Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember 2022
TANGGUNG
JAWAB PEMBAYARAN HUTANG PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN
PAILIT
Malvin
Jati Kuncara Alam W, Richard Chandra Adam
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Perpajakan
memegang peran yang krusial dalam pembangunan dan pemerintahan pada suatu
negara tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun begitu bukan berarti sistem
perpajakan dapat semena-mena diterapkan karena pada prinsipnya perpajakan
adalah oleh rakyat dan untuk rakyat. Demikian pula dalam kepailitan yang mana
kepailitan pada dasarnya merupakan mekanisme yang tidak hanya digunakan agar
kreditor-kreditor dapat mempertahankan haknya namun juga melindungi debitor
dari tagihan yang semena-mena. Begitupula dalam hal kantor Pajak terlambat
menagihkan pajak dalam kepailitan, secara tidak langsung hal ini merugikan
karena hutang Pajak kemungkinan besar menjadi tidak terbayarkan. Namun demikian
Dalam kasus PT UCI pajak ditagihkan kepada Direksi setelah kepailitan berakhir
yang mana hal ini bertentangan dengan konsep pertanggungjawaban dalam Perseroan
Terbatas maupun Kepailitan Dalam penelitian ini penulis mencoba meneliti
bagaimana tanggung jawab Pajak dapat dijalankan kepada Wajib Pajak Badan yang
telah dinyatakan pailit. penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif
dan akan melakukan penelitian normatif yaitu studi secara konseptual terhadap
literatur hukum dan putusan mahkamah konstitusi pengujian undang-undang pasal
32 ayat (2) UU Ketentuan Umum Perpajakan. Setelah meninjau dan menganalisis
putusan mahkamah konstitusi tersebut ditemukan bahwasannya konsep
pertanggungjawaban yang berbeda yang dianut antara Perseroan Terbatas, dan
Kepailitan pada dasarnya hanya memproteksi Direksi terhadap hutang Pajak pada
saat kepailitan terjadi. Hal ini karena mekanisme penanggungan Pajak
menempatkan Direksi secara otomatis telah lalai sehingga dapat dimintai
pertanggungjawaban secara pribadi.
Kata
Kunci:
Perpajakan, Pertanggungjawaban, Kepailitan.
Abstract
Taxation
plays a crucial role in development and governance in a country, and Indonesia
is no exception. Even so, it does not mean that the tax system can be applied
arbitrarily because in principle taxation is by the people and for the people.
Likewise in bankruptcy where bankruptcy is basically a mechanism that is not
only used so that creditors can defend their rights but also protect debtors
from arbitrary bills. Likewise, in the event that the tax office is late in
collecting taxes in bankruptcy, this is indirectly detrimental because the tax
debt is likely to become unpaid. However, in the case of PT UCI, taxes were
billed to the Board of Directors after the bankruptcy ended, which contradicts
the concept of liability in a Limited Liability Company or Bankruptcy. This
study uses normative juridical research and will conduct normative research,
namely a conceptual study of legal literature and decisions of the
constitutional court reviewing the law article 32 paragraph (2) of the General
Provisions on Taxation Law. After reviewing and analyzing the decision of the
constitutional court it was found that the different concept of responsibility
adopted by Limited Liability Companies and Bankruptcy basically only protects
the Board of Directors against tax debts when bankruptcy occurs. This is
because the mechanism for underwriting taxes places the Directors automatically
negligent so that they can be personally held accountable.
Keywords:
Taxation, accountability, Banckruptcy.
Pendahuluan
Perkembangan ilmu dan
teknologi pada dasarnya mempengaruhi kebutuhan manusia secara individu dan
kebutuhan bernegara dalam menjalankan pemerintahan. Dalam rangka mendorong
pembangunan untuk memenuhi kedua aspek tersebut, salah satu pendorong yang
krusial adalah pembiayaan operasional terhadap pembangunan nasional. Pendapatan
negara ini mempengaruhi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan tingkat
kesejahteraan yang dapat diwujudkan. Oleh karena itu, meningkatkan pendapatan
negara menjadi penting. Salah satu pendapatan negara yang memberikan pemasukan
signifikan adalah Pajak. Peran Pajak sendiri secara nyata dapat terlihat dalam
alokasi dana yang dibuat oleh pemerintah sebagaimana daitur dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Ramadhanti & Pradana, 2020).
Secara filosofis Pajak
diatur dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Amandemen ke IV yang mana menyatakan bahwa �Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang".
Kemudian penjelasan mengenai Pajak sebagaimana�
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 mengenai
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Selanjutnya �UUKUP�), yaitu �Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.� Melalui dasar tersebut maka dapat diketahui bahwa 1) Pajak memiliki
sifat memaksa; 2) Tidak terdapat timbal balik; 4) Penagihan b22��� erdasarkan Undang-Undang; dan 3) digunakan
untuk keperluan negara (Hasibuan, 2018).
Sifat memaksa dari
pajak pada dasarnya dapat dikaitkan dengan teori kontrak sosial yang yang
diajarkan oleh Hobbes, Locke, Rousseau dan Rawls. Kontrak Sosial Menurut Hobbes
adalah bahwa manusia menyadari bahwa dirinya adalah mahkluk sosial dan oleh
karena itu menyerahkan kekuasaan yang dimilikinya kepada seorang pemimpin untuk
mengatur serta merealisasikan unsur sosial tersebut (Wijaya, 2016). Dalam
hubungannya dengan Perpajakan, karena warga negara telah menyerahkan diri maka
timbul kewajiban membayarkan Pajak yang mana untuk berjalannya otoritas
daripada Pemerintah, melakukan pengaturan, dan memberikan fasilitas yang
digunakan untuk kemakmuran masyarakatnya (Karwur et al., 2020).
Pajak pada dasarnya
adalah mutlak namun pelaksanaanya serta pemaksaannya dibatasi dan dilaksanakan
sesuai dengan Undang-Undang. Artinya tanpa diatur oleh Undang-Undang maka Pajak
tidak dapat ditagihkan, sesuai dengan asas no taxation without
representation. Pengaturan Pajak berfungsi agar negara mendapatkan haknya
dengan tetap terjaganya sistem Penagihan yang adil kepada subjek hukum
perpajakan (disebut juga �Wajib Pajak�). Dalam hal ini, Penagihan Pajak sebagai
hak negara dapat dikatakan mengandung hak istimewa karena memiliki pengaturan
khusus bahkan dalam hal kepailitan, Pajak diposisikan sebagai kreditor yang
memiliki hak istimewa (Preferen). Bagi Wajib Pajak Badan Usaha, tentunya fakta
ini tidak terlepas dari fakta bahwa timbulnya Pajak sendiri bukan diambil dari
keuntungan.
Berkaitan dengan
penagihan Pajak yang didahulukan oleh Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, hal
yang sering terjadi adalah tidak masuknya hutang Pajak kedalam daftar Kreditor.
Akibat hukumnya sesuai dengan UUKPKPU, maka seharusnya Kantor Pajak harus
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga untuk dimasukan kedalam harta
kepailitan. Namun demikian, yurisprudensi permohonan-permohonan tersebut hampir
selalu ditolak. Dalam kondisi ini, seharusnya Kantor Pajak sudah tidak memiliki
perlawanan lagi, tetapi praktik yang berkembang saat ini Direksi sebagai Wakil
Wajib Pajak bertanggungjawab membayarkan hutang Pajak tersebut. hal ini seperti
pengakuan daripada Irfan Maksum (Kepala Seksi Advokasi III DJP) yang mengaku
pernah mengejar pertanggungjawaban hutang pajak secara pribadi kepada seorang
direktur yang Badan Hukumnya telah selesai dipailitkan namun hutang Pajaknya
tidak dilunasi (Hukum Online.com, 2022).
Sesuai dengan
pernyataan tersebut, Taufik Surya Dharma selaku Direksi dari PT United Coal
Indonesia (Selanjutnya �PT UCI�) yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga Jakarta Nomor 11/Pdt.Sus/Pembatalan-Perdamaian/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst
mengalami kejadian yang sama. Taufik menyatakan bahwa dirinya mendapatkan surat
tagihan Pajak yang kemudian berujung pada pembekuan aset yang dimilikinya.
Padahal sejak dinyatakan Pailit, dirinya sudah automatis tidak menyandang
status pengurus karena sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) kewajiban
tersebut telah beralih kepada kurator karena Direksi dianggap sudah tidak lagi
cakap mengurus. Oleh karena itu seharusnya sesuai juga dengan Pasal 32 ayat (1)
yang mengatur secara spesifik bahwa dalam hal Pailit Wakil Wajib Pajak adalah
Kurator. Dengan kondisi yang merasa dirugikan, Taufik kemudian mengajukan
Permohonan kepada mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 32 ayat (2) UUKUP
terhadap Pasal 28 UUD 1945.
Pasal 32 ayat (2)
Mengatur bahwa �Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab
secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang,
kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa
mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung
jawab atas pajak yang terutang tersebut.� Sedangkan ayat (1) sebagaimana
dimaksud merujuk pada Direksi sebagai Wakil Wajib Pajak. Permohonan dengan
Nomor register 41/PUU-XVIII/2020 ini akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi
dengan alasan tidak memiliki kewenangan mengadili. Namun demikian dalam
pertimbangannya Mahkamah Menyampaikan bahwa kegagalan pembayaran Pajak adalah
kelalaian Direksi namun disatu sisi hal tersebut seharusnya ditagihkan ke
Kurator. Pertimbangan ini tentunya mebuat ketidakjelasan dalam penafsiran, dan
menjadi isu yang menarik untuk dibahas.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal atau normati karena bertujuan
untuk menemukan suatu dasar hukum yang digunakan untuk menjawab permasalahan
yang sedang diteliti (Marzuki & SH, 2020). Pendekatan
yang digunakan antara lain adalah pendekatan konseptual (conceptual approach)
yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum terkait, kemudian pendekatan peraturan
(statute approach) untuk meninjau peraturan-peraturan yang relevan
terhadap kasus yang sedang ditinjau; dan pendekatan kasus (case approach)
yaitu melihat kasus-kasus yang serupa. Adapun untuk teknik yang digunakan
adalah studi kepustakaan (library research) dan jenis data yang digunakan
adalah primer, sekunder, dan tersier (Poesoko, 2010). Sumber data
primer atau sumber utama meliputi peraturan perundang-undangan, statua lembaga
arbitrase, dan putusan pengadilan. Sedangkan sumber data sekunder sebagai
pendukung terdiri dari buku maupun jurnal.
Hasil dan Pembahasan
A. Konsep
tanggung jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas
Sebagai Badan Hukum,
Perseroan diberikan kekuatan oleh Undang-Undang untuk menyandang status Legal
Person layaknya manusia. Oleh karena statusnya ini, Perseroan berkapasitas
melakukan perbuatan-perbuatan manusia seperti pengadaan perjanjian, mempunyai
kekayaan, dan dapat menggugat maupun digugat didepan pengadilan serta melakukan
hak dan kewajiban (Isfardiyana, 2015). Pemisahan
personalitas daripada badan hukum sendiri tidak lepas dari hakikatnya sebagai
suatu yang didasari oleh kebutuhan dan kemudian penunjang hak maupun kewajiban (Sjawie & SH, 2017). Dengan tujuan
ini maka esensi daripada personalitas hukum Perseroan adalah �pemisahan harta
kekayaan� sebagaimana dikenal dalam Hukum Perdata(Ridwan Khairandy, 2014). Dengan
pemisahan ini maka tanggung jawab yang dipikulpun juga terpisah (Limited
liability).
Meskipun demikian,
Badan Hukum sebenarnya hanya subjek hukum fiksi yang dibuat oleh hukum sehingga
membutuhkan manusia untuk melakukan perbuatan. Oleh karena itu didalam
Perseroan terdapat Organ Perseroan yang mana salah satunya adalah Direksi.
Direksi merupakan Organ Perseroan yang mana berfungsi melakukan kepengurusan
Perseroan sebagaimana maksud dan tujuan dibentuknya perseroan (Setyarini et al., 2020). Dengan
demikian sudah merupakan konsekuensi logis apabila Direksi wajib melakukan
seluruh tugasnya dengan itikad baik dan tanggung jawab untuk kepentingan
Perseroan. Dalam hal, Direksi tidak melakukan tugasnya/didapati kesalahan
maupun kelalaian maka walaupun terdapat pemisahan tanggung jawab Direksi tetap
dapat dituntut bertanggung jawab secara pribadi (Widjaja, 2008).
Konsep pertanggungjawaban
atas kesalahan dan kelalaian Direksi ini diatur dalam Pasal 97 ayat (3) yang
mana mengatur bahwa �Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara
pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).� Sedangkan Pasal 97 ayat (4) UUPT, lebih lanjut mengatur bahwa dalam hal
Direksi lebih dari satu maka semuanya bertanggungjawab secara renteng terhadap
kerugian. Hal yang sama juga terjadi. Dalam konteks kelalaian tersebut
menyebabkan kepailitan dan harta Perseroan tidak cukup untuk melunasi hutang
yang ada maka sesuai dengan Pasal 104 ayat (2) maka sisa piutang ditanggung
secara pribadi maupun renteng oleh Direksi. Sedangkan Direksi dapat menghindar
dari tanggung jawab ini, apabila Direksi dapat membuktikan telah menjalankan
tugas serta wewenangnya sebagaimana prinsip fiduciary duty.
Tugas serta wewenangnya
Direksi sebagaimana dimaksud pada UUPT mengacu pada prinsip fiduciary duty.
Fiduciary Duty sendiri merupakan konsep yang meletakkan Direksi sebagai
pihak yang diberikan kepercayaan oleh Pemegang Saham untuk melakukan tindakan
atas nama dan untuk kepentingan Pemegang Saham tersebut, oleh karenanya Direksi
wajib menjalankan kepercayaan dengan itikad baik serta penuh tanggung jawab (Hadi, 2011). Kepercayaan
yang dimaksud adalah berkaitan dengan fungsi Direksi yaitu manajemen dan
representasi. Fungsi manajemen adalah direksi sebagai pemimpin Perseroan
sedangkan fungsi representasi adalah direksi sebagai wakil daripada Perseroan,
didalam ataupun di luar pengadilan serta segala perbuatan hukum yang dilakukan
Perseroan (Indriyo, 2012).
Dengan hubungan yang
berlandaskan oleh kepercayaan dan kerahasiaan yang terdiri dari ketelitian,
itikad baik, dan keikutsertaan tersebut tentunya pemberian kepercayaan ini
memerlukan standar yang tinggi karena sangat mungkin akan terjadi
penyalahgunaan kewenangan yang diberikan (Asyhadie & Sutrisno, 2012). Standar
tersebut bersandar pada 2 prinsip yaitu duty of skill and care; dan duty
of loyality and good faith. Untuk membuktikan prinsip duty of skill
and care, pada umumnya dapat dilakukan penelusuran apakah (1) perbuatan Direksi
telah dilandasi dengan itikad baik, (2) orang dengan kemampuan yang sama dengan
posisi yang sama akan mengambil keputusan/perbuatan yang sama; (3) perbuatan
dilakukan untuk kepentingan dan sudah merupakan yang terbaik untuk Perseroan. ketiga
indikator tersebut berputar pada: Itikad baik, loyalitas, Kejujuran, Peduli,
Kemampuan/kecakapan; dan Peduli terhadap pelaksanaan hukum (Hadi, 2011).
Sementara itu mengenai duty
of loyality and good faith, prinsip ini dapat dilihat melalui 4 (empat)
pilar, yaitu :
(1). Kewajiban
untuk menguntungkan tujuan dari Perusahaan,
Pilar ini melihat
Direksi dalam melaksanakan tugas mengurus Perseroan adalah hanya untuk
kepentingan Perseroan saja. Oleh karena itu Direksi wajib memiliki penilaian
pribadi atas perbuatan yang mana menurutnya adalah pantas dan cocok untuk
dilakukan demi kepentingan Perseroan. Dengan demikian, Direksi harus melihat
Perseroan sebagai satu kesatuan dan tidak kepentingan pemegang saham saja
(2). Kewajiban
untuk menjalankan kekuasaan untuk tujuan yang semestinya
Dalam kaitannya sebagai
penggerak tunggal dari Organ Perseroan maka Direksi memiliki hak serta wewenang
untuk melakukan perbuatan mewakili Perseroan. berdasarkan hak serta wewenangnya
ini maka Direksi dituntut untuk adil dan memiliki manfaat yang maksimal bagi
Pemegang saham. Oleh karena itu kesengajaan dalam merugikan kepentingan
Pemegang Saham tidak boleh dilakukan meskipun keputusannya sudah yang terbaik
bagi Perseroan.
(3). Kewajiban
untuk mempertahankan kemampuan dikresi mereka
Pemegang Saham telah
memberikan kewenangan Fiduciary bagi Direksi untuk bertindak secara bebas
sesuai dengan Undang-Undang. Oleh karena itu, Direksi dapat bebas menentukan
perbuatan-perbuatan hukum seperti melakukan perjanjian-perjanjian dengan dasar
bahwa Direksi telah memiliki pandangan bahwa perbuatan tersebut meguntungkan
atau tidak bagi Perseroan.
(4). Kewajiban
untuk menghindari benturan kepentingan
Direksi dilarang
melakukan perbuatan yang mana ia sadari bahwa perbuatan yang memungkinkan
dirinya melakuakn dengan tidak wajar walaupun untuk tujuan dan kepentingan
Perseroan. dengan demikian, Direksi dilarang melakukan perjanjian-perjanjian
yang menguntungkan dirinya sendiri.
B.
Tanggung jawab Perseroan Terbatas
selaku Wajib Pajak terhadap kewajiban Perpajakan di Indonesia
Didalam peraturan
perpajakan, subjek hukum dari Pajak dikenal sebagai Wajib Pajak. Melalui
pendefinisian yang terdapat pada Pasal 1 angka 2 mengenai Wajib Pajak, dapat
diketahui bahwaannya Wajib Pajak merupakan orang dan badan yang mana melakukan
aktivitas-aktivitas, yaitu �pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak� sebagaimana diberikan hak dan kewajiban perpajakan menurut
Perundang-Undangan. Dalam pemenuhan hak serta kewajibannya tersebut, Wajib
Pajak tidak melaksanakannya secara pribadi namun diwakilkan oleh pihak-pihak
lain. sesuai Pasal 32 UUKUP, Perseroan sebagai Badan diwakilkan oleh Pengurus,
namun dalam keadaan pailit diwakilkan oleh Kurator, dalam likuidasi Likuidator,
dan dalam pemberesan oleh subjek hukum lain yang diberikan wewenang untuk
melakukan pemberesan.
Selain Wajib Pajak,
dikenal juga istilah Penanggung Pajak yang mana mengacu kepada �orang
pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil
yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan�. Dari pendefinisian yang diberikan
oleh UUKUP ini dapat diketahui bahwa Penanggung pajak meliputi perwakilan dari
pelaksanaan pajak, namun lebih luas mencakup pihak-pihak yang menanggung Pajak
tersebut. Pemberian status Penanggung sejatinya adalah menanggung segala beban
atau Pajak yang tidak dibayar oleh Wakil Pajak atau dengan kata lain dalam hal
utang Pajak tidak terbayarkan maka DJP akan melakukan Penagihan kepada
Penanggung Pajak (Arnika, 2019).
Penagihan Pajak
didefinsikan sebagai:� �serangkaian
tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak
dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.�
Sedangkan Mengenai Penanggung Pajak UUKUP tidak menjelaskan secara spesifik
siapa yang dimaksud sebagai penanggung Pajak. Penjelasan terhadap penanggung
Pajak ini dapat dilihat secara lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 189/PMK.03/2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar (Selanjutnya �PMK 189�).
Menurut peraturan
tersebut Penagihan kepada Perseroan dilakukan oleh Wajib Pajak Badan dan
Pengurus yang mana terdiri atas Direksi, Komisaris, orang-orang yang berwenang
memberikan keputusan dan/kebijaksanaan dalam pengoprasian perseroan, dan Pemegang
Saham. Melihat konsep penanggungjawaban ini, dapat diketahui bahwasannya
Penanggung Pajak adalah Organ Perseroan yang mana terdiri dari Rapat Umum
Pemegang Saham (�RUPS�), jajaran Direksi, dan Komisaris. Namun demikian, sistem
Perpajakan juga melibatkan penentu keputusan serta kebijaksanaan Perseroan
untuk menanggung Pajak (Rorong, 2015).
Konsep Penanggungan
Pajak ini pada intinya membebankan tanggung jawab Pajak terhadap Pengurus
selaku perwakilan. Dasar dibalik pengaturan pasal ini tidak lain adalah teori
fiksi yang mana mengungkapkan bahwa walaupun Badan Hukum Perseroan merupakan
subjek hukum yang terpisah daripada subjek hukum perseorangan namun pada
dasarnya Perseroan dijalankan oleh Pengurus. Dengan adanya pengaturan ini, maka
sudah sewajarnya bahwa pertanggungjawaban dalam konteks hukum Perpajakan tidak
mengenal adanya pembatas antara Direksi dan Pengurus walaupun penagihan
terhadap Penanggung Pajak merupakan langkah terakhir yang digunakan DJP untuk melakukan
Penagihan Pajak. Konsep pertanggungjawaban ini disebut juga dengan Deducted
Exclusion System yang mana tidak mengenal prinsip separate legal entity
dalam Perseroan.
C.
Tanggung Jawab Direksi dalam
pembayaran Pajak Perseroan selaku Wajib Pajak yang dinyatakan pailit.
Sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUKPKPU, �Kepalitian adalah sita umum atas
semua kekayaan Debitor Pailti yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasasn hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini�.� Sita umum sebagaimana
didefinisikan dalam kepailitan merupakan perwujudan dari asas keadilan yang
merupakan esensi daripada mekanisme kepailitan yaitu agar menjamin hak-hak
daripada Kreditor, mencegah pengurus atau pemilik untuk melakukan hal-hal yang
merugikan harta debitur dan melindungi debitur dari penagihan yang semena-mena (Levinthal, 1999). Dengan sita umum, mekanisme kepailitan dapat melindungi
kepentingan-kepentingan serta hak dari kreditor, namun disaat yang sama juga
melindungi debitor dari penagihan hutang yang semena-mena.
Didalam kepailitan,
dikenal 3 (tiga) macam pembagian debitor yaitu kreditor preferen, separatis dan
konkuren. Kreditor preferen adalah kreditor dengan hak istimewa berdasarkan
Undang-Undang yang mana harus didahulukan sebelum membayar kreditur-kreditur
lain. Sama-sama memiliki hak istimewa namun dibayar setelah kreditru preferen,
kreditur separatis adalah kreditur pemegang jaminan (antara lain: gadai,
fidusia, hak hipotek, hak tanggungan) sesuai dengan Pasal 55 UUKPKPU. Sedangkan
kreditur konkuren adalah kreditur yang tidak memiliki hak istimewa berupa
jaminan. Terkait dengan kedudukan Pajak, UUKPKPU tidak mengatur secara spesifik
mengenai dimana kedudukan hutang Pajak sebenarnya, namun kedudukan Pajak dalam
Kepailitan diatur secara spesifik pada Pasal 21 UUKUP yang mengatur dimikian �Negara
mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggungan
pajak�.
Melalui pengaturan
Pasal 21 ini maka sebenarnya KPP sebagai aparatur yang melakukan penagihan
Pajak merupakan kreditor preferen. Oleh karena itu melalui praktik yang
berkembang, dapat diketahui bahwasannya pembagiannya tunduk pada mekanisme
kepailitan. Dalam hal praktik pendaftaran terlambat yang maka status kreditor
tersebut akan kehilangan hak istimewanya dan akan dibayarkan setelah
hutang-hutang lainnya terbayarkan. Pembayaran hutang kepada kreditor dilakukan
melalui proses likuidasi harta yang dilakukan oleh Kurator. Namun demikian,
didalam kepailitan juga terdapat konsep pertanggungjawaban Direksi yang mengacu
pada Pasal 97 ayat (3) dan (4) UUPT yaitu jika kepailitan disebabkan oleh
Direksi maka kekurangan pembayaran hutang dalam proses kepailitan ditanggung
oleh Direksi secara pribadi maupun renteng.
Jika melihat kepada
tanggungjawab Direksi, penegak hukum akan kembali pada fiduciary duty yang
telah dilakukan oleh Direksi. Didalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
41/PUU-XVIII/2020 didalam pertimbangannya Majelis Hakim mendasarkan
pemikirannya kepada asal mula terjadinya Pajak. Dengan pemikiran tersebut,
Hakim merujuk kembali pada Pasal 4 ayat (1) UUKUP yang mana menjelaskan dari
mana Pajak timbul. Dari pertimbangan majelis ini maka benar bahwa seharusnya
tidak terdapat pajak jika tidak terdapat keuntungan sehingga seharusnya karena
termasuk kepada laba ditahan maka uang tersebut tidak dihitung sebagai
keuntungan bersih. Jika menarik dari konsep ini dikaitkan dengan sistem self
assesment Pajak yang mengaruskan Perusahaan untuk dapat mengitung secara
mandiri Pajaknya maka sudah jelas bahwa pada dasarnya Direksi telah melakukan
kelalaian dan tidak menjalankan fiduciary duty.
Oleh karena dasar
timbulnya Pajak ini konsep pertanggungjawaban Pajak pada dasarnya tidak sama
dengan UUPT yang mana bersifat limited liability. Dengan adanya konsep
penanggungan, Pajak menganut pertanggungjawaban yang sifatnya unilimited
liability. Konsep ini tentunya berbeda dengan pertanggungjawaban versi UUPT
yang mana menekankan pada pembuktian akan kelalaian Direksi, dalam Pajak
Pengurus secara automatis melakukan kelalaian sebagaimana diatur secara implist
oleh Pasal 32 ayat (2) UUKUP yang mana untuk dapat membebaskan diri dari
tanggung jawab pajak maka Pengurus wajib membuktikan kepada KPP/DJP bahwa
dirinya tidak dapat dibebani tanggung jawab tersebut. Dengan pembuktian
terbalik ini, maka penagihan terhadap hutang Pajak yang tidak terbayarkan
diperbolehkan sesuai dengan konsep Penanggungan Pajak.
Karena konsep
Penanggungan Pajak yang tidak mengenal batas ini maka Penagihan Pajak dapat
ditagihkan hingga harta pribadi Para Penanggung Pajak. Hal ini sesuai
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa sebagaiman telah diubah oleh Undang-Undang No. 19
Tahun 2000 (Selanjutnya �UUPP�). UUPP mengatur bahwa �Penyitaan terhadap
Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan,
pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal,
baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di
tempat lain. Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita
diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak�.
Lebih lanjut Pasal 3
ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 135 tahun 2000 (Selanjutnya �PP 135/2000�)
menjelaskan bahwa sebenarnya penagihan Pajak dilakukan terhadap barang milik
Wajib Pajak Badan. Namun demikian apabila didapati tidak harta yang digunakan
tidak cukup dan asetnya tidak bisa ditemukan maka barang milik pengurus kepala
perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal. Jika melihat kasus
PT UCI maka sebenarnya yang membuat Pajak tidak terbayarkan dengan benar juga
karena unsur KPP yang terlambat. Namun begitu karena sebenarnya tidak dilarang
adanya penagihan terhadap Wajib Pajak Badan kembali setelah kepailitan berakhir
maka sebenarnya kelalaian ini KPP ini hanya menghilangkan status istimewa dari
Pajak. Dengan demikian, posisi PT UCI yang juga belum dihapuskan statusnya
masih memiliki hutang Pajak. Dalam kondisi ini secara logis Penanggung Pajaklah
yang harus bertanggungjawab secara pribadi karena aset Badan sudah dibagikan
seluruhnya pada saat kepailitan terjadi.
Namun, dalam hal
terjadi kepailitan, Pajak tunduk pada mekanisme kepailitan sehingga Pajak harus
masuk sebagai kreditor preferen maka sistem hak istimewa daripada Perpajakan
ini dibatasi dan mengikuti pada konsep pertanggungjawaban yang dianut oleh
UUPT.� Hal demikian sesuai dengan apa
yang telah dilakukan oleh Kantor Pajak pada kasus PT UCI bahwa Kantor Pajak
harus mendaftarkan hutang-hutangnya seperti kreditor lain. Dengan tunduknya Perpajakan
kepada UUKPKPU ini maka secara tidak langsung Kantor Pajak harus meminta kepada
Pengadilan untuk dapat terdaftar kembali kedalam daftar kreditor PT UCI.
Melalui upaya kepada pengadilan inilah Pajak juga dapat membuktikan bahwasannya
Direksi PT UCI juga telah lalai dalam menjalankan fiduciary Duty yang
mengakibatkan hutang Pajak tidak terbayarkan. Namun demikian, meskipun
terkabulkan KPP tetap tidak dapat melakukan penagihan secara langsung dan harus
melalui mekanisme kepailitan yang mana diurus oleh Kurator dengan Hakim
pengawas.
Berkaitan dengan kasus PT UCI,
sesuai dengan timeline, penagihan mantan Direksi yaitu Taufik dimintakan
pertanggungjawaban sembilan hari setelah kepailitan selesai. Dengan berakhirnya
kepailitan dan kepengurusan ini maka secara logis asas keadilan dan mekanisme
yang melindungi Direksi dalam proses kepailitan juga telah selesai. Dengan
demikian kewajiban Perpajakan oleh Wajib Pajak ini dapat ditagihkan kembali,
hal ini sesuai dengan amanat peraturan perpajakan yang mana sudah menjadi
akibat hukum apabila hutang belum terbayarkan. �Oleh karena itu menurut penulis sebenarnya
dapat dikatakan penagihan Pajak tersebut telah sesuai dan sesuai dengan
Undang-undang dan telah menimbulkan kepastian hukum yang mana memberikan
petunjuk kepada aparatur negara untuk melakukan penagihan Pajak di Indonesia (Samosir, 2020).
Kesimpulan
Sesuai dengan Pasal 21 dalam hubungannya dengan Pasal 32 UUKUP,
berdasarkan kepentingan publik, perseroan harus melunasi semua hutang yang berada dalam pembayaran pajak. Direktur merupakan organ perseroan yang diberikan kewenangan
bertindak atas nama perseroan, di muka maupun di luar pengadilan. Direktur
adalah satu-satunya organ yang melaksanakan fungsi pengurusan perseroan
dan bertanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Bertanggungjawab
selaku direktur memiliki makna bahwa direktur memikul beban pelimpahan tanggung
jawab akan seluruh cakupan perpajakan yang ada pada perusahaan tersebut termasuk pada saat perseroan terbatas dalam pailit.
BIBLIOGRAFI
Arnika, E. (2019). Analisis efektivitas sistem penagihan pajak dengan
surat paksa terhadap pencairan tunggakan pajak kendaraan bermotor di kantor
UPTB UPPD Praya. UIN Mataram.
Asyhadie, Z., &
Sutrisno, B. (2012). Hukum Perusahaan & Kepailitan. Penerbit
Erlangga.
Hadi, Z. (2011). Karakteristik
Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham Komisaris dan Direksi Dalam Perseroan
Terbatas. Universitas Brawijaya Press.
Hasibuan, Z. G. (2018).
Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Sesudah Pelaksanaan Tax Amnesty
Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia. Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara.
Hukum Online.com. (2022). https://www.hukumonline.com/stories/article/lt62cec83e796b0/pertanggungjawaban-pribadi-direksi-dan-kurator-atas-utang-pajak-perusahaan-pailit
diakses pada 4 November 2022.
https://www.hukumonline.com/stories/article/lt62cec83e796b0/pertanggungjawaban-pribadi-direksi-dan-kurator-atas-utang-pajak-perusahaan-pailit
diakses pada 4 November 2022.
Indriyo, S. M. S.
(2012). Revitalisasi Institusi Direksi Perseroan Terbatas. Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Isfardiyana, S. H.
(2015). Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas dalam Pelanggaran Fiduciary
Duty. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 2(1).
Karwur, J. M., Sondakh,
J. J., & Kalangi, L. (2020). Pengaruh sikap terhadap perilaku, norma
subyektif, kontrol perilaku yang dipersepsikan dan kepercayaan pada pemerintah
terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi dengan niat sebagai variabel
intervening (Survey pada KPP Pratama Manado). Jurnal Riset Akuntansi Dan
Auditing" Goodwill", 11(2).
Levinthal, L. E.
(1999). The Early History of Bankruptcy Law, dalam Jordan, et. al., Bankruptcy.
Foundation Pres, New York.
Marzuki, P. M., &
SH, M. S. (2020). Teori Hukum. Prenada Media.
Poesoko, H. (2010).
Diktat Mata Kuliah Metode Penulisan dan Penelitian Hukum. Jember: Fakultas
Hukum Universitas Jember.
Ramadhanti, A., &
Pradana, B. I. (2020). Strategi Pengembangan Bisnis Pada Thrift � S Trove. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa FEB, 8(1), 1�10.
Ridwan Khairandy.
(2014). Hukum Perseroan Terbatas. FH UII Press.
Rorong, V. (2015). Tanggung
Jawab Direksi Perseroan Terbatas Terhadap Penyitaan Aset Perusahaan Yang
Menunggak Pajak. Lex Et Societatis, 3(7).
Samosir, H. H. (2020). Tanggung
Jawab Pengurus Sebagai Penanggung Pajak Dalam Peralihan Kepengurusan
Perusahaan. Simposium Nasional Keuangan Negara, 2(1), 831�844.
Setyarini, D. M.,
Mahendrawati, N. L., & Arini, D. G. D. (2020). Pertanggungjawaban Direksi
Perseroan Terbatas Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Jurnal Analogi
Hukum, 2(1), 12�16.
Sjawie, H. F., &
SH, L. L. M. (2017). Direksi perseroan terbatas serta pertanggungjawaban
pidana korporasi. Prenada Media.
Widjaja, G. (2008).
Seri Pemahaman Perseroan Terbatas 150 Pertanyaan Tentang Perseroan Terbatas. Jakarta:
Forum Sahabat. Retrieved from Https://Books. Google. Co.
Id/Books/about/150_pertanyaan_tentang_perseroan_terbata. Html.
Wijaya, D. N. (2016).
Kontrak Sosial Menurut Thomas Hobbes dan John Locke. Jurnal Sosiologi
Pendidikan Humanis, 1(2), 183�193.
Copyright holder: Malvin Jati Kuncara Alam W, Dr. Richard
Chandra Adam (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |