Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 12,
Desember 2022
KEDUDUKAN
JAMINAN KEBENDAAN YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN MILIK PIHAK KETIGA SELAKU
PEMBERI JAMINAN DALAM KEPAILITAN
Talita
Taskiyah, Gunawan Djajaputera
Fakultas
Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Persaingan usaha yang semakin masif menuntun perusahaan untuk
mempertahankan usahanya. Dalam menjalankan kegiatan usaha, perusahaan
membutuhkan dana yang didapatkan dari keuangan perusahaan ataupun dari pinjam
meminjam uang. Pelaksanaan pemberian pinjaman uang membutuhkan jaminan
kebendaan salah satunya yang dibebani hak tanggungan yang diberikan oleh
debitor atau pihak ketiga. Ketika debitor wanprestasi kreditor dapat langsung
melakukan eksekusi dan mengambil pelunasan piutangnya. Berbeda halnya jika
debitor dinyatakan pailit, kreditor pemegang jaminan selaku kreditor separatis
dalam melakukan eksekusi harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat
kepailitan adalah sita umum semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Namun
menjadi pertanyaan bagaimanakah kedudukan jaminan kebendaan yang dibebani hak
tanggungan milik pihak ketiga selaku pemberi jaminan dalam kepailitan. Untuk
menjawab permasalahan tersebut penelitian ini menggunakan metode penelitian
normatif dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan pendekatan
perundang-undangan. Hasil pembahasan didapatkan kedudukan jaminan kebendaan
yang dibebani hak tanggungan milik pihak ketiga selaku pemberi jaminan dalam
kepailitan bukanlah termasuk ke dalam harta pailit (non boedel pailit). Akan
tetapi, karena tidak ada pengertian khusus tentang harta pailit mengakibatkan
ketidakpastian hukum terhadap kedudukan jaminan kebendaan yang diberikan oleh
pihak ketiga.
Kata
Kunci:
Hak Tanggungan, Pihak Ketiga, Kepailitan.
Abstract
As the business
competition massively increases make the company needs to maintain its
business. In operating business activities, a company needs funds that can be
obtained from the company finance or apply for a loan. Execution of the loan
required material guarantee, one of the cases can be charged mortgage rights
given by debtor or third party. When the debtor defaults, the creditor can
immediately do an execution and collect the remaining debt owed. The case is
different if the debtor has been declared bankrupt, and the creditor who holds
a guarantee as a separatist creditor in carrying out the execution must comply
with Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment
Obligation. Considering that bankruptcy is the general seizure of all the
assets of bankrupt debtors whose management and settlement is carried out by
the curator under the supervision of the supervisory judge. However, it has
become a question of how the position of material guarantee charged with
mortgage rights owned by a third party as the guarantor in bankruptcy. To
answer these problems, this research uses normative legal research method with
technique to collect data were collected through library research and statute
approach. The result obtained from the discussion on the position of material
guarantee charged with mortgage rights owned by a third party as the guarantor
in bankruptcy should not be included in the bankrupt assests (nonbankruptcy
boedel).� However, the absence of a
specific definition of bankrupt assets generates legal uncertainly regarding
the position of the material guarantee given by a third party.
Keywords: Mortgage,
Third Party, Bankruptcy.
Pendahuluan
Perkembangan
dunia bisnis menuntun perusahaan untuk dapat terus mempertahankan kelangsungan
usahanya. Berkaitan dengan kelangsungan usaha,
setiap perusahaan membutuhkan dana besar yang
didapatkan baik melalui investor atau pendiri maupun melalui kegiatan pinjam
meminjam uang guna menjalankan kegiatan operasionalnya. Pemenuhan dana perusahaan yang didapatkan melalui kegiatan pinjam
meminjam uang yang bersumber dari lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan
non-bank merupakan solusi bagi perusahaan karena adanya keterbatasan keuangan
yang dimiliki perusahaan. Mengingat, saat ini bagi seluruh lapisan masyarakat
kegiatan pinjam meminjam uang menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan taraf kehidupan dan mendukung perkembangan kegiatan perekonomian (M
Bahsan SH, 2020).
Kegiatan
pinjam meminjam uang adalah salah satu bentuk dari perjanjian pinjam meminjam
yang secara yuridis diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Pengertian perjanjian pinjam meminjam
itu sendiri berdasarkan Pasal 1754 KUHPerdata memberikan pengertian pinjam
meminjam yang merupakan perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Merujuk pada
pengertian-pengertian tersebut, perjanjian pinjam meminjam uang dapat diartikan
suatu peristiwa hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri dan saling
berjanji. Dalam hal ini salah satu pihak atau lebih selaku kreditor
meminjamkan uang kepada pihak lain dengan jumlah dan
syarat tertentu. Nantinya pihak yang menerima pinjaman uang selaku debitor akan mengembalikan uang tersebut dengan jumlah yang sama
sesuai dengan waktu dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati pada
perjanjian.
Pada
praktiknya, pelaksanaan pemberian pinjaman uang membutuhkan suatu jaminan agar
kreditor mendapatkan kepastian terhadap pelunasan utang-utang debitor.
Jaminan ini dapat berasal dari debitor ataupun pihak ketiga
yang kedudukannya dalam perjanjian pinjam meminjam selaku pemberi jaminan.
Secara umum, dikenal 2 (dua) macam jaminan, yaitu jaminan
umum dan jaminan khusus. Bagi beberapa kreditor,
jaminan umum yang diatur oleh Pasal 1131 KUHPerdata dinilai kurang memadai
terhadap kepastian pelunasan utang debitor ketika ingkar janji atau wanprestasi
dalam melunasi utangnya. Oleh karenanya, terdapat pula jaminan khusus
yang terdiri dari jaminan perorangan dan jaminan kebendaan yang diamanatkan
oleh KUHPerdata dan undang-undang lainnya untuk memenuhi perlindungan kepada
kreditor (HS,
2006).
Jaminan kebendaan yang
seringkali digunakan pada proses pemberian pinjam meminjam uang ialah tanah. Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang menjadi
obyek jaminan pelunasan utang dibebani dengan hak tanggungan. Pemberian
obyek jaminan hak tanggungan dari debitor atau pihak ketiga diikuti dengan
perjanjian tambahan (accessoir) yang
timbul dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pinjam meminjam uang (Jabar,
2019).
Menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hak tanggungan ini menjadi pengganti lembaga Hypotheek dan Credietverband dalam pembebanan hak atas tanah. Keberadaan lembaga
hak tanggungan semakin nyata setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah (UU HT). Jaminan hak tanggungan sejatinya
memberikan perlindungan hukum terhadap kreditor berupa kepastian pelunasan
utang debitor. Mengingat, sangat dimungkinkan terjadinya gagal bayar atau wanprestasi pada pelaksanaan perjanjian pinjam
meminjam uang.
Pada kondisi dimana
debitor khususnya perusahaan melakukan wanprestasi yakni tidak dapat melunasi
seluruh utangnya atau perusahaan mengalami keadaan insolven secara umum tentu akan mengancam hak-hak para kreditor. Insolven secara umum
merupakan suatu keadaan perusahaan yang aktivanya lebih kecil dari pasivanya (Shubhan,
2015).
Keadaan ini disebabkan dari kesulitan kondisi keuangan
debitor yang tengah mengalami kemunduran. Apabila
debitor telah nyata tidak dapat membayar utangnya dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, maka kreditor dapat melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan yang
telah diberikan salah satunya dapat berupa obyek jaminan hak tanggungan.
Namun, jika debitor memiliki lebih dari satu kreditor dan seluruh harta kekayaan
debitor tidak mencukupi untuk membayar seluruh utang-utangnya, mendorong para
kreditor pemegang jaminan melakukan segala cara untuk
melakukan eksekusi demi mendapatkan penuh piutangnya. Sehingga kreditor lain
yang memiliki hak sama tidak mendapatkan pelunasan
karena harta kekayaan debitor telah habis. Menilik Pasal 1132
KUHPerdata telah disebutkan bahwa harta
kebendaan milik debitor menjadi jaminan bersama para kreditor, dimana hasil
penjualan dari harta debitor tersebut dibagi-bagi menurut asas keseimbangan
besar kecilnya piutang masing-masing kreditor.
Menanggapi
permasalahan-pemasalahan yang ada dibentuklah lembaga kepailitan yang saat ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban pembayaran Utang (UUK PKPU). Kepailitan berasal dari kata pailit yang
berarti suatu kondisi debitor tidak mampu membayar seluruh utang kepada para
kreditor (Kurniawan,
2019).
Meninjau Pasal 1 angka 1 UUK PKPU yang memberikan defisini
kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.
Adanya putusan pailit bagi debitor tentu memberikan akibat hukum terhadap
seluruh harta kekayaan debitor pailit sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat
1 UUK PKPU, yaitu hilangnya hak untuk menguasai kekayaan yang termasuk dalam
harta pailit (boedel pailit). Setelah debitor dinyatakan
pailit melalui putusan, diangkat secara bersamaan kurator dan hakim pengawas.
Kurator memiliki tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit yang berada
di bawah pengawasan hakim pengawas (Purwadi,
2011).
Secara khusus, UUK PKPU tidak memberikan pengertian harta
pailit secara eksplisit. Dengan demikian, muncul
permasalahan baru ketika obyek hak tanggungan yang berasal dari harta kebendaan
milik pihak ketiga dan dijaminkan guna kepentingan debitor dimasukkan ke dalam
harta pailit. Sehingga obyek benda jaminan tidak lagi
dipisahkan dari kreditor lainnya.
Berdasarkan uraian
diatas lebih lanjut dilakukan penelitian yang dituangkan dalam penulisan ini
dengan permasalahan: Bagaimanakah kedudukan jaminan kebendaan yang dibebani hak
tanggungan milik pihak ketiga selaku pemberi jaminan dalam kepailitan?
Metode Penelitian
����������� Pada
penelitian ini akan menjelaskan kedudukan jaminan kebendaan yang dibebani hak
tanggungan milik pihak ketiga selaku pemberi jaminan dalam kepailitan. Maka
dari itu jenis penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif
untuk menemukan kebenaran yaitu
apakah terdapat peraturan hukum yang sesuai norma hukum, norma (perintah atau
larangan) yang sejalan dengan prinsip hukum, dan apakah tindakan seseorang
sesuai dengan prinsip hukum atau norma hukum (Kartoningrat et al., 2021). Penelitian ini juga menggunakan sifat
penelitian deskriptif guna mendeskripsikan dan melakukan analisis terhadap
permasalahan yang diteliti. Jenis bahan penelitian yang digunakan adalah bahan
hukum primer seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Teknik
pengumpulan bahan penelitian menggunakan metode studi kepustakaan dengan teknik
analisis kualitatif sebagai teknik analisis bahan penelitian. Penelitian ini
juga menggunakan pendekatan penelitian undang-undang (statute approach).
Hasil dan Pembahasan
Kepailitan sebagai
pranata hukum mempunyai tujuan untuk menghindari adanya perebutan atas harta
kekayaan debitor dari seluruh kreditornya. Dalam kepailitan dikenal 3 (tiga)
jenis kreditor, yaitu kreditor separatis, kreditor konkuren dan kreditor
preferen.� Yang dimaksud dengan kreditor
separatis adalah kreditor pemegang jaminan kebendaan seperti gadai, jaminan
fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Adapun
kedudukan yang dimiliki oleh kreditor separatis yaitu kedudukan yang diutamakan
(droit de preference) dan terpisah
dari kreditor lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya (Suprihanto,
2021).
Kreditor preferen itu sendiri adalah kreditor yang memiliki hak istimewa berupa
hak preferen atau mendahului yang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kreditor lainnya berdasarkan
undang-undang (Saputra,
2020).
Sementara itu, kreditur konkuren merupakan kreditor yang tidak mempunyai
jaminan khusus dan tidak mempunyai hak preferen terhadap pelunasan utang.
Kreditor konkuren mempunyai hak pari
passu yakni secara bersama-sama memperoleh pelunasan utang tanpa adanya
yang didahulukan, dan hak prorata yang berarti dihitung
berdasarkan besarnya piutang masing-masing dibandingkan piutang mereka secara
keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan debitor pailit (Ridduan,
2022).
Mengutip pendapat (Munir,
2013),
secara hukum jaminan kebendaan memiliki beberapa kelebihan, yaitu seperti
memiliki hak prioritas, eksekusinya mudah, mempunyai prinsip keterbukaan, dan
berlaku prinsip hak kebendaan. Maka dari itu, ketika terjadi gagal bayar dan
dinyatakan pailit, kreditor separatis selaku pemegang jaminan kebendaan dapat
melakukan eksekusi terhadap jaminan yang berada dibawah penguasaanya. Kreditor
separatis diperbolehkan menjual dan mengambil hasil penjualan jaminan kebendaan
seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Sejalan dengan ketentuan jaminan
kebendaan yang dibebani dengan hak tanggungan, apabila pemberi hak tanggungan
dinyatakan pailit, pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak
yang diperolehnya sebagaimana tertuang pada Pasal 21 UU HT. Bahkan jika hasil
penjualan jaminan kebendaan tersebut tidak melunasi utang debitor, kreditor
separatis dapat meminta kekurangan dari jumlah utang debitor untuk
diperhitungkan sebagai kreditor konkuren. Namun, jika hasil penjualan jaminan
kebendaan melebihi jumlah utang debitor, bunga dan ongkos setelah pernyataan
pailit, maka kreditor separatis harus menyerahkan kelebihan tersebut kepada
debitor (Slamet,
2016).
Ditinjau dari sudut
pandang kepailitan, terdapat batas waktu bagi kreditor separatis untuk
melakukan eksekusi jaminan kebendaan, termasuk jaminan kebendaan yang dibebani
hak tanggungan. Kreditor separatis selaku pemegang jaminan dalam melakukan
eksekusi jaminan kebendaan yang dibebani hak tanggungan harus menunggu masa
penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan dan apabila dalam waktu paling lambat 2 bulan sejak dimulainya
keadaan insolvensi kreditor separatis tidak melaksanakan eksekusi, kurator
dapat menuntut diserahkannya benda yang menjadi jaminan (Firmansyah
& Sekar, 2014).
Berbeda halnya jika eksekusi jaminan kebendaan yang dibebani dengan hak
tanggungan tersebut tidak didasarkan kepailitan. Berdasarkan UU HT, kreditor
dapat melakukan eksekusi dengan 3 (tiga) cara, yaitu eksekusi atas kekuasaan
sendiri, eksekusi melalui pengadilan, dan eksekusi di bawah tangan (Saraswati,
2015).
Eksekusi atas kekuasaan
sendiri atau disebut parate executie diatur
dalam Pasal 6 UU HT yang menyebutkan bahwa kreditor selaku pemegang hak
tanggungan pertama memiliki hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum untuk kemudian mengambil pelunasan.
Eksekusi jaminan kebendaan hak tanggungan melalui pengadilan biasa dikenal
dengan fiat executie yang timbul dari
irah-irah �Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa� sebagaimana
tercantum pada sertifikat hak tanggungan. Oleh karenanya memberikan kekuatan
eksekutorial seperti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) (Sumeisey,
2015).
Sebaliknya, eksekusi jaminan atas hak tanggungan dibawah tangan didasari dari
kesepakatan kreditor dan debitor karena penjualan atas jaminan kebendaan lebih
menguntungkan para pihak.
Kurator yang bertugas
melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit juga memliki kewenangan
melakukan eksekusi terhadap jaminan kebendaan yang kedudukannya menjadi harta
pailit dan berada pada penguasaan kreditor. Kewenangan tersebut sebagai tindak
lanjut Pasal 59 ayat 2 UUK PKPU yang menyebutkan setelah lewat jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat 1, kurator harus menuntut diserahkannya
benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak kreditor pemegang
hak tersebut atas hasil penjualan agunan. Akan tetapi, bukan menjadi hal yang
baru ketika debitor memberikan jaminan kebendaan khususnya yang dibebani hak
tanggungan milik pihak ketiga. Dimana, jaminan kebendaan tersebut bersumber
dari harta pribadi atau harta kebendaan milik pihak ketiga yang digunakan untuk
kepentingan debitor.
Sejatinya, kedudukan
jaminan kebendaan yang dibebani hak tanggungan milik pihak ketiga selaku
pemberi jaminan dalam kepailitan bukanlah termasuk ke dalam harta pailit (non
boedel pailit). Pasal 1 angka 1 UUK PKPU mengejawantahkan kepailitan sebagai sita
umum terhadap seluruh kekayaan debitor pailit dan konstruksi aturan pada Pasal
21 UUK PKPU telah dinyatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor
pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan. Kendati demikian, terdapat beberapa harta kekayaan
debitor yang dikecualikan oleh Pasal 22 UUK PKPU yang menyebutkan Pasal 21
tidak berlaku terhadap:
a. Benda,
termasuk hewan yang dibutuhkan debitor sehubungan dengan pekerjaan,
perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat
tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan
bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang
terdapat di tempat itu;
b. Segala
sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian
dari suatu jabatan atau jasa, upah, pension, uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas.
c. Uang
yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi kewajiban memberi nafkah menurut
undang-undang.
Menilik maksud seluruh
kekayaan debitor sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 UUK PKPU merujuk pada
ketentuan dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang menyebutkan semua kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan untuk segala
perikatannya. Artinya, jaminan kebendaan yang masuk ke dalam harta pailit
adalah jaminan yang berasal dari harta kebendaan debitor baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari. Sejalan dengan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 104
PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 yang dalam pertimbangan hukumnya hakim menyatakan
jaminan kebendaan yang dibebankan dengan hak tanggungan milik pihak ketiga
tidak termasuk ke dalam harta pailit karena benda yang diagunkan adalah harta
pribadi milik pihak ketiga selaku pemberi jaminan.
Dalam
perikatan yang lahir karena perjanjian pinjam meminjam uang, pihak ketiga hadir
memiliki hubungan hukum sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan terpisah
dari debitor, berikut dengan harta kebendaan pihak ketiga yang berada pada
penguasaan dan pengurusannya. Meskipun
antara debitor dan pihak ketiga memiliki hubungan hukum, harta kebendaan yang
dimiliki pihak ketiga tentu tidak dapat dimasukkan ke dalam harta pailit.
Lebih jauh, menurut KBBI frasa seluruh kekayaan debitor
berarti seluruh barang seperti uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan dan
berada di bawah penguasaan ataupun pengurusan debitor.
Berkaitan
pelunasan utang debitor pailit, pihak ketiga tentu bertanggung jawab karena
telah melepaskan haknya dengan menjaminkan kebendannya untuk kepentingan
debitor pailit guna dijadikan pelunasan utang.
Dalam hal ini, jaminan kebendaan tersebut dieksekusi oleh pihak kreditor dengan
cara penjualan di muka umum atau dengan cara lainnya
sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang. Pembagian
hasil jaminan kebendaan milik pihak ketiga hanyalah untuk membayar utang
debitor. Pada kondisi ini, saat hasil penjualan
jaminan kebendaan melebihi utang debitor dan terdapat sisa, maka sisa uang
tersebut tidak dapat diberikan kepada kurator menjadi harta pailit. Akan
tetapi, dikembalikan kepada pihak ketiga sebagai pemilik benda karena jaminan
kebendaan tersebut hanya diperuntukkan melunasi piutang kreditor yang memegang
jaminan dan tidak dapat dibagikan kepada kreditor lainnya (Afni,
2022).
Selain
itu, apabila kedudukan jaminan kebendaan yang dibebani hak tanggungan milik
pihak ketiga selaku pemberi jaminan dalam kepailitan termasuk ke dalam harta
pailit tentu mengurangi prinsip kreditor separatis yang mempunyai kedudukan
yang terpisah dari kreditor-kreditor lainnya.
Didukung pula oleh pendapat (Munir,
2013)
yang menyatakan bahwa separatis berkonotasi �perpisahan� hal tersebut
dikarenakan kedudukan kreditor tersebut dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam
arti kreditor separatis dapat menjual serta mengambil sendiri hasil penjualan
yang terpisah (Munir,
2000).
Kesimpulan
Pelaksanaan pemberian
pinjaman uang membutuhkan jaminan kebendaan untuk memberikan kepastian kepada
kreditor terhadap pelunasan utang debitor. Salah satunya adalah jaminan
kebendaan yang dibebani hak tanggungan. Bukan menjadi hal baru dalam dunia
pinjaman jika pihak ketiga ikut terlibat karena menjaminkan harta kebendaan
miliknya untuk dijadikan jaminan guna kepentingan debitor. Apabila debitor
gagal bayar yakni melakukan wanprestasi maka kreditor dapat langsung melakukan
eksekusi dan mengambil pelunasan piutangnya. Namun jika debitor dinyatakan
pailit maka kreditor selaku pemegang jaminan atau biasa disebut kreditor
separatis wajib tunduk pada UUK PKPU. Mengingat, putusan pailit memberikan
akibat hukum bagi debitor pailit, yaitu hilangnya hak untuk menguasai kekayaan
yang termasuk dalam harta pailit (boedel pailit). Konstruksi Pasal 1 angka 1
dan Pasal 21 UUK PKPU menempatkan kedudukan jaminan kebendaan yang dibebani hak
tanggungan milik pihak ketiga selaku pemberi jaminan berada di luar harta
pailit (non boedel pailit). Menilik maksud seluruh kekayaan debitor sebagaimana
termaktub dalam Pasal 21 UUK PKPU merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1131
KUHPerdata. Artinya, jaminan kebendaan yang masuk ke dalam harta pailit adalah
jaminan yang berasal dari harta kebendaan debitor baik yang sudah ada maupun
yang baru akan ada dikemudian hari. Sejalan dengan Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Nomor 104 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 yang dalam pertimbangan
hukumnya hakim menyatakan jaminan kebendaan yang dibebankan dengan hak tanggungan
milik pihak ketiga tidak termasuk ke dalam harta pailit.
Pada praktiknya, sering
kali terjadi jaminan kebendaan yang dibebani hak tanggungan milik pihak ketiga
selaku pemberi jaminan dimasukkan ke dalam harta pailit. Sehingga merugikan
kreditor separatis karena tidak dapat langsung melakukan eksekusi terhadap
jaminan kebendaan tersebut. Permasalahan ini timbul karena adanya
ketidakpastian hukum dan kurangnya pemahaman akan konsep mengenai harta pailit
sebagaimana telah diamanatkan oleh UUK PKPU. Oleh karenanya saran yang dapat
disampaikan dari penulisan ini adalah dibutuhkannya pendefinisian dan
pengaturan lebih lanjut terkait harta pailit yang secara eksplisit dapat diatur
dalam UUK PKPU agar memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya.
Afni, N. (2022).
Perlindungan Hak Pekerja Atas Harta Pailit Yang Berupa Jaminan Pihak Ketiga
(Studi Kasus Putusan Nomor 37/Pdt. Sus. Gll/2019/Pn. Niaga. Jkt. Pst). Jurist-Diction,
5(1), 283�296.Google Scholar
Firmansyah, R. R. A.,
& Sekar, I. D. N. (2014). Pengaturan Dan Penerapan Prinsip Paritas
Creditorium Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia. Kertha Semaya: Journal Ilmu
Hukum. Google Scholar
Hs, H. S. (2006). Perkembangan
Hukum Jaminan Di Indonesia. Google Scholar
Jabar, A. (2019). 1.
Perjanjian Tambahan (Accessoir) Dengan Obyek Hak Tanggungan Sebagai Sarana
Perlindungan Hukum Bagi Kreditur. Interest, 15(1). Google Scholar
Kartoningrat, R. B.,
Marzuki, P. M., & Shubhan, M. H. (2021). Prinsip Independensi Dan
Pertanggung Jawaban Kurator Dalam Pengurusan Kepailitan. Rechtidee, 16(1),
37�64. Google Scholar
Kurniawan, H. (2019).
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pada Kepailitan Melalui Perdamaian. Focus
Mahasiswa Upmi, 1(1), 52�65. Google Scholar
M Bahsan Sh, S. E.
(2020). Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Rajawali
Pers. Google Scholar
Munir, F. (2000).
Jaminan Fidusia (Second Edi). Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti. Google Scholar
Munir, F. (2013). Hukum
Jaminan Utang. Jakarta: Pt Erlangga. Google Scholar
Purwadi, A. (2011).
Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah. Perspektif, 16(3),
128�139. Google Scholar
Ridduan, M. (2022).
Analisis Yuridis Atas Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Jaminan Kebendaan Dalam
Proses Kepailitan. Lex Lata, 3(3). Google Scholar
Saputra, I. E. (2020).
Kedudukan Hukum Kreditor Preferen Pajak Dan Kreditor Preferen Buruh Dalam
Proses Kepailitan. Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum, 23(2),
155�166. Google Scholar
Saraswati, A. F. A.
(2015). Dilematis Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Parate Executie Dan
Eksekusi Melalui Grosse Akta. Sebelas Maret University. Google Scholar
Shubhan, M. H. (2015). Hukum
Kepailitan: Prinsip, Norma Dan Praktik Di Indonesia. Cetakan Ke-5, April.
Google Scholar
Slamet, S. R. (2016).
Perlindungan Hukum Dan Kedudukan Kreditor Separatis Dalam Hal Terjadi
Kepailitan Terhadap Debitor. Lex Jurnalica, 13(2), 104�114.
Google Scholar
Sumeisey, C. L. (2015).
Eksekusi Benda Jaminan Yang Dibebani Hak Tanggungan Ketika Debitur Pailit. Lex
Et Societatis, 2(9). Google Scholar
Suprihanto, A. (2021). Perlindungan
Hukum Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Atas Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak
Pengelolaan. Universitas Hasanuddin. Google Scholar
Copyright holder: Talita Taskiyah, Gunawan Djajaputera (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |