Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
8, No. 1, Januari
2023
PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PEMBIAYAAN BERBASIS TEKNOLOGI (FINTECH)
INDONESIA
Refa
Swinta Maharani, Busyra Azheri, Rembrandt, Hasbi, Yasniwati, Yussy Adelina
Mannas
Fakultas
Hukum, Universitas Andalas, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Pada saat dewasa
ini, perkembangan teknologi telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
kehidupan masyarakat dan sekaligus juga telah mengubah sistem interaksi
masyarakat, salah satunya yaitu dengan hadirnya fintech sebagai salah satu
inovasi dalam sektor layanan jasa di bidang keuangan berbasis teknologi untuk
memudahkan masyarakat melakukan transaksi kapanpun dan dimanapun dengan
memberikan sistem layanan berupa e-money, crowfunding, lending dan
transaksi-transaksi lainnya di bidang keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
sebagai lembaga yang berwenang dalam hal keuangan, membuat suatu alternatif
pendanaan berbasis fintech tersebut namun tetap memberikan perlindungan juga
bagi masyarakat, yaitu dengan membuat suatu platform online pendanaan yang
dinamakan dengan Fintech Lending, yaitu suatu platform online yang menyediakan
fasilitas bagi pemberi dana untuk memberikan pinjaman secara langsung kepada
penerima dana. Dalam praktiknya, terdapat praktik pelaksanaan
fintech lending oleh penyelenggara fintech yang telah berizin dan terdaftar di
OJK. Namun, terdapat pula contoh praktik pelaksanaan
fintech lending oleh penyelenggara yang beroperasi secara ilegal atau tidak
berizin atau terdaftar di OJK. Rumusan Masalah yang timbul yaitu: 1)
Pengaturan tentang pembiayaan berbasis teknologi (fintech) berdasarkan Hukum
Positif Indonesia; 2) Perlindungan hukum para pihak dalam perjanjian fintech. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum, sinkronisasi hukum,
sejarah hukum, dan perbandingan hukum dalam rangka mengumpulkan bahan hukum
dilakukan dengan beberapa pendekatan. Berdasarkan hasil penelitian,
diperoleh hasil: 1) Sampai saat ini, terdapat beberapa peraturan atau regulasi
terkait yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai
lembaga yang berwenang dalam hal pengaturan dan pengawasan fintech sebagai
bentuk penerapan teori kepastian hukum demi tetap berlangsungnya pemberlakuan
hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen dalam pelaksanaan perjanjian
fintech antara kedua belah pihak; 2) Saat ini, pelaksanaan transaksi yang
berujung pada terjadinya suatu perjanjian yang tertuang dalam kontrak
elektronik yang mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak selayaknya
perjanjian atau kontrak-kontrak pada umumnya dan juga melindungi hak dan
kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian fintech tersebut.
Kata
Kunci:
Perlindungan Hukum, Pihak, Fintech.
Abstract
At the present
time, technological developments have had a very large influence on people's
lives and at the same time have changed the system of community interaction,
one of which is the presence of fintech as one of the innovations in the
service sector in technology-based finance to make it easier for people to make
transactions at any time. and anywhere by providing a
service system in the form of e-money, crowdfunding, lending and other
transactions in the financial sector. The Financial Services Authority (OJK) as
an authorized institution in financial matters, has created an alternative to
fintech-based funding but still provides protection for the public, namely by
creating an online funding platform called Fintech Lending, which is an online
platform that provides facilities for lenders to provide loans directly to the
beneficiary. In practice, there is a practice of implementing fintech lending
by fintech operators who are licensed and registered with the OJK. However,
there are also examples of the practice of implementing fintech lending by
operators operating illegally or unlicensed or registered with the OJK. The formulation of the problems that arise are: 1) Regulations
on financial technology based on Indonesian Positive Law; 2) Legal protection
of the parties in the fintech agreement. This study uses a normative research
method, namely research that aims to examine legal principles, legal
synchronization, legal history, and legal comparisons in order to collect legal
materials carried out with several approaches. Based on the results of the
research, the following results are obtained: 1) Until now, there are several
related regulations or regulations issued by Bank Indonesia and the Financial
Services Authority as the authorized institution in terms of regulating and
supervising fintech as a form of application of the theory of legal certainty
in order to continue to enforce the law clearly, permanent and consistent in
the implementation of the fintech agreement between the two parties; 2) Currently,
the implementation of transactions that lead to the occurrence of an agreement
contained in an electronic contract that has the legal force to bind the
parties like an agreement or contracts in general and also protects the rights
and obligations of the parties involved in the fintech agreement.
Keywords: Legal
Protection, Parties, Fintech.
Pendahuluan
Adanya kecanggihan
teknologi saat ini, fintech lending atau sederhananya disebut dengan pinjaman
online memberikan banyak kemudahan, terutama bagi para pelaku usaha menengah
kebawah yang membutuhkan pinjaman dana untuk mempertahankan usahanya (Yudha, 2021). Mengingat di
tengah situasi pandemi ini memang tidak dapat dipungkiri banyak usaha yang
terancam gulung tikar karena perekonomian masyarakat di Indonesia terkena imbas
dari pandemi ini yang mengakibatkan hilangnya daya beli sebagian besar
masyarakat (Lestari et al., 2021).
Keuntungan utama dari
fintech lending bagi debitur (borrower) adalah memperoleh pinjaman pada tingkat
yang lebih rendah tanpa agunan, sementara penyedia dana (lender) dapat
memperoleh pengembalian investasi yang lebih tinggi (Pakpahan et al., 2022). Namun, tetap
harus di ingat bahwa tidak ada investasi tanpa risiko, termasuk berinvestasi di
fintech lending. Jika terjadi kredit bermasalah maka sepenuhnya ditanggung oleh
lender (bukan perusahaan fintech lending), berbeda dengan sistem perbankan yang
akan ditanggung oleh pihak bank. Adanya kesalahan
gagal bayar atau dikenal dengan kredit macet oleh borrower merupakan resiko
yang harus ditanggung oleh lender (Wardhani & Apriandini, 2020).
Selain
itu, dalam pelaksanaannya, fintech lending berkaitan erat dengan data atau
informasi pribadi para pihak. Data pribadi tersebut
diperlukan agar dapat terlaksananya perjanjian pinjaman antara pemilik dana dengan debitur. Untuk mengetahui batasan-batasan dalam
penggunaan data pribadi, ditetapkan beberapa tindakan yang termasuk dalam
kategori perbuatan yang dilarang dalam hal penggunaan data pribadi yang diatur
dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) [(Satria & Handoyo, 2022).
Salah satu contoh
bentuk implementasi fintech lending di Indonesia adalah adanya aplikasi
Easycash, yaitu platform peer-to-peer lending yang telah terdaftar dan diawasi
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diberi nama PT. Indonesia Fintopia
Technology secara resmi pada tanggal 13 November 2017 (Syamil et al., 2020). Sebagai
platform peer-to-peer lending, Easycash menyediakan layanan bagi pemberi
pinjaman dan penerima pinjaman(Armuji, 2019). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian partisipatif di
aplikasi Easycash tersebut.
Contoh praktik fintech lending yang dilakukan penulis termasuk dalam contoh praktik fintech lending yang berizin dan terdaftar di OJK (Al Habsyi et al., 2022). Namun, terdapat pula contoh praktik fintech lending ilegal atau tidak terdaftar dan berizin di OJK. Salah satunya yaitu kasus aplikasi fintech lending 'INCASH' di Solo, Jawa Tengah pada tahun 2019 Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penyalahgunaan Data Pribadi Dalam Bisnis Fintech (Pinjaman Online) Ilegal (Bretawa et al., 2020).
Dalam
aturannya OJK memastikan setiap perusahaan INCASH yang terindikasi melakukan
penipuan atau fitnah kepada nasabah illegal.
Menurut aturan yang berlaku, untuk melakukan akses kontak
kepada nasabah tidak dibenarkan bagi setiap fintech yang terdaftar. "Terkait viralnya berita nasabah di Solo yang sempat
dilecehkan oleh debt collector salah satu perusahaan fintech, jelas itu tidak
dibenarkan oleh OJK," jelas Kepala Bagian Pengawasan Industri Keuangan
Non-Bank (IKNB) OJK Solo Tito Adji Siswantoro. Tito
juga memastikan bahwa status dari perusahaan fintech yang bersangkutan (INCASH)
ilegal. Setiap perusahaan fintech resmi atau yang
terdaftar di OJK hanya dapat mengakses kamera, lokasi dan mikrofon milik nasabah.
Untuk pengaksesan lainnya tidak diperbolehkan [28].
Sebab itulah, untuk
mengungkap persoalan dalam pembiayaan berbasis teknologi (fintech), penulis
melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaturan tentang
pembiayaan berbasis teknologi (fintech) berdasarkan Hukum Positif Indonesia;
serta untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum pihak peminjam dan penyedia
dana sebagai para pihak dalam perjanjian fintech.
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan normative (normative legal research) yang bertujuan
untuk meneliti yang berkaitan dengan asas-asas, sejarah, sinkronisasi serta
perbandingan hukum dalam menegumpulkan bahan hokum (Hermawan, 2019). Untuk jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif (Wahyuni & Yokhebed, 2019) dengan
memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan terkait, yaitu dari Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi.
Hasil dan Pembahasan
A.
Perlindungan
Hukum terhadap Debitur dalam Perjanjian Pembiayaan Berbasis Teknologi (Fintech)
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) menyebutkan bahwa: "Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen."
Dalam hal perjanjian fintech, yang dimaksud dengan konsumen adalah para pihak yang terlibat dalam perjanjian fintech, yakni pihak penerima pinjaman (debitur) dan pihak pemberi pinjaman (kreditur). Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 1745 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perjanjian pinjam meminjam melibatkan dua pihak yaitu pemberi pinjaman dan penerima pinjaman sehingga dalam hal kedua belah pihak memiliki hubungan hukum secara langsung yang dimana perjanjian tersebut melahirkan hak serta kewajiban bagi para pihak. Selain itu, Peraturan Bank Indonesia No.16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Penyelenggara Sistem Pembayaran juga mengatur dan mengawasi perlindungan nasabah sebagai pengguna sistem pembayaran, termasuk pengguna fintech.
Aplikasi Easycash merupakan salah satu aplikasi fintech lending yang telah berizin dan terdaftar di OJK [24,35,36]. Dalam kontrak elektronik yang diterbitkan oleh Easycash, hak dan kewajiban para pihak dilindungi dengan dicantumkan secara detil dan memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian. Terlebih lagi, berdasarkan perhitungan yang telah dijabarkan diatas, bunga yang dipatok oleh aplikasi Easycash juga tidak melebihi batas yang telah diberikan oleh OJK, yaitu jumlah total biaya pinjaman tidak melebihi suku bunga flat 0,8% per hari, juga jumlah total biaya, biaya keterlabatan, dan seluruh biaya lain maksimum 100% dari nilai prinsipal pinjaman, sehingga hal tersebut membuktikan bahwa terdapat perlindungan hukum terhadap pihak debitur dalam pelaksanaan perjanjian finteh tersebut, yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang berada diluar kesepakatan kontrak terjadi.
Sedangkan perlindungan hukum kuratif merupakan suatu bentuk perlindungan yang diadopsi dari salah satu jenis pengendalian sosial berdasarkan sifatnya, yaitu pengendalian sosial kuratif. Pengendalian sosial kuratif didefinisikan sebagai bentuk pengendalian sosial yang dilakukan melalui berbagai pembinaan serta penyembuhan kepada pelaku penyimpangan sosial untuk mengubah nilai dan norma yang ada pada dirinya. Salah satu contoh dari pengendalian sosial kuratif yaitu rehabilitasi yang diberikan kepada pengguna obat terlarang atau narkoba serta minuman keras beralkohol (Madjid et al., 2019).
Dari uraian diatas, perlindungan hukum kuratif dapat didefinisikan sebagai bentuk perlindungan hukum yang dilakukan setelah adanya suatu kejadian yang menyimpang dari ketentuan hukum. Dalam hal perjanjian fintech, apabila terdapat suatu hal yang terjadi tidak sesuai dengan syarat yang telah tertera dalam kontrak, upaya perlindungan hukum kuratif yang dapat dilakukan yaitu dengan adanya pembatalan melalui pengadilan. Dasar hukumnya yaitu terdapat dalam Pasal 1266 KUHPerdata
B.
Perlindungan
Hukum terhadap Kreditur dalam Perjanjian Pembiayaan Berbasis Teknologi (Fintech)
Apabila dikaitkan dengan Teori Kepastian Hukum, setiap orang berhak untuk memperoleh hak dan kewajibannya (Burlian, 2022). Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang bersifat subjektif. Kepastian bukan hanya berbicara tentang tuntutan moral belaka, melainkan mencirikan bagaimana hukum itu berlangsung secara factual (Heriyanto, 2022).
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian (Remaja, 2014). Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Dalam hal ini, para pihak dalam perjanjian fintech harus patuh dan tunduk kepada isi perjanjian yang bersifat mengikat layaknya undang-undang untuk dapat memenuhi prestasi masing-masing dan menghindari hal-hal yang dilarang dalam perjanjian, terlebih disini tidak menutup kemungkinan bahwa pihak kreditur nantinya akan menjadi pihak yang paling dirugikan apabila terjadi hal-hal yang melanggar prestasi, terlebih pihak penyelenggara fintech tidak akan bertanggung jawab apabila pelanggaran itu terjadi diluar dari adanya kesalahan penggunaan aplikasi dari penyedia fintech itu sendiri, seperti wanprestasi dari pihak debitur.
Selain itu, apabila dikaji sekilas dari Teori Perlindungan Hukum, sejauh ini perlindungan hukum represifnya hanya sebatas sanksi atas adanya pelanggaran kewajiban dan larangan oleh pihak penyelenggara (Wahyuni & Yokhebed, 2019) saja yang diatur dalam Pasal 47 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang berbunyi:
"(1) Atas pelanggaran kewajiban dan larangan dalam peraturan OJK ini, OJK berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda, yaitu kewajiban
untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c.
pembatasan kegiatan
usaha; dan
d.
pencabutan izin;
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d, dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d."
Kesimpulan
Saat
ini, terdapat dua lembaga yang berwenang mengatur fintech di Indonesia yaitu
Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam perkembangan fintech di Indonesia tetap berada dalam
pengawasan BI selaku bank sentral Indonesia.
Adanya
perjanjian fintech dapat menjadi wujud dari penyelenggaraan perlindungan hukum
para pihak yang terlibat dalam perjanjian fintech tersebut.
Selain itu, terdapat pula lima prinsip penting perlindungan konsumen yang
diatur dalam Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dimana perlindungan konsumen
menerapkan prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan
dan keamanan data / informasi konsumen, serta penanganan pengaduan serta
penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau.
Al Habsyi, M. A. H.,
Alfandy, M. D., & Mahdi, W. L. (2022). Urgensi Pembentukan UU Teknologi
Finansial Sebagai Perlindungan Hukum Konsumen dari Penagihan Intimidatif
Kreditur P2P Lending. Recht Studiosum Law Review, 1(2), 28�41.
Armuji, A. (2019). Mekanisme
Investasi peer to peer lending di Indonesia. IAIN Palangka Raya.
Bretawa, R. A.,
Mutiari, Y. L., & Novera, A. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Penerima
Pinjaman Pada Pinjaman Berbasis Online (Peer To Peer Lending) Dalam Transaksi
Pinjam-Meminjam Uang. Sriwijaya University.
Burlian, P. (2022). Patologi
sosial. Bumi Aksara.
Heriyanto, B. (2022).
Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Menggunakan Mediasi Penal Dalam
Diskursus Diskresi Kepolisian. Transparansi Hukum, 5(2).
Hermawan, H. (2019). Riset
Hospitalitas Metode Kuantitatif untuk Riset Bidang Kepariwisataan.
https://doi.org/10.31227/osf.io/fcnzh
Lestari, A. Y. U.,
Rafidah, R., & Khairiyani, K. (2021). Analisis Kondisi Usaha Kecil di
Masa Pandemi Covid-19 dan Strategi Pengembangan Usaha Kecil di Kota Jambi.
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Madjid, D. Z.,
Meilindari, A., Handayani, L., Agustinus, E., & Maulana, A. F. (2019).
Student as Online Prostitution Crime Offender (Study in Semarang City). Law
Research Review Quarterly, 5(2), 201�232.
Pakpahan, M. E.,
Zulkifli, S., & Sunarto, A. (2022). Perlindungan Hukum Pemberian Kredit
Secara Digitalisasi Kepada Debitur Masa Perkembangan Financial Technology
(Fintech). JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana, 5(1),
120�137.
Remaja, N. G. (2014).
Makna Hukum Dan Kepastian Hukum. Kertha Widya, 2(1).
Satria, M., &
Handoyo, S. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Data Pribadi Pengguna Layanan
Pinjaman Online Dalam Aplikasi Kreditpedia. Journal de Facto, 8(2),
108�121.
Syamil, A., Heriyati,
P., & Hermawan, M. (2020). Perspektif Industri Financial Technology di
Indonesia. Jawa Timur: Qiara Media.
Wahyuni, E. S., &
Yokhebed, Y. (2019). Deskripsi media pembelajaran yang digunakan guru biologi
SMA Negeri di Kota Pontianak. Jurnal Pendidikan Informatika Dan Sains, 8(1),
32�40.
Wardhani, I. K., &
Apriandini, F. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman Atas Risiko
Kredit Dalam Pelaksanaan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
(Peer To Peer Lending). Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 6(2),
129�152.
Yudha, A. T. R. C.
(2021). Fintech Syariah dalam Sistem Industri Halal: Teori dan Praktik.
Syiah Kuala University Press.
Copyright holder: Refa Swinta Maharani,� Busyra Azheri, Rembrandt, Hasbi, Yasniwati,
Yussy Adelina Mannas (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |
Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman Atas Risiko Kredit Dalam
Pelaksanaan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Peer To Peer
Lending)