama, dia berganti bermain handphone
hanya saja sekarang dibatasi sehingga dia lebih suka mewarnai atau bermain
permainan yang lain. Subjek saat aktif bermain, saat ditegur klien tidak
menghiraukan mereka. Terkadang saat sedang berlari, subjek harus dipegang atau
peluk erat baru kemudian dia berhenti dan berganti mainanya. Saat disuruh
belajar dia menolak. Menurut subjek dia sudah belajar di sekolah jadi tidak mau
belajar di rumah.
Subjek
sering menjaili teman-temannya di sekolah, seperti memainkan ayunan bersama
temannya tetapi sangat kencang sehingga membuat temannya menangis. Kemudian,
mengambil penghapus temannya sampai temannya menangis, tetapi saat ditanya subjek
tidak mau mengakui perbuatannya. Begitupun saat dia berlari di sekolah,
biasanya sambil merobek atau mencabut bunga di sekolahnya. Saat ditanyapun
klien tidak mengakuinya. Padahal jelas-jelas dilihat oleh ibunya.
Menurut
ibunya, subjek saat ditegur atau dimarahi, dia akan kembali marah dan mengeluarkan
kata-kata kasar, misalnya beberapa waktu lalu saat kakinya yang luka
dibersihkan kemudian dia merasa perih, dia langsung berteriak dengan kencang
dan keras “mama sakit, lio tempeleng ya”. Begitupun saat dia marah dia akan
memukul dan berteriak dengan keras. Menurut ibunya, saat menyadari bahwa klien
berbeda dari anak normal seusianya ia tidak membiarkan subjek sendiri di
sekolah. Subjek tetap diawasi oleh ibunya, karena takut subjek menjaili
teman-temannya atau mendapat perlakuan kasar dari guru atau orang tua murid
yang lain sehingga membuatnya tidak mau bersekolah lagi.
2.
Hasil
Asesmen Alat Tes
Dari
hasil asesmen, subjek memang merupakan anak yang cendrung sangat aktif. Subjek
saat disekolah lebih sering bergerak seperti tidak kehabisan tenang. Menurut
ibunya, subjek sulit saat dtegur, subjek sering mendapat teguran dari gurunya
saat disekolah karena subjek mengganggu teman-temannya.
Dari
hasil tes intelegensi, menunjukkan subjek memiliki IQ 125 yaitu masuk kategori superior. Dalam aspek pengertian umum serta kemampuan visual motor subjek sudah
cukup mampu memahami hal-hal yang berlaku di lingkungannya. Contohnya seperti
memahami perintah-perintah sederhana yang disampaikan, walau dalam observasi
tes berlangsung memang subjek gampang terpecah konsentrasinya jika harus
diminta untuk mengerjakan sesuatu. Subjek mampu menganalisis bagian tubuh dan
fungsinya hanya jika digambar itu klien sedikit mengalami kesulitan. Kemudian
kemampuan arithmetic reasoning subjek
cukup mampu melaksanakan sesuai dengan anak seusianya. Namun, dalam aspek memory & concentration klien belum
mampu mengoptimalkan kemampuan mengingat dan berkonsentrasi dengan baik,
seperti mengulang angka, subjek mudah lupa karena sulit berkonsentrasi. Akan
tetapi jika diulang berkali-kali subjek mampu mengulangnya. Untuk mengingat
gambar, serta menyebut benda klien sudah belum maksimal dan mengoptimalkan
kemampuannya. Dalam aspek vocabulary
& verbal fluency subjek cukup mampu namun hanya perlu didorong untuk
lebih baik lagi. Subjek perbendaharaan kata masih cukup, serta menyebut
definisi-definisi gambar dan kata-kata sudah sangat baik. Dan yang terakhir
untuk aspek judgment & reasoning
subjek mampu dalam memahami sesuai dengan baik benda dari pemakaiannya, membandingkan
gambar dan sebagainya.
Gambaran
diri yang dimiliki subjek adalah ia anak yang membutuhkan perhatian dari orang
tuanya. Karena selama ini jauh dari orang tuanya dan bertemunya sebentar
membuat subjek merasa kurang kasih sayang. Walaupun subjek mengerti bahwa orang
tuanya sibuk mencari uang untuk kebutuhan hidupnya.
Subjek
selama ini dirumah dengan mamanya, saudara-saudaranya bersekolah dan pulang
lagi sudah sore, sehingga membuatnya kekurangan teman bermain dan berinteraksi.
Ini juga didukung dengan rumahnya di daerah perumahan yang otomatis tidak
memiliki teman membuat subjek merasa tidak bebas untuk dia mengeksplore
keinginannya. Klien pun kadang takut jika harus ditinggal sendiri apalagi
ditinggal oleh ibunya. Karena subjek sangat dekat dengan ibunya.
Dan
dari hasil pengisian CBCL terlihat subjek memiliki problem pada Thought, attention dan aggressive. Ini
memperkuat diagnosis awal yang mengarah pada ADHD, karena gangguan pada
perhatian dan keaktifannya
3.
Hasil
Analisis
Pada
fase baseline subjek menunjukkan sikap impulsif yang tinggi. Subjek sering
ditegur oleh gurunya selama 4 hari observasi. Subjek sering meninggalkan tempat
duduk. Mengambil penggaris milik temannya, sedangkan penggaris klien sudah
disediakan. Subjek pun diarahkan untuk mengerjakan tugas di ruang kepala
sekolah agar terpisah dari teman-temannya karena sering mendatangi tempat duduk
teman-temannya. Subjek ketahuan mengambil penghapus milik temannya, penghapus
tersebut tiba-tiba ada dimejanya. Saat dikonfirmasi subjek tidak mau mengakui, walaupun
sudah ada saksi yang melihat perilakunya.
Kemudian
saat fase intervensi, awalnya subjek masih sering lupa akan perjanjiannya akan
tetapi selalu diingatkan oleh peneliti dan guru. Subjek selalu diarahkan.
Sehingga perilakunya menjadi berkurang.
Pada
fase selanjutnya subjek akan tetap dikontrol untuk tidak menjaili atau mengganggu
teman-temannya. Walaupun tidak mendapatkan hadiah lagi. walaupun ini perilaku
meningkat tidak seperti saat baseline pertama.
4.
Diskusi
Dari
riwayat perkembangan dan pertumbuhan subjek maka peneliti mengarahkan diagnosa
bahwa subjek mengalami gangguan ADHD. Sebagaimana menurut (Barkley, 2002),
(Goldstein & Brooks, 2007) bahwa
penyebab ADHD diantaranya adalah faktor biologi dan faktor neurologi. Faktor
biologi (abnormalitas dalam perkembangan otak) dianggap sebagai penyebab utama,
sedangkan faktor lain (faktor lingkungan dan sosial) memberi kontribusi pada
perkembangan gangguan ini. Hal ini juga terjadi pada subjek dimana ibu subjek
saat mengandung sudah berusia 40 tahun dimana usia tersebut rentan terjadi
kelainan pada janin. Beliau pun membenarkan bahwa selama masa kehamilan sering
menikmati makanan cepat saji dan inipun secara tidak langsung berpengaruh pada
perkembangan janin.
Kemudian,
pola asuh pun mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan subjek. Subjek sendiri
pernah diasuh oleh saudara di Ambon dengan pola pengasuhan yang cendrung
membolehkan segala kegiatan subjek (permisif) kemudian dialihkan kembali pada
orang tua dengan pola pengasuhan yang tidak bebas sehingga membuat subjek
seperti terkurung dan tidak mendapat kebebasan. Hal tersebut dapat menjadi
faktor pendukung terjadinya gangguan perilaku seperti yang diutarakan (Baihaqi & Sugiarmin, 2006) faktor keluarga seperti
pola asuh, penerapan disiplin/aturan, harapan yang saling bertentangan antara
kedua orangtua dan anak, konflik dalam keluarga dan sebagainya memberi pengaruh
munculnya gejala ADHD atau semakin memperparah gejala tersebut.
Intervensi
yang diberikan pada subjek menunjukkan
adanya perubahan perilaku tenang saat di dalam kelas semakin meningkat, dan dia
tidak menjaili temannya dalam ketentuan waktu per 15 menit. Pada fase intervensi,
adanya hadiah (reward) menyebabkan
subjek berusaha untuk mencapai perilaku yang disepakati untuk dapat
mengumpulkan hadiahnya.
Hasil
penelitian terhadap subjek terbukti bahwa reinforcement
positif dapat menurunkan tingkat kejailan pada anak dengan gejala ADHD. Hasil
penelitian ini sejalan dengan pendapat (Delphie, 2006) yakni modifikasi perilaku
saat pelaksanaan pembelajaran sangat efektif. Hal ini dikarenakan perilaku
dapat dikontrol melalui konsekuensi-konsekuensi yang diberikan karena adanya
target pembelajaran. Jika perilaku sesuai dengan target maka konsekuensinya
akan mendapat reward. Begitupun
sebaliknya jika perilaku tidak sesuai target makan tidak akan mendapat reward.
Biasanya saat diberikan reward subjek
akan bahagia sehingga perilaku tersebut akan diulang sampai dengan intervensi
terakhir dimana tidak diberikan reward
akan tetapi perilaku sudah mengalami perubahan karena proses pembelajaran. Hal ini tampak pada grafik perilaku mengganggu
atau menjaili teman, saat reward diberikan pada fase intervensi maka frekuensi
kemunculan perilaku menurun. Sebaliknya, saat reward tidak diberikan di fase
baseline kedua frekuensi perilaku menjaili teman meningkat walau tidak separah
baseline I.
Pendekatan
perilaku menjelaskan bahwa seseorang akan mengulang aktifitas jika memberikan
hasil yang membahagiakan seperti hadiah. Penggunaan hadiah untuk dapat menambah
minat atau kesenangan pada suatu hal serta mengarahkan perhatian pada perilaku
yang tepat dan menjauhkan pada perilaku yang tidak tepat (Emmer, E. T.,
Evertson, C.M., Clements, B. S. & Worsham, 2000).
Kesimpulan
Berdasarkan analisis kualitatif seperti yang telah
dibahas diatas, dapat disimpulkan bahwa: modifikasi perilaku berupa reinforcement positif dapat dijadikan
model pembelajaran untuk anak-anak dengan kondisi khusus, seperti anak dengan
ADHD. Reinforcement positif dapat
mengurangi perilaku mengganggu atau menjaili teman saat di kelas. Reward berupa
hadiah yang sudah disepakati oleh subjek yang diberikan terhadap keberhasilan
saat mengurangi perilaku membuat anak semakin meningkatkan usahanya untuk
mencapai hasil yang lebih baik.
BIBLIOGRAFI
Baihaqi, M. I. F., & Sugiarmin, M. (2006). Memahami dan membantu anak
ADHD. Bandung: PT. Refika Aditama.
Barkley, Russell A. (2002). Psychosocial treatments for
attention-deficit/hyperactivity disorder in children. Journal of Clinical
Psychiatry, 63, 36–43.
Barlow, D. H. & Hersen, M. (1984). Single Case Experimental
Designs: Strategies for Studying Behavior Change. USA: Pergamon PreS.
Calista, Viona, Kurniah, Nina, & Ardina, Mona. (2019). Hubungan
Reinforcement Terhadap Disiplin Anak Usia Dini Di Paud Pembina 1 Kota Bengkulu
(Studi Deskriptif Kuantitatif Di PAUD Pembina 1 Kota Bengkulu). Jurnal Ilmiah
POTENSIA, 4(1), 13–17.
Corey, Gerald. (2010). Teori dan Praktek Konseling Psikoterapi.
Bandung: PT Refika Aditama.
Creswell, John W., & Creswell, J. David. (2017). Research design:
Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage publications.
Delphie, Bandi. (2006). Pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Bandung:
Refika Aditama.
Emmer, E. T., Evertson, C.M., Clements, B. S. & Worsham, M. E. (2000).
Classroom Management for Successful Teachers (4th ed.). Boston :
Allyn & Bacon.
Goldstein, Sam Ed, & Brooks, Robert B. (2007). Understanding and
managing children’s classroom behavior: Creating sustainable, resilient
classrooms. John Wiley & Sons, Inc.
Maharani, Muthia. (2016). Teknik Positive Reinforcement Untuk Meningkatkan Perilaku Disiplin
Masuk Kelas Pada Anak Dengan Gangguan Disabilitas Intelektual.
Paternotte, Arga, & Buitelaar, Jan. (2010). ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Penerjemah:
Julia Maria Van Tiel. Jakarta: Penerbit Prenada Media Group.
Serfontein, Gordon, & Lykissas, Jennifer. (1992). The hidden
handicap: How to help children who suffer from dyslexia, hyperactivity and
learning difficulties. Royal Victorian Institute for the Blind. Tertiary
Resource/Production Service.
Sunanto, Juang, Takeuchi, Koji, & Nakata, Hideo. (2005). Pengantar
penelitian dengan subjek tunggal. Universitas Tsukuba: Crice.
Suprihatin, Titin. (2018). Modifikasi Perilaku Untuk Meningkatkan Perilaku
Memperhatikan Pada Siswa Sd Yang Mengalami Gejala Gangguan Pemusatan Perhatian
Dan Hiperaktivitas (Gpph). Proyeksi: Jurnal Psikologi, 9(2),
15–36.
Walgito, Bimo. (2004). Pengantar psikologi umum. Yogyakarta: Andi
Offset.