Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 5, No. 4 April 2020
�
BIAYA
PENGELUARAN SENDIRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESULITAN EKONOMI PASIEN
HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN CIREBON
��������
Meita Ayuditiawati, Shirly Kumala dan Prih Sarnianto
Universitas Pancasila
Jakarta
Email: [email protected], [email protected]
dan [email protected]
Abstract
Chronic Kidney Disease (CKD) was a global public
health problem with increasing prevalence and incidence, poor prognosis and
high costs. In Indonesia therapy Chronic Kidney Disease (CKD) was the most
preferred is hemodialysis. Hemodialysis therapy should be done regularly and
long lasting as well as a lifetime of giving rise to an economic burden and own
expenses.The purpose of this study was to determine the socio-demographic
relationship with economic difficulties and determinants that can affect
economic difficulties, the percentage of economic difficulties in CKD patients
with hemodialysis therapy and the largest component of own expenses in Cirebon
District Hospital.This study used a cross-sectional non-experimental design
with a purposive sampling. Primary data is obtained through patient interviews
with structured questionnaires and secondary data from patient medical records.
The research subjects were Hemodialysis patients in Cirebon District Hospital as
many as 100 patients.The data were analyzed using logistic regression to
identify the relationship between independent and dependent variables.
Multivariate results showed that there was a significant relationship between
the distance of the patient's house to the hospital OR 6.674 (1,444-30.85),
patient income OR 0.164 (0.027-1,000), health expenses OR 0.206 (0.008-0.228)
and hemodialysis duration OR 46.37 (4,171-515,488) with economic
difficulties.Patients with chronic kidney disease on hemodialysis economic
hardship as a result of 68% and the largest component of the expenses itself
are the cost of transport, eating and drinking at Rp.750.000/month
which caused economic hardship in patients with CKD in RSUD Cirebon.
Keywords: Out
Of Pocket Cost, Economic Difficulties, Hemodialysis, Cirebon District Hospital.
Abstrak
Terapi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang paling banyak dipilih di Indonesia adalah
hemodialisa. Hemodialisa harus dilakukan secara rutin dan berlangsung seumur
hidup sehingga menimbulkan beban ekonomi dan biaya pengeluaran sendiri. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui hubungan sosio-demografi dengan kesulitan
ekonomi dan faktor penentu yang dapat mempengaruhi kesulitan ekonomi serta komponen
terbesar biaya pengeluaran sendiri di RSUD Kabupaten Cirebon. Penelitian ini
menggunakan rancangan non ekperimental secara potong lintang (Cross Sectional) dengan pengambilan
sampel secara purposive sampling. Data
primer diperoleh� melalui wawancara
pasien dengan kuisioner terstruktur dan data sekunder dari rekam medis pasien.
Subyek penelitian adalah pasien Hemodialisa di RSUD Kabupaten Cirebon sebanyak
100 pasien. Data dianalisis menggunakan uji statistik untuk mengetahui hubungan
antara variabel independen dan dependen. Hasil multivariat penelitian menunjukkan
ada hubungan bermakna antara jarak rumah pasien ke rumah sakit OR 6,674
(1,444-30,85), pendapatan pasien OR 0,164 (0,027-1,000), pengeluaran kesehatan
OR 0,206 (0,008-0,286) dan lama hemodialisa OR 46,37 (4,171-515,488) dengan
kesulitan ekonomi. Pasien penyakit ginjal kronik mengalami kesulitan ekonomi
akibat hemodialisis 68%. Komponen biaya terbesar adalah biaya transport dan
makan minum sebesar Rp.750.000/bulan yang menyebabkan kesulitan ekonomi pada
pasien PGK di RSUD Kabupaten Cirebon.
Kata kunci : Biaya
pengeluaran sendiri, kesulitan ekonomi, hemodialisis.
Pendahuluan
Menurut WHO pada tahun 2005, sekitar 58 juta
kematian di seluruh dunia, dengan 35 juta disebabkan oleh penyakit kronis.
Menurut studi Global Barden of Disease
study 2010, PGK menduduki peringkat ke-27 dalam daftar penyebab jumlah
kematian di seluruh dunia pada tahun 1990, namun meningkat menjadi 18 pada
tahun 2010 (Foundation, 2015).
Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit tidak
menular tetapi dapat menimbulkan kematian. Untuk mempertahankan hidupnya,
pasien gagal ginjal terutama yang kronik terminal (end stage renal disease) memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal
untuk memperpanjang harapan hidup pasien. Di Indonesia, hemodialisis merupakan
metode pengganti fungsi ginjal yang paling sering digunakan (Jos, n.d.). Hemodialisis (HD) merupakan
terapi pengganti fungsi ginjal yang menggunakan alat khusus dengan tujuan
mengeluarkan toksis uremik dan mengatur cairan elektrolit tubuh (RI, 2017).
Perlindungan terhadap
Pasien tertuang dalam pasal 3 UU No. 44 2009 yang menyatakan bahwa adanya rumah
sakit bertujuan untuk
memberikan kemudahan bagi masyarakat, menyediakan perlindungan
bagi keselamatan pasien, meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan
rumah sakit serta memberikan kepastian hukum terhadap semua masyarakat dan SDM
rumah sakit (Lambok
& Asyiafa, 2019). Sementara itu, pasien PGK dituntut untuk meningkatkan kualitas
hidup dengan menjalani terapi HD secara rutin. Karena pengobatannya yang
membutuhkan waktu lama, biaya tidak langsung yang harus ditanggung pasien dan
keluarganya sangat besar. Hal ini dapat membuat pasien dan keluarganya
mengalami kesulitan ekonomi, yaitu tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok
(primer) lainnya karena sumber daya keuangan banyak terpakai untuk pengobatan.
Rumah Sakit Umum Daerah di Wilayah Kabupaten
Cirebon khususnya RSUD Arjawinangun dan Waled telah melaksanakan pelayanan
hemodialisis kepada pasien PGK. Jumlah pasien Hemodialisis baik pasien baru
maupun pasien yang telah mendapatkan hemodialisis pada tahun 2017 menunjukkan
adanya peningkatan dari 42 orang menjadi 47 orang, dengan jumlah tindakan dari
342 tindakan menjadi 384 tindakan. Sedangkan berdasarkan cara pembayaran,
pasien lebih dominan bahkan hampir seluruhnya menggunakan cara pembayaran BPJS.
Berdasarkan
uraian diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian di RSUD Arjawinangun
dan Waled. Penelitian ini bertujuan mengetahui besaran biaya yang harus
ditanggung pasien dan keluarganya, serta faktor-faktor yang menentukan
kesulitan ekonomi pada pasien PGK yang menjalani terapi HD.
Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan termasuk non
eksperimental secara potong-lintang� (Cross Sectional) dilakukan pada pasien
PGK stadium akhir yang menjalani hemodialisis di RSUD Kabupaten Cirebon pada
Periode Juli�September 2018. Penulis akan
meneliti kesulitan ekonomi sebagai variabel dependent dan sosio-demografi pasien
dan informasi terkait dengan HD sebagai variabel independent. Dengan purposive sampling diperoleh sampel 100 orang terdiri 38 dari RSUD Arjawinangun dan 62 dari RSUD
Waled.
����������� Data sampel diperoleh melalui rekam
medis, wawancara tatap muka dan kuesioner pada pasien PGK yang menjalani
hemodialisis selama 3 bulan. Setelah data diperoleh, kemudian dilakukan
analisis univariat, bivariat dan multivariat. Data univariat disajikan secara
deskriptif analitik yaitu penjelasan hasil penelitian yang ditampilkan dalam
bentuk tabel sedangkan untuk data analisis bivariat dan multivariat disajikan
dengan hasil analisa statistik
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik sosio-demografi
pasien meliputi umur responden dengan rata-rata 50-59 tahun sebanyak 37
reponden (37%). Jenis kelamin� terbanyak
laki-laki (51%) dan� tingkat pendidikan
terbanyak sekolah menengah 60%. Status perkawinan sebagian besar menikah (94%)
dan pekerjaan responden didominasi
oleh
pekerjaan fisik (52%). Untuk status dalam� rumah tangga, persentasenya seimbang antara
kepala keluarga (KK) dengan bukan kepala keluarga (50%). Mayoritas jumlah anggota
keluarga 3-5 orang (54%) dan jarak dari rumah ke rumah sakit terbanyak berjarak
>10 km (63%). Pendapatan responden mayoritas (46%) lebih dari 4 juta rupiah
perbulan dimana responden sebagian besar (76%) tinggal di rumah milik.
Responden mayoritas menjadi peserta BPJS-K (56%) dengan pengeluaran� kesehatan responden terbanyak (40%) berkisar
250-500 ribu� rupiah per kedatangan.
Lamanya pasien menjalani HD, paling banyak 5�10 tahun sebanyak 35% dan responden mayoritas
mengalami sakit hipertensi sebagai penyakit penyerta (74%). Sebagian besar
responden (68%) mengalami kesulitan ekonomi akibat pengeluaran-pengeluaran
karena penyakitnya.
Tabel 1 Hasil uji bivariat dan
multivariat awal� pasien PGK
Variabel |
p-Value *) |
p- Value **) |
OR
(95% CI) |
Pendidikan |
0,01 |
0,619 |
1,352 |
Jumlah Anggota Keluarga |
0,045 |
0,560 |
1,643 |
Jumlah Tanggungan |
0,05 |
0,171 |
0,333 |
Jarak Rumah Ke RS |
0,00 |
0,028 |
0,342 |
Pendapatan Pasien |
0,00 |
0,020 |
3,629 |
Kepemilikan Rumah |
0,24 |
0,464 |
0,511 |
Pengeluaran Kesehatan |
0,00 |
0,007 |
4,681 |
Lama HD |
0,00 |
0,005 |
0,306 |
Komorbiditas |
0,11 |
0,075 |
0,327 |
Jenis kelamin |
0,57 |
|
|
Status perkawinan |
0,00 |
||
Pekerjaan |
0,82 |
||
Kepesertaan BPJS |
0,64 |
||
Peran dalam rumah tangga |
0,67 |
||
Umur |
0,96 |
Keterangan
: *) Hasil uji bivariat;
**)
Hasil uji multivariat awal
Sumber
: data sekunder tahun 2018
Analisis bivariat ditampilkan pada
tabel 1 dengan hasil sebagai berikut; (1) Hubungan
umur dengan kesulitan ekonomi
didapat
p-value 0,96; (2) hubungan jenis
kelamin dengan kesulitan ekonomi didapat nilai p-value 0,57; (3) hubungan pendidikan dengan kesulitan ekonomi di
dapat nilai p-value 0,00; (4) hubungan
status perkawinan dengan kesulitan ekonomi didapatkan nilai p-value 0,00; (5) hubungan pekerjaan
dengan kesulitan ekonomi diperoleh nilai p-value
0,82 (>0,05); (6) hubungan status kepala keluarga dengan kesulitan ekonomi
didapatkan nilai p-value 0,67; (7) hubungan
jumlah anggota keluarga dengan kesulitan ekonomi didapatkan nilai p-value 0,05; (8) hubungan jumlah
tanggungan dengan kesulitan ekonomi�
dengan nilai p-value 0,05; (9)
hubungan jarak yang ditempuh dari rumah ke rumah sakit dengan kesulitan ekonomi didapatkan nilai p-value 0,00; (10) hubungan pendapatan
dengan kesulitan ekonomi didapat nilai p
value 0,050; (11) hubungan kepemilikan rumah dengan kesulitan ekonomi
didapatkan nilai p-value 0,24; (!2) hubungan pengeluaran kesehatan
dengan kesulitan ekonomi didapat nilai p-value
0,00; (13) hubungan kepesertaan
BPJS-K dengan kesulitan ekonomi didapatkan nilai p-value 0,64; (!4) hubungan lama terapi HD dengan kesulitan
ekonomi.didapatkan nilai p-value 0,00
dan; (15) hubungan penyakit komorbiditas dengan kesulitan ekonomi didapatkan
nilai p-value 0,11.
Untuk analisa selanjutnya terpilih
10 variabel dengan nilai p kurang dari 0,25 yaitu variabel pendidikan (p-value
0,01), status perkawinan (p-value 0,00), jumlah anggota keluarga (p-value
0,045), jumlah
tanggungan (p-value 0,05), jarak ke rumah sakit (p-value 0,00),
pendapatan paisen (p-value 0,00), kepemilikan rumah (p-value 0,24), pengeluaran kesehatan (p-value
0,00), lamanya terapi HD
(p-value
0,00) dan komorbiditas (p-value
0,11)
Hasil analisis multivariat awal pada tabel 1 diperoleh
4 variabel yang paling berhubungan dengan kesulitan ekonomi. Selanjutnya diuji
dengan regresi logistik
diperoleh seperti pada tabel 2. Variabel jarak ke rumah sakit 6-10 km (OR
2,90(0,585-14,390)) dan jarak k rumah sakit > 10 km (OR
6,674(1,444-30,850)). Pendapatan pasien 2-4 juta (OR 0,43(0,026-0,501)) dan
> 4 juta (OR 0,164(0,027-1,000)). Pengeluaran kesehatan >250 � 500 ribu
(OR 0,047(0,004-0,963)) dan > 500 ribu (OR 0,206(0,008-0,268)). Lamanya
terapi HD >3-5 tahun (OR 11,771(1,145-120,982)), >5-10 tahun (OR
12,304(1,109-136,479)) dan >10 tahun (OR 46,370(4,171-515,488)).
Tabel 2 Hasil Analisis Multivariat
Variabel |
p - Value |
OR |
95% CI |
Jarak rumah ke rumah sakit 0 � 5 km 6 � 10 km >10 km |
0,047 0,193 0,015 |
1 2,900 6,674 |
(0,585
� 14,390) (1,444
� 30,850) |
Pendapatan Pasien <2 juta 2-4 juta >4 juta |
0,007 0,004 0,050 |
1 0,113 0,164 |
(0,026
� 0,501) (0,027
� 1,000) |
Pengeluaran Kesehatan 0-250
ribu >250�500ribu >500 ribu |
0,004 0,001 0,045 |
1 0,047 0,206 |
(0,004
� 0,963) (0,008
� 0,286) |
Lama HD 1-3 tahun >3-5 tahun >5-10 tahun >10 tahun |
0,017 0,038 0,041 0,002 |
1 11,771 12,304 46,37 |
(1,145 � 120,982) (1,109 � 136,479) (4,171 � 515,488) |
Sumber
: data sekunder tahun 2018
Total biaya pengeluaran� pasien PGK seperti pada tabel 3 dengan
nilai� Mean (rata-rata) Rp 195.069,4, Median Rp 200.000 dengan Standar
Deviasi Rp 87.362,77 sehingga besar
beban yang dikeluarkan pasien� yang
menjalani HD adalah minimum� Rp 60.000 dan maksimum
pengeluaran per kedatangan HD Rp
387.500. Biaya sendiri yang
dikeluarkan pasien atau keluarganya meliputi; (1) biaya untuk transport dan
makan minum minimal per kedatangan Rp 10.000 dan maksimal Rp 125.000; (2) biaya� produktivitas yang hilang pasien HD per
kedatangan minimal� Rp 12.500 dan maksimal Rp 93.750; (3) biaya obat dan
multivitamin minimum Rp 12.500� dan maksimum Rp 62.500; (4) biaya pendamping pasien (Care giver) minimum
Rp 12.500 dan maksimal Rp 62.500; (5) biaya
Opportunity minimal per kedatangan HD sebesar Rp 12.500
dan maksimal Rp. 43.750.
Tabel 3 Total
biaya pengeluaran sendiri per kedatangan Hemodialisis secara keseluruhan
|
Count |
Mean |
Median |
Standar
Deviation |
Minimum |
Maximum |
Transportasi, makan dan Minum |
100 |
70763,8889 |
93750,00 |
33931,7563 |
10.000 |
125000 |
Produktif yang hilang |
100 |
28298,6111 |
18750,0000 |
20292,8400 |
12500 |
93750 |
Obat dan multivitamin non BPJS |
100 |
27604,1667 |
25000,0000 |
12710,28478 |
12500 |
62500 |
Biaya pendamping (Care giver) |
100 |
41666,6667 |
37500,000 |
9087,86475 |
12500 |
62500 |
Opportunity |
100 |
26736,1111 |
25000,0000 |
11340,02778 |
12500 |
43750 |
Total |
100 |
195069,4 |
200000 |
87362,77 |
60.000 |
387500 |
Sumber
: data sekunder tahun 2018
Dari
karakteristik umur, dapat disimpulkan bahwa bertambah umur maka semakin banyak
jumlah pasien HD. Hasil penelitian ini sesuai pernyataan bahwa prevalensi PGK
akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur (IRR), 2015). Sejalan pula dengan penelitian di Rumah
Sakit Bethesda bahwa terjadi peningkatan jumlah pasien seiring dengan
bertambahnya umur (Fauziah, Wahyono,
& Budiarti, 2015). Apabila dihubungkan
umur dengan kesulitan ekonomi, tidak ada hubungan (p-value 0,96> 0,05).
Hasil
penelitian di Rumah Sakit Umum Bekasi menunjukkan hasil serupa yaitu tidak ada
hubungan yang signifikan antara umur dengan gagal ginjal kronis (Sumiyati, 2018).
Besarnya angka kejadian gagal
ginjal kronis yang dialami laki�laki karena pengaruh perbedaan hormon reproduksi
dan gaya hidup yang
kurang baik, seperti konsumsi alkohol, garam, rokok. Data prevalensi PGK pada
laki-laki 0,3% lebih tinggi daripada perempuan 0,2% (RI, 2017).
Berdasarkan hasil statistik di
Kabupaten Cirebon, pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan pasien
perempuan. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk
laki-laki pada tahun 2018 lebih banyak (105,17%) dibandingkan dengan perempuan (Cirebon, 2018). Jika dihubungkan dengan
kesulitan ekonomi didapat nilai (p-value
0,57 >0,05) yang
artinya tidak ada hubungan.
Hasil
ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia dengan
menggunakan data sekunder hasil riskesdas tahun 2013 terdapat hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian PGK pada penderita hipertensi.
Responden berjenis kelamin laki-laki berisiko 1,783 kali lebih besar terkena
PGK dibandingkan dengan perempuan
(Arifa, Azam, &
Handayani, 2017).
Pendidikan responden terbanyak
adalah sekolah menengah 60%. Hasil ini berbeda dengan prevalensi yang tertinggi
pada masyarakat dengan tidak bersekolah sebanyak 0,4% (RI, 2017). Namun demikian, sejalan dengan
penelitian di RSUD X pada karakteristik
pendidikan terakhir pasien adalah sekolah menengah beresiko 0,5 kali daripada
yang tidak sekolah atau sekolah dasar untuk mengalami HD (Rosiana, 2018). Dilihat
dari nilai p-value 0,00 (< 0,05).
terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan kesulitan ekonomi. Menurut penelitian yang dilakukan di
RSUD Kabupaten Sukoharjo, terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan dengan asupan cairan
pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan seseorang akan
semakin tinggi, sehingga pasien PGK akan menjaga kondisi kesehatannya (Umayah, 2016).
Penelitian yang dilakukan di Rumah sakit Mayo, Lahore menyatakan adanya hubungan yang
signifikan antara� pendidikan dengan
kualitas hidup pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis (Muhammad
Anees, Shazia Batool, 2018). Pendidikan yang
lebih tinggi pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis mempunyai pengetahuan
yang lebih luas sehingga memungkinkan pasien dapat mengontrol
dirinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi, mempunyai rasa percaya diri yang
tinggi, berpengalaman dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi
suatu kejadian (Yuliaw, 2009).
Kebanyakan pasien sudah menikah
karena pasien HD berada pada range umur telah menikah. Hasil ini sejalan dengan
penelitian pada tahun 2017 yang berjudul
faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit ginjal kronik pada penderita
hipertensi di Indonesia (Arifa et al., 2017). Hasil penelitian menyatakan bahwa proporsi
responden berstatus menikah yang mengalami PGK lebih banyak (84,7%)
dibandingkan dengan status lainnya. Hubungan antara status perkawinan dengan
kesulitan ekonomi didapatkan nilai p-value
0,00 (<0,05).� Ini menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan kesulitan ekonomi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian di rumah sakit X yang menganalisis faktor resiko dan komparatif
biaya pengobatan pada pasien HD yang sudah menikah 2,6 kali lebih tinggi untuk
mengalami PGK dibandingkan dengan mereka yang belum kawin tetapi tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PGK (Rosiana, 2018).
Pekerjaan fisik (52%) merupakan
yang dominan dari responden. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
di rumah sakit umum Bekasi dengan studi Case-Control
faktor resiko dan biaya tanggungan sendiri pasien gagal ginjal kronis di unit
HD. Berdasarkan pekerjaan pasien kelompok kasus dan kontrol yang paling
dominan� adalah pekerjaan fisik sebanyak
54,7% dan 50,7% (Sumiyati, 2018). Adapun� hubungan antara pekerjaan dengan kesulitan
ekonomi diperoleh nilai p-value 0,82
(>0,05) Ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara status
pekerjaan dengan kesulitan ekonomi.
Pada
kenyataannya pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit,
sehingga menurut peneliti pekerjaan ini mempunyai hubungan yang signifikan
dengan keadaan ekonomi atau kesulitan ekonomi akibat hemodialisis. Responden yang hemodialisis
akan sulit melakukan aktivitas atau berkurang (Ahmad & Utarini,
2013).
Responden hemodialisis dalam
keluarga berstatus sebagai kepala keluarga dan sebagai penanggung jawab utama
perekonomian keluarga. Akibat
dari PGKnya, responden mengalami
penurunan kualitas hidup
sehingga
akan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga dan penurunan ekonomi. Namun dari uji statistik
hubungan antara status kepala keluarga dengan kesulitan ekonomi didapatkan
nilai p-value 0,67 (>0,05)
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara status kepala keluarga
dengan kesulitan ekonomi.
Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di rumah sakit umum kota
Bekasi bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara status pasien dalam keluarga dengan
kesulitan ekonomi (36). Status pasien dalam keluarga (70%) merupakan kepala
keluarga, dalam hal ini merupakan tulang punggung keluarga dan sebagai tulang
punggung perekonomian keluarga. Pada kelompok umur ini merupakan umur yang
produktif dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan bagi masyarakat. Penyakit PGK
ini merupakan salah satu penyakit yang dapat membebani pasien, keluarga dan
masyarakat, oleh
karena itu kondisi seperti ini harus mendapatkan perhatian lebih banyak.
Mayoritas responden memiliki jumlah
anggota keluarga 3-5 orang (54%). Hal ini karena
masyarakat Kabupaten Cirebon masih mempercayai budaya semakin banyak anggota
keluarga akan semakin banyak juga rejekinya dan rumah tidak akan sepi. Dari data
statistik, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai
jumlah penduduk yang cukup besar. Penduduk Kabupaten Cirebon pada tahun 2014
adalah 2.293.397 jiwa (Cirebon, 2018). Berdasarkan hasil uji
statistik hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan kesulitan ekonomi
didapatkan nilai p-value 0,05
(≤0,05) hal ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara jumlah
anggota keluarga dengan kesulitan ekonomi.
Jumlah tanggungan responden yang
terbanyak adalah mempunyai tanggungan keluarga (95%). Jumlah tanggungan ini
merupakan anggota keluarga responden yang berusia kurang dari 15 tahun dan
lebih dari 65 tahun. Penelitian ini sejalan dengan penelitian (36) yang menyatakan
bahwa tanggungan keluarga pasien PGK yang menjalani terapi HD yang tidak
mempunyai tanggungan 5 %. Terdapat hubungan antara jumlah tanggungan dengan
kesulitan ekonomi dengan
nilai p-value 0,05 (≤0,05), Semakin banyak
tanggungan dalam keluarga semakin banyak pengeluaran sehingga menyebabkan
kesulitan ekonomi. Anggota keluarga yang menjadi tanggungan keluarga adalah
anggota keluarga yang berusia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 65 tahun.
Rata�rata pasien berasal dari luar
Arjawinangun dan Waled sehingga jaraknya jauh dari rumah ke RSUD Arjawinangun
dan RSUD Waled dan kendaraan yang digunakan rata-rata menggunakan kendaraan
umum pada jalur transportasi darat seperti ojek dan mobil angkot. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di rumah sakit umum
Bekasi yang menyatakan bahwa jarak yang harus ditempuh pasien hemodialisis
untuk mengakses fasilitas rumah sakit yang paling banyak� yaitu jarak >10 km (Sumiyati, 2018). Hasil uji statistik
hubungan antara jarak yang ditempuh dari rumah ke rumah sakit dengan kesulitan
ekonomi� didapatkan nilai p-value 0,00 (≤0,05). Hal ini
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara jarak yang ditempuh dari rumah
ke rumah sakit dengan kesulitan ekonomi. Rata-rata
pasien berasal dari luar Arjawinangun dan Waled sehingga jaraknya jauh dari
rumah responden ke RSUD Arjawinangun dan RSUD Waled. Jalur transportasi darat
merupakan satu-satunya
jalur yang ditempuh dan kendaraan yang digunakan rata-rata menggunakan
kendaraan umum pada jalur transportasi darat seperti ojek dan mobil angkot.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Rumah sakit
umum Bekasi yang menyatakan bahwa jarak yang harus ditempuh pasien hemodialisis
untuk mengakses fasilitas rumah sakit yang paling banyak yaitu jarak > 10 km (Sumiyati, 2018). Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Tipe B di
Provinsi Bali yang menganalisis peserta asuransi menurut perspektif pasien
menyatakan bahwa faktor jarak rumah pasien ke RS mempengaruhi biaya
hemodialisis yang ditanggung pasien (45). Faktor jarak rumah pasien ke RS ini
menjadi beban ekonomi pasien hemodialisis sehingga akan mempengaruhi pada
kesulitan ekonomi. Dapat
disimpulkan pula bahwa berdasar hasil uji multivariat, pasien HD dengan jarak
dari rumah ke rumah sakit>10 km sebesar 6,7 kali lebih besar berpotensi
mengalami kesulitan ekonomi dibandingkan dengan jarak ke rumah sakit yang jaraknya
0�5 km dan 6�10 km. Dengan nilai p value
0,015 (<0,05) menunjukkan jarak rumah ke rumah sakit ada hubungan yang
signifikan dengan kesulitan ekonomi.
Menempuh
jarak >10 km pasien HD dapat mengalami kesulitan ekonomi adalah pasien yang
tergolong menengah ke bawah dengan pendapatan yang rendah karena jarak tempuh
dari rumah ke rumah sakit terkait dengan bahan bakar yang digunakan sehingga
dapat menyebabkan kesulitan ekonomi.
Pendapatan pasien perbulan
didapatkan dari bisnis keluarga, gaji, sopir kendaraan umum, buruh pabrik,
buruh tani dan pemberian/kiriman dari keluarga. Responden sebagian besar (76%)
tinggal di rumah dengan status kepemilikan milik sendiri tetapi ada juga masih
menyicil. Tempat tinggal merupakan kebutuhan primer yang prioritas dan merupakan
aset atau harta yang paling berharga yang dapat menggambarkan kesejahteraan
sesorang. Berdasarkan uji statistik hubungan antara pendapatan responden dengan
kesulitan ekonomi didapatkan nilai p-value
0,00. Hal ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara pendapatan
responden dengan kesulitan ekonomi.
Pendapatan
responden yang berbeda dalam penelitian ini merupakan prediktor yang signifikan
terhadap biaya yang ditanggung pasien disaat menjalani hemodialisis, pasien
yang penghasilannya 2-4 juta menghabiskan biaya hemodialisis lebih besar. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukandi Rumah
sakit Mayo, Lahore yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara sosio
ekonomi pendapatan dengan kualitas hidup pada pasien PGK yang menjalani
hemodialisis. Pendapatan lebih tinggi memiliki status pekerjaan yang lebih baik
sehingga pasien yang menjalani hemodialisis tidak mengalami kesulitan ekonomi. Hasil uji
mutivariat menunjukkan bahwa pendapatan pasien HD dengan nominal > Rp 4.000.000
akan mengalami 0,2 kali lebih rendah kesulitan ekonomi dibandingkan dengan
pasien yang memiliki pendapatan < Rp 2.000.000 dan Rp 2.000.000 � Rp 4.000.000. Dengan nilai p value 0,050, menunjukan adanya
hubungan antara pendapatan dengan kesulitan ekonomi dan berdasar nilai OR
diperoleh OR 0,164 (<1). Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan bukan sebagai
faktor penentu penyebab kesulitan ekonomi, tetapi sebagai faktor protektif dari
kesulitan ekonomi khususnya dari pengeluaran kesehatan.
Berdasarkan hubungan kepemilikan rumah
dengan kesulitan ekonomi didapatkan nilai p-value
0,24. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepemilikan
rumah dengan kesulitan ekonomi. Dengan
adanya kepemilikan rumah maka keluarga akan
sejahtera dan memberikan ketahanan hidup dibandingkan dengan yang tidak
memiliki rumah.
Berdasarkan nilai p-value 0,00, menunjukan ada hubungan
yang signifikan antara pengeluaran kesehatan dengan kesulitan ekonomi.
Pengeluaran kesehatan yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan merupakan beban
bagi pasien HD sehingga pasien harus berhutang sampai kondisi menjual
barang-barang untuk mengantisipasi biaya�biaya yang harus ditanggung. Dengan
demikian pengeluaran kesehatan pada pasien hemodialisis dapat mempengaruhi
kesulitan ekonomi. Pasien
dengan pengeluaran kesehatan > 250�500 ribu dan > 500 ribu per
kedatangan, memperoleh nilai OR = 0,047 dan 0,206 (< 1). Dengan demikian
pengeluaran kesehatan bukan merupakan faktor penentu kesulitan ekonomi tetapi
hanya sebagai protektif, artinya dengan penghasilan yang lebih tinggi akan
menjadi faktor protektif dari kesulitan ekonomi.
Kepesertaan responden (56%) pada
BPJS Kesehatan sejalan dengan data report of indonesian renal registry
(IRR) yang menyatakan bahwa pendanaan pasien lebih banyak berasal dari JKN non
PBI sebanyak 77% dibandingkan dengan pendanaan pasien yang berasal dari JKN PBI
sebanyak 13% (IRR), 2015). Dengan adanya BPJS
Kesehatan dapat meringankan biaya yang dikeluarkan pasien HD. Hemodialisis
tanpa menggunakan BPJS menyebabkan
pengeluaran kesehatan akan semakin
banyak yang harus ditanggung pasien PGK untuk hemodialisis. Pengeluaran kesehatan
yang harus ditanggung oleh pasien HD yang paling banyak adalah biaya
transportasi, makan dan minum setiap kali HD. Dari hasil uji
statistik hubungan antara kepesertaan BPJS Kesehatan dengan kesulitan ekonomi
didapatkan nilai p-value 0,64(>0,05).
Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepesertaan BPJS Kesehatan dengan kesulitan
ekonomi.
Lamanya menjalani HD dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Penelitian
ini menunjukan yang paling banyak menjalani HD yaitu > 5-10 tahun. Hal ini dikarenakan pasien merasa kualitas
hidupnya meningkat jika melakukan hemodialisis secara rutin dengan menjalani
pola makan (diet) dan gaya hidup yang baik. Pasien yang sudah lama menjalani
terapi HD, kualitas hidupnya meningkat karena pasien sudah beradaptasi terhadap
terapi HD yang dijalani baik secara fisik maupun psikologis. Hasil uji
statistik hubungan antara lama terapi HD dengan kesulitan ekonomi didapatkan
nilai p-value 0,00 (<0,05). Hal
ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara lama terapi HD dengan
kesulitan ekonomi. Lamanya HD pasien akan
semakin terbebani dengan biaya�biaya yang harus dikeluarkan selama terapi HD
terutama biaya yang harus dikeluarkan dari kantongnya sendiri. Hal ini akan
menimbulkan suatu masalah salah satunya adalah kesulitan ekonomi. Berdasar hasil uji
multivariat lama HD > 10 tahun akan berpotensi mengalami kesulitan ekonomi
lebih besar 46,37 kali dibandingkan dengan lama HD > 5-10 tahun yaitu 12,30
kali lebih besar mengalami kesulitan ekonomi dibandingkan dengan pasien yang
menjalani HD selama 3-5 tahun.
Lama
HD akan berpotensi mengalami kesulitan ekonomi karena pembiayaan pasien
hemodialisis yang menjalani terapi HD > 3 tahun akan semakin banyak
menggunakan biaya sendiri untuk membiayai HD diluar pembiayaan BPJS Kesehatan. Semakin
lama pasien menjalani terapi HD ini akan semakin besar mengalami kesulitan
ekonomi karena semakin besar juga pengeluaran pembiayaan untuk kesehatan,
transport, dan
konsumsi. Terapi hemodialisis adalah salah satu penyelamatan pasien penyakit
gagal ginjal kronik. Pada pasien PGK harus melakukan terapi hemodialisis sepanjang
hidupnya untuk menambah dan memperpanjang usia pasien (Setyawan, 2018). Semakin lama menjalani
HD maka kelangsungan hidupnya akan semakin baik, jika pasien� mengikuti diet dengan baik, melaksanakan
perubahan gaya hidup dan pengobatan yang sesuai dengan rekomendasi pelayanan
kesehatan. Pada
penelitian KSGH Rasyida medan menyatakan ada hubungan antara lama hemodialisis
dengan kematian pasien PGK. Pada hasil multivariat, setelah dilakukan
penyesuaian ternyata harapan hidup pasien menjalani HD lebih dominan
dipengaruhi oleh lamanya HD dan adanya diabetes.
Sebagian besar (74%) responden memiliki
penyakit penyerta yaitu hipertensi. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan di rumah sakit umum Bekasi yaitu komorbid yang
paling banyak adalah 1 penyakit 41,3% (Sumiyati, 2018) serta penelitian di rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yaitu responden yang memiliki komorbid
hipertensi yang paling banyak 74,7% dari 70 pasien HD dibandingkan dengan
komorbid diabetes dan jantung (Utami, Rosa, & Khoiriyati, 2017). Hipertensi
merupakan salah satu faktor resiko yang dominan penyakit ginjal kronik.
Komorbiditas adalah kondisi atau penyakit lain selain PGK yang mempengaruhi
organ lain, tetapi
juga dapat menyebabkan gagal ginjal. Komorbid dapat berdampak buruk terhadap
pasien hemodialisis (Braga et al., 2011). Pada
penelitian ini penyakit penyerta pada pasien HD adalah hipertensi karena
prevalensi hipertensi (17,18%) di Jawa Barat tertinggi adalah di Kabupaten
Cirebon dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat (Cirebon,
2018). Hasil uji
statistik menunjukan hubungan
antara penyakit komorbiditas dengan kesulitan ekonomi didapatkan nilai p-value 0,11(>0,05). Ini menunjukan
tidak ada hubungan yang signifikan antara penyakit komorbiditas dengan
kesulitan ekonomi. Pada penelitian ini komorbiditas tidak mempengarui kesulitan
ekonomi karena responden yang paling banyak mempunyai kormobiditas 1 (satu) penyakit yaitu
hipertensi
Total biaya pengeluaran� pasien PGK seperti pada tabel 3 dengan nilai Mean
(rata-rata) Rp 195.069,4,
Median Rp 200.000 dengan Standar
Deviasi Rp 87.362,77 sehingga besar
beban yang dikeluarkan pasien yang menjalani HD adalah minimum� Rp
60.000 dan maksimum
pengeluaran per kedatangan HD Rp387.500.
Biaya sendiri yang dikeluarkan pasien
atau keluarganya meliputi; (1) biaya
untuk transport dan makan minum minimal per kedatangan Rp 10.000 dan maksimal
Rp 125.000.
Dengan kunjungan 8 (delapan) kali
perbulan, maka total biaya transport dan makan minum minimal Rp 80.000 dan
maksimal Rp 1.000.000
per bulan; (2) biaya� produktivitas yang
hilang pasien HD per kedatangan minimal Rp 12.500 dan maksimal Rp 93.750 dihitung per hari
dengan membagi penghasilan pasien dalam satu bulan dengan jumlah hari yang
digunakan untuk terapi HD; (3) biaya obat dan multivitamin adalah Rp 27.604,1667 dengan biaya
yang paling rendah Rp 12.500� dan paling banyak Rp 62.500 per kedatangan; (4) biaya pendamping pasien (Care giver). Dikarenakan kebanyakan
pasien didampingi oleh keluarganya sendiri sehingga biaya pendamping ini
dihitung dari biaya yang hilang paling rendah Rp 12.500 dan maksimal biaya
Rp 62.500 dengan rata-rata biaya Rp 41.666,6667 per
kedatangan; (5) biaya Opportunity adalah biaya yang dikeluarkan akibat pengambilan
suatu pilihan yang mengorbankan pilihan lainnya, total rata-rata biaya Opportunity pada
penelitian ini adalah Rp
195.069,4 dengan minimal per kedatangan HD sebesar Rp 12.500
dan maksimal Rp 43.750.
Pengeluaran kesehatan pada penyakit
katastropik (PGK) merupakan ancaman penurunan kemampuan keuangan rumah tangga.
Pasien kasatstropik hampir 2,3 juta individu (1%) tiap tahunnya jatuh ke dalam
kemiskinan sebagai dampak dari biaya kesehatan katastropik. Pada studi evaluasi
ekonomi di Rumah Sakit kelas B dan C di unit HD, responden mengaku harus
membayar sebagian biaya yang tidak ditanggung BPJS, seperti biaya vitamin, obat
yang tidak terkait dengan penyakit GGK atau HD ataupun obat yang atas keinginan
pasien sendiri (Tania & Thabrany, 2016).
Organisasi kesehatan dunia (WHO)
menyatakan alokasi anggaran untuk kesehatan yang ideal adalah sekurang-kurangnya 6% dari
anggaran belanja negara (APBN). Di Indonesia anggaran untuk Departemen Kesehatan
kurang dari 5% dari APBN. Melihat karakteristik tersebut, maka biaya yang
timbul akibat gangguan kesehatan (penyakit) merupakan obyek yang layak
diasuransikan untuk meringankan beban yang ditanggung oleh penderita serta
meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan hidup masyarakat (Setyawan,
2018).
Di Indonesia saat ini 70% mekanisme
pembiayaan kesehatan berasal dari pihak swasta hanya 30% nya berasal dari
pemerintah. Dari 70% pembiayaan tersebut,
sebagian besar berasal dari kantong masyarakat sendiri (out of pocket cost) yang kita kenal dengan istilah Fee For Service dan hanya sekitar 6%
yang berasal dari asuransi
(Tarigan &
Suryanti, 2017). Beban biaya pengeluaran
sendiri yang paling dominan adalah biaya transportasi, makan dan minum pasien
dan keluarganya selama terapi HD.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji chi square dengan p value<� 0,05 yang
artinya ada hubungan yang signifikan antara�
pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga,
jumlah tanggungan, jarak rumah ke rumah sakit, pendapatan pasien, kepemilikan
rumah, pengeluaran kesehatan, lama HD dan kormobiditas dengan kesulitan
ekonomi. Hasil analisis lanjut diperoleh kesulitan ekonomi yang dialami pasien HD
RSUD Kabupaten Cirebon, secara
signifikan dipengaruhi oleh 4 (empat)
faktor yaitu jarak rumah ke rumah sakit OR 6,674 (1,444-30,85), pendapatan
pasien OR 0,164 (0,027-1,000), pengeluaran kesehatan OR 0,206 (0,008-0,286) dan
lama hemodialisa OR 46,37 (4,171-515,488). Pasien HD yang
mengalami kesulitan ekonomi adalah sebanyak 68 % dimana komponen terbesar biaya
pengeluaran sendiri pada pasien PGK dengan HD adalah� biaya transport, makan dan minum dengan
median Rp 93.750 per kedatangan atau Rp 750.000 per bulan.
Bagi masyarakat diharapkan lebih
menjaga pola hidup dalam meningkatkan kesehatan ginjal terutama pada masyarakat
yang mempunyai faktor resiko terjadinya PGK. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut perhitungan biaya pengeluaran sendiri yang dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien hemodialisis.
BIBLIOGRAFI
(IRR), I. R. R. (2015). 8th Report of Indonesian
Renal Registry 2015. Jakarta: Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI).
Ahmad, G. N. C. W. R. A., & Utarini, A. (2013). Biaya
Pelayanan Hemodialisis Peserta Asuransi Kesehatan Menurut Perspektif Pasien Di
Rumah Sakit Umum Daerah Tipe B, Provinsi Bali. Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 16(01).
Arifa, S. I., Azam, M., & Handayani, O. W. K. (2017).
Faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit ginjal kronik pada penderita
hipertensi di Indonesia. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Universitas
Hasanuddin, 13(4), 319�328.
Braga, S. F. M., Peixoto, S. V., Gomes, I. C., Acurcio, F. de
A., Andrade, E. I. G., & Cherchiglia, M. L. (2011). Factors associated with
health-related quality of life in elderly patients on hemodialysis. Revista
de Saude Publica, 45, 1127�1136.
Cirebon, B. P. S. K. (2018). Sensus Penduduk Online.
Fauziah, F., Wahyono, D., & Budiarti, L. E. (2015). Cost
of illness dari chronic kidney disease dengan tindakan hemodialisis. Jurnal
Manajemen Dan Pelayanan Farmasi (Journal of Management and Pharmacy Practice),
5(3), 149�158.
Foundation, N. K. (2015). Global Facts : Kidney
Disease.
Jos, W. (n.d.). Kualitas Hidup Pasien yang Menjalani
Hemodialisis Rutin di RSUD Tarakan, Kalimantan Utara, 2014.
Lambok, B. D., & Asyiafa, A. P. (2019).
Pertanggungjawaban Hukum Tenaga Medis Dalam Tindakan Pemasangan Alat Pernapasan
Lewat Mulut (Ventilator) Pada Pasien di Rumah Sakit. Syntax Literate; Jurnal
Ilmiah Indonesia, 4(12), 74�86.
Muhammad Anees, Shazia Batool, M. I. dan M. I. (2018).
Socio-economic factors affecting quality of life of Hemodialysis patients and
its effects on mortality. Pakistan Journal Medical Science.
https://doi.org/10.12669/pjms.344.15284
RI, K. K. (2017). Situasi Penyakit Ginjal Kronis.
Jakarta: Kementrian Republik Indonesia.
Rosiana. (2018). Analisis Faktor Risiko dan Komparatif
Biaya Pengobatan Penyakit Ginjal Kronis pada Pasien Hemodialisis di RS X.
Setyawan, F. E. B. (2018). Sistem Pembiayaan Kesehatan. Jurnal
Berkala Ilmiah Kedokteran Dan Kesehatan, 2(4).
Sumiyati, Y. (2018). Studi case-control Faktor Resiko dan
BiayaTanggungan Sendiri Pasien Gagal ginjal Kronis di Unit Hemodialisis Rumah
Sakit Umum Kota Bekasi. Jakarta.
Tania, F., & Thabrany, H. (2016). Biaya dan Outcome
Hemodialisis di Rumah Sakit Kelas B dan C. Jurnal Ekonomi Kesehatan
Indonesia, 54.
Tarigan, I., & Suryanti, T. (2017). Gambaran Out of Pocket
pada Awal Era JKN di Indonesia. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan
Kesehatan, 1(2), 141�146.
Umayah, E. (2016). Hubungan Tingkat Pendidikan,
Pengetahuan dan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Dalam Pembatasan Asupan
Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Mejalanii Hemodialisa Rawat Jalan
di RSUD Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Utami, M. P. S., Rosa, E. M., & Khoiriyati, A. (2017). Gambaran
Komorbid Pasien Hemodialisa (Comorbid in Hemodialysis Patients). Indonesian
Journal of Nutritional Epidemiology and Reproductive, 6(1).
Yuliaw, A. (2009). Hubungan karakteristik individu dengan
kualitas hidup dimensi fisik pasien gagal ginjal kronik di RS Dr. Kariadi
Semarang. Diakses Daridigilib. Unimus. Ac. Id/Files/Disk1/106/Jtpunimus-Gdl-Annyyuliaw-5289-2-Bab2.
Pdf Pada Tanggal, 29.