Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember 2022
PENTINGNYA
DETEKSI DAN INTERVENSI DINI DENGAN IMPLEMENTASI AVT PADA PERKEMBANGAN ANAK
SPEECH DELAY DENGAN SENSORINEURAL HEARING LOSS
Zamrotu Iva Purwanti, Neni Asmawati Putri, Eka Marta Puspita Rini,
Romdhoni, Ahmad Suryawan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Delayed Speech adalah keterlambatan proses bicara seorang anak
dibandingkan dengan proses bicara anak seusianya dan merupakan masalah utama
yang sebagian besar diakibatkan oleh gangguan pendengaran. American Academy of
Pediatrics (AAP) dan Joint Committee on infant Hearing (JCIH) 2007
merekomendasikan gangguan pendengaran kongenital terdiagnosis sebelum usia 3
bulan dan mendapat intervensi sebelum usia 6 bulan. Hal ini berkaitan dengan
fase kritis perkembangan bahasa yang dimulai dari 6 bulan pertama kehidupan dan
terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Auditory Verbal Therapy (AVT) sebagai
intervensi dini memaksimalkan penggunaan sisa pendengaran dengan alat bantu
dengar atau implant koklea untuk deteksi suara. Semua elemen-elemen penting
dari intervensi dini yang efektif dapat ditemukan di dalam AVT. Tujuan:
Mengetahui dampak deteksi dan intervensi dini dengan implementasi AVT bagi
perkembangan anak speech delay dengan gangguan pendengaran. Metode: Literature
review ini bersumber dari berbagai artikel penelitian, laporan kasus, dan
website yang bereputasi yang diterbitkan pada tahun 2017 - 2022. Sumber diakses
melalui google schoolar, Science direct, dan website-website bereputasi,
seperti WHO dan JCIH. Pencarian artikel dibantu dengan penggunaan kata kunci,
kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil: Ditentukan 7 sumber artikel yang layak
dan relevan untuk digunakan setelah melewati tahap critical appraisal.
Kesimpulan: Berdasarkan beberapa penjelasan dan bukti yang ditemukan,
intervensi dini dengan teknologi pendengaran baik alat bantu dengar (ABD)
maupun coclear implant dan penerapan Auditory Verbal Therapy memberikan dampak
yang positif bagi perkembangan anak speech delay dengan SNHL dan memungkinkan
anak untuk memiliki kemampuan berbahasa yang setara dengan anak seusianya.
Kata
Kunci:
Delayed
Speech; SNHL; Auditory Verbal Therapy; Anak usia dini
Abstract
Introduction:
Delayed speech is a delay in the speech process of a child compared to the
speech process of children his age. Delayed speech is a major problem which is
mostly caused by hearing loss. The American Academy of Pediatrics (AAP) and the
2007 Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) recommend that congenital hearing
loss be diagnosed before 3 months of age and receive intervention before 6
months of age. This relates to a critical phase of language development that
starts from the first 6 months of life and continues until the age of 2 years.
Auditory Verbal Therapy (AVT) as an early intervention maximizes the use of
residual hearing with hearing aids or cochlear implants for sound detection. All
the essential elements of effective early intervention can be found in AVT.
Aim: To determine the impact of early detection and intervention with the� implementation of AVT on the development of
speech delay with sensorineural hearing loss. Methods: This literature review
was sourced from various research articles, case reports, and reputable
websites published in 2017 - 2022. Sources are accessed through google
schoolar, Science direct, and reputable websites, such as WHO and JCIH. The
search for articles was assisted by the use of keywords, inclusion and
exclusion criteria. Results: Determined 7 appropriate and relevant article
sources to be used after passing the critical appraisal stage. Conclusion:
Based on several explanations and evidence found, early intervention with
hearing technology, both hearing aids (ABD) and cochlear implants and the
application of Auditory Verbal Therapy have a positive impact on the
development of speech delay children with SNHL and allows children to have
language skills that are equivalent to children their age.
Keywords: Delayed Speech;
SNHL; Auditory Verbal Therapy; Early childhood
Pendahuluan
Speech Delay dengan
Sensorineural Hearing Loss adalah salah satu jenis keterlambatan bicara dan
bahasa pada anak yang disebabkan oleh gangguan pendengaran dimana perkembangan
bicara dan bahasanya secara signifikan berada di bawah milestone anak
seusianya. Anak-anak dengan gangguan bicara dan bahasa, perkembangan bicara dan
bahasanya secara kualitatif berbeda dari anak pada umumnya (Hartanto, 2018). (Gunawan & Palupi, 2016) mengemukakan anak
yang kehilangan pendengaran adalah seorang anak yang mengalami ketidakmampuan
mendengar (biasanya pada tingkat 70 desibel atau lebih) sehingga akan mengalami
kesulitan untuk dapat mengerti atau memahami pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (Haliza et al., 2020). WHO 2007
memperkirakan jumlah disabilitas seperti itu meningkat dari 42 juta orang di
tahun 1985 sampai 360 juta orang di tahun 2011, 7,5 juta diantaranya adalah
anak di bawah umur 5 tahun (Maulana, 2020).
Gangguan pendengaran pada
anak terjadi pada 6 per 1000 bayi baru lahir di negara berkembang. Yang artinya
3x lebih tinggi dari sebelumnya.�
Penyebab sebagian besar kasus tersebut tidak diketahui. WHO menyatakan
bahwa 60% gangguan pendengaran anak disebabkan oleh faktor genetic (Maulana, 2020). Berdasarkan WHO
2007, prevalensi terjadinya gangguan pendengaran di Indonesia sekitar 4.2%.
Populasi bervariasi dari yang paling rendah 4.2% di Indonesia, 9% di Sri Langka,
13.3% di Thailand dan 16.6 % di Nepal. Berdasarkan data di atas, ada lebih dari
100 juta orang yang menderita gangguan pendengaran di Asia Tenggara. Sekitar
50% anak-anak dengan gangguan pendengaran kongenital atau faktor genetik.
Sekitar 50% disebabkan oleh faktor lingkungan�
seperti penyakit sebelum atau selama kehamilan, atau penyebab yang tidak
diketahui (Purnami et al., 2018).
Intervensi dini sangat
diperlukan dalam penanganan anak speech delay dengan gangguan pendengaran.
Karena gangguan pendengaran ini merupakan salah satu kelainan kongenital yang
sebagian besar tidak jelas ada faktor risikonya, sehingga tidak segera
terdeteksi. Hal yang sering terjadi di masyarakat adalah orang tua baru
menyadari adanya kelainan saat anak tampak terlambat bicara karena kurangnya
kesadaran mengenai pentingnya deteksi dan intervensi sedini mungkin pendengaran
pada anak (Maulana, 2020).
Bila tidak dilakukan
deteksi dan intervensi dini, sebagai konsekuensinya anak dengan tidak
terdeteksinya gangguan pendengaran akan kehilangan masa keemasan (golden
periode) dalam perkembangan bahasa, hasil dikemudian hari akibat keterlambatan
dan minimnya kecakapan dalam berbicara dan bahasa, pencapaian akademic, dan
terbatasnya kesempatan karir. Keterlambatan dalam deteksi dan intervensi akan
menghasilkan tingginya beban sosial yang dicapai pada anak dengan gangguan
pendengaran. Sehingga anak memerlukan terapi dan edukasi khusus (Purnami et al., 2018). Selain itu
gangguan pendengaran berakibat pada keterasingan dari pergaulan sehari-hari,
anak tunarungu sulit berpartisipasi secara penuh dalam aktivitas di sekolah,
pekerjaan, tetangga, teman, bahkan dengan keluarga, (Sarry & Ervika, 2018). Keadaan ini akan
menghambat perkembangan emosi anak dengan gangguan pendengaran seperti perasaan
rendah diri, lekas tersinggung dan marah, cemas, menutup diri, merasa takut,
dan akhirnya perkembangan kepribadian dan sosialnya (Putri & Purbaningrum, 2020).
Di beberapa negara telah
diterapkan Universal Newborn Hearing Screening (UNHS). Ada dua metode pemeriksaan
di Indonesia yaitu OAE dan ABR dengan sensitivitas mencapai 100% dan
spesifikasi 99,3% (Hamam and Purnami, 2020). Anak yang didiagnosa lebih awal
dengan� gangguan pendengaran kongenital
mempunyai kualitas hidup yang lebih baik dan di kehidupan selanjutnya (Maulana, 2020). Indonesia belum
menerapkan screening pendengaran di setiap kebijakan kesehatan sehingga membuat
masalah gangguan pendengaran ini menjadi beban nasional. (Maulana, 2020) menyatakan dalam
penelitiannya kondisi tersebut disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat
dan keterbatasan alat diagnosis pencegahan gangguan pendengaran bawaan di
Indonesia. American Academy of Pediatrics (AAP) dan Joint Committee on infant
Hearing (JCIH) 2007 merekomendasikan gangguan pendengaran kongenital
terdiagnosis sebelum usia 3 bulan dan mendapat intervensi sebelum usia 6 bulan.
Hal ini berkaitan dengan fase kritis perkembangan bahasa yang dimulai dari 6
bulan pertama kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Dan Intervensi
lebih dini memberikan hasil yang lebih baik, karena terapi gangguan pendengaran
terbukti memperbaiki kemampuan komunikasi anak (Awad et al., 2019).
Melihat pentingnya
kemampuan berbahasa pada periode kritis, perlu adanya pemberian intervensi dini
pada anak gangguan pendengaran dalam aspek belajar bahasa� (Rahardja, 2010). Secara
neurologis, keterampilan berbahasa manusia berkembang melalui pusat sistem
pendengaran yaitu terletak di korteks pendengaran pada otak (Lim & Simser, 2005). Auditory Verbal
Therapy (AVT) memaksimalkan penggunaan sisa pendengaran dengan alat bantu
dengar atau implant koklea untuk deteksi suara,. Penggunaan teknologi
pendengaran modern ini telah memungkinkan anak gangguan pendengaran atau sulit
mendengar untuk mendapatkan manfaat maksimum neurologis akustik. Misi dari
pendekatan verbal berbasis pendengaran adalah membantu anak-anak menggunakan
potensi pendengaran mereka untuk berkomunikasi melalui bahasa lisan (Putri & Purbaningrum, 2020). Orang tua,
terapis, dan anak terlibat dalam kegiatan bermain yang mengajarkan anak untuk
belajar auditory verbal dengan memperkuat sisa pendengaran agar seperti
anak-anak dengan pendengaran normal (Ratih & Rini, 2015). Tujuan dari
literatur review ini adalah untuk mengetahui dampak dari pentingnya melakukan
deteksi dan intervensi dini dengan implementasi AVT bagi perkembangan anak
speech delay dengan sensorineural hearing loss.
Metode Penelitian
Literatur review ini
bersumber dari berbagai artikel penelitian dan laporan kasus dalam bahasa Indonesia,
maupun bahasa Inggris yang diterbitkan pada tahun 2017- 2022. Sumber diakses
melalui google schoolar, Science direct, dan website-website bereputasi,
seperti WHO dan JCIH. Kata kunci yang digunakan dalam pencarian artikel adalah
�Speech Delay with SNHL�,�Auditory Verbal Therapy� dan �Language and Sosial
Emotional Development�.
Pemilihan sumber
berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan, yaitu populasi studinya
adalah anak yang mengalami speech delay dengan sensorineural hearing loss. Sumber
memperlihatkan hasil pada perkembangan bahasa dan sosial emosional anak dengan
gangguan pendengaran yang dilakukan intervensi dini. Selain itu, kriteria
eksklusi juga ditetapkan pada sumber yang menjelaskan tentang perkembangan anak
speech delay bukan karena gangguan�
pendengaran.
Hasil dan Pembahasan
Proses pencarian sumber
yang telah ditemukan melalui kata kunci dan memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi akan dilanjutkan prosesnya dengan tahap critical appraisal. Tahap ini
dilakukan untuk membuktikan bahwa sumber-sumber yang digunakan adalah layak dan
relevan. Sumber-sumber tersebut menggunakan metode penelitian Systematic
literature review, randomized case control, quasi experimental study, study
deskriptif, dan case report/study dengan proses penelitian yang dilakukan di
Indonesia, 1 artikel di Pakistan, dan 1 artikel lagi di Iran.� Dimana Systematic review, case control dan
study deskriptif menggunakan CASP sedangkan quasi experimental study dan case
report/study menggunakan Joanna Briggs Institute (JBI) sebagai tool dalam
penilaian critical appraisal artikel tersebut. Secara garis besar dalam setiap
artikel jurnal tersebut menjelaskan fokus tujuan yang jelas, valid tidaknya
hasil, uji yang tepat, pertimbangan faktor bias, dan hasil penelitian yang bisa
diterapkan ke dalam praktik. Sehingga pada akhirnya, ditentukan 7 artikel yang
akan digunakan menjadi sumber dari literature review. Bagan diagram dari
pencarian dan proses seleksi literatur digambarkan pada Gambar 1.
Gambar
1
Hasil
penyaringan artikel
Berdasarkan 7 jurnal yang
membahas mengenai deteksi, intervensi dini dan dampak bagi perkembangan anak
speech delay dengan sensorineural hearing loss, disimpulkan bahwa intervensi
dini dengan akses teknologi pendengaran baik alat bantu dengar maupun implant
koklea yang disesuaikan dengan derajat pendengaran serta pemilihan terapy yang
tepat dalam pengembangan bahasa dan bicaranya, salah satunya Auditory Verbal
Therapy (AVT) memberikan dampak yang baik bagi perkembangan anak. Adapun daftar
jurnal� hasil review ditampilkan dalam
table 1 berikut.
Tabel 1
Hasil penyaringan penelitian
Peneliti/tahun |
Judul |
Metode |
Jumlah sample anak dengan
gangguan pendengaran |
Fitriyani Fitriyani, , Mohamad
Syarif Sumantri , Asep Supena (2019) |
Language development and social
emotions in children with speech delay: case study of 9
year olds in elementary school |
Case Study |
1 anak |
Heriyanti, ST.,MIkom (2020) |
Metode Auditory Verbal (AVT) Dalam
Pengembangan Kemampuan Komunikasi Anak Tunarungu Pengguna Koklear Implant di
Sekolah Inklusi Aluna Jakarta Selatan. |
Kualitatif Deskriptif |
11 siswa/siswi |
Jauhari (2020) |
Deteksi Gangguan Pendengaran Anak
Usia Dini |
Deskriptif Kepustakaan |
- |
Muhammad Sobri Maulana (2021) |
The Comprehensive Management and
Habilitation Strategy in Late Diagnosed Congenital Hearing Loss with Delayed
Speech: A Case Report |
Case Report |
1 anak |
Rashida Latif
Akbari, Muhammad Sikander Ghayas Khan, Hena Arshad� (2017) |
Effectiveness
of Auditory Verbal Therapy in Children with Cochlear Implantation and Hearing
Aid Users |
Quasi
Eksperimental |
10 anak |
Safira Ayunda
Putri (2020) |
Study Deskriptif :
Implementasi Auditory Verbal Therapy Terhadap Keterampilan Berbahasa
Anak Tuna Rungu |
Systematic
literatur review |
- |
Mohammad Ashori (2022) |
Impact of Auditory-Verbal Therapy
on executive functions in children with Cochlear Implants |
Randomized case
control |
36 anak |
1.
Deteksi Dini Anak Speech Delay dengan Sensorineural
Hearing Loss
Peranan
fungsi pendengaran sangat penting sehingga gangguan pendengaran perlu dideteksi
sedini mungkin. Pentingnya fungsi pendengaran pada perkembangan antara lain
perkembangan bicara, komunikasi, emosional, sosial dan kognitif anak. Menurut (Warasanti et al., 2020) dalam penelitiannya, deteksi dini
gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dengan skrining pendengaran bayi baru
lahir diperlukan untuk pengobatan dini. Dalam penelitian (Jauhari, 2020) menjelaskan bahwa deteksi dapat
dilakukan dengan melakukan rangsangan daya dengar yang dapat dilakukan sejak
usia dini. Deteksi dengan metode dan peralatan yang sederhana dapat difahami
dan dilakukan oleh semua profesi yang berhubungan dengan anak usia dini baik
itu guru pada lembaga pendidikan maupun tenaga kesehatan. Deteksi gangguan
pendengaran sejak dini dapat menbantu untuk melakukan intervensi pada anak,
sehingga dapat mengurangi resiko gangguan perkembangan dan permasalahan sosial
emosional anak (Jauhari, 2020). Hal yang sama pula disampaikan
bahwa skrining bayi baru lahir di usia dini sangat penting karena pengasuh dan
dokter tidak dapat mendeteksi gangguan pendengaran sampai mereka menunjukkan
tonggak bicara dan bahasa yang tertunda, dan hal ini sering terjadi di
masyarakat dimana orang tua baru menyadari adanya kelainan saat anak tampak
terlambat bicara karena kurangnya kesadaran mengenai pentingnya deteksi dini
pendengaran pada anak (Maulana, 2020). Karena itu, dibutuhkan adanya
rangsangan atau informasi stimulasi dari orang tua untuk mengetahui respon anak
terhadap suara di lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi dan cara mengucapkan
kata-kata untuk mencegah penurunan fungsi pendengaran (Sholehen et al., 2020).
Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh (Maulana, 2020) menjelaskan dua teknik elektrofisiologi
untuk skrining pendengaran bayi baru lahir yaitu� respon batang otak auditori otomatis (AABR)
dan emisi otoakustik (OAE). Keduanya dapat mendeteksi gangguan pendengaran
>35 desibel (dB) dan dapat diandalkan pada bayi usia 3 bulan. Pedoman Universal
Newborn Hearing Skreening (UNHS) termasuk Early Hearing Detection and
Intervention (EHDI) pada 1-3-6� bulan
direkomendasikan bahwa setiap bayi baru lahir harus diskrining sebelum mereka
mencapai usia satu bulan, penilaian pendengaran semua bayi yang gagal skrining
tes pada usia tiga bulan, dan intervensi untuk pasien dengan gangguan
pendengaran yang signifikan pada usia enam bulan (Awad et al., 2019). Terlebih pada anak yang memiliki
faktor risiko baik faktor dari penyakit ibu seperti rubella maupun faktor dari
bayi seperti bayi berat lahir rendah (BBLR). Karena bayi dengan berat badan
lahir < 2500 gram memiliki resiko 35,7% mengalami gangguan koklea. Sehingga
direkomendasikan untuk melakukan skrining metode OAE pada semua bayi baru lahir
yang dilanjutkan dengan pemeriksaan skrining kedua dalam waktu 1 bulan pada
bayi berisiko tinggi atau bayi yang gagal pada tes pertama (Handokoa et al., 2021).
Dalam
penelitian (Putri, 2020) dijelaskan untuk meminimalisir
dampak gangguan pendengaran ini, aspek yang harus dikembangkan pertama kali
yaitu bahasa. Perkembangan bahasa harus lebih diutamakan dari pada aspek
perkembangan yang lainnya karena bahasa merupakan unsur pokok dan prasyarat
utama dalam perkembangan anak. Apabila anak memiliki kemampuan berbahasa yang
baik, maka hal ini menyebabkan peningkatan perkembangan intelegensi pada anak
serta anak mampu melakukan sosialisasi dengan lingkungan sehingga anak dapat
menunjukkan perkembangan kemampuan emosi sosial dengan cukup baik. Kemampuan
bahasa anak terus berkembang di periode kritis pada enam tahun pertama usia
anak. Setelah lewat periode kritis, kemampuan bahasa anak akan menurun secara
bertahap, dan otak tidak lagi dapat membuat perubahan besar dalam konektivitas
saraf.
2.
Intervensi Dini Pada Anak Speech Delay dengan
Sensorineural Hearing Loss
Pengembangan
kemampuan bahasa khususnya menyimak, manusia membutuhkan indera pendengaran
sebagai penerima informasi. Anak gangguan pendengaran dengan intervensi dini
yang memiliki akses pendengaran sejak dini melalui amplifikasi dan konsisten
untuk berkomunikasi akan memiliki bahasa lisan yang lebih baik dibandingkan
anak dengan gangguan pendengaran yang tidak memiliki akses pendengaran.
Perkembangan sistem pendengaran anak pada tahap awal sangat bergantung pada
stimulasi dari lingkungan yang memberikan input pendengaran bermakna (Putri, 2020).
Hal
ini diperkuat pula oleh pernyataan (Maulana, 2020) dalam penelitian case report bahwa
diagnosis dan intervensi dini adalah kunci pengobatan yang terdiri dari alat
bantu dengar konvensional dan implantasi koklea, dikombinasikan dengan terapi
wicara dan bahasa dalam lingkungan pendidikan yang sesuai, untuk mendorong
perkembangan komunikasi dan pencapaian pendidikan.
Pernyataan
diatas lebih ditegaskan lagi dalam study deskriptif yang dilakukan oleh (Heriyanti, 2020) bahwa pemakaian cochlear implant
sebagai alternatif apabila dengan alat bantu dengar (ABD) konvensional tidak
atau sedikit sekali diperoleh manfaat. Dalam rangka memanfaatkan masa keemasan
(golden periode) perkembangan bahasa, identifikasi gangguan pendengaran,
penggunaan amplifikasi yang tepat, teknologi dan stimulasi pendengaran harus
dilakukan sedini mungkin.
�Dalam studi kasus (Fitriyani et al., 2019), juga menjelaskan keterlambatan
bicara memerlukan penanganan khusus, mulai dari stimulasi yang sesuai dengan
masalah yang dialami, program intervensi yang dilakukan baik dari keluarga dan
dibantu oleh para ahli seperti dokter, terapis, orang tua dan orang-orang di
sekitar anak dan pengasuhan yang dapat diterapkan di� lingkungan sekitar anak. Semua penanganan
yang dilakukan dengan baik dan sesuai dengan arahan para ahli akan memperbaiki
gangguan yang dialami anak. Pengembangan bahasa membutuhkan mekanisme dasar
perkembangan kognitif dan pengaruh lingkungan sosial dari lingkungan yang baik,
faktor genetik dan lingkungan memiliki peran langsung dan tidak langsung dalam
penguasaan bahasa. perkembangan anak-anak dengan masalah keterlambatan bicara,
terutama dalam masalah bahasa dan berbicara yang melibatkan pengaruh kontrol
sosial-emosional dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan mereka.
Dari
hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa perkembangan bahasa memiliki
pengaruh besar pada psikologi anak, akademik, kognitif, psikomotorik dan
motorik anak, sedangkan sosial-emosional mempengaruhi perilaku anak. Dari
penelitian ini, penulis menemukan banyak hal yang dapat mempengaruhi
perkembangan bahasa anak dan pengaruh psikologis perilaku anak pada lingkungan
sekitarnya. Karena anak-anak dengan keterlambatan berbicara lebih aktif dalam
bahasa ekspresif (perilaku yang mengarah ke arah negatif) karena mereka tidak
dapat mengungkapkannya ke dalam kata-kata yang dapat dipahami orang (Fitriyani et al., 2019).
3.
Implementasi Auditory Verbal Therapy Sebagai
intervensi pada Perkembangan Anak Speech Delay dengan Sensorineural Hearing
Loss
Keberhasilan
penanganan keterlambatan bicara membutuhkan kolaborasi yang baik antara tim
terapi wicara dan rehabilitasi anak-anak di rumah dengan orang tua. Untuk
alasan ini, keterlibatan orang tua sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan
anak dengan keterlambatan bicara (Fitriyani et al., 2019). Salah satu terapi intervensi yang
dapat dilakukan yaitu Auditory Verbal Therapy (AVT). Hal yang sama juga
disampaikan (Putri, 2020)bahwa Keterlibatan orang tua dan
keluarga terbukti dapat meningkatkan keterampilan bahasa anak dengan gangguan
pendengaran. Partisipasi orang tua sangat penting dalam pelaksanaan AVT ini.
Menurut
(Heriyanti, 2020) dalam penelitian deskriptifnya,
metode Auditory Verbal Therapy (AVT) adalah penerapan teknik, strategi, kondisi
dan prosedur yang mempromosikan akuisisi optimal bahasa lisan melalui
mendengarkan, yang menjadi kekuatan utama dalam memelihara perkembangan
kehidupan pribadi, sosial dan akademik anak tunarungu. Metode AVT merupakan
pendekatan melalui stimulasi pendengaran yang menggunakan sisa pendengaran yang
dimilikinya. Pendekatan AVT ini bertujuan agar anak-anak yang mengalami
gangguan pendengaran dapat berkomunikasi secara verbal (berbicara dan
mendengar) serta dapat tumbuh dan belajar di lingkungan sekolah pada umumnya
dan di lingkungan sekitarnya dalam mencapai cita-cita yang diinginkannya, serta
untuk lebih dapat� berpartisipasi lebih
aktif dilingkungan sekitarnya (Heriyanti, 2020).
Setelah
dilakukah penelitian sebelumnya oleh (Putri, 2020) implementasi AVT memiliki beberapa
syarat antara lain deteksi dini, teknologi pendengaran yang tepat, intervensi
one on one, tidak berisyarat, tidak membaca gerak bibir, integrasi dengan teman
dengar, dan menjalani terapi diagnostic. Kemudian menerapkan prinsip-prinsip
dalam AVT seperti meningkatkan interaksi dan komunikasi lisan, serta melakukan
evaluasi dan prognosis berkelanjutan mencakup audition, speech, language,
cognition, dan communication.
Dalam
penelitian systematic review (Putri, 2020) disebutkan 8 literatur menyetujui
bahwa AVT merupakan intervensi yang efektif untuk mendukung orang tua dalam
mengembangkan keterampilan berbahasa anak dengan gangguan pendengaran yang
memenuhi syarat AVT. Dengan habilitasi yang berkelanjutan sesuai dengan usia
dengar dan usia anak, anak akan mencapai potensi maksimum dalam keterampilan
bahasa mereka dan dapat berinteraksi layaknya orang dengan pendengaran normal.
Namun, tetap menekankan bahwa hasil perkembangan bahasa pada setiap anak akan
berbeda-beda berdasarkan faktor yang mempengaruhinya.
Hal
yang sama dijelaskan pula dalam penelitian quasi experimental (Akbari et al., 2017) yaitu menunjukkan efek AVT baik
untuk implan koklea dan pengguna alat bantu dengar, ada perubahan dan
perkembangan yang signifikan setelah diberikan metode AVT ini. Sebuah studi
eksplorasi telah menunjukkan bahwa terapi wicara dan bahasa membantu dalam
pengembangan pendengaran dan bahasa lisan.
Hasil
penelitian ini menyoroti kebutuhan anak-anak dengan gangguan pendengaran yang
menggunakan alat bantu dengar atau implan koklea, untuk menjalani rehabilitasi
berkelanjutan. Mengeksplorasi efektivitas sesi terapi wicara dan bahasa dengan
teknik AVT untuk mengembangkan keterampilan bahasa pada anak-anak dengan
gangguan pendengaran sedang (pengguna alat bantu dengar digital) dan dengan
gangguan pendengaran berat hingga sangat berat yang sekarang menjalani
implantasi koklea (Akbari et al., 2017).
Dalam
penelitian randomized case control (Ashori, 2022) dijelaskan dari 18 anak kelompok
kontrol yang diberikan 20 sesi Auditory Verbal Therapy selama 10 minggu dengan
frekuensi 2x seminggu bersama pendampingan orang tua masing-masing menunjukkan
hasil peningkatan yang signifikan dalam perkembangan bahasanya dibandingkan 18
kelompok anak yang tidak mendapatkan perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa AVT
secara signifikan mempengaruhi fungsi kognitif dan semua subskala termasuk
pergeseran, penghambatan, kontrol emosional, memori kerja dan
organisasi/perencanaan pada anak-anak dengan pengguna cochlear implant.
Sehingga terdapat perubahan yang signifikan pada persepsi pendengaran, persepsi
bicara, bahasa reseptif, bahasa ekspresif dan pengarusutamaan pada anak dengan
gangguan pendengaran (Kaipa & Danser, 2016). AVT meningkatkan keterampilan
pendengaran, memori jangka pendek, memori kerja, pemrosesan linguistik,
perencanaan dan organisasi pada anak-anak dengan CI. Dalam penelitian ini
dijelaskan pula dengan identifikasi dini, amplifikasi yang tepat dan AVT yang
efektif dengan partisipasi orang tua, hingga 80% anak tunarungu dapat berhasil
dalam pendidikan reguler (Fobi & Oppong, 2019). Perkembangan bahasa dan
sosio-emosional sangat erat kaitannya dengan keterampilan sosial (socialskill)
yang dimiliki oleh anak-anak, karena keterampilan sosial meliputi kemampuan
berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri mereka
sendiri dan orang lain, serta dapat memberi dan menerima kembali dari orang
lain yang ada di sekitar. Anak-anak yang terganggu secara emosional menunjukkan
perilaku yang terlalu berlebihan dalam mengekspresikan emosi negatif. Misalnya,
dengan sering mengamuk, berteriak dan melakukan tindakan impulsive (Fitriyani et al., 2019). Hal inilah yang bisa terjadi pada
anak dengan gangguan pendengaran. Sehingga intervensi dini dengan penggunaan
teknologi pendengaran yang disesuaikan dan terapi yang tepat salah satunya
Auditory Verbal Therapy sangat dibutuhkan guna mengoptimalkan perkembangan bahasa
yang berdampak pula pada perkembangan sosial emosional anak dan perkembangan
lainnya.
�
Kesimpulan
Dari 7 literatur diatas
dapat disimpulkan bahwa ketika anak sudah terdeteksi gangguan pendengaran, maka
intervensi segera juga harus segera diaplikasikan, yaitu dengan menggunakan
akses teknologi pendengaran seperti Alat Bantu Dengar (ABD) atau koklear
Implant yang disesuaikan dengan derajat pendengaran dan sisa pendengaran anak.
Dengan metode Auditory Verbal Therapy (AVT) pada anak, tujuannya adalah
anak tidak lagi menggunakan bahasa isyarat dan pada akhirnya bisa berkomunikasi
layaknya anak normal lainnya, sehingga menimbulkan rasa percaya diri saat
berkomunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan disekitarnya yang berpengaruh
pula pada kualitas hidup dan pendidikan anak selanjutnya. Berdasarkan studi
literatur review ini membuktikan bahwa deteksi dan intervensi dini dengan
pemberian akses teknologi pendengaran, implementasi AVT yang disertai peran
aktif orang tua dan stimulasi yang baik akan memberikan dampak dan perkembangan
bahasa yang baik sehingga menunjang pula bagi perkembangan sosial emosional
anak dan perkembangan lainnya. Yang tentunya metode AVT ini disesuaikan dengan
usia saat anak mulai mendengar dengan alat bantu pendengaran. Auditory Verbal Therapy
(AVT) bukanlah satu-satunya terapi untuk anak dengan gangguan pendengaran,
diharapkan untuk penelitian selanjutnya memberikan gambaran mengenai terapi
atau metode lain yang juga sangat membantu perkembangan anak dengan gangguan
pendengaran. Diharapkan pula untuk pemerintah bisa menerapkan kebijakan hearing
screening pada bayi baru lahir di setiap fasilitas kesehatan sehingga anak
dengan gangguan pendengaran bisa terdeteksi lebih dini dan tidak terlambat
dalam melakukan intervensi.
BIBLIOGRAFI
Akbari, R. L., Khan, M. S. G., & Arshad, H.
(2017). Effectiveness of Auditory Verbal Therapy in Children with Cochlear
Implantation and Hearing Aid Users: JRCRS. 2017; 5 (1): 8-11. Journal Riphah
College of Rehabilitation Sciences, 5(1), 8�11.
Ashori, M. (2022). Impact of Auditory-Verbal Therapy on
Executive Functions in Children with Cochlear Implants. Journal of Otology.
Awad, R., Oropeza, J., & Uhler, K. M. (2019). Meeting the
joint committee on infant hearing standards in a large metropolitan children�s
hospital: Barriers and next steps. American Journal of Audiology, 28(2),
251�259.
Fitriyani, F., Sumantri, M. S., & Supena, A. (2019).
Language development and social emotions in children with speech delay: case
study of 9 year olds in elementary school. Jurnal Konseling Dan Pendidikan,
7(1), 23.
Fobi, D., & Oppong, A. M. (2019). Communication
approaches for educating deaf and hard of hearing (DHH) children in Ghana:
historical and contemporary issues. Deafness & Education International,
21(4), 195�209.
Gunawan, I., & Palupi, A. R. (2016). Taksonomi
Bloom�revisi ranah kognitif: kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran,
dan penilaian. Premiere Educandum: Jurnal Pendidikan Dasar Dan Pembelajaran,
2(02).
Haliza, N., Kuntarto, E., & Kusmana, A. (2020).
Pemerolehan bahasa anak berkebutuhan khusus (tunarungu) dalam memahami bahasa. Metabasa:
Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pembelajaran, 2(1).
Handokoa, W. B., Etikaa, R., Hariantoa, A., & Purnami, N.
(2021). Effects of Low Birth Weight Babies on Cochlear Function In Newborns at
Dr Soetomo Hospital Surabaya. Malaysian Journal of Medicine and Health
Sciences, 17(2), 234�238.
Hartanto, W. S. (2018). Deteksi keterlambatan bicara dan
bahasa pada anak. Cermin Dunia Kedokteran, 45(7), 545�550.
Heriyanti, H. (2020). Metode Auditory Verbal Therapy (Avt)
Dalam Pengembangan Kemampuan Komunikasi Anak Tunarungu Pengguna Cohlear Implant
(Ci) Di Sekolah Inklusi Aluna Jakarta Selatan. Seminar Nasional Ilmu Pendidikan
Dan Multi Disiplin, 3.
Jauhari, J. (2020). Deteksi Gangguan Pendengaran pada Anak
Usia Dini. GENIUS: Indonesian Journal of Early Childhood Education, 1(1),
61�71.
Kaipa, R., & Danser, M. L. (2016). Efficacy of
auditory-verbal therapy in children with hearing impairment: A systematic
review from 1993 to 2015. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology, 86, 124�134.
Lim, S. Y. C., & Simser, J. (2005). Auditory-verbal
therapy for children with hearing impairment. Ann Acad Med Singapore, 34(4),
307�312.
Maulana, M. S. (2020). in Late Diagnosed Congenital Hearing
Loss with Delayed Speech: A Case Report. Aulad: Journal on Early Childhood,
3(3), 139�148.
Purnami, N., Dipta, C., & Rahman, M. A. (2018).
Characteristics of infants and young children with sensorineural hearing loss
in Dr. Soetomo Hospital. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 48(1),
11�17.
Putri, R. N. (2020). Indonesia dalam menghadapi pandemi
Covid-19. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 20(2),
705�709.
PUTRI, S. A., & PURBANINGRUM, E. (2020). Studi
Deskriptif: Implementasi Auditory Verbal Therapy Terhadap Keterampilan
Berbahasa Anak Tunarungu. Jurnal Pendidikan Khusus, 15(1).
Rahardja, D. (2010). Pengantar Pendidikan Luar Biasa
(Ortopedagogik). Surabaya: UNESA Press.
Ratih, H., & Rini, A. P. (2015). Pengaruh Auditori Verbal
Therapy Terhadap Kemampuan Penguasaan Kosa Kata Pada Anak Yang Mengalami
Gangguan Pendengaran. Jurnal Psikologi Indonesia, 4.
Sarry, S. M., & Ervika, E. (2018). Parental Emotional
Coaching Untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu. Prosiding
Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(2), 117�123.
Sholehen, A., Pralampito, F., Galih, A., Ghaus, A., Airina,
A., & Purnami, N. (2020). The role of family intervention in early
detection of congenital deafness: a case study. Journal of Community
Medicine and Public Health Research, 1(2), 97�104.
Warasanti, E. S., Purnami, N., & Soeprijadi, S. (2020).
Comparison Results of Automated Auditory Brainstem Response and Brainstem
Evoked Response Audiometry for Hearing Loss Detection in High-risk Infants. Open
Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 8(B), 593�596.
Copyright holder: Zamrotu Iva Purwanti, Neni Asmawati Putri, Eka Marta Puspita
Rini,� A.C Romdhoni, Ahmad Suryawan (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |