Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

EKSTRAKSI KOMPONEN ANTIMIKROBA DAUN SALAM (Syzygium Polyanthum) DAN APLIKASINYA PADA PRODUK IKAN SALAI PATIN (Pangasius Sutchi) DI PROVINSI RIAU

 

Al Muzafri, Edward Bahar, Yuliana Susanti, Lufita Nur Alfiah, Khusnu Abdillah Siregar

Universitas Pasir Pengaraian, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Secara umum Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ekstrak daun salam mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tumbuh pada ikan salai patin. tahap pertama pada penelitian ini adalah ekstraksi daun salam dengan 4 jenis pelarut (pelarut air, metanol, etilasetat, n-heksan). Pada tahap II dilakukan uji fitokimia pada ekstrak andaliman untuk melihat kandungan senyawa aktif yang pada ekstrak andaliman tersebut, meliputi pengujian Alkaloida, steroida dan triterpen bentuk bebas, saponin, tanin, flavonoid dan glikosida.Tahap ketiga pada penelitian ini adalah Uji aktivitas zona hambat mikroba ekstrak daun salam, , pengujian ekstrak daun salam menggunakan kertas cakram kosong. Larutan ekstrak yang telah diencerkan dengan kosentrasi 25%, 50%, 75%, 100%, dilanjutkan uji MIC,Bakteri uji yang digunakan untuk penentuan MIC substrat antimikroba adalah Staphylococus aureus, Escherichia coli dan Salmonella.Penentuan MIC dengan metode difusi kertas cakram dengan konsentrasi ekstrak 0, 0,25%, 0,50%, 0,75%, 1%, 2%,3%,4%,5%. Tahapan akhir pada penelitian ini adalah Pengujian ekstrak andaliman pada salai ikan patin Setelah diperoleh konsentrasi hambat minimum ekstrak andaliman dari uji MIC kemudian dilanjutkan dengan aplikasi ekstrak daun salam terhadap ikan salai patin, nilai MIC ekstrak etil-asetat daun salam adalah 1%. Konsentrasi ini selanjutnya digunakan untuk aplikasi ekstrak daun salam pada ikan salai patin. Pada penelitian ini jumlah bakteri yang tumbuh pada sampel fillet ikan yang langsung dianalisa (0 Hari) adalah 2,7 x103 , Berdasarkan standar mutu produk olahan ikan menurut BPPOM batas maksimal TPColahan ikanadalah 1x105sehingga ikan salai patin tanpa penambahan ekstrak sudah tidak layak dikonsumsi pada hari kedua. Karena pada hasil perhitungan TPC pada hari kedua ikan salai patin tanpa penambahan ekstrak daun salam yaitu 4,2 x 105. Sedanghkan pada sampel ikan salai patin yang ditambahkan ekstrak daun salam jumlah perhitungan TPC nya masih dibawah batas maksimal sampai pada hari ke-3 yaitu 5,7 x 104.

 

Kata Kunci: Daun Salam, Ikan Salai Patin Pengawet, Mikroorganisme.

 

Abstract

In general, this study aims to see whether bay leaf extract is able to inhibit the growth of microorganisms that grow on catfish. The first stage in this study was the extraction of bay leaves with 4 types of solvents (water solvent, methanol, ethyl acetate, n-hexane). In phase II, a phytochemical test was carried out on the andaliman extract to see the content of the active compounds in the andaliman extract, including testing for free-form alkaloids, steroids and triterpenes, saponins, tannins, flavonoids and glycosides. bay leaf, bay leaf extract testing using blank disc paper. The extract solution was diluted with concentrations of 25%, 50%, 75%, 100%, followed by the MIC test. The test bacteria used to determine the MIC of antimicrobial substrates were Staphylococus aureus, Escherichia coli and Salmonella. The MIC was determined using the paper disc diffusion method with concentrations extract 0, 0.25%, 0.50%, 0.75%, 1%, 2%,3%,4%,5%. The final stage of this study was testing the andaliman extract on catfish catfish. After obtaining the minimum inhibitory concentration of andaliman extract from the MIC test, it was then continued with the application of bay leaf extract to catfish catfish, the MIC value of the ethyl-acetate extract of bay leaves was 1%. This concentration was then used for the application of bay leaf extract to catfish. In this study the number of bacteria growing on fish fillet samples that were directly analyzed (0 days) was 2.7 x 103 , Based on the quality standards of processed fish products according to BPPOM the maximum limit of TPC processed fish is 1 x 105 so catfish catfish without the addition of extracts is no longer suitable for consumption on the second day . Because the results of the TPC calculation on the second day of catfish without adding bay leaf extract were 4.2 x 105. Meanwhile, in the catfish sample with added bay leaf extract, the TPC calculation was still below the maximum limit until on day 3, namely 5 .7 x 104.

 

Keywords: Bay leaves, Catfish smoked fish Preservative, Microorganisms

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara yang memiliki aneka jenis rempah. Rempah-rempah merupakan bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bumbu, penguat cita rasa, pengharum dan pengawet makanan yang digunakan secara terbatas (Robi & Kartikawati, 2019). Tanaman rempah tersebut mengandung senyawa fitokimia yang dihasilkan tanaman sebagai bagian dari proses metabolismetanaman. Selain terkait makanan, rempah-rempah sejak lama juga digunakan sebagai jamu, kosmetik dan antimikroba (Hakim, 2015).

Daun adalah bagian tanaman yang sering dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, terutama sebagai penguat cita rasa dan aroma makanan. Salah satu tumbuhan yang banyak digunakan sebagai rempah adalah daun salam (Syzygium polyanthum) (Wight) Walp.), daun salam sudah dikenal luas di Indonesia sebagai rempah yang mempunya rasa yang khas dan sering digunakan pada masakan Indonesia, pemanfaatan daun salam di Indonesia lebih banyak digunakan masyarakat sebagai bumbu masakan, namun di beberapa daerah Indonesia daun salam juga dimanfaatkan sebagai obat sakit perut dan penghentian buang air besar secara berlebihan (Hakim et al., 2015). Daun salam mengandung senyawa aktif yang memungkinkan menjadikannya sebagai antimikroba, antioksidan dan pengawet makanan. Kandungan senyawa aktif yang terdapat pada daun salam antara lain adalah flavonoid dan tanin yang bisa dimanfaatkan sebagai anti-inflamasi dan antimikroba, dengan komposisi senyawa aktif alami yang terdapat pada daun salam tersebut diharapkan mampu menjadi antimikroba dan pengawet alami pada bahan makanan (Harismah, 2017).

Ikan patin (Pangasius sutchi) merupakan salah satu jenis ikan air tawar dengan rasanya yang enak dan harga relatif murah, produksi ikan patin di Propinsi Riau Meningkat setiap tahunnya, menurut Badan Pusat Satatistik (BPS) pada tahun 2013-2015 selalu meningkat, pada tahun 2013 produksi ikan patin propinsi Riau sebesar 24.894 Ton, pada tahun 2014 sebesar 26.257 Ton dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 29.177 Ton. Ikan patin di Propinsi Riau sebagian besar diolah menjadi ikan salai patin.

Ikan salai patin merupakan komoditi andalan di Propinsi Riau, ikan salai merupakan ikan patin yang diawetkan dengan menggunakan asap, asap mengurani kadar air yang ada pada ikan, serta memberi rasa yang khas pada ikan tersebut, ditemukan beberapa kendala terhadap produksi ikan salai patinyaitu ikan salai yangmudahterkontaminasi oleh mikroorganismeyang dapat merusak mutu dari ikan salai tersebut. Menurut (Nashiruddin et al., 2016) pada ikan asap yang beredar di pasar Kota Kendari positif mengandung bakteri Escherichia Coli. Escherichia Coli salah satu mikroorganisme patogen, yaitu mikroba penyebab gejala diare, demam, kram perut, dan muntah-muntah (Muzafri & Alfiah, 2021). Ada dua kelompok Escherichia coli yang menyebabkan penyakit pada manusia. Kelompok pertama adalah disebut Enteron Toxigenic Escherichia coli (ETEC) yang mampu menghasilkan enterotoksin dalam usus kecil dan menyebabkan penyakit seperti kolera, waktu inkubasi 8-24 jam dengan gejaladiare, muntah dan dehidrasi mirip dengan kolera (Muzafri & Karno, 2022).

Menurut penelitian (Susanti & Janhar, 2016) terdapat Salmonella sp pada ikan asap yang dijual di pasar tradisional kendari,dan Menurut penelitian (Akerina, 2018) adanya kontaminasi Staphylococus sp dan terdeteksi koloni kapang pada Ikan asap.

Secara alami pada suhu ruang ikan salai hanya bisa bertahan 3-7 hari, jika melebihi waktu tersebut akantumbuh mikroorganisme. Beberapa kasus ditemukan ikan asap mengandung tawas dan formalin sebagai bahan pengawet yang merupakan pengawet yang dilarang dan berbahaya jika dikonsumsi oleh manusia, masalah tersebut harus diatasi dengan penggunaan pengawet alami untuk meningkatkan umur simpan ikan salai. Berdasarkan masalah diatas penelitian ini akan dilaksanakan, dengan menggunakan ekstrak dari daun salamyang dimanfaatkan sebagai antimikroba dan pengawet alami, agar ikan salai patin khas Riau dapat disimpan lebih lama dan terhindar dari cemaran mikroorganisme patogen.

 

 

Metode Penelitian

Bahan yang digunakan adalah daun salam, ikan salai patin, Bahan kimia dan media yaitu nutrient agar (NA), Mueller Hinton Agar (MHA), NaCl fisiologis 0,9 %, etil asetat, methanol, air, heksan, biakan bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella.

1.    Tahap I: Ekstraksi komponen antimikroba Daun salam(Syzygium polyanthum) (Wight) Walp.)

Daun salam diperoleh dari petani di Rokan Hulu, Riau. Daun salam dibersihkan dari ampas dan dicuci, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40� C selama 48 jam. Sampel yang sudah kering dihancurkan menggunakan blander hingga hancur dan menjadi serbuk dan kemudian siap untuk di ekstraksi, serbuk simplisia dimasukkan ke dalam 4 buah wadah dan direndam (dimaserasi) pada suhu ruang dengan pelarut (pelarut air, metanol, etilasetat, n-heksan). Setelah 3 hari pemaserasian, maserat kemudian disaring, filtrat dipisahkan dan ampasnya direndam kembali dengan larutan yang baru. Maserasi dilakukan 3 kali. Filtrat yang diperoleh kemudian dipisahkan pelarut dan ekstrak dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 500C dan diuapkan sehingga terpisah pelarutnya dengan ekstak daun salam. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap masing-masing pelarut yaitu air, metanol, etil asetat, dan heksana.

2.    Tahap II :Uji fitokimia ekstrak Daun Salam (Depkes RI, 1995)

Pengujian fitokimia ekstrak daun salam bertujuan untuk mengikat senyawa-senyawa aktif yang ada pada ekstrak daun salam, meliputi pengujian Alkaloida, steroida dan triterpen bentuk bebas, saponin, tanin, flavonoid dan glikosida.

3.    Tahap III : Uji aktivitas zona hambat mikroba ekstrak daun salam

Pengujian ekstrak daun salam menggunakan kertas cakram kosong. Larutan ekstrak yang telah diencerkan dengan kosentrasi 25%, 50%, 75%, 100%. Konsentrasi 100% diperoleh dengan cara menambahkan 2 g ekstrak daun salam dan ditambahkan 2 ml DMSO, dari konsentrasi 100% tersebut dibuat konsentrasi ekstrak 75%, 50% dan 25%. Kemudian kertas cakram direndam dalam laratan ekstrak dengan berbagai variasi konsentrasi tersebut direndam selama lebih kurang satu jam sampai larutan ekstrak terdifusi denganbaik. Sebanyak 10 ml media MHA dituangkan ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan memadat.Cakram yang telah mengandung ekstrak daun salam dengan kosentrasi yang berbeda diletakkan secara teratur pada permukaan media uji yang sudah ditumbuhkan mikroorganisme dengan menggunakan pinset steril.Selanjutnya kultur mikroba diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370 C. Setelah masa inkubasi, diameter zona hambat di sekitar cakram kemudian diukur dengan jangka sorong. Selanjutnya adalah uji MIC (Minimum Inhibitory Concentration) ,Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) (Kubo et al., 1993) adalah konsentrasi terendah senyawa antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji. Bakteri uji yang digunakan untuk penentuan MIC substrat antimikroba adalah Staphylococus aureus, Escherichia coli dan Salmonella.Penentuan MIC dengan metode difusi kertas cakram dengan konsentrasi ekstrak 0, 0,25%, 0,50%, 0,75%, 1%, 2%,3%,4%,5% (Kubo et al., 1993).

4.    Tahap IV: Pengujian ekstrak andaliman pada salai ikan patin

Setelah diperoleh konsentrasi hambat minimum ekstrak andaliman dari uji MIC kemudian dilanjutkan dengan aplikasi ekstrak daun salam terhadap ikan salai patin. Ekstrak daun salam disemprotkan kepada ikan salai patin lalu dibungkus dengan plastik, sebagai pembanding ikan salai tanpa pemberian ekstrak daun salam, ikan salai patin disimpan selama 1, 2, 3, 4 dan 5, selanjutnya ikan salai patin akan di hitung Total Plate Count (TPC).

 

Hasil dan Pembahasan

Daun salam diperoleh dari petani di Rokan Hulu, Riau. Daun salam dibersihkan dari ampas dan dicuci, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40� C selama 48 jam. Sampel yang sudah kering dihancurkan menggunakan blander hingga hancur dan menjadi serbuk dan kemudian siap untuk di ekstraksi, serbuk simplisia dimasukkan ke dalam 4 buah wadah dan direndam (dimaserasi) pada suhu ruang dengan pelarut masing-masing (pelarut air, metanol, etilasetat, n-heksan). Setelah 3 hari pemaserasian, maserat kemudian disaring, filtrat dipisahkan dan ampasnya direndam kembali dengan larutan yang baru. Maserasi dilakukan 3 kali. Filtrat yang diperoleh kemudian dipisahkan pelarut dan ekstrak dengan vacumrotary evaporator pada suhu 500C dan diuapkan sehingga terpisah pelarutnya dengan ekstak daun salam. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap masing-masing pelarut yaitu air, metanol, etil asetat, dan heksana, Kadar air daun salam setelah dikeringkan adalah8,65 %. Hasil ekstraksi yang diperoleh dari masing-masing pelarut air, methanol, etil-asetat dan heksana adalah 42,3 g, 51,5g, 49,7 dan 40,2, diperoleh dari masing-masing 0,5 kg serbuk daun salam. Setelah diperoleh ekstrak daun salam selanjutnya ekstrak daun salam yang diperoleh dari keempat pelarut diuji fitokimia. Tujuan dari pengujian fitokimia terhadap ekstrak daun salam yaitu untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam ekstrak daun salam. Hasil pengujian fitokimia ekstrak daun salamdari berbagai jenis pelarut sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 1.

Hasil pengujian fitokimia ekstrak daun salam dari berbagai pelarut

Senyawa bioaktif

 

Pelarut Eksrak Andaliman

 

Air

Metanol

Etil Asetat

Heksana

Alkaloid

 

-

+

+

+

Flavoniod

 

+

+

+

-

Glikosida

 

+

+

+

-

Saponin

 

-

+

+

-

Tanin

 

+

+

+

-

Triterpen/steroid

 

-

+

-

+

Glikosida Antrakuinon

 

-

+

-

-

 

Berdasarkan hasil uji fitokimia ekstrak daun salam mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, sapoin, tanin, triterpen/steroid dan glikosida antrakuinon. Beberapa senyawa aktif tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami pada makanan, seperti alkaloid dan flavonoid. Menurut (Hidayat, 2015) mekanisme alkaloid sebagai antibakteri yaitu dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut dan Mekanisme kerja flavonoid sebagai antimikroba adalah dengan menghambat fungsi membran sel adalah membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa intraseluler. Pada Penelitian (Yuliati, 2012) nenyatakan daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) mengandung senyawa bioaktif memberikan aktivitas antimikroba terhadap mikroba Bacillus subtilis, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Salmonella typhi, Staphylococcus epidermis, Streptococcus mutans, Shigella dysenteriae, dan Candida albicans.

A.  Uji Antimikroba

1.    Aktivitas antibakteri ekstrak daun salam terhadap Staphylococcusaureus.

Aktivitas antimikroba ekstrak daun salam dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus bisa dilihat pada gambar 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan antara jenis pelarut dan konsentrasi ekstrak daun salam berpengaruh nyata terhadap daya hambat aktifitas bakteri Staphylococcus aureus.

Gambar 1. Pengaruh ekstrak daun salam dari berbagai pelarut terhadap zona hambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

 

Gambar diatas menunjukkan bahwa pelarut etil asetat dengan konsentrasi 100% memiliki daya hambat yang paling besar terhadapa pertumbuhan Staphylococcus aureus yaitu 18,15 mm, sedangkan yang memiliki daya hambat terkecil pada pelarut heksan dengan konsentrasi 25% sebesar 5,70 mm. perbedaan zona hambat ini disebabkan kemampuan dari masing-masing pelarut dalam menarik senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak daun salam. Ekstrak daun salam dengan pelarut etil asetat dan metanol menarik hampir semua senyawa aktif yang terdapat pada daun salam, sedangkan ekstrak dengan pelarut air dan heksan lebih sedikit.

Kandungan flavonoid pada ekstrak daun salam ternyata sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococus aureus, flavonoid yang bersifat polar sehingga lebih mudah menembus lapisan peptido glikan mikroba yang juga bersifat polar daripada lapisan lipid yang nonpolar, dinding sel Staphylococus aureus mengandung polisakarida (asam terikoat) merupakan polimer yang larut dalam air yang berfungsi sebagai transfor ion positif untuk keluar masuk, dengan terganggunya dinding sel akan menyebabkan lisis pada sel, mekanisme lain flavonoid sebagai antimikroba adalah menghambat fungsi membran sel dengan cara mengganggu permebealitas membran sel dan menghambat ikatan enzim seperti ATPase dan phospholipase (Hidayat, 2015).

2.    Aktivitas antimikroba ekstrak daun salam terhadap Escherichia coli.

�� Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan antara jenis pelarut dan konsentrasi ekstrak daun salam memberikan pengaruh sangat nyata terhadap zona hambat pertumbuhan Escherichia coli.Aktivitas antimikroba ekstrak daun salam dalam menghambat pertumbuhan Escherichia coli bisa dilihat pada Gambar 2.

 

Gambar 2. Pengaruh ekstrak daun salam dari berbagai pelarut terhadap zona hambat pertumbuhan Escherichia coli

 

�� Gambar 2. menunjukkan bahwa pelarut etil asetat dengan konsentrasi 100% memiliki daya hambat yang paling besar yaitu 18,01 mm, sedangkan yang memiliki daya hambat terkecil pada pelarut heksana dengan konsentrasi 25% yaitu dengan zona hambat 6,75. Interaksi antara berbagai jenis pelarut dan konsentrasi ekstrak daun salam menunjukkan bahwa pelarut etil-asetat dan metanol memiliki daya hambat yang lebih tinggi dari pada pelarut lainnya, hal ini karena pelarut etil asetat dan metanol merupakan pelarut yang bersifat polar dan kemungkinan lebih banyak menyerap flavonoid yang merupakan senyawa aktif yang larut dalam pelarut polar yang ada pada andaliman. Selain flavonoid juga terdapat senyawa lain yang mampu menjadi antimikroba pada ekstrak daun salam dengan pelarut etil-asetat yaitu saponin dan tanin.

Menurut (Hidayat, 2015) mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri yaitu dapat menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari dalam sel. Ekstrak daun salam juga mengandung tanin, tanin memiliki aktivitas antibakteri yang berhubungan dengan kemampuannya untuk menginaktifkan adhesin sel mikroba, menginaktifkan enzim, dan menggangu transport protein pada lapisan dalam sel. Heksana merupakan pelarut yang paling rendah daya hambat terhadap aktivitas Escherichia coli. Hal ini disebakan karena heksan merupakan senyawa yang bersifat nonpolar dan tidak dapat menyerap flavonoid, saponin dan tanin yang menjadi senyawa aktif sebagai antimikroba yang terdapat pada daun salam.

3.    Aktivitas Antibakteri ekstrak daun salam terhadap Salmonella

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan antara jenis pelarut dan konsentraksi ekstrak daun salam menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap daya hambat pertumbuhan mikroba Salmonella. Ekstrak daun salam dengan menggunakan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 100% memiliki daya hambat yang paling tinggi terhadap pertumbuhan Salmonella, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.

 

Gambar 3.Pengaruh ekstrak daun salam dengan berbagai pelarut terhadap zona hambat pertumbuhan bakteri Salmonella

 

Sama seperti uji antimikroba ekstrak daun salam terhadap Staphylococus aureus dan Escherichia coli pada pengujian ekstrak daun salam pada bakteri salmonella zona hambat yang paling besar dimiliki pada ekstrak daun salam dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 100% dan yang terkecil adalah ekstrak daun salam dengan pelarut heksan pada konsentrasi 25%, hal ini disebabkan karena pekarut etil-asetat mampu mengikat lebih banyak senyawa aktif yang bersifat polar pada ekstrak daun salam seperti senyawa flavonoid, saponin dan tanin yang mempunyai sifat antibakteri. Pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi ekstrak daun salam terhadap zona hambat pertumbuhan mikroba Staphylococcus aureus Escherichia coli, dan Salmonella tergolong kuat. Antimikroba suatu bahan uji disebut menghambat kuat jika memiliki zona hambat lebih besar dari 11 mm, menghambat sedang dengan zona hambat 6-11 mm, sedangkan bila zona hambat lebih kecil dari 6 mm adalah menghambat lemah/rendah (Nurliana et al., 2010).

B.  Uji Minimum Inhibitor Consentration (MIC)

Setelah diperoleh ekstrak daun salam yang memiliki daya hambat yang paling baik terhadap aktivitas pertumbuhan bakteri akan dilanjutkan pada pengujian Minimum Inhibitor Concentration (MIC). Ekstrak daun salam dengan pelarut etil-asetat dan metanol merupakan ekstrak yang mempunyai zona hambat yang paling besar. Hasil uji fitokimia juga menunjukkan bahwa pada eksatrak daun dengan pelarut etil-asetat dan metanol mampu mengikat senyawa-senyawa aktif yang ada pada ekstrak daun salam, uji MIC dilakukan dengan menggunakan ekstrak daun salam etil-asetat, selain ekstrak daun salam dengan pelarut etil-asetat merupakan yang mempuyai zona hambat yang tertinggi ekstrak daun salam dengan pelarut etil-asetat dianggap lebih aman daripada ekstrak daun salam yang menggunakan metanol yang dianggap berbahaya apabila digunakan pada pangan. Pada penelitian ini diperoleh bahwa ekstrak daun salam dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 100% merupakan yang tertinggi dalam mengambat pertumbuhan mikroba.

Penentuan MIC yaitu dengan menguji konsentrasi paling rendah dari ekstrak daun salam dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Minimum Inhibitor Concentrationadalah konsentrasi terendah dari senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan mikrobia uji. Uji MIC pada peneltian ini dilakukan terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella dapat dilihat pada Tabel1, Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai MIC ekstrak etil-asetat daun salam adalah 1%. Konsentrasi ini selanjutnya digunakan untuk aplikasi ekstrak daun salam pada ikan salai patin.

 

Tabel 2.

Hasil pengujian MIC ekstrak etil-asetat dari daun salam terhadap pertumbuhan Staphylococus aureus,Escherichia coli dan Salmonella.

Konsentrasi ekstrak (%)

Staphylococus aureus

Escherichia coli

Salmonella

5

+

+

+

4

+

+

+

3

+

+

+

2

+

+

+

1

+

+

+

0,5

+

-

-

0,25

-

-

-

0,1

-

-

-

Keterangan: (+) Ekstrak masih dapat menghambat aktivitas mikroba

(-) Ekstrak tidak dapat menghambat aktivitas mikroba

 

C.  Aplikasi Ekstrak daun salam Terhadap Produk ikan salai patin

Tujuan dari aplikasi ekstrak daun salam pada ikan salai patin adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak daun salam pada aktifitas mikroba pada produk ikan salai patin. Ikan salai patin akan disemprot dengan larutan ekstrak daun salam dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 1%kemudian ikan salai patin dimasukkan ke dalam plastik dan diamkan pada suhu kamar.

Metodeperhitungan mikroba yang dilakukan pada peneltian ini adalah Total plate count. Pengamatan terhadap total mikroba dilakukan pada hari ke-1 hingga hari ke-5. Pengaruh pemberian ekstrak daun salam terhadap nilai total plate count (TPC) dari ikan salai patin dibandingkan dengan ikan salai patin tanpa pemberian ekstrak daun salam selama 5 hari dapat dilihat pada Tabel 3.

 

Tabel 3.

Pengaruh pemberian ekstrak daun salam terhadap nilai total plate count (TPC)

Sample

TPC ikan Salai Patin

Hari ke-1

Hari ke-2

Hari ke-3

Hari ke-4

Hari ke-5

Tanpa penambahan ekstrak daun salam

4,5 x 104

4,2 x 105

5,7 x 105

4,3 x 107

5,3 x 109

Dengan penambahan ekstrak daun salam

3,5 x 103

 

3,4 x 104

5,7 x 104

4,9 x 106

7,2 x 107

 

Pada penelitian ini jumlah bakteri yang tumbuh pada sampel fillet ikan yang langsung dianalisa (0 Hari) adalah 2,7 x103 , Berdasarkan standar mutu produk olahan ikan menurut BPPOM batas maksimal TPC adalah 1x105 sehingga ikan salai patin tanpa penambahan ekstrak sudah tidak layak dikonsumsi pada hari kedua. Karena pada hasil perhitungan TPC pada hari kedua ikan salai patin tanpa penambahan ekstrak daun salam yaitu 4,2 x 105. Sedanghkan pada sampel ikan salai patin yang ditambahkan ��ekstrak daun salam jumlah perhitungan TPC nya masih dibawah batas maksimal sampai pada hari ke-3 yaitu 5,7 x 104, karena kandungan senyawa aktif pada ekstrak daun salammampu menghambat pertumbuhan bakteri, salah satu senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak daun salam adalah flavonoid, salah satu mekanisme flavanoid sebagai antimikroba adalah menghambat fungsi membran sel dengan cara mengganggu permebealitas membran sel dan menghambat ikatan enzim seperti ATPase dan phospholipase (Hidayat, 2015), selain flavonoid beberapa sumber juga menyatakan senyawa saponin juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba, Saponin merupakan zat hemolitik yang kuat serta memiliki sifat seperti sabun. Saponin juga bersifat, antimikrobia, antiperadangan dan memiliki aktivitas sitotoksik (Kirana & TH, 2002).

Kandungan senyawa aktif lain pada ekstrak daun salam yaitu tanin, tanin, mempunyai sifat sebagai pengelat berefek spasmolitik, yang dapat mengerutkan membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel. Akibat terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati (Ajizah, 2018).

Pada hari ke-4 sampel dengan penambahan ekstrak daun salam sudah melewati batas maksimal cemaran mikroorganisme, sehingga diharapkan agar lebih berhati-hati dalam mengolah produk ikan salai tersebut sebelum dikonsumsi.

 

 

Kesimpulan

Ekstrak daun salam mengandung berbagai senyawa aktif seperti alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tannin, triterpen dan glikosida antrakuinon. Senyawa aktif yang berperan besar sebagai antimikroba pada ekstrak daun salam adalahflavonoid, saponin dan tannin. Jenis pelarut terbaik yang memberikan daya hambat terbaik adalah ekstrak daun salam dengan pelarut etil-asetat. Konsentrasi Minimum Inhibitor Concentration (MIC) pada penelitian ini adalah 1%. Ekstrak daun salam dapatmenghambat pertumbuhan mikroba pada fillet ikan salai patin sampai dibawah batas naksimum yang di tetapkan oleh BPPOM 1x105 hingga hari ke-3, sedangkan pada sample tanpa penambahan ekstrak daun salam hanya mampu bertahan sampai batas maksimum pada hari pertama .

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Ajizah, A. (2018). Sensitivitas Salmonella Typhimurium terhadap Ekstrak Daun Psidium Guajava L. Bioscientiae, 1(1), 31�38. https://doi.org/10.20527/b.v1i1.130. Google Scholar

 

Akerina, F. O. (2018). Analisis Mikroba Ikan Tuna Asap Pada Beberapa Pasar Di Tobelo, Halmahera Utara. Prosiding Seminar Nasional Kemaritiman Dan Sumber Daya Pulau-Pulau Kecil, 2(1), 45�50. Google Scholar

 

Hakim, L. (2015). Rempah dan Herba Kebun-Pekarangan Rumah Masyarakat: Keragaman Sumber Fitofarmaka dan Wisata Kesehatan-Kebugaran. Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia. Google Scholar

 

Hakim, L., Batoro, J., & Sukenti, K. (2015). Etnobotani Rempah-Rempah di Dusun Kopen Dukuh, Kabupaten Banyuwangi. Indonesian Journal of Environment and Sustainable Development, 6(2), 133�142. Google Scholar

 

Harismah, K. (2017). Pemanfaatan daun salam (Eugenia polyantha) sebagai obat herbal dan rempah penyedap makanan. Warta Lpm, 19(2), 110�118. https://doi.org/10.23917/warta.v19i2.2742. Google Scholar

 

Hidayat, S. (2015). Uji Aktivitas Antibakteri Infusa Daun Mangga Bacang (Mangifera foetida L.) Terhadap Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Jurnal Mahasiswa PSPD FK Universitas Tanjungpura, 3(1), 1�20. Google Scholar

 

Kirana, R., & TH, T. (2002). Obat-obat penting, khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya. Jakarta: PT Elek Media Komputindo kelompok Gramedia. Google Scholar

 

Kubo, I., Muroi, H., & Kubo, A. (1993). Antibacterial activity of long-chain alcohols against Streptococcus mutans. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 41(12), 2447�2450. https://doi.org/10.1021/jf00036a045. Google Scholar

 

Muzafri, A., & Alfiah, L. N. (2021). Deteksi Kehadiran Mikroba Indikator Coliform pada Air Minum Isi Ulang di Kelurahan Tambusai Tengah, Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu. SUNGKAI, 9(2), 28�33. Google Scholar

 

Muzafri, A., & Karno, R. (2022). Testing of Andaliman Extract (Zanthoxylum Acanthopodium Dc) With 4 Types of Solutions (Ethyl Acetate, Aquades, Methanol, And Hexane) on Growth of Bacteria Escherichia Coli. KESANS: International Journal of Health and Science, 1(4), 337�343. https://doi.org/10.54543/kesans.v1i4.50. Google Scholar

 

Nashiruddin, M. K., Swastawati, F., & Susanto, E. (2016). Analisis kadar kolesterol dan kualitas ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) asap menggunakan asap cair berbeda. Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 5(1), 28�35. Google Scholar

 

Nurliana, S. M., Sudirman, L. I., & Sanjaya, A. W. (2010). Aktivitas Antimikroba dan Penetapan LC 50 Ekstrak Kasar Etanol dari Plieku: Makanan Fermentasi Tradisional Aceh. Jurnal Kedokteran Hewan, 4(1), 32�38. Google Scholar

 

Robi, Y., & Kartikawati, S. M. (2019). Etnobotani rempah tradisional di desa empoto kabupaten sanggau kalimantan barat. Jurnal Hutan Lestari, 7(1), 130�142. https://doi.org/10.26418/jhl.v7i1.31179. Google Scholar

 

Susanti, F. A., & Janhar, I. A. (2016). Identifikasi Salmonella sp. pada ikan asap di pasar tradisional Kota Kendari. Jurnal Biowallacea, 3(2), 467�473. Google Scholar

 

Yuliati, M. (2012). Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) Terhadap Beberapa Mikroba Patogen Secara KLT-Bioautografi. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Google Scholar

 

Copyright holder:

Al Muzafri, Edward Bahar, Yuliana Susanti, Lufita Nur Alfiah,Khusnu Abdillah Siregar

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: