Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

ANALISIS KONTEN AGENDA PRIORITAS INDONESIA PADA PRESIDENSI G20

 

Cakrayudha Ramadhanto, Tatok Djoko Sudiarto, Bimantoro Kushari Pramono

Universitas Paramadina Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Beragam permasalahan yang muncul di dunia ini membutuhkan usaha bersama dari seluruh negara untuk diselesaikan. Salah satu bentuk usaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu melalui forum diskusi seperti halnya kelompok G20. Hadirnya kelompok ekonomi tersebut diharapkan bisa memberikan kerangka pemikiran global yang dapat diterapkan melalui kerjasama antar negara. Tahun ini Indonesia menjadi ketua presidensi G20, ada beberapa agenda yang diajukan oleh Indonesia sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada. Namun dalam bingkai tata kelola global, upaya yang dilakukan oleh Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat agar mampu meyakinkan negara lain untuk menjalankan agenda yang diajukan. Indonesia perlu menerapkan strategi dengan melihat kemampuan yang dimiliki sehingga diplomasi yang dijalankan berdasarkan prioritas dari agenda yang diajukan. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui agenda apa yang diprioritaskan oleh Indonesia berdasarkan tiga agenda yang diajukan, dan bagaimana ketiga agenda tersebut diartikulasikan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran (mixed method) dan network analysis untuk memberikan pemahaman yang lebih kuat dalam mencari tahu prioritas agenda yang diajukan oleh Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih memprioritaskan agenda arsitektur kesehatan global dibandingkan dua agenda lainnya. Sebagai ketua forum G20 Indonesia sangat berkeinginan mengajak negara-negara lain untuk meningkatkan ketahanan sistem kesehatan global agar seluruh negara lebih siap dalam menghadapi ancaman kesehatan di masa depan.

 

Kata Kunci: Agenda Prioritas, Presidensi Indonesia G20, Mixed Method, Network Analysis.

 

Abstract

Various problems that arise in this world require the joint efforts of all countries to be resolved. One form of effort to resolve these problems is through discussion forums such as the G20 group. The presence of these economic groups is expected to provide a global framework of thought that can be applied through cooperation between countries. This year Indonesia becomes the chairman of the G20 presidency, there are several agendas proposed by Indonesia as a solution to overcome existing problems. However, within the framework of global governance, the efforts made by Indonesia require strong leadership to be able to convince other countries to carry out the proposed agenda. Indonesia needs to implement a strategy by looking at its capabilities so that diplomacy is carried out based on the priorities of the proposed agenda. This study seeks to find out what agenda is prioritized by Indonesia based on the three proposed agendas, and how the three agendas are articulated. The research method used is mixed methods to provide a stronger understanding in finding out the priority agenda proposed by Indonesia. The results of this study indicate that Indonesia prioritizes the global health architecture agenda than other two agenda, here Indonesia is eager to invite other countries to increase the resilience of the global health system so that all countries are better prepared to face future health threats.

 

Keywords: Priority Agenda, Presidency Indonesia G20, Mixed Method, Network Analysis.

 

Pendahuluan

Dunia dihadapkan pada beragam masalah yang perlu diselesaikan melalui usaha kolektif dari seluruh negara. Interaksi yang terjadi untuk menyelesaikan masalah tersebut merupakan wujud ketergantungan dari setiap negara untuk mencapai tujuan global (Hermawanto & Anggraini, 2020). Salah satu bentuk interaksi yang umumnya terjalin yaitu melalui organisasi internasional, baik yang sifatnya bilateral maupun multilateral. Menurut (Leguey-Feilleux, 2017), organisasi internasional merupakan alat diplomasi yang diciptakan oleh negara sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan internasional. Organisasi internasional memainkan peran penting dalam tata kelola global sebagai aktor internasional. Mereka menjalankan program internasional, dan bekerjasama dengan aktor lainnyauntuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi (Hurrell & Kingsbury, 1992). Namun dalam konteks tata kelola global, untuk menyelesaikan permasalahan tidak hanya melalui organisasi internasional, saat ini negara semakin sering menjalin interaksi melalui pertemuan tingkat tinggi dan diplomasi ditingkat menteri melalui berbagai forum atau kelompok diskusi. Salah satu forum diskusi yang ada saat ini yaitu G20, kelompok G20 merupakan forum yang beranggotakan negara-negara yang memiliki skala ekonomi terbesar di dunia, kelompok ini terbentuk sebagai upaya untuk menyelesaikan krisis keuangan global. Hadirnya klub ekonomi eksklusif tersebut diharapkan bisa memberikan kerangka pemikiran global yang dapat diterapkan pada organisasi atau institusi internasional melalui kerjasama ekonomi.

Dalam kelompok G20, walaupun negara-negara anggotanya memiliki skala ekonomi terbesar di dunia yang diukur berdasarkan GDP, namun setiap negara anggota tidak memiliki distribusi kekuatan yang seimbang. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Jerman, dan Jepang masih mendominasi setiap keputusan yang diambil pada forum tersebut, sementara negara-negara dengan kekuatan ekonomi menengah hanya bisa mengikuti dan kurang mampu memberikan pengaruh pada setiap keputusan yang diambil (Hadiwinata, 2017). Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi menengah sedang menjadi ketua presidensi kelompok G20. Secara historis, mengapa Indonesia bisa bergabung dengan kelompok G20 karena negara-negara maju menilai bahwa Indonesia termasuk negara yang sanggup mengatasi krisis ekonomi yang ketika itu melanda Asia di akhir abad 20, namun sampai sejauh ini peran Indonesia dianggap belum mampu memberikan kontribusi, padahal posisi Indonesia dianggap sebagai wakil dari negara berkembang lainnya yang tidak tergabung dalam forum tersebut.

Sebagai ketua presidensi G20 tahun 2022, Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar untuk bisa mengakomodir beragam kepentingan, dan memberikan solusi yang strategis atas beragam permasalahan internasional yang terjadi. Mulai dari krisis multidimensional yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, konflik yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina, hingga isu mengenai pemanasan global. Pada kesempatan presidensi ini, Indonesia mengangkat tema �Recover Together, Recover Stronger�, kemudian ada tiga isu yang diangkat oleh Indonesia untuk menjadi prioritas yaitu: transformasi digital, arsitektur kesehatan global, dan transisi energi (Presdienri.go.id, 2021). Melalui tema dan fokus prioritas tersebut, Indonesia mengajak seluruh dunia untuk saling bahu membahu, dan saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.

Berbicara mengenai isu prioritas yang diusung oleh Indonesia, ketiga isu tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Isu mengenai transisi energi dicanangkan untuk menyelesaikan masalah pemanasan global yang disebabkan oleh degradasi lingkungan akibat dari industrialisasi, kerusakan yang terjadi pada lingkungan memunculkan masalah kesehatan akibat dari polusi yang disebabkan oleh emisi karbon. Sementara itu, nampaknya negara-negara maju yang menguasai teknologi di sektor kesehatan, energi baru terbarukan, dan teknologi digital, belum terlalu serius untuk membuka akses bagi negara berkembang dalam hal kesetaraan pengetahuan dan teknologi, padahal negara-negara maju tersebut merupakan penyumbang emisi karbon terbesar. Menurut Payne, setiap negara harus bekerjasama satu sama lain melalui pertukaran informasi dan aksi nyata untuk menangani masalah kesehatan global seperti penularan penyakit, dan meningkatnya resiko kesehatan (Payne & Parashar, 2008).

Berdasarkan pemikiran diatas, peran Indonesia sebagai ketua presidensi diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk mengubah tata kelola global terkait sektor kesehatan, teknologi digital, dan energi baru terbarukan, baik dalam hal pertukaran informasi, kesetaraan akses pengetahuan, dan teknologi. Karena sebagai negara anggota G20, Indonesia memiliki posisi yang menguntungkan dan nilai tawar untuk mengubah tata kelola global, beragam potensi dimiliki oleh Indonesia mulai dari cadangan karbon yang besar hingga sumber daya mineral yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang energi baru terbarukan. Pemerintah Indonesia perlu melihat kondisi tersebut sebagai kesempatan emas untuk memposisikan diri sebagai aktor yang dapat memberikan kontribusi penting dalam mengatasi permasalahan global.

Dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk mencari tahu seperti apa strategi dan upaya diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia terkait tiga isu prioritas yang diusung dalam presidensi G20. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah agenda apa yang diprioritaskan oleh Indonesia berdasarkan 3 agenda yang diajukan dan bagaimana 3 agenda tersebut diartikulasikan oleh stakeholder. Periode yang menjadi fokus penelitian ini yaitu dimulai dari awal presidensi pada 1 Desember 2021 hingga pertengahan Juni 2022, rentang periode tersebut dipilih dengan harapan bahwa penelitian ini bisa memberikan masukan kepada pemerintah Indonesia sebelum periode presidensi berakhir.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu metode penelitian campuran (mixed method). Menurut (Creswell & Creswell, 2017), metode penelitian campuran merupakan penggabungan dua jenis data dalam sebuah penelitian dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih kuat dalam mencari tahu masalah dan menjawab pertanyaan penelitian. Peneliti akan menggunakan metode tersebut untuk menjelaskan temuan dari data kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh. Kemudian metode pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan mengambil data sekunder dari beberapa portal berita online. Selanjutnya dari data sekunder yang telah peneliti peroleh, peneliti melakukan kuantifikasi data sesuai dengan tiga isu prioritas yang menjadi fokus presidensi Indonesia.

1.    Metode Pengambilan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode web scraping untuk mengambil data sekunder. Menurut Mitchell, web scraping merupakan metode pengumpulan data dengan menggunakan program yang berinteraksi dengan peramban web dan bertujuan untuk mengekstrak informasi yang dibutuhkan (Mitchell, 2018). Sesuai dengan pertanyaan penelitian, untuk mengetahui agenda mana yang menjadi prioritas, maka diperlukan data yang menginformasikan sikap para stakeholder yang menjalankan agenda G20. Berdasarkan aksesibilitas data, untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut maka peneliti mengambil informasi dari artikel yang diberitakan oleh media online. Karena informasi dari artikel merupakan data yang belum terstruktur, maka peneliti perlu menentukan kata kunci sesuai dengan masing-masing variabel dan indikator yang terkait dengan agenda yang diajukan oleh pemerintah Indonesia pada presidensi G20. Penggunaan kata kunci merupakan cara yang peneliti lakukan pada saat proses pengambilan data dengan menggunakan dua pendekatan untuk membantu peneliti dalam memahami kompleksitas data yang belum terstruktur. Untuk pendekatan yang pertama, teknologi yang digunakan oleh peneliti yaitu: Google Search Engine, dan Google Sheets. Pendekatan ini membantu peneliti ketika melakukan crawling berdasarkan kata kunci yang telah ditentukan, karena informasi yang mengandung kata kunci akan terjaring dari setiap portal berita. Selanjutnya untuk pendekatan yang kedua, teknologi yang digunakan oleh peneliti yaitu: Google Search Engine, dan Web Scraper, peneliti menggunakan pendekatan ini untuk mengambil data dari portal berita tertentu. Setelah itu, peneliti melakukan pembersihan dan kuantifikasi data kualitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excel.

Pada proses pengambilan data, kata kunci setiap indikator dari masing-masing agenda telah peneliti tentukan berdasarkan hasil sintesis publikasi resmi pemerintah Indonesia. Di bawah ini merupakan tabel yang berisi kata kunci dari masing-masing agenda yang diajukan.

 

Gambar 1. Kata kunci untuk agenda Transformasi Digital

 

Gambar 2. Kata kunci untuk agenda Arsitektur Kesehatan Global

 

Tabel 3. Kata kunci untuk agenda Transisi Energi

 

2.    Analytic Hierarchy Process (AHP)

Peneliti menggunakan model Analytic Hierarchy Process (AHP) pada penelitian ini untuk menentukan bobot masing-masing agenda presidensi. Menurut Saaty dan Vargas, AHP merupakan pendekatan dasar untuk pengambilan keputusan, model ini dirancang untuk memilih alternatif terbaik dari sejumlah kriteria menjadi sebuah hirarki (Saaty & Vargas, 2012). Secara umum, model ini berfungsi untuk meningkatkan konsistensi penilaian sejumlah kriteria yang digunakan dalam penelitian, sehingga sangat membantu peneliti untuk mengambil keputusan berdasarkan alternatif terbaik, dan aplikasi untuk AHP yang digunakan pada penelitian ini yaitu Super Decisions.

 

Gambar 4. Skema pembobotan menggunakan model AHP

 

Berdasarkan gambar diatas, peneliti mentransformasikan agenda G20 yang diajukan olah Indonesia menjadi sebuah analytics factors yang berbentuk variable dan indicator. Selanjutnya, penelitia melakukan pembobotan variable & indicator untuk menghasilkan angka bobot yang akan diproses dalam kuantifikasi data.

a.    Pembobotan Variabel

Peneliti berargumen bahwa agenda Arsitektur Kesehatan Global lebih penting dibandingkan agenda Transisi Energi, dan Transformasi Digital. Selanjutnya agenda Transisi Energi lebih penting dibandingkan Transformasi Digital, sehingga disini peneliti mendapatkan bobot yang proporsional dengan angka ketidakkonsistenan sebesar 0.0, bobot untuk agenda Arsitektur Kesehatan Global sebesar 0.5999, sedangkan untuk Transformasi Digital sebesar 1.0000, dan agenda Transisi Energi sebesar 0.2999.

b.    Pembobotan Indikator dari Setiap Variabel

Dalam agenda Transformasi Digital, peneliti berargumen bahwa isu mengenai literasi digital, dan konektivitas dan pemulihan pascapandemi sama pentingnya dibandingkan isu mengenai arus data, sehingga disini peneliti mendapatkan bobot yang proporsional dengan angka ketidakkonsistenan sebesar 0.0, bobot untuk literasi digital sebesar 0.4285, konektivitas dan pemulihan pasca pandemi sebesar 0.4285, dan arus data sebesar 0.1428.

Kemudian dalam agenda Arsitektur Kesehatan Global, peneliti berargumen bahwa isu mengenai ketahanan sistem kesehatan lebih penting dibandingkan isu harmonisasi standar protokol kesehatan, dan redistribusi pusat manufaktur. Sedangkan isu harmonisasi standar protokol kesehatan, dan redistribusi pusat manufaktur sama pentingnya, sehingga disini peneliti mendapatkan bobot yang proporsional dengan angka ketidakkonsistenan sebesar 0.0, bobot untuk ketahanan sistem kesehatan sebesar 0.5999, harmonisasi standar protokol kesehatan sebesar 0.2000, dan redistribusi pusat manufaktur sebesar 0.2000.

Selanjutnya dalam agenda Transisi Energi, peneliti berargumen bahwa isu mengenai pendanaan lebih penting dibandingkan isu akses, dan teknologi. Sedangkan isu akses, dan teknologi sama pentingnya, sehingga disini peneliti mendapatkan bobot yang proporsional dengan angka ketidakkonsistenan sebesar 0.0, bobot untuk pendanaan transisi energi sebesar 0.5999, akses transisi energi sebesar 0.2000, dan teknologi transisi energi sebesar 0.2000.

3.    Metode Pengolahan Data

Peneliti menggunakan kombinasi fungsi SUMPRODUCT, ISNUMBER, dan SEARCH untuk mengubah data kualitatif menjadi kuantitatif sesuai dengan kata kunci dari setiap indikator. Selanjutnya peneliti melakukan agregarasi dengan menggunakan fungsi COUNTIF, kemudian dikalikan dengan bobot yang sudah peneliti peroleh untuk setiap indikator. Formulanya yaitu: =(COUNTIF(indikator,TRUE)*bobot)+n�

Selanjutnya Peneliti melakukan agregasi untuk menghitung nilai variabel agar menjadi angka index. Formulanya yaitu: =(bobot*nilai variabel)+n�

Peneliti melakukan agregasi untuk menormalisasi angka index. Formulanya yaitu: =(index/MAX(index)*100)

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Agenda Prioritas Indonesia dalam G20

Dari data yang peneliti peroleh, secara berurutan peneliti menemukan bahwa Arsitektur Kesehatan Global menjadi agenda yang paling prioritas dengan rata-rata skor (66.67), kemudian Transisi Energi mendapatkan rata-rata skor (17.94), dan yang terakhir yaitu Transformasi Digital dengan rata-rata skor (8.36), berdasarkan data tersebut dapat kita ketahui bahwa pemerintah Indonesia sangat memprioritaskan isu kesehatan. Selanjutnya dari tiga agenda prioritas yang diajukan, indikator dengan skor tertinggi dari masing-masing agenda yaitu: Ketahanan Sistem Kesehatan Global (69.41), Pendanaan Transisi Energi (30.00), dan Konektivitas dan Pemulihan Pascapandemi (9.29). Dari indikator tersebut menunjukkan bahwa pada presidensi ini pemerintah Indonesia berusaha untuk mengutamakan isu mengenai ketahanan sistem kesehatan, pendanaan transisi energi, dan konektivitas dan pemulihan pasca pandemi.

 

Gambar 5. Skor agenda prioritas Indonesia dalam G20

 

Gambar 6. Ketahanan sistem kesehatan menjadi indikator tertinggi pada agenda Arsitektur Kesehatan Global

 

Gambar 7. Pendanaan menjadi indikator tertinggi pada agenda Transisi Energi

 

Gambar 8. Konektivitas dan Pemulihan Pasca Pandemi menjadi indikator tertinggi pada agenda Transformasi Digital

 

Selanjutnya, peneliti menemukan siapa saja aktor dan kluster yang paling dominan pada setiap agenda yang diusung oleh Indonesia. Untuk agenda mengenai kesehatan, peneliti menemukan bahwa media massa khususnya kantor berita Antara merupakan aktor yang paling dominan dengan rata-rata skor (80.00), aktor ini menekankan pada ketahanan sistem kesehatan dan berharap negara-negara di dunia memiliki inisiatif mengenai dana kesehatan global untuk menghadapi pandemi di masa depan. Selanjutnya untuk agenda mengenai transisi energi, peneliti menemukan bahwa media massa CNBC merupakan aktor yang paling dominan dengan rata-rata skor (30.00), aktor ini berusaha menekankan pada isu pendanaan transisi energi dan berharap pada perusahaan-perusahaan global untuk bisa berkolaborasi mewujudkan solusi energi baru terbarukan. Kemudian yang terakhir agenda mengenai transformasi digital, peneliti menemukan bahwa akademisi bernama Hidayatullah Muttaqin dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) merupakan aktor yang paling dominan dengan rata-rata skor (67.14), beliau menekankan pada isu konektivitas dan pemulihan pasca pandemi.

 

Gambar 9. Aktor yang dominan pada setiap agenda presidensi

 

Berdasarkan 9 indikator yang peneliti ajukan, yaitu: 1. Konektivitas dan Pemulihan Pascapandemi; 2. Literasi Digital dan Keterampilan Digital; 3. Arus Data Lintas Batas Negara; 4. Ketahanan Sistem Kesehatan Global; 5. Harmonisasi Standar Protokol Kesehatan Global; 6. Redistribusi Pusat Manufaktur dan Pusat Penelitian Global; 7. Akses Transisi Energi; 8. Teknologi Transisi Energi; dan 9. Pendanaan Transisi Energi, peneliti menemukan aktor-aktor yang dominan pada 8 indikator tersebut, namun sayangnya pada saat peneliti melakukan pengambilan data, peneliti tidak menemukan informasi mengenai indikator Harmonisasi Standar Protokol Kesehatan Global berdasarkan kata kunci yang telah peneliti tetapkan.

Peneliti menemukan pada indikator Ketahanan Sistem Kesehatan Global, aktor yang dominan adalah kantor berita Antara, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menteri Keuangan menyebutkan bahwa dibutuhkan upaya keras bagi negara-negara di dunia ini untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat dari pandemi, melalui presidensi G20 Indonesia berusaha untuk mendorong penguatan kesehatan global agar seluruh negara di dunia ini siap untuk menghadapi pandemi di masa yang akan datang. Pada indikator Redistribusi Pusat Manufaktur dan Pusat Penelitian Global yang menjadi aktor dominan adalah Presiden Joko Widodo, beliau mengatakan bahwa Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk mendorong penguatan arsitektur kesehatan global pada presidensi G20. Selanjutnya pada indikator Pendanaan Transisi Energi, peneliti menemukan ada beberapa aktor yang memiliki nilai rata-rata yang sama, termasuk diantaranya Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif. Bagi Indonesia, isu mengenai pendanaan untuk program transisi energi perlu digaungkan pada presidensi G20. Karena untuk mewakili negara berkembang lainnya, Indonesia merasa diperlukan dukungan penuh dari negara-negara maju untuk mempercepat proses transisi energi, baik dari sisi finansial maupun dukungan teknologi.

Pada indikator Akses Transisi Energi, aktor yang dominan yaitu Presiden Joko Widodo. Beliau menyebutkan bahwa tidak semua orang mempunyai akses yang setara untuk mendapatkan energi bersih, terjangkau, berkelanjutan, dan modern, maka dari itu diperlukan eksplorasi mekanisme biaya untuk memperoleh harga yang kompetitif dan tidak membebani masyarakat. Kemudian untuk indikator Teknologi Transisi Energi, aktor yang lebih dominan yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang mengatakan bahwa untuk mempercepat proses transisi energi dibutuhkan kolaborasi secara global dalam meningkatkan teknologi cerdas dan bersih. Selanjutnya pada indikator Konektivitas dan Pemulihan Pascapandemi, peneliti menemukan bahwa aktor akademisi menjadi yang dominan. Kelompok akademisi mengharapkan pemerintah segera mengatasi ketimpangan dalam vaksinasi global demi pemulihan ekonomi dunia.

Peneliti menemukan pada indikator Literasi Digital dan Keterampilan Digital terdapat beberapa kelompok yang memiliki perhatian pada isu tersebut, yaitu: Akademisi, BUMN, Pemerintahan, Legislator, dan Perusahaan Swasta. Isu mengenai literasi dan keterampilan digital nampaknya telah menjadi perhatian banyak pihak, namun fokus yang menjadi perhatian masih seputar permasalahan yang terjadi di dalam negeri. Kemudian pada indikator Arus Data, peneliti juga menemukan bahwa beberapa kelompok memiliki perhatian pada isu tersebut, yaitu: Akademisi, Pemerintahan, Legislator, Media Massa, dan Lembaga Non Pemerintah. Isu mengenai keamanan data pribadi menjadi sorotan pada indikator tersebut, terutama membahas mengenai RUU Perlindungan Data Pribadi yang masih menjadi perdebatan.

 

Gambar 10. Aktor yang dominan dari setiap indicator

 

B.  Artikulasi 3 agenda oleh masing-masing cluster dan actor

1.    Transformasi Digital

Pada agenda transformasi digital, peneliti menemukan bahwa isu-isu yang dibahas masih bersifat lokal, peneliti melihat bahwa strategi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia masih terlalu inward looking, banyak yang perlu ditingkatkan terkait dengan kesiapan pemerintah dalam melakukan transformasi digital. Sebagai contoh, walaupun seluruh kelompok sudah menyadari pentingnya literasi digital, namun tingkat pemahaman masyarakat mengenai literasi digital masih rendah, terutama pada masyarakat di luar wilayah kota-kota besar. Selain itu, pada saat mengajukan agenda ini ternyata pemerintah Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi, masih terjadi perdebatan antara pemerintah dengan legislator mengenai status badan yang akan mengawasi data pribadi, padahal peraturan tersebut sangat dibutuhkan untuk meminimalisir kerentanan. Selanjutnya, untuk mendukung berjalannya agenda ini Indonesia masih sangat kekurangan sumber daya manusia yang paham mengenai teknologi digital, perlu kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan terutama dunia pendidikan untuk menghasilkan talenta digital. Kendala lain yaitu kurangnya harmonisasi peraturan yang dikeluarkan oleh kementerian yang bisa menghambat proses transformasi digital dan tumbuh kembang dunia usaha. Kemudian terdapat ketimpangan mengenai kerangka berpikir sumber daya manusia antara instansi pemerintahan, badan usaha miliki negara, dan sektor swasta. Menurut peneliti, sumber daya manusia di sektor swasta lebih terbuka dalam merespon setiap perubahan teknologi daripada yang di instansi pemerintahan, dan badan usaha milik negara.

Beragam isu yang ada di tingkat domestik perlu disikapi secara serius oleh pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses transformasi digital. Berdasarkan isu yang peneliti temukan, faktor-faktor seperti kualitas sumber daya manusia, belum tersedianya kebijakan yang melindungi data pribadi, literasi digital yang masih rendah, dan peraturan yang menghambat tumbuh kembang dunia usaha berbasis digital merupakan hal mendasar yang perlu diselesaikan oleh Indonesia. Sejauh ini upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses transformasi digital yaitu dengan membuat rencana peta jalan digital. Upaya strategis tersebut dijalankan dengan cara membangun infrastruktur digital, membangun lembaga pemerintahan digital yang terintegrasi, berupaya mengubah Indonesia dari negara konsumen menjadi negara produsen teknologi, melakukan harmonisasi kebijakan, dan meningkatkan pendanaan untuk mendorong inovasi.

Peneliti melihat bahwa posisi Indonesia dalam mengajukan agenda transformasi digital pada presidensi ini masih jauh dari bingkai tata kelola global, pemerintah Indonesia masih memiliki beragam tantangan yang perlu diatasi di tingkat domestik sebelum berupaya untuk mengajak negara-negara anggota G20 menjalankan agenda ini. Selain itu, saat ini Indonesia masih menjadi negara konsumen dari beragam produk teknologi yang dimiliki oleh negara-negara maju. Apabila Indonesia ingin mengubah tata kelola global dalam bidang teknologi, pemerintah Indonesia perlu membujuk negara-negara maju untuk menghapus proteksionisme teknologi yang dimiliki oleh mereka. Menurut Haraguchi dan Matsumura, dibutuhkan kebijakan privatisasi untuk mendorong transfer teknologi dari perusahaan asing ke perusahaan dalam negeri (Haraguchi & Matsumura, 2020).

2.    Arsitektur Kesehatan Global

Pada presidensi ini, peneliti menemukan bahwa arsitektur kesehatan global menjadi agenda paling prioritas yang diajukan oleh Indonesia. Peneliti melihat bahwa strategi yang dijalankan oleh Indonesia sudah outward looking, pemerintah Indonesia sangat berusaha untuk mengajak negara-negara lain dalam mengubah tata kelola global di bidang kesehatan. Peneliti memiliki argumen bahwa pemerintah Indonesia fokus mengajukan agenda ini karena berharap seluruh negara di dunia dapat segera pulih dari pandemi Covid-19 dan lebih siap menghadapi ancaman kesehatan yang muncul di masa depan. Beberapa isu yang menjadi perhatian pemerintah Indonesia terkait agenda ini yaitu: belum ada sistem yang mengatur dan menyimpan dana kesehatan untuk menghadapi ancaman kesehatan di masa yang akan datang; masih terdapat ketimpangan akses layanan kesehatan, vaksin, dan obat-obatan; belum ada standar protokol pedoman kesehatan global yang dapat dijadikan pedoman lalu lintas manusia; dan masih minim kerjasama lembaga riset kesehatan antar negara.

Berbagai tantangan harus dihadapi untuk mengubah tata kelola global di bidang kesehatan, seperti pentingnya koordinasi antara pemerintahan dengan organisasi kesehatan internasional dan perusahaan transnasional di bidang kesehatan yang perlu ditingkatkan untuk mendorong kerjasama dalam pengembangan obat-obatan dan vaksin, khususnya apabila muncul ancaman kesehatan secara global maka dibutuhkan pemahaman yang sama untuk mengatasi ancaman tersebut. Karena menurut Elbe, dari sudut pandang perusahaan farmasi, opsi yang dimiliki pemerintah untuk menghindari hak kekayaan intelektual selama keadaan darurat hanya akan meningkatkan resiko komersial karena mereka khawatir hak paten yang mereka miliki diganti (Elbe, 2018).

Dalam agenda ini, pemerintah Indonesia berupaya untuk mendorong ketahanan sistem kesehatan dunia dengan mengajukan wacana untuk membentuk badan yang bertugas menggalang sumber daya kesehatan global yang dapat digunakan untuk pembiayaan darurat kesehatan, pembelian vaksin, obat-obatan, dan alat kesehatan. Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengajak negara lain untuk merumuskan standar protokol kesehatan global yang mengatur perjalanan lintas batas negara. Kemudian turut memberdayakan negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas manufaktur lokal, akses terhadap teknologi kesehatan, pengelolaan hak paten, dan membuka investasi produksi alat kesehatan, vaksin, dan obat-obatan. Pada tingkat domestik, pemerintah Indonesia telah menyiapkan peta jalan untuk mempercepat pengembangan industri farmasi. Melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Kementerian Kesehatan telah disepakati untuk mempercepat pemberian izin usaha untuk pelaku usaha di bidang kesehatan.

Selanjutnya, kepemimpinan Indonesia pada presidensi ini perlu mengupayakan mekanisme kerjasama yang solid untuk menghadapi setiap ancaman kesehatan yang muncul di masa yang akan datang. Karena belajar dari pengalaman sebelumnya, munculnya wabah penyakit bisa menimbulkan resiko meningkatnya potensi ketegangan antar negara. Menurut (Gostin, 2021), tidak ada negara yang bisa bertindak sendiri untuk mengamankan kesehatan masyarakat, diperlukan koordinasi bersama untuk meningkatkan keamanan kesehatan global. Peran organisasi kesehatan global sangat diperlukan untuk kerjasama lintas batas, berbagi informasi, dan menyelaraskan tindakan kolektif sehingga bisa memperbaiki sistem tata kelola global di bidang kesehatan yang saat ini masih terfragmentasi. Kemudian pada kesempatan ini, Indonesia sangat menekankan pentingnya bagi dunia untuk memiliki dana kesehatan global, inisiatif tersebut sesuai dengan pendapat dari (Youde, 2017) yang menyebutkan bahwa, salah satu bentuk ekspresi yang paling penting dari tata kelola kesehatan global adalah bagaimana negara melihat diri sendiri dan kewajiban mereka untuk menyediakan dana untuk masalah kesehatan yang muncul di luar perbatasan mereka.

Melihat hal tersebut, maka upaya Indonesia untuk memperkuat tata kelola kesehatan global memerlukan koordinasi, dan kerjasama sebagai faktor kunci untuk memfasilitasi tindakan kolektif antar aktor, institusi, dan gagasan yang beragam, sehingga keamanan kesehatan global di masa depan bisa terwujud.

3.    Transisi Energi

Pada agenda transisi energi, pemerintah Indonesia mengajak seluruh negara untuk mencapai kesepakatan global dengan mempercepat program transisi energi. Agenda ini bertujuan untuk menjembatani dan mendorong negara-negara maju serta negara-negara berkembang agar mempercepat peralihan dari energi fosil ke energi bersih. Namun pada agenda ini, peneliti menemukan bahwa indikator yang paling dominan adalah pendanaan untuk membiayai proses transisi energi, peneliti melihat bahwa strategi Indonesia terhadap agenda ini masih mengharapkan bantuan baik berupa dukungan finansial maupun teknologi dari negara-negara maju. Di tingkat domestik, pemerintah Indonesia mengakui bahwa dibutuhkan pembiayaan yang besar untuk mencapai netralitas karbon, karena jika dibandingkan dengan energi fosil, biaya untuk mengembangkan teknologi energi baru terbarukan (EBT) masih mahal, selanjutnya sumber daya manusia yang kompeten mengenai EBT masih minim, dan pemerintah juga perlu mengajak sektor swasta untuk ikut serta dalam proses transisi energi sehingga biaya yang dibutuhkan tidak sepenuhnya dibebankan pada anggaran negara. Menurut Ghosh, Chaturvedi, dan Bhasin, transisi energi di banyak negara berkembang tidak akan berjalan lancar tanpa adanya kerjasama internasional di bidang keuangan untuk pengembangan teknologi bersama (Ghosh, Chaturvedi, dan Bhasin, 2019:174).

Upaya Indonesia dalam mengajak negara-negara anggota G20 untuk mempercepat proses transisi energi nampaknya sangat membutuhkan bantuan dari negara-negara maju. Karena transformasi teknologi akan memainkan peran penting untuk mengatasi perubahan iklim, namun terdapat berbagai ketidakpastian dalam penerapan teknologi rendah karbon, mulai dari biaya, tata kelola, hingga dampak yang terjadi, maka dari itu dibutuhkan kemitraan yang strategis untuk meminimalisir ketidakpastian tersebut. Menurut Koskina, Farah, dan Ibrahim, negara-negara berkembang merasa enggan untuk menanggung biaya dari teknologi energi bersih mengingat bahwa negara-negara maju merupakan penyumbang terbesar dari emisi karbon (Koskina et al., 2020). Peneliti memiliki argumen bahwa pada agenda ini, pemerintah Indonesia menjalankan strategi yang mengharapkan agar negara-negara maju lebih banyak memberikan kontribusi baik secara finansial maupun teknologi karena selain memiliki modalitas, negara-negara maju tersebut merupakan penyumbang terbesar emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global.

Selain itu, pada kesempatan presidensi ini Indonesia perlu melihat isu-isu yang sedang berkembang dan kondisi geopolitik yang ada. Terkait transisi energi, konflik yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina perlu menjadi fokus bagi Indonesia karena Rusia merupakan negara penyedia energi global dan memiliki teknologi untuk mengembangkan energi baru terbarukan. Setiap konflik yang disebabkan oleh perebutan sumber daya energi bisa mempengaruhi kondisi geopolitik, termasuk juga potensi konflik yang akan muncul terkait kepemilikan teknologi energi terbarukan. Menurut Florini, kekhawatiran mengenai persaingan atas sumber daya energi dapat menjadi pemicu potensial yang menyebabkan ketegangan antar negara (Florini, 2010:151). Selanjutnya, penguasaan pasar energi memiliki dampak politik yang nyata. Negara-negara yang masih bergantung pada pasokan negara lain bisa mengesampingkan kepentingan politik mereka untuk kepentingan komersial. Contohnya seperti Rusia, dan Iran yang menggunakan kekayaan energi yang mereka miliki untuk memperkuat pengaruh regional terhadap negara lain yang lebih rentan. Untuk contoh kasus Rusia, hak veto yang dimiliki oleh negara tersebut di dewan keamanan PBB, kemudian posisi Rusia sebagai pemasok gas, listrik, dan minyak untuk negara-negara di Eropa, dan kontrol negara ini atas persenjataan nuklir telah memposisikan Rusia sebagai negara yang berpengaruh di dalam masyarakat internasional. Menurut Pascual, dan Zambetakis, kekuatan pasar energi Rusia telah memungkinkan Rusia untuk mengkonsolidasi kekuatan politiknya secara internal dan telah membuat Rusia resisten terhadap pengaruh politik dari luar (Pascual & Elkind, 2010).

 

Kesimpulan

Peneliti menemukan bahwa arsitektur kesehatan global menjadi agenda prioritas dari agenda lainnya dalam presidensi G20. Pada tingkat domestik pemerintah Indonesia dirasa cukup berhasil dalam mengatasi pemulihan ekonomi akibat dari pandemi Covid-19, sehingga dalam presidensi ini Indonesia sangat berkeinginan untuk mengajak negara-negara lain dalam memperkuat sistem kesehatan global. Untuk agenda lainnya, pemerintah Indonesia tetap memiliki fokus walaupun secara strategis upaya yang dilakukan oleh Indonesia belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan karena masih bergantung pada negara-negara maju.

BIBLIOGRAFI

 

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage publications. Google Scholar

 

Elbe, S. (2018). Pandemics, pills, and politics: Governing global health security. JHU Press. Google Scholar

 

Gostin, L. O. (2021). Global health security: A blueprint for the future. Harvard University Press. Google Scholar

 

Hadiwinata, B. S. (2017). Studi dan Teori Hubungan Internasional: Arus Utama, Alternatif, dan Reflektivis. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Google Scholar

 

Haraguchi, J., & Matsumura, T. (2020). Implicit protectionism via state enterprises and technology transfer from foreign enterprises. Review of International Economics, 28(3), 723�743. https://doi.org/10.1111/roie.12468. Google Scholar

 

Hermawanto, A., & Anggraini, M. (2020). Globalisasi, Revolusi Digital dan Lokalitas: Dinamika Internasional dan Domestik di Era Borderless World. LPPM Press UPN" Veteran" Yogyakarta. Google Scholar

 

Hurrell, A., & Kingsbury, B. (1992). The international politics of the environment: an introduction. The International Politics of the Environment, 1, 1�47. Google Scholar

 

Koskina, A., Farah, P. D., & Ibrahim, I. A. (2020). Trade in clean energy technologies: sliding from protection to protectionism through obligations for technology transfer in climate change law, or Vice Versa? The Journal of World Energy Law & Business, 13(2), 114�128. https://doi.org/10.1093/jwelb/jwaa013. Google Scholar

 

Leguey-Feilleux, J.-R. (2017). Global governance diplomacy: The critical role of diplomacy in addressing global problems. Rowman & Littlefield. Google Scholar

 

Mitchell, R. (2018). Web scraping with Python: Collecting more data from the modern web. � O�Reilly Media, Inc.� Google Scholar

 

Pascual, C., & Elkind, J. (2010). Energy security: economics, politics, strategies, and implications. Brookings Institution Press. Google Scholar

 

Payne, D. C., & Parashar, U. D. (2008). Epidemiological shifts in severe acute gastroenteritis in US children: will rotavirus vaccination change the picture? The Journal of Pediatrics, 153(6), 737�738. https://doi.org/10.1016/j.jpeds.2008.08.012. Google Scholar

 

Presdienri.go.id. (2021). Presiden Jokowi: Presidensi G20 Adalah Kehormatan bagi Indonesia. Presdienri.Go.Id.

 

Saaty, T. L., & Vargas, L. G. (2012). Models, methods, concepts & applications of the analytic hierarchy process. Springer Science & Business Media. Google Scholar

 

Youde, J. (2017). Global health governance in international society. Global Governance, 23, 583. Google Scholar

 

Copyright holder:

Cakrayudha Ramadhanto, Tatok Djoko Sudiarto, Bimantoro Kushari Pramono (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: