Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 1, Januari 2023

 

KAJIAN HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN KEBIJAKAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PASCA TERBITNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAH DAERAH

 

Paramudya Wiratama

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Kajian ini didasari atas ditetapkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Terbitnya UU ini membawa perubahan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah, termasuk diantaranya adalah terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan Informatika. Dalam kajian ini akan di analisis hubungan pemerintahan pusat dan daerah dalam penyelenggaraan kebijakan komunikasi dan informatika pasca ditetapkannya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Kajian dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif. Hasil kajian memperlihatkan pasca ditetapkannya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah terjadinya perubahan dalam rumpun dan pembagian urusan komunikasi dan informatika di daerah. Perubahan terhadap rumpun urusan komunikasi dan informatika berkonsekuensi terhadap perubahan nomenklatur kelembagaan perangkat daerah yang menangani urusan komunikasi dan informatika. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang komunikasi dan informatika Pemda wajib berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Kementerian Kominfo.

 

Kata Kunci: kebijakan; komunikasi; informatika; UU 23 tahun 2014

 

Abstract

This study is based on the stipulation of Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government. The issuance of this Law brought changes to the implementation of government affairs in the regions, including the implementation of government affairs in the field of communication and informatics. This study will analyze the relationship between the Central and Regional governments in the implementation of communication and informatics policies after the enactment of Law no. 23 of 2014 concerning Regional Government. The study was conducted using a normative juridical approach. The results of the study show that after the enactment of Law no. 23 of 2014 concerning Regional Government there has been a change in the clusters and division of communication and informatics affairs in the regions. Changes to the communication and informatics affairs cluster have consequences for changes to the nomenclature of regional apparatus institutions that handle communication and informatics affairs. In carrying out government affairs in the field of communication and informatics, regional governments must be guided by the norms, standards, procedures and criteria (NSPK) established by the Ministry of Communication and Informatics.

 

Keywords: policy; communication; informatics; Law 23 of 2014

 

Pendahuluan

Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika adalah konsekuensi logis atas pesatnya perubahan teknologi dan informasi, apabila negara tidak tanggap mengatasi perubahan yang terjadi maka dapat membuka ruang terjadinya kekosongan hukum dalam pengelolaan pemerintahan, atas dasar itulah negara mengambil langkah dengan mengeluarkan berbagai instrumen hukum untuk mengatur urusan komunikasi dan informatika di Indonesia.

Penyelenggaraan kebijakan komunikasi dan informatika di Indonesia tidak terlepas dari hubungan pemerintah pusat dan daerah. Hal ini mengingat sistem pemerintahan Indonesia yang berbentuk negara kesatuan, hubungan pemerintahan pusat dan daerah bukanlah pola hubungan pemerintahan terpisah, melainkan berada dalam satu kesatuan dengan pemerintah pusat sebagai pemegang kendali, apabila terjadi perubahan legislasi secara nasional maka dapat berdampak terhadap kebijakan di daerah, begitu juga dalam penyelenggaraan urusan Kominfo apabila pemerintah pusat menghendaki adanya perubahan kewenangan daerah dalam menjalankan urusan Kominfo maka akan berdampak terhadap pola penyelenggaraan urusan Kominfo di daerah, hal ini sebagaimana konsekuensi logis dari negara yang berbentuk kesatuan.

Konsep negara kesatuan di Indonesia disebutkan dalam Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: �Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.� Pasal ini pada intinya mendudukkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang berada dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.�

Menurut (Asnawi, Simamora, & Andrizal, 2021) terdapat suatu kolaborasi yang unik dalam cara berprinsip kenegaraan di Indonesia, kondisi ini utamanya dapat di lihat pasca lahirnya era reformasi, walaupun di Indonesia negaranya berbentuk Unitary state atau negara kesatuan namun dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia sudah mengadopsi prinsip-prinsip yang terdapat pada federalisme seperti adanya konsep otonomi daerah.

Sehingga di Indonesia walaupun berbentuk negara kesatuan, bukan berarti pemerintah daerah tidak mempunyai kewenangan mengatur urusan pemerintahan sendiri. Dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa �Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan�. Selanjutnya Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 menyebutkan �Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat�.

Terkait otonomi daerah tersebut menurut (Arthanaya, 2011) sebagaimana dikutip oleh (Wicaksono dan Rahman, 2020) menjelaskan bahwa otonomi daerah bukanlah bermakna bahwa daerah memiliki kekuasaan penuh secara mutlak (absolute onafhankelijkesheid) untuk melaksanakan hak dan fungsi otonomi yang dimilikinya, walaupun dalam konseptualnya otonomi daerah menitikberatkan kepada kemandirian daerah dalam mengurus urusannya sendiri secara bebas, namun dalam pelaksananya bukanlah berarti daerah dapat bertindak secara leluasa dengan tidak menimbang adanya kepentingan secara nasional.

Diterbitkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) merupakan bagian dari dinamika legislasi nasional. (Huda dan Heryansyah, 2019) mengungkapkan terhitung semenjak era reformasi telah terjadi beberapa kali perubahan terhadap UU Pemda, sampai yang terbaru terbitnya UU No. 23 tahun 2014, fenomena ini menandakan belum ditemukannya kerangka ideal terkait hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan menurut (Ridwansyah, 2017) pencarian kerangka ideal terhadap pemerintahan daerah secara silih berganti sudah di mulai sejak dideklarasikan kemerdekaan Indonesia yang bermula dari terbitnya UU No.1 tahun 1945 tentang Peraturan Kedudukan Komite Nasional Daerah, hingga yang terakhir terbitnya UU Nomor 23 tahun 2014.

Melihat dinamika pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya terkait pembentukan UU yang mengatur tentang Pemda, maka bukan tidak mungkin akan terjadi lagi perubahan lainnya dalam pengaturan urusan Pemda, setiap adanya perubahan dalam UU Pemda biasanya akan berimplikasi terhadap berubahnya cara kerja atau pengelolaan urusan pemerintahan di daerah atau pun pusat. Menurut (Jimly Asshiddiqie, 2015) dampak yang ditimbulkan dengan berubahnya pengaturan pemerintah daerah dengan ditetapkannya UU No. 23 tahun 2014 pasti akan menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat mendasar kepada kinerja pemerintahan di Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sedangkan menurut (Adhayanto dan Adiputra, 2017) berlakunya UU No. 23 tahun 2014 juga secara tidak langsung berkonsekuensi terhadap regulasi yang sudah ditetapkan di daerah seperti Perda, Perkada atau lainnya.

Melihat kondisi yang terjadi dengan berubahnya pengaturan tentang pemerintah daerah tentu akan berdampak kepada pengelolaan urusan komunikasi dan informatika (Kominfo) di daerah, karena urusan Kominfo selama ini adalah termasuk salah satu urusan yang kewenangannya melibatkan daerah, maka penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam� menyelenggarakan kebijakan komunikasi dan informatika pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian dalam artikel ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pengertian yuridis normatif dijelaskan oleh (Burhan Ashshofa, 2001) dalam (Fitrah, Takariawan, & Muttaqin, 2021) yang pada intinya dapat dipahami, bahwa suatu cara teratur untuk melakukan penelitian dengan upaya melakukan penyesuaian berdasarkan peraturan-peraturan hukum yang ada (hukum positif) dengan ketentuan hukum lainnya dalam perlindungan hukum, kemudian menghubungkan hal tersebut berdasarkan pada kondisi praktik hukum yang terjadi. (Muchtar, 2015, p.82) dengan mengutip (Soerdjono dan Sri (1994); Roni (1994); Amirudin & Zainal (2004); Achmad, 2009) menyebutkan, bahwa �Penelitian Yuridis Normatif adalah Metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka�.

Sedangkan H L A Hart (1981) dalam (Diantha, 2015, p.5) mengungkapkan, bahwa �Obyek penelitian hukum dengan karakter keilmuan yang normatif adalah norma hukum yang tersebar dalam peraturan hukum primer (primary rules) dan peraturan hukum sekunder (secondary rules)�.

Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji secara yuridis normatif persoalan-persoalan menyangkut hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan kebijakan komunikasi dan informatika pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Kedudukan Urusan Komunikasi dan Informatika pasca diterbitkannya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) konsepsi klasifikasi urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut secara mutlak kewenangannya berada di tangan pemerintah pusat, urusan ini tidak di bagi kepada daerah dan secara penuh menjadi kendali pemerintah pusat. Sedangkan dalam pemerintahan konkuren terdapat kolaborasi dan pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah, artinya dalam urusan pemerintahan konkuren terdapat keterlibatan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kewenangan menjalankan urusan pemerintahan. Sedangkan urusan pemerintahan umum merupakan urusan pemerintahan yang otoritasnya berada di tangan Presiden (eksekutif).

Dalam Pasal 9 Ayat (4) UU Pemda dijelaskan bahwa �Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.� Dalam Pasal 1 Ayat (6) UU Pemda dijelaskan �Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia�. Dapat dipahami bahwa dengan adanya urusan yang diserahkan kepada daerah berdasarkan asas otonomi daerah, maka daerah memiliki legitimasi untuk menjalankan urusan tersebut secara mandiri sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang di atur di Indonesia.

Terdapat dua jenis urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah yang di atur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 UU Pemda, yang pertama adalah Urusan Pemerintahan Wajib dan yang kedua adalah Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib berarti sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (14) UU Pemda bahwa urusan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap daerah, dan sedangkan urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (15) UU Pemda adalah urusan wajib, namun tergantung dari potensi daerah untuk melaksanakan urusan tersebut, apabila daerah memiliki potensi untuk mengelolanya tentu akan menjadi wajib untuk dilaksanakan. Urusan Pemerintahan Wajib menurut Pasal 11 Ayat (2) UU Pemda terbagi lagi atas Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar (Pendas) dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar (non-Pendas). Jika merujuk kepada Pasal 12 Ayat (2) huruf j UU Pemda urusan komunikasi dan informatika (Kominfo) termasuk ke dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 9 Ayat (4) UU Pemda, bahwa dasar pelaksanaan otonomi daerah adalah mengacu kepada urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah, oleh karena urusan komunikasi dan informatika adalah urusan yang termasuk ke dalam salah satu urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah, apalagi sifatnya adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar maka tentu secara legitimasi pemerintah daerah memiliki wewenang untuk ikut mengelola urusan Kominfo dan sifatnya pun adalah wajib untuk dilaksanakan oleh semua daerah.

B.     Penyelenggaraan Kebijakan Komunikasi dan Informatika Pusat dan Daerah Pasca diterbitkannya UU Nomor 23/2014.

Di dalam Pasal 16 ayat (1) UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda dijelaskan ada dua hal pokok yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di dalam menyelenggarakan urusan konkuren, yang pertama adalah �menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan� kemudian yang kedua �melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah�.

Pelaksanaan terhadap kewenangan di atas diserahkan kepada kementerian atau lembaga negara non kementerian sebagaimana di atur dalam Pasal 16 Ayat (3) UU Pemda. Institusi negara yang tugas dan fungsinya melaksanakan urusan komunikasi dan informatika adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika, dasarnya adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2015 tentang Kementerian Komunikasi dan Informatika. Mengingat hal tersebut maka Kementerian Kominfo adalah kementerian teknis yang berwenang menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan (Binwas) terhadap penyelenggaraan urusan bidang Kominfo di daerah.

Dalam Pasal 24 Ayat (1) UU Pemda juga diamanatkan kepada kementerian/lembaga untuk melakukan pemetaan terhadap urusan pemerintahan wajib non-Pendas. Tujuan dari pemetaan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 Ayat (3) UU Pemda adalah untuk melihat seberapa besar intensitas urusan pemerintahan wajib non-pendas yang ada di daerah dengan mengacu kepada jumlah penduduk, APBD, dan luas wilayah di daerah. Bagi kementerian Kominfo sendiri tujuan dari pemetaan tersebut adalah untuk melihat seberapa besar intensitas beban kerja urusan Kominfo yang ada di daerah sehingga turut menentukan seberapa besar pula bentuk kelembagaan yang dapat dibentuk daerah dalam menjalankan urusan Kominfo. Hasil dari pemetaan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 Ayat (6) UU Pemda akan menjadi dasar bagi kementerian dan lembaga non-kementerian untuk melaksanakan pembinaan terhadap daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan wajib non-Pendas dan urusan pemerintahan pilihan, sehingga berdasarkan ini akan menjadi dasar juga bagi Kementerian Kominfo untuk membina daerah dalam menjalankan urusan Kominfo.

Dalam melakukan pemetaan tersebut Kementerian Kominfo juga mengacu kepada peraturan pelaksana UU Pemda, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. PP ini merupakan pedoman bagi kementerian/lembaga dalam menetapkan pedoman teknis penyusunan kelembagaan urusan pemerintahan di daerah dan juga pedoman bagi daerah dalam menetapkan kebijakan kelembagaan perangkat daerah. Terbitnya PP ini menyebabkan terjadinya perubahan terhadap nomenklatur kelembagaan di daerah, termasuk dalam hal ini yang mengalami perubahan adalah kelembagaan daerah yang tugasnya melaksanakan urusan Kominfo. Terjadinya perubahan ini dikarenakan terdapatnya pembaharuan terhadap rumpun urusan pemerintahan di daerah, rumpun urusan ini turut mempengaruhi nomenklatur kelembagaan di daerah. Misalnya pada kelembagaan daerah yang menjalankan urusan Kominfo pada ketentuan yang lama, yakni berdasarkan Pasal 22 Ayat (4) huruf d Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah urusan Kominfo masuk dalam rumpun bidang perhubungan dan komunikasi dan informatika, sedangkan pada ketentuan yang baru, yakni Pasal 18 Ayat (4) huruf e dan Pasal 40 Ayat (4) huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah urusan Kominfo dimasukkan ke dalam rumpun komunikasi dan informatika, persandian, statistik, sehingga apabila terdapat suatu urusan dalam satu rumpun tersebut belum memenuhi intensitasnya untuk dikelola dalam bentuk satu perangkat dinas, maka urusan tersebut akan digabung dalam satu dinas sesuai dengan nomenklatur rumpun urusan tersebut.

Sebagai tindak lanjut atas ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UU Pemda dan ditetapkannya PP No. 18/2016 maka terbitlah Peraturan Menteri (PM) Kominfo No. 13/2016 dan Peraturan Menteri (PM) Kominfo No. 14 tahun 2016. PM Kominfo No. 13/2016 adalah ketetapan mengenai hasil pemetaan urusan pemerintah bidang Kominfo sedangkan PM Kominfo Nomor 14/2016 adalah acuan bagi daerah di dalam menyusun nomenklatur kelembagaan perangkat daerah. Sehingga dengan adanya aturan ini pembentukan kelembagaan dan nomenklaturnya di daerah wajib berpedoman kepada dua PM tersebut.

Pasca terbitnya� dua kebijakan yang mengatur tentang penyelenggaraan urusan Kominfo tersebut (terkait hasil pemetaan dan nomenklatur kelembagaan perangkat daerah) bukan berarti� instrumen� pemerintahan terkait penyelenggaraan urusan Kominfo di daerah sudah memadai, pengaturan mengenai bagaimana tata cara penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren bidang Kominfo atau yang dikenal NSPK belum diterbitkan, walaupun PM Kominfo No.14/2016 dalam lampirannya telah menyebutkan tugas dan fungsi masing-masing sub urusan Kominfo berdasarkan bentuk pengelompokan perangkat daerah yang dibentuk, tetapi PM tersebut belum secara lengkap mengatur bagaimana norma, standar, prosedur serta kriteria pelaksaannya. Baru pada tahun 2019 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Konkuren bidang Kominfo atau yang dikenal dengan NSPK diterbitkan, terdapat perbedaan jarak waktu yang cukup jauh antara terbitnya UU No. 23 tahun 2014 dengan terbitnya peraturan Menteri yang merupakan pedoman bagi penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren bidang Kominfo, sehingga dapat dikatakan sejak ditetapkannya UU Pemda pada tahun 2014 hingga ditetapkannya PM Kominfo No. 8/2019 pemerintah daerah tidak memiliki instrumen hukum yang lengkap dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang Kominfo.

C.    Pembagian Urusan Bidang Kominfo dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

Pada lampiran UU Pemda yang baru (UU No. 23 tahun 2014) disebutkan secara rinci pembagian urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Secara garis besar urusan Kominfo yang diberikan kewenangannya ke daerah terbagi atas dua sub urusan, yang pertama sub urusan informasi dan komunikasi publik (IKP) dan yang kedua sub urusan komunikasi dan informatika, hal ini dapat dilihat dalam lampiran huruf P UU Pemda.

Dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 8 tahun 2019 dijelaskan klasifikasi penyelenggaraan urusan Kominfo di daerah terdiri atas:

Sub urusan informasi dan komunikasi Publik (IKP) dalam Pasal 4 Ayat (2):

1.      Perumusan kebijakan teknis bidang informasi dan komunikasi publik;

2.      Monitoring opini dan aspirasi publik;

3.      Monitoring informasi dan penetapan agenda prioritas komunikasi pemerintah daerah;

4.      Pengelolaan konten dan perencanaan media komunikasi publik;

5.      Pengelolaan media komunikasi publik;

6.      Pelayanan informasi publik;

7.      Peyanan hubungan media;

8.      Kemitraan dengan pemangku kepentingan;

9.      Manajemen komunikasi krisis

10.  Penguatan kapasitas sumber daya komunikasi publik; dan

11.  Dukungan administratif, keuangan, dan tata kelola komisi informasi di daerah

�Sub urusan Aplikasi dan informatika (Aptika) dalam Pasal 21 Ayat (2):

1.      Rencana induk dan anggaran pemerintahan berbasis elektronik;

2.      Nama Domain;

3.      Pusat Data;

4.      Sistem Jaringan Intra Pemerintah daerah;

5.      Sistem komunikasi intra Pemerintah Daerah;

6.      Keamanan informasi;

7.      Data dan Informasi Elektronik;

8.      Aplikasi dan proses bisnis pemerintahan berbasis elektronik;

9.      Sistem penghubung layanan pemerintah;

10.  Ekosistem provinsi cerdas dan kota cerdas;

11.  Sumber daya Teknologi Informasi dan komunikasi Pemerintah Daerah; dan

12.  Government Chief Information Officer (GCIO)

Klasifikasi urusan Kominfo di atas di atas merupakan pedoman bagi daerah di dalam menyusun program dan kegiatan urusan Kominfo, melalui klasifikasi ini juga dapat menjadi dasar bagi daerah dalam menyusun rencana anggaran penyelenggaraan urusan Kominfo.

D.    Perbedaan Pembagian Urusan Kominfo sebelum dan sesudah ditetapkannya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda.

Mengamati klasifikasi urusan Kominfo di atas dan jika dibandingkan dengan pembagian urusan Kominfo sebelum ditetapkannya UU Nomor 23 tahun 2014 maka terdapat perbedaan, diantaranya:

1.    Sub urusan Pos dan Telekomunikasi tidak lagi diserahkan ke daerah, sub urusan ini sebelumnya berdasarkan lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota di bagi sebagiannya ke pemerintah daerah, namun setelah terbitnya UU Nomor 23 tahun 2014 pengelolanya dilakukan secara penuh oleh pemerintah pusat.

2.    Urusan Kominfo yang diserahkan kepada daerah hanya urusan yang sebagaimana terlampir dalam UU No. 23 tahun 2014, yakni sub urusan IKP dan sub urusan Aptika.

Dapat dipahami bahwa kewenangan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren bidang Kominfo hanya sebatas apa yang disebutkan dalam lampiran UU No. 23/2014 tentang Pemda. Hal ini menandakan terdapatnya pengurangan kewenangan daerah dalam menyelenggarakan urusan Kominfo di banding sebelum ditetapkannya UU No. 23 tahun 2014.

Jika dilihat penyelenggaraan urusan pemerintahan lainnya, pengurangan wewenang kepada daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan di daerah tidak hanya terjadi pada urusan pemerintahan konkuren bidang Kominfo, hal ini sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh (Setiawan, 2018) yang mengungkapkan terdapatnya pengurangan kekuasaan pemerintah daerah kab/kota dalam hal Pemberian Izin dan Pengawasan pemanfaatan energi dan Sumber Daya Alam akibat dari terbitnya UU Pemda.

E.     Tinjauan terhadap hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Penyelenggaraan Kebijakan Urusan Komunikasi dan Informatika

Mengamati pengaturan kebijakan komunikasi dan informatika antara pusat dan daerah dalam beberapa peraturan di atas, maka dapat diambil poin penting sebagai berikut:

1.    Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika adalah kementerian yang berwenang menetapkan kebijakan atau NSPK bidang Kominfo sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan terhadap urusan pemerintahan konkuren bidang Kominfo yang diserahkan kepada daerah.

2.    Pemerintah daerah dalam membentuk kelembagaan perangkat daerah yang menjalankan urusan Kominfo seperti dalam pembentukan Dinas harus berpedoman kepada kebijakan terkait hasil pemetaan intensitas urusan dan nomenklatur perangkat daerah yang ditetapkan oleh Kementerian Kominfo.

3.    Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang Kominfo seperti pembagian klasifikasi urusan kominfo yang terdiri atas sub urusan informasi dan komunikasi publik (IKP) dan sub urusan aplikasi dan informatika (Aptika) beserta turunannya dan juga mekanisme pelaksananya daerah harus berpedoman kepada NSPK yang ditetapkan oleh Kementerian Kominfo.

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami, bahwa pengaturan kebijakan komunikasi dan informatika secara umum dapat dikatakan lebih mengarah ke sentralistis, dalam artian sangat bergantung kepada pengaturan dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, setiap penyelenggaraan urusan komunikasi dan informatika di daerah harus berdasarkan kepada kebijakan yang di atur oleh Kementerian Kominfo. Pengaturan ini tidak terlepas dari adanya ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) UU Pemda terkait kewajiban pemerintah pusat untuk menerbitkan NSPK dan juga ketentuan Pasal 17 Ayat (2) UU Pemda yang mengatur kewajiban daerah untuk berpedoman kepada NSPK yang ditetapkan oleh Pusat dalam menetapkan kebijakan urusan konkuren yang menjadi kewenangannya, bahkan dalam Pasal 17 Ayat (3) UU Pemda di atur sanksi bagi daerah apabila menetapkan kebijakan urusan pemerintahannya (urusan pemerintahan konkuren) tidak mengacu kepada NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sanksinya berupa pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh daerah tersebut.

Hal ini menurut hemat penulis menandakan daerah tidak dapat secara leluasa menetapkan kebijakan untuk berinovasi dalam menyelenggarakan urusan Kominfo di luar dari apa yang di atur dalam NSPK, jika diamati pengaturan urusan Kominfo yang terdapat PM Kominfo No. 8 tahun 2019 yang merupakan NSPK yang ditetapkan pemerintah pusat, maka klasifikasi urusan Kominfo yang di atur dalam PM tersebut sangat detail, bahkan di setiap sub urusan (yang terdiri atas sub urusan IKP dan Aptika) masih terdapat turunan yang di atur sedetail mungkin, lengkap dengan bagaimana mekanisme pelaksaannya, apabila semua norma yang terdapat dalam PM Kominfo No. 8 tahun 2019 adalah bersifat wajib maka tentu segala perintah yang ada dalam PM tersebut yang termasuk klasifikasi pelaksanaan sub urusan IKP dan Aptika harus dijalankan oleh daerah tanpa diberikan ruang untuk berkreasi sendiri tanpa memedomani NSPK.

Menurut (Heryansyah, 2016) berdasarkan tanggapannya terhadap ketentuan terkait kewajiban daerah menaati NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam UU No. 23 tahun 2014, bahwa dengan adanya ketentuan ini maka artinya sama sekali tidak terdapat penerapan asas otonomi bagi daerah, daerah di ikat berdasarkan kehendak pemerintah pusat. Peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat harus dipedomani oleh Pemda dalam segala tindakannya, sehingga pada dasarnya kebijakan yang diterbitkan oleh daerah merupakan kebijakan dari pemerintah pusat itu sendiri.

Menurut (Said, 2016) prinsip yang di anut dalam UU No. 23 tahun 2014 untuk membagi kewenangan antara pusat dan daerah adalah berdasarkan prinsip otonomi terbatas, UU ini mengadopsi kembali konsep Concurrence Function yang terdapat dalam UU No. 32 tahun 2004, artinya dalam UU ini terdapat pembagian urusan yang secara proporsional dibagikan kepada Pemda (Provinsi/Kab/Kota). Hal ini berbeda dengan UU No. 22 tahun1999 yang mengadopsi konsep Residual Function yang secara riil dalam prinsip ini terdapatnya legitimasi kepada daerah untuk melakukan otonomi yang teramat luas. Pada UU 23 tahun 2014 rumusannya dibuat teramat detail bila dibandingkan dengan UU sebelumnya, adanya pengaturan mengenai kewajiban Pemda untuk memedomani NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan konkuren.

Hal ini menurut hemat penulis tidak terlepas dari konsep negara kesatuan yang di anut di Indonesia namun juga mengadopsi asas otonomi daerah atau desentralisasi, sebagaimana di ungkapkan oleh (Ni�matul Huda, 2010) dalam (Simandjuntak, 2015) salah satu asas yang di anut dalam sistem pemerintahan di Indonesia yakni asas negara kesatuan yang disentralisasikan, di anutnya asas ini menyebabkan terdapatnya tugas-tugas tertentu yang dikelola secara mandiri, konsekuensinya akan terdapat hubungan timbal balik dari dua belah pihak yang memunculkan hubungan kewenangan dan pengawasan, walaupun pada dasarnya dalam bentuk negara kesatuan pemerintah pusat adalah pemegang tanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.

Menurut (Susanto, 2019) umumnya dalam negara yang berbentuk kesatuan usaha pemerintah pusat supaya senantiasa memegang kendali terhadap berbagai urusan pemerintahan amatlah nyata, kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah daerah amatlah terbatas, hal ini karena pemerintah pusat adalah pihak yang memegang kekuasaan pemerintahan. Apabila terdapat pelimpahan kekuasaan kepada kab/kota atau kesatuan pemerintahan lokal maka hal ini pengaturannya bukanlah di dalam konstitusi, namun hanya akan di atur dalam UU yang notabene dibuat oleh lembaga legislatif, dan penyerahan kekuasaan ini pun sewaktu-waktu masih dapat dicabut kembali. Dalam hal ini kedudukan pemerintah pusat berada pada tingkatan tertinggi dan mempunyai kekuasaan mutlak dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Sehingga jika kita lihat di Indonesia saat ini penyerahan kekuasaan kepada daerah secara rinci memang bukan di atur dalam konstitusi UUD 1945, melainkan di atur dalam UU Pemda, UUD 1945 pun sebenarnya bukanlah tidak mengatur sama sekali, tetapi pengaturannya hanya sekedar bersifat memberikan landasan kepada pemerintah daerah dalam mengelola urusan pemerintahan, salah satu pengaturan yang diberikan oleh UUD 1945 terkait kewenangan daerah adalah seperti yang di atur dalam Pasal 18 Ayat (2) terkait kewenangan pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan melalui asas otonomi dan tugas pembantuan. Sebagaimana diketahui UU Pemda telah mengalami pergantian sekian kali, sehingga bukan tidak mungkin sewaktu-waktu dapat diubah atau di cabut kembali berdasarkan dinamika pemerintahan di Indonesia, implikasinya tentu kewenangan daerah untuk mengelola suatu urusan dapat saja mengalami pasang surut, hal ini seperti yang telah terjadi dalam pengelolaan urusan Kominfo, dengan ditetapkannya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemda terdapat pengurangan urusan Kominfo yang diserahkan ke daerah.� Sekali lagi ini menegaskan bahwa kekuasaan daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah pusat.

Kemudian menurut (Wijayanti, 2016) jika melihat pembagian urusan dalam pengaturan UU No. 23 tahun 2014 maka ketentuan yang terdapat dalam UU tersebut masih mengarah kepada konsep desentralisasi. Desentralisasi seperti ini menurut menurut Clarke dan Steward tergolong ke dalam The Agency Model, model yang mana Pemda hanya bertindak sebagai agen pemerintahan yang menjalankan kebijakan pusat, Pemda dalam hal ini tidak memiliki kekuasaan yang cukup berguna, dalam model ini pemerintah pusat memiliki mekanisme kontrol yang dominan dengan membuat berbagai Juknis yang terperinci. Hal ini menurut Wijayanti adalah konsekuensi yang timbul dari bentuk negara kesatuan bahwa pemerintah pusat memiliki kekuasaan untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan.

Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa pemerintah pusat memiliki kontrol yang kuat terhadap jalannya urusan pemerintahan, walaupun adanya asas otonomi daerah namun hal itu tidak serta merta menyebabkan pemerintah daerah dapat secara leluasa menjalankan urusan pemerintahan sendiri tanpa adanya pembinaan dan pengawasan dari pemerintah pusat,� begitu pun pula dalam hal pemerintah daerah menjalankan urusan Kominfo, walaupun urusan Kominfo adalah salah satu urusan pemerintahan konkuren, urusan yang menurut UU diberikan kewenangannya untuk daerah dalam menjalakannya, namun di dalam menjalankan urusan Kominfo Pemda harus tetap mengacu kepada NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika

 

Kesimpulan

Ditetapkannya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemda berimplikasi terhadap perubahan kebijakan dalam penyelenggaraan urusan komunikasi dan informatika di daerah, terutama menyangkut pembagian urusan komunikasi dan informatika dan pembentukan kelembagaan perangkat daerah. Dalam pembagian urusan Kominfo walaupun dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemda urusan Kominfo adalah salah satu urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan kepada daerah, namun bukan berarti semua urusan Kominfo dapat diserahkan kepada daerah, urusan Kominfo yang diserahkan kepada� daerah hanyalah sub urusan Informasi dan Komunikasi Publik dan sub urusan Aplikasi dan Informatika (Aptika), sedangkan sub urusan Pos dan Telekomunikasi yang sebelumnya di bagikan sebagian kepada pemerintah daerah, namun setelah terbitnya UU Nomor 23 tahun 2014 pengelolanya secara penuh dilakukan oleh pemerintah pusat, sehingga daerah tidak berwenang lagi menjalankan sub urusan ini.

Dalam pembentukan kelembagaan di daerah terjadi perubahan dalam rumpun urusan pemerintahan di daerah, perubahan rumpun urusan pemerintahan tersebut dapat berakibat pada berubahnya nomenklatur kelembagaan urusan Kominfo di daerah, pada� ketentuan yang lama berdasarkan PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah urusan Kominfo masuk dalam rumpun perhubungan dan komunikasi dan informatika, sedangkan pada PP yang baru berdasarkan PP Nomor 18 tahun 2016 urusan Kominfo masuk ke dalam rumpun komunikasi dan informatika, persandian, statistik, sehingga apabila terdapat suatu urusan dalam satu rumpun tersebut belum memenuhi intensitasnya untuk dikelola dalam bentuk satu perangkat Dinas, maka urusan tersebut akan digabung dalam satu dinas sesuai dengan nomenklatur rumpun urusan tersebut.

Mengamati hubungan antara pusat dan di daerah dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda, dan juga berdasarkan peraturan teknis lainnya yang dirujuk dalam kajian ini, maka dapat disimpulkan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang komunikasi dan informatika daerah sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah pusat, walaupun daerah memiliki kewenangan untuk mengelola pemerintahannya sendiri berdasarkan asas otonomi daerah namun di dalam menjalankan urusan pemerintahan bidang Kominfo Pemda tetap wajib berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Kementerian Kominfo

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Adhayanto, O., & Adiputra, Y. S. (2017). Dampak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Terhadap Peraturan Daerah di Kabupaten Bintan Tahun 2015 (Studi Peralihan Kewenangan Dibidang Kelautan dan Pertambangan). Jurnal Selat2(2), 296-314. https://ojs.umrah.ac.id/index.php/selat/article/view/93

 

Asshiddiqie, J. (2015). Paradigma Baru Pembangunan Daerah. In Makalah disampaikan

dalam forum yang diselenggarakan oleh Pemda Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. http://jimly.com/makalah/namafile/198/Urusan_Pemerintahan_Daerah.pdf

 

Asnawi, E., Simamora, B., & Andrizal, A. (2021). Otonomi Khusus Terhadap Eksistensi

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Analisis Hukum4(2), 242-263. http://journal.undiknas.ac.id/index.php/JAH/article/view/3047

 

Diantha, I. M. P. (2015). Konsepsi Teoritis Penelitian Hukum Normatif. Fakultas Hukum

Universitas Udayana. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/3b9fb76e1efe7796feb49cfd39326173.pdf

 

Fitrah, F. A., Takariawan, A., & Muttaqin, Z. (2021). Kedudukan Penyidik Pegawai Negeri

Sipil Direktorat Jenderal Pajak dalam Kerangka Penegakan Hukum Pidana Perpajakan di Indonesia. SIGn Jurnal Hukum3(1), 1-25. https://doi.org/10.37276/sjh.v3i1.107

 

Muchtar, H. (2015). Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan Hak

Asasi Manusia. Humanus: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora14(1), 80-91. https://doi.org/10.24036/jh.v14i1.5405

 

Heryansyah, D. (2016). Pergeseran Politik Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia (Studi

terhadap Kedudukan dan Kewenangan Gubernur dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah Pasca Reformasi). (Tesis). Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8690/DESPAN%20HERYA..%20FIX.pdf?sequence=1

 

Huda, N., & Heryansyah, D. (2019). Kompleksitas Otonomi Daerah Dan Gagasan Negara

Federal Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 26(2), 238-258. https://doi.org/10.20885/iustum.vol26.iss2.art2

 

Ridwansyah, M. (2017). Upaya Menemukan Konsep Ideal Hubungan Pusat-Daerah

Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jurnal Konstitusi, 14(4), 838-858. https://doi.org/10.31078/jk1447

 

Said, A. R. A. (2016). Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-Pemerintah daerah dalam

otonomi seluas-luasnya menurut UUD 1945. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum9(4), 577-602. https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v9no4.613

 

Setiawan, R. (2018). Implikasi Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Terhadap

Kewenagan Tata Kelola Pemanfaatan Energi dan Sumber daya Mineral oleh Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jurnal Kajian Pemerintah: Journal Of Government, Social and Politics4(1), 71-86. https://doi.org/10.25299/jkp.2018.vol4(1).2170

 

Simandjuntak, R. (2015). Sistem Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia Perspektif Yuridis Konstitusional. De Jure: Jurnal Hukum dan Syar'iah7(1), 57-67. https://doi.org/10.18860/j-fsh.v7i1.3512

 

Susanto, S. N. H. (2019). Desentralisasi Asimetris dalam Konteks Negara

Kesatuan. Administrative Law and Governance Journal2(4), 631-649. https://doi.org/10.14710/alj.v2i4.631-639

 

Wicaksono, D. A., & Rahman, F. (2020). Penafsiran terhadap Kewenangan Mengatur

Pemerintahan Daerah dalam Melaksanakan Urusan Pemerintahan melalui Pembentukan Peraturan Daerah. Jurnal Negara Hukum11(2), 231-248. https://doi.org/10.22212/jnh.v11i2.1614

 

Wijayanti, S. N. (2016). Hubungan antara pusat dan daerah dalam negara kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Jurnal Media Hukum23(2), 186-199. https://doi.org/10.18196/jmh.2016.0079.186-199

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi

Perangkat Daerah

 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah

 

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2015 tentang Kementerian

Komunikasi dan Informatika

 

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016

tentang Hasil Pemetaan Urusan Pemerintahan Daerah di Bidang Komunikasi dan Informatika

 

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016

tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Bidang Komunikasi dan Informatika

 

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019

tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Konkuren Bidang Komunikasi dan Informatika

 

 

Copyright holder:

Paramudya Wiratama (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: