Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

POLIGAMI TANPA IZIN ISTRI PADA PASAL 279 KUHP MENURUT PERSPEKTIF FIKIH ISLAM

 

Nadia Azkya, Muhammad Yogi Galih Permana

STDI Imam Syafi'i, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Pasal 279 KUHP merupakan undang-undang yang menyebutkan tentang memberikan pidana bagi suami yang berpoligami tanpa izin istri. Dalam fikih islam, akad poligami yang dilakukan suami tetap sah meskipun tidak adanya izin dari istri untuk menikah lagi.penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pasal 279 KUHP menurut perspektif fikih islam. Peneliti menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau kajian literatur (literature review). Sumber data berupa buku, jurnal, dan Pustaka lainnya yang relevan dengan topik pembahasan ini. Metode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan terhadap tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pasal 279 KUHP dalam perspektif fikih islam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan pasal 279 KUHP dalam perkara suami yang poligami tanpa izin istri mendapat ancaman 5 tahun penjara. Namu dalam fikih islam suami yang akan poligami diperbolehkan tanpa izin istri. Dengan memegang poin utama berpoligami yaitu berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam soal materi, adil dalam membagi waktu, adil dalam membagi nafkah.

 

Kata Kunci: Poligami, Izin Istri, Islam.

 

Abstract

Article 279 of the Criminal Code is a law which states that it is criminal for husbands to practice polygamy without the wife's permission. In Islamic jurisprudence, the polygamy contract carried out by the husband remains valid even though there is no permission from the wife to remarry. This study aims to determine article 279 of the Criminal Code from the perspective of Islamic jurisprudence. Researchers used library research methods (library research) or literature review (literature review). Data sources are in the form of books, journals, and other literature relevant to the topic of this discussion. The data collection method was carried out by library research on writings related to article 279 of the Criminal Code from the perspective of Islamic jurisprudence. The results of this study indicate that the provisions of Article 279 of the Criminal Code in the case of a husband who is polygamous without the wife's permission carries a threat of 5 years in prison. However, in Islamic fiqh, it is permissible for a husband to practice polygamy without the wife's permission. By holding the main points of polygamy, namely to be fair to his wives in material matters, fair in allocating time, fair in dividing up living.

 

Keywords: Polygamy, Wife's Permit, Islam.

 

Pendahuluan

Islam merupakan agama dan pedoman yang mengatur pola hidup masyarakat dalam ruang lingkup kecil maupun besar. Semua permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat baik yang berhubungan dengan ibadah, mu�amalat, munakahat dan lain sebagainya diatur dalam agama islam yang sempurna (Ali, 2022). Salah satu aspek yang diatur oleh Islam dalam kehidupan berumah tangga adalah pernikahan. Pernikahan merupakan aspek penting dalam kehidupan (Atabik & Mudhiiah, 2016). Secara istilah pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang Wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Wibisana, 2016). Pernikahan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu. Pernikahan suatu keluarga diharapkan dapat bertahan hingga pasangan dipisahkan oleh keadaan ketika salah satunya meninggal dunia. Pernikahan dianggap penyatuan antara dua jiwa masing-masing individu tidak bisa lagi memikirkan diri sendiri tetapi harus memikirkan orang lain yang bergantung hidup kepadanya (Sari, 2021).

Dalam Bahasa arab poligami disebut ta�adud al-zaujaat. Poligami dapat diartikan dengan perkawinan yang dilakukan dengan beberapa pasangan pada waktu bersamaan. Dengan demikian poligami itu tidak terbatas hanya dilakukan oleh lelaki, tetapi juga oleh perempuan (Fathony, 2014).

Istilah khusus yang mengacu pada perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan adalah poligini (polyginy) dan yang mengacu pada perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki adalah poliandri (polyandry) (Ichsan, 2018). Pengertian poligami yang berlaku di masyarakat adalah seorang laki-laki kawin dengan banyak Wanita. Menurut tinjauan Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan Batasan umum yang dibolehkan hanya sampai empat Wanita (Cahyani, 2018).

Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, kata poligami bermakna sama dengan poligami dan permaduan yaitu perkawinan antara satu orang suami dengan dua orang istri atau lebih (Partanto & Al Barry, 1994). Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 ayat (1), menyatakan bahwa poligami beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan dan terbatas hanya sampai empat orang istri (Arloka, n.d.).

Pada zaman Jahiliyyah, kedudukan perempuan ibarat barang yang hanya berfungsi untuk menjadi kesenangan bagi laki-laki. Perempuan yang menjadi barang kesenangan bagi para laki-laki adalah mereka yang memiliki kedudukan terhormat atau berasal dari keluarga yang terhormat. Sedangkan perempuan yang kurang beruntung status hidupnya, ia akan mengalami siksaan serta menjadi budak. Hal ini terus berlangsung dari tahun ke tahun hingga sampai akhirnya Rasulullah S.A.W datang membawa cahaya kehidupan, yakni agama Islam (Abdurrahman, 1990).

Kedudukan perempuan jahiliyah pada zaman dahulu digambarkan oleh hadis Rasulullah S.A.W dari Abu Hurairah radhiyallahu �anhu. Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani: Rasulullah s.a.w bersabda:

 

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إلَى إحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِل

 

�Barangsiapa yang memiliki dua istri kemudian ia condong kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tubuhnya miring�

 

Salah satu bentuk pernikahan yang sering diperbincangkan pada masyarakat muslim adalah poligami. Poligami adalah seseorang yang mempunyai dua atau lebih pasangan hidup dalam waktu yang sama. Sebenarnya istilah yang lebih tepat dalam permasalahan poligami adalah �poligini� maksudnya adalah seorang suami mempunyai dua atau lebih isteri dalam waktu yang sama (Zeitzen, 2020). Namun praktek poligami yang telah dilakukan oleh sebagian masyarakat mendapat stigma negatif karena kenyataan sekarang ini, suami yang akan melangsungkan poligami tidak perduli dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan sebagian kalangan awam memandang fikih Islam dalam hal berpoligami ini amatlah disepelehkan, yang artinya pernikahan begitu mudah asal ada mahar, saksi-saksi, sudah cukup bagi mereka dengan tidak melihat akibat hukum. Selain itu ada beberapa pihak yang menolak praktek poligami dengan berbagai alasan seperti ketidakadilan gender dan juga ada yang mendukung praktek poligami dengan alasan menyelesaikan perselingkuhan dan juga prostitusi. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-quran:

 

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

 

�Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah�.

 

Indonesia memiliki UU No. 1 Tahun 1974 sebagai landasan hukum keluarga, mulai dari prosedur dan syarat pra-perkawinan hingga pasca perkawinan, bahkan sampai perkawinan tersebut putus. Tidak terkecuali dalam hal poligami. Selain itu, terdapat pula pasal 279 KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan peraturan hukum pidana yang saat ini tetap berlaku di Indonesia (hukum positif) yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil atau disebut KUHP juga memuat ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam Pasal 279:

1.    Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:

a)   Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.

b)   Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

2.    Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir (1) menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3.    Pencabutan hak berdasakan Pasal No. 1- 5 dapat dinyatakan.

 

Ketentuan pasal dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan menunjukkan bahwa tindak pidana yang diancam sanksi pidana dalam hukum positif di Indonesia antara lain kejahatan melakukan perkawinan sedangkan perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi, pelanggaran terhadap kewajiban untuk mencatatkan perkawinan, dan pelanggaran memutuskan perkawinan tanpa melalui putusan pengadilan.

Sebagaimana yang dianut dalam prinsip monogami, tindak pidana yang mengatur mengenai sanksi poligami dengan redaksi yang jelas terhadap batasan yang dilanggar adalah melakukan pernikahan ketika ada pernikahan lain yang menjadi penghalang atasnya. Apabila merujuk pada perkawinan yang dimaksud dalam pasal 9 UU No. 1 tahun 1974.

Mahkamah Agung RI telah memberikan petunjuk berkaitan dengan seorang suami melakukan perkawinan lagi tanpa izin pengadilan, maka dikenakan ketentuan Pasal 45 ayat (1) huruf a juncto Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, apabila suami pernah mengajukan permohonan izin, tetapi ditolak oleh Pengadilan dan suami tersebut tetap melakukan perkawinan, maka dikenakan ancaman Pasal 279 ayat (1) KUHP. Tindak pidana yang diatur dalam pasal 279 KUHP termasuk tindak pidana kejahatan terhadap kedudukan perdata. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang poligami tanpa izin istri pada pasal 279 KUHP menurut perspektif fikih islam.

 

Metode Penelitian

Guna mengkaji objek pembahasan pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau kajian literatur (literature review). Cara yang penulis gunakan untuk memperoleh data adalah dengan mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan topik pembahasan, seperti buku, jurnal dan Pustaka lainnya. Oleh karena itu, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Adapun metode pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi, yang bertujuan untuk menggali atau mencari data dari literatur-literatur yang relevan dengan pembahasan pada penelitian ini. Sedangkan sifat penelitiannya, penulis menggunakan analisis deskriptif. Penggunaan sifat penelitian tersebut dikarenakan tujuan penelitian ini akan mendeskripsikan poligami tanpa izin istri pada pasal 279 KUHP menurut perspektif fikih islam.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Ketentuan Hukum Pidana Positif pada Pasal 279 KUHP bagi Suami yang Berpoligami Tanpa Izin Istri

Perkawinan di Indonesia menurut Undang-Undang Perkawinan yang menganut asas monogami seperti terdapat pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Untuk mendapatkan izin poligami dari pengadilan, maka suami diharuskan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama tersebut. Aturan ini terdapat pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pada dasarnya, KUHP tidak terlepas dengan aturan-aturan yang lain. Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan hukum masing masing agamanya adalah sah. Demikian ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UU perkawinan). Ini berarti walaupun pernikahan pria dan Wanita tersebut hanya sesuai dengan agamanya, pernikahan tersebut tetap sah. Akan tetapi, perlu diperhatikan juga bahwa dalam pasal 2 ayat (2) UU perkawinan ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam KUHP Bab I Kejahatan Asal Usul Pernikahan kita dapat mencermati Pasal 279:

 

1.    Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

(1) Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.

(2) Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

2.    Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3.    Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1-5 dapat dinyatakan (Moeljatno, 2021).

 

Unsur-unsur yang terdapat didalam pasal 279 ayat (1) KUHP yaitu:

1.    Unsur Subyektif yaitu:

�Barang siapa�. Barangsiapa ini menyebutkan orang sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban didepan hukum. Unsur �Barangsiapa� harus memenuhi kecakapan hukum baik secara hukum pidana maupun secara perdata.

2.    Unsur Obyektif yaitu:

(1) Mengadakan perkawinan. Unsur ini menyebutkan seorang suami yang menikah lagi dengan Wanita lain yang perkawinannya dipandang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu sebagaimana disebutkan pada hurup (a), tapi ia secara sadar mengetahui bahwa ia sedang dalam ikatan perkawinan sebagaimana maksud pasal 2 ayat (2) UUP.

(2) Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada. Unsur ini menyebutkan seorang suami yang melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan dalam hurup (a), tapi ia secara sadar mengetahui bahwa ia sedang dalam ikatan perkawinan sebagaimana maksud pasal 2 ayat (2) UUP.

(3) Adanya penghalang yang sah. Unsur ini menyebutkan bahwa kedua calon mempelai memang sudah mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka langsungkan memiliki halangan yang sah, karena calon suaminya masih dalam ikatan perkawinan yang sah.

 

Seseorang bisa dikenakan sanksi pidana dengan pasal ini Ketika terdapat unsur yang ada dalam pasal tersebut. Beberapa unsur utama seorang dikenakan pasal 279 ayat 2. Penekanan pada unsur ini dibahas diayat dua yang ancaman penjaranya lebih tinggi yaitu tujuh tahun. Karena dalam ayat ini terdapat masalah proseduran dan administrasi. Ayatnya yang berbunyi:

 

(1)�� jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

 

Dalam ayat ini ada unsur kesengajaan dalam melakukan tindak pidana perkawinan. Maksud pasal tersebut sama denga ayat 1 butir ke-1 tapi penekanan disini perkawinan yang telah ada disembunyikan. Dalam pelaksanaan poligami bisa dilaksanakan Ketika mendapat ijin dari pengadilan. Maka saat pelaksanaan perkawinan ada penghalang yang sah tapi disembunyikan maka bisa diancam dengan penjara 7 tahun. Dalam ayat satu melakukan perkawinan yang sah dan mengetahui adanya penghalang dari perkawinan tersebut. Beda dengan ayat ini yang lebih mempermasalahkan terkait menyembunyikan status penghalang yang sah dan melakukan perkawinan yang kedua.

Tujuan dari pasal ini yang pertama melarang seseorang menyembunyikan status perkawinannya Ketika melakukan perkawinan yang kedua padahal perkawinan yang sebelumnya akan merintanginya. Karena pluralisme hukum yang ada di Indonesia mengantisipasi terjadinya perkawinan yang dilakukannya tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kemudian, kedua aturan itu awalnya ditujukan untuk mencegah hubungan seksual yang tidak diinginkan. Meskipun seperti yang kita ketahui juga, dalam prakteknya ada juga pihak-pihak yang terus membela bahwa dengan adanya perkawinan bagaimanapun caranya, dianggap telah menghapus sifat jahat perzinahan. Padahal kalau dilihat efeknya pada pasangan sebelumnya yang tidak mengetahui perkawinan tersebut, tentu dampaknya sama saja, yaitu terjadi perselingkuhan dalam arti perbuatan tak diinginkan terhadap pasangan sebelumnya yang dilakukan secara diam-diam atau dengan kebohongan.

B.  Ketentuan Poligami di dalam Fikih Islam

Ketika akan berpoligami, seorang suami harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam berpoligami menurut fikih islam yaitu:

1.    Berlaku Adil Terhadap Para Istrinya

Seorang suami yang mempunyai beberapa orang istri maka dia harus mampu berbuat adil baik dalam bentuk lahiriyah maupun yang bersifat bathiniah (cinta dan kasih sayang). Adil yang dimaksud pada umumnya suami tidak dapat melaksanakan yang menyangkut cinta dan perasaan, karena besar kemungkinan antara istri yang satu dengan istri yang lain memiliki dimensi perasaan berbeda pada hakekatnya hati itu bukan milik perseorangan, melainkan milik Allah yang setiap saat dibolak-balikkan oleh-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.

Dengan demikian setiap usaha untuk melarang poligami dengan alasan bahwa seorang pria lebih mencintai diantara wanita (istri-istrinya) adalah sia-sia karena faktor ini tidaklah dapat digunakan sebagai standar keadilan dalam perkawinan poligami islam (Jones & Philips, 1996).

Dalam hal ini sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

 

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, Beliau bersabda, �siapa memiliki dua istri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan pundaknya miring sebelah.� (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

 

Hadits ini menjelaskan bahwa pembagian (giliran/nafkah) wajib atas seorang laki-laki antara istrinya atau antara para istrinya. Kecondongan terhadap salah seorang dari mereka dibandingkan yang lain diharamkan. Sebagaimana beliau juga menjelaskan balasan bagi siapa yang melebihkan salah seorang istrinya dalam pembagian dan menzalimi hak yang lainnya, bahwa Allah akan menghukumnya dengan membongkar aibnya pada hari kiamat. Dia akan datang untuk dikumpulkan di mahsyar sedangkan pinggangnya miring sebagai balasan yang setimpal dan balasan itu sesuai dengan perbuatan. Berlaku adil diantara para istri hukumnya wajib dalam hal yang mampu dipenuhi oleh seorang laki-laki berupa nafkah, jatah menginap, menemuinya dengan baik, dan yang semisal dengan itu. Adapun sesuatu yang tidak mampu ia lakukan dari apa-apa yang berkaitan dengan hati seperti kecintaan dan kecenderungan hati, maka hukumnya tidak wajib karena perkara-perkara ini bukan dalam lingkup kemampuan manusia.

Poligami memberikan syarat adil kepada suami. Menurut Khazin Nasuha yang dimaksud dengan keadilan dalam poligami adalah adil dalam soal materi, adil dalam membagi waktu, adil dalam membagi nafkah, yang berkaitan dengan nafkah adalah sandang, pangan dan papan, juga adil dalam memperlakukan keperluan batiniah istri-istrinya. Dalam hal keadilan batiniah, menurut Khazin Nasuha tidak dituntut oleh hukum islam, karena masalahnya berada diluar kemampuan manusia, sebagaimana Rasulullah yang lebih cenderung rasa cintanya kepada Aisyah dibandingkan dengan istri-istrinya (Muthiah, 2016).

2.    Sanggup Memberi Nafkah

Seorang suami yang hendak berpoligami hendaklah memikirkan masalah nafkah, baik yang bersifat batin (hubungan biologis), maupun kebutuhan yang bersifat lahiriyah yang menyangkut makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan alat-alat rumah tangga lainnya.

Termasuk syarat nikah dan bolehnya berpoligami adalah masih mampu memberikan nafkah batin, kalua tidak maka tidak boleh poligami karena itu dapat berakibat buruk bagi Wanita yang dinikahi. Satu istri saja tidak mampu apalagi ditambah istri yang lain.

Selain nafkah batin orang yang akan menikah ataupun berpoligami harus mempunyai persiapan yang matang dalam bidang finansial atau materi. Sebab seorang suami mempunyai tanggungan memberi nafkah belanja terhadap istri dan anak-anaknya, dan juga mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Kalau dari segi materi tidak mampu lebih baik satu istri saja.

3.    Jumlahnya Terbatas Empat Wanita Saja

Termasuk ketentuan dalam berpoligami yaitu tidak boleh beristri lebh dari empat orang wanita, kecuali pengkhususan dari Allah untuk Rasulullah. Sebagaimana firman Allah Ta�ala:

 

�... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...�.

 

4.    Tidak menghimpun wanita-wanita yang dilarang dinikahi sekaligus, seperti menikahi dua orang wanita bersaudara atau lebih sekaligus, antara wanita dan bibinya (dari pihak ibunya). Ini adalah dilarang.

C.  Sebab-Sebab Suami Tidak Izin ke Istri Saat Poligami

�Dalam setiap perkara, pasti ada sebuah sebab atau alasan mengapa perkara itu dilakukan. Termasuk dalam perkara suami tidak izin ke istri saat hendak poligami, diantaranya:

1.    Takut Melukai Hati Istrinya

Jelas bahwa wanita yang sungguh sungguh dalam mencintai tentunya memilikii rasa cemburu walaupun terkadang hal tersebut tidak ditampakkan di luar, wanita tidak mau dipoligami karena terkadang melihat suaminya bercerita mengenai wanita lain saja sudah menyakiti hatinya terlebih jika sepanjang waktu mengetahui suaminya dekat dengan wanita lain.

2.    Istri Tahu Suami Belum Memiliki Kemampuan Untuk Berpoligami

Salah satu poin penting jika hendak berpoligami adalah mampu berbuat adil. Sebagaimana yang termaktub dalam surat An-Nisa� ayat 3. Jika suami tidak memiliki kemampuan dalam hal sandang, pangan, papan, maka dia akan menzhalimi istri yang lain karena kebutuhannya tidak terpenuhi.

D.  Tinjauan Fikih Islam Terhadap Pasal 279 KUHP

Di dalam islam dibolehkan poligami dengan jumlah Wanita yang terbatas dan tidak mengharuskan umatnya untuk melaksanakan monogami mutlak. Islam tidak menutup kemungkinan adanya laki-laki berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semuanya mempunyai kemampuan untuk berpoligami. Poligami bukanlah suatu hal yang dianjurkan dalam agama Islam, sebaliknya juga bukan merupakan suatu larangan. Tetapi Islam memberikan peluang untuk poligami sebagai upaya untuk mengatasi kepentingan yang berhubungan dengan kemaslahatan masyarakat dan para pelakunya dan bukan sebagai ajang coba-coba atau sekedar untuk menyalurkan seks semata. Poligami adalah rahmat Allah SWT kepada manusia yang telah disediakan untuk mengatasi kesulitan dan merupakan jalan keluar bagi mereka yang belum atau tidak menemukan tujan yang didambakan dalam perkawinan baik yang pertama maupun yang selanjutnya. Dalil atas diperbolehkannya poligami yaitu Firman Allah Ta�ala:

 

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُو

 

�Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya�.

 

Ayat diatas merupakan penjelasan bahwa diperbolehkanya suami menikah lebih dari satu istri dalam syariat islam. Dengan catatan penting harus berlaku adil terhadap semua istrinya. Yang dimaksud dengan adil disini yaitu mencakup dalam soal materi, dalam membagi waktu, dalam membagi nafkah, serta adil dalam kebutuhan bathiniah istri-istrinya. Meskipun dalam hal bathiniah tidaka akan bisa adil karena perkara ini diluar kemampuan manusia.

Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah maksimal maupun persyaratannya, yaitu:

1.    jumlah istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang Wanita. Seandainya salah satu diantaranya ada yang meninggal atau diceraikan, maka suami dapat mencari ganti yang lain asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang Wanita dalam waktu yang bersamaan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa� ayat 3.

2.    Laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriyah seperti pembagian waktu dan pembagian nafkah. Sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia tidak mungkin dapat berbuat adil secara hakiki. Sifat adil ini harus dipraktikkan dalam berpoligami karena akan berdampak buruk di dunia dan di akhirat. Adapun dampak buruk di akhirat jika tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya adalah sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah:

 

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إلَى إحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِل

 

�Barangsiapa yang memiliki dua istri kemudian ia condong kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tubuhnya miring�

 

3.    Mampu memberi nafkah lahir dan bathin. Seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah dan sebagai syarat dalam pernikahan. Karena Allah telah menetapkan seorang suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga yang memiliki konsekuensi memberikan nafkah kepada istrinya dalam bentuk lahir dan bathin. Sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur�an surat An-Nisa� ayat 4 yang artinya:

 

�para lelaki adalah pemimpin bagi kaum Wanita atas keutamaan yang Allah berikan kepada Sebagian mereka (suami) dibanding yang lain (istri), dan atas pemberian nafkah yang berasal dari harta mereka�.

 

Kemampuan memberi nafkah menjadi ketentuan terpenting dalam menjalin pernikahan. Dan ketentuan ini juga berlaku bagi seseorang yang akan berpoligami.

 

4.    Tidak menjadikan dua wanita bersaudara sebagai istri dalam satu waktu karena tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Begitupula dengan menggabungkan seorang wanita dengan bibinya dalam satu ikatan pernikahan poligami. Hal ini ditegaskan melalui firman Allah dalam surat An-Nisa� ayat 4:

 

�Dan (diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara. kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.�

 

Larangan 2 orang wanita yang berdekatan nasab seperti ini berlaku jika dilakukan dalam satu ikatan pernikahan yang bersamaan. Namun jika itu dilakukan di waktu yang berbeda, maka tidak masuk dalam larangan ini. Seperti menikahi adik kandung dari wanita yang telah ia ceraikan, atau menikahi saudari kandung istrinya yang telah meninggal dunia.

Secara tegas syarat poligami diatur pada pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terdapat dasar pemberian izin poligami dan alasan-alasan yang menjadi syarat dan dasar seseorang yang berhak melakukan poligami (Imron, 2015). Begitu juga dengan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pengadilan Agama memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1.    istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

Alasan ini memang bisa dibenarkan sebab salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi hak-hak pasangannya, maka dengan ketidakmampuan istri melayani suaminya dapat dikategorikan dalam istri yang tidak mampu menjalankan kewajiban sebagai istri, ini berarti hak-hak suami dalam rumah tangga tidak dapat terpenuhi.

2.    istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Alasan ini adalah semata-mata berdasarkan alasan kemanusiaan sebab bagi suami tentu saja akan selalu menderita lahir dan batin selama hidupnya apabila hidup Bersama dengan istri pada kondisi yang demikian. Oleh karena itu poligami dianggap solusi yang tepat daripada menceraikan istrinya yang sedang dalam penderitaan dan membutuhkan pertolongan dan perlindungan dari seorang suami.

3.    istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Alasan ini adalah alasan yang wajar, sebab memperoleh keturunan adalah salah satu tujuan dari perkawinan itu sendiri. Meskipun didalam Undang-Undang tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa ketidakmampuan istri melayani hubungan biologis yang hypersex bisa dijadikan sebagai alasan izin poligami, namun hakim berpendapat istri tidak mampu melakukan hubungan biologis dapat dianalogikan sebagai istri tidak mampu menjalankan kewajiban sebagai istri.

Terkait dengan pandangan fikih tentang suami yang akan berpoligami tanpa izin istri, maka sebagaimana yang telah dijelaskan pada uraian diatas bahwa, dalam fikih poligami tanpa izin istri diperbolehkan. Tidak ada persyaratan harus mendapat izin dari istri jika hendak menikah lagi. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur�an surat An-Nisa� ayat 3. Atas dasar utama dalil ini disebutkan bahwa syarat dalam berpoligami adalah sifat adil terhadap para istrinya. Apabila sifat adil ini tidak diterapkan oleh suami terhadap para istrinya maka tidak boleh bagi suami untuk berpoligami. gambaran bagi suami yang tidak berlaku adil terhadap para istrinya telah disebutkan dalam sabda Rasulullah bahwa nanti pada hari kiamat tubuhnya akan miring. Disamping itu yang harus diperhatikan adalah poligami dibatasi hanya sampai empat orang saja. Kecuali pengkhususan untuk Nabi Muhammad yang mempunyai istri lebih dari empat orang.

Begitu juga dengan fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daimah terkait dengan poligami tanpa izin istri bahwa bukanlah suatu kewajiban bagi suami apabila ingin menikah lagi untuk meminta ridha istrinya yang pertama. Namun diantara kemuliaan akhlak dan muamalah rumah tangga yang baik adalah suami harus menghibur istrinya dan meringankan kesedihan akibat poligami karena ini merupakan tabiat wanita pasca poligami. Hal tersebut bisa dengan bermanis muka, bergaul dengan baik, perkataan yang indah dan memberikan harta yang membuatnya ridha.

Begitu pula dengan fatwa yang telah disampaikan oleh syaikh Al-Utsaimin Ketika ditanya apakah seorang suami ketika ingin menikah lagi disyaratkan untuk meminta izin kepada istrinya dan bagaimana hukumnya apabila sang istri tidak mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi? Lalu beliau menjawab saya yakin apabila suami meminta izin kepada istrinya maka dia akan menolak untuk mengizinkan untuk menikah lagi. Tetapi tidak disyaratkan bahwa jika akan menikah lagi harus mendapat izin dari istrinya. Bahkan Ketika sang istri mengetahui bahwa suami akan menikah dan menolaknya, pernikahan poligaminya akan tetap sah. Kemudian beliau ditanya lagi apabila pernikahan poligaminya disembunyikan apakah boleh? Lalu beliau menjawab tidak masalah dengan perkara tersebut (Islamqa, 2023).

 

Kesimpulan

Konsep poligami yang diizinkan dalam islam yaitu konsep poligini, yaitu seorang laki-laki yang menikah dengan para wanita dalam satu waktu yang bersamaan atau berdekatan. Namun yang perlu diperhoatikan, untuk menjalankan praktik poligami seorang laki-laki harus memperhatikan beberapa ketentuan yang telah ditetapkan yaitu: mampu memberi nafkah lahir dan batin, jumlah istri maksimal empat orang dalam satu waktu, mampu berlaku adil, dan tidak menggabungkan dua wanita yang berdekatan nasabnya.

Ketentuan pasal 279 KUHP dalam perkara suami yang berpoligami tanpa izin istri bahwa seseorang: a) mendapat hukuman 5 tahun ketika mengadakan perkawinan mengetahui adanya penghalang yang sah. b) mendapat ancaman maksimal 7 tahun ketika pelaku melakukan perkawinan dan menyembunyikan penghalang yang sah. unsur-unsur yang terdapat pada pasal tersebut mengadakan perkawinan, mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada, mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain, adanya penghalang yang sah.

Tinjauan Fikih Islam terhadap suami yang berpoligami tanpa izin istri pada pasal 279 KUHP bahwa diperbolehkan bagi suami untuk menikah lagi tanpa izin istri. Dengan syarat berlaku adil terhadap para istrinya sesuai yang disebutkan dalam Firman Allah surat An-Nisa� ayat 3.

BIBLIOGRAFI

 

Abdurrahman. (1990). Aisyah Ibunda para Nabi. Solo: Pustaka Mantq.

 

Ali, H. Z. (2022). Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Sinar Grafika.

 

Arloka. (n.d.). Undang-Undang Perkawinan di Indonesia Dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (p. 196).

 

Atabik, A., & Mudhiiah, K. (2016). Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 5(2), 1�31. https://doi.org/10.21043/yudisia.v5i2.703.

 

Cahyani, A. I. (2018). Poligami dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam, 5(2), 271�280.

 

Fathony, A. (2014). Perilaku poligami Kiai Masyurat: Studi model mu�asyarah poligami Kiai Masyurat dalam membina keluarga sakinah. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

 

Ichsan, M. (2018). Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam (Kajian Tafsir Muqaranah). JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 17(2), 151�159. https://doi.org/10.31958/juris.v17i2.1196.

 

Imron, A. (2015). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. I. Semarang: Karya Abadi Jaya.

 

Islamqa. (2023). Pernikahan Kedua Tidak Memerlukan Izin dari Yang Pertama. https://islamqa.info/ar/answers/.

 

Jones, J., & Philips, A. A. B. (1996). Monogami dan Poligini Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

 

Moeljatno, S. H. (2021). KUHP (Kitab undang-undang hukum pidana). Jakarta: Bumi Aksara.

 

Muthiah, A. (2016). Dinamika Seputar Hukum Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

 

Partanto, P. A., & Al Barry, M. D. (1994). Kamus Ilmiah Populer (Vol. 37). Surabaya: Arkola.

 

Sari, N. I. (2021). Perlindungan Hukum terhadap Istri Kedua yang di Poligami tanpa Izin Istri Pertama. Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum), 7(2), 28�41..

 

Wibisana, W. (2016). Pernikahan dalam islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta�lim, 14(2), 185�193.

 

Zeitzen, M. K. (2020). Polygamy: A cross-cultural analysis. Routledge.

 

Copyright holder:

Nadia Azkya, Muhammad Yogi Galih Permana (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: