Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 12,
Desember 2022
GERAKAN
PEREMPUAN DALAM MEREVISI BATAS USIA PERKAWINAN BAGI ANAK PEREMPUAN DI INDONESIA
Achmad
Fadli, Nur Iman Subono
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
E-mail:
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Proses revisi batas usia perkawinan bagi anak perempuan pada UU
Perkawinan No.1 Tahun 1974 memiliki proses perjuangan yang cukup lama bagi
gerakan perempuan di Indonesia. Koalisi 18+ yang merupakan gabungan dari
kelompok-kelompok masyarakat dan individu merupakan inisiator dalam proses
revisi batas usia perkawinan tersebut. Penetapan UU Perkawinan No. 16 Tahun
2019 merupakan buah hasil perjuangan dari Koalisi 18+ ini. Dalam jurnal ilmiah
ini metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif karena permasalahan yang
diteliti berhubungan erat dengan keberlangsungan manusia dalam hal ini
anak-anak perempuan di Indonesia. Hasil yang didapatkan dalam jurnal ilmiah ini
menunjukan bahwa Koalisi 18+ telah berhasil mendorong Pemerintah dan DPR RI
untuk merevisi batas usia minimal perkawinan bagi anak perempuan. Melalui
pendekatan teori gerakan sosial dan teori kelompok menjadi sebuah bentuk
implikasi teoritis yang relevan untuk melihat proses gerakan sosial politik
dalam mendorong revisi UU Perkawinan No.1/1974, serta memperlihatkan interaksi
kelompok-kelompok dalam mempengaruhi pemerintah untuk menentukan arah
kebijakannya.
Kata
Kunci:
Koalisi 18+, Gerakan Perempuan, Perkawinan Anak, UU Perkawinan.
Abstract
The process of
revising the marriage age limit for girls in the Marriage Law No. 1 of 1974 had
a long struggle for the women's movement in Indonesia. The 18+ coalition which
is a combination of community groups and individuals is the initiator in the
process of revising the marriage age limit. Stipulation of Marriage Law No. 16
of 2019 is the fruit of the struggle of the 18+ Coalition. In this scientific
journal, the method used is a qualitative approach because the problems studied
are closely related to human survival, in this case girls in Indonesia. The
results obtained in this scientific journal show that the 18+ Coalition has
succeeded in encouraging the Government and the Indonesian Parliament to revise
the minimum age limit for marriage for girls. Through the approach of social
movement theory and group theory, it becomes a form of relevant theoretical
implications to see the process of socio-political movements in encouraging the
revision of the Marriage Law No.1/1974, as well as showing the interaction of
groups in influencing the government to determine the direction of its policies.
Keywords: 18+ Coalition, Women's
Movement, Child Marriage, Marriage Law.
Pendahuluan
Lengsernya orde baru
dan dimulainya reformasi politik pada tahun 1998 membawa perubahan yang besar
pada situasi perpolitikan di Indonesia (Thoyyib, 2018). Dalam masa ini
Indonesia berjalan menuju sistem demokrasi dari sistem otoriter, sistem
pemerintah yang sebelumnya tersentralisasi berubah menjadi terdesentralisasi,
serta supremasi militer menjadi supremasi sipil (Solikhin, 2017). Perubahan ini
tentunya membawa dampak yang baik bagi gerakan sosial politik di Indonesia
termaksud salah satunya gerakan perempuan. Gerakan perempuan di Indonesia
menjadi bagian terpenting dalam perjuangan reformasi, keterlibatan nya membawa
budaya politik baru yang mengedepankan kepedulian antar sesama ditengah budaya
politik yang condong ke arah maskulin (Astuti, 2018).
Gerakan perempuan juga
mampu memberikan diskursus baru yang dapat membelah tembok pemisahan antara
ranah privat dan publik di Indonesia. Seperti lahirnya kebijakan kuota 30
persen keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang
Partai Politik, sistem ini menjadi salah satu keberhasilan gerakan perempuan
dalam menjamin keberlangsungan hidup kaum perempuan dari segi keterlibatannya
di dunia perpolitikan Indonesia (Darmansyah & Sartika, 2021). Perkembangan
lainnya saat ini banyak bermunculan organisasi yang didirikan untuk membela dan
menyuarakan kepentingan perempuan dalam berbagai isu, perwujudan ini menjadi
salah satu keberhasilan gerakan perempuan yang terus berkembang membela
kepentingan kaum perempuan (Nurhayati et al., 2019).
Dua puluh empat tahun
reformasi Indonesia persoalan demi persoalan masih dihadapi oleh kaum perempuan
dan menjadi tugas bersama baik gerakan perempuan maupun masyarakat sipil
lainnya. Seperti kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak, angka kematian
ibu, pelecehan seksual dan lain-lainnya masih tinggi di kehidupan saat ini.
Berbicara mengenai kekerasan dalam rumah tangga, angka kematian ibu tidak
terlepas dari rantai dampak yang dihasilkan dari perkawinan anak (Yusro, 2017). Indonesia
masih menjadi salah satu negara dengan angka pernikahan yang cukup tinggi, data
menunjukan bahwa diperkirakan 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun telah
melangsungkan perkawinan pertama sebelum umur 18 tahun, sedangkan anak laki-laki
1 dari 100 laki-laki yang berusia 20-24 tahun telah melangsungkan perkawinan
sebelum berumur 18 tahun (UNICEF & PUSKAPA, 2020).
Melihat posisi Indonesia
dengan meratifikasi Konvesi Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child/CRC) dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) jelas
menunjukan posisi negara untuk terus memberikan perlindungan bagi setiap
individu dari persoalan diskriminasi terhadap salah satu gender. Namun nyatanya
anak-anak perempuan masih menjadi korban atas persoalan-persoalan spesifik
berbasis gender seperti halnya perkawinan anak, kehamilan dini, akses terhadap
pendidikan yang lebih rendah dibanding anak laki-laki dan juga yang marak
terjadi akhir-akhir ini yaitu kekerasan seksual yang menyerang korban anak-anak
perempuan (Sigiro, 2020)
Legalisasi perkawinan
anak sebenarnya telah terlihat jelas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, dimana batas usia perkawinan bagi calon mempelai perempuan
adalah enam belas tahun, dan laki-laki sembilan belas tahun (Lasmadi et al., 2020). Dalam
perjalanannya Undang-Undang Perkawinan ini telah berhasil menjadi acuan sistem
perkawinan di Indonesia kurang lebih empat puluh lima tahun lamanya. Perdebatan
batas usia ini kemudian muncul ke ranah publik dan menjadi salah satu hal yang
diperjuangkan oleh gerakan perempuan ditahun 2014. Bahwa perlu adanya revisi
terkait batas usia perkawinan bagi anak � anak perempuan maupun laki-laki dalam
UU Perkawinan 1/1974 ini. Dengan angka perkawinan yang tinggi di Indonesia
mengantarkan gerakan perempuan yang tergabung dalam naungan Koalisi 18+
berhasil mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan.
Undang � Undang
Perkawinan No. 16/2019 menjadi salah satu keberhasilan yang dilakukan gerakan
perempuan dalam melindungi dan menghapus kebijakan bias gender terhadap salah
satu gender tertentu di Indonesia. Penelitian ini akan menganalisisi
keberhasilan perjuangan Koalisi 18+ dalam konteks pengesahan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Disahkannya UU Perkawinan No. 16/2019
tidak terlepas dari perjuangan-perjuangan Koalisi 18+ dalam mengatur strategi
politiknya, setidaknya terdapat tiga dimensi yang difokuskan dalam penelitian
ini. Pertama, keterlibatan gerakan perempuan terkait penetapan UU Perkawinan
No. 16/2019 yang mengedepankan keadilan bagi seluruh gender; kedua, penelitian
ini memperlihatkan bagaimana Koalisi 18+ memanfaatkan elemen masyarakat atau
sumberdaya lainnya dalam kerangka perjuangan penegakan keadilan gender di
Indonesia. Ketiga, penelitian ini akan memperlihatkan posisi negara dalam
kebijakan berbasis gender yang belum menjadi agenda politik dari Pemerintah
maupun DPR RI.
Adapun dalam melakukan
penelitian ini, peneliti menggunakan teori gerakan sosial yang dikemukakan oleh
�(Macionis, 1999). Mereka
mengelompokkan teori gerakasan sosial kedalam beberapa tipe, Blumer (Stolley, 2005) mengelompokan
gerakan sosial kedalam dua tipe, yakni: (1) Gerakan Sosial Umum (General Social
Movements); dan (2) Gerakan Sosial Khusus (Specific Social Movement). Gerakan
Sosial Umum (General Social Movements), yaitu gerakan dalam perubahan
nilai-nilai di masyarakat, misalnya: upaya gerakan perempuan (women`s movement)
yang melakukan gerakan perubahan tentang status dan pandangan terhadap kaum
perempuan. Sedangkan, gerakan sosial khusus (specific social movements) adalah
gerakan yang memiliki fokus yang lebih jelas/spesifik misalnya: Gerakan
anti-aborsi (anti-abortion movement) (Sukmana, 2016).
Gerakan sosial sendiri
memiliki definisi yaitu suatu tipe dari tindakan kelompok (Alafgani, 2017). Mereka adalah
pengelompokkan informal atas individu dan/atau kelompok yang difokuskan secara
khusus kepada isu-isu politik atau sosial, dengan kata lain, dalam
melaksanakan, menolak, atau menggagalkan suatu perubahan social (Sukmana, 2016). Dalam
penggunaan landasan teori ini peneliti melihat bahwa keberhasilan gerakan
perempuan dalam penetapan UU Perkawinan No. 16/2019 tidak terlepas dari apa
yang didefinisikan terkait gerakan sosial diatas. Koalisi 18+ sendiri dapat
dikategorikan menjadi general social movement dan specific social movements,
dimana terdapat dua tipe kategori gerakan yang diperjuangan Koalisi 18+,
terkait gerakan perempuan dalam membela kesetaraan antara batas usia perkawinan
bagi laki-laki dan perempuan serta gerakan anti perkawinan anak.
Selanjutnya peneliti
menggunakan teori kelompok yang dikemukakan oleh (Dye, 2013) memiliki
pandangan bahwa politik sesungguhnya adalah sebuah perjuangan antar kelompok
untuk mempengaruhi kebijakan publik. Kemudian (Dye, 2013) juga menjelaskan
bahwa fakta utama politik adalah proposisi interaksi antar kelompok, dimana
individu dengan kepentingan yang sama bersatu secara formal atau informal untuk
menekan tuntutan mereka pada pemerintah. Selanjutnya teori kelompok yang
dikemukakan oleh (Dye, 2013) ini menunjukan
bahwa interaksi antar kelompok merupakan cara kelompok-kelompok tersebut dalam
mempengaruhi pemerintah untuk menentukan arah kebijakannya. Koalisi 18+ dalam
proses ini termaksud dalam salah satu kelompok yang dapat mempengaruhi
kebijakan publik di Indonesia. Kehadiran Koalisi 18+ dalam mengajukan uji
materi 2014 dan 2017 di Mahkamah Konstitusi RI menjadi salah satu perjuangan
antar kelompok, dimana dalam Koalisi 18+ terdapat beberapa kelompok yang
memiliki tujuan yang sama. Kemudian kelompok-kelompok ini menggabungkan diri
dengan nama Koalisi 18+, penggabungan ini lah yang disebutkan oleh (Dye, 2013) sebagai
interaksi antar kelompok dengan kepentingan yang sama bersatu untuk menekan
tuntutan mereka terhadap pemerintah.
Individu atau kelompok
menjadi penting dalam politik hanya ketika mereka bertindak sebagai bagian
dari, atau atas nama kepentingan kelompok (Isnaini, 2014). Kelompok
menjadi jembatan terpenting antara individu dan pemerintah. Untuk itu
keberadaan kelompok ini sangat penting bagi (Dye, 2013) karena
keberadaannya menjadi jembatan antara individu dalam hal ini masyarakat kepada
pemerintah untuk menciptakan suatu kebijakan yang diinginkan oleh masyarakat.
Dengan demikian peneliti menggunakan teori yang dikemukakan oleh (Dye, 2013) dalam melihat
keberhasilan Koalisi 18+ dalam mengesahkan UU Perkawinan No. 16/2019 sebagai
bentuk legitimasi untuk melindungi dan menghapus kebijakan yang bias gender
dari UU Perkawinan sebelumnya UU Perkawinan Perkawinan No. 1/1974.
Metode
Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan penelitian dengan pendekatan kualitatif, menurut �(Surya & Rofiq, 2021) penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan lain-lain secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah. Senada dengan (Winata, 2020) penelitian
kualitatif merupakan metode penelitian untuk mengeksplorasi dan memahami makna
yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusian. Dalam hal ini
peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif guna mendapatkan informasi
tentang suatu masalah sosial yang belum banyak diketahui, sebagaimana
keberhasilan Koalisi 18+ dalam mengesahkan UU Perkawinan 16/2019 memiliki makna
dan perjuangan politik yang cukup panjang dan menyangkut permasalahan
sosial/kemanusiaan.
Hasil dan Pembahasan
Undang � Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan disusun melalui perdebatan yang cukup panjang,
setelah dua puluh sembilan tahun kemerdekaannya baru Indonesia berhasil
memiliki Undang-Undang Perkawinan yang berlaku bagi seluruh masyarakat
Indonesia. (Setiawan, 2014) menyebutkan
bahwa banyak isu kontroversial yang muncul pada saat penetapan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, diantaranya adalah persoalan poligami, kawin
paksa, dan perkawinan anak. Perkawinan merupakan salah satu bentuk ikatan suci
yang diyakini oleh seluruh agama di muka bumi ini. Hidup bersama suami-istri
dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual melainkan
juga untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, rukun, aman dan harmonis antara
suami-istri.�
Dampak Perkawinan Anak
di Indonesia bagi Anak-Anak Perempuan, dampak yang paling mendasar dari
perkawinan anak adalah hak anak perempuan itu sendiri yang tercuri atas praktik
perkawinan anak ini. Seperti yang disebutkan oleh (Unicef & yang Tertunda, 2015) setidaknya ada
lima hak yang tercuri dari anak-anak perempuan yang menjadi korban perkawinan
anak, lima hak ini adalah sebagai berikut.
Hak atas pendidikan, perkawinan
usia anak mengingkari hak anak untuk memperoleh pendidikan, bermain, dan
memenuhi potensi mereka karena dapat mengganggu atau mengakhiri pendidikan
mereka.
1. Hak
untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan (termasuk kekerasan seksual),
perkawinan usia anak meningkatkan kerentanan anak perempuan terhadap kekerasan
fisik, seksual, dan mental.
2. Hak
atas kesehatan, perkawinan usia anak dapat meningkatkan risiko anak perempuan
terhadap penyakit dan kematian yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan
dini. Selanjutnya, perkawinan usia anak membatasi kontrol anak perempuan atas
tubuh mereka sendiri, termasuk kemampuan seksual dan reproduksi mereka.
3. Hak
untuk dilindungi dari eksploitasi, perkawinan usia anak seringkali terjadi
tanpa persetujuan anak atau melibatkan pemaksaan yang menghasilkan keputusan
yang ditujukan untuk mengambil keuntungan dari mereka atau merugikan mereka
daripada memastikan bahwa kepentingan terbaik mereka terpenuhi.
4. Hak
untuk tidak dipisahkan dari orang tua mereka (dipisahkan dari orang tua
bertentangan dengan keinginan mereka), perkawinan usia anak memisahkan anak
perempuan dari keluarga mereka dan menempatkan mereka dalam hubungan dan
lingkungan yang asing dimana mereka mungkin tidak dirawat atau dilindungi, dan
dimana mereka tidak memiliki suara atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan
atas kehidupan mereka sendiri.
Selain hak anak
perempuan yang dicuri, terdapat dampak lainnya yang menyerang anak-anak
perempuan atas praktik perkawinan anak. Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki
risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan
persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun, dan secara global kematian yang
disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia
15-19 tahun (Raj et al., 2015). Berbagai
kajian menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah pada usia dini memiliki
risiko tinggi untuk mengalami kecemasan, depresi, atau memiliki pikiran untuk
bunuh diri, sebagian dapat disebabkan mereka tidak memiliki status, kekuasaan,
dukungan, dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri (Raj et al., 2015).
Selain itu mereka juga
kurang mampu untuk menegosiasikan hubungan seks aman, sehingga meningkatkan
kerentanan mereka terhadap infeksi menular seksual seperti HIV. Kajian lain
juga menunjukkan bahwa pengantin anak memiliki peluang lebih besar untuk mengalami
kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan emosional, serta isolasi sosial, yang
merupakan akibat dari kurangnya status dan kekuasaan mereka di dalam rumah
tangga mereka (Jain & Kurz, 2007).
UU Perkawinaun 1/1974
Melanggar Hak Anak di Indonesia di Indonesia, jaminan terhadap hak anak
tercantum di dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.� Merujuk
undang-undang perlindungan anak di Indonesia sejak terbitnya UU 23/2002 tentang
Perlindungan Anak yang kini telah diubah menjadi UU 35/2014 tentang
Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia
18 tahun. Selain UU Perlindungan Anak 35/2014 ketetapan UU Perkawinan 1/1974
ini juga bertentangan dengan posisi Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi
CEDAW (The Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against
Women) pada 24 Juli 1984. Jauh sebelum UU Perlindungan Anak 35/2014, Indonesia
telah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan.
Dalam UU 7/1984 ini
Indonesia telah meratifikasi posisi negara dalam menerapkan prinsip-prinsip hak
asasi perempuan, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung
jawab negara dalam penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Dengan demikian penetapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jelas melanggar
undang-undang penempatan posisi anak dibawah umur dimana telah diatur anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Juga posisi Indonesia yang telah
meratifikasi Konvensi CEDAW menjadi salah satu pelanggaran yang dilakukan oleh
Indonesia terhadap perjanjian tersebut terkait penetapan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Perjuangan Gerakan
Perempuan Koalisi 18+ dalam Proses Revisi UU Perkawinan No. 1/1974 di Mahkamah
Konstitusi RI dan Penetapan UU Perkawinan No.16/2019 di DPR RI Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengalami perdebatan khusus nya diera
reformasi Indonesia. Dalam UU Perkawinan 1/1974 sebagaimana kita mengetahui
bahwa batas minimal usia perkawinan justru malah memberikan legitimasi terhadap
praktik perkawinan anak. Sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan 1/1974 berbunyi sebagai berikut:
Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Perjuangan dalam proses uji
materi ini dimulai sejak Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) melakukan riset
terkait Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2014. Dalam hasil
temuannya data menunjukan bahwa AKI banyak disumbang dari tingginya angka
perkawinan anak di Indonesia Wawancara bersama Nanda Dwinta, Direktur YKP 2022.
Nanda Dwinta dalam wawancara tersebut menjelaskan bahwa batas usia menikah bagi
perempuan 16 tahun menunjukan kebijakan yang kontradiksi dengan program
Pemerintah, seperti program yang pada saat itu dicanangkan Program 4 T; Terlalu
Muda, Terlalu Tua, Terlalu Dekat, Terlalu Banyak. Setelah YKP berhasil
melakukan riset dan data yang didapatkan, YKP kemudian mengumpulkan beberapa
jaringan untuk kemudian mengajukan juridical review ke Mahkamah Konstitusi RI.
Kemudian disusul dengan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) diwaktu yang
bersamaan juga mengajukan juridicial review ke Mahkamah Konstitusi RI. Sehingga
dalam proses uji materi di tahun 2014 ini terdapat dua nomor permohonan ke
Mahkamah Konstitusi RI. Namun hakim menggabungkan dua permohonan ini menjadi
satu permohonan karena memiliki maksud dan tujuan yang sama yaitu memohon untuk
merevisi batas usia minimal perkawinan bagi anak perempuan naik dari 16 tahun.
Dalam proses ini Nanda
Dwinta menjelaskan bahwa pada akhirnya YKP, KPI, LSM lainnya dan beberapa
individu yang menjadi pemohon kemudian bersatu dan menamakan sebagai Koalisi
18+. Tujuannya dari gerakan ini adalah untuk memohon agar Mahkamah Konstitusi
RI merevisi batas usia perkawinan di Pasal (7) Ayat (1) UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974, hal ini dikarenakan terdapat data temuan YKP atas tingginya Angka
Kematian Ibu (AKI) pada ibu yang mengalami perkawinan anak, serta perkawinan
anak menyebabkan hilangnya hak-hak asasi anak yang telah diatur dalam UUD 1945
(YKP, 2014). Adapun anggota Koalisi 18+ yang termaksud dalam pemohon uji materi
ditahun 2014 sebagai berikut:
1. Yayasan
Kesehatan Perempuan (YKP)
2. Organisasi
Semerlak Cerlang Nusantara (SCN)
3. Masyarakat
untuk Keadilan Gender dan Antar Generasi (MAGENTA)
4. Koalisi
Perempuan Indonesia (KPI)
5. Yayasan
Pemantau Hak Anak
Dalam Koalisi 18+ ini
tergabung didalamnya organisasi-organisasi perempuan, serta organisasi dan
individu dari isu lain, seperti isu anak, remaja, hukum pidana, kesehatan
reproduksi dan lainnya (Sigiro, 2020).
Dalam uji materi tahun
2014 ini Koalisi 18+ mengajukan permohonan uji materi diantara lain terkait
dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dalam UU Perkawinan 1/1974, pertama sepanjang
frasa �16 (enam belas) tahun� telah menciptakan ketidakpastian hukum sehingga
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (10) UUD 1945. Kedua,
masih dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) telah menciptakan situasi praktik
perkawinan anak yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan
berkembang, serta mendapatkan pendidikan, oleh karenanya bertentangan dengan
Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
Ketiga, dalam ketentuan
Pasal 7 ayat (1) telah mengakibatkan terjadinya diskriminasi dalam pemenuhan
hak antara anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga bertentangan dengan
pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Keempat, bertentangan
dengan Prinsip Kepastian Hukum, Prinsip Persetujuan Bebas dalam membentuk
Keluarga, dan Prinsip Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, yang bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 24 ayat (1)
UUD 1945. Namun dalam uji materi di tahun 2014, Mahkamah Konstitusi RI
memutuskan untuk menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon,
yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi RI dalam menolak permohonan
Koalisi 18+ merujuk kepada adanya pengaturan yang berbeda dalam berbagai budaya
dan agama di Indonesia.
Tidak berhenti di tahun
2014, Koalisi 18+ kemudian mengajukkan kembali uji materi ke Mahkamah
Konstitusi RI ditahun 2017. Pada uji materi di tahun 2017 ini Koalisi 18+
menghadirkan tiga korban perkawinan anak sebagai bentuk langkah Koalisi 18+
untuk mendengarkan dampak yang diterima oleh korban perkawinan anak. Serta
Koalisi 18+ merubah batu uji yang digunakan adalah pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Pada uji materi di tahun 2017 ini Koalisi 18+ mendapatkan titik terang dari uji
materi sebelumnya di tahun 2014, ditambah Mahkamah Konstitusi RI melihat
beberapa daerah provinsi dan daerah kabupaten telah meningkatkan batas usia
perkawinan terkhususnya untuk perempuan. Mahkamah Konstitusi RI menilai bahwa
pembedaan usia minimal perkawinan antara laki-laki dan perempuan merupakan
wujud tidak tercapainya persamaan kedudukan dalam hukum, atau merupakan sebuah
bentuk diskriminasi (Damas, 2019).
Keberhasilan di tahun
2017 tidak terlepas juga dari perjuangan Koalisi 18+ dalam melakukan pendekatan
ke beberapa pihak salah satunya Presiden RI pada saat itu Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Dalam wawancara bersama Nanda Dwinta dijelaskan bahwa
teman-teman Koalisi 18+ telah mendapatkan dukungan dari Presiden RI dan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Sehingga posisi Koalisi 18+ telah satu visi dengan Pemerintah, Pemerintah
menyadari bahwa proses revisi batas usia minimal pernikahan bagi anak perempuan
ini penting dan baik untuk disesuaikan dirubah dalam bentuk kebijakan.
Pendekatan tidak hanya ditujukan ke Pemerintah namun Koalisi 18+ juga melakukan
pendekatan ke DPR RI. Koalisi 18+ melakukan pendekatan dengan pertemuan
terbatas kepada Anggota-Anggota Perempuan DPR RI untuk berdiskusi terkait
keinginan dari Koalisi 18+ untuk merevisi batas usia minimal perkawinan pada UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ini. Dukungan hadir dari rekan-rekan Partai PDI-P
dan Gerindra, kemudian salah satu Anggota DPR RI perempuan Eva Sundari dari
Fraksi PDI-P menjadi anggota pertama kali yang mengajukan pembahasan ini di
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Uji materi tahun 2017
ini mengantarkan UU Perkawinan 1/1974 untuk kemudian diserahkan kepada lembaga
pembuat Undang-Undang (DPR RI) untuk kemudian direvisi terkait apa yang
dimohonkan oleh Koalisi 18+. Dua tahun kemudian tepatnya di tahun 2019, DPR RI
menyetujui revisi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Kemudian dengan persetujuan
ini ditetapkanlah UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019, berkat dukungan dari seluruh
pihak dan perjuangan gerakan perempuan dalam hal ini Koalisi 18+. Keberadaan
Koalisi 18+ menjadi salah satu bagian dari gerakan perempuan yang disebutkan
dalam definisi gerakan sosial pada sebelumnya. Koalisi 18+ merupakan sebuah
kelompok yang terdiri dari individu dan/atau kelompok yang difokuskan secara
khusus kepada isu-isu politik atau sosial. Dalam hal ini Koalisi 18+ menolak frasa
�16 (enam belas) tahun dalam UU Perkawinan 1/1974 pasal 7 ayat (1). Sebagaimana
frasa tersebut mengasilkan praktik perkawinan anak menjadi tinggi, dirampasnya
hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang serta hak anak-anak perempuan dalam
menempu pendidikan menjadi terampas.
Dari langkah yang
dilakukan oleh Koalisi 18+ menunjukan bahwa Koalisi 18+ menjadi salah satu
gerakan sosial politik yang mampu menghasilkan perubahan sosial yang sudah
berjalan kurang lebih empat puluh lima tahun lamanya. Koalisi 18+ menjadi
gerakan politik yang mampu mempresentasikan dua tipe gerakan sosial yang
dikemukakan oleh Blumer (Stolley, 2005). Koalisi 18+
mempresentasikan tipe pertama yaitu Gerakan Sosial Umum (General Social
Movements) dimana Koalisi 18+ menjadi sebuah gerakan perempuan yang membela
anak-anak perempuan untuk keluar dari keberadaan UU Perkawinan 1/1974 terkait
batas umur perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Jelas dalam
ketentuan ini perbedaan batas umur antara anak laki-laki dan perempuan
merupakan salah satu bentuk kebijakan yang pilih kasih antar sesama gender, dan
Koalisi 18+ telah berhasil menyetarakan posisi anak-anak perempuan dalam UU
Perkawinan baru UU No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan.
Selanjutnya Koalisi 18+
mempresentasikan tipe kedua yaitu Gerakan Sosial Khusus (Specific Social Movement),
dimana dalah permohonannya pada uji materi UU Perkawinan 1/1974 penolakan akan
praktik perkawinan anak menjadi salah satu tujuan Koalisi 18+ untuk
berinisiatif mengajukan uji materi di tahun 2014. Keberadaan Koalisi 18+ dalam
memberikan dampak dari perkawinan anak serta menghadirkan para korban
perkawinan anak sebagai salah satu komponen untuk mendukung permohonannya
menempatkan posisi Koalisi 18+ mempresentasikan apa yang disebutkan dalam
gerakan sosial khusus ini, bahwasanya Koalisi 18+ menjadi sebuah gerakan yang
menyebarkan kampanye anti pernikahan anak. Gerakan Koalisi 18+ ini pun kemudian
berhasil dengan ditetapkan UU Perkawinan baru Nomor 16 Tahun 2019, bahwa dengan
dinaikannya batas umur menikah bagi anak perempuan menjadi 19 tahun harapannya
anak-anak perempuan tidak lagi menjadi korban perkawinan anak.
Terakhir teori kelompok
yang dikemukakan oleh (Dye, 2013) yang memiliki
pandangan bahwa politik sesungguhnya adalah sebuah perjuangan antar kelompok
untuk mempengaruhi kebijakan publik ini sejalan dengan keterlibatan koalisi 18+
dalam pengesahan UU Perkawinan No. 16/2019. Koalisi 18+ yang merupakan gabungan
antar kelompok ini berhasil memperjuangankan revisi batas usia minimal
perkawinan hingga lahir UU Perkawinan No. 16/2019 tersebut. Yayasan Kesehatan
Perempuan (YKP) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang menggagas uji materi
ini kemudian menggabungkan dalam satu kelompok bernama Koalisi 18+,
penggabungan ini dalam teori kelompok (Pasulle, 2019) adalah sebagai
salah satu cara proposisi interaksi antar kelompok, dimana individu dengan
kepentingan yang sama bersatu secara formal atau informal untuk menekan
tuntutan mereka pada pemerintah. Serta keberhasilan penetapan UU Perkawinan No.
16/2019 menunjukan bahwa interaksi antar kelompok ini dapat mempengaruhi
pemerintah untuk menentukan arah kebijakannya dalam menetapkan batas usia
minimal pernikahan bagi anak-anak perempuan.
Kesimpulan
Sebagai penutup dalam
penelitian ini peranan sebuah kelompok/gerakan politik masih dibutuhkan
kehadirannya ditengah masyarakat khususnya di Indonesia. Koalisi 18+ mampu
mempresentasikan keberhasilan sebuah gerakan politik yang memperjuangkan
keadilan dan kesetaraan antar gender terutama dalam hal ini anak-anak
perempuan. Penetapan UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 merupakan salah satu
bentuk keberhasilan nyata yang dihasilkan oleh masyarakat untuk masyarakat.
Dari keberhasilan Koalisi 18+ ini menjadi sebuah catatan sejarah bahwa di era
reformasi harus terus dikawal oleh gerakan-gerakan politik yang mengedepankan
kepentingan masyarakat. Penetapan UU Perkawinan baru ini menjadi catatan bagi
kita semua, bahwa perlu hadir ditengah-tengah negara gerakan-gerakan sosial
politik dalam mengawal dan memantau proses kebijakan apapun yang erat
hubungannya dengan kebijakan berbasis gender. Apalagi jika kita melihat revisi
atas ketidakadilan yang terkandung dalam penetapan UU Perkawinan No. 1/1974 ini
justru muncul atas inisiatif masyarakat yang tergabung dalam kelompok Koalisi
18+, bukan dari DPR RI ataupun Pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa agenda
politik mereka masih belum maksimal dalam memperhatikan isu-isu berbasis
ketidakadilan gender, padahal dampak yang ditemukan atas perkawinan anak ini
sungguh sangat merugikan anak-anak perempuan.
BIBLIOGRAFI
Alafgani, J. (2017). Gerakan
Sosial Berbasis Komunitas (Studi Kasus: Gerakan Komunitas Sabalad Dalam
Pendidikan Di Kabupaten Pangandaran). Universitas Siliwangi.
Astuti, P. (2018). Nilai-Nilai
Profetik Dan Implikasinya Bagi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
(Studi Pemikiran Kuntowijoyo). Uin Raden Intan Lampung.
Damas, M. H. (2019). Batas
Usia Minimal Menikah Bagi Perempuan Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (Analisis
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/Puu-Xv/2017). Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Darmansyah, R., &
Sartika, A. (2021). Representasi Perempuan Dalam Politik (Studi Pemilihan
Legislatif Kota Dumai Periode 2019-2024). Journal Civics And Social Studies,
5(1), 1�15.
Dye, T. R. (2013). Understanding
Public Policy. Pearson.
Isnaini, A. (2014).
Kekerasan Atas Nama Agama. Kalam, 8(2), 213�228.
Jain, S., & Kurz,
K. (2007). New Insights On Preventing Child Marriage: A Global Analysis Of
Factors And Programs. International Center For Research On Women (Icrw).
Lasmadi, S., Sasi
Wahyuningrum, K., & Sutra Disemadi, H. (2020). Kebijakan Perbaikan Norma
Dalam Menjangkau Batasan Minimal Umur Perkawinan. Gorontalo Law Review, 3(1),
1�16.
Macionis, J. J. (1999).
Study Guide, Society, The Basics, John J. Macionis. Prentice Hall.
Nurhayati, S., Idris,
M., & Burga, M. A.-Q. (2019). Muhammadiyah Dalam Perspektif Sejarah,
Organisasi, Dan Sistem Nilai. Trustmedia Publishing.
Pasulle, J. L. (2019). Konflik
Dan Resolusi Konflik (Studi Kasus Sengketa Tanah Di Kelurahan Labakkang
Kabupaten Pangkep). Universitas Hasanuddin.
Raj, A., Mcdougal, L.
P., & Silverman, J. G. (2015). Gendered Effects Of Siblings On Child
Malnutrition In South Asia: Cross-Sectional Analysis Of Demographic And Health
Surveys From Bangladesh, India, And Nepal. Maternal And Child Health Journal,
19(1), 217�226.
Setiawan, E. (2014).
Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia. Journal De Jure,
6(2).
Sigiro, A. N. (2020).
Child�s Rights And Gender Justice. Jurnal Perempuan, 25(2),
Iii�Iii.
Solikhin, A. (2017).
Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik Di Indonesia. Journal Of
Governance, 2(1).
Stolley, K. S. (2005). The
Basics Of Sociology. Greenwood Publishing Group.
Sukmana, O. (2016). Konsep
Dan Teori Gerakan Sosial. Intrans Publishing.
Surya, P., & Rofiq,
M. H. (2021). Internalisasi Nilai Karakter Jujur Dalam Proses Pembelajaran Di
Kelas Viii Madrasah Tsanawiyah Unggulan Hikmatul Amanah Pacet Mojokerto. Munaddhomah:
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 2(1), 31�37.
Thoyyib, M. (2018).
Radikalisme Islam Indonesia. Ta�lim: Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(1),
90�105.
Unicef, & Puskapa,
U. I. (2020). Pencegahan Perkawinan Anak Percepatan Yang Tidak Bisa Ditunda. Jakarta:
Unicef.
Unicef, & Yang
Tertunda, K. (2015). Analisis Data Perkawinan Usia Anak Di Indonesia. Badan
Pusat Statistik, Jakarta Indonesia.
Winata, N. T. (2020).
Membangun Gerakan Literasi Sekolah Melalui Koper. Jurnal Onoma: Pendidikan,
Bahasa, Dan Sastra, 6(2), 584�592.
Yusro, A. L. (2017). Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. 2014. Putusan Nomor 30-74/Puu-Xii/2014 Mahkamah
Konstitusi Ri. Diakses Dari. Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim.
Copyright holder: Achmad Fadli, Nur Iman Subono (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |