Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 12,
Desember 2022
PENGARUH
STRATEGI PERANG DAGANG DONALD TRUMP TERHADAP HUBUNGAN DAGANG AMERIKA DAN
TIONGKOK
Ismail
Kamal, Muhammad Fuad
Universitas
Indonesia, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Perang dagang
merupakan kebijakan Presiden Donald Trump untuk menstabilkan ekonomi Amerika
Serikat yang mengalami defisit perdagangan pada tahun 2018. Defisit perdagangan
terbesar dalam neraca perdagangan Amerika Serikat disumbang oleh Tiongkok. Oleh
sebab itu, Donald Trump menetapkan kebijakan perang dagang dengan Tiongkok
dengan menaikkan tarif bea impor yang kemudian dibalas hal serupa oleh
Tiongkok. Akan tetapi, defisit perdagangan yang dialami oleh Amerika terhadap
Tiongkok tidak hanya terjadi pada era Donald Trump saja, defisit perdagangan
tersebut dimulai di era pemerintahan Ronald Reagan pada tahun 1985, enam tahun
setelah Amerika dan Tiongkok resmi menjalin hubungan bilateral pada 1979.
Hubungan dagang antara Amerika dan Tiongkok yang saling bergantung dan sudah
terjalin lama ini tentu saja mengalami dampak besar dari perang dagang. Untuk
menganalisis hal tersebut, penelitian ini mengevaluasi perang dagang di era
Donald Trump atas dasar hubungan dagang Amerika dan Tiongkok. Setelah itu,
strategi perang dagang yang dilakukan Donald Trump juga akan dianalisis
berdasarkan dokumen �Economic and trade agreement between the United States of
America and the People�s Republic of China� sebagai bentuk kesepakatan dagang
baru untuk meredam perang dagang. Sebagai pembanding, perang dagang di era
Donald Trump akan dibandingkan dengan perang dagang di era Ronald Reagan sebagai
bahan evaluasi. Sehingga, dapat dilihat bagaimana dampak perang dagang di era
Donald Trump terhadap hubungan dagang Amerika dan Tiongkok. Penelitian ini
menemukan bahwa perang dagang tidak dapat menyelamatkan Amerika dari defisit
yang terjadi, namun banyak aspek dalam hubungan dagang yang terkena dampak dari
perang dagan tersebut.
Kata
Kunci:
Perang Dagang, Tarif Bea Impor, Amerika, Tiongkok, Donald Trump.
Abstract
The trade war
was President Donald Trump's policy to stabilize the United States economy,
which experienced a trade deficit in 2018. The largest trade deficit in the
United States' trade balance was contributed by China. Therefore, Donald Trump
set a policy of trade war with China by increasing import duty tariffs which
were then reciprocated by China. However, the trade deficit experienced by
America against China did not only occur during the Donald Trump era, the trade
deficit began during the Ronald Reagan administration in 1985, six years after
America and China officially established bilateral relations in 1979. Trade
relations between America and China which is interdependent and has long been
intertwined is of course experiencing a huge impact from the trade war. To
analyze this, this study evaluates the trade war in the era of Donald Trump on
the basis of US and China trade relations. After that, Donald Trump's trade war
strategy will also be analyzed based on the document "Economic and trade agreement
between the United States of America and the People's Republic of China"
as a form of a new trade agreement to quell trade wars. As a comparison, the
trade war in the Donald Trump era will be compared to the trade war in the
Ronald Reagan era as evaluation material. Thus, it can be seen how the impact
of the trade war in the era of Donald Trump on US and China trade relations.
This research found that the trade war could not save America from the deficit
that occurred, but many aspects of trade relations were affected by the trade
war.
Keywords: Trade War,
Customs Tariff, America, China, Donald Trump.
Pendahuluan
Perang dagang antara
Amerika Serikat dan Tiongkok terjadi di era kepemimpinan Donald Trump.
Tepatnya, pada tahun 2018, Amerika yang terus menerus mengalami defisit
perdagangan dengan Tiongkok, memutuskan untuk menaikkan tarif bea impor yang
berakibat terhalangnya pasar bebas dalam perdagangan internasional. Langkah
berani Presiden Trump ini dilakukan untuk menyelamatkan dan menstabilkan perekonomian
Amerika Serikat.
����������� Tingginya tarif yang dikenakan oleh Amerika Serikat
terhadap Tiongkok yang akan menerima impor barang terhadap negara yang akan
melakukan impor menimbulkan dampak ekonomi. Pasalnya, negara yang akan
melakukan impor akan terbebani dengan tarif bea tersebut dan hal itu akan
memengaruhi neraca perdagangannya sebab Tiongkok akan mengeluarkan biaya ekstra
untuk menjual produknya ke luar negeri. Akibatnya, Tiongkok merasa
perdagangannya dihambat dan membalas menaikan tarif bea impor juga terhadap
Amerika Serikat yang menaikan tarif bea. Hal tersebutlah yang dikenal sebagai
perang dagang.
Perang dagang merupakan
bagian dari hambatan perdagangan karena efeknya akan menyulitkan jalannya
pertumbuhan ekonomi. Hambatan tersebut tidak hanya peningkatan tarif saja,
namun pembatasan arus impor, dan peningkatan kualitas impor agar barang atau
jasa tersebut dapat masuk ke negara lain juga merupakan bagian dari hambatan
perdagangan saat kedua pihak negara melakukan perang dagang. Oleh sebab itu,
perang dagang juga diartikan sebagai kondisi ketegangan ekonomi antara dua
negara, dalam konteks ini adalah Amerika Serikat dan Tiongkok.
Secara sederhana,
perang dagang adalah perang tarif bea impor oleh dua negara yang berperang.
Tidak seperti perang fisik, perang dagang tidak menggunakan alat-alat tempur
atau senjata beserta militer dalam prakteknya. Namun tujuan perang dagang ini
hampir mirip dengan perang senjata, yaitu sama-sama untuk mempertahankan
stabilitas negara. Dalam konteks perang perang dagang, stabilitas yang disasar
adalah kestabilan ekonomi negara.
Negara yang terlibat
perang dagang saling menyerang dengan tujuan menyelamatkan perekonomian kedua
belah pihak. Padahal, perang dagang diawali oleh negara yang ingin
menanggulangi krisis ekonomi dengan menaikkan tarif bea impor. Namun negara
yang terserang juga tidak mau kalah dan tidak mau perekonomiannya juga
memburuk, oleh karena itu negara yang dinaikkan tarif bea impornya akan
membalas.
Alih-alih memperbaiki
perekonomian negara, perang dagang memiliki efek merugikan kedua belah pihak
negara yang berseteru. Pihak yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat.
Akibat perang dagang, masyarakat akan merasakan kenaikan harga barang. Barang-barang
impor akan mengalami kenaikan harga di pasaran. Hal tersebut terjadi karena
negara pengimpor barang ingin menutupi biaya produksinya.
Secara tidak sadar,
masyarakat negara yang diekspor harus membayar bea tarif yang dikenakan oleh
negaranya sendiri. Oleh sebab itu, harga barang impor mengalami kenaikan.
Kenaikan harga tersebut tentu saja menyulitkan masyarakat untuk dapat membeli
atau menikmati barang-barang impor karena mereka harus mengeluarkan lebih
banyak uang.
Di sisi pemerintah
sebenarnya ada tujuan baik dengan diberlakukannya perang dagang. Dengan naiknya
harga barang-barang impor, diharapkan masyarakat akan beralih untuk
membelanjakan uangnya ke barang-barang produksi dalam negeri. Namun, hal ini
tidak bisa terjadi apabila barang-barang ini tidak diproduksi di dalam negeri
dan hanya diproduksi oleh negara-negara tertentu. Mau tidak mau, masyarakat
hanya bisa mendapatkan barang tersebut dengan membelinya dari luar negeri. Pada
akhirnya, masyarakat ikut kebagian untuk menanggung naiknya tarif bea impor
ini.
Perang dagang
sebenarnya adalah bagian dari kebijakan proteksionisme terhadap krisis ekonomi
yang terjadi pada negara tersebut. Kebijakan proteksionisme yang dimaksud
adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai upaya untuk pengendalian
impor atau ekspor dengan cara mengatasi hambatan dalam perdagangan (Sumadji,
2006).
Hambatan dalam perdagangan dapat berupa tarif dan kuota impor dan ekspor
barang. Tujuannya adalah untuk melindungi industri dan usaha dalam negeri dari
persaingan industri dan usaha luar negeri.
Landasan� pemerintah memberlakukan kebijakan
proteksionisme salah satunya adalah untuk melindungi industri kecil dalam
negeri (Kartika,
2013).
Argumen ini didukung oleh pemikiran Alexander Hamilton, Menteri Keuangan
Amerika Serikat pertama. Hamilton berpendapat bahwa industri kecil (infant
business) belum memiliki kapabilitas dan stabilitas ekonomi seperti industri
yang sudah besar sehingga industri kecil masih membutuhkan dukungan pemerintah
untuk berkembang. Dengan begitu, industri kecil memiliki kesempatan yang kecil
untuk bersaing dengan industri dari luar negeri.
Selain itu, landasan
pemerintah melakukan kebijakan proteksionisme adalah agar negara yang tidak
memberlakukan sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN), seperti Amerika Serikat
tidak mengalami kerugian yang disebabkan oleh besarnya kuota produk asing yang
masuk ke negaranya (Kartika,
2013).
Apabila produk asal Amerika Serikat dijual ke luar negeri yang memberlakukan
tarif PPN, Amerika Serikat akan menanggung beban pajak yang dikenakan oleh
negara tersebut. Sedangkan, apabila produk dari negara yang membebankan PPN
masuk ke Amerika Serikat, beban pajak ditanggung oleh negara produsen.
Tujuannya adalah agar� produk lokal dapat
bersaing secara harga dengan produk impor.
Kebijakan-kebijakan
dalam menstabilkan ekonomi negara tersebut merupakan bagian dari perang dagang.
Namun, perlu diingat bahwa perang dagang tidak mungkin terjadi apabila hanya
ada satu negara yang menaikkan tarif bea impor demi menumbuhkan ekonomi
negaranya. Perlu ada balasan serupa kenaikan tarif juga dari negara kedua
sebagai bentuk balasan kepada negara yang lebih dahulu menaikan tarif bea
impornya.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan
dengan metode kualitatif untuk mendeskripsikan makna dan proses terkait
kebijakan Perang Dagang Amerika Serikat baik di era Donald Trump maupun Ronald
Reagan. Pendekatan ini dapat menjadi perspektif yang membantu penulis merancang
rumusan masalah dalam penelitian (Creswell,
2016).
Metode kualitatif berfokus kepada proses yang terjadi. Tidak seperti metode
kuantitatif yang ajeg menggunakan jumlah data yang diperoleh dari penelitian,
penelitian kualitatif lebih melihat kepada proses bagaimana penelitian objek
tersebut bisa terjadi.
Menurut Creswell, salah
satu tujuan metode penelitian kualitatif�
adalah untuk menjelaskan perilaku dan sikap tertentu (Creswell,
2016).
Dalam penelitian ini, penulis bermaksud melakukan analisis terhadap sikap dan
perilaku dari pembuat kebijakan. Pembuat kebijakan Perang Dagang antara Amerika
dan Tiongkok adalah pemerintah kedua belah negara. Dalam sudut pandang Amerika,
Donald Trump sebagai kepala negara.
Proses desain studi
kualitatif pada dasarnya sama dengan penelitian ilmiah. Metode penelitian
kualitatif dimulai dengan asumsi, interpretatif dan topik penyelidikan,
kemudian menyatakan masalah/topik penelitian, lalu menyampaikan pertanyaan
terbuka, mengumpulkan bentuk data, dan terakhir memahami data tersebut. Dengan
begitu, akan didapatkan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Metode
kualitatif berfokus kepada proses yang terjadi. Tidak seperti metode
kuantitatif yang ajeg menggunakan jumlah data yang diperoleh dari penelitian,
penelitian kualitatif lebih melihat kepada proses bagaimana penelitian objek
tersebut bisa terjadi.
Creswell membuat lima
klasifikasi utama dalam penelitian kualitatif, yaitu narrative research,
phenomenology, grounded theory, ethnography, dan case study.� Dalam penelitian ini, narrative research
dapat dijadikan acuan untuk menganalisis dokumen perjanjian Perang Dagang
Amerika dan Tiongkok. Hal ini karena dalam dokumen tersebut tertulis
kesepakatan-kesepakatan ekonomi yang dilandasi hukum. Berarti, kesepakatan
tersebut resmi dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Dengan pendekatan
narrative research dapat dilihat bagaimana strategi Perang Dagang Donald Trump
dideskripsikan dalam teks.
1.
Metode
Penelitian Analisis Wacana
Setelah menggunakan metode penelitian kualitatif,
penelitian ini juga menggunakan metode penelitian dengan pendekatan analisis
wacana. analisis wacana pada umumnya menarget language use atau bahasa yang
digunakan sehari-hari, baik yang berupa teks lisan maupun tertulis, sebagai
objek kajian atau penelitiannya. Jadi, objek kajian atau penelitian analisis
wacana adalah unit bahasa di atas kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan
dan konteks, bisa berupa naskah pidato, rekaman percakapan yang telah
dinaskahkan, percakapan langsung, catatan rapat, debat, ceramah atau dakwah
agama, dan lain sebagainya (Purbani,
2005).�
Metode penelitian analisis wacana atau discourse
analysis digunakan untuk menganalisis sumber utama dari penelitian ini yang
berupa dokumen �Economic and trade agreement between the United States of
America and the People�s Republic of China�.�
Crystal dan Cook dalam Nunan (1993) mendefinisikan discourse atau wacana
sebagai unit bahasa lebih besar daripada kalimat, sering berupa satuan yang
runtut/koheren dan memiliki tujuan dan konteks tertentu, seperti ceramah agama,
argumen, lelucon atau cerita.
2.
Metode
Penelitian Kebijakan
Kebijakan Perang Dagang Amerika dan Tiongkok yang
dibuat oleh Donald Trump diawali berdasarkan masalah yang dihadapi oleh Amerika
Serikat. Masalah yang dihadapi oleh Amerika ketika mengeluarkan kebijakan
Perang Dagang adalah defisit ekonomi. Hal ini merupakan awal dari pembuatan
kebijakan oleh pemerintah Amerika dalam mengambil keputusan untuk mengatasi
masalah tersebut.
Pendapat ini diperkuat oleh McMillan dan Schumacher
dalam Research in Education yang berpendapat bahwa �Policy analysis evaluates
government policies to provide policymakers with pragmatic action-oriented
recommendations. Policy is both what is intended to be accomplished by
government action and the cumulative effort of actions, assumptions, and
decisions of people who implement public policy.�
Perang Dagang di era Donald Trump dan Ronald Reagan
diawali dengan masalah yang sama, yaitu defisit ekonomi. Lalu, pemerintah
Amerika mengambil keputusan untuk melakukan Perang Dagang demi menstabilkan
kembali ekonomi Amerika. Dengan begitu, dari masalah yang sama, kebijakan yang
sama pula diimplementasikan untuk mengatasi masalah.
�Implementasi
kebijakan tersebut dapat diuraikan dengan metode penelitian kebijakan. Menurut (Dukeshire
& Thurlow, 2002),
langkah-langkah dalam melakukan penelitian kebijakan adalah melakukan
identifikasi terhadap isu-isu kebijakan utama dan berbagai kemungkinan,
merumuskan masalah, menyusun rencana aksi terhadap pengimplementasian
kebijakan, dan terakhir melakukan monitoring dan evaluasi.
Penelitian tentang kebijakan sama halnya dengan
penelitian di bidang sosial lainnya yang menggunakan tahapan-tahapan, oleh
sebab itu penelitian harus dirancang mengikuti tahapan penelitian ilmiah (Ayem
& Nugroho, 2016).
Dalam penelitian kebijakan juga akan dilihat bagaimana dampak dari kebijakan
yang dibuat tersebut.
Metode penelitian tentang kebijakan ini akan
digunakan sebagai pendukung argumen dari analisis wacana terhadap dokumen
perjanjian perdagangan Amerika dan Tiongkok. Metode penelitian tentang
kebijakan digunakan untuk menganalisis aspek fundamental mengapa kebijakan
tersebut diambil, sedangkan untuk melihat dampak dari kebijakan dilakukan
analisis wacana terhadap dokumen perjanjian perdagangan Amerika dan Tiongkok.
Hasil dan Pembahasan
Ketegangan ekonomi antara Amerika Serikat dan
Tiongkok bermula ketika Presiden Donald Trump melihat neraca perdagangan dengan
Tiongkok yang terus-terusan mengalami defisit pada tahun 2018. Berdasarkan
laporan dari US. International Trade Commission (USITC) tahun 2017, tercatat bahwa
penyumbang defisit perdagangan barang terbesar untuk Amerika Serikat adalah
Tiongkok. Tiongkok menyumbang defisit perdagangan sebesar US$ 375,2 miliar,
jumlah ini meningkat 8,1% atau sebesar US$ 28,2 miliar dari tahun sebelumnya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Presiden Trump
mengambil sikap untuk melakukan langkah proteksionisme untuk menyelamatkan
neraca perdagangan Amerika Serikat. Hal inilah yang memicu perang dagang antara
Amerika Serikat dan Tiongkok. Dalam kamus ekonomi, langkah proteksionisme dibagi
menjadi dua pengertian, pertama yaitu perlindungan yang dilakukan oleh
pemerintah. Kedua, proteksionisme merupakan kebijakan pemerintah untuk
mengendalikan jumlah ekspor dan impor dalam rangka mengatasi hambatan
perdagangan seperti tarif dan kuota demi menyelamatkan dunia usaha di dalam
negeri dari persaingan usaha luar negeri.
Langkah proteksionisme yang diambil oleh Presiden
Trump adalah dengan melakukan hambatan perdagangan berupa pembatasan tarif bea
impor produk-produk dari Tiongkok untuk mengendalikan ekspor dan impor (Kartika, 2013). Presiden Trump memberlakukan kenaikan tarif 25%
senilai US$ 60 miliar untuk baja dan aluminium (Rasmus, 2018). Keputusan Presiden Trump ini secara resmi
disampaikan melalui laporan United States Trade Representative (USTR) yang
dirilis pada 22 Maret 2018 (Badiri, 2020). Tidak hanya baja dan alumunium, Amerika Serikat
juga mengenakan kenaikan tarif impor untuk lebih dari 1.300 komoditas yang
berasal dari Tiongkok. Hal ini membuat Tiongkok mengadu ke World Trade
Organization (WTO), atau Organisasi Perdagangan Dunia atas keputusan Presiden
Trump yang menaikan tarif bea impor.
Hambatan perdagangan yang diterima oleh Tiongkok
berdampak negatif pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Tiongkok mau
tidak mau mengambil langkah balasan demi menstabilkan perekonomiannya. Pada
tanggal 2 April 2018, Presiden Xin Jinping mengumumkan akan menaikkan bea impor
15%-25% senilai US$ 34 miliar untuk 128 jenis barang dari Amerika Serikat.
Barang atau komoditas yang terkena imbas kenaikan
tarif oleh Tiongkok ini meliputi daging babi, skrap aluminium, buah-buahan;
apel, anggur, kedelai dan kacang-kacangan; almond. Produk yang paling terkena
dampaknya adalah kedelai. Kedelai merupakan komoditas utama Amerika yang
diimpor ke Tiongkok. Tentu saja hal ini akan memengaruhi perekonomian Amerika
Serikat karena Amerika Serikat membutuhkan dana lebih untuk membayar bea impor
ke Tiongkok.
Imbas perang dagang antara Amerika Serikat dan
Tiongkok pada teknologi tinggi adalah diboikotnya perusahaan raksasa
telekomunikasi Tiongkok, Huawei Technologies Co dan ZTE Corp. Pada April 2018,
Departemen Perdagangan Amerika Serikat memberikan sanksi kepada ZTE Corp untuk
tidak dapat membeli komponen teknologi buatan Amerika Serikat selama tujuh
tahun, baik impor langsung atau dari negara lain.
Pemboikotan ini juga didasari oleh pelanggaran yang
dilakukan oleh ZTE Corp dengan mengirimkan produknya ke Iran dan Korea Utara
yang merupakan negara daftar hitam Amerika Serikat. Akibat aksi ilegalnya ini,
Tiongkok harus membayar denda ke Amerika Serikat. Tentu saja, hal ini membuat
perang dagang di antara ke dua negara tersebut semakin memanas.
Dampak dari pelarangan penggunaan komponen teknologi
buatan Amerika Serikat terhadap ZTE Corp membuat saham mereka anjlok dan
diberhentikan di Hongkong dan Shenzhen. Dengan begitu, ZTE Corp mengalami
kerugian sekitar US$ 1,1 miliar pada kuartal I 2018. ZTE juga diminta untuk
membayar denda ke Amerika Serikat senilai US$ 1,2 miliar. Selain itu ZTE juga dituntut
untuk melakukan penggantian staf di perusahaannya yang terlibat dalam kasus
impor ilegal komponen teknologi tersebut.
����������� April
2018 merupakan bulan yang penuh ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Di pertengahan bulan April, tepatnya pada 17 April 2018, Tiongkok memberlakukan
kebijakan anti-dumping untuk komoditas tepung senilai hampir US$ 1 miliar.
Kebijakan anti-dumping adalah mengenakan tambahan bea masuk untuk barang yang
dijual dengan biaya lebih rendah dari negara asalnya. Untuk kasus ini,
kebijakan anti-dumping tepung merupakan langkah balasan oleh Tiongkok untuk
Amerika Serikat yang mengimpor tepung di bawah harga wajar. Tujuannya agar
tepung lokal tidak terganggu penjualannya akibat kalah saing dengan tepung asal
Amerika Serikat yang dijual dengan harga murah. Di tahun 2019, berbagai jalan
sudah ditempuh untuk meredam perang dagang yang terjadi, beberapa kali
pemerintah Amerika dan Tiongkok mengadakan pertemuan bilateral untuk mencapai
kesepakatan.
A. Strategi
presiden Donald Trump dalam perang dagang dengan Tiongkok
Untuk memenangkan perang dagang dan menstabilkan kembali perekonomian
Amerika akibat defisit perdagangan terhadap Tiongkok, Donald Trump memiliki
beberapa strategi. Strategi tersebut meliputi Penetapan Sejumlah Tarif Terhadap
Barang-barang Tiongkok dan Tawar Menawar Terhadap Perang Dagang Dengan
Tiongkok.
1.
Penetapan
Sejumlah Tarif Terhadap Barang-barang Tiongkok
Pada tahun pertama pemerintahan Presiden Donald Trump, ia memenuhi janji
kampanye untuk bersikap tegas dalam perdagangan, terutama dalam menghadapi
Tiongkok. Dengan memperlihatkan sikap ekonomi yang lebih keras mengenai lanskap
politik domestik yang rumit di Tiongkok, Trump merasa perlu untuk meversifikasi
hubungan ekonomi yang lebih baik lagi antara kedua negara yang bisa membentuk
hubungan baru bagi Amerika Serikat dan Tiongkok. Untuk itu beberapa kebijakan
direalisasikan. Pada tahun 2017, pemerintahan Trump mengerahkan sejumlah
investigasi ke dalam praktik perdagangan luar negeri.� Atas investigasi ini munculnya pernyataan
Trump yang mengkritisi perekonomian Tiongkok, dimana terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakan dari Presiden Trump terhadap Tiongkok (Kimberly et al., 2018).� Kritikan
tersebut menyatakan bahwa Tiongkok telah melakukan pencurian kekayaan
intelektual, pemaksaan transfer teknologi, mempersulit bisnis Amerika masuk ke
Tiongkok sehingga defisit perdagangan dialami oleh Amerika, serta persyaratan
pada usaha patungan yang secara signifikan mengganggu daya saing bisnis Amerika
di masa depan. Dengan begitu Trump merilis daftar 1.300 ekspor Tiongkok yang
dikenai tarif sebesar 25% sebagai tindakan awal yang ditujukan langsung kepada
Tiongkok.
Kebijakan terhadap impor mulai diberlakukan Trump pada 22 Januari 2018
dengan membebankan tarif terhadap panel surya dan mesin cuci menyusul tarif
terhadap baja 25 % pada 8 maret 2018, dan 10 % untuk aluminium. Meskipun secara
tidak langsung ditujukan kepada Tiongkok, namun Tiongkok merupakan negara
pengekspor terbesar pada bidang-bidang yang dikenai tarif oleh Amerika terhadap
barang-barang luar negeri. Kebijakan ini mendapat respon dari Tiongkok yang
kemudian membalas dengan tarif baru terhadap barang-barang Amerika, termasuk
Uni Eropa, Meksiko dan Kanada. Pada 2 April 2018 Tiongkok menetapkan tarif
senilai US$ 3 miliar dari impor Amerika sebagai respon dari perang dagang yang
mempengaruhi 128 produk Amerika seperti anggur, jeruk, babi, dan aluminium. (Anonim, 2020).
Direalisasikannya penetapan tarif baru terhadap barang-barang impor luar
negeri, maka dimulailah perang dagang antara Tiongkok dan Amerika yang
sesungguhnya. Dimana terdapat tiga ronde, Ronde pertama dengan diberlakukannya
tarif US$ 50 miliar dengan penetapan 25 % untuk impor Tiongkok senilai US$ 34
miliar yang mencakup mesin, peralatan konstruksi, dan elektronik. Kemudian pada
23 agustus 2018 kembali diberlakukannya tarif 25 % untuk impor Tiongkok senilai
US$ 16 miliar, seperti gerbong kereta api, minyak, bahan kimia, motor, dan
beberapa komponen elektronik. Pada ronde pertama ini respon dari Tiongkok
membalas tarif impor terhadap produk Amerika senilai US$ 50 miliar. Kemudian
ronde kedua dimulai dengan diumumkannya tarif impor atas Tiongkok senilai US$ 200
miliar, yang mengenakan setengah dari semua ekspor Tiongkok ke Amerika.
Kebijakan ini dibalas Tiongkok dengan penetapan tarif pada 24 September 2018
sejumlah US$ 60 miliar. Balasan tarif dari Tiongkok ke Amerika ternyata
mengganggu Trump, sehingga adanya ronde ketiga perang dagang dimana Amerika
mengancam akan menyasar barang Tiongkok senilai US$ 2,67 miliar, yang merupakan
dijualnya seluruh barang Tiongkok ke Amerika (Anonim, 2020).
Serangan balik antara Amerika-Tiongkok ini membuat perang dagang semakin
memanas terutama pembalasan Tiongkok terhadap daging babi, anggur, buah, dan
kedelai yang membebankan biaya secara signifikan terhadap petani Amerika.
Ancaman pembalasan tarif dari Tiongkok terhadap komoditas pertanian Amerika ini
dianggap paling merugikan yang kemudian menimbulkan protes dari kalangan petani
dan perusahaan terhadap Pemerintah Amerika. Para petani ini memasarkan
produknya ke Tiongkok sehingga menyebabkan ketidakseimbangan perdagangan akibat
kebijakan Amerika terhadap Tiongkok, karena mereka didorong oleh ekonomi makro.
Sehingga Trump menaikkan dua kali lipat, dan meningkatkan tambahan sebesar US$
100 miliar dalam tarif terhadap Tiongkok. Trump mengatakan bahwa pemerintahannya
akan menanggapi serangan balasan dari Beijing dengan gelombang tarif yang jauh
lebih besar, dan meningkatkan prospek balasan yang lebih buruk. Aksi saling
balas dalam penetapan tarif dari kedua negara ini memicu terjadinya perang
dagang yang makin sengit (Kimberly et al., 2018). Menanggapi pemberlakuan tarif ini Trump dan para
penasehatnya berpendapat bahwa tujuan dari tarif impor baru diperlukan untuk
menekan Tiongkok agar meninggalkan praktik yang tidak adil (Jethro & Pranatasari, 2018).
Para analis berpendapat akan sulit melihat Amerika atau Tiongkok mundur
dari perang dagang. Hal ini diungkapkan juga oleh Scott Kennedy, direktur
Proyek Bisnis dan Ekonomi Politik Tiongkok di Pusat Studi Strategis dan
Internasional, dimana kedua negara mengancam aksi sepihak tanpa memiliki
sekutu. Selain itu pemerintahan Trump telah memancing Tiongkok untuk melakukan
serangan balasan. Jika dilihat, ekonomi Amerika cukup kuat untuk menahan segala
batasan dalam perdagangan, dan posisi politik domestik Presiden sama kuatnya
dengan Partai Republik Tujuan dari kebijakan ini juga untuk mendorong keras
Tiongkok pada perdagangan yang dapat membantu mengembalikan kredibilitas
Amerika pada masalah lain (Jethro & Pranatasari, 2018).
Pendekatan perdagangan Trump berbeda dari para pendahulunya, dimana dalam
25 tahun terakhir untuk pertama kalinya pemerintah Amerika melakukan
investigasi sendiri tanpa menunggu petisi dari industri mengenai tuduhan
perekonomian yang tidak adil oleh Tiongkok. Dalam pemerintahannya ini, Trump
juga menetapkan pajak impor dari produk-produk energi solar dan mesin cuci di
bawah Undang-Undang Perdagangan Tahun 1974, dimana undang-undang ini jarang
digunakan sejak tahun 2002. Selain itu pemerintah meluncurkan penyelidikan
pertama kalinya dalam 17 tahun terhadap potensi ancaman keamanan nasional yang
ditimbulkan oleh impor baja dan aluminium berdasarkan Bagian 232 dari
Undang-Undang Perluasan Perdagangan tahun 1962. Keputusan Pemerintahan Trump
ini membatasi impor di bawah undang-undang tersebut untuk pertama kalinya sejak
tahun 1980-an yang meruntuhkan batasan-batasan lama pemerintahan dalam
penggunaan keamanan nasional sebagai alasan untuk melindungi industri domestik.
(Kimberly et al., 2018).
Langkah terakhir Amerika terhadap Tiongkok adalah menghadirkan sensasi
penahanan diri, yang sudah menjadi hal yang umum di kalangan politisi Amerika
dengan tujuan untuk tampil sebagai negara yang hebat. Disini Amerika dinilai
telah mengabaikan fakta bahwa Tiongkok telah berkembang menjadi pusat ekonomi
dunia yang lain dimana pasar Tiongkok saat ini besar dan menarik seperti pasar
Amerika. Hal ini menyebabkan Tiongkok menjadi lawan yang tangguh sehingga
Amerika berusaha menjatuhkan Tiongkok dengan pertempuran yang kejam tanpa
ampun. Dengan diberlakukannya pengenaan tarif impor baru terhadap komoditas
Tiongkok, maka telah terealisasikanlah janji Presiden Trump pada saat kampanye
kepresidenannya dengan kebijakan yang sekarang sudah berjalan (Stevan, 2019,
hal 67).
2.
Tawar Menawar
Terhadap Perang Dagang Dengan Tiongkok
Setelah Donald Trump membidik tarif terhadap barang-barang dari Tiongkok,
dikirimnya Menteri Perdagangan Amerika Serikat (Amerika), Wilbur Ross ke
Tiongkok untuk negosiasi perdagangan. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki
kerangka perdagangan yang mungkin dapat diubah menjadi perjanjian yang mengikat
antara kedua negara. Pada saat yang sama Xi menyampaikan pernyataannya mengenai
hubungan perdagangan ke arah yang lebih baik di Beijing. Namun utusan Amerika
justru mengecam Xi di kantor Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa
dengan menyatakan bahwa Tiongkok membuat kecurangan terhadap perdagangan dan
telah mencuri teknologi Amerika, yang merupakan subjek dari dua tuntutan hukum.
Dalam jangka pendek, dampak ekonomi dari kebijakan tarif Trump ini tidak
terlalu signifikan jika hanya menjadi sebuah ancaman terhadap Tiongkok. Namun
tindakan Trump memicu perang pembalasan yang membuat biaya perang dagang
meningkat dengan cepat dan meningkatkan efek jangka panjang yang dapat membuat
lebih banyak gesekan global dan melambatnya pertumbuhan perdagangan yang akan
mengakibatkan pendapatan yang lebih rendah tidak hanya di Amerika tetapi di
seluruh dunia (Akturk et al., 2018).
Kritikan Amerika atas Tiongkok ditolak oleh Duta Besar Tiongkok, Zhang
Xiangchen, dan menganggap Amerika telah membuat perselisihan dalam WTO. Zhang
menjelaskan bahwa tidak ada pemindahan teknologi secara paksa di Tiongkok dan
menyatakan bahwa praduga Amerika salah. Dalam kenyataannya di Tiongkok, tidak
ada peraturan yang mengharuskan transfer teknologi dari perusahaan asing dan
mengklaim bahwa transfer teknologi merupakan kegiatan komersial yang lebih
menguntungkan Amerika. Sementara inovasi Tiongkok dipicu oleh ketekunan dan
kewirausahaan rakyat Tiongkok, investasi dalam pendidikan dan penelitian, dan
upaya untuk meningkatkan perlindungan kekayaan intelektual (Akturk et al., 2018).
Kebijakan tarif Trump direspon oleh Tiongkok dengan janji akan membalas
impor produk-produk Amerika. Aksi saling serang ini telah berlangsung sejak
awal tahun 2018, dan kedua pihak berusaha mencari solusi untuk mendapatkan
keputusan terbaik bagi kepentingan nasional mereka. Kepentingan perekonomian
antara Amerika dan Tiongkok membuat kedua negara berupaya untuk mencapai
kesepakatan yang dapat memperbaiki hubungan ekonomi yang lebih baik lagi
sehingga Trump berjanji untuk menegosiasikan kembali dengan Xi. Negosiasi
diadakan tiga putaran oleh kedua belah pihak disertai janji Tiongkok untuk
meningkatkan pembelian produk Amerika secara signifikan. Pada awal perang
dagang kesepakatan menunjukkan beberapa hasil. Namun setelah negosiasi ini,
Trump memutuskan untuk terus memberlakukan tarif impor dengan menerapkan tarif
terhadap aluminium dan baja yang membuat perang dagang antara Amerika dengan
Tiongkok memanas kembali.� Ditambah lagi
dengan ancaman tarif baru terhadap mobil yang semakin menambah ketegangan (Irwin, 1998).
Pada saat Presiden Amerika Donald Trump menerapkan tarif lebih tinggi
terhadap produk impor dari Tiongkok, Beijing pun membalas dengan menaikkan
tarif terhadap produk yang datang dari Amerika. Di tengah perang tarif ini,
Amerika mengajukan agar Tiongkok mengirim surat yang akan membahas mengenai
hubungan antara Amerika dan Tiongkok kedepannya dan menegaskan bahwa Amerika
tidak akan memulai negosiasi perdagangan sampai menerima proposal konkret dari
Tiongkok dengan pernyataan menyelesaikan masalah perdagangan ini. Tiongkok
kemudian merespon dan mengirim pesan tertulis seperti permintaan Amerika
Serikat (Amerika) terkait reformasi hubungan dagang kedua negara yang membuat
Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu di sela-sela konferensi tingkat
tinggi G-20 di Argentina. Namun Perang dagang kembali memanas setelah Amerika
mengenakan tarif 25% dari sebelumnya 10% atas US$ 200 miliar produk impor dari
Tiongkok dan akan mengenakan tarif lebih tinggi atas US$ 267 miliar produk
lainnya jika Tiongkok gagal memenuhi permintaan Amerika, serta
direalisasikannya pungutan sebesar US$ 200 miliar dan US$ 50 miliar. Jika
diterapkan, maka tarif pajak barang impor akan mencakup keseluruhan ekspor
Tiongkok ke Amerika yang hanya mengakibatkan dampak negatif pada ekonomi kedua
negara, tetapi juga mengganggu rantai nilai global dan pertumbuhan ekonomi
dunia (Syafina, 2018).
Berdasarkan uraian strategi perang dagang yang Donald Trump belum
berhasil berhasil untuk menstabilkan ekonomi Amerika Serikat hal ini terbukti
dari Amerika selalu mengalami defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok, walau
jumlah defisit terkadang naik dan turun, ditambah dengan banyaknya produk impor
Tiongkok yang masuk ke dalam negara membuat Amerika Serikat menetapkan
kebijakan proteksionisme terhadap Tiongkok.
Pada awal 2020, pemerintah Amerika Serikat dan Tiongkok sepakat membuat
perjanjian dagang untuk mengkaji kembali hubungan dagang mereka. Dalam dokumen
�Economic and trade agreement between the United States of America and the
People�s Republic of Tiongkok� kedua negara menyepakati aturan untuk ekspor
impor komoditas-komoditas.�
B. Perjanjian
Economic and trade agreement between the United States of America and the
People�s Republic of China
Dalam dokumen ini terdapat 7 bab yang diatur dan disepakati bersama oleh
Amerika dan Tiongkok. 7 hal ini diatur agar kedepannya Amerika dan Tiongkok
bisa menjalin hubungan dagang yang lebih adil dan tidak melanggar aturan yang
dapat merugikan salah satu pihak negara. Hal yang diatur dalam perjanjian
tersebut meliputi Hak Milik Intelektual, Transfer Teknologi, Perdagangan
Makanan dan Produk Pertanian, Layanan Keuangan, Kebijakan Makroekonomi dan
Masalah Nilai Tukar Dan Transparansi, Memperluas Perdagangan, dan Evaluasi
Bilateral dan Penyelesaian Sengketa. Dampak dari perjanjian Economic and trade
agreement between the United States of America and the People�s Republic of
China terhadap hubungan dagang Amerika dan Tiongkok adalah� sebagai berikut:
1.
Target Impor
Target impor atau VIEs adalah lawan dari Voluntary Export Restraints
(VERs). Sama seperti VER, ekspansi impor sukarela bertujuan untuk secara
langsung mempengaruhi jumlah yang diperdagangkan secara internasional. Tapi
bukannya batas atas ekspor suatu negara, mereka menyiratkan batas impor suatu
negara. Sementara tujuan memperluas perdagangan dapat dilihat lebih positif
daripada membatasinya, VIEs dianggap sebagai alat kebijakan yang tidak efisien (Irwin, 1998). Alasannya adalah bahwa hal itu menyebabkan
distorsi ekonomi yang bergantung pada: (i) apakah perdagangan di pasar tertentu
yang tunduk pada VIE itu bebas atau terhalang oleh beberapa perlindungan
eksplisit atau tersembunyi; dan (ii) apakah kita fokus pada negara pengekspor,
negara pengimpor, atau negara ketiga (Bown, 2020).
Dalam perdagangan bebas, VIE mensyaratkan penggunaan subsidi impor, baik
secara eksplisit maupun implisit (misalnya, melalui pembelian badan usaha milik
negara). Pertimbangkan pasar barang yang diperdagangkan secara bebas secara
internasional. Dengan asumsi bahwa tidak ada gesekan lain seperti biaya
transportasi, harga tunggal berlaku untuk membeli dan menjual produk ini secara
independen dari lokasi. Efek dari target impor adalah meningkatkan arus barang
di Tiongkok (negara pengimpor), menyebabkan penurunan harga produk dalam negeri
dan perluasan permintaan impornya. Di Amerika Serikat (negara pengekspor), efek
VIE adalah sebaliknya: pasokan barang yang lebih rendah meningkatkan harganya
di Amerika Serikat dan pasokan ekspornya. Dalam konteks ini, importir barang di
Tiongkok akan menghadapi kerugian, karena mereka akan membeli produk di Amerika
Serikat dengan harga yang lebih tinggi daripada yang bisa mereka dapatkan di
Tiongkok. Ini menyiratkan bahwa satu-satunya cara VIE dapat diterapkan dalam praktik
adalah jika pemerintah Tiongkok menawarkan subsidi impor yang sama dengan
selisih antara harga produk di Amerika Serikat dan harga di Tiongkok untuk
setiap unit yang diimpor. Alternatif untuk subsidi impor eksplisit ini adalah
situasi di mana importir, katakanlah perusahaan milik negara atau entitas
publik lainnya, mengalami kerugian. Ini adalah bentuk subsidi implisit, karena
kerugian pada akhirnya akan muncul sebagai entri negatif di neraca pemerintah
negara pengimpor (Bown, 2020).
VIE menurunkan kesejahteraan negara pengimpor lebih dari meningkatkan
kesejahteraan negara pengekspor dan karenanya mengurangi kesejahteraan global.
Subsidi VIE menurunkan harga barang di Tiongkok (importir) dan menaikkannya di
Amerika Serikat (eksportir). Produsen lebih buruk di Tiongkok, di mana mereka
harus bersaing dengan produsen asing bersubsidi, dan lebih baik di Amerika
Serikat, karena subsidi merangsang produksi untuk dijual di Tiongkok. Konsumen
di Tiongkok diuntungkan dengan harga yang lebih rendah, sedangkan konsumen
Amerika justru sebaliknya. Akhirnya, pemerintah Tiongkok harus menanggung biaya
fiskal (langsung atau tidak langsung) dari subsidi/VIE. Menjumlahkan keuntungan
dan kerugian, dampak bersihnya adalah efek negatif pada kesejahteraan di Tiongkok
dan efek positif di Amerika Serikat (Ciuriak, 2020).
Kesimpulannya, bagian ini mendukung tiga kesimpulan kebijakan: (i) target
impor tidak boleh diterapkan untuk produk yang diperdagangkan secara bebas;
(ii) di sektor-sektor yang dilindungi, peningkatan impor harus dicapai melalui
pengurangan hambatan perdagangan daripada melalui mengejar target kuantitatif
dengan cara lain; dan (iii) perluasan impor harus dilaksanakan melalui MFN
daripada liberalisasi yang diskriminatif.
2.
Efek pada
perdagangan dan pendapatan
Mengukur dampak target impor dalam perjanjian perdagangan
Tiongkok-Amerika terhadap perdagangan dan pendapatan kedua negara ini serta
negara ketiga di bawah skenario yang berbeda. Simulasi didasarkan pada model
keseimbangan umum dinamis yang dapat dihitung secara global. , Linkage, yang
menggunakan database Proyek Analisis Perdagangan Global (GTAP) (Delzeit et al., 2020). Model ini melacak pertumbuhan GDP historis, neraca
perdagangan, dan investasi hingga 2019 dan kemudian memproyeksikan perkembangan
ekonomi global hingga 2025. Komitmen Tiongkok untuk membeli lebih banyak barang
dan jasa Amerika sesuai dengan teks perjanjian.
Perjanjian Tiongkok �Amerika Serikat tidak menentukan bagaimana target
impor harus dipenuhi oleh Tiongkok. Pertama, membandingkan perdagangan
terkelola dengan garis dasar di mana tidak ada kesepakatan. Tarif diasumsikan
tetap tidak berubah pada tingkat akhir 2019 dan Tiongkok memenuhi target impor
dengan mensubsidi impor barang dan jasa dari Amerika Serikat. Simulasi
menunjukkan bahwa perdagangan terkelola membuat Amerika Serikat (dan
tetangganya yang memasok input, Meksiko) lebih baik tetapi semua orang lebih
buruk. Kedua, membandingkan perdagangan terkelola dengan perang dagang di mana
tarif Amerika Serikat- Tiongkok meningkat, untuk memahami apa yang menyebabkan
kesepakatan tersebut. Tiongkok dan Amerika Serikat lebih baik dengan
kesepakatan itu daripada dengan perang dagang yang meningkat, tetapi sisanya
dunia lebih buruk. Akhirnya, membandingkan situasi di mana Tiongkok memenuhi
target impor dari Amerika Serikat melalui pengurangan tarif dan hambatan
non-tarif yang tidak diskriminatif daripada melalui perdagangan yang dikelola.
Menunjukkan bahwa liberalisasi nondiskriminatif menghasilkan pendapatan yang
lebih tinggi bagi Tiongkok dan seluruh dunia (Blanchard et al., 2019).
Dibandingkan dengan status quo, perluasan ekspor Amerika ke pasar
Tiongkok yang masih terlindungi memberikan manfaat yang signifikan bagi Amerika
Serikat, dengan total pendapatan lebih tinggi sebesar 0,9% dan total ekspor
lebih tinggi sebesar 3,0% pada tahun 2020. Tetapi keuntungan ini datang dengan
mengorbankan hampir semua negara lain. Tiongkok kehilangan 0,4% dari
pendapatannya pada tahun 2021 karena pengalihan perdagangan yang tidak efisien
dari sumber lain yang lebih efisien, meskipun ada juga penciptaan perdagangan
yang signifikan (bukan hanya peningkatan impor, tetapi juga peningkatan ekspor
karena pertumbuhan yang lebih tinggi di Amerika Serikat dan asumsi perdagangan
seimbang dalam model kami) (Cohen, 2020).
Dampaknya terhadap seluruh dunia juga negatif, dengan pendapatan lebih
rendah sebesar 0,17% dan perdagangan lebih rendah sekitar 0,30% pada tahun
2020. Kerugian relatif terbesar dari pendapatan dan ekspor adalah di Asia Timur
dan Pasifik (tidak termasuk Tiongkok) (�0,32% dan �0,50%, masing-masing pada
tahun 2020), diikuti oleh Amerika Latin (�0,27% dan �0,70%, masing-masing pada
tahun 2020). Liberalisasi sebagian pasar Tiongkok yang dipaksakan sedikit meningkatkan
pendapatan global, seperti yang diantisipasi dalam diskusi analitis (Cohen, 2020).
Selanjutnya dampak dari perjanjian Tiongkok-Amerika dinilai ketika target
impor dipenuhi melalui liberalisasi multilateral daripada perdagangan yang
dikelola. Secara khusus, kesepakatan perdagangan yang dikelola dengan
liberalisasi multilateral oleh Tiongkok (pengurangan tarif dan hambatan
nontarif 15%) yang mencapai keuntungan yang sama dalam ekspor Amerika ke
Tiongkok seperti yang ditargetkan berdasarkan perjanjian Tiongkok-Amerika.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa Amerika Serikat lebih baik dengan
liberalisasi MFN Tiongkok dibandingkan dengan perang dagang tetapi kurang
menguntungkan dibandingkan dengan perdagangan terkelola karena tidak
mendapatkan akses preferensial ke pasar Tiongkok. Hal ini disebabkan efek
jangka waktu perdagangan yang negatif untuk Amerika Serikat (yaitu, harga
ekspornya menurun relatif terhadap harga impor): karena impor agregat Tiongkok
melonjak jauh lebih tinggi, harga yang diterima eksportir Amerika lebih rendah
ketika Tiongkok membuka secara multilateral daripada ketika Amerika Serikat
menerima akses preferensial.
3.
Membuat
Kesepakatan Kerja untuk Pembangunan
Perjanjian perdagangan Tiongkok-Amerika merupakan langkah dalam hubungan
yang berkembang antara dua ekonomi terbesar di dunia. Sebelum kesepakatan, alat
kebijakan utama yang digunakan Amerika Serikat dan Tiongkok adalah tarif.
Sebagaimana dicatat dalam (Bown, 2020), ada dua titik putus utama dalam hubungan
Tiongkok-Amerika, keduanya ditandai dengan eskalasi tarif. Yang pertama terjadi
pada musim panas 2018 ketika rata-rata tarif impor Amerika untuk barang-barang
Tiongkok naik dari 3,8 menjadi 12,0% dan tarif impor Tiongkok atas barang-barang
Amerika meningkat dari 8,3 menjadi 18,3%. Titik puncak kedua terjadi pada musim
panas 2019, dengan tarif Amerika meningkat dari 12% menjadi 21% dan tarif
Tiongkok juga naik menjadi 21%. Sementara perjanjian Tiongkok-Amerika tidak
menyebutkan tarif, setelah mulai berlaku pada 14 Februari 2020, baik Amerika
Serikat maupun Tiongkok telah mengurangi tarif bilateral mereka. Terlepas dari
perubahan ini, proteksi tarif tetap tinggi pada 19% untuk tarif Amerika atas
ekspor Tiongkok dan 20% untuk Tiongkok atas ekspor dari Amerika Serikat.
Banyak dari risiko ini dapat dihindari jika Tiongkok memilih untuk
melakukan multilateralisasi perjanjian bilateral ini. Salah satu cara adalah
menerapkan ketentuan secara sepihak sejauh mungkin dengan basis MFN. Fakta
bahwa Tiongkok merundingkan kesepakatan saat ini mungkin menjadi dasar
skeptisisme tentang kemungkinan Tiongkok menerapkan liberalisasi berbasis luas.
Namun, kesepakatan itu sendiri dapat mendorong reformasi yang lebih besar.
Sejauh ada kerugian dari pengalihan perdagangan, akan ada peningkatan tekanan
bagi Tiongkok untuk meliberalisasi perdagangan untuk semua mitra�untuk
mengurangi pengalihan perdagangan yang mahal dan meningkatkan impor dari
produsen yang paling efisien. Tekanan ini bukan hanya kemungkinan teoretis: bukti
dari perjanjian perdagangan Amerika Latin menunjukkan bahwa PTA biasanya
mendorong liberalisasi multilateral, dan efek ini cenderung lebih kuat ketika
preferensi diberikan kepada pemasok penting.
Liberalisasi multilateral dapat dicapai dengan menerapkan reformasi di
bidang-bidang seperti layanan, kekayaan intelektual, dan transfer teknologi
yang memperluas manfaat perjanjian kepada semua mitra dagang. Dalam beberapa
kasus, seperti dalam pengakuan standar asing dan prosedur penilaian kesesuaian
di bidang pertanian, multilateralisasi dapat menjadi tantangan, tetapi Tiongkok
masih dapat berusaha untuk menetapkan kondisi kelayakan yang objektif dan
transparan untuk pengakuan. Dalam jasa keuangan, hambatan masuk dapat
dihilangkan berdasarkan MFN dan pengakuan peraturan diperluas berdasarkan
pertimbangan kehati-hatian yang tidak membedakan antara mitra dagang dengan
kondisi peraturan serupa. Merealisasikan target kuantitatif dapat menimbulkan
kesulitan yang paling signifikan. Seperti yang telah kita lihat, tingkat
liberalisasi multilateral yang dibutuhkan kemungkinan akan jauh lebih besar
daripada akses preferensial yang diperlukan untuk Amerika Serikat saja. Selain
itu, untuk negara besar seperti Tiongkok, liberalisasi mungkin melibatkan
penyerahan kebebasan untuk mengenakan �tarif optimal� yang mengeksploitasi
kekuatan pasarnya. Namun demikian, biaya dari �konsesi� semacam itu kemungkinan
akan sebanding dengan manfaat dari liberalisasi nondiskriminatif.
C. Perbandingan
Perang Dagang Era Donald Trump dengan Ronald Reagan
Salah satu cara mengevaluasi keberhasilan perang dagang Amerika di era
Donald Trump adalah dengan membandingkan dengan perang dagang yang pernah
dilakukan oleh Ronald Reagan. Sebab, Donald Trump bukan presiden pertama
Amerika Serikat yang menerapkan kebijakan perang dagang. Pendahulunya, Ronald
Reagan sudah lebih dulu menerapkan kebijakan perang dagang. Perbedaannya
adalah, Ronald Reagan melakukan perang dagang dengan Jepang yang pada saat itu
menjadi raksasa teknologi. Sedangkan Donald Trump melakukan perang dagang
dengan Tiongkok.
Baik Reagan maupun Trump adalah penghibur televisi sebelum mereka menjadi
politisi, jadi retorika mereka mungkin tidak mencerminkan kebijakan yang
sebenarnya. Pemerintahan Trump telah melonggarkan kuota penting dan mengurangi
tarif, yang tidak dilakukan oleh pemerintahan Reagan. Perhatikan juga bahwa,
sebagai bagian dari ketentuan �aturan asal� dari Perjanjian Amerika Serikat
Meksiko Kanada (USMCA), pemerintahan Trump memperluas batas-batas ekonomi dari
tarif yang ada. Pemerintahan Reagan juga menaikkan beberapa tarif, seperti
menaikkan tarif sepeda motor Jepang sebesar 45 poin persentase; mengenakan
tarif 100% atas impor komputer, televisi, dan peralatan listrik Jepang; dan
mengenakan tarif 15% untuk kayu Kanada. Namun tidak seperti pemerintahan
Reagan, pemerintahan Trump menggunakan kuota impor dengan hemat (terbatas pada
baja dan aluminium dari tiga negara). Seperti yang dibahas dalam Bab 10,
pemerintahan Trump melonggarkan kuota signifikan pada kendaraan dengan emisi
tinggi/rendah MPG, yang tidak khusus untuk impor tetapi secara tidak
proporsional membatasi produsen Eropa.
Meskipun diabaikan oleh para ahli, pemerintahan Trump menggunakan
campuran tarif dan kuota, yang dikenal sebagai �kuota tarif.� Seperti kuota
impor, hibrida memungkinkan perusahaan asing untuk melakukan penjualan bebas
tarif (dengan harga tinggi) kepada konsumen Amerika, tetapi mereka juga
mengizinkan perbendaharaan Amerika untuk menerima pendapatan tarif.
Mengangkat kebijakan ekonomi Ronald Reagan dalam proses pemikiran
pembuatan kebijakan serta pengaplikasiannya dari awal hingga akhir masa
kepemimpinannya sebagai presiden. Reagan demikian optimis bahwa semua janjinya
akan dapat dipenuhi sekaligus, meskipun itu membutuhkan waktu bahwa semua
janjinya akan dapat dipenuhi semua sekaligus meskipun itu membutuhkan waktu
satu dua tahun. Rakyat Amerika tengah menghendaki kembalinya kondisi-kondisi
ekonomi, politik dan sosial serba mapan yang pernah mereka nikmati sebelumnya
dan secara langkah politik, Reagan berhasil mengeksploitasinya. Meskipun
demikian Reagan sendiri memang benar-benar seorang konservatif.
Artinya ia menganggap bahwa semakin kecil peranan pemerintah dalam
kehidupan rakyatnya makin baik pemerintahnya. Keyakinan Reagan seperti itu
ternyata benar-benar direalisasikan meskipun untuk saat pertama Reagan harus
membuat masyarakat percaya kepadanya karena kondisi penstabilan suplai uang
yang dimaksudkan untuk menekan inflasi sempat memperburuk resesi.
Resesi menandai masa-masa awal kepresidenan Reagan menghantam hampir
semua bidang di dalam negeri. Angka pengangguran menanjak diatas 10% dan hampir
sepertiga pabrik industri tidak berproduksi. Berbeda dengan Jerman dan Jepang
yang justru menguasai perdagangan dunia. Konsumsi masyarakat terhadap produksi
dari negara tersebut menjadi melesat tajam. Kondisi mulai membaik di beberapa
segmen ekonomi pada akhir 1983 dan awal 1984 perekonomian bangkit kembali.
Jepang sepakat untuk melaksanakan kuota sukarela atas ekspor mobilnya ke
Amerika.
Pertimbangan politik menjadi pertimbangan Reagan dalam meneruskan
Kebijakan Ekonominya. Reagan berusaha mencari data sebaik mungkin guna menyusun
ramalan yang seoptimis mungkin agar semua janji ekonomi yang telah terlanjur
diucapkan Reagan dapat paling tidak dicoba direalisasikan anggaran militer yang
bertambah disebabkan keinginan Reagan yang ingin kembali menguatkan posisi
Amerika di mata dunia. Pengajuan proposal Kebijakan Ekonomi Reagan terhadap
Kongres menjadi komitmen Reagan dalam kepemimpinan dalam bidang ekonomi.
Kritikan yang dialami oleh Reagan bahkan oleh penasehat ekonominya sendiri
yaitu David Stockman menjadi kepercayaan terhadap Reagomics menjadi berkurang.
Pernyataan Stockman terhadap Reagan mengenai sebaiknya Reagan mengambil
skala prioritas terhadap penyusunan anggaran untuk menciptakan keseimbangan
anggaran tidak dipenuhi permintaan tersebut oleh Reagan. Popularitas dan
janji-janji semasa kampanye menjadi alasan Reagan untuk tidak memundurkan
langkah-langkah yang sudah menjadi konsep dalam Reaganomics. Rakyat Amerika
tentunya mendambakan seorang pemimpin yang mampu menjamin unggul sebagai suatu
Negara adikuasa baik dari segi ekonomi, politik dan pertahanan. Tentu dengan
melihat terpilihnya Reagan pada saat terpilih pertama kali juga dikarenakan
rakyat menilai Amerika di bawah kepemimpinan Demokrat, Jimmy Carter, mengalami
kemerosotan ekonomi dan daya saing keunggulan dalam bidang persenjataan dengan
Uni Soviet. Pada saat itu Reagan dianggap berhasil memulihkan semangat rakyat
melalui gagasan perang bintang atau star wars dan negosiasi dengan Uni Soviet
untuk mengurangi perlombaan senjata nuklir sedangkan dari segi keberhasilan
ekonomi Reaganomics belum terlalu berhasil sepenuhnya.
Pertumbuhan GNP pada tahun terakhir rata-rata 4,3 %, inflasi 4,1 %,
defisit neraca perdagangan dalam dua belas tahun terakhir adalah 151,7 miliar
dollar. Anggaran belanja pun makin melebar defisitnya mencapai 150 miliar
dollar, yang diusahakan dibiayai melalui obligasi pemerintah Amerika yang
sifatnya anti inflasi dan di pihak lain menyebabkan utang pemerintah Amerika
kepada masyarakat dunia semakin meningkat. Perekonomian Amerika adalah mixed
capitalistic enterprise system yang berarti ekonomi bertumpu pada kegiatan
swasta dengan memberikan ruang gerak bagi campur tangan pemerintah. Bush
menganut campur tangan pemerintah yang lebih lunak sedangkan Dukakis lebih
ketat. Perbedaan pandangan kebijakan dalam hal pajak antara Bush dan Dukakis
adalah dari pihak Bush tidak ada periode tanpa pajak baru. Sedangkan dari pihak
Dukakis peningkatan pajak atau pajak baru sebagai sumber terakhir memotong
deficit.
Terlepas dari kompleksitas tambahan, kesimpulan keseluruhan tetap ada.
Presiden Trump adalah pria tarif seperti yang dia katakan, sementara Presiden
Reagan adalah pria kuota. Presiden Reagan tidak selalu mempraktekkan
perdagangan bebas yang dia khotbahkan. Seperti yang dikatakan anggota CEA
Reagan William Niskanen, pemerintahan Reagan �berada di kedua sisi [masalah
perdagangan], mengartikulasikan kebijakan perdagangan bebas dan menerapkan
serangkaian kuota impor baru yang ekstensif.� Ekonom CEA Reagan lainnya Steve
Hanke menambahkan �pangsa impor Amerika yang dicakup oleh semacam pembatasan
perdagangan melonjak di bawah 'pedagang bebas' Reagan, bergerak dari hanya 8%
pada tahun 1975 menjadi 21% pada tahun 1984." Pemerintahan Trump juga
memiliki elemen kunci proteksionisme, tetapi tidak seperti Reagan sejauh ini,
sebagian besar menghindari melindungi produsen dalam negeri dengan cara yang
menguntungkan perusahaan asing.
Kesimpulan
Strategi yang
diterapkan Donald Trump dalam Perang Dagang terhadap Tiongkok sebagai upaya
menstabilkan ekonomi Amerika Serikat dinilai belum mampu membawa Amerika dari
jurang defisit. Pemerintahan Trump mengerahkan sejumlah investigasi ke dalam
praktik perdagangan luar negeri.� Atas
investigasi ini munculnya pernyataan Trump yang mengkritisi perekonomian
Tiongkok, di mana terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dari
Presiden Trump terhadap Tiongkok. (Kimberly, 2018, 4).� Kritikan tersebut menyatakan bahwa Tiongkok
telah melakukan pencurian kekayaan intelektual, pemaksaan transfer teknologi,
mempersulit bisnis Amerika masuk ke Tiongkok sehingga defisit perdagangan
dialami oleh Amerika, serta persyaratan pada usaha patungan yang secara
signifikan mengganggu daya saing bisnis Amerika Serikat di masa depan.� Direalisasikannya penetapan tarif baru
terhadap barang-barang impor luar negeri, maka dimulailah perang dagang antara
Tiongkok dan Amerika Serikat yang sesungguhnya.
Donald Trump belum
berhasil berhasil untuk menstabilkan ekonomi Amerika Serikat hal ini terbukti
dari Amerika selalu mengalami defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok, walau
jumlah defisit terkadang naik dan turun, ditambah dengan banyaknya produk impor
Tiongkok yang masuk ke dalam negara membuat Amerika Serikat menetapkan
kebijakan proteksionisme terhadap Tiongkok.�
Kemudian kedua belah pihak menyepakati perjanjian dagang yang dikenal
dengan �Economic and trade agreement between the United States of America and
the People�s Republic of Tiongkok�. Perjanjian ini cukup membuat perang dagang
antara kedua negara tersebut mereda.
Pada akhirnya,
penelitian ini menunjukkan bahwa Donald Trump tidak dapat mengatasi defisit
perdagangan Amerika Serikat dengan Tiongkok. Hal ini ditunjukkan dari data
bahwa Amerika Serikat tetap mengalami defisit perdagangan dengan Tiongkok,
bahkan angkanya melonjak dari tahun sebelum perang dagang dilaksanakan.
Tercatat bahwa Amerika Serikat mengalami lonjakan defisit perdagangan dengan
Tiongkok dari tahun 2017 ke 2018. Berdasarkan dari laman resmi Bureau of Economics
Analysis (BEA), Amerika Serikat mengalami defisit dari US$ 337,18 miliar pada
tahun 2017 dan melonjak ke US$ 380,04 miliar pada tahun 2018.
Akturk, H. K.,
Rewers, A., Joseph, H., Schneider, N., & Garg, S. K. (2018). Possible ways
to improve postprandial glucose control in type 1 diabetes. Diabetes
Technology & Therapeutics, 20(S2), S2-24.
https://doi.org/10.1089/dia.2018.0114. Google Scholar
Anonim. (2020). Alasan Amerika Serikat memulai Perang
Dagang dengan China.
Ayem, S., &
Nugroho, R. (2016). Pengaruh Profitabilitas, Struktur Modal, Kebijakan Deviden,
Dan Keputusan Investasi Terhadap Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi, 4(1),
31�40. Google Scholar
Badiri, I. (2020).
Analisis Ekonomi Politik Internasional Dalam Studi Kasus Perang Dagang Amerika
Serikat�Tiongkok Periode 2018-2019. Padjadjaran Journal of International
Relations, 2(2), 147�157. https://doi.org/10.24198/padjir.v2i2.26070.
Google Scholar
Blanchard, E. J., Bown,
C. P., & Chor, D. (2019). Did Trump�s Trade War Impact the 2018
Election? National Bureau of Economic Research. Google Scholar
Bown, C. (2020). US-China
trade war tariffs: An up-to-date chart. (Vol. 14). Peterson Institute for
International Economics. Google Scholar
Ciuriak, D. (2020). The
US-China Trade Deal: Back of the Envelope Estimate of the Economic Impact. Google Scholar
Cohen, M. (2020). The Phase 1 IP Agreement: Its Fans
and Discontents. China IPR, January 21, 2020.
Chinaipr.Com.
Creswell, J. . 2016.
(2016). Research Design, Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitaif, dan
Campuran. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Google Scholar
Delzeit, R., Beach, R.,
Bibas, R., Britz, W., Chateau, J., Freund, F., Lefevre, J., Schuenemann, F.,
Sulser, T., & Valin, H. (2020). Linking global CGE models with sectoral
models to generate baseline scenarios: Approaches, challenges, and
opportunities. Journal of Global Economic Analysis, 5(1),
162�195. https://doi.org/10.21642/JGEA.050105AF. Google Scholar
Dukeshire, S., &
Thurlow, J. (2002). Understanding the Link Between Research and Policy.
Rural Communities Impacting Policy Project. Atlantic Health Promotion
Research Centre, Dalhousie University. Google Scholar
Irwin, D. A. (1998).
The Smoot-Hawley tariff: A quantitative assessment. Review of Economics and
Statistics, 80(2), 326�334. https://doi.org/10.1162/003465398557410.
Google Scholar
Jethro, I., &
Pranatasari, F. D. (2018). Pengaruh Kualitas Produk dan Harga Terhadap
Keputusan Pembelian Produk Glaive Waterless Car Wash. Universitas Ciputra. Google Scholar
Kartika, M. M. (2013).
Proteksionisme amerika serikat pasca krisis finansial 2008�. Jurnal Analisis
Hubungan Internasional, 3(2). Google Scholar
Kimberly, W. T., Dutra,
B. G., Boers, A. M. M., Alves, H. C. B. R., Berkhemer, O. A., Van Den Berg, L.,
Sheth, K. N., Roos, Y. B., van der Lugt, A., & Beenen, L. F. M. (2018).
Association of reperfusion with brain edema in patients with acute ischemic
stroke: a secondary analysis of the MR CLEAN Trial. JAMA Neurology, 75(4),
453�461. https://doi.org/10.1001/jamaneurol.2017.5162. Google Scholar
Purbani, W. (2005). Analisis
wacana/discourse analysis. Lokakarya Penelitian. Google Scholar
Rasmus, J. (2018). Trump�s
Tax Cuts, Budget, Deficits... Trump�s Recession 2019?. Google Scholar
Sumadji, P. (2006). Kamus
Ekonomi. Edisi Pertama. Jakarta: Wacana Intelektual. Google Scholar
Syafina, D. C. (2018). Proyeksi 2019, Skenario-Skenario
Perang Dagang AS-Cina 2019: Apa Efeknya ke Dunia? Tirto.Id.
Copyright holder: Ismail Kamal, Muhammad Fuad (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |