Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 1, Januari 2023

 

PEMBATALAN PERKAWINAN ORANG DALAM GANGGUAN JIWA �ODGJ� OLEH GARIS KETURUNAN KE ATAS

 

Rania Zalfaa, Mia Hadiati

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Indonesia

Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected]

 

ABSTRAK

Dalam melangsungkan perkawinan terlebih dahulu memahami syarat - syarat yang berlaku pada UU Perkawinan, jika suatu perkawinan dilaksanakan tanpa memenuhi syarat - syarat maka perkawinan tersebut dapat dilakukan pembatalan. tidak hanya memenuhi syarat, pembatalan perkawinan dapat dilaksanakan ketika adanya salah sangka terhadap suami atau istri, meskipun pada prakteknya masih terdapat perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat-syarat yang berlaku, hal ini terjadi pada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 4255/Pdt.G/2019/PA.JS)� dimana telah terjadi perkawinan �Orang Dalam Gangguan Jiwa� (ODGJ). Pembatalan ini dimaksudkan untuk membatalkan atau memutuskan hubungan hukum antara suami dan istri, pembatalan dapat dilakukan oleh para pihak suami atau istri, keluarga dalam garis keturunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pembatalan perkawinan orang dalam gangguan jiwa yang dilakukan oleh salah satu pihak garis keturunan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ini adalah penelitian normatif, dengan pedekatan perundang-undangan. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum. Sedangkan analisis bahan hukum dengan menggunakan teknik analisis kualitatif.

 

Kata Kunci: Pernikahan, ODGJ, pembatalan pernikahan.

 

Abstract

�In carrying out a marriage, first understand the conditions that apply to the Marriage Law, if a marriage is carried out without fulfilling the conditions, then the marriage can be annulled. not only fulfilling the requirements, annulment of marriage can be carried out when there is a misunderstanding of the husband or wife, although in practice there are still marriages that are carried out without fulfilling the applicable requirements, this occurs in the Decision of the South Jakarta Religious Court Number 4255/Pdt.G /2019/PA.JS)� where there has been a marriage of �People with Mental Disorders� (ODGJ). This cancellation is intended to cancel or break the legal relationship between husband and wife, cancellation can be done by the parties of the husband or wife, family in the lineage. This study aims to find out how marriage cancellation of people with mental disorders is carried out by one of the lineage parties. The type of research used in this research is normative research, with a statutory approach. The technique of collecting legal materials is carried out by studying the literature on legal materials. While the analysis of legal materials using qualitative analysis techniques.

 

Keywords: Marriage, ODGJ, marriage annulment.

�������������������� ����������������������������������������������������������������������

Pendahuluan

Ilmu Regulasi Indonesia n. 16 UU RI Tahun 2019 No. 1 Tahun 1974 �Wiyah� (UU Perkawinan) dan Keppres No. dan acuan lain untuk "pernikahan". Berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan, �Perkawinan ialah kekerabatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang pria dan seorang wanita untuk membangun keluarga (rumah) yang bergembira dan abadi menurut iman terhadap Yang Ilahi Tuhan Esa.� Ini. semestinya untuk" Melewati perkawinan, keluarga kedua belah pihak bisa dipersatukan, dan perkawinan bisa menghasilkan ikatan yang kuat antar keluarga. Dikala menjelang pernikahan yang resmi, itu mesti dikerjakan dalam situasi yang berlaku. Peraturan perkawinan dikendalikan dalam Pasal 2 UU Perkawinan yang mengungkapkan bahwa 1) suatu perkawinan yaitu resmi jikalau dikerjakan berdasarkan undang-undang suatu agama atau kepercayaan dan 2) segala perkawinan mesti dicatatkan berdasarkan undang-undang. undang-undang dan undang-undang yang berlaku. Jadi ia membeberkan bahwa pernikahan itu berhubungan dengan keyakinan agama dan undang-undang berhubungan.

UU Perkawinan jelas menyatakan bahwa perkawinan harus atas dasar persetujuan para pihak. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 (1) UU Perkawinan dan Pasal 16 (1) PPI. Perjanjian ini ada ketika suami dan istri membentuk keluarga dengan sepenuh hati dan tulus, berbagi tugas, hak dan tanggung jawab. Persetujuan mempelai pria adalah pernyataan tertulis yang kuat, baik lisan maupun tersirat, dan diam juga bisa menjadi tanda penolakan (Rahmatillah & Khofify, 2017).�

Dalam pernikahan tentunya ada prosedur administrasi yang harus diselesaikan. Dahulu Islam tidak mengenal akad nikah, namun seiring dengan berjalannya waktu status hukum pernikahan secara agama harus dikembangkan (Sapitri, 2019). Tentang pengaturan urusan publik (Tobroni, 2015). Hal ini untuk menghindari tidak sahnya perkawinan berdasarkan pasal 2(2) UU Perkawinan. Demi kepastian hukum, perkawinan itu harus dicatatkan dan dirayakan di hadapan pejabat negara. Tentunya yang akan menikah harus memberi tahu pencatat terlebih dahulu. Ini dapat dilakukan secara lisan oleh individu atau pasangan (Arief, 2017).

Tapi dalam praktiknya, pernikahan yang diakhiri tanpa prasyarat yang memadai terus berlanjut. Hal hal yang demikian terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan no. 4255/Pdt.G/2019/PA.JS). Kendala� (ODGJ). Pembohongan yang dijalankan oleh salah satu pihak dikala perkawinan tak cocok dengan prasyarat-prasyarat atau dasar-dasar perkawinan atau terpaksa. Pasal 38 UU Perkawinan mengungkapkan bahwa �putusnya perkawinan tak terbatas pada hal itu saja, melainkan juga mencakup perceraian, kematian, ketentuan, dan lain-lain.� Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengklarifikasi bagaimana keluarga menolak pernikahan antara penderita demensia.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini mengaplikasikan cara penelitian preskriptif dan deskriptif. Teknik yang digunakan untuk mensintesis informasi hukum dikembangkan melalui kajian literatur yang relevan. Analisis hukum menggunakan teknik analisis kualitatif (Yusuf & Khasanah, 2019). Metode kualitatif deskriptif adalah metode penelitian yang didasarkan pada filosofi post-positivis yang digunakan untuk menganalisis hakikat alam, dimana penelitian terdiri dari pengambilan sampel sumber data dan pengambilan sampel salju, triangulasi pengumpulan (kolaborasi), data Alat analisis utama. Yang menggambarkan hal itu. Selain itu, temuan deskriptif kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi. Metode penelitian menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Studi ini berkaitan dengan perilaku, pikiran, atau perasaan kelompok atau individu. Dalam pendekatan deskriptif, peneliti menghubungkan perilaku yang diteliti dengan variabel lain atau meneliti dan menjelaskan sebab-sebab sistematis, seperti studi naratif yang murni grafis.

Menurut (Prasanti & Prihandini, 2019), metode deskriptif metode penelitian kuantitatif adalah cara mempelajari sifat sekelompok orang, objek, situasi, proses berpikir atau rangkaian peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan secara sistematis, obyektif dan akurat hubungan antara fakta, situasi dan fenomena yang diselidiki. Kasus deskriptif tidak hanya menggambarkan situasi dan fenomena, tetapi juga menggambarkan hubungan, menguji eksperimen, membuat prediksi, dan memperoleh makna dan implikasi untuk masalah yang sedang dipecahkan (Victoria & Hadiati, 2022). Menurut (Prasanti & Prihandini, 2019), jenis penelitian deskriptif ini adalah penelitian yang mencoba menggambarkan keadaan sekarang, realita, realita, realita dan fenomena sekarang. Sistematis, praktis dan tepat dalam hubungan antara fakta, keadaan dan fenomena yang diselidiki (Rosmiati, 2014).

Padahal, transparansi penelitian dan metode penelitian hukum yang transparan dan akurat sangat penting untuk mencapai tujuan penelitian. Hal ini semakin menegaskan pentingnya pemahaman metode penelitian hukum saat melakukan penelitian. Pada dasarnya metode penelitian menggambarkan langkah-langkah sistematis, kegiatan, dan prosedur yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu secara akurat, efisien, dan sistematis, serta berdasarkan prinsip-prinsip yang sistematis. Ini juga digunakan sebagai pedoman atau sebagai jenis jadwal tertentu. Secara umum, pengertian metode penelitian hukum dapat dibagi menjadi empat bidang utama: jenis penelitian, data penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Penelitian hukum formal harus menekankan bagaimana peneliti memperoleh informasi (informasi hukum) dan bagaimana informasi hukum ini membantu peneliti menyelidiki pertanyaan penelitian. Yurisprudensi formal meliputi keterpaduan pertanyaan hukum, hasil penelitian dan pembahasan penelitian, serta penelitian yang didasarkan pada pendekatan teoretis (teori hukum).

 

Hasil dan Pembahasan

A.     Pengertian Perkawinan

Menurut UU Perkawinan, �Perkawinan adalah penyatuan jasmani dan rohani antara seorang pria dan wanita sebagai satu pria dan satu wanita, dengan tujuan membentuk keluarga (keluarga) yang bahagia dan kekal menurut kepercayaan Yang Maha Esa. komunikasi internal; Antara pria dan wanita, antara pria dan wanita. Keyakinan pada kekuasaan (Anam, 2017). Perkawinan berasal dari kata �perkawinan� dalam bahasa Indonesia, dan menurut bahasa berarti membentuk keluarga lawan jenis, pengasuhan seksual atau hubungan seksual (Hidayatulloh & Janah, 2020). Perkawinan yang juga dikenal dengan sebutan 'Vayah' berasal dari kata kawin yang dalam bahasa berarti bergabung, masuk dan bersanggama (vathi). Pernikahan linguistik bergabung, masuk dan bergabung (Muhammad, 1995). Dalam glosarium, nikah berarti nikah atau zawaji dalam bahasa arab. Al-wiyah berarti al-was, al-donam, al-tadakr, al-jam atau kurang lebih seperti �al-was wa al-aqad� yang artinya persetubuhan, kelamin, golongan, persetubuhan, artinya akad. Perkawinan (viyah) diartikan sebagai akad yang memperbolehkan kumpul kebo (kohabitasi) dengan seorang wanita, kecuali dilarang oleh waris, menyusui, dsb (Azhary, 2003). Menurut hemat penulis, pengertian ini terlalu rumit, karena perkawinan/perkawinan hanya diartikan sebagai persetujuan untuk melakukan hubungan seksual yang sah antara dua anggota lawan jenis, dan secara khusus dilarang. untuk menghindari dosa perzinahan atau untuk melegalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Definisi ini sangat minim, mengangkat makna pernikahan di luar sekadar sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis. Dengan menghilangkan citra sosial tentang makna pernikahan dan menjadikan pernikahan sebagai keadaan wanprestasi, para sarjana modern telah mencoba untuk memperjelas dan memperluas makna pernikahan, dengan memberikan gambaran yang jelas dalam definisi-definisi berikut ini persekutuan laki-laki dan perempuan untuk membatasi hak dan kewajibannya dengan saling tolong-menolong bukanlah mahram.

Dalam pengertian terakhir ini, jelaslah bahwa hakikat perkawinan tidak terbatas pada biologi, tetapi bertanggung jawab untuk menciptakan ikatan yang harmonis dan penuh kasih menuju tujuan bersama. Artinya membangun kehidupan keluarga yang bermanfaat bagi perkawinan, keturunan, kekeluargaan dan masyarakat. Dengan demikian, pernikahan tidak hanya mementingkan kebutuhan internal, tetapi juga hubungan eksternal dengan banyak orang. Ibarat ikatan yang kuat (mitsakan gholizan), perkawinan tidak hanya harus disalurkan sesuai kebutuhan biologis, tetapi juga harus menghasilkan kemaslahatan yang kuat. Menurut penulis, definisi pernikahan didefinisikan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan 1974. Definisi tersebut berbunyi: Kita membangun keluarga yang bahagia, sehat dan kekal berdasarkan iman dalam kesatuan dengan Tuhan. Sedangkan Fikih Islam, Bab 2, Pasal 2 lebih lanjut menyatakan: �Perkawinan menurut hukum Islam adalah shadi, yang berarti kontrak yang sangat ketat atau Mitsakan Ghalizan yang menaati perintah Allah dan apa yang dia lakukan.

B.     Pengertian Perkawinan menurut KHI

Pernikahan tersebut sesuai dengan syariat Islam, yaitu perjanjian Mitzhakhan Garijan yang sangat kuat untuk taat dan beribadah kepada Allah. Perkawinan resmi jikalau dijalankan berdasarkan regulasi Islam berdasarkan Pasal 2. Perkawinan 2.1 1974. Perkawinan dalam masyarakat Islam mensyaratkan pencatatan seluruh perkawinan. 1946 UU No. Kecuali 22. 22 Tahun 1946, UU No. 32, 1954. Menurut sebagian ulama Hanafi, perkawinan adalah akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang secara sadar mengarah pada pemilikan (niat) kebahagiaan, terutama untuk menikmati kesenangan-kesenangan alam. Juga, menurut sebagian mazhab Maliki, perkawinan adalah ungkapan atau nama dari suatu akad yang diadakan hanya untuk kesenangan (seksual). Menurut mazhab Syafiyah, perkawinan didefinisikan sebagai "akad yang memberikan kepemilikan seksual dengan menggunakan istilah tekstual (diucapkan) 'Inqah' atau 'Tazwij', atau turunan dari keduanya", ulama Hanbilah.

C.    Sejarah Perkawinan di Indonesia

Dari tahun 1920 hingga 1970, kehidupan masyarakat banyak berubah. Buku-buku sejarah Indonesia menyebut masa ini sebagai masa peralihan. Itu dimulai dengan berakhirnya pemerintahan kolonial, munculnya pendudukan Jepang, dan awal kemerdekaan. Periode ini juga merupakan periode kritis ketika perubahan tersebut terjadi di semua bidang kehidupan. Berakhirnya pemerintahan kolonial memberi Hindia Belanda basis pendidikan yang sangat kuat. Pendidikan kemudian menjadi tumpuan para pemikir dan akademisi awal, yang melahirkan gagasan-gagasan baru dalam membangun jati diri Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk periode pendudukan Jepang. Bahkan, pendudukan yang tidak berlangsung lama memberi jalan bagi perkembangan gerakan sosial politik, masa munculnya identitas bersama yang disebut Indonesia merdeka. Pada saat yang sama, masa transisi penting bagi perempuan, karena pendidikan perempuan yang dimulai pada awal 1920-an mulai membuahkan hasil. Wanita mulai berpikir sendiri, yang mulai terlihat dalam esai.

D.    Tujuan Perkawinan

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan utama perkawinan adalah kelangsungan hidup umat manusia dan pemeliharaan kehormatan dan kemurnian silsilah keluarga. Sebaliknya, keberadaan manusia hanya dimungkinkan jika ada prokreasi. Keluarga adalah lembaga yang aman dan damai, tempat berlindung bagi perempuan, anak, ibu dan ayah, tempat istirahat setelah seharian bekerja keras. Ini juga merupakan tempat di mana Anda dapat menemukan kedamaian setelah stres. Di rumah yang bahagia dan nyaman, penat hidup pun sirna. Peristiwa tragis menemukan sentuhan lembut di rumah Muslim, sumber kedamaian dan kemurnian, tempat di mana Anda dapat memenuhi janji dan memberikan cinta (Al-Jauhari et al., 2006).

Kebahagiaan dan umur panjang di rumah tidak otomatis, itu adalah hasil dari usaha dan tidak selalu mudah. Ada tiga jenis kebutuhan manusia yang harus dipenuhi (Soemiyati, 1982):

1.      Kebutuhan biologis dasar, mis. makanan, minuman, seks.

2.      Kebutuhan sosial dan budaya yaitu. interaksi sosial, budaya, pendidikan.

3.      Kebutuhan spiritual atau religius, yaitu: religi, moralitas, falsafah hidup.

Ketiga kebutuhan tersebut saling bergantung dan saling mempengaruhi. Ketiga syarat tersebut harus dipenuhi untuk menjalani kehidupan yang bahagia, aman dan damai. Di antara sekian banyak kebutuhan manusia, kebutuhan akan kepuasan seksual adalah yang paling nyata dan penting. Bagaimanapun, orientasi seksual adalah dasar dan ukuran kesejahteraan manusia.

Perkawinan adalah hal terkuat, atau tembok terkuat, yang menjaga umat manusia agar tidak jatuh ke dalam lembah dosa dan kegelapan rasa malu. Allah menjadikan pernikahan sebagai anugerah bagi keturunannya, rahmat dan perlindungan dari godaan setan yang mengutuk mereka1 (At-Tihami, 2006).

E.     Syarat � syarat Perkawinan

Pernikahan memiliki banyak bentuk dan pilar yang perlu didukung. Kedua mempelai harus memahami hal ini dengan baik sebelum menikah. Pasal 6 sampai 8 UU Perkawinan membatasi prasyarat-prasyarat yang sepatutnya dipenuhi pada akhir perkawinan.

1.      "Perkawinan harus berdasarkan kesepakatan bersama.

2.      Calon berusia dibawah 21 tahun semestinya mendapatkan persetujuan orang tuanya untuk menikah.

3.      Perkawinan diperbolehkan hanya jika laki-laki berumur lebih dari sembilan belas (16) dan perempuan lebih dari enam belas (16).

4.      Tetapi, bagus pria ataupun wanita bisa minta pengecualian dari pengadilan atau otoritas lain yang ditunjuk oleh orang tua mereka.

5.      Tidak lurus ke bawah maupun lurus

6.      Bebas dari hubungan suami istri dan tidak mampu menikah lagi

Mereka yang berniat menikah di tempat harus memberi tahu Departemen Urusan Sipil tentang pernikahan tersebut. Selain itu, calon pasangan atau orang tuanya atau kuasa hukumnya harus menunjuk tempat perkawinan, jika syarat-syaratnya terpenuhi. selesai, bila perkawinan itu tidak diakui, maka akta perkawinan itu dilampirkan dengan cara yang ditentukan oleh dinas perkawinan.

F.     Pembatalan Perkawinan

Berdasarkan UU Perkawinan, ketidakabsahan suatu perkawinan berarti cuma pengadilan yang bisa mengukuhkan perkawinan hal yang demikian. Berdasarkan KHI, perkawinan bisa dibatalkan sekiranya para pihak tak memenuhi prasyarat-prasyarat untuk melangsungkan perkawinan. Secara aturan. Pasal 22 Bab 4, tahun 1974, bahwa perkawinan bisa dibatalkan sekiranya para pihak tak memenuhi prasyarat-prasyarat untuk melangsungkan perkawinan; Sebagaimana diceritakan di atas, prasyarat-prasyarat putusnya perkawinan dalam Bab 2, Tata 6, Komponen 5 merupakan sebagai berikut:

1.      Perkawinan didasari persetujuan bersama para pihak yang melangsungkan perkawinan.

2.      Perkawinan di bawah usia dua puluh satu (20) tahun memerlukan persetujuan orang tua.

3.      Jika orang tua sedang pergi atau.

4.      Di negara-negara yang tidak memungkinkan untuk menyatakan persetujuan, persetujuan yang diceritakan dalam ayat ini pantas untuk didapatkan dari kedua orang tua yang masih hidup atau yang bisa mengucapkan persetujuannya.

5.      Jika orang tua tidak dapat memberikan izin, maka wali, wali dan kerabat harus meminta izin kepada anggota keluarga yang masih hidup. Dengan cara yang mengekspresikan keinginan Anda.

G.    Alasan � alasan Pembatalan Perkawinan

Pembahasan pembatalan perkawinan Pasal n. Pada tanggal 1 Januari 1974, seputar perkawinan Pasal 22, dan ditegaskan bahwa �jikalau para pihak tak memenuhi prasyarat-prasyarat perkawinan, perkawinan bisa dibatalkan�, namun tata tertib Islam dalam Himpunan ditentukan dengan hukum 70-76 (Fiqram, 2020).

Pasal 1 UU 1974 mengendalikan batalnya perkawinan bila salah satu atau kedua belah pihak hadir dan atas dasar adanya perkawinan. Kecuali itu, Pasal 71, Pasal 20 KUH Perdata menyuarakan: �Dengan tak adanya wali, atau kalau seorang wali yang tak memiliki hak menikah, melangsungkan perkawinan, karenanya perkawinan itu batal.� Dapat pergi. Apa wali nikahnya.?� Begitulah. �Pasal 23 KHI menegaskan bahwa hakim akan berperilaku sebagai wali nikah cuma bila wali keturunannya tak ada atau berhalangan hadir, atau bila ditempatnya tak dikenal daerah tinggalnya atau tak diketahuinya atau tersembunyi atau tak dikehendakinya, karenanya diajukanlah permohonan pembatalan. Pengadilan di negara daerah perkawinan itu dilangsungkan atau daerah kedudukan suami 1322 /Pdt.G/2012/PA Plg. 17 Tahun 2013 dengan mengaplikasikan data palsu Pernikahan dijalankan �dengan petugas tak sah�.

H.    Pembatalan Perkawinan �Orang Dalam Gangguan Jiwa� (ODGJ)

Salah satu unsur terpenting dalam pernikahan adalah keadaan pikiran, kehadiran pikiran yang memberikan pertumbuhan spiritual untuk mencapai tujuan pernikahan. Orang gila (terbelakang mental) tidak bisa menikah. Mereka tidak memiliki perjuangan yang kuat untuk hak-hak seksual dan oleh karena itu tidak dapat memperoleh pendidikan atau pelatihan untuk mengamankan pernikahan. Seseorang dengan gangguan jiwa harus memiliki hubungan dengan pasangannya yang tidak tergantung pada kematangan mental, karena syarat hukum Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan mengungkapkan bahwa perkawinan legal apabila legal dan mengandung pelanggaran hak dan keharusan di atasnya.

 

 

 

 

Kesimpulan

Pernikahan tersebut merupakan penyatuan dua keluarga dan diharapkan keluarga Sakina, Mavdha dan Varma akan terjalin melalui pernikahan dan persahabatan akan terjalin melalui pernikahan. Selain itu, lembaga perkawinan mensyaratkan para pihak untuk mematuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum yang berlaku. Selain itu, para pihak atau orang tua atau wakilnya akan memberikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis. Selain itu, jika kondisi yang dinyatakan dihormati dan tidak ada hambatan dalam pernikahan. Ini mencegah pembatalan pernikahan.

Apabila perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ada, maka para pihak dapat mengajukan pembatalan. Pemutusan hubungan kerja ini merupakan pemutusan atau pemutusan hubungan kerja secara hukum antara suami istri, antara suami istri dan antar keluarga. Perkawinan bisa putus karena hal-hal yang tidak terjadi. Pengadilan dapat memerintahkan pembatalan perkawinan berdasarkan pasal 28 UU Perkawinan. Mulai berlaku sejak hari perkawinan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BIBLIOGRAFI

 

Al-Jauhari, M. M., Khayyal, M. A. H., Wibowo, S. E., Fathiyaturrahmah, & Giyanto, A. (2006). Keluarga Sakinah Ukhti Muslimah. Era Intermedia.

 

Anam, K. (2017). Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan Identitas Suami Dalam Berpoligami. Yustitiabelen, 3(1), 60�88.

 

Arief, H. (2017). Perjanjian Dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum Positif Di Indonesia). Al-Adl: Jurnal Hukum, 9(2), 151�172.

 

At-Tihami, M. (2006). Membina Mahligai Cinta Yang Islami. Cet-1. Jakarta: Bintang Terang.

Azhary, T. (2003). Bunga Rampai Hukum Islam. Ind-Hill-Company.

 

Fiqram, M. (2020). Perspektif Empat Mazhab Pembatalan Perkawinan Akibat Kelainan Fisik Pada Tubuh Pasangan. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

 

Hidayatulloh, H., & Janah, M. (2020). Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dalam Hukum Islam. Jurnal Hukum Keluarga Islam, 5(1), 34�61.

 

Muhammad, A. (1995). Subulussalam, Juz 3. Surabaya: Al-Ikhlas.

 

Prasanti, D., & Prihandini, P. (2019). Fenomena Aksi Menyakiti Diri Bagi Remaja Dalam Media Online Tirto. Id Analisis Teori Konstruksi Sosial Dalam Fenomena Aksi Menyakiti Diri Bagi Remaja Dalam Media Online Tirto. Id. Jurnal Nomosleca, 5(2).

 

Rahmatillah, D., & Khofify, A. N. (2017). Konsep Pembatalan Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Dan Kompilasi Hukum Islam. Hukum Islam, 17(2), 152�171.

 

Rosmiati, A. (2014). Teknik Stimulasi Dalam Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Melalui Lirik Lagu Dolanan. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan, 15(1), 71�82.

 

Sapitri, P. N. (2019). Konsep Kafa�ah Dalam Perkawinan Anggota Tni Di Indonesia Dalam Teori Maslahah Mursalah. Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (Uin) Syarif ï¿½.

 

Soemiyati. (1982). Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1, Tahun 1974, Tentang Perkawinan). Liberty.

 

Tobroni, F. (2015). Hak Anak Sebagai Ahli Waris Dalam Perkawinan Siri. Jurnal Yudisial, 8(1), 85�102.

 

Victoria, A., & Hadiati, M. (2022). Analisis Konsekuensi Hukum Dari Perkawinan Siri Terhadap Perempuan Dan Anak. Jurnal Hukum Adigama, 5(2), 735�757.

 

Yusuf, S. A., & Khasanah, U. (2019). Kajian Literatur Dan Teori Sosial Dalam Penelitian. Metode Penelitian Ekonomi Syariah, 80, 1�23.

 

Copyright holder:

Rania Zalfaa, Mia Hadiati (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: