Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 12,
Desember 2022
TINJAUAN
HAK ASASI MANUSIA TERKAIT HAK ATAS PERLAKUAN YANG ADIL DAN LAYAK DALAM HUBUNGAN
KERJA
Martha
Hasanah Rustam1, Duwi Handoko2
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia1
Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, Indonesia2
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Masalah pokok
dalam kajian ini adalah: Bagaimanakah pemenuhan norma hukum terkait setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja? Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif yang khusus membahas tentang hak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Pasal 28D ayat (2)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Hanya saja untuk menyamakan apa yang sudah diatur dengan ketentuan
tersebut dengan praktik di lapangan bukan suatu perkara yang mudah karena
kejahatan dalam dunia tenaga kerja di Indonesia masih terjadi dan bahkan hal
tersebut diketahui oleh aparat penegak hukum yang terkesan tidak peduli
terhadap hal tersebut. Contoh kasus dugaan perbudakan buruh kuali merupakan
bukti nyata atas hal ini dengan substansi berupa pekerja selama bekerja tidak
diberi gaji, dipukuli apabila bekerja tidak mencapai target, mendapatkan
makanan basi, dan tidak adanya alat-alat keselamatan kerja selama melakukan
pekerjaan. Oleh karena itu, semua lapisan masyarakat sebaiknya melakukan
pengawasan terhadap pabrik-pabrik yang bersifat tertutup dengan lingkungan
sekitar dan Dinas Tenaga Kerja seharusnya melakukan pengawasan yang benar-benar
dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam menjamin terciptanya
hak atas perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal ini dirasa penting
karena selama ini pengawasan yang dilakukan tidak menyentuh terhadap substansi
yang diawasi tetapi lebih kepada hubungan bisnis antara pengawas dengan pemberi
kerja.
Kata
Kunci:
Hak Asasi Manusia, Hak untuk Bekerja, Hak untuk Mendapat Imbalan dan Perlakuan
yang Adil dan Layak dalam Hubungan Kerja.
Abstract
The main problem
in this study is: How is the fulfillment of legal norms related to every
person's right to work and receive rewards and treatment that is fair and
proper in work relationships? This type of research is normative legal research
which specifically discusses the right to work and receive rewards and
treatment that is fair and proper in work relations. Article 28D paragraph (2)
of the 1945 Constitution states that everyone has the right to work and to
receive fair and proper compensation and treatment in a work relationship. It's
just that to equate what has been regulated with these provisions with practice
in the field is not an easy matter because crimes in the world of labor in Indonesia
still occur and even this is known by law enforcement officials who seem not to
care about it. The example of the alleged slavery case for cauldron workers is
clear evidence of this with the substance of the workers not being paid a
salary while working, being beaten if they don't reach the target, receiving
stale food, and not having safety equipment while doing the work. Therefore,
all levels of society should carry out supervision of factories that are closed
to the surrounding environment and the Manpower Service should carry out
supervision that is truly carried out in accordance with its main duties and
functions in guaranteeing the creation of the right to fair and proper
treatment in relations work. This is considered important because so far the
supervision that has been carried out has not touched on the substance being
supervised but rather the business relationship between the supervisor and the
employer.
Keywords: Human Rights,
Right to Work, Right to Get Rewards and Fair and Decent Treatment in Work
Relations.
Pendahuluan
Humanisme sebagai suatu gerakan
intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan
Renaisans (abad ke-14 sampai ke-16 M) (Rahman, 2017). Gerakan yang
berawal di Italia ini, dan kemudian menyebar ke segenap penjuru Eropa,
dimaksudkan untuk membangunkan umat manusia dari tidur panjang abad
pertengahan, yang dikuasai oleh dogma-dogma agamis-gerejani. Abad pertengahan
adalah abad di mana otonomi, kreativitas, dan kemerdekaan berpikir manusia
dibelenggu oleh kekuasaan gereja. Dalam zaman seperti itulah, gerakan humanisme
muncul (Azizah, 2022). Gerakan kaum
humanis ini bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan gereja dan
membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Melalui pendidikan
liberal, mereka mengajarkan bahwa manusia pada prinsipnya adalah makhluk bebas
dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa depannya (Abidin, 2000).
Perkembangan HAM di Indonesia (pada Orde
Lama dan Orde Baru) dapat ditinjau dari tiga Undang-Undang Dasar yang pernah
diterapkan. Secara singkat, perkembangan tersebut menurut Bagir Manan adalah
sebagai berikut.
1. Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS)
Sesuai
dengan bunyi Pasal 192 ayat (1) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS),
KRIS bertaku sejak tanggal 27 Desember 1949 melalui Keputusan presiden Republik
Indonesia Serikat Nomor 48 Tahun 1950, yakni bersamaan dengan saat pemulihan
kedaulatan Republik Indonesia. Naskah KRIS disetujui oleh Delegasi RI dan
Delegasi Daerah-Daerah Bahagian dalam pertemuan untuk Permusyawaratan Federal
di Scheveningen, Belanda, serta disetujui oleh Pemerintah Repubiik Indonesia,
pemerintah masing-masing Daerah Bahagian, KNIP dan DPR masing-masing Daerah
Bahagian. KRIS memuat pengaturan HAM secara khusus dan mendetail. Pengaturan
ini dapat dijumpai pada Bagian V KRIS tentang Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan
Dasar Manusia, mulai dari Pasal 7 sampai 33. Secara umum, pasal-pasal ini dapat
dikategorikan atas HAM sipil dan HAM politik. HAM sipil mengakui dan metindungi
hak-hak yang paling fundamental dari seorang manusia berkaitan dengan
martabatnya sebagai makhluk pribadi. Sedangkan HAM politik berkaitan dengan
kehidupan publik. Pasal-pasal KRIS yang mengatur HAM sipil disandarkan kepada
keyakinan bahwa hak-hak fundamental tersebut, agar dapat ditegakkan, harus
memiliki kekuatan mengikat yang lebih dari sekedar kekuatan moral. Hal ini
berarti bahwa di dalam hak-hak itu harus dimunculkan keterkaitannya dengan
kekuatan hukum sebagai satusatunya kaidah yang dapat dipaksakan. Dalam konteks
ini, karakter yang menjiwai penegakan semua HAM sipil adalah pengakuan terhadap
persamaan setiap manusia di hadapan hukum.
2. Undang-Undang
Dasar Sementara 1950
Sama
halnya dengan KRIS, ketentuan-ketentuan yang mengatur HAM pada Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) dimuat secara khusus dalam Bagian V Pasal 7 -
34 UUDS. Pada dasarnya, ide dasar mengenai HAM dalam UUDS ini hampir seluruhnya
mengambil oper dari ketentuan KRIS. Yang berbeda hanya penomoran pasal dan
beberapa susunan kalimatnya. perubahan hanya terjadi pada enam pasal, dengan
pengaturan baru yang esensial tiga pasal. Secara singkat kesamaan tersebut
dapat dijabarkan sebagai berikut: Pasal 23 ayat (1) dan (2) rumusannya sama
dengan Pasal 22 ayat (1) dan (2) KRIS. Pasal 25 ayat (1) dan (2) rumusannya
sama dengan pasal 24 ayat (1) dan (2) KRIS. Pasal 26 ayat (1) dan (2)
rumusannya sama dengan Pasal 25 ayat (1) dan (2) KRIS. Pasal 27 ayat (1) dan
(2) rumusannya sama dengan Pasal 26 ayat (1) dan (2) KRIS. Pasal 28 ayat (1)
sampai (4) rumusannya sama dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2) KRIS, Pasal 29
rumusannya sama dengan Pasal 28 KRIS. Pasal 30 ayat (2) rumusannya sama dengan
ayat (2) Pasal 29 KRIS. Pasal 30 ayat (3) rumusannya sama dengan ayat (1) Pasal
29 KRIS. Pasal 31 rumusannya sama dengan pasal 30 KRIS. Pasal 33 rumusannya
sama dengan pasal 32 ayat (1) KRIS. Pasal 34 rumusannya sama dengan pasal 33
KRIS. Pasal 19 rumusannya sama dengan Pasal 19 KRIS.
3. Undang-Undang
Dasar 1945 Pra Amandemen
Pasca
1966, timbul tekad dari pemerintahan Orde Baru yang baru terbentuk untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, terutama dalam
bidang HAM. Tekad itu antara lain dijelmakan melalui Sidang Umum MRPS IV tahun
1966. Dalam Sidang Umum MRPS IV tahun 1966 telah ditetapkan Ketetapan MPRS
Nomor XIV/MPRS/1966 yang salah satu isinya memerintahkan penyusunan suatu
perangkat hukum mengenai HAM. Kemudian, berdasarkan TAP MPRS tersebut, dibentuk
Panitia Ad Hoc IV yang bertugas menyusun rincian HAM. Hasil kerja Panitia Ad
Hoc tersebut diterima oleh Majelis berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS Nomor
24/B/1967 tertanggal 6 Maret 1967 sebagai bahan pokok yang akan disebarluaskan
guna penyempurnaan lebih lanjut. Kenyataan menunjukkan bahwa MPRS dalam Sidang
Umum V tidak mencapai kata mufakat untuk menuangkan hasil-hasil Panitia Ad Hoc
dalam suatu ketetapan. Demikian pula MPR hasil Sidang Umum 1971. Dalam Sidang
Umum bulan Maret 1973 MPR akhirnya tidak berkehendak untuk melanjutkan hasil
kerja Panita Ad-Hoc tersebut. Bahkan, berdasarkan Ketetapan MPR No. V/MPR/1973,
TAP MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 dinyatakan tidak berlaku dan dicabut. Kesemua ini
menunjukkan bahwa MPR hasil Pemilihan Umum tahun 1971 menganggap bahwa masalah
HAM cukup diatur dalam UUD 1945 saja. UUD 1945 sendiri hanya mencantumkan 6
Pasal yang berkaitan dengan HAM. HAM tersebut meliputi hak-hak warganegara yang
diatur dalam Pasal 27, 30 dan 31. Kedudukan penduduk, termasuk warganegara,
diatur dalam Pasal 28, 29 dan 34 UUD. Implementasi Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
antara lain terdapat dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 (LN Nomor 76 Tahun 1981)
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hak asasi di bidang
politik dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 28 Yang berbunyi: �Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang�. Hak asasi politik ini berkaitan
dengan kedudukan penduduk, baik warganegara maupun bukan warga negara
indonesia, yang merupakan implementasi Sila Kedua dan Sila Ketiga Pancasila.
Dari ketentuan Pasal 28 UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan bahwa UUD 1945
menetapkan dua macam kemerdekaan, Yaitu: kemerdekaan berserikat dan berkumpul
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul adalah hak asasi manusia untuk menyatukan diri dengan
manusia lain untuk waktu yang agak panjang guna mencapai suatu maksud bersama.
HAM yang sangat fundamental, yakni yang berkaitan langsung dengan hak-hak
personal dan merupakan penjelmaan dari sila Kesatu pancasila termuat dalam
Pasal 29 UUD 1945, yang berbunyi: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha
Esa dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu. Penjelasan pasal 29 ayat (1) ini secara jelas menyatakan kepercayaan
bangsa lndonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks ini, ketentuan ini
memberi isyarat bahwa di Indonesia kebebasan untuk memeluk agama dijamin karena
kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara HAM
lainnya dan langsung bersumber dari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa itu sendiri merupakan
keyakinan individu dan sifatnya sangat subyektif, sehingga tidak dapat
dipaksakan. Selain itu, memang tidak ada ketentuan dalam agama dan kepercayaan
apa pun yang boleh memaksa setiap manusia untuk memeluk atau menganutnya.
Pengaturan yang berkaitan dengan masalah kebebasan beragama di Indonesia diatur
dalam penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1969 (LN Nomor 36 Tahun 1969) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama (Manan, 2006).
Dalam konteks Undang-Undang Dasar yang pernah
berlaku di Indonesia, pencantuman secara eksplisit seputar HAM muncul atas
kesadaran dan konsensus. Namun demikian, dalam kurun berlakunya Undang-Undang
Dasar di Indonesia, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945,
dan UUD Amandemen IV Tahun 2002, pencantuman HAM mengalami pasang surut yang
lebih bersifat politis. Lebih dari itu, kerap kali muncul multi penafsiran atas
teks-teks konstitusi sehingga tidak jarang intterpretasi penguasa lebih
terkesan subjektif dan hegemonic (Muhtaj, 2007).
Setiap kali hak-hak asasi disebutkan,
dengan sendirinya rujukan paling baku ialah Universal Declaration of Human
Rights (UDHR)/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini wajar dan
merupakan keharusan, karena UDHR merupakan puncak konseptualisasi manusia
sejagad yang menyatakan dukungan dan pengakuan yang tegas tentang hak asasi
manusia. Intelektual muslim kulit hitam asal Sudan yang menggeluti studi HAM,
Abdullah Ahmad an-Naim dalam sebuah tulisannya memperingati 50 tahun UDHR/DUHAM
mengatakan, UDHR/ DUHAM sebagai referensi untuk penyusunan standar pencapaian.
Begitupun harus dipahami bahwa DUHAM merupakan rumusan-rumusan yang memuat
cita-cita kemanusiaan ideal yang wajib dipenuhi oleh masyarakat beradab. DUHAM
bukanlah gambaran dunia dalam kenyataan empiris. Rhoda menegaskan bahwa DUHAM
mencerminkan pemikiran kemanusiaan modern mengenai hakikat manusia. DUHAM,
tegasnya, tidak lebih dari deklarasi umat manusia tentang bagaimana seharusnya.
Apa yang tertuang di dalamnya dilihat dari perspektif perkembangan generasi HAM
adalah termasuk ke dalam generasi pertama dari tiga atau ada yang yang
menyebutnya empat generasi HAM yang ada. Cirinya yang terpenting adalah bahwa
pengertian HAM hanya terbatas pada bidang hukum dan politik. Sangat wajar
dikarenakan beberapa hal, yakni realitas politik global pasca Perang Dunia II,
dan adanya keinginan kuat negara-negara baru untuk menciptakan tertib hukum dan
politik yang baru (Riyadi & Abdi, 2007).
Generasi HAM kedua menyusul pada
keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa
depan HAM yang melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya. Melalui
Resolusi Majelis Umum 220 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966 lahirlah dua buah
kovenan, yakni pertama International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). Kovenan ini terdiri dari
6 Bagian dan 53 Pasal. Kovenan kedua adalah International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya). Kovenan ini terdiri dari 5 Bagian dan 31 Pasal (Riyadi & Abdi, 2007).
Metode
Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif yang khusus membahas tentang hak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Metode
pengumpulan data yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah dengan cara
studi kepustakaan dengan melakukan kajian terhadap literatur-literatur yang
terkait dengan objek penelitian ini. Analisis data dalam penelitian ini
dilakukan secara sistematis berdasarkan permasalahan penelitian yang diuraikan
secara kualitatif.
Hasil
dan Pembahasan
A. Hak
atas Perlakuan yang Adil dan Layak dalam Hubungan Kerja
Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja. Hubungan kerja berdasarkan Pasal 1 angka 15
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam Pasal 1 angka 14
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan
perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Dewasa ini ada kecenderungan bahwa pengusaha memakai landasan hukum dalam
melakukan hubungan kerja, dengan berdasarkan atas perjanjian kerja untuk waktu
tertentu, kecenderungan demikian umumnya untuk meng�hindari apabila terjadi
pemutusan hubungan kerja terutama yang dilakukan secara sepihak dari pengusaha,
dihubungkan dengan kewajiban-kewajiban untuk meminta izin terlebih dahulu
disertai dengan pembebanan kewajiban-kewajiban yang memberatkan bagi pihak
pengusaha, permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja yang memakan waktu
panjang dan berbelit-belit serta pembebanan kewajiban pemberian uang pesangon,
penghargaan masa kerja/jasa maupun ganti kerugian yang menjadi kewajiban
pengusaha sebaliknya menjadi hak bagi pekerja (Fitriansyah, 2020). Kecenderungan tersebut jelas akan merugikan
kepentingan pekerja, akan hak-haknya yang seharusnya menjadi miliknya, ditambah
lagi dengan kondisi semakin sulit dan sempitnya formasi kerja dibanding dengan
semakin ba�nyaknya persaingan angkatan kerja dalam mendapatkan pekerjaan.
Dengan demikian perlu adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja
sebagai warga negara Indonesia, seperti diamanatkan dalam ketentuan Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Djumadi, 2004). Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (Lestari &
Cahyono, 2017). Perlindungan terhadap tenaga kerja bertujuan untuk
menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/ buruh
dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
Oleh karena itu, perlindungan terhadap tenaga kerja dapat diketahui dari
peraturan perundang-undangan mengenai dan perjanjian kerja (Alam & Arif,
2020).
Perjanjian kerja yang dibuat untuk jangka waktu tertentu lazimnya disebut
dengan perjanjian kerja kontrak atau pekerjaan tidak tetap. Status pekerjanya
adalah pekerja kontrak atau pekerja tidak tetap. Perjanjian kerja yang dibuat
untuk jangka waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja
tetap dan status pekerjaannya adalah pekerja tetap (Husni, 2006).�
Dalam melakukan hubungan kerja, pengusaha lebih senang memilih pekerja
dengan status kontrak kerja daripada pekerja tetap. Hubungan kerja yang
didasarkan pada sistem kontrak kerja lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan
pekerja tetap. Hubungan kerja yang tidak dibatasi pada jangka waktu, yaitu
pekerja tetap cenderung tidak efisien. Anggapan pengusaha atau majikan
menggunakan pekerja tetap tidak efisien dikarenakan harus memperhatikan banyak
hal yang berkaitan dengan ketenangan kerja. Misalnya beberapa ketentuan dari
peraturan yang mengatur mengenai upah, kesejahteraan, kenaikan upah berkala,
tunjangan sosialnya, hari istirahat atau cuti, dan tidak mudah untuk memutuskan
hubungan kerja secara sepihak apabila di kemudian hari ternyata pekerja malas (Wijayanti, 2009).
Hubungan kerja yang didasarkan pada kontrak kerja lebih efisien, karena
majikan dapat dengan sekehendak hati membuat atau menetapkan syarat-syarat
kerja yang disepakati juga oleh pekerja. Misalnya, disepakati hubungan kerja akan
berlangsung selama dua tahun dengan upah tertentu.
B. Kasus-kasus
Penting (Dugaan Perbudakan di Pabrik Kuali)
Berdasarkan foto-foto yang diperoleh situs Detik dari komisioner Komnas
HAM, Siane Indriani, dikemukakan bahwa puluhan buruh pabrik kuali di Tangerang
disekap dan disiksa berbulan-bulan layaknya budak. Selain jam kerja yang
panjang dan tak boleh bersosialisasi, tempat tinggal para buruh itu tampak
tidak layak, nyaris seperti kandang dengan alasan sebagai berikut:
1.
Penampakan
luar tempat tinggal dan bengkel kuali di Tangerang, sekilas mirip tempat
pengepulan sampah.
2.
Suasana
bengkel kerja pabrik kuali tertutup.
3.
Bahan baku
pembuatan kuali berserakan di pabriknya.
4.
Kamar mandi di
tempat tinggal para buruh hanya satu.
5.
Kamar para
buruh, hanya ada beberapa tikar, plus kardus tanpa ventilasi udara dan cahaya
memadai.
6.
Kamar tampak
gelap dan lembab. Ada jendela yang tampaknya tak pernah dibuka (Nograhany Widhi K,
2022).
Polresta Tangerang sudah melakukan gelar perkara pada pengusaha kuali
Yuki Irawan dan anak buahnya. Yuki yang mempekerjakan 40 buruh dengan
sewenang-wenang akan dijerat pasal berlapis. Menurut Kasat Reskrim Polresta
Tangerang Kompol Shinto Silitong, penyidik bersama-sama perwira pengawas
penyidik dan beberapa Kasi di Polresta Tangerang telah melakukan gelar perkara
untuk memasukkan pasal-pasal persangkaan baru kepada Yuki Irawan. Gelar perkara
ini diawali oleh presentasi fakta-fakta yang ditemukan dalam rangkaian
penyidikan awal. Dalam gelar perkara itu, penyidik sepakat mengenakan sejumlah
pasal. Berikut lengkapnya:
1.
Pasal 24
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dengan fakta bahwa
kegiatan Yuki Irawan bergerak dalam bidang industri, namun tidak dilengkapi
dengan Tanda Daftar Industri (TDI) atau Ijin Usaha Industri (IUI).
2.
Pasal 88
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan fakta bahwa
terdapat 4 buruh yang masih berstatus anak, yaitu berumur 17 tahun.
3.
Pasal 2
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang,
dengan fakta bahwa para buruh ini telah direkrut dengan penipuan dan setelah
direkrut, mereka dipekerjakan dengan ancaman kekerasan maupun kekerasan fisik
untuk dieksploitasi secara ekonomi.
4.
Pasal 372 KUHP
tentang tindak pidana penggelapan, dengan fakta bahwa barang-barang milik para
buruh seperti hp,dompet,uang,dan pakaian dilucuti dan dikuasai oleh tersangka,
juga dengan adanya fakta bahwa gaji para buruh tidak semuanya diberikan oleh
Yuki kepada para buruh (E. Mei Amelia R,
2022).
Dalam kesepakatan awal dengan Kemenakertrans dan Dinas Tenaga Kerja
Pemkab Tangerang, maka terhadap tindak pidana ketenagakerjaan yang terjadi dari
rangkaian peristiwa di tempat usaha Yuki akan dilakukan penyidikannya oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dinas Tenaga Kerja sehingga PPNS Dinas
Tenaga Kerja dapat bekerja secara paralel terkait perkara ini yang pada bagian
akhir nanti terdapat 2 berkas perkara yang akan dikirimkan ke pihak Kejaksaan
Negeri Tigaraksa. Dengan masuknya 4 persangkaan baru tersebut, maka pihak
Polresta Tangerang memasukkan 6 persangkaan dalam Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) (E. Mei Amelia R, 2022).
Pengadilan Negeri Tangerang menggelar sidang lanjutan perkara dugaan
perbudakan yang dilakukan oleh Yuki Irawan (41) terhadap puluhan karyawannya di
Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur. Sidang yang digelar pada tanggal 7
Januari 2014 ini mengagendakan mendengarkan saksi-saksi dan korban. Sidang yang
dipimpin Asiyadi Sembiring itu menghadirkan tiga orang saksi, yaitu Bagas (23),
Syaeful (21) dan Dikdik (19). Sebelumnya, anggota jaksa penuntut umum, yaitu
Agus Suhartono dan Imam Cahyono, menjerat bos pabrik kuali tersebut dengan
pasal berlapis, yakni Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juncto Pasal 55 ayat (1)
KUHP, Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, Pasal 372 juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, dan
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Dalam
pengakuan saksi, Bagas mengatakan, selama ia bekerja di Pabrik Kuali tersebut.
Dia tidak diberi gaji beberapa bulan, dipukuli dan mendapatkan makanan basi.
Oleh karena itu, Bagas meminta pelaku dihukum seberat-beratnya dan mengganti
kerugian seperti gaji yang belum dibayarkan dan biaya pengobatan. Sedangkan
saksi kedua, Syaeful, menjelaksan bahwa selama bekerja tidak diberikan gaji
selama 6 bulan dan harus bekerja mencapai target. Bila tidak mencapai akan
dipukul. Syaeful pernah dipukul karena tidak memenuhi target dan pernah
berencana mau kabur namun takut dengan ancaman. Saksi ketiga, Dikdik mengungkapkan,
selama bekerja tidak menggunakan sarung tangan dan pakaian yang layak pakai.
Selain itu, handphone dan dompetnya juga diambil Yuki. Akibatnya Dikdik pernah
luka karena tidak memakai sarung tangan sambil menunjukkan luka di persidangan (Satelitnews.co.id,
2022).
Dalam sidang tersebut, pihak kuasa hukum Yuki melakukan pembelaan yaitu
menunjukkan bukti-bukti seperti nota/kwitansi pengobatan dan gaji karyawan.
Bahkan kuasa hukum langsung menawarkan ganti rugi di dalam persidangan. Namun
seluruh pembelaan dan bukti-bukti yang diajukan kuasa hukum Yuki, disanggah
oleh seluruh saksi/korban. Pihak kuasa hukum Yuki juga menyebutkan berharap
kepada hakim harus jeli karena kasus yang terjadi bukan masalah penyekapan,
tetapi merupakan perkara yang direkayasa sehingga jangan sampai salah menghukum
orang.
Kesimpulan
Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hanya saja
untuk menyamakan apa yang sudah diatur dengan ketentuan tersebut dengan praktik
di lapangan bukan suatu perkara yang mudah karena kejahatan dalam dunia tenaga
kerja di Indonesia masih terjadi dan bahkan hal tersebut diketahui oleh aparat
penegak hukum yang terkesan tidak peduli terhadap hal tersebut. Contoh kasus
dugaan perbudakan buruh kuali merupakan bukti nyata atas hal ini dengan
substansi berupa pekerja selama bekerja tidak diberi gaji, dipukuli apabila
bekerja tidak mencapai target, mendapatkan makanan basi, dan tidak adanya
alat-alat keselamatan kerja selama melakukan pekerjaan. Oleh karena itu, semua
lapisan masyarakat sebaiknya melakukan pengawasan terhadap pabrik-pabrik yang
bersifat tertutup dengan lingkungan sekitar dan Dinas Tenaga Kerja seharusnya
melakukan pengawasan yang benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya dalam menjamin terciptanya hak atas perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja. Hal ini dirasa penting karena selama ini pengawasan yang
dilakukan tidak menyentuh terhadap substansi yang diawasi tetapi lebih kepada
hubungan bisnis antara pengawas dengan pemberi kerja.
Abidin, Z. (2000). Filsafat
Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Rosda Karya.
Alam, S., & Arif,
M. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja: Perspektif Tanggung Jawab
Konstitusional Negara. Kalabbirang Law Journal, 2(2), 123�133.
https://doi.org/10.35877/454RI.kalabbirang154.
Azizah, S. A. N.
(2022). Analisis semiotika representasi humanisme dalam film" Hari yang
Dijanjikan". UIN Sunan Ampel Surabaya.
Djumadi. (2004). Hukum
Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
E. Mei Amelia R.
(2022). Ini Deretan Pasal yang Disangkakan Polisi pada Bos Kuali di
Tangerang. Detik.Com.
http://detik.com/news/read/2013/05/08/083556/2240738/10/.
Fitriansyah, A. (2020).
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Antara Pekerja dengan Pengusaha Swalayan Garuda
Mitra Pontianak. Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura, 4(1).
Husni, L. (2006). Pengantar
hukum ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Lestari, V. N. S.,
& Cahyono, D. (2017). Sistem Pengupahan di Indonesia. Economic: Journal
of Economic and Islamic Law, 8(2), 144�153.
Manan, B. (2006). Perkembangan
Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: PT
Alumni.
Muhtaj, M. El. (2007). Hak
asasi manusia dalam konstitusi Indonesia: dari UUD 1945 sampai dengan amandemen
UUD 1945 tahun 2002. Jakarta: Kencana.
Nograhany Widhi K.
(2022). Ini Penampakan �Kandang� Buruh Pabrik Kuali di Tangerang.
Detik.Com.
http://detik.com/news/read/2013/05/05/130221/2238278/10/?nd772204topnews.
Rahman, T. (2017). Humanisme
Hassan Hanafi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Riyadi, E., & Abdi,
S. (2007). Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif).
Yogyakarta: PUSHAM UII.
Satelitnews.co.id.
(2022). Tiga Saksi Beratkan Yuki. http://satelitnews.co.id/?p=29079.
Wijayanti, A. (2009). Hukum
ketenagakerjaan pasca reformasi (Vol. 1). Jakarta: Sinar Grafika.
Copyright holder: Martha
Hasanah Rustam, Duwi Handoko (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |