Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

TINJAUAN HAK ASASI MANUSIA TERKAIT HAK ATAS PERLAKUAN YANG ADIL DAN LAYAK DALAM HUBUNGAN KERJA

 

Martha Hasanah Rustam1, Duwi Handoko2

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia1

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, Indonesia2

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Masalah pokok dalam kajian ini adalah: Bagaimanakah pemenuhan norma hukum terkait setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja? Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang khusus membahas tentang hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hanya saja untuk menyamakan apa yang sudah diatur dengan ketentuan tersebut dengan praktik di lapangan bukan suatu perkara yang mudah karena kejahatan dalam dunia tenaga kerja di Indonesia masih terjadi dan bahkan hal tersebut diketahui oleh aparat penegak hukum yang terkesan tidak peduli terhadap hal tersebut. Contoh kasus dugaan perbudakan buruh kuali merupakan bukti nyata atas hal ini dengan substansi berupa pekerja selama bekerja tidak diberi gaji, dipukuli apabila bekerja tidak mencapai target, mendapatkan makanan basi, dan tidak adanya alat-alat keselamatan kerja selama melakukan pekerjaan. Oleh karena itu, semua lapisan masyarakat sebaiknya melakukan pengawasan terhadap pabrik-pabrik yang bersifat tertutup dengan lingkungan sekitar dan Dinas Tenaga Kerja seharusnya melakukan pengawasan yang benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam menjamin terciptanya hak atas perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal ini dirasa penting karena selama ini pengawasan yang dilakukan tidak menyentuh terhadap substansi yang diawasi tetapi lebih kepada hubungan bisnis antara pengawas dengan pemberi kerja.

 

Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Hak untuk Bekerja, Hak untuk Mendapat Imbalan dan Perlakuan yang Adil dan Layak dalam Hubungan Kerja.

 

Abstract

The main problem in this study is: How is the fulfillment of legal norms related to every person's right to work and receive rewards and treatment that is fair and proper in work relationships? This type of research is normative legal research which specifically discusses the right to work and receive rewards and treatment that is fair and proper in work relations. Article 28D paragraph (2) of the 1945 Constitution states that everyone has the right to work and to receive fair and proper compensation and treatment in a work relationship. It's just that to equate what has been regulated with these provisions with practice in the field is not an easy matter because crimes in the world of labor in Indonesia still occur and even this is known by law enforcement officials who seem not to care about it. The example of the alleged slavery case for cauldron workers is clear evidence of this with the substance of the workers not being paid a salary while working, being beaten if they don't reach the target, receiving stale food, and not having safety equipment while doing the work. Therefore, all levels of society should carry out supervision of factories that are closed to the surrounding environment and the Manpower Service should carry out supervision that is truly carried out in accordance with its main duties and functions in guaranteeing the creation of the right to fair and proper treatment in relations work. This is considered important because so far the supervision that has been carried out has not touched on the substance being supervised but rather the business relationship between the supervisor and the employer.

 

Keywords: Human Rights, Right to Work, Right to Get Rewards and Fair and Decent Treatment in Work Relations.

 

Pendahuluan

Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisans (abad ke-14 sampai ke-16 M) (Rahman, 2017). Gerakan yang berawal di Italia ini, dan kemudian menyebar ke segenap penjuru Eropa, dimaksudkan untuk membangunkan umat manusia dari tidur panjang abad pertengahan, yang dikuasai oleh dogma-dogma agamis-gerejani. Abad pertengahan adalah abad di mana otonomi, kreativitas, dan kemerdekaan berpikir manusia dibelenggu oleh kekuasaan gereja. Dalam zaman seperti itulah, gerakan humanisme muncul (Azizah, 2022). Gerakan kaum humanis ini bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Melalui pendidikan liberal, mereka mengajarkan bahwa manusia pada prinsipnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa depannya (Abidin, 2000).

Perkembangan HAM di Indonesia (pada Orde Lama dan Orde Baru) dapat ditinjau dari tiga Undang-Undang Dasar yang pernah diterapkan. Secara singkat, perkembangan tersebut menurut Bagir Manan adalah sebagai berikut.

1.    Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS)

Sesuai dengan bunyi Pasal 192 ayat (1) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), KRIS bertaku sejak tanggal 27 Desember 1949 melalui Keputusan presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 48 Tahun 1950, yakni bersamaan dengan saat pemulihan kedaulatan Republik Indonesia. Naskah KRIS disetujui oleh Delegasi RI dan Delegasi Daerah-Daerah Bahagian dalam pertemuan untuk Permusyawaratan Federal di Scheveningen, Belanda, serta disetujui oleh Pemerintah Repubiik Indonesia, pemerintah masing-masing Daerah Bahagian, KNIP dan DPR masing-masing Daerah Bahagian. KRIS memuat pengaturan HAM secara khusus dan mendetail. Pengaturan ini dapat dijumpai pada Bagian V KRIS tentang Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia, mulai dari Pasal 7 sampai 33. Secara umum, pasal-pasal ini dapat dikategorikan atas HAM sipil dan HAM politik. HAM sipil mengakui dan metindungi hak-hak yang paling fundamental dari seorang manusia berkaitan dengan martabatnya sebagai makhluk pribadi. Sedangkan HAM politik berkaitan dengan kehidupan publik. Pasal-pasal KRIS yang mengatur HAM sipil disandarkan kepada keyakinan bahwa hak-hak fundamental tersebut, agar dapat ditegakkan, harus memiliki kekuatan mengikat yang lebih dari sekedar kekuatan moral. Hal ini berarti bahwa di dalam hak-hak itu harus dimunculkan keterkaitannya dengan kekuatan hukum sebagai satusatunya kaidah yang dapat dipaksakan. Dalam konteks ini, karakter yang menjiwai penegakan semua HAM sipil adalah pengakuan terhadap persamaan setiap manusia di hadapan hukum.

2.    Undang-Undang Dasar Sementara 1950

Sama halnya dengan KRIS, ketentuan-ketentuan yang mengatur HAM pada Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) dimuat secara khusus dalam Bagian V Pasal 7 - 34 UUDS. Pada dasarnya, ide dasar mengenai HAM dalam UUDS ini hampir seluruhnya mengambil oper dari ketentuan KRIS. Yang berbeda hanya penomoran pasal dan beberapa susunan kalimatnya. perubahan hanya terjadi pada enam pasal, dengan pengaturan baru yang esensial tiga pasal. Secara singkat kesamaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: Pasal 23 ayat (1) dan (2) rumusannya sama dengan Pasal 22 ayat (1) dan (2) KRIS. Pasal 25 ayat (1) dan (2) rumusannya sama dengan pasal 24 ayat (1) dan (2) KRIS. Pasal 26 ayat (1) dan (2) rumusannya sama dengan Pasal 25 ayat (1) dan (2) KRIS. Pasal 27 ayat (1) dan (2) rumusannya sama dengan Pasal 26 ayat (1) dan (2) KRIS. Pasal 28 ayat (1) sampai (4) rumusannya sama dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2) KRIS, Pasal 29 rumusannya sama dengan Pasal 28 KRIS. Pasal 30 ayat (2) rumusannya sama dengan ayat (2) Pasal 29 KRIS. Pasal 30 ayat (3) rumusannya sama dengan ayat (1) Pasal 29 KRIS. Pasal 31 rumusannya sama dengan pasal 30 KRIS. Pasal 33 rumusannya sama dengan pasal 32 ayat (1) KRIS. Pasal 34 rumusannya sama dengan pasal 33 KRIS. Pasal 19 rumusannya sama dengan Pasal 19 KRIS.

3.    Undang-Undang Dasar 1945 Pra Amandemen

Pasca 1966, timbul tekad dari pemerintahan Orde Baru yang baru terbentuk untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, terutama dalam bidang HAM. Tekad itu antara lain dijelmakan melalui Sidang Umum MRPS IV tahun 1966. Dalam Sidang Umum MRPS IV tahun 1966 telah ditetapkan Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 yang salah satu isinya memerintahkan penyusunan suatu perangkat hukum mengenai HAM. Kemudian, berdasarkan TAP MPRS tersebut, dibentuk Panitia Ad Hoc IV yang bertugas menyusun rincian HAM. Hasil kerja Panitia Ad Hoc tersebut diterima oleh Majelis berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS Nomor 24/B/1967 tertanggal 6 Maret 1967 sebagai bahan pokok yang akan disebarluaskan guna penyempurnaan lebih lanjut. Kenyataan menunjukkan bahwa MPRS dalam Sidang Umum V tidak mencapai kata mufakat untuk menuangkan hasil-hasil Panitia Ad Hoc dalam suatu ketetapan. Demikian pula MPR hasil Sidang Umum 1971. Dalam Sidang Umum bulan Maret 1973 MPR akhirnya tidak berkehendak untuk melanjutkan hasil kerja Panita Ad-Hoc tersebut. Bahkan, berdasarkan Ketetapan MPR No. V/MPR/1973, TAP MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 dinyatakan tidak berlaku dan dicabut. Kesemua ini menunjukkan bahwa MPR hasil Pemilihan Umum tahun 1971 menganggap bahwa masalah HAM cukup diatur dalam UUD 1945 saja. UUD 1945 sendiri hanya mencantumkan 6 Pasal yang berkaitan dengan HAM. HAM tersebut meliputi hak-hak warganegara yang diatur dalam Pasal 27, 30 dan 31. Kedudukan penduduk, termasuk warganegara, diatur dalam Pasal 28, 29 dan 34 UUD. Implementasi Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 antara lain terdapat dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 (LN Nomor 76 Tahun 1981) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hak asasi di bidang politik dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 28 Yang berbunyi: �Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang�. Hak asasi politik ini berkaitan dengan kedudukan penduduk, baik warganegara maupun bukan warga negara indonesia, yang merupakan implementasi Sila Kedua dan Sila Ketiga Pancasila. Dari ketentuan Pasal 28 UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 menetapkan dua macam kemerdekaan, Yaitu: kemerdekaan berserikat dan berkumpul kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul adalah hak asasi manusia untuk menyatukan diri dengan manusia lain untuk waktu yang agak panjang guna mencapai suatu maksud bersama. HAM yang sangat fundamental, yakni yang berkaitan langsung dengan hak-hak personal dan merupakan penjelmaan dari sila Kesatu pancasila termuat dalam Pasal 29 UUD 1945, yang berbunyi: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Penjelasan pasal 29 ayat (1) ini secara jelas menyatakan kepercayaan bangsa lndonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks ini, ketentuan ini memberi isyarat bahwa di Indonesia kebebasan untuk memeluk agama dijamin karena kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara HAM lainnya dan langsung bersumber dari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa itu sendiri merupakan keyakinan individu dan sifatnya sangat subyektif, sehingga tidak dapat dipaksakan. Selain itu, memang tidak ada ketentuan dalam agama dan kepercayaan apa pun yang boleh memaksa setiap manusia untuk memeluk atau menganutnya. Pengaturan yang berkaitan dengan masalah kebebasan beragama di Indonesia diatur dalam penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 (LN Nomor 36 Tahun 1969) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (Manan, 2006).

Dalam konteks Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, pencantuman secara eksplisit seputar HAM muncul atas kesadaran dan konsensus. Namun demikian, dalam kurun berlakunya Undang-Undang Dasar di Indonesia, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945, dan UUD Amandemen IV Tahun 2002, pencantuman HAM mengalami pasang surut yang lebih bersifat politis. Lebih dari itu, kerap kali muncul multi penafsiran atas teks-teks konstitusi sehingga tidak jarang intterpretasi penguasa lebih terkesan subjektif dan hegemonic (Muhtaj, 2007).

Setiap kali hak-hak asasi disebutkan, dengan sendirinya rujukan paling baku ialah Universal Declaration of Human Rights (UDHR)/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini wajar dan merupakan keharusan, karena UDHR merupakan puncak konseptualisasi manusia sejagad yang menyatakan dukungan dan pengakuan yang tegas tentang hak asasi manusia. Intelektual muslim kulit hitam asal Sudan yang menggeluti studi HAM, Abdullah Ahmad an-Naim dalam sebuah tulisannya memperingati 50 tahun UDHR/DUHAM mengatakan, UDHR/ DUHAM sebagai referensi untuk penyusunan standar pencapaian. Begitupun harus dipahami bahwa DUHAM merupakan rumusan-rumusan yang memuat cita-cita kemanusiaan ideal yang wajib dipenuhi oleh masyarakat beradab. DUHAM bukanlah gambaran dunia dalam kenyataan empiris. Rhoda menegaskan bahwa DUHAM mencerminkan pemikiran kemanusiaan modern mengenai hakikat manusia. DUHAM, tegasnya, tidak lebih dari deklarasi umat manusia tentang bagaimana seharusnya. Apa yang tertuang di dalamnya dilihat dari perspektif perkembangan generasi HAM adalah termasuk ke dalam generasi pertama dari tiga atau ada yang yang menyebutnya empat generasi HAM yang ada. Cirinya yang terpenting adalah bahwa pengertian HAM hanya terbatas pada bidang hukum dan politik. Sangat wajar dikarenakan beberapa hal, yakni realitas politik global pasca Perang Dunia II, dan adanya keinginan kuat negara-negara baru untuk menciptakan tertib hukum dan politik yang baru (Riyadi & Abdi, 2007).

Generasi HAM kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya. Melalui Resolusi Majelis Umum 220 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966 lahirlah dua buah kovenan, yakni pertama International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). Kovenan ini terdiri dari 6 Bagian dan 53 Pasal. Kovenan kedua adalah International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Kovenan ini terdiri dari 5 Bagian dan 31 Pasal (Riyadi & Abdi, 2007).

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang khusus membahas tentang hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Metode pengumpulan data yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan dengan melakukan kajian terhadap literatur-literatur yang terkait dengan objek penelitian ini. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara sistematis berdasarkan permasalahan penelitian yang diuraikan secara kualitatif.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hak atas Perlakuan yang Adil dan Layak dalam Hubungan Kerja

Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hubungan kerja berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Dewasa ini ada kecenderungan bahwa pengusaha memakai landasan hukum dalam melakukan hubungan kerja, dengan berdasarkan atas perjanjian kerja untuk waktu tertentu, kecenderungan demikian umumnya untuk meng�hindari apabila terjadi pemutusan hubungan kerja terutama yang dilakukan secara sepihak dari pengusaha, dihubungkan dengan kewajiban-kewajiban untuk meminta izin terlebih dahulu disertai dengan pembebanan kewajiban-kewajiban yang memberatkan bagi pihak pengusaha, permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja yang memakan waktu panjang dan berbelit-belit serta pembebanan kewajiban pemberian uang pesangon, penghargaan masa kerja/jasa maupun ganti kerugian yang menjadi kewajiban pengusaha sebaliknya menjadi hak bagi pekerja (Fitriansyah, 2020). Kecenderungan tersebut jelas akan merugikan kepentingan pekerja, akan hak-haknya yang seharusnya menjadi miliknya, ditambah lagi dengan kondisi semakin sulit dan sempitnya formasi kerja dibanding dengan semakin ba�nyaknya persaingan angkatan kerja dalam mendapatkan pekerjaan. Dengan demikian perlu adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja sebagai warga negara Indonesia, seperti diamanatkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Djumadi, 2004). Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (Lestari & Cahyono, 2017). Perlindungan terhadap tenaga kerja bertujuan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/ buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Oleh karena itu, perlindungan terhadap tenaga kerja dapat diketahui dari peraturan perundang-undangan mengenai dan perjanjian kerja (Alam & Arif, 2020).

Perjanjian kerja yang dibuat untuk jangka waktu tertentu lazimnya disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau pekerjaan tidak tetap. Status pekerjanya adalah pekerja kontrak atau pekerja tidak tetap. Perjanjian kerja yang dibuat untuk jangka waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjaannya adalah pekerja tetap (Husni, 2006).

Dalam melakukan hubungan kerja, pengusaha lebih senang memilih pekerja dengan status kontrak kerja daripada pekerja tetap. Hubungan kerja yang didasarkan pada sistem kontrak kerja lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan pekerja tetap. Hubungan kerja yang tidak dibatasi pada jangka waktu, yaitu pekerja tetap cenderung tidak efisien. Anggapan pengusaha atau majikan menggunakan pekerja tetap tidak efisien dikarenakan harus memperhatikan banyak hal yang berkaitan dengan ketenangan kerja. Misalnya beberapa ketentuan dari peraturan yang mengatur mengenai upah, kesejahteraan, kenaikan upah berkala, tunjangan sosialnya, hari istirahat atau cuti, dan tidak mudah untuk memutuskan hubungan kerja secara sepihak apabila di kemudian hari ternyata pekerja malas (Wijayanti, 2009).

Hubungan kerja yang didasarkan pada kontrak kerja lebih efisien, karena majikan dapat dengan sekehendak hati membuat atau menetapkan syarat-syarat kerja yang disepakati juga oleh pekerja. Misalnya, disepakati hubungan kerja akan berlangsung selama dua tahun dengan upah tertentu.

B.  Kasus-kasus Penting (Dugaan Perbudakan di Pabrik Kuali)

Berdasarkan foto-foto yang diperoleh situs Detik dari komisioner Komnas HAM, Siane Indriani, dikemukakan bahwa puluhan buruh pabrik kuali di Tangerang disekap dan disiksa berbulan-bulan layaknya budak. Selain jam kerja yang panjang dan tak boleh bersosialisasi, tempat tinggal para buruh itu tampak tidak layak, nyaris seperti kandang dengan alasan sebagai berikut:

1.    Penampakan luar tempat tinggal dan bengkel kuali di Tangerang, sekilas mirip tempat pengepulan sampah.

2.    Suasana bengkel kerja pabrik kuali tertutup.

3.    Bahan baku pembuatan kuali berserakan di pabriknya.

4.    Kamar mandi di tempat tinggal para buruh hanya satu.

5.    Kamar para buruh, hanya ada beberapa tikar, plus kardus tanpa ventilasi udara dan cahaya memadai.

6.    Kamar tampak gelap dan lembab. Ada jendela yang tampaknya tak pernah dibuka (Nograhany Widhi K, 2022).

Polresta Tangerang sudah melakukan gelar perkara pada pengusaha kuali Yuki Irawan dan anak buahnya. Yuki yang mempekerjakan 40 buruh dengan sewenang-wenang akan dijerat pasal berlapis. Menurut Kasat Reskrim Polresta Tangerang Kompol Shinto Silitong, penyidik bersama-sama perwira pengawas penyidik dan beberapa Kasi di Polresta Tangerang telah melakukan gelar perkara untuk memasukkan pasal-pasal persangkaan baru kepada Yuki Irawan. Gelar perkara ini diawali oleh presentasi fakta-fakta yang ditemukan dalam rangkaian penyidikan awal. Dalam gelar perkara itu, penyidik sepakat mengenakan sejumlah pasal. Berikut lengkapnya:

1.    Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dengan fakta bahwa kegiatan Yuki Irawan bergerak dalam bidang industri, namun tidak dilengkapi dengan Tanda Daftar Industri (TDI) atau Ijin Usaha Industri (IUI).

2.    Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan fakta bahwa terdapat 4 buruh yang masih berstatus anak, yaitu berumur 17 tahun.

3.    Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan fakta bahwa para buruh ini telah direkrut dengan penipuan dan setelah direkrut, mereka dipekerjakan dengan ancaman kekerasan maupun kekerasan fisik untuk dieksploitasi secara ekonomi.

4.    Pasal 372 KUHP tentang tindak pidana penggelapan, dengan fakta bahwa barang-barang milik para buruh seperti hp,dompet,uang,dan pakaian dilucuti dan dikuasai oleh tersangka, juga dengan adanya fakta bahwa gaji para buruh tidak semuanya diberikan oleh Yuki kepada para buruh (E. Mei Amelia R, 2022).

Dalam kesepakatan awal dengan Kemenakertrans dan Dinas Tenaga Kerja Pemkab Tangerang, maka terhadap tindak pidana ketenagakerjaan yang terjadi dari rangkaian peristiwa di tempat usaha Yuki akan dilakukan penyidikannya oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dinas Tenaga Kerja sehingga PPNS Dinas Tenaga Kerja dapat bekerja secara paralel terkait perkara ini yang pada bagian akhir nanti terdapat 2 berkas perkara yang akan dikirimkan ke pihak Kejaksaan Negeri Tigaraksa. Dengan masuknya 4 persangkaan baru tersebut, maka pihak Polresta Tangerang memasukkan 6 persangkaan dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) (E. Mei Amelia R, 2022).

Pengadilan Negeri Tangerang menggelar sidang lanjutan perkara dugaan perbudakan yang dilakukan oleh Yuki Irawan (41) terhadap puluhan karyawannya di Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur. Sidang yang digelar pada tanggal 7 Januari 2014 ini mengagendakan mendengarkan saksi-saksi dan korban. Sidang yang dipimpin Asiyadi Sembiring itu menghadirkan tiga orang saksi, yaitu Bagas (23), Syaeful (21) dan Dikdik (19). Sebelumnya, anggota jaksa penuntut umum, yaitu Agus Suhartono dan Imam Cahyono, menjerat bos pabrik kuali tersebut dengan pasal berlapis, yakni Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, Pasal 372 juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, dan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Dalam pengakuan saksi, Bagas mengatakan, selama ia bekerja di Pabrik Kuali tersebut. Dia tidak diberi gaji beberapa bulan, dipukuli dan mendapatkan makanan basi. Oleh karena itu, Bagas meminta pelaku dihukum seberat-beratnya dan mengganti kerugian seperti gaji yang belum dibayarkan dan biaya pengobatan. Sedangkan saksi kedua, Syaeful, menjelaksan bahwa selama bekerja tidak diberikan gaji selama 6 bulan dan harus bekerja mencapai target. Bila tidak mencapai akan dipukul. Syaeful pernah dipukul karena tidak memenuhi target dan pernah berencana mau kabur namun takut dengan ancaman. Saksi ketiga, Dikdik mengungkapkan, selama bekerja tidak menggunakan sarung tangan dan pakaian yang layak pakai. Selain itu, handphone dan dompetnya juga diambil Yuki. Akibatnya Dikdik pernah luka karena tidak memakai sarung tangan sambil menunjukkan luka di persidangan (Satelitnews.co.id, 2022).

Dalam sidang tersebut, pihak kuasa hukum Yuki melakukan pembelaan yaitu menunjukkan bukti-bukti seperti nota/kwitansi pengobatan dan gaji karyawan. Bahkan kuasa hukum langsung menawarkan ganti rugi di dalam persidangan. Namun seluruh pembelaan dan bukti-bukti yang diajukan kuasa hukum Yuki, disanggah oleh seluruh saksi/korban. Pihak kuasa hukum Yuki juga menyebutkan berharap kepada hakim harus jeli karena kasus yang terjadi bukan masalah penyekapan, tetapi merupakan perkara yang direkayasa sehingga jangan sampai salah menghukum orang.

 

Kesimpulan

Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hanya saja untuk menyamakan apa yang sudah diatur dengan ketentuan tersebut dengan praktik di lapangan bukan suatu perkara yang mudah karena kejahatan dalam dunia tenaga kerja di Indonesia masih terjadi dan bahkan hal tersebut diketahui oleh aparat penegak hukum yang terkesan tidak peduli terhadap hal tersebut. Contoh kasus dugaan perbudakan buruh kuali merupakan bukti nyata atas hal ini dengan substansi berupa pekerja selama bekerja tidak diberi gaji, dipukuli apabila bekerja tidak mencapai target, mendapatkan makanan basi, dan tidak adanya alat-alat keselamatan kerja selama melakukan pekerjaan. Oleh karena itu, semua lapisan masyarakat sebaiknya melakukan pengawasan terhadap pabrik-pabrik yang bersifat tertutup dengan lingkungan sekitar dan Dinas Tenaga Kerja seharusnya melakukan pengawasan yang benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam menjamin terciptanya hak atas perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal ini dirasa penting karena selama ini pengawasan yang dilakukan tidak menyentuh terhadap substansi yang diawasi tetapi lebih kepada hubungan bisnis antara pengawas dengan pemberi kerja.

BIBLIOGRAFI

 

Abidin, Z. (2000). Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Rosda Karya.

 

Alam, S., & Arif, M. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja: Perspektif Tanggung Jawab Konstitusional Negara. Kalabbirang Law Journal, 2(2), 123�133. https://doi.org/10.35877/454RI.kalabbirang154.

 

Azizah, S. A. N. (2022). Analisis semiotika representasi humanisme dalam film" Hari yang Dijanjikan". UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

Djumadi. (2004). Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

 

E. Mei Amelia R. (2022). Ini Deretan Pasal yang Disangkakan Polisi pada Bos Kuali di Tangerang. Detik.Com. http://detik.com/news/read/2013/05/08/083556/2240738/10/.

 

Fitriansyah, A. (2020). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Antara Pekerja dengan Pengusaha Swalayan Garuda Mitra Pontianak. Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura, 4(1).

 

Husni, L. (2006). Pengantar hukum ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

Lestari, V. N. S., & Cahyono, D. (2017). Sistem Pengupahan di Indonesia. Economic: Journal of Economic and Islamic Law, 8(2), 144�153.

 

Manan, B. (2006). Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: PT Alumni.

 

Muhtaj, M. El. (2007). Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia: dari UUD 1945 sampai dengan amandemen UUD 1945 tahun 2002. Jakarta: Kencana.

 

Nograhany Widhi K. (2022). Ini Penampakan �Kandang� Buruh Pabrik Kuali di Tangerang. Detik.Com. http://detik.com/news/read/2013/05/05/130221/2238278/10/?nd772204topnews.

 

Rahman, T. (2017). Humanisme Hassan Hanafi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

Riyadi, E., & Abdi, S. (2007). Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif). Yogyakarta: PUSHAM UII.

 

Satelitnews.co.id. (2022). Tiga Saksi Beratkan Yuki. http://satelitnews.co.id/?p=29079.

 

Wijayanti, A. (2009). Hukum ketenagakerjaan pasca reformasi (Vol. 1). Jakarta: Sinar Grafika.

 

Copyright holder:

Martha Hasanah Rustam, Duwi Handoko (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: