Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 12,
Desember 2022
ANALISIS
SELEKSI DAN PENGADAAN OBAT DI INSTALASI FARMASI RSUD KOTA MAKASSAR TAHUN 2021
DI ERA PANDEMI COVID-19
Pratiwi Ananta A1, Helen Andriani2
Mahasiswa
Magister Kajian Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Indonesia1
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Indonesia2
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Wabah COVID-19
mengakibatkan kelangkaan obat di rumah sakit, sehingga pengelolaan persediaan
obat harus dilakukan sesuai prosedur untuk mencegah terjadinya kekosongan obat
di gudang farmasi. Masalah kekosongan obat tentu akan mempengaruhi kualitas
pelayanan yang diberikan kepada pasien. Pada RSUD Kota Makassar ditemukan masih
adanya obat kosong di instalasi farmasi, sehingga tidak jarang mendapat keluhan
dari pasien. Menganalisis seleksi dan pengadaan obat di Instalasi Farmasi RSUD
Kota Makassar. Deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus, melalui
wawancara mendalam dengan 4 informan yaitu Kepala Instalasi Farmasi RSUD Kota
Makassar, Apoteker penanggung jawab perencanaan pengadaan obat, Pejabat
Pengadaan Barang dan Jasa, dan Kepala Bidang Keuangan RSUD Kota Makassar,
telaah dokumen data sekunder IFRS dan studi literatur. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Mei 2021. Kesesuaian item obat yang tersedia di RSUD Kota Makassar
dengan Formularium Nasional mencapai nilai 92%. Total persentase alokasi dana
pengadaan obat 38,46%. Frekuensi pengadaan item obat per tahun 2-3 kali. Jumlah
item obat yang diadakan dengan direncanakan memiliki persentase 63,89%.
Kata
Kunci:
Gudang Farmasi, Perencanaan Obat, Pengadaan Obat,
Kualitatif.
Abstract
The COVID-19
outbreak has resulted in a shortage of drugs in hospitals, so the management of
drug supplies must be carried out according to procedures to prevent drug
shortages in pharmacy warehouses. The
problem of drug vacancies will certainly affect the quality of services
provided to patients. In RSUD Kota Makassar, it was found that there were still
empty drugs in the pharmacy installation, so it was No.t uncommon to get
complaints from patients. To analyze the
selection and procurement of drugs at the Pharmacy Installation of the RSUD
Kota Makassar. Qualitative descriptive with a case study approach, through
in-depth interviews with 4 informants namely the Head of the Pharmacy
Installation of the RSUD Kota Makassar, the Pharmacist in charge of planning
drug procurement, the Procurement Officer of Goods and Services, and the Head of
Finance of the Makassar City Hospital, reviewing IFRS secondary data documents
and literature studies. This research was conducted in May 2021. The
suitability of available drug items with the national formulary in RSUD Kota
Makassar reached a value of 92%. The total percentage of funds allocated for
drug procurement is 38,46%. The frequency of procurement of drug items per year
is 2-3 times. The percentage of the number of drug items that were held in a
planned manner was 63.89%.
Keywords: Pharmacy Warehouse,
Drug Planning, Drug Procurement, Qualitative.
Pendahuluan
Rumah sakit merupakan institusi yang bergerak di
bidang jasa. Salah satu pelayanan terpenting di rumah sakit adalah pelayanan
farmasi. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di rumah sakit, harus
dilakukan pengendalian mutu pelayanan kefarmasian yang meliputi monitoring dan
evaluasi, hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 72 tahun
2016 (Kemenkes, 2016c).
Pengelolaan logistik memegang peranan penting dalam proses kelangsungan rumah
sakit sehingga harus diolah secara profesional, salah satunya pada logistik
obat.
Quick dkk (2012) menyebutkan pengelolaan obat
merupakan suatu siklus manajemen obat yang meliputi empat tahap yaitu seleksi (selection),
perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi (distribution),
dan penggunaan (use). Siklus ini memerlukan dukungan dari perencanaan
dan administrasi (planning and administration), manajemen organisasi (organization),
pengelolaan informasi (information management) dan pengembangan sumber
daya manusia (human resources) yang baik (Quick et al., 2012). Mutu pelayanan akan sangat berpengaruh apabila
terjadi kekosongan obat di gudang farmasi, selain itu juga dapat berimplikasi
pada pembiayaan yang mahal. Oleh karena itu perencanaan dan pengadaan obat
sebagai tahap awal dalam pengelolaan logistik harus dilakukan secara baik (Nesi & Kristin, 2018).
Kekurangan obat telah menjadi masalah global sejak
pertengahan tahun 2000-an, tetapi masalah ini diperburuk oleh pandemi COVID-19.
Sebelum terjadi pandemi, penyebab utama kelangkaan obat adalah alasan ekoNo.mi
dan peraturan, perdagangan, manufaktur, dan masalah rantai pasokan. Sedangkan
pada masa pandemi, penyebab kelangkaan obat-obatan adalah banyaknya pabrik yang
tutup karena karantina, masalah logistik karena penutupan perbatasan, larangan
ekspor, karantina produk farmasi, peningkatan permintaan obat dan banyaknya
penimbunan (Meliawati & Holik, 2020).
Selama pandemi COVID-19, kekosongan obat di gudang farmasi
banyak dialami rumah sakit di Indonesia dengan berbagai penyebab, misalnya
akibat keterlambatan pengiriman obat dari distributor, maka RS. Bhayangkara Tk.
III Banjarmasin mengalami kekosongan obat (Khairiyah, 2021). Sedangkan pada penelitian Husna Hairani dkk (2022),
penyebab terjadinya kekosongan obat pada RSUD dr. Zubir Mahmud Aceh Timur
adalah obat yang dipesan tidak dapat dikirim karena tertundanya pembayaran obat
yang telah jatuh tempo dan kosongnya stok obat pada distributor (Hariani et al., 2022).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Makassar adalah
rumah sakit tipe B yang saat ini melayani pasien peserta JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional), dan pasien umum (No.n peserta JKN). Berdasarkan wawancara awal
didapatkan informasi bahwa permasalahan kekosongan obat juga terjadi di RSUD
Kota Makassar selama pandemi, sehingga mengakibatkan adanya keluhan dari pasien
terutama pasien BPJS atau pelayanan kesehatan terganggu dikarenakan operasi
yang sempat tertunda akibat kosongnya obat anestesi di gudang farmasi. Usaha
RSUD Kota Makassar dalam mengatasi kekosongan obat ini dengan melakukan
peminjaman obat di rumah sakit lain yang memiliki kerjasama, yaitu RS. Wahidin
dan RS. Tajuddin. Selain itu juga dilakukan pembelian obat di apotik jejaring
RSUD dengan memakai anggaran Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Data awal
didapatkan pada tahun 2020 terdapat obat kosong sebanyak 27 jenis dari 354 obat
yang biasa digunakan, dan pada tahun 2021 terdapat obat kosong sebanyak 20
jenis dari 375 obat. Berdasarkan latar belakang
tersebut diharapkan dengan penelitian ini, dapat menjadi bahan manajemen dalam
melakukan seleksi dan pengadaan persediaan logistik obat, sehingga meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan di RSUD Kota Makassar.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan
pada bulan Mei 2022 di RSUD Kota Makassar. Metode yang akan digunakan adalah
deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus, melalui wawancara mendalam
yang dilakukan secara tatap muka dengan informan dan menerapkan protokol kesehatan
yaitu menjaga jarak dan memakai masker, telaah dokumen data sekunder dari
instalasi farmasi RSUD Kota Makassar dan studi literatur. Informan dipilih
dengan cara purposive sampling yaitu peneliti menentukan sendiri siapa
informan yang dapat memberi informasi sesuai dengan yang ingin diketahui oleh
peneliti. Wawancara dilakukan kepada 4 informan, yaitu Kepala IFRS, Apoteker
penanggung jawab perencanaan pengadaan obat, Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa,
dan Kepala Bidang Keuangan RSUD Kota Makassar. Informan merupakan key
informant di RSUD Kota Makassar dan memenuhi syarat kriteria yaitu memiliki
pengetahuan dengan topik yang akan diteliti, dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh peneliti, informan merupakan seseorang yang bekerja langsung
dalam kegiatan yang diteliti dan memberikan cukup waktu untuk wawancara serta
tidak cenderung menyampaikan informasi atas hasil �pendapatnya� sendiri. Pada
penelitian kualitatif ini menggunakan metode triangulasi sebagai alat untuk
meyakinkan kesahihan (validitas) data yang terkumpul.
Hasil dan Pembahasan
A. Seleksi
Obat
Tabel 1. Hasil Pencapaian
Indikator Pengelolaan Obat RSUD Kota Makassar
Tahapan |
Indikator |
Tujuan |
Nilai Pembanding |
2021 |
Selection |
Kesesuaian item obat yang tersedia dengan
formularium (Kemenkes, 2016) |
Untuk Mengetahui tingkat penggunaan obat
terhadap formularium |
≥ 80% (Kemenkes, 2016) |
92 % |
Formularium rumah sakit
disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT) bersama staf medis, dan kemudian
disetujui oleh direktur RSUD Kota Makassar. Hal ini telah selaras dengan� PMK No.72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Farmasi, �formularium rumah sakit berisi daftar obat yang disusun mengacu
pada Formularium Nasional dan telah disepakati oleh staf medis rumah sakit,
disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT) dan ditetapkan oleh pimpinan rumah
sakit� (Kemenkes, 2016).
Formularium rumah sakit
dievaluasi tiap 2 tahun, terakhir dilakukan pada tahun 2019 dan semestinya
dievaluasi kembali pada tahun 2021 tetapi karena pandemi COVID-19 baru
dilaksanakan pada awal tahun 2022. Obat-obatan yang termasuk No.nformularium
diajukan atas usulan Staf Medis Fungsional (SMF) yang dapat dibuktikan secara
ilmiah dan diperlukan untuk pelayanan di rumah sakit, obat-obat tersebut akan
ditinjau oleh KFT, kemudian setelah disetujui oleh direktur akan dilanjutkan ke
bagian pengadaan.
Dalam perencanaan terdapat proses yang terdiri
dari memprediksi kebutuhan, menetapkan target dan menentukan strategi, tanggung
jawab dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Untuk menggunakan
perbekalan farmasi secara efektif dan efisien, perencanaan harus dilakukan
secara optimal (Rahmiyati & Irianto, 2021). Langkah selanjutnya
setelah pemilihan obat berdasarkan formularium adalah perencanaan dan penetapan
kebutuhan. Perencanaan obat di RSUD Kota Makassar menggunakan metode konsumsi
berdasarkan pada data riwayat tahun sebelumnya, mempertimbangkan sisa
persediaan, dan anggaran yang tersedia, kemudian menambahkan 20-25% buffer
stock. Hal ini sesuai dengan PMK No. 72 Tahun 2016 bahwa �perencanaan
dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang
dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan
antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi
dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia� (Kemenkes, 2016).
B.
Pengadaan
Obat
Tabel 2. Hasil Pencapaian
Indikator Pengelolaan Obat RSUD Kota Makassar
Tahapan |
Indikator |
Tujuan |
Nilai Pembanding |
2021 |
Procurement |
1.
Persentase alokasi dana pengadaan obat (Depkes RI,
2002) 2.
Frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun
(Pudjaningsih, 1996) 3.
Frekuensi kurang lengkapnya surat pesanan /
kontrak (Pudjaningsih, 1996) 4.
Persentase jumlah item obat yang diadakan dengan
yang direncanakan (Pudjaningsih, 1996) |
Untuk mengetahui seberapa jauh persedian
dana RS memberikan dana kepada farmasi Untuk mengetahui berapa kali obat � obat
tersebut dipesan dalam setahun Untuk mengetahui berapa kali terjadi
kesalahan faktur Untuk mengetahui ketepatan perencanaan obat |
30 � 40 % (HudyoNo. & Andajaningsih, 1990) Rendah < 12x/setahun Sedang 12 � 24x /tahun Tinggi 24x /tahun (Pudjaningsih, 1996) 1 � 9 Kali (Pudjaningsih, 1996) 100 � 120 % (Pudjaningsih, 1996) |
38,46 % 2 � 3 Kali 3 Kali 63,89 % |
Dari olah data didapatkan data total anggaran RSUD
Kota Makassar pada tahun 2021 sebesar Rp. 76.946.158.696,- sedangkan persentase
alokasi dana pengadaan obat : BLUD 26,21%, APBD 12,25%, dan total keduanya
adalah 38,46%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian HudyoNo. dan
Andayaningsih (1990) dengan persentase 30% - 40%, maka pengelolaan obat pada
indikator tersebut sudah efisien. Salah satu unsur penunjang yang penting dalam
pengelolaan obat adalah tersedianya anggaran yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan
untuk pemasokan perbekalan farmasi dirumah sakit. Tujuan anggaran dalam
pengelolaan perbekalan farmasi adalah terpenuhinya kebutuhan obat di rumah
sakit (Depkes, 2008).
Sumber anggaran untuk pengadaan obat di RSUD Kota
Makassar berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD). Walaupun alokasi dana pengadaan obat yang ada sudah
sesuai Depkes, tetapi masih terdapat kendala pada pembayaran obat-obatan yang
memakai dana BLUD. Pembayaran BLUD ke distributor sering melewati jatuh tempo,
hal ini dikarenakan keterlambatan pembayaran BPJS kepada rumah sakit. Belum terbayarnya utang sebelumnya di PBF menyebabkan
distributor lock untuk pemesanan selanjutnya, sehingga terjadi
kekosongan obat di gudang farmasi. Hal ini sesuai pernyataan informan,��secara
umum itu yah krn utang ke distributor..karena punya utang jadi distributor
lock, tidak bisa lakukan pengadaan...� (inf-2). Diperkuat dengan penyataan
informan lainnya, ��khusus di BLUD kendalanya itu kita bayar ke penyedia
atau rekanan yaah tergantung dana masuk, kalau BPJS nya lancar membayar kita
juga lancar bayar tagihan obat ke rekanan, tetapi kalau BPJS terlambat bayar
kita juga terlambat bayar.,,tapi kalau APBD tidak, kapan ada tagihannya kita
buat SPM nya kita menagih pemerintah kota, saat itu dibayarkan�� (inf-5)
Klaim BPJS Kesehatan membayar tarif pelayanan
INA-CBGs dalam satu paket yang terdiri dari obat, biaya konsultasi dan tindakan
dokter, BMHP, biaya pemeriksaan penunjang, akomodasi atau kamar perawatan,
serta biaya lainnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien,
sehingga rumah sakit dituntut harus lebih efisien agar menghindari kerugian (Winda, 2018). Dengan penjelasan di atas
perlu dievaluasi kembali penyebab terlambatnya pembayaran oleh BPJS ke rumah
sakit.
Berdasarkan tabel 2 frekuensi pengadaan item obat
per tahun 2-3 kali, tergolong dalam kategori rendah (≤12 kali dalam
setahun) salah satu penyebabnya karena jalur proses pengadaan yang panjang
biasanya memerlukan waktu yang lama. Selain itu, pengadaan obat biasa dilakukan
per triwulan, diadakan dengan volume pemesanan yang tidak terlalu besar dari
rencana yang sudah dibuat satu tahun untuk mencegah obat berlebihan atau expired
di gudang farmasi. Menurut Pudjaningsih frekuensi yang baik adalah sering
melakukan pembelian asal tidak mengganggu pelayanan (Mahdiyan et al., 2018). Oleh karena itu semakin
sedikit barang yang ada di gudang, frekuensi pembelian akan semakin tinggi.
Frekuensi pengadaan obat di tiap rumah sakit berdasarkan penelitian-penelitian
sebelumnya bervariasi. Frekuensi pengadaan obat yang relatif kecil di rumah
sakit dapat disebabkan karena aturan penggunaan yang tidak bisa dipecah-pecah
dan harus melakukan pembelian sekaligus (Istinganah et al., 2006).
Sedangkan persentase jumlah item obat yang diadakan
dengan direncanakan adalah 63,89% (≤100%), hal ini karena masih ada sisa
obat di gudang farmasi akibat adanya pandemi COVID-19 di tahun 2020 maka
perencanaan melebihi pemakaian. Hal ini sesuai dengan pernyataan informan, ��kayak
pandemi di 2020, saya sudah purchasing di Januari Februari buat 6 bulan,
pandemi di bulan Maret, obat ku bisa untuk 1 tahun padahal saya baru adakan
untuk 6 bulan, malah nyebrang sampai ke 2021 karena tidak ada pasien��
(inf-2)
�Dengan
wawancara didapatkan pada instalasi farmasi RSUD Kota Makassar pengadaan
dilakukan melalui e-purchasing yang berbasis e-catalogue. Selain
itu, pengadaan secara manual dilaksanakan secara langsung kepada penyedia
farmasi yang tercantum dalam e-catalogue. Pengadaan
biasanya dilakukan tiap tiga bulan untuk BLUD dan enam bulan sekali untuk
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dengan proses bertahap. Obat yang
tergolong fast moving atau live saving pemesanan dilakukan per
triwulan, per semester, atau sesuai dengan kebutuhan jika terjadi kekosongan
obat.
Pengadaan merupakan suatu usaha kegiatan untuk
merealisasikan kebutuhan yang telah ditetapkan dan disetujui (anggarannya)
dalam fungsi perencanaan (Febriawati, 2013). Metode pengadaan obat pada
RSUD Kota Makassar dilakukan secara e-purchasing dan manual, hal ini
mengikuti PMK No. 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog
Elektronik (E-Catalogue) yang menjelaskan bahwa �pengadaan obat
dilakukan melalui e-purchasing secara e-catalogue tetapi apabila
mengalami kendala operasional dalam aplikasi (offline) pembelian dapat
dilakukan secara manual langsung kepada industri farmasi yang tercantum dalam e-catalogue�
(PMK, 2014). Kendala yang terjadi dapat disebabkan terlambatnya
perbaruan SK Kepala Dinas Kesehatan sehingga pejabat pengadaan tidak dapat
akses ke akun sistem untuk melakukan pengadaan. Selain itu kendala lain yang
biasanya terjadi pada pengadaan yaitu adanya kekosongan stok obat di
distributor Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Pejabat yang melakukan pengadaan adalah ASN yang
bekerja di rumah sakit dan telah memiliki sertifikasi, seperti yang tercantum
dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2021(Indonesia, 2021). Sistem yang diterapkan
dalam proses pengadaan obat di RSUD Kota Makassar yaitu menyusun Rencana
Kebutuhan Obat (RKO) kemudian akan ditandatangani oleh kepala instalasi
farmasi, diserahkan ke bidang penunjang lalu dibuatkan surat
disposisi pengadaan dan disetujui oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yaitu
Direktur Rumah Sakit yang kemudian diteruskan ke Pejabat Pengadaan untuk proses
pembelian secara melalui e-catalague, dimana proses ini disetujui oleh
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). PPK merupakan pejabat yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan pengadaan barang atau jasa.
Beberapa penyebab terjadinya kendala dalam proses
perencanaan dan pengadaan juga dapat dilihat dari manajemen pendukung. Salah
satu unsur penunjang yaitu sumber daya manusia (SDM) yang merupakan faktor sentral
dalam suatu organisasi termasuk di instalasi farmasi. Menurut PMK No.72 tahun
2016, �instalasi farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran
dan tujuan instalasi farmasi rumah sakit� (Kemenkes, 2016). Saat ini Instalasi Farmasi
RSUD Kota Makassar terdiri dari 29 orang (16 apoteker dan 13 tenaga teknis
kefarmasian), hal ini tidak sesuai berdasarkan PMK RI No. 56 Tahun 2014 bahwa
�jumlah apoteker minimal 13 orang tenaga TTK minimal 20 orang� (Indonesia, 2014; Kemenkes, 2014) .
Keterbatasan tenaga dapat membuat tenaga farmasi memiliki beban besar dari
seharusnya, sehingga perlunya analisis beban kerja untuk para tenaga
farmasi.�
Manajemen pendukung lainnya adalah sistem informasi.
Informasi merupakan motor penggerak siklus logistik di rumah sakit. Perancangan
sistem informasi manajemen logistik bertujuan memfasilitasi untuk melakukan
pencatatan, pelaporan logistik, BMHP, dan pengelolaan data obat. Hal tersebut
sangat penting dalam pengambilan keputusan(Kemenkes, 2016). Saat ini sistem informasi
yang berjalan di manajemen logistik belum optimal. Kendala ditemukan karena
sistem belum semua terintegrasi, terdapat beberapa data yang masih harus
dimasukkan secara manual, dan beberapa apoteker yang masih memilih pencatatan
secara manual. Diharapkan semua dapat terintegrasi antara gudang obat �
keuangan - farmasi, untuk mengetahui stok secara real-time, sharing
informasi status pembayaran obat, serta meminimalisir kekeliruan dan selisih
perhitungan
Kesimpulan
Pada tahap seleksi, RSUD Kota Makassar dalam pemilihan
obat untuk pemakaian di rumah sakit sebagian besar telah mengikuti Formularium
Nasional dengan memakai metode konsumsi. Pada tahap pengadaan obat didapatkan
bahwa kesalahan faktur jarang terjadi di Instalasi Farmasi RSUD Kota Makassar
dan persediaan anggaran rumah sakit dalam memberikan dana kepada farmasi sudah
efisien, tetapi obat-obatan yang dipesan dalam setahun masih tergolong rendah,
dan persentase ketepatan perencanaan obat belum sesuai dengan indikator yang
ada, hal ini tentu tidak lepas dari dampak COVID-19 sehingga setiap perencanaan
dan kegiatan kefarmasian RSUD Kota Makassar disesuaikan dengan situasi yang
ada.
Depkes. (2008). Pedoman Pengelolaan Perbekalan
Farmasi di Rumah Sakit (D. J. B. K. dan A. K. Departemen, K. R. bekerja
sama dengan J. I. Cooperation, & A. (JICA) (eds.)). Departemen Kesehatan
RI.
Febriawati, H. (2013). Penganggaran dan Pengadaan Farmasi
Rumah Sakit. In Manajemen Logistik Farmasi Rumah Sakit (pertama, p. 102).
Gosyen Publising.
Hariani, H., Fitriani, A. D., & Sari, M. (2022).
Manajemen Pengelolaan Obat di Instalassi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zubir Mahmud Kabupaten Aceh Timur Tahun 2021. Miracle Journal, Vol 2,
No.
Hudyono, Y. E., & Andajaningsih. (1990). Studi
Pengelolaan Obat dan Sumber Daya Manusia. Jakarta Departemen Kesehatan RI.
Indonesia. (2021). Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Indonesia, R. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Istinganah, Danu, S. S., & Santoso, A. P. (2006).
Evaluasi Sistem Pengelolaan Obat dari Dana APBD Tahun 2001-2003 Terhadap
Ketersediaan dan Efisiensi Obat. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol
9 No.1.
Kemenkes. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Kemenkes. (2016a). Panduan Penggunaan Sistem Informasi
Manajemen Logistik di Instalasi Farmasi Pemerintah (N. Hanifah & H.
Kurniawan P (eds.)). Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Kemenkes. (2016b). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 72 tahun 2016 Standar Pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes, R. I. (2016c). Peraturan menteri kesehatan republik
indonesia Nomor 72 tahun 2016 Tentang Standar pelayanan kefarmasian di rumah
sakit. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Khairiyah, N. (2021). Makalah Analisis Kekosongan Obat -
Nada Khairiyah. 17 Agustus 1945.
Mahdiyan, U., Wiedyaningsih, C., & Endarti, D. (2018).
Evaluasi Pengelolaan Obat Tahap Perencanaab dan Pengadaan di RSUD Muntilan
Kabupaten Magelang Tahun Tahun 2015-2016. JMPV, vol 8(1).
Meliawati, R., & Holik, H. A. (2020). Kebijakan Industri
Farmasi pada Masa Pandemi COVID-19. Jurnal Farmasi Udayana, Vol 9,
No. https://doi.org/https://doi.org/10.24843/JFU.2020.v09.i02.p02.
Nesi, G., & Kristin, E. (2018). Evaluasi Perencanaan Dan
Pengadaan Obat di Instalasi Farmasi RSUD Kefamenanu Kabupaten Timor Tengah
Utara. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, 7(4),
147�153.
Permenkes. (2014). Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog
Elektronik (E-Catalogue).
Pudjaningsih, D. (1996). Pengembangan Indikator Efisiensi
Pengelolaan Obat di Farmasi Rumah Sakit. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Quick, J. D., Rankin, J. R., Laing, R., Hogerzeil, H. V,
& Dukes, M. N. G. (2012). Managing Drug Supply (2nd ed). Revised and
Expanded, Kumarian Press.
Rahmiyati, A. L., & Irianto, G. (2021). Teori Dan
Praktek Manajemen Logistic Rumah Sakit (Rachmi (ed.); 1st ed.). PT Refika
Aditama.
Satibi. (2014). Manajemen Obat di Rumah Sakit.
Universitas Gadjah Mada.
Winda, S. (2018). Formularium Nasional (FORNAS) dan
e-Catalogue Obat Sebagai Upaya Pencegahan Korupsi dalam Tata Kelola Obat
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 4.
Copyright holder: Mufida Dian Pertiwi, Fajar Syaiful Akbar (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |