Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 12,
Desember 2022
ANALISIS
PERKEMBANGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK
DI INDONESIA
Andi
Agustiawan, Dwi Suhartini
Universitas
Pembangunan Nasional �Veteran� Jawa Timur, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Pandemi
COVID-19 menyebabkan meningkatnya digitalisasi ekonomi. Dimana hal tersebut mendorong pemerintah untuk menerbitkan aturan
baru untuk menggali sumber penerimaan pajak baru. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis mulai dari pengertian, kewajiban PPN sebelum
dan sesudah aturan PPN PMSE diberlakukan, dan untuk mengetahui dampak dari
penerapan aturan PPN PMSE. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan secara naratif.
Data yang dibutuhkan adalah data primer berupa informasi dari
narasumber. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara mendalam kepada narasumber. Metode analisis
data dengan menggunakan pengkodean dan trianggulasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aturan pemungutan PPN atas transaksi PMSE telah diatur dalam
PMK 40/PMK.03/2010 tetapi aturan tersebut masih menciptakan grey area sehingga
pemerintah mengeluarkan aturan PMK 48/PMK.03/2020 untuk menyempurnakan aturan
sebelumnya. Tidak terdapat pajak baru yang timbul dari aturan
PPN PMSE hanya saja kesadaran masyarakat yang belum cukup baik dan pemilihan
kata yang kurang tepat menciptakan presepsi yang berbeda mengenai pemungutan
PPN PMSE.
Kata
Kunci:
Digitalisasi Ekonomi, Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, Pajak Pertambahan
Nilai.
Abstract
The COVID-19
pandemic has led to increasing digitalization of the economy. Where this encourages the government to issue new regulations to
explore new sources of tax revenue. This study aims to analyze starting
from the understanding, VAT obligations before and after the PMSE VAT rules are
enacted, and to find out the impact of implementing PMSE VAT rules. The
research method used is qualitative research with a narrative approach. The
data needed is primary data in the form of information from sources. Data
collection was carried out by in-depth interviews with informants. Methods of data analysis using coding and triangulation. The
results of the study show that the rules for collecting VAT on PMSE
transactions have been regulated in PMK 40/PMK.03/2010 but these regulations
still create a gray area so that the government issued PMK regulation
48/PMK.03/2020 to refine the previous rules. There are no new taxes arising
from PMSE VAT regulations, it's just that public awareness is not good enough
and the choice of words that are not appropriate creates different perceptions
regarding PMSE VAT collection.
Keywords: Teacher
Emotional�� Labor,�� Teacher��
Work�� Engagement,�� Teacher Commitment, Teacher Performance.
Pendahuluan
Pada
akhir tahun 2019 Indonesia digemparkan dengan datangnya wabah Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) yang merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
jenis coronavirus yang baru ditemukan. Implikasi
COVID-19 telah berdampak antara lain terhadap
perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan
peningkatan belanja negara. Untuk menghindari perekonomian terkontraksi lebih
dalam, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan dan paket stimulus antara
lain melalui perpajakan. Beberapa kebijakan di sektor perpajakan antara lain
berupa pemberian insentif bagi sektor yang terdampak langsung oleh pandemi
melalui fasilitas pajak DTP PPh 21, penurunan tarif PPh Badan, pembebasan PPh
22 impor, pembebasan pajak impor alat kesehatan dan vaksin.
Dengan
kebijakan stimulus ekonomi melalui perpajakan tersebut, diharapkan dunia usaha
dapat kembali menggeliat, iklim investasi kembali kondusif, kesejahteraan
masyarakat meningkat, dan UMKM dapat berkembang.
Dampak yang timbul dari pemberian stimulus ekonomi adalah
terjadinya defisit anggaran dimana penerimaan pajak potensial mengalami
penurunan karena berbagai insentif yang diberikan dilain sisi biaya yang
dikeluarkan untuk belanja negara mengalami peningkatan.
Tabel
1
Defisit
Anggaran Berdasarkan Laporan APBN
(dalam triliunan rupiah)
Sumber: Diolah Oleh Penulis
Dalam
laporan realisasi APBN defisit anggaran di Tahun 2017 merupakan defisit
terbesar dari defisit anggaran di tahun-tahun sebelumnya.
Defisit dapat anggaran dapat terjadi ketika pemerintah
melakukan belanja negara lebih besar ketimbang pendapatan yang diterima oleh
akrena itu untuk mengatasi defisit anggaran pemerintah tentunya harus mencari
potensi pajak untuk meningkatkan tax ratio.
Di
tengah upaya pemulihan ekonomi dalam negeri yang dilakukan pemerintah, dilain
sisi sektor digital atau digitalisasi ekonomi mengalami peningkatan selama
COVID-19. Disaat ekonomi global mengalami krisis,
berdasarkan hasil survei pengguna internet menurut Sekjen APJII, hasil survei
pengguna internet di Indonesia pada pada Tahun 2020 jumlah pengguna internet di
Indonesia tercatat mencapai 196,7 juta orang. Jumlah ini meningkat 23,5 juta orang atau 8,9% dibandingkan pada tahun 2018 lalu.
Dalam penelitiannya (Dinar, 2021) menjelaskan
bahwa perkembangan teknologi informasi sejalan dengan perkembangan di dunia
usaha. Proses bisnis yang dulunya dilakukan secara konvensional sekarang dapat
dilakukan secara digital. Berdasarkan data dari (Internet World Stats, 2021), sebanyak 76,3%
penduduk Indonesia merupakan pengguna internet, atau sekitar 212,35 juta orang.
Internet membawa pengaruh positif dalam berbagai hal antara lain
kemajuan perekonomian, pengetahuan yang meningkat dan aksesibilitas yang
menjadi lebih luas.
Dalam
dunia bisnis, internet digunakan untuk banyak hal, mulai dari pemasaran,
penjualan, pelayanan pelanggan, dan lain sebagainya.
Dengan adanya internet membuat perdagangan dapat dilakukan
dimana saja. Salah satu bidang yang mengalami
perubahan adalah perdagangan yang berubah menjadi perdagangan secara elektronik
(e-commerce). Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
(PMSE) di Tahun 2021 mengalami perkembangan pesat di Indonesia.
Berdasarkan data (Badan Pusat Statistik, 2021) yang dirilis
Tahun 2021, sebanyak 95,74% pengguna internet di Indonesia melakukan transaksi
perdagangan secara elektronik.
Dalam
transaksi melalui sistem elektronik penjual tidak harus membuka toko untuk
mendatangkan pembeli, tetapi dengan memanfaatkan internet penjual sudah bisa
mendatangkan pembeli. Dalam transaksi
melalui sistem elektronik pembeli juga tidak harus bersusah payah untuk keluar
dari rumah untuk membeli barang yang diinginkan. Barang
yang dibeli melalui internet dapat diantar hingga sampai ke tempat tinggal
pembeli. Oleh karena itu, transaksi PMSE banyak diminati masyarakat (Wijaya & Juhana, 2021).
Jumlah
pengguna internet yang terus meningkat dan diikuti oleh PMSE yang terus
meningkat menyebabkan masalah baru di bidang keuangan.
Salah satu masalah yang timbul adalah mengenai celah pajak
atas perdagangan melalui sistem elektronik. Berdasarkan
peraturan perpajakan yang ada, PMSE sangat berpotensi untuk dikenakan pajak.
Namun karena kurangnya peraturan pelaksanaan yang mengatur
mengenai PMSE berpotensi tidak dapat dimanfaatkan secara efektif. Untuk itu perlu dilakukan reformasi di bidang perpajakan secara
menyeluruh salah satunya mengenai pemajakan atas PMSE. Oleh karea itu, dalam meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan
PMSE.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas
Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce).
Kebijakan tersebut diterbitkan pemerintah untuk memberikan perlakuan yang sama antara pedagang melalui sistem elektronik dengan
pedagang secara konvensional. Aturan tersebut juga bertujuan
untuk mempermudah pedagang melalui sistem elektronik untuk melaksanakan
kewajiban perpajakannya dengan model transaksi yang digunakan. Tetapi
aturan tersebut tidak bertahan lama, Pada tanggal 29 Maret 2019 Menteri
Keuangan Republik Indonesia mencabut aturan PMK 210/2018 tersebut dengan dalil
akan melakukan kajian dan sosialisasi sebelum ketentuan mengenai perdagangan
melalui sistem elektronik dilaksanakan.
Pada
Tahun 2020, di tengah penyebaran COVID-19 yang telah menimbulkan kerugian
material dan berimplikasi pada aspek ekonomi.
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 mulai mengenakan pajak yang
berasal dari transaksi melalui sistem elektronik. Pada tanggal tanggal
18 Mei 2020 pemerintah Indonesia melalui Undang Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2020 menetapkan Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang Undang.
Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020 adalah aturan yang mengatur ketentuan pajak berupa pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dan/atau Barang
Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar pabean di dalam daerah pabean dengan
melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Dimana atas transaksi
pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean tersebut akan dipungut PPN oleh pelaku usaha luar negeri.
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atau Value Added Tax (VAT) adalah pajak yang dikenakan
kepada konsumen atas setiap pertambahan nilai dari suatu barang dan/atau jasa
di dalam daerah pabean (Republik Indonesia).
PPN merupakan jenis pajak yang cukup signifikan dan
menjanjikan peranannya dalam penerimaan pajak. Jumlah
penerimaan perpajakan PPN cenderung mengalami kenaikan. Hal tersebut tidak terlepas dari sifatnya yang merupakan pajak
tidak langsung atau biasa disebut seamless tax karena pembayar pajak tidak
menyadari telah membayar PPN.
Tabel
2
Penerimaan
PPN Berdasarkan Laporan APBN
(dalam triliunan rupiah)
Sumber: Diolah Oleh Penulis
Potensi PPN yang dirasa
perannya akan terus meningkat membuat pemerintah pada Tahun 2020 mengeluarkan
kebijakan untuk lebih mengintensifkan PPN tersebut yaitu dengan menunjuk
pemungut atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak dari Luar Daerah Pabean dengan harapan kebijakan tersebut dapat
mendongkrak penerimaan pajak khususnya PPN.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 pada Pasal 6 dijelaskan bahwa Menteri Keuangan
Republik Indonesia dapat menunjuk pedagang luar negeri, penyedia jasa luar
negeri, penyelenggara PMSE (marketplace) luar negeri, dan/atau penyelenggara
PMSE (marketplace) dalam negeri untuk melakukan pemungutan, penyetoran dan
pelaporan PPN atas pemanfaatan JKP dan/atau BKP tidak berwujud dari luar pabean
di dalam daerah pabean.
Pada tanggal 5 Mei 2020
aturan turunan pengenaan PPN PMSE yaitu Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan, Pemungutan, dan
Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di
Dalam Daerah Pabean atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik telah ditetapkan
dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2020.
Sebelum adanya
kebijakan pemungutan PPN PMSE, pengenaan PPN atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam
Daerah Pabean atau PPN Jasa Luar Negeri (JLN) dilakukan dengan cara menyetor
sendiri sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang
Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
Luar Daerah Pabean.
Telah
banyak penelitian yang membahas PPN atas perdagangan melalui sistem elektronik.
Dalam penelitiannya (Utomo, 2017) menjelaskan
bahwa tantangan pengenaan PPN dengan mekanisme penyetoran sendiri sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 adalah otoritas pajak tidak
dapat menentukan identitas dan melakukan pengawasan sebelum wajib pajak
melakukan kewajiban perpajakannya. Otoritas pajak tidak
memiliki informasi tentang siapa saja konsumen akhir yang memanfaatkan konten
digital dari luar daerah pabean.
Dalam penelitiannya (Siswanto, 2019) menjelaskan
bahwa pengusaha kena pajak yang dalam halnya merupakan pengusaha atau orang
pribadi yang melakukan transaksi jual beli uang elektronik wajib, dimana
penjual atau pengusaha wajib melakukan pemungutan pajak pertambahan nilai
dikarenakan sesuai dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta UU
Pajak Pertambahan Nilai, Uang elektronik merupakan objek PPN.
Dalam penelitiannya (Miftahudin & Irawan, 2020) mengungkapkan
bahwa terdapat tiga cara alternatif pengenaan PPN atas pemanfaatan konten dan
jasa digital yang berasal dari luar negeri. Alternatif metode
tersebut yaitu menggunakan metode supplier collection, intermediary collection,
dan customs collection. Berdasarkan ketiga metode tersebut dijelaskan
bahwa metode supplier collection mewajibkan penyedia jasa luar negeri yang
memenuhi syarat tertentu untuk memungut PPN dan menyetorkan ke otoritas pajak,
metode intermediary collection merupakan mekanisme pemungutan PPN oleh
perantara (pihak selain penjual) yang terlibat dalam rantai pasokan (supply
chain), dan metode customs collection merupakan mekanisme pemungutan PPN yang
dilakukan oleh Bea Cukai.
Dalam penelitiannya (Wijaya et al., 2020) mengungkapkan
bahwa potensi dan pengawasan atas pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah
pabean atas konten digital Steam pada dua kondisi, yaitu apabila Steam belum
mempunyai BUT di Indonesia dan apabila sudah mempunyai BUT di Indonesia dimana
ketika Steam belum mempunyai BUT di Indonesia maka transaksi penyerahan PPN-nya
merupakan kewajiban konsumen di Indonesia dan hal ini sangat susah untuk
dilakukan pengawasan oleh petugas pajak atas rendahnya kepatuhan konsumen untuk
menyetorkan PPN atas pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan
ketikan Steam mempunyai BUT di Indonesia maka ketika itu Steam akan menjadi PKP
di Indonesia sehingga steam akan memungut PPN atas transaksi penyerahan di
Indonesia.
Dalam penelitiannya (Budiarto & Cahyono, 2020) melakukan
penelitian mengenai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang
Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
(e-commerce). Dalam ketentuan tersebut pemilik platform wajib
menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) tanpa melihat besarnya omset yang diperoleh
pemilik platform. Hal itu, berbeda dengan pengusaha lain pada umumnya
yang diberi kebebasan memilih menjadi PKP atau tidak jika memenuhi batasan
omzet sebagai pengusaha kecil.
Dalam penelitiannya (Widianto & Puspita, 2020) melakukan
evaluasi atas pengenaan PPN PMSE. Menurutnya, terdapat tiga
kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah sehubungan PPN PMSE. Kebijakan pertama, dengan tidak melakukan pemungutan PPN PMSE.
Kebijakan kedua, dengan melakukan pemungutan PPN PMSE berdasarkan
aturan yang ada saat ini yaitu sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
48/PMK.03/2020. Dan kebijakan Ketiga, dengan melakukan
pemungutan PPN PMSE dengan menambah ketentuan baru dimana ketentuan baru
tersebut memasukkan BKP berwujud dalam lingkup aturan PPN PMSE. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti,
kebijakan ketiga merupakan alternatif yang paling menguntungkan bagi Negara.
Dalam kebijakan ketiga memberikan opsi manfaat yang paling besar dengan biaya
yang paling kecil, pemilihan kebijakan ketiga akan
memberikan perlakuan yang setara antar pelaku usaha.
Dalam Penelitiannya (Wijaya & Juhana, 2021) meninjau PPN
PMSE merupakan PPN yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud (BKPTB) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean yang
melalui perdagangan melalui sistem elektronik dimana sebelum aturan PMSE terbit
konsumen melakukan penyetoran dan pelaporan secara mandiri sedangkan setelah
aturan PMSE terbit konsumen hanya harus membayar PPN yang terutang kepada
pemungut PPN PMSE, peneliti juga mengungkapkan bahwa atas terbitnya aturan PPN
PMSE tidak terdapat pajak baru yang timbul melainkan hanya mekanisme baru.
Dalam penelitiannya (Wijaya & Nirvana, 2021) meninjau
bagaimana perlakuan PPN PMSE terutama dalam hal mekanisme pelaksanaan, dampak diberlakukannya
pemungutan PPN PMSE, serta manfaat yang dihasilkan dari pemungutan PPN PMSE. Berdasarkan hasil penelitiannya, terdapat perbedaan kewajiban
dimana PT Shopee Internasional Indonesia sebagai pemungut PPN PMSE, PT Shopee
Internasional tidak dapat melakukan pengkreditan pajak masukan.
Dalam penelitiannya (Barlian et al., 2021) melakukan
penelitian tentang Analisis Strategi Sosialisasi Pajak atas Transaksi
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Sebagai Upaya Optimalisasi
Penerimaan Pajak. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa penghambat dalam
menjalankan strategi sosialisasi perpajakan transaksi perdagangan melalui
sistem elektronik sebagai upaya optimalisasi penerimaan pajak adalah kurangnya
minat masyarakat dimana sarana dan prasarana yang kurang mendukung dalam proses
strategi dan regulasi perpajakan transaksi PMSE.
Dalam penelitiannya (Tofan & Trinaningsih, 2022) mengungkapkan
bahwa berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020
terdapat beberapa perbedaan penerapan PPN PMSE dan PPN Konvensional yakni pada
batasan peredaran bruto penyedia barang dan jasa, dokumen yang dimiliki,
periode pelaporan, sanksi terlambat lapor, jumlah traffic, dan lokasi/domisil
pelaku usaha yang telah ditetapkan sebagai pemungut PPN.
Berdasarkan penelitian (Wijaya & Juhana, 2021) berlakunya
aturan mengenai PPN PMSE membuat pelaku usaha menjadi cemas. Dimana
kecemasan tersebut terjadi karena banyak pelaku usaha yang menganggap aturan
tersebut menciptakan jenis pajak baru yang berdampak pada penambahan beban
hidup mereka. Bagi pelaku usaha diberlakukannya
peraturan mengenai pemungutan PPN PMSE dapat menyebabkan kesenjangan antara
pelaku usaha melalui sistem elektronik dengan pelaku usaha secara konvensional.
Berdasarkan teori pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam
Smith maka dalam pemberlakuan aturan tersebut Pemerintah Indonesia harus
memperhatikan 4 (empat) asas yaitu asas Equality, asas Certainty, asas
Convinience of Payment, dan asas Efficiency. Dengan memperhatiakan asas
tersebut pemungutan pajak akan dapat berjalan kondusif
dan tidak merugikan pihak lainnya.
Berdasarkan penelitian (Widianto & Puspita, 2020) Dengan adanya
aturan mengenai PPN PMSE tentunya pemerintah melihat potensi pajak yang harus
segera digali untuk meningkatkan tingkat tax ratio dikarenakan banyaknya
stimulus yang diberikan pemerintah untuk pemulihan ekonomi di masa pandemi
COVID-19. Berdasarkan teori implementasi yang dikemukakan
oleh George Edward, dalam melakukan implementasi suatu kebijakan harus
dipersiapkan dan direncanakan dengan baik. Dengan persiapan dan rencana
yang baik maka tujuan dari implementasi kebijakan tersebut akan
bisa terwujud.
Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan pajak pertambahan nilai sebelum
dan sesudah aturan PPN PMSE serta bertujuan untuk menganalisis dampak penerapan
pajak pertambahan nilai atas penerapan aturan PPN PMSE.
Metode Penelitian
Perspektif penelitian
merupakan refleksi pemikiran setiap peneliti yang akan melakukan sebuah riset,
berupa pendekatan dan metode yang akan digunakan dalam melaksanakan penelitian,
pendekatan yang dimaksud merupakan paradigma yang secara filosofis mempengaruhi
desain penelitian untuk memberikan pedoman dalam merancang, melaksanakan, dan
melaporkan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan.
Dalam
penelitian ini, untuk mencapai tujuan penelitian maka peneliti menggunakan
jenis metode penelitian kualitatif dengan pendekatan secara narrative.
Penelitian dengan pendekatan naratif adalah laporan yang
bersifat narasi yang menceritakan urutan peristiwa secara terperinci.
Penelitian naratif merupakan studi tentang kehidupan individu seperti yang
diceritakan melalui kisah pengalaman mereka, termasuk diskusi tentang makna
pengalaman bagi individu (Schreiber & Asner-Self, 2011).
Berdasarkan
tujuan penggunaan, pendekatan naratif sangat cocok dengan penelitian ini karena
kesesuaian dengan latar belakang yaitu untuk memberikan gambaran mengenai
perkembangan dan dampak dari penerapan aturan PPN PMSE di Indonesia.
Oleh karena itu, pendekatan secara naratif ini akan
sangat membantu peneliti dalam mengetahui cerita pengalaman narasumber atas
penerapan aturan PPN PMSE.
Tujuan penelitian
kualitatif pada umumnya mencakup informasi tentang fenomena utama (central
phenomena) yang di eksplorasi dalam penelitian, partisipan penelitian, dan
lokasi penelitian (Creswell, 2014). Pendekatan kualilatif menjadi model yang tepat untuk menyelesaikan
masalah penelitian karena model kualitatif mendeskripsikan dan memahami suatu
permasalahan dengan fokus yang mendalam.
Metode penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan pada kondisi ilmiah, lebih
bersifat deskriptif, serta lebih menekankan pada proses daripada produk maupun
outcome, analisis data secara induktif, dan lebih menekankan makna (Sugiyono, 2018). Dimana Metode penelitian kualitatif menggunakan istilah yang
berbeda dengan penelitian kuantitatif. Metode
kualitatif menggunakan istilah credibility (validitas internal),
transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan
comfirmability (obyektivitas) dalam pengujian keabsahan data.
Penelitian
ini meninjau implementasi aturan PPN PMSE. Dimana penelitian berfokus pada perkembangan sebelum dan sesudah
diterapkannya aturan PPN PMSE dan dampak dari penerapan aturan PPN PMSE di
Indonesia. Sesuai dengan manfaat penelitian, dimana
penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pilihan dan pertimbangan
bagi pelaku usaha yang melakukan pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP baik dari dalam
pabean dan luar daerah pabean.
Penelitian
ini menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (in-depth
interview) kepada pihak yang dipandang tahu dengan situasi terkait penelitian.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
data yang diperoleh dari sumber yang relevan dengan objek penelitian.
Analisis
data pada penelitian ini bersifat induktif, yaitu analisis data yang prosesnya
berlangsung dari fakta ke teori. Tujuan
penggunaan analisis induktif adalah untuk menghindari manipulasi data, sehingga
diawali dengan data baru disesuaikan dengan teori. Adapun
rincian proses analisis data yang penulis lakukan adalah sesuai dengan
aktivitas analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman sebagaimana
dikutip oleh (Sugiyono, 2016), yaitu sebagai
berikut:
1. Reduksi
data (data reduction)
Reduksi data dapat diartikan sebagai proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung tertus-menerus selama proyek yang
berorientasi penelitian kualitatif berlangsung. Antisipasi akan adanya reduksi data sudah tampak waktu penelitiannya
memutuskan (seringkali tanpa disadari sepenuhnya) kerangka konseptual wilayah
penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan pengumpulan data mana yang
dipilihnya. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadilah
tahapan reduksi selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur, tema,
membuat gugus, membuat pertisi, membuat memo). Reduksi
data/transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai
laporan akhir lengkap. Dengan reduksi data peneliti
tidak perlu mengartikannya sebagai kuantifikasi. Data kualitatif dapat
disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara,
yakni: melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat,
menggolongkannya dalam satu pola yang lebih luas, dan sebagainya. Kadangkala dapat juga mengubah data ke dalam angka atau peringkat,
tetapi tindakan ini tidak selalu bijaksana.
1. Penyajian
data (data display)
Miles & Huberman membatasi
suatu penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Mereka meyakini bahwa penyajian-penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid, yang
meliputi: berbagai jenis matrik, grafik, jaringan dan bagan. Semuanya
dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang
padu dan mudah diraih. Dengan demikian seorang penganalisis dapat
melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah
menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis yang
menurut saran yang dikisahkan oleh penyajian sebagai sesuatu yang mungkin
berguna.
2. Penarikan
kesimpulan (conclusion drawing)
Penarikan kesimpulan menurut Miles
& Huberman hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh.
Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian
berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran kembali yang
melintas dalam pikiran penganalisis (peneliti) selama ia menulis, suatu
tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, atau mungkin menjadi begitu
seksama dan menghabiskan tenaga dengan peninjauan kembali serta tukar pikiran
di antara teman sejawat untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif atau
juga upaya-upaya yang luas untuk menempatkan Salinan suatu temuan dalam
seperangkat data yang lain. Singkatnya, makna yang muncul dari data yang lain
harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan
validitasnya. Kesimpulan akhir tidak hanya terjadi pada waktu proses
pengumpulan data saja, akan tetapi perlu diverifikasi
agar benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
Penelitian
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu
jenis pajak yang dikenakan di Indonesia. Menurut Waluyo (2011) PPN merupakan salah satu jenis
pajak yang dikenakan terhadap konsumsi yang dilakukan oleh penduduk Indonesia
yang terjadi di dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
PPN memiliki beberapa karakteristik penting yang membedakan dengan jenis pajak
yang lain, salah satu karakteristik yang penting dari
PPN adalah hanya dikenakan atas konsumsi dalam negeri.
PPN dikenakan atas konsumsi baik barang maupun jasa
yang dikonsumsi di dalam negeri. Karakteristik ini penting karena PPN menganut prinsip Destination
Principle dimana suatu negara hanya berhak memajaki konsumsi yang hanya
dilakukan di dalam negaranya sendiri sedangkan atas konsumsi yang dilakukan
pada wilayah negara lain merupakan hak negara yang
bersangkutan untuk memajaki. PPN dikenakan atas konsumsi
barang dan jasa. Barang yang di maksud merupakan
barang berwujud maupun barang tidak berwujud termasuk barang digital. Sementara jasa meliputi seluruh jenis jasa termasuk di dalamnya
jasa digital.
Sebagai negara berkembang, Indonesia hanya
menghasilkan sedikit barang tidak berwujud. Menurut PSAK 19 aset tidak
berwujud merupakan aset yang dapat diidentifikasi tanpa wujud fisik dimana aset
tidak berwujud dapat berupa hak-hak yang dilindungi oleh UU seperti hak paten,
hak cipta, hak merek, dan lainnya. Saat ini jenis
barang tidak berwujud sudah tidak dapat disebutkan satu persatu karena
jumlahnya yang kian bertambah seiring kemajuan zaman. Dalam
bidang perpajakan atas transaksi ekonomi atas pemanfaatan aset tidak berwujud
dikenal dengan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud (BKPTB).
Saat ini ketika maraknya perkembangan teknologi,
semua hal mengalami perubahan termasuk sistem perdagangan. Salah satu sistem perdagangan
yang saat ini sedang marak yaitu perdagangan melalui sistem elektronik. Dalam transaksi melalui sistem elektronik penjual tidak harus
membuka tempat usaha untuk mendatangkan pembeli, tetapi dengan memanfaatkan
perkembangan tekonologi dengan perdagangan melalui sistem elektronik penjual
sudah bisa mendatangkan pembeli. Berkembangnya
perdagangan melalui sistem elektronik yang semakin pesat menyebabkan datangnya
masalah baru. Masalah yang timbul dari perkembangan
perdagangan adalah terciptanya kesenjangan antara pelaku usaha melalui sistem
elektronik dengan pelaku usaha konvensional.
Potensi yang dirasa perannya akan terus meningkat pada Tahun 2020 untuk
lebih mengintesifikasikan penerimaan pajak, Pemerintah Indonesia menerbitkan
Undang �Undang (UU)� Nomor 2 Tahun 2020
tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disese 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan Menjadi Undang-Undang dengan menunjuk pemungut atas pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud (BKPTB) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar
daerah pabean.
Pengenaan PPN PMSE merupakan salah satu kebijakan
dari pemerintah dimana ini dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan
pajak. Subjek
dan objek pajak pada PPN PMSE tidak berbeda dengan PPN pada umumnya. Mekanisme PPN PMSE serupa dengan PPN yang berlaku selama ini, hanya
saja saat ini transaksi yang dikenakan adalah transaksi atas pemanfaatan BKPTB
dan/atau JKP. Tujuan pengenaan PPN PMSE adalah untuk
perluasan basis pajak serta aturan ini diterbitkan untuk mendorong penerimaan
pajak yang semakin rendah akibat adanya stimulus yang diberikan pemerintah
kepada Wajib Pajak.
Berdasarkan asas pemungutan pajak yang dikemukakan
oleh Adam Smith, negara tidak dapat membuat kebijakan yang asal karena
pemungutan pajak menyangkut keadinal dan wewenang, serta hak dari warga. Mardiasmo (2011), menyatakan
bahwa agar pemungutan pajak berjalan dengan lancar maka harus menyederhanakan
administrasi pajak dan membuat biaya administrasi yang effisien. Sangat tidak sesuai apabila pemungutan pajak dilakukan dengan model
yang kompleks. Model pemungutan pajak yang kompleks
bisa membuat masyarakat enggan untuk membayar pajak atau enggan untuk
melaksanakan kewajibannya.
Menurut Bapak Ruston Tambunan, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia
(IKPI) yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Indonesia
telah memfasilitasi transaksi pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah
pabean merupakan objek PPN dimana PPN yang terhutang harus dihitung, dipungut,
disetorkan, dan dilaporkan sendiri oleh pihak yang melakukan pemanfaatan.�
Sebelum aturan PPN PMSE diberlakukan, berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean pengenaan
PPN atas Jasa Luar Negeri (JLN) dilakukan dengan cara menyetor sendiri (reverse
charge). Menurut (Mardiasmo, 2016) menyatakan bahwa pajak berfungsi untuk memasukkan
sumber anggaran sebanyak-banyaknya ke kas negara, agar uang pajak yang
dikumpulkan tidak banyak berkurang, serta biaya pemungutan pajak haruslah
sesedikit mungkin agar dapat digunakan untuk keperluan yang lebih penting.
Menurut Ibu Utri Marliana Dalimunthe, Direktur Aksara Business Consulting
yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Cara pelaporan dan penyetoran atas pemanfaatan
BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean yang cukup kompleks menyebabkan
banyak masyarakat yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya dimana sangat
jarang ditemukan penyetoran PPN JLN yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi.�
Setiap masyarakat yang melakukan pemanfaatan BKPTB
dan/atau JKP dari luar daerah pabean harus melaksanakan kewajiban perpajakannya
secara mandiri dimana hal tersebut mensyarakatkan masyarakat untuk paham dengan
aturan perpajakan yang berlaku. Akibat kompleksnya pelaporan dan penyetoran pajak atas
PPN JLN berdampak kepada kurang optimalnya jumlah pajak yang dipungut. Dalam hal ini, Pemerintah harus paham mengenai aktivitas dan kesibukan
masyarakat dalam melaksanakan kegiatan ekonomi dimana seharusnya pemerintah
menyediakan layanan yang sederhana yang mempermudah masyarakat untuk memenuhi
kewajibannya.
Menurut Bapak Heru Tjaraka, Dosen Pengajar Departemen Akuntansi yang
penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Metode reverse charge menjadi satu celah
(loophole), artinya pelaku usaha sudah diberikan kepercayaan oleh pemerintah
untuk memungut dan menyetorkan sendiri ke negara. Namun tidak seperti itu dalam kenyataannya, dimana masih terdapat
pelaku usaha yang melakukan rekayasa atau manipulasi data.�
Dikarenakan PPN menganut destination principal
secara umum di berbagai negara sehingga PPN dikenakan atas konsumsi yang
dilakukan di dalam negeri tanpa melihat dari mana barang dan/atau jasa tersebut
berasal. Dengan mekanisme reverse charge atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP
dari luar daerah pabean menyebabkan banyaknya penerimaan pajak dari Wajib Pajak
Orang Pribadi yang belum tergali. Hal ini terjadi
karena, pemungutan pajak menggunakan mekanisme reverse charge sangat sulit
untuk diidentifikasi. Minimnya informasi mengenai
pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar negeri menjadikan mekanisme reverse
charge sebagai grey area.
Menurut Bapak Ruston Tambunan, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak
Indonesia (IKPI) yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Kelemahan dari reverse charge pada Wajib Pajak
Orang Pribadi adalah tingkat kepatuhannya sulit diharapkan, karena secara
administrasi sangat membingungkan.�
Menurut Ibu Utri Marliana Dalimunthe, Direktur Aksara Business Consulting
yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Kelebihan dari reverse charge adalah secara teknis
lebih rapi dalam pendokumentasian transaksi, proses kepatuhan perpajakan
seperti membayar pajak dan pelaporan pajak.�
Mekanisme reverse charge, mengharuskan konsumen yang melakukan
pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean untuk menjalankan
pembukuan. Hal tersebut memiliki tujuan pemeriksaan kepatuhan
dalam menyetorkan PPN yang terhutang. Sehingga dapat
di simpulkan penyetoran PPN secara reverse charge hanya dilakukan oleh pelaku
bisnis atas transaksi Bussines to Bussines (B2B), sedangkan atas transaksi
Bussines to Customer (B2C) tidak ada yang melakukan penyetoran PPN secara
reverse charge karena terkendala dalam kepatuhan dan penyetoran PPN yang
terhutang.
Pada Tahun 2020 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang diterbitkan pada
tanggal 31 Maret 2020.
Dalam PERPU tersebut memuat banyak aturan salah
satunya adalah aturan mengenai pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah
pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Setelah berlakunya PERPU Nomor 1 Tahun 2020,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020
tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean
Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang merupakan aturan turunan
dari PERPU Nomor 1 Tahun 2020.
Menurut Bapak Heru Tjaraka, Dosen Pengajar Departemen Akuntansi yang
penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Kegiatan bertransaksi melalui sistem elektronik
tidak mengenal lintas batas yang mana apapun pemanfaatannya dapat terhindar
dari pajak.�
Diterbitkannya PMK Nomor 48/PMK.03/2020 merupakan
suatu langkah yang tepat bagi pemerintah dimana peraturan tersebut mengatur
pemungutan pajak khususnya PPN PMSE atas transaksi pemanfaatan BKPTB dan/atau
JKP dari luar daerah pabean. Adanya pandemi COVID-19 yang menggemparkan seluruh
dunia, dimana seluruh dunia terdampak salah satunya Indonesia. Pandemi
yang melanda Indonesia berdampak antara lain terhadap
perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara dari
sektor pajak, dan meningkatnya belanja negara. Diterbitkannya peraturan
mengenai pemungutan pajak khususnya PPN PMSE atas transaksi pemanfaatan BKPTB
dan/atau KJP dari luar daerah pabean, selain untuk mengatasi loophole yang ada
penerbitan aturan ini sangat efektif untuk meningkatkan penerimaan negara untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain sebagai penunjang penerimaan negara,
terbitnya aturan PPN PMSE menyebabkan fairness pada sektor perdagangan. Dimana aturan pemungutan PPN PMSE
menjamin kesejahteraan perlakuan pajak antara pelaku usaha melalui sistem
elektronik dan pelaku usaha konvensional atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP di
dalam pabean dan di luar daerah pabean. Sebelum aturan
pemungutan PPN PMSE berlaku, pelaku usaha yang menjalankan bisnis di dalam
daerah pabean dengan pelaku usaha yang menjalankan bisnis di luar daerah pabean
perlakuan pajaknya kurang adil. Dimana pelaku usaha
yang menjalankan bisnis di dalam daerah pabean berkewajiban melakukan
pemungutan PPN atas setiap transaksi pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP sedangkan
pelaku usaha yang menjalankan bisnis di luar daerah pabean tidak berkewajiban
melakukan pemungutan PPN atas setiap transaksi pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP.
Menurut Bapak Ruston Tambunan, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak
Indonesia (IKPI) yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Diterbitkannya PMK Nomor 48/PMK.03/2020 mengenai
pemungutan PPN PMSE atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean
maka tergalinya potensi penerimaan pajak. Sebelumnya transaksi B2C
(Bussiness to Customer) tidak tertangkap oleh metode reverse charge. Dengan diberlakukannya aturan pemungutan PPN PMSE menjadikan Wajib
Pajak Orang Pribadi yang sebelumnya tidak melakukan penyetoran sendiri menjadi
dipungut oleh pemungut.�
Setelah aturan pemungutan PPN PMSE diberlakukan,
kewajiban konsumen atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean
mengalami perubahan. Konsumen sebagai pihak yang melakukan pemanfaatan BKPTB dan/atau
JKP dari luar daerah pabean tidak selalu harus melaksanakan kewajiban
perpajakannya secara mandiri. Berdasarkan PMK Nomor
48/PMK.03/2020, Pemerintah menunjuk pelaku usaha luar negeri sebagai pemungut
PPN PMSE, dimana pelaku usaha yang di tunjuk berkewajiban untuk melakukan
administrasi perpajakan seperti penyetoran dan pelaporan pajak. Pelaku usaha luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan
penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik dapat melakukan pemungutan
PPN PMSE hanya ketika telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE.
Transaksi yang terjadi secara langsung antara
pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negeri dengan konsumen di
Indonesia maka pemungut atas transaksi tersebut adalah pedagang luar negeri
atau penyedia jasa luar negeri. Kemudian apabila perdagangan melalui sistem elektronik yang dilakukan
pembeli dan pedagang luar negeri atau antara penerima jasa dan penyedia jasa
luar negeri terjadi melalui penyelenggaran perdagangan melalui sistem
elektronik sebagai perantara, maka pemungut atas transaksi tersebut adalah
pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, penyelenggara perdagangan
melalui sistem elektronik dalam negeri atau penyelenggara perdagangan melalui
sistem elektronik luar negeri. Konsumen hanya perlu membayar
PPN bersamaan dengan pembayaran atas pemanfaatan barang da/atau jasa kepada
penjual atau penyedia jasa.
Ketentuan tersebut hanya berlaku apabila penjual
barang dan/atau penyedia jasa telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Kemudian apabila transaksi pemanfaatan BKPTB
dan/atau JKP dari luar daerah pabean diperoleh dari pelaku usaha yang belum
ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE, ketentuan yang berlaku yaitu menggunakan
mekanismen reverse charge atau sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 40/PMK.03//2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.
Menurut Bapak Ruston Tambunan, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak
Indonesia (IKPI) yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Mekanisme PPN yang dipungut oleh pemungut,
berpengaruh signifikan atas Wajib Pajak Orang Pribadi atau transaksi Bussines
to Customer (B2C) yang sebelumnya dengan metode reverse charge tidak
menyetorkan PPN-nya menjadi menyetorkan PPN-nya.�
Kewajiban PPN dengan mekanisme pemungutan oleh pihak luar negeri dinilai
banyak pihak merupakan metode yang lebih baik dibandingkan dengan mekanisme
reverse charge. Mekanisme pemungutan ini menguntungkan
konsumen, karena konsumen tidak perlu bersusah payah untuk melakukan
pehitungan, penyetoran, dan pelaporan sendiri kewajiban PPN-nya. Mekanisme pemungutan yang sederhana dari sudut pandang konsumen
merupakan salah satu kelebihan dari mekanisme pemguntuan oleh pihak luar negeri
ini.
Metode pemungutan oleh pihak luar negeri menjaga
asas netralitas pajak (level of playing field) yang artinya tidak dibedakan
antara pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP di dalam negeri dan di luar negeri
sama-sama dilakukan pemungutan PPN. Asas netralitas ini terjadi apabila konsumsi BKPTB
dan/atau JKP dari Indonesia dipungut PPN (destination principal) baik BKP/JKP
dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dimana atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP yang
berasal dari Indonesia PPN dipungut oleh PKP, sedangkan atas pemanfaatan BKPTB
dan/atau JKP yang berasal dari luar Indonesia dan dikonsumsi di Indonesa, PPN
dipungut oleh pihak luar negeri yang termasuk didalamnya pelaku usaha luar
negeri.
Menurut Bapak Ruston Tambunan, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak
Indonesia (IKPI) yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Kekurangan dari mekanisme pemungutan PPN PMSE
adalah pemerintah Indonesia tidak bisa memaksa (endforce) pelaku usaha luar
negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE.�
Selain yang telah disampaikan oleh narasumber, terdapat kekurangan lain
dari mekanisme pemungutan PPN PMSE yang dilakukan oleh pelaku usaha luar negeri
yaitu posisi pemungut yang berada di luar wilayah Indonesia berdampak pada sulitnya
penyelesaian masalah jika timbul suatu sengketa. Serta bagi pelaku usaha luar
negeri yang terlambat atau tidak menyetorkan PPN yang dipungut tidak bisa
dikenakan sanksi sesuai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) karena
Indonesia tidak bisa mengenakan sanksi kepada pelaku usaha luar negeri.
Menurut pendapat narasumber, sistem pemungutan PPN
PMSE yang saat ini berlaku merupakan sistem yang umum dan paling ideal untuk
digunakan saatu ini. Tentu terdapat beberapa kondisi dimana masyarakat sadar kewajibannya
dan melaksanakan sendiri secara self assessment sepenuhnya. Tetapi hal tersebut tidak dapat terjadi saat ini, oleh karena itu
Pemerintah Indonesia menunjuk pelaku usaha luar negeri untuk melakukan
pemungutan PPN PMSE atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah
pabean. Saran dari narasumber, sebelum dilakukan
banyak penunjukan baiknya dibuatkan terlebih dahulu aturan untuk mengatur jika
terdapat masalah yang timbul yang diakibatkan pemungutan PPN PMSE. Seperti administrasi yang dibuat secara sederhana jangan terlalu
rumit, serta diperlukan evaluasi jika terdapat pelaku usaha luar negeri yang
terlambat atau tidak melakukan penyetoran dan pelaporan atas pemungutan PPN
PMSE.
Kewajiban PPN konsumen atas pemanfaatan BKPTB
dan/atau JKP dari luar daerah pabean sebelum dan sesudah adanya aturan PPN PMSE
memiliki perbedaan. Dimana perbedaan tersebut terjadi ketika pemanfaatan BKPTB dan/atau
JKP dari luar daerah pabean berasal dari pelaku usaha yang ditunjuk sebagai
pemungut PPN PMSE. Sebelum aturan PPN PMSE
diberlakukan, atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean
konsumen memiliki berkewajiban untuk menyetorkan dan melaporkan sendiri PPN
atas pemanfaatan barang atau jasa secara self assessment sesuai dengan PMK
Nomor 40/PMK.03/2010.
Penyetoran PPN sebelum aturan PPN PMSE berlaku
benar-benar bergantung pada kesadaran konsumen. Jika konsumen sadar kewajibannya
dan rela bersusah payah untuk melaksanakan kewajibannya maka negara mendapatkan
setoran pajak. Jika konsumen tidak memahami kewajiban
perpajakannya atau konsumen enggan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya
negara tidak mendapatkan setoran pajak atas transaksi pemanfaatan barang atau
jasa.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2020
mengatur mengenai PPN PMSE ini bukan yang pertama. Sebelumnya
terdapat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang
Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Namun aturan tersebut dicabut sebelum diberlakukan dengan
alasan perlu disosialisasikan terlebih dahulu. Hal yang serupa juga
terjadi pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 banyak dari
masyarakat yang menganggap
bahwa terdapat pengenaan pajak baru dari aturan tersebut, serta muncul
pemikiran dari masyarakat bahwa aturan baru tersebut akan menambah beban
mereka.
Menurut Ibu Utri Marliana Dalimunthe, Direktur Aksara Business Consulting
yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�PPN PMSE tidak menciptakan jenis pajak baru, hanya
saja klausul dari pemerintah menekankan pada pajak atas transasi elektronik. Dimana pengenaan tersebut dapat mengarah ke Pajak Penghasilan (PPh)
dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diatur sebelumnya.�
Menurut Bapak Heru Tjaraka, Dosen Pengajar Departemen Akuntansi yang
penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�PPN PMSE tidak menciptakan jenis pajak baru,
mekanismenya seperti pajak yang berlaku selama ini hanya saja saat ini produk
yang dikenakan adalah produk digital yang mana itu bisa dapat berupa BKPTB dan/atau
JKP. Serta transaksi produk digital
tidak mengenal lintas batas, jadi PPN PMSE merupakan salah satu langkah yang
efektif.�
Menurut Bapak Ruston Tambunan, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak
Indonesia (IKPI) yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�PPN PMSE
tidak menciptakan jenis pajak baru, karena di undang-undang sudah diatur
sebelumnya mengenai pemanfaatan BKPTB da/atau JKP dari luar daerah pabean. Secara substansi bukan pajak
baru, melainkan pajak yang baru dibuat aturannya dan sistem pemungutannya.
Dimana diaturan sebelumnya PPN menyetorkan sendiri (reverse
charge) sedangkan diperaturan baru dipungut oleh pemungut PPN PMSE.�
Tidak ada jenis pajak baru yang timbul, karena semua aturan dan sistem
pemungutan sama dengan aturan mengenai pemungutan PPN
yang berlaku sebelumnya. Hanya saja terdapat beberapa
perbedaan karena pemungut PPN PMSE merupakan pelaku usaha luar negeri.
Serta berlakunya aturan PPN PMSE memberikan perlakuan perpajakan yang sama antara transaksi perdagangan konvesional dengan
perdagangan melalui sistem elektronik. Sehingga pemungutan
PPN atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik bukan merupakan jenis
pajak baru karena dari dulu sudah ada aturan yang mengaturnya.
Banyak masyarakat menganggap bahwa PPN PMSE sebagai
pajak baru karena kurangnya pemahaman masyarakat terkait pajak khususnya PPN. Selain itu, pemilihan kata yang
tidak tepat pada Undang-Undang (UU) juga turut menyebabkan adanya anggapan
terdapat pajak baru. Kata �diberlakukan� yang terdapat
pada aturan tersebut membuat masyarakat salah presepsi.Dimana masyarakat
menganggap bahwa sebelumnya tidak berlaku. Jadi
anggapan masyarakat bahwa PPN PMSE merupakan jenis pajak baru tidak tepat.
Anggapan terjadi karena kurangnya wawasan masyarakat terkait
pajak khususnya PPN.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
48/PMK.03/2020, pemungutan PPN PMSE merupakan beban yang seharusnya ditanggung
oleh konsumen. Pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean harusnya
tidak dibedakan, aturan ini bertujuan untuk menyamakan pengenaan PPN atas
pemanfaatan dalam negeri dan pemanfaatan luar negeri. Terciptanya
playing field merupakan suatu konsep tentang keadilan dimana tidak dibedakan
antara pemanfaatan dari dalam negeri dan pemanfaatan luar negeri dimana pada
pemanfaatan tersebut sama-sama dikenakan PPN.
Beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, dan
Australia sudah menerapkan aturan mengenai pemungutan PPN PMSE. Dimana menurut OECD agar pelaku
usaha luar negeri tidak keberatan ditunjuk sebagai pemungut PPN maka aturan
mengenai mekanisme pemungutan PPN PMSE harus dibuat sesederhana mungkin.
Mekanisme pemungutan PPN PMSE sekarang merupakan mekanisme
terbaik untuk saat ini, dimana pemerintah sudah mengamankan potensi penerimaan
pajak yang sebelumnya tidak tergali.
Menurut Ibu Utri Marliana Dalimunthe, Direktur Aksara Business Consulting
yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Pengenaan PPN PMSE secara biaya tidak memberikan
kerugian yang benar-benar timbul karena pemungutan PPN PMSE. Bagi konsumen yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) atas transaksi pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP pajak yang telah dibayarkan
tidak digunakan sebagai kredit pajak.�
Menurut Bapak Heru Tjaraka, Dosen Pengajar Departemen Akuntansi yang
penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Selama ini konsumen yang menikmati produk digital
tidak dikenakan PPN karena tidak ada payung hukum dalam pengenaan pajak.
Pengenaan PPN PMSE tidak berdampak secara langsung kepada konsumen karena
berdasarkan peraturan sebelumnya memang seharusnya atas transaksi pemanfaatan
tersebut merupakan objek PPN, hanya saja mungkin konsumen akan merasa kaget
karena sebelumnya atas transaksi pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP tidak dikenakan
PPN menjadi dikenakan PPN dengan tarif 10% dan 11% yang berlaku mulai April Tahun
2022.�
Menurut Bapak Ruston Tambunan, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak
Indonesia (IKPI) yang penulis wawancara. Beliau menyatakan bahwa:
�Pengenaan PPN PMSE merupakan beban yang seharusnya
di tanggung oleh konsumen. Aturan ini merupakan penyamaan pengenaan PPN atas
perolehan BKPTB dan/atau JKP dari dalam negeri dan luar negeri tercipta Level
Playing Field dimana tidak dibedakan antara pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari
dalam negeri dan luar negeri. Jadi aturan PPN PMSE bukanlah
merupakan suatu kerugian tetapi merupakan suatu perencanaan pajak.�
Pajak merupakan beban yang sebisa mungkin masyrakat
berusaha untuk hindari. Oleh sebab itu, sebelum aturan PPN PMSE diberlakukan tidak banyak
wajib pajak yang berstatus Non-PKP yang memenuhi kewajiban PPN-nya. Setelah aturan PPN PMSE terbit, ketika hendak melakukan transaksi
pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean dimana pemanfaatan
tersebut berasal dari penjual yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE atas
transaksi tersebut dipungut PPN.
Konsumen hanya berkewajiban membayar PPN terutang
kepada pemungut PPN PMSE. Konsumen tidak perlu menyetorkan dan melaporkan PPN
terutang. Penyetoran dan pelaporan PPN terutang
dilakukan oleh pemungut PPN PMSE. Selain itu, karena
PPN wajib dibayarkan bersamaan dengan transaksi, mau tidak mau konsumen harus
membayar PPN apabila ingin melakukan pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar
daerah pabean.
Dengan sifatnya yang seperti itu maka pemenuhan
kewajiban PPN dengan mekanisme pemungutan tidak bergantung pada kesadaran dan
kesukarelaan dari konsumen. Ini sebenarnya yang disebut dengan pajak tidak
langsung atau biasa disebut seamless tax dimana pembayar pajak tidak menyadari
telah membayar PPN. Pajak secara tidak sadar dibayar
oleh konsumen karena dalam setiap penyerahan wajib dilakukan pemungutan PPN.
Dengan sistem ini maka pemungutan pajak lebih
efektif, dan loophole yang ada selama ini dapat ditutupi. Berdasarkan aturan PPN PMSE saat
ini, mekanisme pemungutan PPN PMSE sekarang merupakan mekanisme terbaik untuk
saat ini, dimana pemerintah sudah mengamankan potensi penerimaan pajak yang
sebelumnya tidak tergali.
B. Pembahasan
1.
Perkembangan
PPN Sebelum dan Sesudah Aturan PPN PMSE
Pajak merupakan pungutan yang didasarkan pada Undang-Undang
(UU) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD). Artinya sebelum dilaksanakan maka
harus diatur terlebih dahulu dalam peraturan. Pajak
terbagi menjadi 2 (dua) pajak yang di administrasikan oleh pemerintah pusat
(pajak pusat) dan pajak yang di administrasikan oleh pemerintah daerah (pajak
daerah). Contoh pajak pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan
Bangunan sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan (PBB P3), dan sektor
lainnya beserta Bea Materai (BM).
Sebelum aturan PPN PMSE diberlakukan, Pada Tahun
2018 Pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018
tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik. Namun aturan tersebut dicabut pada tanggal 29 Maret Tahun 2019
dengan alasan hendak dilakukan kajian dan sosialisasi sebelum ketentuan
mengenai perdagangan melalui sistem elektronik dilaksanakan.
Pada Tahun 2010 Pemerintah mengeluarkan aturan mengenai pemungutan PPN
Jasa Luar Negeri (JLN) dengan memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean. Aturan
tersebut mengatur pemungutan PPN atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean dengan mekanisme penyetoran sendiri
(reverse charge).
Mekanisme reverse charge mengharuskan Wajib Pajak Orang Pribadi dan/atau
Badan atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP melakukan pemungutan PPN dan
menyetorkannya ke kas negara. Batas maksimal untuk melakukan
pemungutan dan penyetoran adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat
terutang.
Bagi Wajib Pajak yang berstatus PKP, PPN yang
dipungut harus dilaporkankan pada SPT Masa PPN dimana PPN tersebut diperlakukan
sebagai laporan pemungutan PPN. Bagi Wajib Pajak yang berstatus Non-PKP, PPN yang
dipungut dapat dilaporkan menggunakan lembar Surat Setoran Pajak (SSP) ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Kelebihan dari mekanisme reverse charge adalah
secara teknis telah sesuai dengan sistem Self-Assessment. DJP memberikan kepercayaan kepada
konsumen yang melakukan pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean
untuk menghitung, membayar, dan meporkan sendiri pajak yang terutang. Bagi konsumen yang melakukan penyetoran sendiri mekanisme ini
membuat administrasi perpajakan lebih rapi dalam dokumentasi transaksi, proses
kepatuhan perpajakan, pembayaran pajak, dan pelaporan pajak.
Kelemahan dari mekanisme reverse charge tingkat
kepatuhannya sulit diharapkan. Hal ini dapat terjadi karena secara mekanisme sangat
membingungkan bagi konsumen yang tidak mengetahui aturan pajak. Mekanisme ini memiliki sistem yang tidak sederhana bagi konsumen
yang tidak mengetahui aturan pajak dan tidak mempermudah wajib pajak dalam
melaksanakan kewajibannya.
Mekanisme pemungutan dengan mekanisme reverse charge
masih belum memenuhi asas dalam teori kepatuhan yang dikemukakan oleh Adam
Smith. Mekanisme
reverse charge tidak memenuhi asas equality dimana masih terdapat perlakuan
yang berbeda antara transaksi B2B dengan transaksi B2C. Serta mekanisme ini tidak memenuhi asas certainly dimana tidak ada
kepastian hukum atas perbedaan perlakuan antara pelaku usaha yang melakukan
pemanfaata BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean oleh pelaku usaha yang
berstatus PKP dan Non-PKP.
Pada Tahun 2020 Pemerintah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2020 menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau
dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 mengantur mengenai ketentuan pajak berupa
pengenaan PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud (BKPTB)
dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Perpu Nomor 1 Tahun 2020
di tetapkan sebagai Undang-Undang pada tanggal 16 Mei Tahun 2020 sesuai dengan Undang-Undang
(UU) Nomor 2 Tahun 2020.
Aturan turunan pengenaan PPN PMSE yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan
Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di
Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Dalam pemungutan PPN PMSE terdapat beberapa pelaku
usaha yang terlibat yaitu perdagangan luar negeri atau penyedia jasa luar
negeri dan penyelenggaran PPMSE. Dalam PPN PMSE pajak dipungut, disetorkan, dan
dilaporkan oleh pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk. Pelaku usaha PMSE yang ditunjuk membuat bukti PPN yang dipungut.
Bukti yang dibuat tersebut merupakan dokumen tertentu yang
dipersamakan kedudukannya dengan faktur pajak. Bukti
tersebut dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen
sejenis.
PPN yang dipungut wajib di setorkan ke kas negara
untuk setiap masa pajak paling lama akhir masa pajak berikutnya. Selain kewajiban penyetoran,
pelaku usaha yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE memiliki kewajiban untuk
melaporkan. Pelaporan dilakukan secara triwulan untuk
periode tiga masa pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode
triwulan berakhir.
Kewajiban konsumen atas transaksi pemanfaatan yang
di pungut PPN PMSE berada pada 2 (dua) kondisi. Pertama jika transaksi
pemanfaatan melibatkan pemungut PPN PMSE maka kewajiban konsumen hanya membayar
PPN terutang bersamaan dengan pemanfaatan yang dilakukan, kewajiban
administrasi beralih menjadi kewajiban pemungut PPN PMSE. Kedua jika
transaksi pemanfaatan tidak melibatkan pemungutn PPN PMSE maka konsumen harus
melaksanakan kewajiban perpajakannya secara mandiri dengan melaksanakan
penyetoran dan pelaporan sesuai dengan mekanisme reverse charge.
Kelebihan dari mekanisme pemungutan PPN oleh pelaku
usaha luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut adalah tergalinya potensi
penerimaan pajak yang sebelumnya tidak tergali menggunakan mekanisme reverse
charge menjadi tergali. Serta berlakunya aturan PPN PMSE menyebabkan fairness pada sektor
perdagangan dimana aturan pemungutan PPN PMSE menjamin kesejahteraan perlakuan
pajak antara pelaku usaha melalui sistem elektronik dan pelaku usaha konvensional.
Mekanisme ini menjaga asas netralitas pajak (level of playing
field) artinya tidak dibedakan antara pelaku usaha dalam negeri dan di luar
negeri sama-sama dikenakan PPN atas transaksi pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP.
Kelemahan mekanisme pemungutan PPN oleh pelaku usaha
luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut adalah DJP tidak bisa memaksa
(endforce) pelaku usaha luar negeri untuk melaksanakan kewajibannya. Selain itu mekanisme pemungutan
ini berdampak pada sulitnya penyelesaian masalah jika timbul suatu sengketa.
Hal ini dikarenakan aturan yang dibuat secara sepihak oleh suatu negara tanpa
melibatkan oihak negara lain, jika timbul suatu
sengketa maka sengketa tidak bisa diselesaikan melalui arbitrase.
Mekanisme pemungutan PPN yang dilakukan oleh pelaku
usaha luar negeri merupakan mekanisme untuk menutup loophole dari mekanisme
sebelumnya. Dimana berdasarkan asas pemungutan pajak teori yang dikemukakan
oleh Adam Smith mekanisme pemungutan ini memenuhi asas yang sebelumnya masih
belum terpenuhi.
Sesuai dengan aturan yang berlaku, pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP harus
memiliki perlakuan yang serupa sehingga dapat menciptakan playing field antara
pelaku usaha dalam negeri dan pelaku usaha luar negeri. Beberapa
negara seperti Singapura, Malaysia, dan Australia sudah menerapkan aturan
mengenai pemungutan PPN PMSE. Hal ini mendukung penelitian (Widianto
& Puspita, 2020) dimana pengenaan pajak ekonomi di negara lain hampir
seragam yaitu untuk menciptakan level of playing field atau perlakuan yang sama antar pelaku usaha.
Menurut OECD agar pelaku usaha luar negeri tidak
keberatan ditunjuk sebagai pemungut PPN maka aturan mengenai pemungutan PPN
PMSE harus dibuat sesederhana mungkin. Mekanisme pemungutan PPN oleh pelaku usaha luar negeri
yang ditunjuk sebagai pemungut merupakan mekanisme terbaik, dimana dengan
mekanisme ini pemerintah sudah mengamankan potensi penerimaan pajak yang
sebelumnya tidak tergali.
2.
Dampak
Penerapan PPN atas Penerapan Aturan PPN PMSE
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018
dicabut sebelum diberlakukan dengan alasan masih perlu disosialisasikan
terlebih dahulu. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui aturan tentang perlakukan
perpajakan atas transaksi perdagangan melalui elektronik tersebut. Hal
yang sama juga terjadi pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 40/PMK.03/2010, banyak dari masyarakat yang tidak mengetahui apabila
transaksi atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean dipungut
PPN dengan mekanisme reverse charge.
Banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa selama
ini transaksi atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP atas dipungut PPN. Diberlakukannya PMK Nomor 46/PMK.03/2020 mengenai
pemungutan PPN atas PMSE oleh pelaku usaha luar negeri, semakin banyak dari
masyarakat yang beranggapan bahwa aturan tersebut menciptakan jenis pajak baru
yang akan menambah beban hidup mereka.
Berdasarkan teori implementasi yang dikemukakan oleh
George Edward maka dalam melakukan implementasi suatu kebijakan harus
dipersiapkan dan direncanakan dengan baik. Kebijakan mengenai pemungutan PPN atas pemanfaatan
BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean sudah sesuai dengan teori
implementasi. Hanya saja karena banyaknya aturan pajak
yang berlaku membuat masyarakat sulit dalam menerima infomasi baru terkait
perpajakan.
Diberlakukannya aturan mengenai pemungutan PPN oleh
pelaku usaha luar negeri merupakan rencana pemerintah untuk mendorong
penerimaan pajak. Karena pajak merupakan iuran wajib yang bersifat memaksa. Sesuai dengan penelitian (Saputra, 2020) dimana pajak merupakan beban
bagi masyarakat. Oleh karena itu, pada sebuah
perusahaan pajak biasanya dinamai beban pajak. Atas
pemungutan PPN penanggung beban pajak adalah konsumen, tetapi yang wajib
melakukan administrasi kewajiban pajak adalah penjual. PPN dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) kemudian disetorkan ke
kas negara.
Berdasarkan pemahaman tersebut, bagi konsumen tidak
terdapat tambahan biaya atas pemungutan PPN PMSE oleh pelaku usaha luar negeri. Hanya saja banyak masyarakat yang belum mengetahui
bahwa sebelum diberlakukannya aturan mengenai pemungutan PPN PMSE, masyarakat
yang melakukan pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean mempunyai
kewajiban untuk menyetorkan dan melaporkan sendiri PPN-nya ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) sesuai dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Selama ini konsumen yang melakukan penyetoran PPN
secara reverse charge hanya konsumen yang berstatus PKP karena secara
administrasi konsumen yang berstatus PKP mempunyai laporan keuangan atas
transaksi yang dilakukan serta pemilihan metode pembukuan sebagai metode
perpajakannya memudahkan DJP untuk mendeteksi adanya sanksi pajak atas
transaksi yang dilakukan.
Pemungutan PPN atas transaksi pemanfaatan BKPTB
dan/atau JKP dari luar daerah pabean bukan merupakan jenis pajak baru. Sesuai dengan aturan yang berlaku
PPN PMSE merupakan mekanisme pengenaan baru PPN atas transaksi pemanfaatan
BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean. Sebelum aturan PPN PMSE
terbit kewajiban PPN atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar pabean menggunakan
mekanisme reverse charge.
Perbedaan kewajiban konsumen sebelum dan setelah
aturan PPN PMSE diberlakukan adalah dilihat dari pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP
yang dilakukan. Jika pemanfaatan tersebut melibatkan pemungut PPN PMSE maka
kewajiban konsumen hanya membayar PPN-nya saja. Jika
tidak melibatkan pemungut PPN PMSE maka kewajiban konsumen membayar dan
melaporkan sendiri.
Dengan sifatnya yang seperti itu maka pemenuhan
kewajiban PPN dengan mekanisme pemungutan tidak bergantung pada kesadaran dan
kesukarelaan dari konsumen. Ini sebenarnya yang disebut dengan pajak tidak
langsung atau biasa disebut seamless tax dimana pembayar pajak tidak menyadari
telah membayar pajak atas PPN. Pajak secara tidak
sadar dibayar oleh konsumen karena dalam setiap penyerahan wajib dilakukan
pemungutan PPN.
Dengan sistem ini maka pemungutan pajak lebih
efektif, dan loophole yang ada selama ini dapat ditutupi. Serta dengan diberlakukannya
aturan mengenai pemungutan PPN PMSE oleh pelaku usaha luar negeri membuat kesenjangan
antara pelaku usaha dalam negeri dengan pelaku usaha luar negeri menjadi
berkurang. Hal ini didukung oleh penelitian (Widianto & Puspita,
2020) dimana terciptanya playing field merupakan suatu konsep tentang keadilan
dimana tidak dibedakan antara pengenaan PPN pelaku usaha dalam negeri dan
pengenaan PPN pelaku usaha luar negeri.
Selain berdasarkan sifatnya, pemilihan kata yang
tidak tepat pada Undang-Undang juga turut menyebabkan adanya anggapan bahwa
pemungutan PPN atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean
merupakan objek pajak baru. Kata �diberlakukan� yang terdapat pada aturan tersebut
terkadang membuat masyarakat salah presepsi. Masyarakat
menganggap bahwa sebelumnya tidak berlaku, padahal peraturan mengenai
pemungutan PPN atas pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP merupakan penegasan dari
aturan yang berlaku sebelumnya.
Hal ini didukung oleh penelitian (Wijaya & Juhana, 2021) dimana PPN
PMSE bukan merupakan pajak jenis pajak baru melainkan mekanisme baru dalam
pengenaan PPN serta sebagai orang yang tidak bergelut bidang pajak maka
pengetahuan konsumen mengenai pajak rata-rata masih minim, hal tersebut yang
menyebabkan ada anggapan bahwa terdapat pajak baru. Jadi
anggapan masyarakat bahwa PPN PMSE merupakan jenis pajak baru tidak tepat.
Anggapan dapat terjadi karena kurangnya wawasan masyarakat akan
pajak. Jika masyarakat mengenal pajak degan baik maka hal tersebut tidak akan terjadi.
Kesimpulan
Sebelum
diberlakukannya aturan pemungutan PPN PMSE, konsumen memiliki kewajiban untuk
menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri PPN atas pemanfaatan BKPTB
dan/atau JKP dari luar daerah pabean. Konsumen
yang melakukan pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar daerah pabean
menyetorkan hasil pemungutan PPN ke kas negara menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) atau sarana penyetoran pajak lainnya sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Mekanisme
penyetoran sendiri (reverse charge) memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya yaitu secara administrasi perpajakan lebih rapi,
seperti dokumentasi transaksi, kepatuhan perpajakan, pembayaran pajak, dan
pelaporan pajak. Mekanisme sesuai dengan prinsip self-assessment
yaitu
memberikan kepercayaan kepada konsumen untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang. Sedangkan
kelemahannya yaitu sistem yang tidak sederhana sehingga tidak mempermudah wajib
pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Dampak dari sistem yang
rumit yaitu penyetoran PPN dengan mekanisme reverse charge terbatas hanya
terhadap lingkup transaksi
B2B
(Business to Business) sedangkan untuk lingkup transaksi B2C (Business to
Customer) masih belum dapat terdeteksi tingkat kepatuhan administrasinya.
Serta sebelum diberlakukannya pemungutan PPN PMSE oleh pelaku
usaha luar negeri terdapat asas netralitas yang tidak terpenuhi. Dimana atas pemanfaatan dari dalam negeri dipungut PPN sesuai
dengan aturan yang berlaku, sedangkan atas pemanfaatan dari luar negeri tidak
dipungut PPN. Perlakuan yang berbeda tersebut tentunya
merugikan pelaku usaha dalam negeri.
Kewajiban
konsumen setelah aturan PPN PMSE terbit memiliki dua kondisi.
Kondisi pertama jika transaksi pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP
dari luar daerah pabean melibatkan pemungut PPN PMSE maka kewajiban konsumen
hanya membayar PPN terutang dan administrasi beralih menjadi kewajiban pemungut
PPN. Kondisi kedua adalah jika pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar
daerah pabean tidak melibatkan pemungut PPN PMSE maka konsumen melaksanakan
kewajiban administrasi PPN-nya secara mandiri seperti menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri sesuai dengan mekanisme reverse charge. Mekanisme
pemungutan ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya
yaitu mekanisme pemungutan yang dilakukan oleh pelaku usaha luar negeri
mekanismen yang memudahkan konsumen. Mekanisme
ini menggali potensi pajak yang sebelumnya dengan mekanisme reverse charge
khususnya untuk lingkup transaksi B2C tidak tergali. Serta
Mekanisme ini menjamin netralitas pajak yang sebelumnya tidak terpenuhi menjadi
terpunuhi, dimana pemanfaatan dari dalam negeri dan luar negeri sama-sama
dikenakan pungutan PPN.
Kelemahan
dari mekanisme ini yaitu yaitu sulitnya penyelesaian masalah jika terdapat
sengketa yang timbul. Kelemahan
lainnya yaitu pemerintah Indonesia tidak bisa endforce pelaku usaha luar negeri
seperti yang dilakukan pada Badan Usaha Tetap (BUT). Mekanisme
pemungutan PPN ini merupakan mekanisme yang paling ideal untuk kondisi saat
ini.
Berlakunya
aturan pemungutan PPN atas PMSE bukan merupakan jenis pajak baru.
Karena pemungutan PPN atas PMSE sebelumnya sudah diatur pada
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 40/PMK.03/2010 dan disempurnakan dengan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020.
Berdasarkan
hal tersebut, PMK Nomor 40/PMK.03/2010 mengatur mengenai pemungutan PPN atas
PMSE menggunakan mekanisme reverse charge. Karena masih terdapat loophole atas mekanisme sebelumnya pemerintah
mengeluarkan aturan PMK Nomor 48/PMK.03/2020. Ketentuan
ini mengatur mekanis pemungutan PPN atas PMSE menggunakan mekanisme penunjukan
pelaku usaha luar negeri untuk melakukan pemungutan PPN. Anggapan bahwa PPN atas PMSE merupakan jenis pajak baru terjadi
karena pemilihan kata yang kurang tepat dalam aturan pajak. Wawasan atau kesadaran masyarakat mengenai aturan perpajakan yang
belum cukup baik, mengakibatkan kesalah pahaman yang menyebabkan timbulnya
prasangka PPN PMSE merupakan jenis pajak baru.
Badan Pusat
Statistik. (2021). Statistik E-Commerce 2021. https://www.bps.go.id
Barlian, A., Rossya,
N., & Rulandari, N. (2021). Analisis Strategi Sosialisasi Pajak atas
Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Pmse) sebagai upaya
Optimalisasi Penerimaan Pajak. Jurnal Pajak Vokasi (JUPASI), 3(1),
11�15. https://doi.org/10.31334/jupasi.v3i1.1924.g901.
Budiarto, M. T., &
Cahyono, B. (2020). Mengulik Kewajiban Penyedia Platform Marketplace dan
Pedagang sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam Bisnis Dagang Transaksi Elektronik
(e-commerce). Proseding Seminar Nasional Akuntansi, 2(1), 1�14.
Creswell. (2014). Metodologi
Penelitian (K. P. M. Group (ed.)).
Dinar, M. P. A. S.
(2021). Analisis Aspek Perpajakan Atas Jasa Sewa Kantor Virtual. Scientax,
3(1), 88�104.
Internet World Stats.
(2021). Internet 2021 usage in Asia. https://www.internetworldstats.com
Mardiasmo. (2016).
Perpajakan. Perpajakan.
Miftahudin, A., &
Irawan, F. (2020). Alternatif Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas
Konsumsi atau Pemanfaatan Konten dan Jasa Digital dari Penyedia Luar Negeri
(Alternative Policy of Value Added Tax Collection for Consumption of Digital
Content and Services from Foreign Suppliers). Scientax.
Schreiber, J., &
Asner-Self, K. (2011). Educational research: The interrelationship of
questions, sampling, design, and analysis. Wiley.
Siswanto, A. A. (2019).
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Jual Beli Saldo Uang Elektronik.
Universitas Airlangga.
Sugiyono. (2016). Metode
Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. IKAPI.
Sugiyono. (2018). Metode
Penelitian kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Tofan, A., &
Trinaningsih, S. (2022). Analisis Perkembangan Pajak Transaksi Perdagangan
Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia. BALANCE: JURNAL AKUNTANSI DAN
BISNIS, 7(1), 22�30. https://doi.org/10.32502/jab.v7i1.4566.
Utomo, R. (2017).
Tantangan pengawasan ppn atas transaksi konten digital. JURNAL PAJAK
INDONESIA (Indonesian Tax Review), 1(1), 38�43.
https://doi.org/10.31092/jpi.v1i1.161.
Widianto, Y. W., &
Puspita, L. S. (2020). Evaluasi Dampak Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. In Bappenas. Bappenas Working Papers,
3(2), 109�125. https://doi.org/10.47266/bwp.v3i2.76.
Wijaya, S., &
Juhana, A. (2021). Kajian Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Terkait Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik. JIAFE (Jurnal Ilmiah Akuntansi Fakultas Ekonomi), 7(2),
125�144.
Wijaya, S., &
Nirvana, A. P. (2021). Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik (Studi Kasus PT Shopee Internasional Indonesia). Bilancia: Jurnal
Ilmiah Akuntansi, 5(3), 245�256.
Wijaya, S., Setyo, N.
N., & Azizah, W. N. (2020). Potential Analysis And Supervision Of VAT On
The Utilization Of Digital Contents (Case Study: Steam Platform). Dinasti
International Journal of Digital Business Management, 1(3), 342�352.
https://doi.org/10.31933/dijdbm.v1i3.238.
Copyright holder: Andi Agustiawan, Dwi Suhartini (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |