Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 12,
Desember 2022
PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KARYA SENI DIGITAL NON-FUNGIBLE TOKEN (NFT) BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
Tasya
Patricia Winata,
Christine S.T. Kansil
Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Perkembangan teknologi digitalisasi telah melahirkan
teknologi baru yaitu blockchain yang mendorong kemunculan aset digital baru
berbentuk karya seni digital yang dapat diperdagangkan pada galeri seni
digital, dengan dicetaknya suatu kode unik yang mewakili kepemilikan karya seni
digital disebut sebagai non-fungible token (NFT). Sebagai teknologi baru NFT di
Indonesia belum memiliki dasar hukum yang jelas, namun bentuk yang diwakili NFT
adalah karya seni, maka terdapat hak cipta yang pengaturannya diatur dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC). NFT memiliki
keunggulan yang dapat membantu dalam melindungi hak cipta suatu karya terutama
dari segi pembuktian, namun terdapat kelemahan karena belum adanya skema
penyaringan originalitas karya yang dicetak NFT memungkinkan karya yang dicetak
NFT adalah karya miliki pencipta lain yang diambil secara tidak sah menyebakan
pelanggaran hak cipta. Dengan adanya hal tersebut menjadi permasalahan sejauh
mana perlindungan hukum yang diberikan UU HC pada suatu karya seni digital NFT.
Metode penelitian yang digunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan dan bahan studi kepustakaan. Hasil pembahasan
didapatkan NFT secara umum diatur UU HC, namun adanya kekosongan regulasi
khusus dari NFT dan belum ada sistem penyaringan serta kebijakan dari
marketplace NFT yang minim membuat pelanggaran hak cipta masih terjadi.
Kata
Kunci:
Non-Fungible Token, Hak Cipta, Karya Seni Digital.
Abstract
The development
of digitization technology has given birth to a new technology, namely
blockchain which encourages the emergence of new digital assets in the form of
digital artworks that can be traded at digital art galleries, by minting a
unique code that represents the ownership of digital artworks known as
non-fungible tokens (NFT). As a new technology, Indonesia does not yet have a
specific regulation on NFT, but the form represented by NFT is artwork, whose
regulation is regulated in Law Number 28 of 2014 concerning Copyright (UU HC).
NFT has the advantage of being able to help protect the copyright of a work,
especially in terms of proof, Still there are weaknesses because there is no
mechanism for filtering the originality of minted works. NFT allows works
minted by NFT belonging to other authors that were stolen illegally causing
copyright infringement. Bearing in mind, it becomes a problem to what extent
the legal protection given by UU HC to digital artwork NFT. The research method
used is normative juridical research with a statute approach and literature
study materials. The discussion results found that NFTs are generally regulated
by UU HC, but there is a void in specific regulations from NFTs and there is no
filtering system and policies from the NFT marketplace that are limited making
copyright infringement still occur.
Keywords: Non-Fungible
Token, Copyright,
Digital Artwork
Pendahuluan
Hukum dan masyarakat merupakan
sesuatu yang tidak terpisahkan, hal ini berkaitan dengan kedudukan hukum sendiri
yang ditunjukan untuk menjadi pengendali sosial di masyarakat sehingga terdapat
kontrol akan tingkah laku masyarakat agar terhindar dari segala penyimpangan
beserta dampak yang dihasilkannya dalam bentuk tuntutan, larangan, sanksi,
ataupun ganti rugi. Suatu keniscayaan bahwa hukum harus terus berkembang dan
mengikuti perubahan di masyarakat itu sendiri, semata-mata agar terciptanya
perlindungan hukum yang berdasarkan Satjipto Rahardjo sebagai upaya untuk
melindungi kepentingan yang terdapat dalam diri seseorang dengan menempatkann
hak asasi masusia yang ada dalam kekuasaanya untuk bertindak memenuhi
kepentingan tersebut (Rosana,
2014).
����������� Manusia sebagai pemeran utama dalam kehidupan dianugerahi
kemampuan berpikir dan intelektual termasuk kemampuan untuk mewujudkannya yang
dituangkan dalam suatu karya pada bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan
sastra ataupun lainnya untuk mendukung kemajuan peradaban manusia itu sendiri.
Bahwa karya tersebut sifatnya tidak hanya terbatas pada kebutuhan fungsional,
tetapi atas inovasi, kreatifitas, waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan
telah menjadi aset yang bernilai dan bermanfaat secara ekonomi. Atas dasar
pemikiran tersebut munculnya hak kekayaan intelektual sebagai hak eksklusif,
bentuk pemberian apresiasi dan perlindungan bagi seorang inventor atau penemu
yang telah mengahasilkan karya temuan dan salah satu� pembagian dari hak kekayaan intelektual itu
adalah hak cipta (Disemadi
et al., 2021; Hidayah, 2017)
����������� Sejalan dengan perkembangan globalisasi terutama pada
kemajuan bidang teknologi dan informasi telah memberi dampak massif bagi
kehidupan manusia (Santoso
et al., 2020).� Digitalisasi menjadi sesuatu yang paling
utama pada masa ini produk konvensional yang sebelumnya berbentuk fisik telah
bertransformasi menjadi benda-benda digital begitu pula lahirnya aset digital (Savitri,
2019). Dengan kemunculan teknologi
baru yang dinamakan blockchain layaknya buku besar yang berisikan kumpulan data
dari segala pertukaran informasi dan transaksi. Dari penamaanya blockchain
terbagi menjadi 2 (dua) kata yaitu block dan chain (rantai), sistem ini
berjalan dengan memanfaatkan blok-blok tersebut yang berisikan data berhubungan
satu dengan lainya membentuk suatu rantai (Fadhillah
et al., 2022). Dalam pemanfaatan blockchain
timbul suatu aset digital dalam bentuk karya seni digital yang diperdagangkan
pada galeri seni digital di blockchain Ethereum, perdagangan karya seni digital
ini dimungkinkan karena adanya kode unik yaitu non-fungible token (NFT) (Alexander
et al., 2022). Singkatnya NFT sebagai kode
unik atau juga sertifkat yang mewakili kepemilikan suatu aset digital terutama
dalam bentuk karya seni, musik, fotografi, video maupun lainnya dan
diperjualbelikan pada platform marketplace NFT yang dibayarkan dengan
cryptocurrency melalui smart contract (Andryanto
et al., 2022). Contoh dari marketplace NFT
yang sering digunakan yaitu seperti OpenSea, Rarible, Known Origin, bahkan di Indonesia
sendiri terdapat marketplace NFT yaitu Enevti, Tokomall, Baliola, dan lainnya (Mayana
et al., 2022).
Safitri
(2022) kehadiran NFT memiliki daya
tarik sendiri serta menjadi media dalam memberdayakan para seniman terutama
dengan mengubah karya seni milik mereka menjadi NFT maka seniman dapat
mengontrol karya tersebut serta menjadi aset digital dan juga investasi jangka
Panjang yang dapat mereka perdagangkan untuk memperoleh keuntungan secara
langsung mengingat harga dari suatu NFT tidak dapat ditentukan, puncak fenomena
NFT dapat kita lihat pada tengah tahun 2021 dimana penjualan dari NFT itu
sendiri telah mencapai 2,5 miliar US dollar selain itu terdapat juga seniman
NFT layaknya Beeple desainer grafis yang menjual karya NFT nya �Everydays: The
First 5000 Days� senilai 69 juta US dollar dan bahkan di Indonesia sendiri NFT
menjadi terkenal sejak penjualan foto selfie berbentuk NFT oleh Ghozali
Everyday pada OpenSea salah satu marketplace NFT (Safe�i
et al., 2022). Gagasan awal daripada
penciptaan NFT adalah sebagai bentuk apresiasi kepada para seniman dan juga
menjadi masa depan HKI dalam hal memberikan perlindungan dari adanya
pelanggaran HKI selama ini mengingat NFT dibangun di atas sistem blockchain
memiliki tingkat keamanan yang kuat (Mayana
et al., 2022).
Gidete
et al. (2022) Suatu karya seni digital agar
tercatat NFT secara kriptografis dalam sistem blockchain harus melakukan
tokenisasi atau pencetakan NFT terlebih dahulu. Dengan terbitnya NFT tersebut
seniman dapat menjual karyanya secara peer to peer, memperoleh royalti,
sekaligus mempertahankan haknya sebagai pencipta, hal ini dikarenakan sifat
dari sistem blockchain sendiri yang mencatat orang pertama yang mencetak NFT
selamanya dikenal sebagai pencipta, namun pemilik NFT dapat berganti karena hal
ini dapat dialihkan melalui smart contract (Lestari
& Torbeni, 2022). Kehadiran NFT dari perspektif
hak cipta merupakan suatu sistem masa depan yang memberikan perlindungan bagi
karya seni digital mengingat hak cipta sendiri sebagai hak eksklusif yang
timbul ketika suatu karya diwujudkan bukan karena pencatatan. Dengan suatu
karya seni digital NFT dapat menjadi suatu�
bentuk pengumuman sekaligus pembuktian dari hak cipta yang terkandung
didalamnya dengan bantuan sistem blockchain yang menyimpan selamanya dari bukti
jejak kepemilikan dan transaksi dari karya seni digital� itu sendiri, namun dalam segala hal kita
harus melihat 2 (dua) sisi yaitu dalam kaitannya dengan karya terutama karya
seni digital yang sifatnya lebih publik akan selalu bersinggungan dengan adanya
itikad buruk dari pihak lain untuk memanfaatkan karya seni digital tersebut
secara tidak sah yang menimbulkan pelanggaran baik dari segi moral maupun
ekonomi dalam hak cipta.
����������� Sangat baik ketika pencipta asli dari karya seni yang
mencetak NFT itu sendiri karena akan menjadi bukti kuat mengingat sistem
pengakuan pencipta dan keaslian dari NFT adalah orang pertama yang mencetak
NFT, berbeda halnya jika NFT yang dicetak tersebut bukan merupakan karya pencipta
asli namun merupakan karya milik pencipta lain yang akan� menimbulkan ketidakadilan dan kerugian bagi
pencipta asli (Sutopo,
2022). Hal ini pula dapat dilihat
dari pernyataan OpenSea sebagai marketplace NFT pada twitternya dimana 80%
barang NFT yang dicetak pada platformnya adalah hasil plagiarisme, koleksi
palsu dan juga spam. Dalam hal terjadi perbuatan sedemikian maka ditinjau dari
sudut pandang pengaturan akan hak cipta dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta (UU HC), perbuatan tersebut telah melanggar hak eksklusif
yang dilindungi hak cipta terhadap suatu karya seni walaupun bentuknya adalah
karya seni digital baik berupa gambar, musik, video, animasi maupun koleksi
lain yang telah menjadi� NFT, namun di
Indonesia sendiri masih minim akan penindakan kasus-kasus terhadap pelanggaran
hak cipta pada karya seni, apalagi dengan adanya NFT yang belum memiliki
kedudukan pasti dan masih terjadi kekosongan hukum yang mengaturnya (Permana
et al., 2018).
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan sebelumnya dalam penulisan ini akan dibahas permasalahan mengenai:
Bagaimana perlindungan hukum terhadap karya seni digital non-fungible token
berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta?
Metode
Penelitian
Adapun dalam penulisan ini
menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan sifatnya deskriptif
analistis untuk menggambarkan dan menggali fakta hukum dan regulasi peraturan
perundang-undangan yang bersinggungan dengan isu hukum yang akan dibahas
terkait konteks plagiarisme karya seni gambar yang di didalamnya terkandung hak
cipta serta teknologi dari NFT itu sendiri (Efendi
& Ibrahim, 2016). Selain itu pendekatan
penelitian yang akan digunakan adalah perundang-undangan (statute approach),
dengan analisis data menggunakan metode analisis kualitatif serta teknik
pengumpulan data studi kepustakaan dan sumber bahan hukum yang digunakan berupa
bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan terkait yang terutama
adalah UU HC, dan bahan hukum sekunder berupa buku hukum, artikel maupun jurnal
publikasi.
Hasil dan
Pembahasan
A. Perlindungan Hukum
Terhadap Karya Seni Digital Non-Fungible Token (NFT) Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Segala sesuatu
yang lahir dari intelektual dan pengetahuan manusia baik� berupa karya di bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan, seni dan sastra serta lainnya yang diwujudkan menjadi nyata lewat
kerja keras, waktu, daya cipta, gagasan, dan bahkan biaya telah dianggap
sebagai suatu aset tersendiri berupa kekayaan intelektual. Kekayaan intelektual
ini menyangkut hak yang bentuknya privat dan eksklusif sebagai bentuk
perlindungan dan apresiasi diberikan oleh negara kepada para inovator dan
pencipta ini. Hak kekayaan intelektual (HKI) pada umumnya terbagi kedalam 2 hak
utama yang diatur yaitu hak cipta serta hak kekayaan industri yang didalamnya
mencakup merek, paten, desain industri, varietas tanaman, rahasia dagang, dan
juga desain tata letak sirkuit,. Salah satu HKI yang paling banyak
bersinggungan dengan fenomena yang terjadi di dunia saat ini adalah hak cipta.
Sejak terjadinya
era disrupsi digital dan teknologi hal-hal lama telah tergantikan dengan hal
yang baru dan lebih praktis serta efisien, begitupula dalam dunia seni dimana
karya seni yang dulunya ditemukan dalam bentuk media kanvas, kayu, batu dan
lainnya telah dikonversi menjadi suatu karya seni digital yang sejatinya
memiliki kesamaan akan adanya nilai terkandung dari seni tersebut baik bagi
penciptanya maupun para kolektor dan penikmat seni. NFT dalam hal ini telah
menjadi teknologi yang mewakili aset digital berupa karya seni digital. NFT
sendiri belum memiliki regulasi spesifik yang diatur di Indonesia begitupun
pada beberapa negara lain di dunia, telah menjadi hal yang lumrah terhadap
suatu inovasi yang baru belum memiliki pengaturan pada suatu negara hal ini
dikarenakan pemerintah harus menilai lebih jauh seberapa besar dampak dan
ancaman yang ditimbulkan pada masyarakat sehingga nantinya dapat diperoleh
produk hukum yang utuh dan menjangkau segala aspek perlindungannya.
�Dengan tidak adanya regulasi spesifik bukan diartikan
sebagai kebebasan untuk melanggar hak orang lain di dalamnya, jika dilihat dari
bentuk NFT itu sendiri yang berada pada sistem elektronik maka merujuk Pasal 25
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
ditegaskan bahwa setiap informasi dan dokumen yang berbentuk elektronik digital
yang dibentuk dan terkadung kekayaan intelektual didalamnya dilindungi oleh hak
kekayaan intelektual. Begitu pula dengan NFT yang sebenarnya hanya merupakan
kode unik mewakili karya seni digital maka karya seni digital merupakan inti
dari NFT sendiri adalah suatu hasil kekayaan intelektual dan dengan jelas
memiliki hubungan erat dengan segala sesuatu yang dilindungi dalam UU HC,
sebagai contoh NFT yang dijual sering kali berupa karya seni rupa berbentuk
gambar maka telah sepatutnya NFT berbentuk gambar tersebut sesuai dengan karya
yang dilindungi dalam Pasal 40 ayat (1) Huruf F UU HC begitu pula untuk
menentukan karya lainnya yang dilindungi lainnya dapat dilihat pada pasal a quo
UU HC.
Untuk melihat
kelebihan dan celah dari NFT itu sendiri dalam perspektif kekayan intelektual
yang ada di dalamnya maka perlu untuk diketahui lebih lanjut bahasan hak cipta
yang diatur dalam UU HC.� Hak cipta dalam
pengertian yang diberikan UU HC merupakan hak ekslusif dari sang pencipta yang
diperoleh dengan otomatis dan adanya prinsip deklaratif ketika suatu karya
dimanifestasikan menjadi bentuk yang nyata sepanjang mengikuti ketentuan pada
peratuan perundang-undangan termasuk pembatasan di dalamnya. Hak eksklusif itu
sendiri dibagi lagi menjadi hak moral diatur dalam Pasal 5 UU HC yang abadi
menempel pada pencipta untuk dikenali dan mempertahankan kehormatannya untuk
diakui sebagai seorang pencipta dalam hal terjadinya mutilasi, distorsi maupun
modifikasi terhadap ciptaanya sebagaimana hak ini tidak dapat dialihkan, dan
juga hak ekonomi diatur dalam Pasal 9 UU HC yang memberikan seorang pencipta
hak untuk memanfaatkan karya ciptaanya tersebut dalam memperoleh keuntungan
secara ekonomi, termasuk untuk menerbitkan, menggandakan, menerjemahkan,
mendistribusikan, mengumumkan, menunjukan, mengomunikasikan, menyewakan,
mengadaptasi, mengaransemen dan mentransformasi suatu� dimana hak ini dapat dialihkan kepada pihak
lain lewat suatu perjanjian berbentuk tertulis yang biasanya disebut sebagai
lisensi dari pencipta kepada pemegang hak cipta untuk menngunakan atau memiliki
karya tersebut berdasarkan izin pencipta dan memanfaatkan hak ekonomi nantinya.
Izin dari pencipta untuk menggunakan karya ciptan menjadi sesuatu yang esensial
untuk dapat terhindar dari adanya pelanggaran hak cipta itu sendiri.
Dengan
diperolehnya hak cipta secara otomatis ketika suatu karya telah selesai
dimanifestasi menjadi nyata maka NFT dan karya seni digital yang telah dicetak
NFT memang dilindungi oleh hak cipta namun yang menyebabkan hak cipta itu
timbul adalah karena adanya karya asli yang menjadi asal (prior art) karya seni
digital NFT tersebut baik bentuknya dari karya seni fisik maupun yang langsung
dibuat secara digital. NFT dalam hal ini hanyalah sebuah perwakilan dari karya
asli, serta dapat menjadi bukti kepemilikan karya dan untuk memepermudah
memperoleh keuntungan dengan memperdagangakannya, hal ini mengandung konsekuensi
dengan seseorang sebagai pencipta NFT bukan berarti Ia adalah pencipta dari
karya tersebut, namun pencipta asli yang diakui oleh hak cipta adalah pencipta
dari prior art.
Konsep NFT
yang memikat para pengguna adalah karena keunggulan karakteristiknya yaitu:
sifatnya yang unik dan tidak terpisahkan mengingat non-fungible sebagai sesuatu
yang tidak dapat dipertukarkan karena nilainya yang tidak sama menjadikan NFT
juga tidak dapat didenominasi dan mempertahankan keutuhannya; NFT juga dapat
diverifikasi dan dilacak mengingat sistem blockchain mencatat segala aktivitas
termasuk waktu yang terjadi di dalamnya mulai dari pencetakan NFT pertama kali,
pencipta, kepemilikan, pengalihan, sumber, termasuk segala transaksi yang ada,
data tersebut sifatnya transparan; dan terakhir NFT dapat diauntentikasikan
karena tersimpan pada blockchain yang sistemnya terdesentralisasi membuat NFT
tidak dapat dipalsukan, dihapus, diubah, dihancurkan, ataupun diduplikasi. NFT
hanya mengenali satu orang pencipta sebagai orang pertama yang melakukan
pencetakan NFT dan hal tersebut akan tidak dapat diubah serta tercatat
selamanya dalam sistem blockchain. Dengan penggunaan NFT menjadi sesuatu yang
menguntungkan bagi pencipta berhubungan dengan pengendalian dari hak moral dimana
Ia selamanya dikenal sebagai pencipta dan juga hak ekonomi yang didapatkan dari
penjualan karya marketplace NFT termasuk royalti.
Keunggulan
yang dimiliki NFT tersebut dapat membantu sebagai pembuktian dalam menegakan
dan melindungi hak cipta, namun keunggulan tersebut juga dapat menjadi celah
ekploitasi atas karya secara tidak sah dan bentuk pelanggaran dari hak cipta
mengingat� prior art dari karya seni yang
dijadikan NFT dapat saja diciptakan oleh pencipta yang berbeda yang tanpa
seizinnya diambil dan dicetak NFT serta dijual di marketplace NFT oleh pihak
lain mengingat sistem dari NFT yang tidak memiliki skema penilaian juga
penyaringan akan originalitas dan kepemilikan hak cipta dari karya, sehingga
siapapun dapat mencetak NFT serta apapun dapat dicetak NFT. Maraknya
pelanggaran hak cipta dalam dunia NFT telah terjadi di berbagai belahan dunia,
beberapa contoh kasusnya seperti Derek Laufman seorang seniman dan� illustrator yang menceritakan di Twitternya
bahwa terdapat pihak lain yang meniru identitasnya serta ditemukan karyanya
yang tanpa izin dicetak menjadi NFT oleh pihak lain dan dijual pada platform
marketplace NFT. Selain itu, penulis dari Tales From The Loop yaitu Simon
Stalenhag mengalami hal serupa dengan menemukan NFT atas karya seninya pada marketplace
Marble Cards. Di Indonesia sendiri kasus serupa terjadi kepada Kendra Ahimsa
atau Ardneks yang mengalami plagiarisme dengan pengambilan beberapa elemen dari
karyanya oleh Twisted Vacancy yang dimasukan dalam karya NFT nya dan dijual.
Menilik kasus-kasus
yang terjadi tersebut telah jelas bahwa terjadinya pencurian karya seni digital
(digital arth theft) oleh pihak lain termasuk bentuknya plagiarisme besar� bersinggungan dengan pelanggaran hak moral
dan pelanggaran hak ekonomi terhadap hak cipta yang dimiliki pencipta asli
sebagai pelanggaran hak cipta dan daripadanya dapat menimbulkan sanksi
hukum.� Secara implisit pelanggaran
tersebut diatur dalam Pasal 44 UU HC akan pembatasan dari penggunaan,
pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan dari suatu ciptaan dan/atau
produk hak terkait secara keseluruhan atau sebagian yang substansial tidak
dianggap sebagai pelanggaran hak cipta selama sumbernya disebutkan atau
dicantumkan secara lengkap, namun tidak untuk kepentingan komersil. Pada
kasus-kasus sebelumnya terdapat peniruan identitas, tidak menyebutkan sumber,
membuat suatu karya milik pencipta lain seolah-olah menjadi miliknya menjadi
suatu pelanggaran hak moral dari kehormatan pencipta untuk diakui sebagai
pencipta, selain itu telah terjadi juga pelanggaran ekonomi yang menimbulkan
kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung bagi pencipta dengan pihak
lain melakukan komersialisasi karya yang dicetak NFT tanpa izin pencipta
tersebut pada platform marketplace NFT.
Pelanggaran
yang diatur dalam UUHC bentuknya adalah delik aduan yang berarti perlu adanya
aduan dari pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut baru dapat
dilakukan tindakan hukum. Tindakan hukum atas pelanggaran hakcipta khususnya
pada hak ekonomi ini dalam UU HC dapat dilakukan secara keperdataan lewat
pengajuan gugatan ganti rugi ataupun secara pidana sesuai dengan ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 113 UU HC bagi mereka yang tanpa izin dari
pencipta maupun pemegang dari hak cipta melakukan komersialisasi karya dapat
diancam pidana penjara dan /atau pidana berupa denda. Adapun penyelesaian
sengketa pada hal-hal yang bersinggungan dengan hak cipta dapat dilakukan
melalui 2 mengacu pada Pasal 95 UU HC yaitu melalu jalan litigasi yaitu lewat
pengadilan dimana untuk masalah terkait hak cipta maka menjadi kewenangan
pengadilan niaga, serta terdapat jalan non litigasi dengan menempuh arbitrase
maupun cara lainnya yang terdapat daam alternatif penyelesaian sengketa
layaknya mediasi, negosiasi, konsiliasi, dan hal lainnya.
Mengingat
untuk menentukan terjadinya suatu pelanggaran hak cipta maka perlu juga
ditentukan pihak yang memiliki andil dan tanggung jawab, dengan adanya
pelanggaran hak cipta pada NFT maka tanggung jawab tidak hanya dipikul oleh
pelaku sebagai pihak yang melakukan tetapi pihak dari marketplace NFT juga
memiliki tanggung jawab. Dimana pengaturannya terdapat dalam Pasal 10 UU HC,
bahwa pihak marketplace NFT sebagai pengelola dari tempat perdagangan karya
seni tersebut tidak boleh mengabaikan penjualan maupun penggandaan karya hasil
dari perbuatan pelanggarn hak cipta. Dengan ditariknya pihak pengelola tempat
perdagangan yaitu platform marketplace NFT sebagai pihak yang ikut
bertanggungjawab dalam pelanggaran hak cipta maka sejatinya mereka menyediakan
kebijakan-kebijakan pada platformnya masing-masing sebagai bentuk pencegahan
dan penindakan yang mendukung perlindungan dari hak cipta karya seni digital di
dalamnya, namun hal ini pun masih sulit di praktikan karena kebijakan berbeda
dari tiap marketplace yang pembuatan kebijakannya belum memiliki regulasi hukum
khusus yang mengatur di negara Indonesia apalagi marketplace NFT mencakup pasar
internasional, termasuk masih tidak adanya skema yang melakukan penilaian
originalitas karya saat melakukan pencetakan NFT serta sistem blockchain yang
sifatnya terdesentralisasi dan pelacakan mudah dilakukan tetapi banyaknya
pengguna anonim menyebabkan tidak terdeteksinya pihak asli yang
bertanggungjawab.
Kesimpulan
Berdasarkan bahasan yang telah di uraikan sebelumnya terkait
permasalahan yang ditimbulkan NFT dan perlindungan hukum yang diberikan
didalamnya berdasarkan UU HC masih belum memadai karena pengaturannya yang
masih bersifat umum, maka terdapat saran lebih lanjut untuk menjadi solusi dari
permasalahan ini yaitu dengan membentuk produk hukum yang menegaskan kedudukan
hukum dari NFT itu sendiri di negara Indonesia termasuk kedudukannya sebagai
karya seni digital yang diwakili token tersebut di dalam UUHC, pemerintah juga
harus membuat peraturan khusus yang mengatur kewajiban-kewajiban dari platform
marketplace NFT untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta, termasuk mekanisme
pencantuman data diri dalam pembuatan akun sehingga tidak ada lagi kendala
terhadap penindakan hukum akun-akun anonim dan platform marketplace NFT sendiri
diharapkan untuk membuat suatu sistem penyaringan untuk menilai keaslian
karya-karya seni digital yang dicetak NFT didalamnya� dan juga menyediakan kebijakan penindakan
pelanggaran hak cipta ketika ditemukan seperti takedown, freeze account, dan
lainnya.
BIBLIOGRAFI
Alexander, S., Muhammad, Y. M., & Falahuddin, M. J.
(2022). NFT & Metaverse: Blockchain, Dunia Virtual & Regulasi
(Vol. 1). Indonesian Legal Study for Crypto Asset and Blockchain.
Andryanto, A., Mustika, N., Puteri, A. N., Rahmelina, L.,
Firdian, F., Siregar, M. N. H., Jamaludin, J., Indarta, Y., Rismayani, R.,
& Arni, S. (2022). Teknologi Metaverse dan NFT. Yayasan Kita
Menulis.
Disemadi, H. S., Yusuf, R. R., & Zebua, N. W. S. (2021).
Perlindungan Hak Eksklusif Atas Ciptaan Digital Painting Dalam Tatanan Hak
Kekayaan Intelektual Di Indoensia. Widya Yuridika: Jurnal Hukum, 4(1),
41�52.
Efendi, J., & Ibrahim, J. (2016). Metode Penelitian
Hukum: Normatif dan Empiris (Pertama). Prenadamedia Group.
Fadhillah, Y., Samosir, K., Angriawan, R., Jamaludin, J.,
Ardiana, D. P. Y., Parewe, A. M. A. K., Yuswardi, Y., Simarmata, J., Pakpahan,
A. F., & Multazam, M. T. (2022). Teknologi Blockchain dan
Implementasinya. Yayasan Kita Menulis.
Gidete, B. B., Amirulloh, M., & Ramli, T. S. (2022).
Pelindungan Hukum atas Pelanggaran Hak Cipta pada Karya Seni yang dijadikan
Karya Non Fungible Token (NFT) pada Era Ekonomi Digital. Jurnal Fundamental
Justice, 3(1), 1�18.
Hidayah, K. (2017). Hukum Hak Kekayaan Intelektual.
Setara Press.
Lestari, N. P. E. B., & Torbeni, W. (2022). Mengenal NFT
Arts Sebagai Peluang Ekonomi Kreatif Di Era Digital. SENADA (Seminar
Nasional Manajemen, Desain Dan Aplikasi Bisnis Teknologi), 5, 342�357.
Mayana, R. F., Santika, T., Pratama, M. A., & Wulandari,
A. (2022). Intellectual Property Development & Komersialisasi Non-Fungible
Token (NFT): Peluang, Tantangan dan Problematika Hukum Dalam Praktik. ACTA
DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, 5(2), 202�220.
Permana, I. G. A. K., Windari, R. A., & Mangku, D. G. S.
(2018). Implementasi Undang-Undang Nomor. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Terhadap Perlindungan Karya Cipta Program Komputer (Software) Di Pertokoan Rimo
Denpasar. Jurnal Komunitas Yustisia, 1(1), 55�65.
Rosana, E. (2014). Kepatuhan hukum sebagai wujud kesadaran
hukum masyarakat. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam, 10(1),
61�84.
Safe�i, A. P., Mayasari, M., & Ramdhani, M. (2022).
Framing Pemberitaan Non-Fungible Token Ghozali Everyday Di Cnnindonesia. Com
Dan Merdeka. Com. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 9(9),
3610�3616.
Safitri, A. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Konten
NFT (Non-Fungible Token) Menurut Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual.
Universitas Jambi.
Santoso, M. B., Irfan, M., & Nurwati, N. (2020).
Transformasi Praktik Pekerjaan Sosial Menuju Masyarakat 5.0. Sosio Informa:
Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 6(2), 170�183.
Savitri, A. (2019). Revolusi industri 4.0: mengubah tantangan
menjadi peluang di era disrupsi 4.0. Penerbit Genesis.
Sutopo, A. H. (2022). Membangun NFT Gallery berbasis
Metaverse. Topazart.
Copyright holder: Tasya Patricia Winata, Christine S.T. Kansil (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |