�������������������������� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541 0849

��������������������������� e-ISSN : 2548-1398

��������������������������� Vol. 2, No 5 Mei 2017

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK DAN BERBICARA ANAK USIA DINI MELALUI MODEL DIALOGIC READING

 

Intan Permanik

Universitas Pendidikan Indonesia

[email protected]

 

Abstrak:

Kemampuan berbicara dan menyimak adalah kemampuan alamiah yang dapat dimiliki oleh siapa pun, termasuk anak-anak. Namun anak-anak bukanlah individu dengan kemampuan berbicara yang cukup baik. Kendati dapat berkembang dengan sendirinya, kemampuan berbicara pada anak �khususnya anak usia dini� memerlukan rangsangan khusus sehingga dapat berkembang dengan baik. Model pembelajaran dialogic reading adalah salah satu alternatif atau rangsangan yang dapat digunakan. Metode pembelajaran ini memiliki orientasi pada rangsangan kemampuan berbicara dan menyimak. Pada pelaksanaannya orang tua model pembelajaran ini dilakukan dengan cara membacakan sebuah cerita atau dongeng lalu mengajukan pertanyaan mengenai dongeng atau cerita tersebut. Jawaban anak yang tepat akan dianggap baik. Kegiatan tersebut terus dilakukan hingga didapat kemampuan yang dinilai ideal. Penelitian ini memiliki orientasi untuk mengukur seberapa tinggii keterkaitan dan pengaruh yang diberikan dialogic reading terhadap kemampuan berbicara dan menyimak anak usia dini. Setelah diteleti menggunakan metode penelitian tindakan yang diadakan pada TKIT Anak Bintang 3, diketahui bahwa model pembelajaran dialogic reading memiliki pengaruh yang relatif tinggi terhadap kemampuan berbicara dan menyimak anak.

 

Kata Kunci: Dialogic reading, kemampuan menyimak dan berbicara

 

Pendahuluan

 

Proses berbicara adalah kegiatan dimana seorang komunikator menyampai informasi pada komunikan melalui lisan dan/atau secara langsung diucapkan melalui mulut. Secara umum berbicara adalah kegiatan yang dapat dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh anak usia dini. Namun demikian, anak usia dini yang notabene masih belajar berbagai hal belum dapat berbicara sebagaimana kegiatan bicara yang dilakukan oleh orang dewasa. Kemampuan berbicara sendiri merupakan kemampuan yang unik, yang setiap orang memiliki kemampuan berbicara yang khas dan sulit untuk ditiru satu sama lain.

Keunikan berbicara mumnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, genetik, dan peluang untuk melakukan komunikasi. Selaras dengan hal tersebut Santrock (2007) mengungkapkan bahwa berbicara dapat dilakukan melalui kegiatan menyimak percakapan yang dilakukan oleh orang dewasa. Percakapan merupakan kegiatan yang melibatkan dua kemampuan bericara secara langsung. Adapun kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan reseptif dan kemampuan produktif (Moeslichatoen: 2004). Reseptif merupakan unsur percakapan yang melibatkan kemampuan menyimak dan mendengarkan. Unsur ini umumnya dimiliki oleh pendengar. Lain halnya dengan reseptif. Kemampuan berbicara merupakan kemampuan yang lebih dominan. Dimana kemampuan ini adalah kemampuan yang menuntut seorang untuk cakap berbicara, menyampaikan informasi, serta memberi pandangan pada komunikan.

Anak usia dini merupakan kelompok individu yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kelompok ini umumnya memiliki kemampuan berbicara dan menyimak yang rendah. Monotonnya metode yang digunakan pembelajaran membuat kelompok anak usia dini cenderung kesulitan untuk berlatih berbicara. Pemanfaatan metode pembelajaran yang relatif monoton memang menjadi sebab musabab anak usia dini tidak dapat memiliki kemampuan menyimak dan berbicara yang baik.

Kemampuan menyimak dan berbicara merupakan kemampuan alamiah yang dapat muncul dengan sendirinya. Namun demikian, kendati kedua kemampuan tersebut merupakan kemampuan alamiah, namun keduanya harus dipelajari untuk kebutuhan anak usia dini (Hermawan: 2012). Rangsangan adalah salah satu cara tepat untuk meningkatkan kemampuan menyimak dan berbicara. Sedangkan model pembelajaran adalah pola rangsangan yang digunakan oleh banyak pendidik anak usia dini di Indonesia.

Model pembelajaran yang digunakan untuk rangsangan kemampuan berbicara dan menyimak pada dasarnya memiliki jumlah yang relatif banyak. Namun demikian, dari sekian banyak model yang ada, model dialogic reading adalah model yang dinilai tepat untuk merangsang dan melatif kemampuan anak dalam hal berbicara dan menyimak.

Dialogic reading adalah model pendekatan inovatif yang dapat dilakukan untuk melatih dan/atau mengembangkan kemampuan berbicara dan menyimak anak usia dini. Di samping digolongkan ke dalam pendekatan inovatif, pendekatan pembelajaran dialogic reading adalah pendekatan pembelajaran yang dinilai lebih efektif, sistematis, logis, dan rasional. Dalam proses penerapannya model pembelajaran ini mengedapnkan konsep PEER (Hoffman, O�Neil-Pirozzi dan Cutting, 2006, hlm.72). PEER sendiri merupakan singkatan dari Prompt, Evaluate, Expand, dan Repeat. Prompt merupakan inisiasi yang dilakukan orang dewasa untuk bertanya mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan dongeng, mulai dari mengenai buku dongeng, cover buku, halaman, cerita, sampai hal lain yang bersinggungan dengan dongan tersebut. Evaluate merupakan kegiatan mengevaluasi. Kegiatan evaluasi disini berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan yang orang dewasa beri pada anak. Guna mengetahui tingkat menyimak anak, orang dewasa umumnya melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan jalannya dongeng seperti siapa tokohnya, dimana kejadiannya, atau pertanyaan lain yang berkaitan dengan dongeng. Expand adalah perkembangan kata atau ide. Jika dalam jawaban anak terdapat kata-kata lain yang dinilai sebagai perkembangan kata, maka kemampuan berbicara dan menyimak anak sudah dinilai baik. Repeat merupakan pengulangan pertanyaan yang sama terhadap anak yang sama. Jika jawaban anak berbeda-beda dan menunjukkan perkembangan kata, hal itu mencirikan bahwa anak sudah memiliki kemampuan berbicara dan menyimak yang berkembang. Namun jika jawaban cenderung sama, artinya kemampuan berbicara dan menyimak anak stagnan di sana.

Menurut Whitehusrt (1988) model pembelajaran dialogic reading adalah model pembelajaran yang sangat efektif. Dalam model ini baik orang dewasa maupun anak melakukan kegiatan tukar menukar informasi secara optimal melalui pertanyaan, jawaban, serta bacaan yang dibaca. Di samping itu Whitehusrt bersama Lonigan (1998) juga menyarankan agar kegiatan dialogic reading baiknya dilakukan paling sedikit 10 hingga 20 menit tiap sesi. Dengan waktu tersebut hasil yang didapat anak akan mencapai angka tertinggi. Lebih lanjut, waktu tersebut juga memungkinkan keduanya untuk melakukan komunikasi secara masiv, sehingga terjalin hubungan emosional yang baik antarkerduanya.

Karya tulis ilmiah ini merupakan pelaporan dari kegiatan obsevasi dan penelitian yang dilakukan peneliti saat penerapan model pembelajaran dialogic reading dilakukan. Melalui karya tulis ini peneliti berhadap dapat menemukan perkembangan kemampuan berbicara dan menyimak anak. Dengan adanya pelaporan atas perkembangan tersebut, karya tulis ini diharapkan menjadi sandaran untuk permasalahan yang serupa.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas sebagai metode yang digunakan. Pada proses penerapannya metode penelitian PTK yang peneliti gunakan berorientasi pada tahapan siklus sebagaimana model Kemmis dan gambar berikut ini:

Gambar 1

Tahapan Penelitian

Sumber: Mc Niff: 2002

Merujuk pada gambar di empat, ada tiga tahapan tindakan yang dilakukan, yakni perencaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Guna melancarkan empat tahapan di atas peneliti menggunakan teknik pengambilan data dalam wujud observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun untuk proses pengambilan data tersebut peneliti menggunakan instrumen pengambilan data berupa format pelaksanaan lapangan dan pertanyaan yang diajukan untuk kegiatan wawancara. Adapun untuk tempat penelitian yang dipilih, peneliti memilih TKIT Anak Bintang.

Untuk validasi data dilalukukan dengan tiga cara, yakni triangulasi,member checking, dan refleksivitas. Analisis data dilakukan peneliti dengan metode pendekatan kualitatif yang memiliki orientasi pada analisis tematik. Proses identifikasi tema untuk penelitian ini dlakukan dengan cara membaca teks cerita secara kontinyu hingga menemukan pola yang tepat untuk dijadikan bahan analisa (Fereday & Muir-Cochrane, 2006, hlm.3). Untuk tahapan analisis peneliti menerapkan dua tahapan yang berbeda, yakni coding dan kategorisasi tema (Saldana: 2010).

Untuk contoh, berikut penulis paparkan tahapan coding dan kategorisasi tema:

Tabel 1

Coding Data

�������������������������������� Data

Kode

Waktu menunjukkan pukul 09.10, bu guru SS akan membacakan cerita tentang Strawberry: Buah Pemutih Gigi. Tema saat ini tentang Kebutuhanku, dengan sub tema Makanan. Prompt dilakukan bu guru SS dengan bertanya: �Siapa yang pernah nyobain strawberry?�, anak-anak pun antusias menjawab sambil mengacungkan tangan, �Aku...Aku...�,Bagaimana rasanya strawberry?�, tanya bu guru. Ada yang jawab Manis, manis, dan ada yang jawab asem.

Bu guru: ada nggak yang pahit?

CR: ada yang asem

Bu guru: ada yang pedes nggak?

�Nggak adaaaa...� jawab anak-anak dengan keras.

-       Prompt dalam model dialogic reading.

Proses PEER.

-       Merespon pertanyaan.

-       Menyimak karakter tokoh.

 

 

Tabel 2

Kategorisasi Data

Tema

Kode yang Muncul

  Kemampuan Menyimak Anak

  Kemampuan menyebutkan tokoh dalam cerita.

  Kemampuan menyebutkan karakter tokoh dalam cerita.

  Kemampuan menyebutkan latar tempat dalam cerita.

  Kemampuan menyebutkan latar waktu dalam cerita.

  Kemampuan Berbicara Anak

  Kemampuan mengucapkan kata dengan jelas.

  Kemampuan merespon pertanyaan yang diberikan.

  Kemampuan berbicara di depan kelas.

  Kemampuan menceritakan kembali isi cerita dalam kalimat yang sederhana.

  Penerapan Dialogic Reading

  Proses Penerapan model Dialogic Reading

  Strategi PEER, CROWD.

  Hambatan yang muncul dalam penerapan Dialogic Reading

  Pengkondisian.

  Durasi waktu yang efektif.

 

 

Hasil dan Pembahasan

����������� Dalam upaya pengumpulan dan penganalisisan data yang telah dilakukan penulis di TKIT Anak Bintang 3, hasil penelitian dijabarkan berdasarkan rumusan pertanyaan penelitian yakni: kemampuan menyimak dan berbicara awal anak usia 4-5 tahun di TKIT Anak Bintang 3 sebelum penerapan model dialogic reading, proses pelaksanaan model dialogic reading, kemampuan menyimak dan berbicara sesudah pelaksanaan model dialogic reading dan hambatan yang dihadapi saat pelaksanaan dialogic reading. Adapun subjek dalam penelitian ini adalah anak usia 4-5 tahun yang berjumlah 9 orang.

1.      Kemampuan anak menyimak dan berbicara sebelum penerapan model dialogic reading terlihat belum optimal terbukti dari catatan lapangan yakni anak tidak menjawab pertanyaan guru dengan tepat terkait dengan cerita yang sudah dibacakan. Selain itu dalam kemampuan berbicara, anak belum berani tampil ke depan ketika namanya dipanggil, anak juga terlihat malu-malu dan terbatas merespon pertanyaan guru dengan hanya satu atau dua kata saja.

Dari kondisi ini terekam bahwa kemampuan menyimak yang ada pada diri anak kelompok A (usia 4-5 tahun) ini baru sebatas mendengarkan cerita tetapi belum bisa memaknai cerita yang sudah didengarnya. Listening atau Menyimak memang melibatkan proses berpikir sebagaimana Tompkins dan Hoskisson (1991) telah ungkapkan. Pendapat Hermawan (2012) pun jelas menyiratkan bahwa unsur kesengajaan, keterbukaan, dan penyeleksian harus dirangsang supaya anak bukan hanya mendengarkan cerita tetapi bisa menyimak, memaknai suatu cerita yang sudah didengarnya.

2.      Penerapan model dialogic reading dilakukan oleh bu guru dengan tanpa kendala, walaupun pelaksanaannya tidak terjadi secara runtut. Hal ini terjadi karena pada pelaksanaan baca cerita bersama ini dilakukan secara alamiah tanpa ada tekanan bahwa harus sesuai dengan singkatan PEER dan CROWD pada strategi dialogic reading yang diberikan para ahli.

Tujuan akhir dari dialogic reading (Hargrave dan Senechal, 2000) dalam penelitian ini masih terbatas pada penceritaan secara lisan lewat bimbingan bu guru sesuai pendapat Santrock (2007), sehingga belum menjadikan anak sebagai pendongeng secara utuh.

Selain itu, sesuai panduan interaksi yang diberikan Otto (2015). Bu guru memediasi dan mengubah teks disesuaikan dengan kebutuhan dan minat anak sehingga anak-anak bisa terus tune in ketika cerita dibacakan. Terkait dengan rentang konsentrasi anak yang terbatas, pendapat Hidayat (Aningsih, 2010) juga terbukti dalam penelitian ini. Anak ternyata memang memiliki rentang konsentrasi yang terbatas, sehingga bu guru sebagai pelaksana model dialogic reading ini terkadang terburu-buru waktu dan melihat kondisi anak yang mulai gaduh atau mengeluh.

3.      Pelaksanaan model dialogic reading dilaksanakan dalam 4 siklus. Pada siklus I ini ada sekitar 4 orang anak yang mampu menyimak dan berbicara dengan cukup baik. Untuk Siklus II ini ada peningkatan dimana anak yang meningkat kemampuan menyimak dan berbicaranya menjadi 6 orang anak. Sementara itu pada siklus III, minat baca mulai muncul terlihat dari kerelaan anak melihat-lihat dan membolak-balikan buku, meminta guru untuk memandu baca sebelum kegiatan belajar dilakukan. Sekitar 7 orang anak sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sementara itu pada siklus IV, hanya RQW saja yang belum menunjukkan peningkatan yang berarti dan penulis melihat bahwa RQW memerlukan bimbingan yang lebih intens dikarenakan karakter RQW yang masih sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Beberapa hal yang muncul setelah penerapan model dialogic reading yaitu: Anak-anak mempunyai kebiasaan baru dengan belajar menyimak ketika anak lain bercerita di depan. Hal ini sesuai dengan Laporan National Institute for Literacy (2009) karena belajar dengan cara ini juga merupakan pembelajaran yang baik, anak belajar menghargai perkataan, ide, pikiran, dan juga gagasan orang lain.

Setelah pelaksanaan beberapa siklus dalam penelitian ini, penulis menemukan bahwa minat anak terhadap membaca dan buku mulai ada (Siantayani, 2011). Hal ini terjadi tepatnya pada siklus III dimana anak sebelum kegiatan berbaris mulai tertarik terhadap rak buku yang ada di ruang tengah sekolah.

Dalam aktifitas story retelling terbukti bahwa anak memang terstimulus untuk bercerita dengan panduan gambar yang ada dalam buku (Windura, 2009). Anak masih acuh terhadap tulisan, tetapi ketika diminta bercerita melalui ilustrasi yang ada, anak mulai berani berbicara walau terjadi dengan bahasa sehari-hari.

Pelaksanaan beberapa siklus dalam penelitian menggunakan model dialogic reading membutuhkan perencanaan penggunaan media yang beragam dan menarik untuk anak. Hamalik dalam Suparno (2010, 41) menyatakan bahwa media pembelajaran sangat berguna dalam mengefektifkan komunikasi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.

4.      Hambatan yang terjadi pada kegiatan baca cerita bersama menggunakan model dialogic reading ini adalah pada pengkondisian dan durasi waktu yang tepat sesuai saran para ahli.Hermawan (2012) menyatakan bahwa hambatan yang terjadi bisa berasal dari faktor internal dan eksternal. Hambatan pada faktor internal terjadi karena anak memiliki minat pribadi yang berbeda-beda.

Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan di atas didapat beberapa kesimpulan seperti berikut:

1.      Kemampuan menyimak dan berbicara anak sebelum penerapan model dialogic reading terbukti belum optimal.

2.      Penerapan model dialogic reading di lapangan terjadi secara alamiah, tidak terjadi secara runut sesuai urutan singkatan strategi PEER dan CROWD.

3.      Pelaksanaan model dialogic reading pada tiap siklus menunjukkan peningkatan yang bertahap terhadap kemampuan menyimak dan berbicara anak.

4.      Hambatan yang terjadi dalam penelitian ini yakni pada pengkondisian dan durasi waktu yang tepat untuk baca cerita bersama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aningsih, S. (2010). Dampak Metode Cerita dengan Media Gambar bagi Peningkatan Kemampuan Menyimak dan Memahami Isi Cerita pada Anak Usia Dini. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana, UPI, Bandung.

Hargrave, A.C. & Se� ne� chal, M. (2000). A Book Reading Intervention with Preschool Children Who Have Limited Vocabularies: The Benefits of Regular Reading and Dialogic Reading. Early Childhood Research Quarterly, 15 (1), hlm. 75�90.

 

Hermawan, H. (2012). Menyimak: Keterampilan Berkomunikasi yang Terabaikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hoffman, O�Neil-Pirozzi & Cutting. (2006). Read together, Talk togetther: The Acceptability of Teaching Parents to Use Dialogic Reading, Strategies via Videotapes Instruction. Psychology in the Schools, 43 (1), hlm. 71-78

 

Lonigan, C. J. dan Whitehurst, G. J. (1998). Relative Efficacy of Parent and Teacher Involvement in a Shared Reading Intervention for Preschool Children from Low-income Backgrounds. Early Childhood Research Quarterly, 13 (2), hlm. 263-290.aEe

 

Mc.Niff, J. Dan Whitehead, J. (2002). Action Research: Principles and Practice. New York: Routledge Falmer.

Moeslichatoen, R. (2004). Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: PT. Rineka Cipta dan Depdikbud.

National Institute for Literacy Report. (2009). Learning to Talk and Listen: An Oral Language Resource for Early Childhood Caregiver. (Booklet). Diakses dari www.nifl.org

Otto, B. (2015). Perkembangan Bahasa pada Anak Usia Dini (Edisi Ketiga). Jakarta: Kencana.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

Siantayani, Y. (2011). Persiapan Membaca Bagi Balita: Panduan Guru dan Orangtua dalam Mempersiapkan Balita Membaca. Yogyakarta: Kriztea Publisher.

 

Suparno. (2010). Peningkatan Keterampilan Menyimak dan Menulis melalui Sistem Pembelajaran Modul dan Media Audio Visual dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana, UPI, Bandung.

Tompkins, G.E. dan Hoskisson, K. (1991). Language Arts: Content and Teaching Strategies. New York: Macmillan Publishing Company.

 

Windura, S. (2009). Memory Champion: Rahasia Melejitkan Daya Ingat Super. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

 

Whitehurst, G.J. (1988) dalam Tsybina, I. dan Brophy, A. (2010). Bilingual Dialogic Reading Interventions for Preschoolers with Slow Expressive Vocabulary Development. Journal of Communication Disorders 43, hlm. 538-556.