������������������������� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541 0849

��������������������������� e-ISSN : 2548-1398

��������������������������� Vol. 2, No 5 Mei 2017

PERANHUKUM MARITIM TERHADAP HASIL TANGKAPAN NELAYAN DI WILAYAH PERBATASAN

 

Andres Romulus

Akademi Maritim Cirebon

[email protected]

 

Abstrak

Hukum maritime adalah hukum yang ditegakan untuk melindungi hak negara pantai. Pada penerapannya hukum maritime digunakan untuk beberapa aspek seperti wilayah, ketentuan eksloitasi sumber daya laut, hingga pemanfaatan segala bentuk sumber daya laut. Indonesia ialah satu dari beberapa negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Dengan alasan ini, serta untuk melindungi hak Indonesia selaku negara pantai, Indonesia telah menentapkan dasar hukum dan/atau perundang-undangan yang bertalian dengan kemaritiman. Salah satu undang-undang yang digunakan Indonesia untuk sektor kemaritiman adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Undang-undang tersebut merupakan aturan yang dimanfaatkan untuk mengatur pemanfaatan SDA dalam sektor perikanan. Kendati demikian, keberadaan UU tersebut tidak begitu menguntungkan nelayan lokal, khususnya nelayan yang berada di wilayah perbatasan. Pada awal penetapan undang-undang memberikan dampak baik dengan menurunkan kasus illegal fishing sebanyak 322 kasus di tahun 2004. Namun pada proses UU tersebut tidak berpengaruh pada tahun-tahun berikutnya. Karena tahun pada berikutnya jumlah kasus terkesan fluktuatif hingga kenaikan signifikan di tahun 2013 yang mencapai 2.000 kasus lebih. Tidak hanya meningkatkan kuantittas illegal fishing. Tumpang tindih aturan tersebut juga membuahkan kebingungan nelayan dan penurunan hasil tangkapan, sepertiSumatra Utara, Riau, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau. Kasus di atas mengarahkan pandangan bahwa UU Kemaritiman tidak begitu baik dalam menjaga hasil tangkapan ikan nelayan di wilayah perbatasan.

 

Kata Kunci: Hukum Maritim, Tangkapan Nelayan Wilayah Perbatasan

 

Pendahuluan

Indonesia ialah negara kepulauan dengan garis pantang terpanjang di dunia.Di samping menyandang predikat tersebut, Indonesia juga dikenal memiliki potensi sumber daya laut yang besar. Jika dirata-ratakan potensi hasil tangkapan laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton pertahun (Ridwan Lasabuda: 2013). Hasil 6,4 juta ton tersebut terbagi ke dalam beberapa jenis tangkapan, seperti ikan pelagis besar (1,16 juta ton), pelagis kecil (3,6 ton), demersal (1,36 ton) serta jenis-jeis lain seperti cumi, udang dan lainnya.

����� Selain memiliki potensi laut sebagaimana yang dipaparkan di atas, Indonesia juga diberkahi dengan pesona alam yang juga bagus. Keindahan alam nusantara memang terkenal mempesona, tidak terkecuali dengan indahan bahari. Banyak wisatawan asing maupun lokal yang memuji keindahan laut Indonesia. Dari sekian wisata yang dimiliki, wilayah seperti Labuan Bajo, Wakatobi, Alor, Bali, Bunaken, Raja Ampat dan Alor (Liputan6: 2017).Pada proses pelaksanaannya wisata bahari di nusantara telah dikembangkan dengan pengembangan yang relatif variatif.

����� Namun seperti yang diketahui, variasi pengembangan untuk wisata bahari di Indonesia tidak sama dengan variasi pemerintah untuk mengatasi pencurian ikan. Menurut data yang penulis himpun, Kementerian Kelautan dan Perikanana telah menangkap 163 kapal yang terbukti melakukan pencurian ikan (illegal fishing) sepanjang 2016 (Tempo: 2017). Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibanding dengan 2015 yang hanya 108 dan 2014 yang hanya 38 kapal saja.

����� Indonesia sendiri adalah negara maritim yang berbatasan langsung dengan beberapa negara. Hal ini menguatkan persepsi bahwa Indonesia ialah negara rawan pencurian ikan (illegal fishing). Pada umumnya pencurian ikan dilakukan oleh beberapa kapal asing yang menyusup ke perairan Indonesia. Setelah masuk kapal-kapal tersebut kemudian melakukan tindakann pencurian ikan atau illegal fishing. Pada pelaksanaannya illegal fishing biasa dilakukan pada daerah-daerah perbatasan seperti perairan Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Daerah-daerah yang tadi disebutkan merupakan daerah NKRI yang berbatasan langsung dengan beberapa tetangga, seperti; Filipina, Thailan, Malaysia, dan laut Cina Selatan. Artinya daerah yang disebutkan di atas merupakan daerah yang masuk dalam kategori daerah rawan pencurian ikan akibat berada di tapal batas NKRI.

Dari sudut pandang hokum, Indonesia ialah negara yang telah memberlakukan UU kemaritiman. Namun pada pelaksanaannya UU tersebut terganjal akibat beberapa permasalahan internal seperti tata kelola wilayah, kebijakan daerah, dan lain sebagainya. Untuk kasus illegal fishing (pencurian ikan) Indonesia telah memiliki undang-undang yang khusus mengatasi kasus illegal fishing. Adapun undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam undang-undang tersebut jelas dikatakan bahwa pencurian ikan dan/atau illegal fishing adalah kegiatan pencarian ikan yang di dalamnya melibatkan pelanggaran SIUP, SIPI, penggunaan bahan kimia, peledak, serta bahan-bahan lain yang membahayakan keberlangsungan ekosistem laut.

����� Adanya undang-undang dan/atau peraturan yang mengatur tindak pidana illegal fishing memang memberikan kesan baik untuk masyarakat, khususnya nelayan. Namun, jika menilik banyaknya permasalahan illegal fishing yang terjadi belakangan tahun terakhir, serta kerugian negara yang mencapai angka Rp 260 triliun karena tindak pidana illegal fishing, timbul pertanyaan mengenai eksistensi undang-undang tindak pidana illegal fishing ( Katadata: 2016).

Dengan jumlah permasalahan yang ada sekarang banyak publik yang menanyakan perihal eksistensi perudang-undangan terkait. Tidak hanya mengenai undang-undang, pertanyaan masyarakat juga muncul perihal peran negara dalam menangani masalah tersebut. Mengingat jika melihat kerugiannya, tindak pidana illegal fishing (pencurian ikan) merupakan perkara yang serius, sehingga harus ditangani dengan penanganan yang serius pula. Karena di samping kekhawatiran mengenai kerugian keuangan, tindak pidana illegal fishing dan/atau pencurian ikan juga mengarah pada kerugian nelayan lokal akibat lahan penghidupannya dieksploitasi pihak asing.

Berlandaskan kegelisahan tersebut penulis kemudian menyusun karya tulis ilmiah dengan judul Peran Hukum Maritim Terhadap Hasil Tangkapan Nelayan di Wilayah Perbatasan. Karya tulis ilmiah tersebut diharapkan mampu menjawab pertanyaan masyarakat mengenai peran hukum maritim dan peran negara dalam melindungi aset perikanan RI serta hasil laut untuk nelayan lokal yang terletak di tapal batas NKRI.

Metodologi Penelitian

Studi kepustakaan adalah metode yang dinilai tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Di samping pelaksanaan dan tahapannya yang dinilai mudah, studi kepustakaan juga tidak menuntut peneliti untuk turun tangan guna melakukan observasi langsung pada tempat penelitian. Menurut Soeworno (2006), studi kepustakaan adalah kegiatan dan/atau tindakan yang dilaksanakan dengan cara membaca buku referensi serta hasil penelitian yang guna mendapat landasan teori. Sedangkan menurut Mardalis (1999), studi kepustakaan adalah kegiatan pengumpulan data yang memanfaatkan bantuan beruba buku, dokumen, catatan, dan materian kepustakaan lain untuk digunakan sebagai landasan teori.

����������� Subjek dalam penelitian ini ialah nelayan daerah perbatasan (meliputi; Sumatra Utara, Bangka Belitung, Riau, Kepulauan Riau, serta beberapa daerah di sekitarnya). Objek yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah hokum maritime yang berlaku di Republik Indonesia. Waktu penelitian dimulai dari awal hingga akhir Februari 2017. Karena merupakan studi kepustakaan peneliti menempatkan tempat penelitian di ruang perpustakaan, tempat kerja, atau tempat peneliti.���

Untuk teknik pengumpulan data peneliti menggunakan studi dokumentasi. Studi dokumentasi sendiri adalah kajian dokumen yang dilakukan peneliti guna memperoleh data mengenai objek penelitian. Pada proses penerapannya teknik pengumpulan data ini ditujukan untuk subjek penelitian sendiri pihak yang memiliki informasi lebih terkait data-data dalam penelitian.

Ada tiga teknik analisis yang dipergunakan, yakni reduksi data, penyajian data serta simpulan. Reduksi data adalah kegiatan pengumpulan, penghimpunan, seleksi serta pengabstrakan datakasar yang didapat dari lapangan. Sedangkan penyajian data sendiri diartikan sebagai rangkaian organisasi informasi yang mempermudah jalannya suatu penelitian. Adapun untuk penarikan simpulan diartikan sebagai proses ekstraksi yang dilakukan penulis/peneliti guna menemukan intisari dari hasil dan pembahasan penelitian.

Pembahasan

 

Secara umum perairan Indonesia memiliki luas tiga kali lipat dari wilayah daratan. Menurut data yang penulis himpun dari wikipedia.id (2017), luas perairan Indonesia mencapai 3,2 juta KM2, jauh lebih luas dibanding wilayah daratan yang hanya mencapai 1,9 juta KM2. Kondisi perairan yang demikian tentu memudahkan Indonesia dalam mengatur dan/atau mengelola sumber daya alam berbasis laut. Mengingat semakin luas perairan sebuah negara, semakin baik pula kuantitas hasil laut yang mungkin didapat. Di sisi lain, iklim Indonesia yang relatif tropis juga menguntungkan masyarakat, mengingat dengan iklim tersebut merupakan iklim kesukaan biota laut. Tercatat ada 147 ikan yang sudah diidentifikasi dari jutaan jenis ikan yang ada. 147 jenis ikan tersebut merupakan 9 spesies ikan sidat, 64 spesies ikan pari, 62 spesies ikan hiu, dan 12 spesies ikan terbang (LIPI: 2012). Jumlah tersebut merupakan jumlah yang masih minor dan terus akan berkembang seiring meningkatnya ilmu pengetahuan dan riset.

Merujuk dari informasi yang tersaji di atas, bukan hal mustahil jika Indonesia berhasil memperoleh ribuan ton ikan pertahunnya. Di tahun 2014 tercatat Indonesia telah memperoleh hasil laut sebanyak 6,03 juta ton ikan (BPS: 2014). Jumlah tersebut ialah akumulasi hasil laut dari beberapa daerah produktif seperti Maluku, Sulawesi, dan lainnya.

Tabel 1

Rekapitulasi Hasil Laut Indonesia Tahun 2010-2014

Tahun

Kuantitas Hasil Laut

2010

5.039.446

2011

5.345.729

2012

5.435.633,19

2013

5.707.012

2014

6.037.654

����������������������� ��� Sumber: BPS (2014)

Tabel di atas menunjukan bahwa hasil laut Indonesia sepanjang 2010 � 2014 mengalami peningkatan yang relatif baik. Di tahun 2010 Indonesia berhasil mendapat sekurang-kurangnya 5,03 juta ton hasil laut, angka tersebut kemudian naik menjadi 5,34 juta ton pada tahun 2011. Peningkatan sendiri tidak hanya berhenti di tahun 2011. Di tahun berikutnya, yakni tahun 2012, Indonesia kembali mengalami peningkatan hasil laut dan menembus angka 5,4 juta ton. Peningkatan pun terus terjadi di tahun 2013. Di tahun tersebut Indonesia berhasil memperoleh hasil laut sebanyak 5,7 juta ton dan naik menjadi 6,03 juta ton pada tahun 2014.

Jika dibandingkan jumlah hasil laut di tahun 2010 ke tahun 2014, Indonesia berhasil meningkatkan hasil laut sebanyak 1 juta ton. Angka tersebut merupakan prestasi yang sangat baik meningat masih banyak keterbatasan nelayan nasional yang memiliki kekurangan, baik dari sektor alat maupun pengadaan bahan bakar.

Tingginya hasil laut Indonesia serta total perairan Indonesia yang luas membuat nelayan asing tergiur untuk masuk dan melaut di Indonesia. Namun tidak semua kapal asing melakukan kegiatan pencarian ikan dengan cara positif, banyak pula dari nelayan asing yang menggunakan cara negatif guna melaut di NKRI. Beberapa cara umum yang kerap dilakukan nelayan asing adalah dengan menggunakan bahan peladak, zat kimia, pukat harimau, serta alat dan bahan yang berportensi merusak ekosistem laut RI. Tidak hanya pada pelaksanaan pencarian ikan yang demikian. Pelanggaran juga kerap dilakukan kapal asing dengan tidak menyertakan kelengkapan kapal dan aktivitas pencarian ikan seperti SIUP dan SIPI. Jika merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, ketiadaan surat kelengkapan kapal dalam kegiatan pencarian ikan dapat menjerumuskan kapal tersebut ke dugaan illegal fishing. Lebih jauh, jika kapal bersangkutan ditangkap pihak berwajib, bukan hal yang mustahil jika kapal akan ditahan, bahkan diproses dan dibakar sebagaimana kasus-kasus illegal fishing beberapa waktu terakhir.

Pencurian ikan di Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru. Bahkan, dari 3 tahun terakhir, Indonesia telah kecolongan lebih dari 100 permasalahan illegal fishing. Lebih lagi kasus yang terjadi mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Tabel 2

Data Pencurian Ikan Tahun 2001 � 2012

 

Tahun

Kuantitas

2001

155

2002

210

2003

522

2004

200

2005

174

2006

216

2007

184

2008

243

2009

203

2010

183

2011

104

2012

75

2013

2.433

����������������������������������� �������� Sumber: Tempo (2014)

Dari tabel yang tersaji di atas terlihat jelas bahwa dari 2001 ke 2013 terjadi banyak peningkatan dan/atau penurunan kuantitas permasalahan illegal fishing. Jika menilik dari data dan informasi di atas peningkatan teringgi kedua terjadi dalam waktu 2002 ke 2003. Pada tahun 2002 kuantitas kasus pencurian mencapai angka 210 dan melonjak 312 kasus menjadi 522. Kelonjakan tersebut merupakan yang paling tinggi. Hal ini terjadi akibat pada tahun tersebut belum diterapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Sehingga pencarian ikan illegal merupakan tindakan legal selama belum ada peraturan mengenai hal tersebut.

Jika pada rentang tahun 2002 ke 2003 mengalami peningkatan jumlah kasus meningkat sebanyak 312 kasus, pada rentang waktu 2003 ke 2004 permasalahan pencurian ikan mengalami penurunan. Pada tahunjumlah permaslaahan pecurian ikan berjumlah 522 sedangkan pada tahun 2004 permasalahan pencurian ikan berjumlah 200. Jika dikalkulasikan, pada rentang tahun tersebut terjadi penurunan hingga 322 kasus. Penurunan kasus sendiri tidak lain karena mulai diberlakukannya perundang-undangan yang mengatur dan/atau mengawasi permasalahan perikanan, sahingga jumlah kasus mengalami penurunan.

Namun demikian, kendati mengalami penurunan, jumlah kasus beberapa tahun seteahnya kembali mengalami kenaikan dan penurunan yang fluktuatif dan mencapai puncaknya di tahun 2013. Menurut data yang penulis himpun, kondisi fluktuatif tersebut diakibatkan oleh adanya dua aturan yang cenderung berbenturan. Adapun aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 dengan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004.Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2002 terdapat peraturan yang memperbolehkan kapal melakukan alih muatan, atau transit muatan dari kapal satuke yang lain.

Dapat dilihat pada tabel di atas, pasca penetapan peraturan menteri tersebut, total kasus illegal fishing mencapai puncaknya dan menembus angka 2.433 kasus. Jumlah tersebut sangat fantastis mengingat seberapa banyak kerugian yang diperoleh negara karena kondisi tersebut.

����������� Tidak hanya negara, ketimpangan hukum tersebut juga dialami beberapa nelayan di daerah perbatasan, khususnya daerah dengan wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Hasil laut nelayan pada daerah-daerah tersebut mengalami penurunan pasca ditetapkannya peraturan menteri tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis paparkan tabel kuantitas penangkapan ikan di daerah Sumatra Utara, Riau, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau:

 

 

 

 

Tabel 3

Kuantitas Hasil Penangkapan Ikan

Daerah

Penerapan Permen KKP

Total Kehilangan

Sebelum

Sesudah

Sumatra Utara

510.552

508.359

2.193

Riau

95.609

93.279

2.330

Bangka Belitung

202.565

199.243

3.322

Kepulauan Riau

147.310

140.597

6.713

����������� Sumber: BPS (2014)

Tabel di atas memperlihatkan jelas bahwa pasca penetapan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2012, jumlah hasil laut di daerah tersebut mengalami penurunan. Beberapa contoh nyatanya adalah daerah Sumatra Utara, Riau, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Pasca penerapan peraturan menteri tersebut rata-rata hasil laut di daerah tersebut turun hingga 3,2 ribu ton. Bahkan untukkepulauan Riau harus menelan kerugian karena harus kehilangan 6.713 ton ikan.

Jika merujuk dari data dan informasi di atas, jelas bahwa hukum maritim Indonesia masih terkesan tumpeng tindih dan terkesan lemah. Hukum maritim untuk wilayah perbatasan seperti Sumatra Utara, Bangka Belitung, Riau dan Kepulauan Riau cenderung buruk. Hal tersebut tergambar dari maraknya pencurian ikan melalui alih muatan yang disahkan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012. Peraturan tersebut berbenturan dengan Undang-Undang RI Nomor 31 mengenai Perikanan dan memudahkan pelaku pencurian ikan (illegal fishing) untuk melakukan tindak pidana pencurian ikan di laut NKRI.

Kesimpulan:

Dari uraian dan pembahasan di atas diperoleh beberapa kesimpulan seperti berikut:

1.      Hasil tangkapan ikan nelayan Indonesia mengalami peningkatan untuk rentang tahun 2010 ke 2014.

2.      Terjadinya kenaikkan fluktuatif untuk kasus illegal fishing (pencurian ikan) di laut NKRI.

3.      Kenaikan kasus pencurian tertinggi terjadi pada tahun 2013 dan melibatkan 2.433 kasus pencurian ikan.

4.      Peningkatan kasus illegal fishing (pencurian ikan) yang signifikan kurang lebih diakibatkan oleh disahkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 sebagai salah satu faktornya.

5.      UU RI Nomor 31 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 terkesan berbenturan.

6.      Kondisi hukum maritim yang kurang kondusif menyebabkan kondisi yang fluktuatif pada kasus pencurian ikan.

7.      Daerah Sumatra Utara, Riau, Bangka Belitung, dan Kepualauan Riau yang notabene merupakan daerah yang bertasan langsung dengan Malaysia dan Singapura melalui laut mengalami penurunan hasil laut pada tahun 2012 � 2013.

8.      Karena merupakan daerah perbatasan daerah-daerah tersebut disinyalir menjadi lahan terbaik untuk melakukan tindak pencurian ikan dengan memanfaatkan alih muatan yang disahkan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Provinsi dan Subsektor (ton) 2000 � 2014. Disudur dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1705 (22 Mei 2017)

Indonesia. 2004. Undang-Undang Tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004.

Katadata. 2016. Jokowi: Indonesia Rugi Rp 260 Triliun Akibat Pencurian Ikan. Disudur dari http://katadata.co.id/berita/2016/10/10/jokowi-indonesia-rugi-rp-260-triliun-akibat-pencurian-ikan (22 Mei 2017).

Lasabuda, Ridwan. 2013. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan Dalam Perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia. Manado: Jurnal Ilmiah Platax Volume 1 Nomor 2 Tahun 2013.

LIPI. 2010. Sensus Biota Laut 147 Spesis Ikan Laut Ditemukan. http://lipi.go.id/berita/single/sensus-biota-laut-berhasil-identifikasi-147-spesies-ikan/7704 DIsudur tanggal 21 Mei 2017.

Liputan 6. 2017. 11 Destinasi Wisata Terbaik Untuk Pecinta Diving. Disudur Dari: http://lifestyle.liputan6.com/read/2909284/11-destinasi-wisata-bahari-terbaik-untuk-para-pecinta-diving (22 Mei 2017).

Mardalis. 1999. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Soewarno, Wiji. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Tempo. 2014. 100 Kapal Asing Curi Ikan di Indonesia. Disudur dari https://m.tempo.co/read/news/2014/01/08/092543036/100-kapal-asing-curi-ikan-di-indonesia-tiap-tahun (22 Mei 2017)

Tempo. 2017. Selama 2016 Menteri Susi Berhasil Tangka[ 163 Kapal Ilegal. Disudur Dari https://m.tempo.co/read/news/2017/01/07/092833493/selama-2016-menteri-susi-tangkap-163-kapal-ilegal (22 Mei 2017).

Wikidia. 2017. Indonesia. Disudir Dari https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia (22 Mei 2017).