Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

KONSEP KEADILAN DAN PERLINDUNGAN BAGI PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK) DITINJAU DARI HUKUM KETENAGAKERJAAN

 

Nova Scotia Rosita

Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Konsep hukum perburuhan diawali dengan penemuan mesin uap yang mengubah pekerjaan dari manual menjadi mekanik dengan menggunakan mesin-mesin industri. Perubahan ini menyebabkan adanya pemisahan dua golongan yaitu golongan pemilik modal dan buruh. Pembedaan golongan ini memunculkan tuntutan adanya pemenuhan hak asasi manusia terutama hak-hak kaum buruh dikarenakan kedudukannya yang lebih lemah dibandingkan dengan para pemilik modal. Kebutuhan akan perlindungan bagi kaum buruh menjadi landasan adanya hukum perburuhan. Konsep hukum perburuhan di Indonesia masuk bersamaan dengan kedatangan Belanda ke Indonesia dengan membawa kitab undang- undangnya yaitu Burgerlijk Wetboek (BW). Konsep hukum perburuhan dalam BW didominasi pengaturan mengenai hubungan kerja dan perlindungan bagi buruh. Konsep yang sama kemudian diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Tidak hanya sektor swasta, pemerintah juga melakukan reformasi di bidang kepegawaian dan menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian dengan mengusung konsep perbaikan kinerja birokrasi yang salah satunya dilakukan melalui rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan kualifikasi dan kompetensi tertentu. Berdasarkan penelitian didapatkan hasil bahwa konsep yang diusung dalam kerangka reformasi kepegawaian lebih menitikberatkan pada peningkatan layanan kepada masyarakat dan justru mengabaikan kesejahteraan aparaturnya terutama PPPK. Pengaturan yang ada berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan tidak memberikan jaminan perlindungan hukum yang seharusnya menjadi fokus utama dari suatu hubungan kerja. Maka, untuk mengatasi persoalan ketidakadilan sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi PPPK pengaturan hubungan kerja PPPK      dengan pemerintah dapat tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan.

Kata Kunci: Keadilan, Perlindungan Hukum, Hubungan Kerja, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

 

Abstract

The concept of labor law begins with the invention of the steam engine which changes work from manual to mechanical by using industrial machines. This change led to the separation of two groups, namely the class of capital owners and workers. This class distinction raises demands for the fulfillment of human rights, especially the rights of workers due to their weaker position compared to the owners of capital. The need for protection for workers is the basis for the existence of labor law. The concept of labor law in Indonesia entered at the same time as the arrival of the Dutch to Indonesia with their code of laws, namely Burgerlijk Wetboek (BW). The concept of labor law in BW is dominated by arrangements regarding work relations and protection for workers. The same concept is then implemented in the legislation in the field of manpower in Indonesia. Not only the private sector, the government also carried out reforms in the field of personnel and issued a number of laws and regulations in the field of staffing by carrying out the concept of improving bureaucratic performance, one of which was carried out through the recruitment of Government Employees with Employment Agreements (PPPK) as State Civil Apparatuses (ASN) with qualifications and certain competencies. Based on the research, it was found that the concept carried out within the framework of personnel reform focused more on improving services to the community and instead ignored the welfare of the apparatus, especially PPPK. Existing arrangements have the potential to cause injustice and do not provide guarantees of legal protection which should be the main focus of an employment relationship. So, in order to overcome the problem of injustice while at the same time providing legal protection for PPPK, PPPK's working relationship arrangements with the government can be subject to labor laws.

Keywords: Justice, Legal Protection, Employment Relations, Government Employees with Employment Agreements.

 

Pendahuluan

Perkembangan sejarah perburuhan telah dikenal jauh sebelum revolusi industri. Sebelumnya, pada zaman agraris banyak terdapat raja dan tuan tanah yang mempekerjakan budak untuk menggarap tanah milik mereka (Warsito, 2016). Melihat banyaknya permintaan akan budak untuk melakukan berbagai pekerjaan, kemudian muncul sejumlah pihak yang menjadi perantara penyedia budak, bahkan menjadi “penjual” budak. Sebagai jaminan bagi para pihak yang membutuhkan tenaga budak, “penjual” budak memberikan jaminan dalam bentuk kontrak. Adanya kontak jual beli yang berlaku semakin lama justru berubah menjadi pemerasan dan ketidakadilan di era perbudakan.

Kemunculan hukum perburuhan dikatakan merupakan reaksi atas perubahan akibat adanya revolusi industry (Wijayanti, 2009). Penemuan mesin uap memberikan kesempatan produksi barang ataupun jasa dalam jumlah besar (Fonna, 2019). Dibandingkan dengan cara konvensional, kental nuansa feodal dalam bidang pertanian yang dicirikan dengan adanya pekerja ataupun buruh yang mengolah tanah milik tuan tanah serta bergantung dari hasil pengerjaan tanah tersebut (Raharjo, 2022).

Revolusi Industri, periode antara tahun 1750 – 1850 didukung oleh adanya beberapa peristiwa antara lain (Fajariah & Suryo, 2020):

a.   Inggris memberikan jaminan keamanan bagi warganya untuk melakukan kegiatan perekonomian tanpa takut.

b.   Kegiatan usaha mulai berkembang ke arah modernisasi.

c.   Warga Inggris mulai mengubah bahan mentah menjadi bahan produksi

d.   Jumlah daerah jajahan dan koloni yang tersebar.

e.   Revolusi Agraria memicu lahirnya Revolusi Industri.

f.    Berkembangnya paham ekonomi liberal.

g.   Inggris mengalami kemajuan bidang IPTEK yang cepat.

Tersebarnya dampak hadirnya Revolusi Industri akhirnya meluas ke seluruh Benua Eropa hingga seluruh dunia. Sistem ekonomi agraris yang semula mendominasi, memasuki abad ke-18 mulai mengalami pergeseran dengan penggunaan berbagai tenaga mesin sebagai alat produksi (Sachari, 2007). Revolusi industri mengubah tenaga manusia dengan menggantikannya dengan mesin uap. Kaum buruh merupakan kelas yang paling rentan akan eksploitasi korporasi dan kapitalisme (Savitri, 2019). Jika sebelumnya kaum buruh mengalami tekanan akibat tingginya produksi yang harus dihasilkan, dengan adanya revolusi industri mereka terancam kehilangan pekerjaan. Revolusi selalu diiringi dengan adanya perubahan sosial. Buruh pabrik yang tadinya menjadi andalan dalam proses produksi harus menerima kekalahan dari mesin yang mampu menghasilkan lebih banyak dan lebih cepat. Keuntungan bagi kaum kapitalis pun bertambah berkali-kali lipat. Modernisasi memiliki peran penting dalam perubahan kehidupan di masyarakat. Modernisasi merupakan cikal bakal industrialisasi, kapitalisme, dan pengawasan negara. Masyarakat melakukan urbanisasi ke kota untuk mengangkat kesejahteraan mereka dengan menjadi buruh pabrik. Hal ini kemudian mengakibatkan berkembangnya kaum buruh di kota industry (Purba et al., 2021). Keadaan di desa yang tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan dan anggapan bahwa pabrik di kota sebagai lahan baru yang menjanjikan untuk mendapatkan uang menjadikan urbanisasi besar-besaran pada masa tersebut.

Tingginya urbanisasi dan kehadiran mesin yang menggantikan peran manusia membuat para buruh semakin kehilangan posisi tawarnya di mata pemilik modal. Setelah adanya revolusi industri, tidak jauh berbeda dengan masa sebelum adanya revolusi industri, lambat laun para pekerja pabrik pun menerima perlakuan yang tidak adil dan pemerasan (Jamaludin, 2016). Pembayaran upah dilakukan per kepala oleh pemilik pabrik tanpa memperhatikan jam kerja bahkan anak-anak dibawah umur pun ikut dipekerjakan. Eksploitasi buruh menjadi tidak terhindarkan oleh para pemilik modal yang menganut sistem ekonomi kapitalis (Suprihanto & Putri, 2021). Tujuan mereka hanya satu yaitu meraup untung besar dengan mengurangi biaya produksi. Kaum kapitalis menguasai sarana produksi dan para pekerja sebaliknya kaum buruh tidak mempunyai hak milik atas sarana produksi, sehingga mereka terpaksa menjual tenaga mereka untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Menjadi buruh, memaksa mereka untuk patuh akan segala aturan yang ditetapkan oleh kaum kapitalis. Jika melanggar aturan, kaum kapitalis tidak segan memberikan siksaan kepada kaum buruh. Selain kebijakan yang sama sekali tidak berpihak pada buruh, para buruh juga tidak diberikan haknya. Tidak ada fasilitas kesehatan, upah yang rendah, dan makan seadanya. Para buruh dipaksa untuk bekerja sehingga membuat mereka semakin menderita. Sayangnya kaum buruh pun tidak berani melaporkan penindasan yang diterima kepada pemerintah. Hal ini disebabkan kaum kapitalis juga menguasai dan berpengaruh dalam kehidupan politik. Pemerintah melakukan konspirasi dengan para pemilik modal dan bekerja sama untuk menindas kaum buruh. Industrialisasi dijalankan oleh para pemilik modal dengan dukungan dari pemerintah sehingga pemerintah enggan memikirkan kesejahteraan kaum buruh. Buruh dianggap sepenuhnya menjadi milik dari pemberi kerja yang dapat melakukan apa saja terhadap buruh termasuk melakukan penindasan.

Perubahan fenomena sosial terjadi dengan munculnya para cendekiawan yang menginginkan perbaikan nasib bagi kaum buruh. Kemunculan gerakan sosialisme yang berjuang melawan cengkraman kaum kapitalis yang menguras habis tenaga kaum buruh tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Kaum sosialis menggaungkan kesetaraan antara kaum pemilik modal dengan kaum buruh dengan tujuan memberikan hidup layak bagi kaum buruh. Kesenjangan yang cukup lebar antara kaum kapitalis dengan kaum buruh tak jarang menimbulkan ketegangan dengan tuntutan utama untuk perbaikan nasib kaum buruh. Kebencian terhadap kaum kapitalis membuat kaum buruh lebih condong kepada kaum sosialis. Disinilah kemudian peran hukum muncul sebagai akibat adanya kebutuhan akan pengaturan untuk menjamin keadilan dan kepastian. Hukum kemudian dijadikan alat untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai penyimpangan dan penindasan.

Revolusi Perancis memberi dampak besar pada bidang hukum. Kelompok-kelompok baru yang muncul sebagai akibat adanya Revolusi Perancis memunculkan banyak hukum baru. Hukum tersebut akhirnya dikodifikasi atas perintah Napoleon untuk kemudian disebarkan ke seluruh penjuru Eropa. Gerakan sosialis mendorong diterimanya legislasi perburuhan. Buruh yang semakin memahami hak-hak nya sebagai seorang buruh mulai menyuarakan hak nya melalui berbagai gerakan buruh. Gerakan buruh yang dibantu oleh kaum sosialis membuahkan hasil dengan mulai diundangkannya berbagai peraturan untuk menjamin perbaikan nasib kaum buruh. Perlakuan tidak adil dari kaum kapitalis kepada kaum buruh menumbuhkan solidaritas di antara kaum buruh yang mulai saling mendukung satu dengan lainnya untuk menyusun kekuatan dengan tujuan memperbaiki nasib mereka. Untuk itulah kaum buruh mulai membentuk berbagai organisasi, hingga tahun 1919 lahirlah organisasi buruh internasional. Melalui organisasi ini banyak hal dilakukan termasuk pemerataan kesejahteraan dan pemberian perlindungan hukum bagi buruh.

Akhir abad ke 18, mulai bermunculan deklarasi pengakuan Hak Asasi sebagai reaksi dari berbagai pelanggaran atas Hak Asasi seperti adanya Bill of Rights dan juga Declaration of Man and Citizen. Secara umum Hak Asasi Manusia dikategorikan kedalam hak sipil dan politik dan hak ekonomi, social dan budaya. Perwujudan hak sipil dan politik antara lain kedudukan yang sama di hadapan hukum dan kebebasan mengemukakan pendapat. Perwujudan hak ekonomi, sosial dan budaya terkait hak memenuhi kebutuhan hidup diantaranya hak atas penghidupan yang layak serta hak atas jaminan sosial. Pengakuan terhadap HAM memberi pengaruh besar pada bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan hadirnya International Labour Office yang kemudian berubah menjadi International Labour Organization (ILO). Misi utama ILO yaitu menyusun dan mempromosikan standar perburuhan internasional yang antara lain:

a.   Kebebasan berserikat

b.   Penghapusan diskriminasi

c.   Penghapusan kerja paksa

d.   Penghapusan pekerja anak

ILO berupaya mewujudkan kondisi yang menghormati hak asasi manusia dalam ketenagakerjaan serta menghapus ketidakadilan, penderitaan dan kemiskinan. Ketika krisis internasional kembali terjadi, ILO berupaya mewujudkan tujuan tersebut dalam Deklarasi Philadelphia, yang berisi bahwa pekerja bukan merupakan komoditas dan menetapkan HAM sesuai dengan prinsip bahwa kemiskinan mengancam kesejahteraan (ILO, 2021).

ILO melaksanakan kewajiban dengan menyusun standar perburuhan di tingkatan dunia melalui konvensi serta rekomendasi. Deklarasi ILO yang berkaitan dengan prinsip serta hak dasar di tempat kerja menghendaki setiap negara anggota ILO mempunyai peranan dalam menghormati, memajukan serta melaksanakan prinsip yang tercantum dalam deklarasi tersebut tanpa memandang apakah telah dilakukan ratifikasi ataukah belum dilakukan ratifikasi. Sebagai anggota ILO, Indonesia juga meratifikasi konvensi ILO, sehingga terikat pada hasil konvensi tersebut. Konsekuensinya Indonesia berkewajiban untuk memuat prinsip yang dikembangkan oleh ILO dan melindungi hak sesuai Konvensi ILO dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) mencoba mengakomodir hak asasi manusia sebagaimana ditentukan dalam konvensi dasar ILO.3 Diundangkannya Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja juga merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia atas pemenuhan hak dasar di tempat kerja.4 Dari kedua peraturan perundangan tersebut terlihat jelas bahwa ruang lingkup ketenagakerjaan sangatlah luas bahkan dalam prakteknya sangat kompleks. Keterkaitan antara kepentingan pekerja, pengusaha, pemerintah dan masyarakat membuat kompleksitas peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan menjadi sangat komprehensif. Sebagai upaya menciptakan hubungan ketenagakerjaan yang harmonis serta berkeadilan diperlukan pengakuan serta perlindungan atas hak asasi.

Hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja, tetapi dengan tetap memperhatikan perlindungan bagi pihak yang dirugikan. Meskipun secara hukum kedudukan pekerja dan pengusaha sederajat, namun secara sosiologis pengusaha sebagai pemilik modal mempunyai kekuasaan yang tidak dimiliki oleh pekerja ditambah dengan jumlah pekerja yang tidak seimbang dengan kesempatan kerja membuat posisi pekerja menjadi lemah. Oleh karena itu, campur tangan penguasa atau dalam hal ini adalah pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan hukum adalah hal mutlak. Hal ini bertujuan agar hubungan kerja yang terjadi dapat berkeadilan dan hak asasi manusia pekerja dapat terlindungi.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia telah ada sejak kedatangan pemerintah Belanda di Indonesia kemudian Portugis, Inggris dan Jepang juga datang dengan sistem ketenagakerjaan berbeda yang dibawa masuk ke Indonesia. Perlindungan bagi tenaga kerja mulai diperhatikan semenjak kedatangan Daendels yang kemudian melahirkan peraturan ketenagakerjaan yang memperhatikan sisi kemanusiaan. Memasuki era kemerdekaan mulai banyak diinisiasi berbagai aturan untuk memberikan perlindungan, memberikan jaminan kesejahteraan, keselamatan dan kelangsungan hidup layak bagi pekerja. Sejumlah aturan yang diterbitkan nyatanya belumlah dapat menghentikan gelombang protes kaum buruh atas ketidakadilan yang terjadi. Problematika seputar upah, kesejahteraan, dan sistem kerja kontrak seringkali menjadi isu utama. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan sebagaimana diubah dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) mengklasifikasikan jenis dan sifat pekerjaan yang dapat dilakukan dengan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (selanjutnya disebut PKWT) yaitu sebagai berikut:5

1)  PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:

a.   Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b.   Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;

c.   Pekerjaan yang bersifat musiman;

d.   Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau

e.   Pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

2)  PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

3)  PKWT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (selanjutnya disebut PKWTT).

4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan PKWT diatur dalam peraturan pemerintah.

Formulasi pekerja dengan perjanjian kerja inilah yang juga diimplementasikan dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN). Pasal 1 angka 4 UU ASN secara eksplisit menyatakan adanya pegawai ASN yang diangkat atas dasar perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.6 Lebih lanjut dalam Pasal 98 ayat (2) UU ASN disebutkan bahwa jangka waktu perjanjian kerja seorang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (selanjutnya disebut PPPK) minimal 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja.7 Dari sini didapatkan penafsiran bahwa pemerintah bermaksud memasukan pekerja dengan perjanjian kerja yang serupa dengan pekerja dengan PKWT dalam UU Ketenagakerjaan dalam sistem kepegawaian ASN. Secara konsep jenis dan sifat pekerjaan, sekilas baik PPPK maupun PKWT memiliki kemiripan, namun bila ditelaah lebih lanjut terdapat perbedaan diantara keduanya. Jika PKWT mempersyaratkan pekerjaan yang bersifat tidak tetap untuk dijadikan objek perjanjian kerja, PPPK justru dapat menduduki jabatan yang sama dengan PNS yang notabene adalah pegawai tetap. Dalam hal masa kerja, jangka waktu perjanjian kerja PPPK paling singkat ditentukan dalam UU ASN adalah 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja. Penilaian kinerja dan kebutuhan instansi pemerintah menjadi syarat penentu perpanjangan kontrak bagi PPPK. Ketentuan ini sangat merugikan hak – hak PPPK terutama berkaitan dengan hak untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, dan hak untuk memperoleh kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena apabila masa perjanjian kerja berakhir, seorang PPPK akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Tidak terdapat pengaturan mengenai pemberian jaminan kehilangan pekerjaan ataupun uang kompensasi bagi PPPK yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Kontinyuitas hubungan kerja PPPK dengan pemerintah sangat bergantung pada penilaian kinerja dan kebutuhan organisasi menimbulkan ketidakpastian bagi PPPK. Digantungkannya nasib PPPK berdasarkan penilaian kinerja yang dilakukan oleh atasan langsung juga dapat menimbulkan benih perselisihan di kemudian hari. Pengaturan yang berbeda diterapkan dalam UU Ketenagakerjaan, PKWT yang telah habis masa kerjanya mendapatkan uang kompensasi,8 sehingga tetap dapat memberikan penghidupan bagi dirinya dan keluarganya. Bahkan jika dilakukan pemutusan hubungan kerja sebelum jangka waktu perjanjian kerja berakhir, seorang PKWT berhak mendapatkan uang ganti rugi sejumlah sisa jangka waktu perjanjian kerja.9

Keberadaan UU Ketenagakerjaan yang telah diundangkan jauh sebelum adanya UU ASN menjadi cerminan mengenai bagaimana pengaturan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu. UU Ketenagakerjaan telah mengalami dinamika sejak diundangkannya tahun 2003 hingga pada tahun 2020 mengalami perubahan pada sejumlah pasal didalamnya dengan diundangkannya Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Oleh karena itu, jaminan perlindungan terhadap hak – hak PPPK harus diwujudkan dalam UU ASN sebagaimana jaminan perlindungan terhadap hak – hak PKWT diwujudkan dalam UU Ketenagakerjaan. Sayangnya, perlindungan atas hak - hak PPPK dalam UU ASN hanya diwujudkan sebatas yang tertuang dengan Pasal 106 ayat (1) UU ASN yang berbunyi Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:10

a.   Jaminan hari tua

b.   Jaminan Kesehatan

c.   Jaminan kecelakaan kerja

d.   Jaminan kematian; dan

e.   Bantuan hukum

Dalam konteks konsep perlindungan hukum, apabila dibandingkan dengan konsep perlindungan yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan, amanah Pasal 106 ayat (1) UU ASN masih sangat jauh dari konsep perlindungan hukum sebagaimana dalam UU Ketenagakerjaan. Keadaan ini sangat merugikan bagi PPPK dimana peraturan perundangan tidak dapat menjadi alat untuk mengatur keseimbangan hak dan kewajiban dari subyek hukum dan tidak menyentuh pada persoalan pokok yang harus diatur guna menciptakan ketertiban. Fungsi hukum menjadi tidak bermakna ketika kebebasan penafsiran tanpa batas ditunggangi kekuatan politik dikemas untuk tujuan tertentu tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Filsafat hukum berguna untuk menciptakan kondisi hukum ideal dengan menjelaskan filosofi nilai dasar dari hukum itu sendiri untuk mewujudkan keadilan, ketertiban dan kehidupan yang harmonis. Terkait dengan pembentukan hukum, bahwa hukum dibentuk dengan mempertimbangkan keadilan selain sebagai kepastian hukum dan kemanfaatan (Darmodiharjo, 1995).

Merujuk pada Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar.12 Hal ini menegaskan demokrasi yang dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Demokrasi sendiri mengamanatkan pemenuhan hak asasi manusia sehingga pengelolaannya yang diwujudkan dalam pembentukan peraturan perundangan haruslah menghasilkan aturan hukum yang berkeadilan. Sebagai negara hukum, seluruh tugas serta tanggung jawab dari suatu negara yang dituangkan dalam peraturan perundangan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita negara hukum itu sendiri. Sayangnya, pengaturan dalam UU ASN ternyata mempunyai persoalan yang secara konseptual justru menjauhkan dari tujuan negara hukum. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, perubahan mendasar dalam pengaturan pegawai ASN perlu dilakukan analisis mendalam untuk mendapatkan pemahaman konsep yang jelas, sehingga dapat dilakukan perbaikan ke depan guna mengembalikan hukum kepada tujuan sejatinya yaitu memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme hubungan kerja pekerja dengan pengusaha ditinjau dari peraturan perundang-undangan bidang Ketenagakerjaan, hubungan kerja PPPK dengan instansi pemerintah ditinjau dari peraturan perundang-undangan terkait Aparatur Sipil Negara, dan hubungan kerja karyawan dengan perusahaan BUMN. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan mengenai pengaturan terhadap tenaga kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dalam peraturan perundang-undangan terkait Aparatur Sipil Negara dan peraturan perundang-undangan bidang Ketenagakerjaan.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menarik konsep hukum terkait pengaturan terhadap pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang menggambarkan konsep dan pengaturan terhadap pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dalam peraturan perundang-undangan terkait Aparatur Sipil Negara dan peraturan perundang-undangan bidang Ketenagakerjaan untuk kemudian dianalisis dan dijadikan masukan bagi perbaikan pengaturan yang ada.

Pengumpulan data dilakukan menggunakan data sekunder, yang merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan. Data tersebut akan diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri dari:

a.     Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

b.     Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

c.     Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

d.     Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.

e.     Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004

f.      Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.         

g.     Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009

h.     Tentang Pelayanan Publik          

i.      Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014

j.      Tentang Aparatur Sipil Negara. 

k.     Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000

l.      Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 

m.   Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020

n.     Tentang Cipta Kerja.      

o.     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

p.     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

q.     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Badan Usaha Milik Daerah.

r.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

s.     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

t.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.

u.     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Sedangkan bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal dan makalah yang membahas mengenai pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum atau kamus bahasa guna memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Analisis data dilakukan dengan pengumpulan secara sistematis terhadap semua data yang dibutuhkan untuk kemudian diolah dan disajikan agar mudah dipahami mengenai pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Kemudian diperbandingkan untuk penyempurnaan pengaturan ke depan. Untuk menguraikan masalah diperlukan teknik analisis data, sehingga diketahui hubungan secara menyeluruh antara masalah dengan data yang ada dalam penelitian. Teknik analisis data yang digunakan yaitu teknik analisis data yang bersifat kualitatif dengan cara mengumpulkan semua data yang ada untuk kemudian dilakukan analisis dengan mendasarkan pada teori hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Setelah dilakukan analisis, akhirnya ditemukan kesimpulan sebagai hasil dari penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

Persamaan Dasar Hubungan Antara PPPK dengan Pekerja di Perusahaan

Bekerja merupakan suatu upaya manusia dalam memenuhi beragam kebutuhan. Bekerja itu sendiri dapat dilakukan dengan membuat usaha sendiri ataupun bekerja untuk pihak lain. Bentuk bekerja untuk pihak lain yaitu dengan bekerja untuk negara atau dikenal dengan menjadi pegawai, dapat pula bekerja untuk orang lain (swasta) yang dikenal dengan menjadi buruh atau pekerja. Baik bekerja dengan membuat usaha sendiri ataupun bekerja kepada orang lain, tujuannya sama yaitu untuk mendapatkan upah guna meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja ataupun pegawai dan keluarganya. Bagi mereka yang bekerja kepada negara ataupun orang lain (pengusaha) berarti terjadi suatu hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja yang merupakan sesuatu yang abstrak. Kemudian hubungan kerja tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian kerja untuk membuatnya menjadi konkrit (nyata). Dengan adanya perjanjian kerja, maka lahirlah perikatan. Dengan kata lain perikatan yang lahir karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja. Suatu hubungan kerja erat kaitannya dengan pekerja dan pemberi kerja karena dalam suatu hubungan kerja akan ada dua pihak yang melakukan perjanjian kerja yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Syarat minimal untuk memulai suatu hubungan kerja yaitu setidaknya dilakukan oleh dua subyek hukum,  mengenai  suatu  pekerjaan  tertentu  dan  adanya  perjanjian kerja sebagai bukti dari suatu ikatan hukum yang mengatur serta melahirkan hak dan kewajiban. Penggunaan kata hubungan kerja ditujukan untuk memperlihatkan adanya hubungan hukum antara pemberi kerja dengan pekerja mengenai kerja yang juga dapat diartikan bahwa pihak pekerja dalam melakukan pekerjaan berada di bawah perintah dari pemberi kerja. Pemberi kerja memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengusaha, hal ini merupakan alasan bahwa perjanjian kerja dapat dibuat oleh subjek hukum lain selain pengusaha. Pasal 50 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.118 Dari isi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan kerja dalam kerangka UU Ketenagakerjaan adalah hubungan kerja antara pekerja (pekerja/buruh) dengan pengusaha (pihak yang mempekerjakan pekerja). Konsep yang sama juga terjadi dalam hubungan kerja antara pegawai dengan pemerintah selaku pemberi kerja. Sebagaimana Pasal 7 ayat (2) UU ASN bahwa PPPK merupakan pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan Ketentuan Undang-Undang.119 Serupa dengan konsep hubungan kerja dalam UU Ketenagakerjaan, pengaturan dalam UU ASN juga menegaskan hubungan kerja antara pekerja yang dalam hal ini disebut dengan pegawai dengan pihak yang mempekerjakan pekerja atau yang dalam hal ini disebut dengan Pejabat Pembina Kepegawaian. Baik hubungan kerja PKWT maupun PPPK merupakan hubungan kerja antara pekerja/buruh/pegawai dengan pemberi kerja (pengusaha/instansi pemerintah).

Perjanjian kerja merupakan awal lahirnya hubungan kerja antara pekerja dengan pihak yang mempekerjakan pekerja. Bentuk pelaksanaan perjanjian kerja itu sendiri pada prakteknya dibedakan berdasarkan jangka waktu pelaksanaan perjanjian kerja atau yang dikenal dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) dan perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT). PKWT dapat diartikan perjanjian kerja antara pekerja dengan pemberi kerja untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tidak tetap atau dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha yang bersifat tetap. Secara mendasar perbedaan antara PKWT dan PKWTT dapat terlihat dari status hubungan kerja dan lama waktu perjanjian kerja. Namun perbedaan mendasar tadi berimplikasi pada penentuan persyaratan, kategori dan kondisi seperti apa yang dapat diberlakukan baik bagi PKWT maupun PKWTT. Keberadaan jenis pekerja dengan PKWT dan PKWTT diawali dari adanya pekerjaan yang memang pelaksanaannya dalam waktu tertentu. Berbeda dengan PKWTT yang memang dalam pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditentukan kapan selesainya karena bersifat tetap. Lebih jauh, kedua jenis pekerja ini menghasilkan interpretasi bahwa setiap pekerjaan yang memiliki jenis/sifat/kegiatan yang bersifat sementara dapat dilakukan berdasarkan PKWT atas dasar jangka waktu. Masing-masing perjanjian kerja tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung kebutuhan para pihak. UU Ketenagakerjaan pada Pasal 56 ayat 1 mengatur hal tersebut, dimana perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau waktu tidak tertentu.120 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Syarat-syarat perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat dilihat pada tabel berikut:

 

 

 

 

 

Table 1. Syarat Syarat Perjanjian Kerja

No

Syarat-syarat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Swasta

Pemerintah

1

PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a.   pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.

b.   pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

c.   pekerjaan yang bersifat musiman.

d.   pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan, atau

e.   pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

Tidat terdapat pengaturan serupa

2

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Tidak terdapat pengaturan serupa

3

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan poin 1 dan 2 demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu

Tidak terdapat pengaturan serupa

 

PKWT merupakan jenis hubungan kerja dengan tujuan mendapatkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan yang memang mempunyai batasan waktu dalam penyelesaiannya. Pengaturan PKWT diadakan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja yang melakukan pekerjaan yang sifatnya tidak terus menerus atau dibatasi waktu perjanjian kerjanya. Isi perjanjian kerja merupakan inti dari perjanjian kerja. Isi dari suatu perjanjian kerja berupa penjelasan mengenai pekerjaan yang diperjanjikan untuk dilaksanakan oleh pihak pekerja sehingga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sama halnya dengan pengaturan mengenai PPPK pada UU ASN. Pasal 6 UU ASN membagi jenis ASN menjadi PNS dan PPPK.121 Status yang membedakan kedua jenis tersebut dijelaskan pada Pasal 7 UU ASN dimana disebutkan bahwa PNS merupakan pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap, sedangkan PPPK merupakan pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja.122 Pembedaan status ini juga memberikan implikasi pada jenis jabatan yang dapat diduduki oleh PPPK. Sebagaimana pada UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan bahwa PKWT hanya untuk pekerjaan tertentu, demikian pula dengan UU ASN yang mensyaratkan jenis jabatan tertentu untuk dapat diisi oleh PPPK. Dari kedua pengaturan tadi tergambarkan bahwa baik PKWT maupun PPPK sama-sama berstatus pekerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu.

Hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi kerja akan menggiring ke dalam ragam permasalahan atau sengketa yang terjadi sebagai wujud ketidakadilan. Rangkaian masalah yang ada seolah mempertegas bahwa keadilan menempati ruang tersendiri bagi para pihak dan tidak dapat hadir pada kedua sisi yang sama. Pemberi kerja memiliki versi keadilan miliknya dan pekerja pun demikian. Keadilan diharapkan dapat terwujud dengan hadirnya hukum yang menaunginya. Membicarakan hukum berarti membicarakan hubungan antar manusia. Pembicaraan tentang hubungan antar manusia berarti juga membicarakan tentang keadilan. Oleh karena itu, upaya memberikan perlindungan dalam hubungan kerja harus dilakukan dengan mengidentifikasi varian permasalahan yang terjadi. Bagaimanapun pemberi kerja merupakan berada pada kelas yang berbeda dengan pekerja sehingga hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja bermuatan konflik karena bersifat sepihak dan eksploitatif. Ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan yang terjadi dapat menyebabkan timbulnya konflik. Prakteknya, posisi yang lemah menyebabkan pekerja membutuhkan perlindungan untuk memperjuangkan hak-haknya. Perlindungan diarahkan pada upaya memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, menghadirkan kesamaan perlakuan dan kesempatan tanpa diskriminasi, dan meningkatkan keharmonisan hubungan kerja. Berbicara mengenai masalah perlindungan terhadap tenaga kerja pada umumnya berkenaan dengan perlindungan sosial tenaga kerja dan perlindungan hukum tenaga kerja yang meliputi perlindungan secara ekonomi yang berkaitan dengan usaha untuk memberikan penghasilan yang layak bagi tenaga kerja dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk jaminan sosial tenaga kerja, perlindungan secara sosial yang berkaitan dengan kesehatan kerja dan perlindungan  secara  teknis  yang  berkaitan  dengan  upaya  menjaga agar tenaga kerja terhindar dari kecelakaan kerja. Tujuan pemberian perlindungan terhadap tenaga kerja adalah untuk menjaga agar tenaga kerja dapat melakukan pekerjaan yang layak sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Pasal 5 UU Ketenagakerjaan memberikan pengertian perlindungan dimana tiap-tiap tenaga kerja berhak dan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan serta penghidupan yang layak tanpa diskriminasi sesuai dengan minat dan kemampuannya.123 Untuk mewujudkan hal tersebut, pada Pasal 6 UU Ketenagakerjaan mewajibkan kepada pemberi kerja untuk memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa diskriminasi.124 Dalam bekerja seringkali pemberi kerja mengabaikan perlindungan kepada pekerjanya sehingga amanat perlindungan terhadap tenaga kerja diatur dalam peraturan perundang- undangan. Hal ini bertujuan memberikan perlindungan atas pemenuhan hak dasar tenaga kerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan tenaga kerja. Sejalan dengan hal tersebut, UU ASN juga mengamanatkan perlindungan bagi PPPK sebagaimana pada Pasal 22 UU ASN yang menyatakan bahwa PPPK berhak memperoleh gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan dan pengembangan kompetensi.125 Pemenuhan perlindungan dalam UU ASN tercermin dalam penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik dalam pengaturan mengenai hak dan kewajiban ASN. Pengaturan hak dan kewajiban ini merupakan bentuk intervensi pemerintah dalam pengaturan mengenai ASN. Intervensi dilakukan dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitas, yang menjadi sendi utama negara hukum. Intervensi yang dilakukan ini juga perwujudan konsep negara kesejahteraan dimana pemerintah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya. Oleh karena itu, pemerintah diberi kewenangan untuk turut campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat berdasarkan peraturan-perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik menjadi acuan kewenangan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Asas yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan ini memiliki semangat untuk mengupayakan kepemerintahan yang baik serta komitmen mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, jelas bahwa pengaturan mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh maupun PPPK sama-sama dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dikarenakan pada dasarnya pihak tenaga kerja memerlukan perlindungan akan hak-hak nya yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kondisi adil dalam lingkungan kerja dapat dikatakan sebagai kondisi dimana pekerja mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam melaksanakan  pekerjaannya. Banyak tenaga kerja yang melakukan  protes terhadap kebijakan tempat dimana ia bekerja karena merasa diperlakukan tidak adil. Ketidakadilan dapat terjadi dalam berbagai segi mulai dari proses perekrutan, kesempatan pengembangan kompetensi, kebijakan mengenai pengupahan dan kompensasi, hingga pada pemutusan hubungan kerja. Ketika terjadi pembiaran atas praktek ketidakadilan itu, pada akhirnya akan menciptakan lingkungan kerja yang kurang sehat. Ketidakadilan dapat menurunkan motivasi dan kinerja tenaga kerja yang juga berdampak pada kinerja dan aktivitas tempat tenaga kerja bekerja. Kepuasan seseorang pada keadilan tergantung pada apa yang ia rasakan pada situasi yang dialaminya. Perbandingan akan dilakukan terhadap apa yang ia rasakan dengan apa yang orang lain rasakan dan akan dirasa adil apabila mencapai kepuasan. Ketidakadilan dapat dipicu oleh tindakan diskriminasi. Perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang harus dihindari dengan menciptakan ruang yang adil dengan perilaku yang proporsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketidakadilan dapat menimbulkan gesekan horizontal sesama tenaga kerja. Perbedaan status hubungan kerja antar sesama tenaga kerja dapat memicu rasa ketidakadilan. Sebagaimana pada PKWT dan PPPK, keduanya tidak memiliki jaminan akan dapat bekerja seterusnya pada tempat kerjanya. Keduanya dibayangi adanya pemutusan hubungan kerja yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh pemberi kerja. Belum lagi perbedaan hak yang mungkin dibedakan antara pekerja tetap dengan pekerja dengan jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, pemberi harus dapat menjamin kehidupan yang layak bagi pekerjanya sesuai dengan kemampuannya. Pekerja telah mengabdikan hidupnya untuk bekerja sehingga aktivitas pemberi kerja dapat berjalan dengan baik. Oleh karenanya, sudah menjadi hak pekerja untuk mendapatkan hasil dari jerih payahnya. Perlindungan dalam hal ini untuk memastikan pemenuhan hak pekerja sebagai wujud pengakuan terhadap hak pekerja sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi sebab keadilan tidak akan mengabaikan hak sebagian orang semata untuk keuntungan yang dinikmati oleh orang lain. PKWT maupun PPPK sama-sama menghendaki tegaknya keadilan dengan tidak adanya perbedaan antar sesama pekerja di tempat kerja dan diperlakukan dengan baik di tempat kerja tanpa adanya diskriminasi. Meskipun secara status para pekerja memiliki perbedaan, namun antar sesama pekerja memiliki kesamaan hak untuk diperlakukan secara adil di tempat mereka bekerja. Oleh karena itu, baik PKWT maupun PPPK perlu mendapatkan perhatian guna mendapatkan perlindungan kerja yang setara dengan pekerja yang bukan PKWT ataupun PPPK.

Keberadaan pekerja ataupun pegawai merupakan hasil dari adanya perencanaan tenaga kerja. Perencanaan tenaga kerja merupakan langkah manajemen guna menjaga ketersediaan tenaga kerja untuk mengisi berbagai posisi, jabatan dan pekerjaan yang keseluruhannya dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditetapkan. Perencanaan SDM bukanlah perkara mudah, oleh karenanya harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Perencanaan SDM antara lain dilakukan agar organisasi dapat  memaksimalkan   pemanfaatan  SDM  yang  ada,  sedemikian   rupa sehingga produktivitas kerja dari seluruh tenaga kerja yang dimiliki dapat ditingkatkan. Perencanaan SDM juga berkaitan dengan peta kebutuhan tenaga kerja baik dari segi jumlah maupun kualitas tenaga kerja, sebagai gambaran proyeksi informasi ketenagakerjaan (jumlah, masa kerja, status dan penghasilan), dan sebagai dasar bagi penyusunan program kerja. Adanya gambaran kebutuhan tenaga memudahkan pemberi kerja dalam menganalisis jumlah kebutuhan tenaga kerja masa kini dan masa depan sesuai dengan beban pekerjaan, kekosongan tenaga kerja dapat dihindari dan semua pekerjaan dapat dikerjakan dengan baik. Menentukan kebutuhan tenaga kerja haruslah menentukan jumlah masing-masing jenis jabatan yang dibutuhkan. Dengan melakukan peramalan/proyeksi terhadap kebutuhan untuk suatu periode tertentu. Faktor internal dan eksternal perusahaan menjadi hal yang harus dipertimbangkan dalam menghitung kebutuhan tenaga kerja misalnya faktor jumlah produksi, ramalan usaha ke depan, perluasan perusahaan, perkembangan teknologi dan tingkat permintaan dan penawaran tenaga kerja. Setelah perencanaan dilakukan, kemudian dimulai pelaksanaan pengadaan yang merupakan upaya memperoleh jumlah dan jenis tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Rangkaian proses diawali dengan pencarian pelamar dan diakhiri ketika lamaran diserahkan untuk kemudian dilanjutkan dengan proses penilaian kelayakan calon tenaga kerja. Dengan menerima calon tenaga kerja sebanyak- banyaknya yang sesuai dengan kualifikasi kebutuhan perusahaan memungkinkan terjaring calon tenaga kerja dengan kualitas terbaik. Baik dalam pengadaaan PKWT maupun PPPK keduanya menghendaki adanya pengadaan yang dilakukan secara terbuka dan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan bukti pemenuhan hak asasi manusia dalam pelaksanaan pengadaan. Baik UU Ketenagakerjaan maupun UU ASN keduanya tunduk pada asas-asas perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.

Setiap perusahaan memiliki perjanjian kerja yang beragam. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja merupakan pedoman pelaksanaan hak dan kewajiban yang penting yang harus dipegang dan diterapkan oleh kedua belah pihak. Perjanjian kerja juga dapat dijadikan dasar pedoman jika terjadi suatu pelanggaran. Manfaat adanya perjanjian kerja antara lain untuk mengetahui hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, pegangan agar kedua belah pihak tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dan memudahkan cara penyelesaian masalah antara kedua belah pihak. Adanya perjanjian kerja memberikan rasa tenang bagi kedua belah pihak, dapat dijadikan acuan dalam penyelesaian masalah, sebagai penegasan hak dan kewajiban para pihak serta menghindari perselisihan yang mungkin terjadi. Baik UU ASN maupun UU Ketenagakerjaan mengatur keharusan adanya perjanjian kerja bagi PKWT dan PPPK dan isi perjanjian kerja yang meliputi syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Beberapa informasi penting yang harus ada dalam perjanjian kerja antara lain jabatan atau jenis  pekerjaan yang diberikan,  informasi  terkait tempat kerja, upah yang akan dibayarkan serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban perusahaan dan pekerja.

 

Rangkuman Perbandingan Konsep Keadilan dan Perlindungan pada PPPK dan Pekerja di Perusahaan

Jika diuraikan dalam tabel, maka dapat digambarkan bahwa perbandingan keadilan dan perlindungan pada PPPK dan Pekerja di perusahaan adalah sebagai berikut:

 

Tabel 2.  Perbandingan konsep keadilan dan perlindungan hukum pada PPPK dan pekerja di perusahaan

No

Perihal

Pekerja di Perusahaan

PPPK

1

Status hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

1.   PKWT hanya dapat/boleh diadakan untuk pekerjaan yang bersifat sementara

2.   PKWT hanya dapat dilaksanakan paling lama 5 (lima) tahun

3.   Sanksi atas pelanggaran ketentuan PKWT yang salah satunya dipekerjakan untuk pekerjaan yang sifatnya tetap adalah status hubungan    kerja demi hukum berubah menjadi hubungan   kerja tetap

1.    Tidak terdapat penegasan perbedaan sifat pekerjaan PPPK dengan PNS

2.    Dapat terus diperpanjang selama masih dibutuhkan

3.    olehinstansi pemerintah      dan berdasarkan penilaian kinerja

4.    Secara tegas diatur bahwa PPPK tidak dapat diangkat

5.    otomatis menjadi calon PNS

2

Pembatasan Usia Pensiun

Perusahaan mengatur usia pensiun berkisar antara 56-58 tahun

Usia pensiun 58-65 tahun tergantung jabatan yang diduduki PPPK

3

Pengakhiran hubungan kerja sebelum waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu oleh salah satu pihak

Pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan memberikan  ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja

Tidak terdapat mekanisme ganti rugi

4

Hak atas pembayaran pesangon, uang penghargaan masa kerja bila pekerja mencapai usia pensiun atau jika terjadi PHK misalnya karena diberhentikan atau meninggal

dunia

1.   Dalam hal PKWT berubah statusnya menjadi PKWTT dapat terus bekerja sampai dengan pensiun

2.   Apabila terjadi PHK misalnya karena diberhentikan atau meninggal dunia mendapatkan kompensasi

Tidak    mendapatkan kompensasi bila telah mencapai usia pensiun ataupun bila terjadi pemutusan hubungan kerja

5

Hak untuk mendirikan serikat pekerja yang akan melindungi anggotanya

1.   Dapat membentuk organisasi yang dibentuk dari, oleh  dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan

2.   Organisasi yang dibentuk bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis

3.   Organisasi bertanggung jawab memperjuangkan, melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya

1.   Pembentukan wadah korps profesi berdasarkan perintah undang-undang

2.   Korps profesi bertujuan untuk menjaga kode etik dan standar         pelayanan profesi dan mewujudkan jiwa korps ASN

 

 

Hubungan Kerja Karyawan Dengan Perusahaan Di Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Pemerintah atau negara merupakan subjek hukum yang menginvestasikan modalnya dalam bentuk usaha. Bentuk usaha tersebut dituangkan dalam sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Perusahaan Negara yang modal utamanya berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Pendirian BUMN antara lain bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta memenuhi kebutuhan masyarakat. BUMN melaksanakan kegiatan yang bergerak di bidang jasa-jasa vital dan melakukan pelayanan kepada masyarakat. BUMN memiliki organ yang terdiri dari Direksi dan pegawai dalam melaksanakan fungsinya tersebut. Status pegawai BUMN terikat dengan kontrak perjanjian kerja. Pegawai BUMN dalam hal ini memiliki status tersendiri yang dibedakan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan karyawan swasta.

Pada awalnya pengaturan mengenai status karyawan BUMN disamakan statusnya dengan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa baik Pegawai BUMN maupun Pegawai BUMD dipersamakan dengan PNS.126 Persamaan tersebut termasuk pemberlakuan kewajiban pemberitahuan tertulis kepada pejabat/atasan apabila melangsungkan perkawinan dan kewajiban memperoleh izin pejabat untuk dapat melakukan perceraian. Namun berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, menyatakan bahwa karyawan BUMN tidak lagi tunduk pada ketentuan kepegawaian PNS dengan bunyi:127

1.   Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan

2.   Bagi BUMN tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian dan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi PNS

Aturan ini senada dengan Pasal 87 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyatakan bahwa:128

a.   Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

b.   Karyawan BUMN dapat membentuk serikat pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain adanya BUMN juga dikenal adanya BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. Tujuan pendirian Perusahaan Daerah adalah untuk pengembangan dan pembangunan potensi ekonomi di daerah yang bersangkutan. Keberadaan BUMD berlandaskan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah. Salah satu bentuk BUMD adalah PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yaitu Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pelayanan air minum. PDAM yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah didukung dengan organ dan kepegawaian sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. Seiring berjalannya waktu kedua undang-undang tadi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Badan Usaha Milik Daerah. Sebagaimana dalam UU BUMN, dalam Pasal 74 PP BUMD juga dinyatakan bahwa Pegawai BUMD merupakan pekerja BUMD yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak, dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketenagakerjaan.129

Di lain pihak PPPK dan karyawan BUMN/BUMD memiliki beberapa kemiripan. Diantaranya bahwa PPPK berkedudukan sebagai unsur aparatur Negara, yang harus melaksanakan kebijakan yang yang telah ditetapkan di dalam kontrak perjanjian kerja yang dibuat dibawah naungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara. Tidak jauh berbeda dengan PPPK, karyawan BUMN berkedudukan sebagai unsur dari suatu perusahaan negara yang harus melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan di dalam kontrak perjanjian kerja yang dibuat dibawah naungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. PPPK mengabdi pada Negara sebagai penyelenggara pemerintahan, sedangkan Pegawai BUMN mengabdi pada Negara sebagai penyelenggara perekonomian Negara. Baik karyawan BUMN dan BUMD maupun PPPK bekerja atas dasar perjanjian kerja. Apabila pengaturan kepegawaian karyawan BUMN dan BUMD tunduk pada undang-undang bidang ketenagakerjaan maka pengaturan PPPK pun juga dapat menundukan diri pada undang-undang bidang ketenagakerjaan.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan kerja antara PPPK dengan instansi pemerintah belum memenuhi konsep keadilan hubungan kerja antara Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dengan pemerintah belum memenuhi konsep keadilan dan perlindungan. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam UU ASN tidak membedakan jenis dan sifat pekerjaan antara PNS dengan PPPK sehingga PPPK melakukan pekerjaan yang bersifat sama dengan PNS tetapi memiliki status dan sistem kepegawaian yang berbeda dengan PNS. Berbeda dengan pengaturan PKWT dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur dengan tegas bahwa PKWT hanya untuk pekerjaan yang bersifat sementara dimana sifat kesementaraan tersebut selanjutnya diperjelas lagi dengan adanya batas waktu perjanjian kerja bagi PKWT yaitu 5 (lima) tahun. Bahkan terdapat pengaturan yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan ini menyebabkan perjanjian kerja menjadi batal demi hukum dan hubungan kerja PKWT berubah menjadi PKWTT.

Ketidakjelasan dasar pembedaan jenis dan sifat pekerjaan PPPK, kemudian berimplikasi pada munculnya perbedaan perlakuan antara lain PPPK tidak mengenal batasan waktu kontrak, tidak mengenal adanya uang kompensasi ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, tidak mengenal adanya serikat pekerja, tidak mengenal kenaikan pangkat, pengembangan karier, atau promosi, dan tidak mengenal adanya jaminan pensiun. Oleh karena itu, jelas bahwa pengaturan PPPK saat ini telah melahirkan perbedaan hak yang melanggar asas keadilan dan menempatkan PPPK pada kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan sejawatnya yang berstatus PNS ataupun dengan kedudukan PKWT sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Afandi, M. (2021). Analisis Pelaksanaan Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 (Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia)).

Darmodiharjo, D. (1995). Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Fajariah, M., & Suryo, D. (2020). Sejarah Revolusi Industri Di Inggris Pada Tahun 1760-1830. HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 8(1), 77–94. https://doi.org/10.24127/hj.v8i1.2214.

Fonna, N. (2019). Pengembangan Revolusi Industri 4.0 dalam Berbagai Bidang. Guepedia.

ILO. (2021). 2022: Advancing social justice in a world in crisis. Ilo.Org.

Jamaludin, A. N. (2016). Sosiologi pembangunan. Bandung: Pustaka Setia.

Mulia, L. T. (2023). Implementasi Manajemen Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Jurnal Pendidikan Tambusai7(1), 2284-2293.

Purba, B., Rahmadana, M. F., Basmar, E., Sari, D. P., Klara, A., Damanik, D., Faried, A. I., Lie, D., Fazira, N., & Rozaini, N. (2021). Ekonomi Pembangunan. Medan: Yayasan Kita Menulis.

Raharjo, T. (2022). Manusia Tanpa Sekolah. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Rangkuti, M. A. M., Gaol, A. T. L., & Kalamullah, R. D. S. (2023). Tinjauan Yuridis Mengenai Perlindungan Hukum Pada Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (Pppk) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan9(11), 775-800.

Sachari, A. (2007). Budaya Visual Indonesia: membaca makna perkembangan gaya visual karya desain di Indonesia abad ke-20. Erlangga.

Savitri, A. (2019). Revolusi industri 4.0: mengubah tantangan menjadi peluang di era disrupsi 4.0. Yogyakarta: Genesis.

Suprihanto, J., & Putri, L. P. (2021). Manajemen Sumber Daya Manusia. UGM PRESS.

Warsito, R. (2016). Sosiologi Industri. Surabaya: Jaudar Press.

Wijayanti, A. (2009). Hukum ketenagakerjaan pasca reformasi (Vol. 1). Jakarta: Sinar Grafika.

 

Copyright holder:

Nova Scotia Rosita (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: