Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
8, No. 1, Januari
2023
MAKNA SUMIR DALAM
PUTUSAN PERMOHONAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
(STUDI
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 125 PK/PDT.SUS-PAILIT/2015)
Ivan
Hamonangan Sianipar, Busyra Azheri, Yulfasni, Hasbi, Yussy Adelina Mannas,
Dahlil Marjon
Fakultas
Hukum, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Undang-undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hanya mengatur permohonan
pailit dikabulkan apabila dapat dibuktikan secara sumir dengan membuktikan
adanya debitur memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur dan salah satu utang telah
jatuh waktu serta dapat ditagih. Hakim dalam memaknai
pembuktian sumir dalam permohonan pailit terdapat perbedaan pandangan yang
mengakibatkan adanya diparitas putusan atas permohonan pailit.
Disapritas putusan tersebut dapat dilihat dalam perkara perkara nomor 125
PK/PDT.SUSPAILIT/2015 j.o. Nomor 19 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 j.o. Nomor 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN
Niaga Mks. Permasalah dalam tesis ini adalah apa yang menjadi pertimbangan
hukum Hakim dalam memaknai pembuktian sumir serta mengapa terjadi disparitas
putusan dalam memaknai pembutian sumir. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian makna sumir dalam permohonan
pailit dan mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam memaknai pembuktian
sederhana dalam putusannya serta mengetahui penyebab disparitas putusan dalam
memaknai pembuktian sederhana pada permohonan pailit. Medote yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan
kepailitan dan putusan pengadilan mengenai permohonan pailit. Hasil yang
diperoleh dari penelitian ini bahwa pembuktian sumir dalam hukum kepailitan di
Indonesia, Bahwa makna pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan yang
dimuat dalam Pasal 8 ayat (4) sudah cukup jelas yaitu membuktikan adanya fakta
dua kreditur atau lebih dan minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak
dibayar. Selanjutnya Hakim dalam memaknai pembuktian sumir
terdapat perbedaan dengan mendasarkan bahwa dengan menilai sulit tidaknya
pembuktian suatu pekara yang cenderung subjektif. Penyebab
adanya disparitas dalam memaknai pembuktian sumir dikarenakan undang-undang
kepailitan tidak mengatur secara tegas yang menjadi batasan dari suatu perkara
yang pembuktiannya sumir atau sulit.
Kata
Kunci:
Pembuktin, Disparitas, Pengadilan Niaga.
Abstract
The Law of
Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations only regulates that the
application for bankruptcy is granted if it can be briefly proven by proving
that the debtor has 2 (two) or more creditors and one of the debts has matured
and is collectible. Judges have different interpretations in interpreting brief
evidence in bankruptcy applications which results in disparity in decisions on
bankruptcy applications. This disparity of decisions can be seen in case number
125 PK/PDT.SUSPAILIT/2015 Number 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN Niaga Mks. The
problem in this thesis is what is the meaning of brief in the bankruptcy
application and what are the judge's legal considerations in interpreting brief
evidence and why there is a disparity of decisions in interpreting brief
evidence. The purpose of this research is to find out the meaning of sumir in
the bankruptcy application and to know the judge's legal considerations in
interpreting simple evidence in the decision. and also
to know the cause of the disparity of decisions in interpreting simple evidence
in the bankruptcy application. The method used in this research is normative
legal research that focuses on positive legal norms. The method used in this
research is normative legal research that focuses on positive legal norms in
the form of bankruptcy laws and court decisions regarding bankruptcy
applications. The results of this study are brief evidence in bankruptcy law in
Indonesia, That the meaning of simple evidence in bankruptcy cases contained in
Article 8 paragraph (4) is quite clear namely proving the fact that there are
two or more creditors and at least one debt that has fallen due and has not
been paid. Furthermore, there are differences in interpretation by judges in
interpreting brief evidence based on the consideration of whether or not it is
difficult to prove a case that tends to be subjective. The cause of the
disparity in interpreting brief evidence is because the bankruptcy law does not
explicitly regulate what is the limit of a case whose proof
is short or difficult.
Keywords: Evidence,
Disparity, Commercial Court.
Pendahuluan
Sejak
krisis moneter tahun 1998 dalam menyelesaikan sengketa utang-piutang,
kepailitan seakan menjadi trend yang bersifat komersial.
Kepailitan sendiri pada dasarnya adalah sita umum bagi harta kekayaan debitor
berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata, artinya semua kekayaan debitor yang sudah
ada maupun secara potensial akan dimiliki debitor termasuk di dalam jaminan
bagi utang-utangnya (Makmur, 2018a). Kepailitan
merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip
para passu prorate parte dalam ranah hukum harta kekayaan (vermogensrecht) (Rabbani, 2018). Prinsip
paritas creditorium berarti semua kekayaan debitor baik yang berupa barang
bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah
dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor
terkait kepada penyelesaian kewajiban debitor (Simanjuntak, 2020). Prinsip
paritas creditoroum juga diatur dalam ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata yang berbunyi (Makmur, 2018b) �Segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorang�. Prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa
harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan
hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila
antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam
menerima pembayaran tagihannya (Disemadi & Gomes, 2021).
Kepailitan tersebut
mempunyai tujuan menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur
diantara para krediturnya (Disemadi & Gomes, 2021). Tujuan dari Kepailitan ini merupakan perwujudan dari adanya jaminan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Menjamin
agar pembagian harta debitur kepada krediturnya sesuai azas pari passu, dibagi
secara proporsional (Pandiangan, 2022). Selain itu mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan
perbuatan yang dapat merugikan kepentingan debitur. Dengan dinyatakan
pailit, debitur tidak memiliki kewenangan untuk mengurus, memindah tangankan
harta kekayaannya yang berubah status hukumnya menjadi harta pailit (Sutan Remy Sjahdeini, 2016).
Proses pengajuan
permohonan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
dengan beberapa persyaratan yang diatur dalam UU Kepailitan. Selain syarat
materill, UU Kepailitan dan PKPU juga mengatur syarat formir suatu perkara
dapat dikabulkan yaitu apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi (Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan). Persyaratan
menurut Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UU
Kepailitan adalah ada dua atau lebih kreditor dimana utang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih (Rochmawanto, 2015).
Pengertian
asas pembuktian secara sumir yang disampaikan di atas, terlihat jelas dan mudah
dalam pelaksanaanya. Dalam
penerrapanya di praktik peradilan tidaklah sesederhana yang dipikirkan.
Suatu perkara di Pengadilan Niaga memberikan pertimbangan hukum bahwa
"telah terbukti secara sederhana", tetapi setelah perkara tersebut
diajukan upaya hukum kasasi oleh pihak yang merasa dikalahkan ke Mahkamah Agung
ternyata pertimbangan hukumnya berbeda dengan menyatakan bukan perkara sumir
karena sulit pembuktianya. Atau sebaliknya di tingkat pertama
suatu fakta atau keadaan adanya utang tidak terbukti secara sederhana, namun di
tingkat Mahkamah Agung/MA dinyatakan sudah terbukti secara sederhana. Hal lebih menarik lagi di Mahkamah Agung yang diperiksa dalam
tingkat kasasi dan tingkat peninjauan kembali bisa berbeda pandangan mengenai
telah atau tidak terbukti secara sederhana.
Perbedaan
pendapat antara majelis hakim juga sangat jauh, misalnya permasalahan seputar
pembuktian dari utang. Majelis Hakim dalam Pengadilan
Niaga dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan pendapat terhadap hal tersebut . Di satu sisi Mahkamah Agung pada tingkat kasasi
berpendapat adanya perbedaan jumlah utang tidak dapat diselesaikan lewat rapat verifikasi . Penetapan jumlah utang harus
melalui pembuktian yang cermat dan teliti dan merupakan kewenangan dari
Pengadilan Negeri. Disisi lain Mahkamah Agung pernah juga menyatakan bahwa
perbedaan utang dapat diselesaikan dalam rapat verifikasi (Apriantoro et al., 2021).
Undang - Undang
Kepailitan dan PKPU tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagaimana
pembuktian sederhana itu dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit . Tidak adanya definisi serta batasan yang jelas atau
indikator - indikator yang dapat menjadi pegangan apa
yang dimaksud dengan pembuktian sederhana inilah, akhirnya membuka ruang
perbedaan yang lebar di antara para hakim dalam menafsirkan pengertian
pembuktian sederhana dalam menyelesaikan permohonan kepailitan. Sehingga dalam
hal ini muncul permasalahan, bagaimana sebenarnya sistem pembuktian sederhana dalam
perkara kepailitan itu (Zulaeha, 2015).
Para Pemohon Kasasi/semula
Para Termohon Pailit mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dan
putusan tingkat Peninjauan Kembali Mengabulkan permohonan pemeriksaan
peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan/semula Para Pemohon Kasasi/semula
Para Termohon Pailit dan mengadili sendiri menolak permohonan pernyataan pailit
dari Pemohon. Adapun pertimbangan hukum Majelis Peninjauan
Kembali menilai bahwa untuk membuktikan adanya utang yang telah dialihkan
kepada Pemohon adalah tidak sederhana, karena perlu dilakukan pembuktikan yang
sulit.
Dari
pemaparan diatas dapat dilihat adanya disparitas atau inkonsistensi dalam
menyikapi makna pembuktian sumir sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan dan
PKPU. Berdasarkan hal tersebut di atas
maka menarik untuk dikaji dan dituangkan dalam tesis yang berjudul Makna Sumir
dalam Putusan Permohonan Pailit Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 125 PK/PDT.SUS-PAILIT/2015).
Metode Penelitian
Penelitian hukum
merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Rachmawati, 2021). Jenis
penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian yang dilakukan atau berfokus pada norma hukum positif berupa
peraturan perundang-undangan, perihal putusan pengadilan mengenai permohonan
pailit (Benuf & Azhar, 2020).
Dalam
penelitian ini, dokumentasi bahan hukum mempergunakan studi kepustakaan, yaitu
pengumpulan data dengan jalan mengaji bahan bahan yang bersangkutan dengan
masalah dalam penelitian ini. Langkah langkah yang
dilakukan adalah dengan mengumpulkan bahan kepustakaan lalu membuat catatan
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
dibahas. Hal ini sesuai dengan jenis penelitian-penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum doctrinal (Jonaedi Efendi et al., 2018).
Analisis yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan metode analisis yang bersifat kualitatif1
yaitu dengan cara melakukan interpretasi (penafsiran) terhadap
bahan-bahan hukum yang telah diolah. Penggunaan metode interpretasi
(penafsiran) ini bertujuan untuk menafsirkan hukum, apakah terhadap bahan hukum
tersebut khususnya bahan hukum primer terdapat kekosongan norma
hukum, antinomi norma hukum dan norma hukum yang kabur/tidak jelas.
Hasil dan Pembahasan
A.
Makna Pembuktian Sumir dalam
Permohonan Pailit
Pembuktian dalam perkara perdata secara umum diatur
dalam KUHPerdata yaitu dalam pasal 1865 sampai dengan pasal 1945. Pasal 1865
KUHPerdata menjelaskan bahwa setiap orang yang merasa memilki hak atau menunjuk
suatu peristiwa untuk menguatkan haknya maupun membantah suatu hak orang lain,
wajib membuktikan adanya hak itu, dengan pasal pembuktian ini setiap orang
dapat memperkuat hak yang dimilikinya berdasarkan fakta yang telah dikumpulkan.
Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata tidak menganut sistem pembuktian stelsel negative menurut Undang-Undang,
namun dalam proses peradilan perdata hanya mencari kebenaran formil.
Sistem pembuktian di dalam Hukum Kepailitan
Indonesia menerapkan prinsip adanya pembuktian sederhana. Pembuktian secara
sederhana lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian yang
sederhana atau sumir yang dalam bahasa Belanda Summier atau Summierlijk
merupakan proses peradilan yang diperpendek, tanpa keterangan tertulis dari
kedua belah pihak tanpa pembuktian yang terperinci dan teliti. Pembuktian
secara sederhana atau sumir merupakan asas dalam proses kepailitan untuk
mewujudkan penyelesaian utang piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dimana diperlukan waktu yang cepat, tidak berkepanjangan dan
berlarut-larut.
Pernyataan pailit diperiksa secara sederhana
(sumir), ialah bila dalam mengambil keputusan tidak diperlukan alat-alat
pembuktian sepeti diatur dalam buku ke IV KUH Pedata cukup bila peristiwa itu
telah terbukti dengan alat-alat pembuktian yang sederhana. Permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana (yakni pembuktian secara sumir) bahwa persyaratan
untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Demikian juga bila, permohonan diajukan
oleh kreditur, pembuktian hak kredtur untuk menagih juga dilakukan secara
sederhana (Andani &
Pratiwi, 2021).
Pembuktian sumir haruslah dimaknai bahwa proses
pemeriksaan suatu perkara pailit harusnya diperiksa secara cepat. Sumir tidak
harus diartikan suatu keadaan perkara yang mudah dibuktikan dan perkara
pembuktian sulit tidak diartikan sebagai perkara yang bukan sumir. Apabila
Hakim berpendapat Pemohon telah berhasil membuktikan adanya dua atau lebih
Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar berdasarkan
alat bukti yang diatur dalam HIR/Rbg serta proses pembuktian tersebut masih
dalam jangka waktu pemeriksaan yang telah ditentukan patutlah permohonan
tersebut dikabulkan.
Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang masih berlaku saat ini tidak mewujudkan adanya kepastian
hukum. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan adanya perbedaan dalam memaknai
pembuktian sumir yang berdampak kepada tidak terwujudnya keadilan bagi para
pencari keadilan.
B.
Pertimbangan Hukum Hakim Dalam
Memaknai Pembuktian Sumir Dalam Putusan Perkara Nomor 125 PK/PDT.SUSPAILIT/2015
J.O. NOMOR 19 K/PDT.SUS-PAILIT/2015 J.O. NOMOR 02/PDT.SUS.PAILIT/2014/PN NIAGA
MKS
Tanggal 18 September 2014, Greenfinch Premier Fund
mengajukan permohonan pailit terhadap PT Henrison Iriana sebagai Termohon
Pailit I, Wiwik Tjokro Saputro, Luciana Sutanto, Anne Patricia Susanto, Yenny
Susanto, Doddy Susanto, yang merupakan ahli waris dari Alm. Andi
Sutanto sebagai Termohon Pailit II, dan Ahli Waris Alm. Gunawan Susanto yaitu Yunita Koeswoyo (Njoo Jun Tjauw) sebagai
Termohon Pailit III. Permohonan pailit tersebut diajukan oleh Pemohon
Pailit ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar dengan nomor
register 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN. Niaga Mks.
Adapun hal-hal yang menjadi dasar permohonan Pemohon
Pailit yang pada pokoknya yaitu awalnya Termohon Pailit I dalam proses
pembiayaan pembangunan pabrik kayu lapis terpadu yang berlokasi di Sorong,
Irian Jaya melakukan perjanjian kredit investasi dengan Bank Pembangunan
Indonesia (BANK). Pemohon Pailit merupakan pembeli/pemegang
terakhir piutang/tagihan Bank Pembangunan Indonesia (Bank) kepada Termohon
Pailit I. Termohon Pailit I memiliki kewajiban utang sejumlah US$ 79.971.949,
05 kepada Pemohon Pailit selaku pemegang hak tagih terakhir. Kedudukan dari Termohon II dan Termohon III adalah merupakan
penjamin (borgtocht) dari utang Termohon Pailit I.
Terdapat perbedaan mengenai memaknai pembuktian
sumir yang mengakibatkan para pihak yang merasa dirugikan tidak mendapatkan
keadilan sebagaimana yang telah diatur dalam hukum. Penulis berpendapat bahwa Majelis
Hakim Tingkat Pertama dan Kasasi telah tepat dalam memutus perkara a-quo. Mengenai
adanya utang dari Termohon I telah terbukti berdasarkan pengakuan dari Termohon
I yang menyatakan memiliki utang kepada Pemohon Pailit dan Vendome Investment
Holding Ltd selaku kreditur terakhir yang membeli piutang dari kreditur
sebelumnya. Hal ini diperkuat juga dengan adanya bukti surat berupa
perjanjian kredit investasi dengan Bank Pembangunan Indonesia (Kreditur
sebelumnya), bukti surat perjanjian pengalihan hak atas piutang yaitu segala
hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Bank Pembangunan Indonesia yang tergolong
aktiva dialihkan kepada BPPN dan berdasarkan bukti surat Perjanjian Pengalihan
Piutang (Cessie) dari BPPN kepada Pemohon Pailit.
Merujuk pendapat R. Subketi yang menyatakan
�Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu bukti yang mengikat
dan sempurna.� (Towoliu, 2022). Sehingga
menurut Penulis perihal adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
serta adanya lebih dari satu kreditur telah terbukti secara hukum.
Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Peninjauan
Kembali yang memaknai pembuktian sumir dari perkara a-quo merupakan bukan suatu pembuktian sumir didasarkan tidak ada
bukti sama sekali kalaulah cessie tersebut telah
diberitahukan kepada si berutang dan atau penjaminnya dengan benar berdasarkan
Pasal 613 KUHPerdata.
Pengaturan mengenai pengalihan piutang dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang tidak diatur secara tegas. Tidak adanya
pengaturan mengenai hal tersebut, maka ketentuan pada Pasal 613 KUHPerdata lah
yang berlaku.
Undang-undang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban
Pemabayaran Utang tidak mengatur secara jelas konsep dan pembatasan pembuktian
sumir tersebut. Hakim berperan penting dalam memaknai apakah perkara sederhana atau
tidak. Sehingga menjadi sangat subjektif dalam
memaknai pembutian sumir tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis
berkesimpulan bahwa makna sumir dalam Undang-undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang merupakan pemeriksaan perkara pailit yang diperisa
dengan cepat dan dibatasi waktu. Pembuktian adanya dua
atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar
haruslah tetap merujuk alat bukti sebagaimana diatur dalam HIR/RBg. Alat bukti
tersebut meliputi bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan
sumpah. Alat bukti tulisan/tertulis/surat, ditempatkan dalam
urutan pertama. Hal ini bersesuaian dengan kenyataan
bahwa dalam perkara perdata, surat/dokumen/akta memegang peran penting.
Majelis
Hakim Tingkat Pertama dan Kasasi telah tepat dalam memutus perkara a-quo.
Para Termohon Pailit telah terbukti secara sumir mengenai adanya utang dari
Termohon I dan adanya kreditur lain yaitu Vendome Investment Holding Ltd.
Termohon Pailit II dan Termohon Pailit III berdasarkan hukum waris perdata
menjadi pihak yang bertanggung jawab atas perbuatan hukum keperdataan dari
pewaris.
Disparitas
putusan perkara pailit dalam memaknai pembuktian sumir disebabkan karena
Undang-undang belum jelas dalam memberikan batasan mengenai hal-hal yang
termasuk dalam pembuktian sederhana. Hakim
belum memiliki persamaan persepsi dalam memaknai pembuktian sumir. Mahkamah Agung belum menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam memberikan panduan atau batasan
dalam memaknai pembuktian sumir perkara pailit.
Andani, D., & Pratiwi, W. B. (2021). Prinsip Pembuktian Sederhana
dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, 28(3), 635�656.
Apriantoro, M. S.,
Sekartaji, S. I., & Suryaningsih, A. (2021). Penyelesaian Sengketa
Kepailitan Ekonomi Syariah Perspektif Ibnu Rusyd Al-Qurthubi Dalam Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 7(3),
1400�1408.
Benuf, K., & Azhar,
M. (2020). Metodologi penelitian hukum sebagai instrumen mengurai permasalahan
hukum kontemporer. Gema Keadilan, 7(1), 20�33.
Disemadi, H. S., &
Gomes, D. (2021). Perlindungan Hukum Kreditur Konkuren Dalam Perspektif Hukum
Kepailitan di Indonesia. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(1),
123�134.
Jonaedi Efendi, S. H.
I., Johnny Ibrahim, S. H., & Se, M. M. (2018). Metode Penelitian Hukum:
Normatif dan Empiris. Prenada Media.
Makmur, S. (2018a).
Kepastian Hukum Kepailitan Bagi Kreditur dan Debitur Pada Pengadilan Niaga
Indonesia. Mizan: Journal of Islamic Law, 4(2).
Makmur, S. (2018b).
Penerapan Undang-Undang Kepailitan dalam Menciptakan Iklim Berusaha Yang Sehat
Bagi Seluruh Pelaku Usaha. Jurnal AJUDIKASI Vol, 2(1), 89�115.
Pandiangan, R. (2022).
Diskrepansi Sita Umum Kepailitan dengan Sita Pidana Dihubungkan dengan
Pemberesan Harta Pailit yang Mengandung Unsur Pidana. Jurnal Pendidikan Dan
Konseling (JPDK), 4(5), 4047�4060.
Rabbani, D. N. (2018).
Perlindungan Hukum Bagi Bank Syariah Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah Dalam Hal
Kepailitan Mudharib. E-Jurnal SPIRIT PRO PATRIA, 4(1), 73�86.
Rachmawati, A. F.
(2021). Dampak Korupsi dalam Perkembangan Ekonomi dan Penegakan Hukum di
Indonesia. Eksaminasi: Jurnal Hukum, 1(1), 12�19.
Rochmawanto, M. (2015).
Upaya Hukum dalam Perkara Kepailitan. Jurnal Independent, 3(2),
25�35.
Simanjuntak, H. A.
(2020). Prinsip Prinsip Dalam Hukum Kepailitan Dalam Penyelesaian Utang Debitur
Kepada Kreditur. Jurnal Justiqa, 2(2), 17�28.
Sutan Remy Sjahdeini,
S. H. (2016). Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (Memahami
undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran). Kencana.
Towoliu, W. (2022).
Eksistensi Pengakuan dan Sumpah Terhadap Pembuktian Dalam Perkara Perdata. LEX
ADMINISTRATUM, 10(3).
Zulaeha, M. (2015).
Mengevaluasi pembuktian sederhana dalam kepailitan sebagai perlindungan
terhadap dunia usaha di Indonesia. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 1(2),
171�187.
Copyright holder: Ivan Hamonangan Sianipar, Busyra Azheri,
Yulfasni, Hasbi, Yussy Adelina Mannas, Dahlil Marjon (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |