Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 1, Januari 2023

 

MAKNA SUMIR DALAM PUTUSAN PERMOHONAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 125 PK/PDT.SUS-PAILIT/2015)

 

Ivan Hamonangan Sianipar, Busyra Azheri, Yulfasni, Hasbi, Yussy Adelina Mannas, Dahlil Marjon

Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hanya mengatur permohonan pailit dikabulkan apabila dapat dibuktikan secara sumir dengan membuktikan adanya debitur memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur dan salah satu utang telah jatuh waktu serta dapat ditagih. Hakim dalam memaknai pembuktian sumir dalam permohonan pailit terdapat perbedaan pandangan yang mengakibatkan adanya diparitas putusan atas permohonan pailit. Disapritas putusan tersebut dapat dilihat dalam perkara perkara nomor 125 PK/PDT.SUSPAILIT/2015 j.o. Nomor 19 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 j.o. Nomor 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN Niaga Mks. Permasalah dalam tesis ini adalah apa yang menjadi pertimbangan hukum Hakim dalam memaknai pembuktian sumir serta mengapa terjadi disparitas putusan dalam memaknai pembutian sumir. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian makna sumir dalam permohonan pailit dan mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam memaknai pembuktian sederhana dalam putusannya serta mengetahui penyebab disparitas putusan dalam memaknai pembuktian sederhana pada permohonan pailit. Medote yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan kepailitan dan putusan pengadilan mengenai permohonan pailit. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa pembuktian sumir dalam hukum kepailitan di Indonesia, Bahwa makna pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan yang dimuat dalam Pasal 8 ayat (4) sudah cukup jelas yaitu membuktikan adanya fakta dua kreditur atau lebih dan minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Selanjutnya Hakim dalam memaknai pembuktian sumir terdapat perbedaan dengan mendasarkan bahwa dengan menilai sulit tidaknya pembuktian suatu pekara yang cenderung subjektif. Penyebab adanya disparitas dalam memaknai pembuktian sumir dikarenakan undang-undang kepailitan tidak mengatur secara tegas yang menjadi batasan dari suatu perkara yang pembuktiannya sumir atau sulit.

 

Kata Kunci: Pembuktin, Disparitas, Pengadilan Niaga.

 

Abstract

The Law of Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations only regulates that the application for bankruptcy is granted if it can be briefly proven by proving that the debtor has 2 (two) or more creditors and one of the debts has matured and is collectible. Judges have different interpretations in interpreting brief evidence in bankruptcy applications which results in disparity in decisions on bankruptcy applications. This disparity of decisions can be seen in case number 125 PK/PDT.SUSPAILIT/2015 Number 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN Niaga Mks. The problem in this thesis is what is the meaning of brief in the bankruptcy application and what are the judge's legal considerations in interpreting brief evidence and why there is a disparity of decisions in interpreting brief evidence. The purpose of this research is to find out the meaning of sumir in the bankruptcy application and to know the judge's legal considerations in interpreting simple evidence in the decision. and also to know the cause of the disparity of decisions in interpreting simple evidence in the bankruptcy application. The method used in this research is normative legal research that focuses on positive legal norms. The method used in this research is normative legal research that focuses on positive legal norms in the form of bankruptcy laws and court decisions regarding bankruptcy applications. The results of this study are brief evidence in bankruptcy law in Indonesia, That the meaning of simple evidence in bankruptcy cases contained in Article 8 paragraph (4) is quite clear namely proving the fact that there are two or more creditors and at least one debt that has fallen due and has not been paid. Furthermore, there are differences in interpretation by judges in interpreting brief evidence based on the consideration of whether or not it is difficult to prove a case that tends to be subjective. The cause of the disparity in interpreting brief evidence is because the bankruptcy law does not explicitly regulate what is the limit of a case whose proof is short or difficult.

 

Keywords: Evidence, Disparity, Commercial Court.

 

Pendahuluan

Sejak krisis moneter tahun 1998 dalam menyelesaikan sengketa utang-piutang, kepailitan seakan menjadi trend yang bersifat komersial. Kepailitan sendiri pada dasarnya adalah sita umum bagi harta kekayaan debitor berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata, artinya semua kekayaan debitor yang sudah ada maupun secara potensial akan dimiliki debitor termasuk di dalam jaminan bagi utang-utangnya (Makmur, 2018a). Kepailitan merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip para passu prorate parte dalam ranah hukum harta kekayaan (vermogensrecht) (Rabbani, 2018). Prinsip paritas creditorium berarti semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terkait kepada penyelesaian kewajiban debitor (Simanjuntak, 2020). Prinsip paritas creditoroum juga diatur dalam ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang berbunyi (Makmur, 2018b) �Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorang�. Prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya (Disemadi & Gomes, 2021).

Kepailitan tersebut mempunyai tujuan menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur diantara para krediturnya (Disemadi & Gomes, 2021). Tujuan dari Kepailitan ini merupakan perwujudan dari adanya jaminan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Menjamin agar pembagian harta debitur kepada krediturnya sesuai azas pari passu, dibagi secara proporsional (Pandiangan, 2022). Selain itu mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan debitur. Dengan dinyatakan pailit, debitur tidak memiliki kewenangan untuk mengurus, memindah tangankan harta kekayaannya yang berubah status hukumnya menjadi harta pailit (Sutan Remy Sjahdeini, 2016).

Proses pengajuan permohonan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri dengan beberapa persyaratan yang diatur dalam UU Kepailitan. Selain syarat materill, UU Kepailitan dan PKPU juga mengatur syarat formir suatu perkara dapat dikabulkan yaitu apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi (Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan). Persyaratan menurut Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan adalah ada dua atau lebih kreditor dimana utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Rochmawanto, 2015).

Pengertian asas pembuktian secara sumir yang disampaikan di atas, terlihat jelas dan mudah dalam pelaksanaanya. Dalam penerrapanya di praktik peradilan tidaklah sesederhana yang dipikirkan. Suatu perkara di Pengadilan Niaga memberikan pertimbangan hukum bahwa "telah terbukti secara sederhana", tetapi setelah perkara tersebut diajukan upaya hukum kasasi oleh pihak yang merasa dikalahkan ke Mahkamah Agung ternyata pertimbangan hukumnya berbeda dengan menyatakan bukan perkara sumir karena sulit pembuktianya. Atau sebaliknya di tingkat pertama suatu fakta atau keadaan adanya utang tidak terbukti secara sederhana, namun di tingkat Mahkamah Agung/MA dinyatakan sudah terbukti secara sederhana. Hal lebih menarik lagi di Mahkamah Agung yang diperiksa dalam tingkat kasasi dan tingkat peninjauan kembali bisa berbeda pandangan mengenai telah atau tidak terbukti secara sederhana.

Perbedaan pendapat antara majelis hakim juga sangat jauh, misalnya permasalahan seputar pembuktian dari utang. Majelis Hakim dalam Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan pendapat terhadap hal tersebut . Di satu sisi Mahkamah Agung pada tingkat kasasi berpendapat adanya perbedaan jumlah utang tidak dapat diselesaikan lewat rapat verifikasi . Penetapan jumlah utang harus melalui pembuktian yang cermat dan teliti dan merupakan kewenangan dari Pengadilan Negeri. Disisi lain Mahkamah Agung pernah juga menyatakan bahwa perbedaan utang dapat diselesaikan dalam rapat verifikasi (Apriantoro et al., 2021).

Undang - Undang Kepailitan dan PKPU tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagaimana pembuktian sederhana itu dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit . Tidak adanya definisi serta batasan yang jelas atau indikator - indikator yang dapat menjadi pegangan apa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana inilah, akhirnya membuka ruang perbedaan yang lebar di antara para hakim dalam menafsirkan pengertian pembuktian sederhana dalam menyelesaikan permohonan kepailitan. Sehingga dalam hal ini muncul permasalahan, bagaimana sebenarnya sistem pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan itu (Zulaeha, 2015).

Para Pemohon Kasasi/semula Para Termohon Pailit mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dan putusan tingkat Peninjauan Kembali Mengabulkan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan/semula Para Pemohon Kasasi/semula Para Termohon Pailit dan mengadili sendiri menolak permohonan pernyataan pailit dari Pemohon. Adapun pertimbangan hukum Majelis Peninjauan Kembali menilai bahwa untuk membuktikan adanya utang yang telah dialihkan kepada Pemohon adalah tidak sederhana, karena perlu dilakukan pembuktikan yang sulit.

Dari pemaparan diatas dapat dilihat adanya disparitas atau inkonsistensi dalam menyikapi makna pembuktian sumir sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU. Berdasarkan hal tersebut di atas maka menarik untuk dikaji dan dituangkan dalam tesis yang berjudul Makna Sumir dalam Putusan Permohonan Pailit Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 125 PK/PDT.SUS-PAILIT/2015).

 

Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Rachmawati, 2021). Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan, perihal putusan pengadilan mengenai permohonan pailit (Benuf & Azhar, 2020).

Dalam penelitian ini, dokumentasi bahan hukum mempergunakan studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan jalan mengaji bahan bahan yang bersangkutan dengan masalah dalam penelitian ini. Langkah langkah yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan bahan kepustakaan lalu membuat catatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Hal ini sesuai dengan jenis penelitian-penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal (Jonaedi Efendi et al., 2018).

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis yang bersifat kualitatif1 yaitu dengan cara melakukan interpretasi (penafsiran) terhadap bahan-bahan hukum yang telah diolah. Penggunaan metode interpretasi (penafsiran) ini bertujuan untuk menafsirkan hukum, apakah terhadap bahan hukum tersebut khususnya bahan hukum primer terdapat kekosongan norma hukum, antinomi norma hukum dan norma hukum yang kabur/tidak jelas.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Makna Pembuktian Sumir dalam Permohonan Pailit

Pembuktian dalam perkara perdata secara umum diatur dalam KUHPerdata yaitu dalam pasal 1865 sampai dengan pasal 1945. Pasal 1865 KUHPerdata menjelaskan bahwa setiap orang yang merasa memilki hak atau menunjuk suatu peristiwa untuk menguatkan haknya maupun membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu, dengan pasal pembuktian ini setiap orang dapat memperkuat hak yang dimilikinya berdasarkan fakta yang telah dikumpulkan. Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata tidak menganut sistem pembuktian stelsel negative menurut Undang-Undang, namun dalam proses peradilan perdata hanya mencari kebenaran formil.

Sistem pembuktian di dalam Hukum Kepailitan Indonesia menerapkan prinsip adanya pembuktian sederhana. Pembuktian secara sederhana lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian yang sederhana atau sumir yang dalam bahasa Belanda Summier atau Summierlijk merupakan proses peradilan yang diperpendek, tanpa keterangan tertulis dari kedua belah pihak tanpa pembuktian yang terperinci dan teliti. Pembuktian secara sederhana atau sumir merupakan asas dalam proses kepailitan untuk mewujudkan penyelesaian utang piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dimana diperlukan waktu yang cepat, tidak berkepanjangan dan berlarut-larut.

Pernyataan pailit diperiksa secara sederhana (sumir), ialah bila dalam mengambil keputusan tidak diperlukan alat-alat pembuktian sepeti diatur dalam buku ke IV KUH Pedata cukup bila peristiwa itu telah terbukti dengan alat-alat pembuktian yang sederhana. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana (yakni pembuktian secara sumir) bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Demikian juga bila, permohonan diajukan oleh kreditur, pembuktian hak kredtur untuk menagih juga dilakukan secara sederhana (Andani & Pratiwi, 2021).

Pembuktian sumir haruslah dimaknai bahwa proses pemeriksaan suatu perkara pailit harusnya diperiksa secara cepat. Sumir tidak harus diartikan suatu keadaan perkara yang mudah dibuktikan dan perkara pembuktian sulit tidak diartikan sebagai perkara yang bukan sumir. Apabila Hakim berpendapat Pemohon telah berhasil membuktikan adanya dua atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar berdasarkan alat bukti yang diatur dalam HIR/Rbg serta proses pembuktian tersebut masih dalam jangka waktu pemeriksaan yang telah ditentukan patutlah permohonan tersebut dikabulkan.

Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang masih berlaku saat ini tidak mewujudkan adanya kepastian hukum. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan adanya perbedaan dalam memaknai pembuktian sumir yang berdampak kepada tidak terwujudnya keadilan bagi para pencari keadilan.

B.     Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memaknai Pembuktian Sumir Dalam Putusan Perkara Nomor 125 PK/PDT.SUSPAILIT/2015 J.O. NOMOR 19 K/PDT.SUS-PAILIT/2015 J.O. NOMOR 02/PDT.SUS.PAILIT/2014/PN NIAGA MKS

Tanggal 18 September 2014, Greenfinch Premier Fund mengajukan permohonan pailit terhadap PT Henrison Iriana sebagai Termohon Pailit I, Wiwik Tjokro Saputro, Luciana Sutanto, Anne Patricia Susanto, Yenny Susanto, Doddy Susanto, yang merupakan ahli waris dari Alm. Andi Sutanto sebagai Termohon Pailit II, dan Ahli Waris Alm. Gunawan Susanto yaitu Yunita Koeswoyo (Njoo Jun Tjauw) sebagai Termohon Pailit III. Permohonan pailit tersebut diajukan oleh Pemohon Pailit ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar dengan nomor register 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN. Niaga Mks.

Adapun hal-hal yang menjadi dasar permohonan Pemohon Pailit yang pada pokoknya yaitu awalnya Termohon Pailit I dalam proses pembiayaan pembangunan pabrik kayu lapis terpadu yang berlokasi di Sorong, Irian Jaya melakukan perjanjian kredit investasi dengan Bank Pembangunan Indonesia (BANK). Pemohon Pailit merupakan pembeli/pemegang terakhir piutang/tagihan Bank Pembangunan Indonesia (Bank) kepada Termohon Pailit I. Termohon Pailit I memiliki kewajiban utang sejumlah US$ 79.971.949, 05 kepada Pemohon Pailit selaku pemegang hak tagih terakhir. Kedudukan dari Termohon II dan Termohon III adalah merupakan penjamin (borgtocht) dari utang Termohon Pailit I.

  1. Analisis Kasus

Terdapat perbedaan mengenai memaknai pembuktian sumir yang mengakibatkan para pihak yang merasa dirugikan tidak mendapatkan keadilan sebagaimana yang telah diatur dalam hukum. Penulis berpendapat bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Kasasi telah tepat dalam memutus perkara a-quo. Mengenai adanya utang dari Termohon I telah terbukti berdasarkan pengakuan dari Termohon I yang menyatakan memiliki utang kepada Pemohon Pailit dan Vendome Investment Holding Ltd selaku kreditur terakhir yang membeli piutang dari kreditur sebelumnya. Hal ini diperkuat juga dengan adanya bukti surat berupa perjanjian kredit investasi dengan Bank Pembangunan Indonesia (Kreditur sebelumnya), bukti surat perjanjian pengalihan hak atas piutang yaitu segala hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Bank Pembangunan Indonesia yang tergolong aktiva dialihkan kepada BPPN dan berdasarkan bukti surat Perjanjian Pengalihan Piutang (Cessie) dari BPPN kepada Pemohon Pailit.

Merujuk pendapat R. Subketi yang menyatakan �Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu bukti yang mengikat dan sempurna.� (Towoliu, 2022). Sehingga menurut Penulis perihal adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya lebih dari satu kreditur telah terbukti secara hukum.

Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Peninjauan Kembali yang memaknai pembuktian sumir dari perkara a-quo merupakan bukan suatu pembuktian sumir didasarkan tidak ada bukti sama sekali kalaulah cessie tersebut telah diberitahukan kepada si berutang dan atau penjaminnya dengan benar berdasarkan Pasal 613 KUHPerdata.

Pengaturan mengenai pengalihan piutang dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak diatur secara tegas. Tidak adanya pengaturan mengenai hal tersebut, maka ketentuan pada Pasal 613 KUHPerdata lah yang berlaku.

Undang-undang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pemabayaran Utang tidak mengatur secara jelas konsep dan pembatasan pembuktian sumir tersebut. Hakim berperan penting dalam memaknai apakah perkara sederhana atau tidak. Sehingga menjadi sangat subjektif dalam memaknai pembutian sumir tersebut.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis berkesimpulan bahwa makna sumir dalam Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan pemeriksaan perkara pailit yang diperisa dengan cepat dan dibatasi waktu. Pembuktian adanya dua atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar haruslah tetap merujuk alat bukti sebagaimana diatur dalam HIR/RBg. Alat bukti tersebut meliputi bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan/tertulis/surat, ditempatkan dalam urutan pertama. Hal ini bersesuaian dengan kenyataan bahwa dalam perkara perdata, surat/dokumen/akta memegang peran penting.

Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Kasasi telah tepat dalam memutus perkara a-quo. Para Termohon Pailit telah terbukti secara sumir mengenai adanya utang dari Termohon I dan adanya kreditur lain yaitu Vendome Investment Holding Ltd. Termohon Pailit II dan Termohon Pailit III berdasarkan hukum waris perdata menjadi pihak yang bertanggung jawab atas perbuatan hukum keperdataan dari pewaris.

Disparitas putusan perkara pailit dalam memaknai pembuktian sumir disebabkan karena Undang-undang belum jelas dalam memberikan batasan mengenai hal-hal yang termasuk dalam pembuktian sederhana. Hakim belum memiliki persamaan persepsi dalam memaknai pembuktian sumir. Mahkamah Agung belum menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam memberikan panduan atau batasan dalam memaknai pembuktian sumir perkara pailit.

BIBLIOGRAFI

 

Andani, D., & Pratiwi, W. B. (2021). Prinsip Pembuktian Sederhana dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 28(3), 635�656.

 

Apriantoro, M. S., Sekartaji, S. I., & Suryaningsih, A. (2021). Penyelesaian Sengketa Kepailitan Ekonomi Syariah Perspektif Ibnu Rusyd Al-Qurthubi Dalam Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 7(3), 1400�1408.

 

Benuf, K., & Azhar, M. (2020). Metodologi penelitian hukum sebagai instrumen mengurai permasalahan hukum kontemporer. Gema Keadilan, 7(1), 20�33.

 

Disemadi, H. S., & Gomes, D. (2021). Perlindungan Hukum Kreditur Konkuren Dalam Perspektif Hukum Kepailitan di Indonesia. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(1), 123�134.

 

Jonaedi Efendi, S. H. I., Johnny Ibrahim, S. H., & Se, M. M. (2018). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Prenada Media.

 

Makmur, S. (2018a). Kepastian Hukum Kepailitan Bagi Kreditur dan Debitur Pada Pengadilan Niaga Indonesia. Mizan: Journal of Islamic Law, 4(2).

 

Makmur, S. (2018b). Penerapan Undang-Undang Kepailitan dalam Menciptakan Iklim Berusaha Yang Sehat Bagi Seluruh Pelaku Usaha. Jurnal AJUDIKASI Vol, 2(1), 89�115.

 

Pandiangan, R. (2022). Diskrepansi Sita Umum Kepailitan dengan Sita Pidana Dihubungkan dengan Pemberesan Harta Pailit yang Mengandung Unsur Pidana. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 4(5), 4047�4060.

 

Rabbani, D. N. (2018). Perlindungan Hukum Bagi Bank Syariah Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah Dalam Hal Kepailitan Mudharib. E-Jurnal SPIRIT PRO PATRIA, 4(1), 73�86.

 

Rachmawati, A. F. (2021). Dampak Korupsi dalam Perkembangan Ekonomi dan Penegakan Hukum di Indonesia. Eksaminasi: Jurnal Hukum, 1(1), 12�19.

 

Rochmawanto, M. (2015). Upaya Hukum dalam Perkara Kepailitan. Jurnal Independent, 3(2), 25�35.

 

Simanjuntak, H. A. (2020). Prinsip Prinsip Dalam Hukum Kepailitan Dalam Penyelesaian Utang Debitur Kepada Kreditur. Jurnal Justiqa, 2(2), 17�28.

 

Sutan Remy Sjahdeini, S. H. (2016). Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (Memahami undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran). Kencana.

 

Towoliu, W. (2022). Eksistensi Pengakuan dan Sumpah Terhadap Pembuktian Dalam Perkara Perdata. LEX ADMINISTRATUM, 10(3).

 

Zulaeha, M. (2015). Mengevaluasi pembuktian sederhana dalam kepailitan sebagai perlindungan terhadap dunia usaha di Indonesia. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 1(2), 171�187.

 

Copyright holder:

Ivan Hamonangan Sianipar, Busyra Azheri, Yulfasni, Hasbi, Yussy Adelina Mannas, Dahlil Marjon (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: