Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 2, Februari 2023
Eklamsia Atipikal: Laporan Kasus
Aldhi, Ressy Permatasari, Roza Sriyanti
Universitas
Andalas, Padang, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kebanyakan wanita yang mengalami eklamsia memiliki riwayat preeklamsia sebelumnya (proteinuria dan hipertensi).
Namun telah terjadi pergeseran paradigma dalam filosofi ini. Ada bukti bahwa eklamsia
atipikal dapat terjadi bahkan tanpa protein uria dan hipertensi yang muncul sebagai dilemma diagnostik dan tantangan bagi dokter Obgin yang merawat. Tujuan dari laporan kasus
ini adalah untuk meningkatkan kewaspadaan tentang tanda eklampsi anonklasikdan atipikal sehingga dapat menghindari komplikasi. Pada penelitian ini menggunakan metode literature
review. Eklamsia atipikal menyumbang sekitar 8% dari semua kasus
eklamsia. Bentuk eklamsia atipikal memiliki onset yang tidak menentu. Pengalaman ini menyoroti beberapa
kesulitan dalam mengelola kasus eklamsia atipikal, yaitu onset yang tidak menentu dan perjalanan penyakit yang tidak dapat diprediksi sehingga dapat mengganggu diagnosis dan pengobatan
yang tepat waktu dan berkontribusi pada morbiditas dan
mortalitas ibu dan janin. Sementara mengendalikan kejang dengan memulai terapi magnesium sulfat, pencarian simultan untuk setiap penyebab
organik/metabolic untuk kejang perlu dicari.
Kata Kunci: Eklamsia, Eklamsia Atipikal, Eklamsia Non Klasik.
Abstract
Most women who
have eclampsia have a previous history of preeclampsia (proteinuria and
hypertension). But there has been a paradigm shift in this philosophy. There is
evidence that atypical eclampsia can occur even in the absence of proteinuria
and hypertension which pose a diagnostic dilemma and challenge to the treating
OB. The purpose of this case report is to raise awareness about the signs of anonclassic and atypical eclampsia so as to avoid
complications. In this study using the literature review method. Atypical
eclampsia accounts for about 8% of all eclampsia cases. The atypical form of
eclampsia has an erratic onset. This experience highlights some of the
difficulties in managing cases of atypical eclampsia, namely the erratic onset
and unpredictable course of the disease which can interfere with timely
diagnosis and treatment and contribute to maternal and fetal morbidity and
mortality. While controlling seizures by starting magnesium sulfate therapy, a
simultaneous search for any organic/metabolic cause for seizures should be
sought.
Keywords: Eclampsia,
Atypical Eclampsia, Non-Classical Eclampsia.
Pendahuluan
Gangguan
hipertensi dalam kehamilan berkontribusi secara signifikan terhadap kematian ibu dan perinatal baik dinegara industry maupun Negara berkembang (Gynecologists, 2006).
Eklampsia didefinisikan sebagai terjadinya 1 atau lebih kejang
umumtonik-klonik pada wanita
yang berhubungan dengan gangguan hipertensi dalam kehamilan. Sekitar 10% kehamilan mengalami oleh gangguan hipertensi, dan eklampsia terjadi pada 0,8% wanita dengan gangguan hipertensi (Bartal & Sibai, 2020).
Angka kejadian
kejang pada eklamsia menurun di negara dengan ketersediaan perawatan kesehatan yang memadai. Dinegara-negara industri insiden rata-rata 1 kasus dari 2000 hingga 3000 persalinan setiap tahun. Di Rumah Sakit Parkland, insiden telah menurun cukup
besar selama decade terakhir dan mendekati 1 kasus pada 2000 kelahiran. Frekuensi ini mungkin
terkait dengan peningkatan akses keperawatan prenatal dan pendekatan
manajemen yang aktif (Cunningham, F., Leveno, K., Dashe, 2022).
Pada tahun 2015, sekitar
42.000 wanita meninggal akibat gangguan hipertensi kehamilan diseluruh dunia; lebih dari 99% dari kematianini
terjadi di negara berpenghasilan
rendah dan menengah (Vousden et al., 2019).
Dari data WHO di Indonesia tercatat kematian maternal pada tahun 2019
adalah sebanyak 177/100.000
kelahiran hidup dengan penyebab hipertensi dalam kehamilan dalam posisi terbanyak kedua setelah perdarahan
(WHO, 2022).
Sumber lain menyatakan insiden eklampsia yang dilaporkan adalah 1,6 hingga 10 per 10.000 persalinan dinegara maju, sedangkan dinegara berkembang adalah 50 hingga 151 per 10.000 persalinan.
Selainitu, negara-negara dengan
sumber daya rendah memilikitingkat kematian dan morbiditas ibudanperinatalyangjauhlebihtinggi.
Meskipun
demikian, sangat sedikit
yang diketahui tentang sindrom preeklamsia-eklampsia atipikal. Gangguan ini digunakan untuk
menggambarkan bentuk non-klasik dari gangguan
hipertensi yang timbul selama kehamilan. Eklampsia atipikal terjadi tanpa adanya
hipertensi dan/atau
proteinuria, sebelum usia
20 minggu kehamilan dan 48
jam pasca persalinan, atau meskipun telah
menerima magnesium sulfat (Sharma et al., 2019).
Sangat sedikit data tentang
eklamsia atipikal ini danterkait dengan insidensi yang sangat jarang yaitu 8% dari kasus eklamsia
(Adie & Moodley, 2005).
Metode
Penelitian
Pada penelitian
ini menggunakan metode literature review. Literature review adalah kegiatan analisis yang dapat berupa kritik terhadap
penelitian yang dilakukan
pada topik tertentu dalam bidang ilmiah.
Isi kajian pustaka ini berupa penjelasan
atau pembahasan suatu teori dari
suatu penemuan atau topik penelitian.
Penjelasan dari teori-teori tersebut dapat digunakan sebagai landasan teori untuk karya
ilmiah atau kegiatan penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Pre-eklampsia merupakan gangguan multisistem yang biasanya terjadi sebelum eklamsia. Namun, hipertensi hanyalah salah satu dari tanda dan tidak selalu ada
pada pasien preeclampsia yang berlanjut
menjadi eklampsia (Lalenoh, 2018). Sulit untuk memprediksi system organ
mana yang akan terlibat.8 Kejadian
preeklamsia juga dipengaruhi
oleh ras, etnis dan kecenderungan genetik. Beberapa faktor klinis yang disimpulkan oleh (Cunningham, F., Leveno, K., Dashe, 2022) dengan data yang melibatkan lebih dari 25 juta kehamilan
adalah factor usia yang lebih tua, nulipara,
obesitas, diabetes, hipertensi
kronis, HELLP sindrom pada kehamilan sebelumnya dan penyakit metabolisme yang mendasari, hiperhomosiste inemia, atau penyakit
ginjal kronis. Pada kasus yang kami laporkan faktor risiko yang berkaitan dengan eklamsia adalah obesitas dengan IMT 30,4kg/m2.
Patogenesis /mekanisme yang menjelaskan penyebab preeklamsia adalah sebagai berikut:
a.
Implantasi plasenta dengan invasi trofoblas
abnormal kevaskularisasiuterus
b.
Toleransi imunologis disfungsional antara ibu, ayah (plasenta) dan jaringan janin
c.
Mal
adaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular maupun inflamasi pada kehamilan normal
d.
Faktor genetic
Gambar 1.
Skema plasentasi normal dan abnormal3
Representasi skema dari
implantasi plasenta normal menunjukkan proliferasi trofoblas ekstravili dari vili penahan.
Trofoblas ini menginvasi desidua dan meluas kedinding arteri olspiral untuk menggantikan endotelium dan dinding otot untuk menciptakan
resistensi rendah yang pelebaran pembuluh darah. Pada kondisi preeklamsia terdapat defekimplantasi yang ditandai dengan invasi inkomplit
trofoblas ke dinding arteriolspiralis yang menyebabkan kegagalan dilatasi pembuluh darah dengan resistensi
aliran yang tinggi.
Eklampsia jarang terjadi tapi merupakan
komplikasi yang serius dari preeklamsia. Hal ini menjadi lebih
bermasalah ketika tanpa adanya preeclampsia sebelumnya (Adie & Moodley, 2005). Dalam kasus yang kami presentasikan pasien tidak memiliki
tanda preeklamsia sebelumnya dan mengalami eklamsia saat sebelum
persalinan yang didahului dengan pandangan kabur mendadak. Kejang pada eklamsia disebabkan oleh pelepasan eksitasi neurotransmitter yang berlebihan,
terutama glutamat, depolarisasi besar-besaran neuron
jaringan dan ledakan potensial aksi. Bukti klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa kejang yang berkepanjangan dapat menyebabkan cedera otak yang signifikan dan disfungsi otak dikemudian hari. Scotomata merupakan istilah untuk penglihatan
kabur, atau diplopia yang umum terjadi pada preeklamsia berat dan eklampsia. Ini biasanya membaik dengan terapi magnesium sulfat dan/atau dengan menurunkan tekanan darah. Kebutaan permanen jarang terjadi, biasanya bersifat reversibel, dan mungkin timbul dari tiga
area potensial yaitu korteks visuallobus oksipital, inti lateralgeniculate,
dan retina. Di retina, lesi patologis
mungkin dapat terjadi iskemia, infark, atau ablasio
(Cunningham, 2018).
Beberapa kondisi medis lain juga dapat menyebabkan kejang selama kehamilan. Diagnosa banding eklampsia������ adalah trauma serebro
vascular seperti perdarahan,
rupturan eurisma atau malformasi, emboli atau trombosisarteri, trombosis vena serebral, ensefal opatiiskemik hipoksia, ensefalopati hipertensi, gangguan kejang, tumor otak yang sebelumnya tidak terdiagnosis, penyakit trofoblasgestasional metastatik, gangguan metabolism seperti hipoglikemia, hiponatremia, sindromaleuko-ensefal opatiposteriorre
versibel, trombofilia (sindroma antifosfolipid katastropik), purpura trombosi topenia trombotik, sindrom apung sipascadural,
dan vaskuliti sserebral (Sibai & Stella, 2009). Diagnosis banding ini penting terutama jik aterdapat deficit neurologisfokal, koma yang berkepanjangan, atau eklampsia atipikal, sehingga perlu dievaluasi kondisi jantung dan neurologis padapasien (Sharma et al., 2019). Pada kasus pasien ini telah
ditelusuri kondisi neurologis, jantung dan metabolik namun tidak dijumpai kelainan.
Kasus eklamsia pada pasien ini terjadi
diusia kehamilan aterm yaitu 39-40 minggu kehamilan dengan dijumpai hasil proteinuria +2. Berdasarkan
literatur, eklampsia paling
sering terjadi pada trimester
terakhir dan lebih sering saat menjelang
aterm (Ika, 2020). Dalam beberapa tahun terakhir, keja dianeklampsia postpartum telah menurun. Hal ini mungkin terkait dengan peningkatanakses ke perawatan prenatal, deteksi dini preeklamsia
antepartum, dan penggunaan profilaksis
magnesiumsulfat. Yang penting,
diagnosis lain harus dipertimbangkan
pada wanita dengan kejang lebih dari
48 jam pasca persalinan atau pada wanita dengan deficit neurologis fokal, koma berkepanjangan,
atau eklampsia atipikal. Pada saat kejang pasien tersebut
harus dilindungi, terutama saluran napasnya. Gerakan otot yang kuat dapat membuat
pasien terjatuh dari tempat tidurnya,
dan jika tidak dilindungi, lidahnya akan tergigit oleh gerakan rahang yang keras. Fase ini
terjadi di mana otot-otot berkontraksi dan berelaksasi secara bergantian yang dapat berlangsung kira-kira satu menit. Perlahan-lahan, gerakan otot menjadi
lebih kecil dan lebih jarang sampai
akhirnya kejang akan berhenti (Syaiful et al., 2020). Tingkat keparahan proteinuria
24 jam dapat memprediksi hasil yang merugikan pada wanita dengan preeklamsia,
jadi hingga saat ini proteinuria masih digunakan sebagai salah satu indeks pemantauan pada pasien dengan preeklamsia
(Lei et al., 2021).
Seteleah diagnose eklamsia ditegakkan pada pasien ini langsung diberikan
regimen MgSO4 dosisinisial dan dilanjutkan
maintenance sampai 24 jam pasca
persalinan. Menurut (Cunningham, 2018) bahwa magnesium sulfat sangat efektif untuk mencegah kejang pada wanita dengan preeklamsia dan menghentikannya pada wanita dengan eklampsia dan merupakan antic onvulsan yang efektif yang mencegah terjadinya depresi system saraf pusat. Dosis
untuk preeklamsia berat sama dengan
dosis untuk eklampsia. Karena persalinan merupakan waktu yang lebih mungkin untuk
terjadinya kejang, wanita dengan preeklamsia-eklampsia
biasanya diberikan magnesium
sulfat selama persalinan dan selama 24 jam pasca persalinan (Sintawati, 2022).
Filosofi yang masih dianut di Amerika hingga saat ini terkait
penatalaksanaan eklamsia adalah:
1.
Mengontrol kejang menggunakan dosis inisial magnesium sulfat yang diberikan secara intravena yang diikuti dengan dosis pemeliharaan.
2.
Pemberian obat� anti hipertensi secara intermiten untuk menurunkan tekanan darah.
3.
Menghindari diuretic kecuali edema paru jelas, pembatasan
pemberian cairan intravena kecuali kehilangan cairan berlebihan dan menghindari agen hiperosmotik.
4.
Terminasi kehamilan.
Terkait luaran maternal dan perinatal
ShinJE dkk, dalam studi retrospektifnya
membandingkan luaran antara ekampsi atipikal (klasik) dengan atipikal, dan disimpulkan bahwa luaran perinatal lebih baik dalam kasus
atipikal, namun luaran maternal yang serupa (Shin et al., 2012). Oleh karena itu butuh lebih
banyak perhatian yang difokuskan kepada eklampsia atipikal.
Kesimpulan
Penyakit
hipertensi dalam kehamilan merupakan ancaman serius bagi kehidupan ibu dan janin. Eklamsia atipikal semakin memperumitpenegakkan
diagnose yang berimbas dalam
keterlambatan diagnosis dan manajemen.
Pada laporan ini dilaporkan kasus eklamsia atipikal yang ditegakkan diagnose dari temuan klinis dan penunjang serta menyingkirkan kemungkinan
diagnose lain penyebab kejang
pada ibu hamil. Pasien ditata laksana
dengan tepat dengan hasil yang baik. Kasus yang sangat jarang terjadi ini merupakan tantangan
dan dilema diagnostik bagi dokter dan siap untuk mengambil
langkah segera. Kesadaran mengenai entitas klinis, kewaspadaan terhadap factor risiko dan identifikasi yang cepat tentu saja
dapat meningkatkan
prognosis fetomaternal.
Adie, V.,
& Moodley, J. (2005). Atypical Eclampsia. Journal of Obstetrics and
Gynaecology, 25(4), 352. https://doi.org/10.1080/01443610500119663. Google Scholar
Bartal, M. F., &
Sibai, B. M. (2020). Eclampsia in the 21st century. American Journal of
Obstetrics and Gynecology, 226(2), S1237�S1253.
https://doi.org/10.1016/j.ajog.2020.09.037. Google Scholar
Cunningham, F., Leveno,
K., Dashe, J. (2022). Williams Obstetric Edisi 26. McGrow Hill. Google Scholar
Cunningham. (2018). Williams
Obstetrics. Prentice Hall International Inc Appleton. Google Scholar
Gynecologists, A. C. of
O. and. (2006). ACOG practice bulletin: clinical management guidelines for
obstetrician-gynecologists number 76, October 2006: postpartum hemorrhage. Obstetrics
and Gynecology, 108(4), 1039�1047.
https://doi.org/10.1097/00006250-200610000-00046. Google Scholar
Ika, Z. F. (2020). Asuhan
Kebidanan Komprehensif pada Ny.� H� g4p2012 Hamil 38 Minggu 6 Hari dengan
Masalah Anemia Ringan dan Overweight di Wilayah Kerja Puskesmas Baru Ilir Kota
Balikpapan Tahun 2020. LTA Prodi DIII Kebidanan Balikpapan, Perpustakaan
Poltekkes Kemenkes Kaltim. Google Scholar
Lalenoh, D. C. (2018). Preeklampsia
berat dan eklampsia: tatalaksana anestesia perioperatif. Sleman:
Deepublish. Google Scholar
Lei, T., Qiu, T., Liao,
W., Li, K., Lai, X., Huang, H., Yuan, R., & Chen, L. (2021). Proteinuria
may be an indicator of adverse pregnancy outcomes in patients with
preeclampsia: a retrospective study. Reproductive Biology and Endocrinology,
19(1), 1�8. https://doi.org/10.1186/s12958-021-00751-y. Google Scholar
Sharma, N., Jethani, R.,
Sharma, S., Jante, V., & Agarwal, M. (2019). Late Onset Atypical Eclampsia:
A Case Report. Journal of Clinical & Diagnostic Research, 13(1),
7�8. https://doi.org/10.7860/jcdr/2019/39750.12507. Google Scholar
Shin, J. E., Nam, S. Y.,
Lee, Y., Lee, G., Shin, J. C., Kim, Y. H., & Kil, K. C. (2012). Comparison
of outcomes after typical and atypical eclampsia: a retrospective study. The
Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine, 25(11),
2419�2423. https://doi.org/10.3109/14767058.2012.699117. Google Scholar
Sibai, B. M., &
Stella, C. L. (2009). Diagnosis and management of atypical
preeclampsia-eclampsia. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 200(5),
481-e1. https://doi.org/10.1016/j.ajog.2008.07.048. Google Scholar
Sintawati, E. (2022). Hubungan
Pre Eklampsia Dengan Persalinan Prematur. ITSKes Insan Cendekia Medika. Google Scholar
Syaiful, Y., Fatmawati,
L., & ST, S. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Ibu Bersalin. Surabaya:
Jakad Media Publishing. Google Scholar
Vousden, N., Lawley, E.,
Seed, P. T., Gidiri, M. F., Goudar, S., Sandall, J., Chappell, L. C., Shennan,
A. H., & Group, C. T. C. (2019). Incidence of eclampsia and related
complications across 10 low-and middle-resource geographical regions: secondary
analysis of a cluster randomised controlled trial. PLoS Medicine, 16(3),
e1002775. https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1002775. Google Scholar
WHO. (2022). World
Health Statistics. Who.Int.
Copyright holder: Aldhi, Ressy
Permatasari, Roza Sriyanti (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |