Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
8, No. 1, Januari
2023
PEMBATALAN
PERKAWINAN ORANG DALAM GANGGUAN JIWA �ODGJ� OLEH GARIS KETURUNAN KE ATAS
Rania
Zalfaa, Mia
Hadiati
Fakultas
Hukum Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran, Indonesia
E-mail:
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Dalam melangsungkan perkawinan terlebih dahulu memahami syarat - syarat
yang berlaku pada UU Perkawinan, jika suatu perkawinan dilaksanakan tanpa
memenuhi syarat - syarat maka perkawinan tersebut dapat dilakukan pembatalan.
tidak hanya memenuhi syarat, pembatalan perkawinan dapat dilaksanakan ketika
adanya salah sangka terhadap suami atau istri, meskipun pada prakteknya masih
terdapat perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat-syarat yang
berlaku, hal ini terjadi pada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
4255/Pdt.G/2019/PA.JS)� dimana telah terjadi perkawinan �Orang Dalam Gangguan
Jiwa� (ODGJ). Pembatalan ini dimaksudkan untuk membatalkan atau memutuskan
hubungan hukum antara suami dan istri, pembatalan dapat dilakukan oleh para
pihak suami atau istri, keluarga dalam garis keturunan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana pembatalan perkawinan orang dalam gangguan
jiwa yang dilakukan oleh salah satu pihak garis keturunan. Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini ini adalah penelitian normatif, dengan
pedekatan perundang-undangan. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan
studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum. Sedangkan analisis bahan hukum dengan
menggunakan teknik analisis kualitatif.
Kata
Kunci:
Pernikahan, ODGJ, pembatalan pernikahan.
Abstract
�In carrying out a marriage, first understand
the conditions that apply to the Marriage Law, if a marriage is carried out
without fulfilling the conditions, then the marriage can be annulled. not only
fulfilling the requirements, annulment of marriage can be carried out when
there is a misunderstanding of the husband or wife, although in practice there
are still marriages that are carried out without fulfilling the applicable
requirements, this occurs in the Decision of the South Jakarta Religious Court
Number 4255/Pdt.G /2019/PA.JS)� where there has been a marriage of �People with
Mental Disorders� (ODGJ). This cancellation is intended to cancel or break the
legal relationship between husband and wife, cancellation can be done by the
parties of the husband or wife, family in the lineage. This study aims to find
out how marriage cancellation of people with mental disorders is carried out by
one of the lineage parties. The type of research used in this research is
normative research, with a statutory approach. The technique of collecting
legal materials is carried out by studying the literature on legal materials.
While the analysis of legal materials using qualitative analysis techniques.
Keywords: Marriage, ODGJ, marriage
annulment.
�������������������� ����������������������������������������������������������������������
Pendahuluan
Ilmu Regulasi Indonesia n. 16 UU RI Tahun 2019 No. 1
Tahun 1974 �Wiyah� (UU Perkawinan) dan Keppres No. dan acuan lain untuk
"pernikahan". Berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan, �Perkawinan ialah
kekerabatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
seorang pria dan seorang wanita untuk membangun keluarga (rumah) yang
bergembira dan abadi menurut iman terhadap Yang Ilahi Tuhan Esa.� Ini.
semestinya untuk"
Melewati
perkawinan, keluarga kedua belah pihak bisa dipersatukan, dan perkawinan bisa menghasilkan
ikatan yang kuat antar keluarga. Dikala menjelang pernikahan yang resmi, itu
mesti dikerjakan dalam situasi yang berlaku. Peraturan perkawinan dikendalikan
dalam Pasal 2 UU Perkawinan yang mengungkapkan bahwa 1) suatu perkawinan yaitu
resmi jikalau dikerjakan berdasarkan undang-undang suatu agama atau kepercayaan
dan 2) segala perkawinan mesti dicatatkan berdasarkan undang-undang.
undang-undang dan undang-undang yang berlaku. Jadi ia membeberkan bahwa
pernikahan itu berhubungan dengan keyakinan agama dan undang-undang
berhubungan.
UU Perkawinan jelas menyatakan bahwa perkawinan harus
atas dasar persetujuan para pihak. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 (1) UU
Perkawinan dan Pasal 16 (1) PPI. Perjanjian ini ada ketika suami dan istri
membentuk keluarga dengan sepenuh hati dan tulus, berbagi tugas, hak dan
tanggung jawab. Persetujuan mempelai pria adalah pernyataan tertulis yang kuat,
baik lisan maupun tersirat, dan diam juga bisa menjadi tanda penolakan (Rahmatillah
& Khofify, 2017).�
Dalam pernikahan tentunya ada prosedur administrasi yang
harus diselesaikan. Dahulu Islam tidak mengenal akad nikah, namun seiring
dengan berjalannya waktu status hukum pernikahan secara agama harus
dikembangkan
(Sapitri,
2019). Tentang
pengaturan urusan publik (Tobroni,
2015). Hal ini untuk menghindari tidak sahnya perkawinan berdasarkan pasal 2(2)
UU Perkawinan. Demi kepastian hukum, perkawinan itu harus dicatatkan dan
dirayakan di hadapan pejabat negara. Tentunya yang akan menikah harus memberi
tahu pencatat terlebih dahulu. Ini dapat dilakukan secara lisan oleh individu
atau pasangan (Arief,
2017).
Tapi
dalam praktiknya, pernikahan yang diakhiri tanpa prasyarat yang memadai terus
berlanjut. Hal hal yang demikian terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
no. 4255/Pdt.G/2019/PA.JS). Kendala� (ODGJ). Pembohongan yang dijalankan oleh
salah satu pihak dikala perkawinan tak cocok dengan prasyarat-prasyarat atau
dasar-dasar perkawinan atau terpaksa. Pasal 38 UU Perkawinan mengungkapkan
bahwa �putusnya perkawinan tak terbatas pada hal itu saja, melainkan juga
mencakup perceraian, kematian, ketentuan, dan lain-lain.�
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengklarifikasi bagaimana keluarga
menolak pernikahan antara penderita demensia.
Metode
Penelitian
Penelitian ini
mengaplikasikan cara penelitian preskriptif dan deskriptif. Teknik yang
digunakan untuk mensintesis informasi hukum dikembangkan melalui kajian
literatur yang relevan. Analisis hukum menggunakan teknik analisis kualitatif (Yusuf & Khasanah, 2019). Metode
kualitatif deskriptif adalah metode penelitian yang didasarkan pada filosofi
post-positivis yang digunakan untuk menganalisis hakikat alam, dimana
penelitian terdiri dari pengambilan sampel sumber data dan pengambilan sampel
salju, triangulasi pengumpulan (kolaborasi), data Alat analisis utama. Yang
menggambarkan hal itu. Selain itu, temuan deskriptif kualitatif lebih
menekankan pada makna daripada generalisasi. Metode penelitian menggunakan
penelitian deskriptif kualitatif. Studi ini berkaitan dengan perilaku, pikiran,
atau perasaan kelompok atau individu. Dalam pendekatan deskriptif, peneliti
menghubungkan perilaku yang diteliti dengan variabel lain atau meneliti dan
menjelaskan sebab-sebab sistematis, seperti studi naratif yang murni grafis.
Menurut (Prasanti & Prihandini, 2019), metode
deskriptif metode penelitian kuantitatif adalah cara mempelajari sifat
sekelompok orang, objek, situasi, proses berpikir atau rangkaian peristiwa pada
masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan secara
sistematis, obyektif dan akurat hubungan antara fakta, situasi dan fenomena
yang diselidiki. Kasus deskriptif tidak hanya menggambarkan situasi dan
fenomena, tetapi juga menggambarkan hubungan, menguji eksperimen, membuat
prediksi, dan memperoleh makna dan implikasi untuk masalah yang sedang
dipecahkan (Victoria & Hadiati, 2022). Menurut (Prasanti & Prihandini, 2019), jenis penelitian
deskriptif ini adalah penelitian yang mencoba menggambarkan keadaan sekarang,
realita, realita, realita dan fenomena sekarang. Sistematis, praktis dan tepat
dalam hubungan antara fakta, keadaan dan fenomena yang diselidiki (Rosmiati, 2014).
Padahal, transparansi
penelitian dan metode penelitian hukum yang transparan dan akurat sangat
penting untuk mencapai tujuan penelitian. Hal ini semakin menegaskan pentingnya
pemahaman metode penelitian hukum saat melakukan penelitian. Pada dasarnya
metode penelitian menggambarkan langkah-langkah sistematis, kegiatan, dan
prosedur yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu secara akurat,
efisien, dan sistematis, serta berdasarkan prinsip-prinsip yang sistematis. Ini
juga digunakan sebagai pedoman atau sebagai jenis jadwal tertentu. Secara umum,
pengertian metode penelitian hukum dapat dibagi menjadi empat bidang utama:
jenis penelitian, data penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis
data. Penelitian hukum formal harus menekankan bagaimana peneliti memperoleh
informasi (informasi hukum) dan bagaimana informasi hukum ini membantu peneliti
menyelidiki pertanyaan penelitian. Yurisprudensi formal meliputi keterpaduan
pertanyaan hukum, hasil penelitian dan pembahasan penelitian, serta penelitian
yang didasarkan pada pendekatan teoretis (teori hukum).
Hasil dan Pembahasan
A.
Pengertian
Perkawinan
Menurut UU
Perkawinan, �Perkawinan adalah penyatuan jasmani dan rohani antara seorang pria
dan wanita sebagai satu pria dan satu wanita, dengan tujuan membentuk keluarga
(keluarga) yang bahagia dan kekal menurut kepercayaan Yang Maha Esa. komunikasi
internal; Antara pria dan wanita, antara pria dan wanita. Keyakinan pada
kekuasaan (Anam,
2017). Perkawinan berasal dari kata �perkawinan� dalam
bahasa Indonesia, dan menurut bahasa berarti membentuk keluarga lawan jenis,
pengasuhan seksual atau hubungan seksual (Hidayatulloh
& Janah, 2020). Perkawinan yang juga dikenal
dengan sebutan 'Vayah' berasal dari kata kawin yang dalam bahasa berarti
bergabung, masuk dan bersanggama (vathi). Pernikahan linguistik bergabung,
masuk dan bergabung (Muhammad,
1995). Dalam glosarium, nikah berarti nikah atau zawaji
dalam bahasa arab. Al-wiyah berarti al-was, al-donam, al-tadakr, al-jam atau
kurang lebih seperti �al-was wa al-aqad� yang artinya persetubuhan, kelamin,
golongan, persetubuhan, artinya akad. Perkawinan (viyah) diartikan sebagai akad
yang memperbolehkan kumpul kebo (kohabitasi) dengan seorang wanita, kecuali
dilarang oleh waris, menyusui, dsb (Azhary,
2003). Menurut hemat penulis, pengertian ini terlalu rumit,
karena perkawinan/perkawinan hanya diartikan sebagai persetujuan untuk
melakukan hubungan seksual yang sah antara dua anggota lawan jenis, dan secara
khusus dilarang. untuk menghindari dosa perzinahan atau untuk melegalkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Definisi ini sangat minim, mengangkat
makna pernikahan di luar sekadar sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis.
Dengan menghilangkan citra sosial tentang makna pernikahan dan menjadikan
pernikahan sebagai keadaan wanprestasi, para sarjana modern telah mencoba untuk
memperjelas dan memperluas makna pernikahan, dengan memberikan gambaran yang
jelas dalam definisi-definisi berikut ini persekutuan laki-laki dan perempuan
untuk membatasi hak dan kewajibannya dengan saling tolong-menolong bukanlah
mahram.
Dalam
pengertian terakhir ini, jelaslah bahwa hakikat perkawinan tidak terbatas pada
biologi, tetapi bertanggung jawab untuk menciptakan ikatan yang harmonis dan
penuh kasih menuju tujuan bersama. Artinya membangun kehidupan keluarga yang
bermanfaat bagi perkawinan, keturunan, kekeluargaan dan masyarakat. Dengan
demikian, pernikahan tidak hanya mementingkan kebutuhan internal, tetapi juga
hubungan eksternal dengan banyak orang. Ibarat ikatan yang kuat (mitsakan
gholizan), perkawinan tidak hanya harus disalurkan sesuai kebutuhan biologis,
tetapi juga harus menghasilkan kemaslahatan yang kuat. Menurut penulis,
definisi pernikahan didefinisikan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan 1974.
Definisi tersebut berbunyi: Kita membangun keluarga yang bahagia, sehat dan
kekal berdasarkan iman dalam kesatuan dengan Tuhan. Sedangkan Fikih Islam, Bab
2, Pasal 2 lebih lanjut menyatakan: �Perkawinan menurut hukum Islam adalah
shadi, yang berarti kontrak yang sangat ketat atau Mitsakan Ghalizan yang
menaati perintah Allah dan apa yang dia lakukan.
B. Pengertian Perkawinan menurut KHI
Pernikahan
tersebut sesuai dengan syariat Islam, yaitu perjanjian Mitzhakhan Garijan yang
sangat kuat untuk taat dan beribadah kepada Allah. Perkawinan resmi jikalau
dijalankan berdasarkan regulasi Islam berdasarkan Pasal 2. Perkawinan 2.1 1974.
Perkawinan dalam masyarakat Islam mensyaratkan pencatatan seluruh perkawinan.
1946 UU No. Kecuali 22. 22 Tahun 1946, UU No. 32, 1954. Menurut sebagian ulama
Hanafi, perkawinan adalah akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang secara sadar mengarah pada pemilikan (niat) kebahagiaan, terutama untuk
menikmati kesenangan-kesenangan alam. Juga, menurut sebagian mazhab Maliki, perkawinan
adalah ungkapan atau nama dari suatu akad yang diadakan hanya untuk kesenangan
(seksual). Menurut mazhab Syafiyah, perkawinan didefinisikan sebagai "akad
yang memberikan kepemilikan seksual dengan menggunakan istilah tekstual
(diucapkan) 'Inqah' atau 'Tazwij', atau turunan dari keduanya", ulama
Hanbilah.
C. Sejarah Perkawinan di Indonesia
Dari tahun
1920 hingga 1970, kehidupan masyarakat banyak berubah. Buku-buku sejarah
Indonesia menyebut masa ini sebagai masa peralihan. Itu dimulai dengan berakhirnya
pemerintahan kolonial, munculnya pendudukan Jepang, dan awal kemerdekaan.
Periode ini juga merupakan periode kritis ketika perubahan tersebut terjadi di
semua bidang kehidupan. Berakhirnya pemerintahan kolonial memberi Hindia
Belanda basis pendidikan yang sangat kuat. Pendidikan kemudian menjadi tumpuan
para pemikir dan akademisi awal, yang melahirkan gagasan-gagasan baru dalam
membangun jati diri Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk periode pendudukan
Jepang. Bahkan, pendudukan yang tidak berlangsung lama memberi jalan bagi
perkembangan gerakan sosial politik, masa munculnya identitas bersama yang
disebut Indonesia merdeka. Pada saat yang sama, masa transisi penting bagi
perempuan, karena pendidikan perempuan yang dimulai pada awal 1920-an mulai
membuahkan hasil. Wanita mulai berpikir sendiri, yang mulai terlihat dalam
esai.
D. Tujuan Perkawinan
Tidak
diragukan lagi bahwa tujuan utama perkawinan adalah kelangsungan hidup umat
manusia dan pemeliharaan kehormatan dan kemurnian silsilah keluarga. Sebaliknya,
keberadaan manusia hanya dimungkinkan jika ada prokreasi. Keluarga adalah
lembaga yang aman dan damai, tempat berlindung bagi perempuan, anak, ibu dan
ayah, tempat istirahat setelah seharian bekerja keras. Ini juga merupakan
tempat di mana Anda dapat menemukan kedamaian setelah stres. Di rumah yang
bahagia dan nyaman, penat hidup pun sirna. Peristiwa tragis menemukan sentuhan
lembut di rumah Muslim, sumber kedamaian dan kemurnian, tempat di mana Anda
dapat memenuhi janji dan memberikan cinta (Al-Jauhari
et al., 2006).
Kebahagiaan
dan umur panjang di rumah tidak otomatis, itu adalah hasil dari usaha dan tidak
selalu mudah. Ada tiga jenis kebutuhan manusia yang harus dipenuhi (Soemiyati,
1982):
1. Kebutuhan biologis dasar, mis.
makanan, minuman, seks.
2.
Kebutuhan
sosial dan budaya yaitu. interaksi sosial, budaya, pendidikan.
3. Kebutuhan spiritual atau religius,
yaitu: religi, moralitas, falsafah hidup.
Ketiga
kebutuhan tersebut saling bergantung dan saling mempengaruhi. Ketiga syarat
tersebut harus dipenuhi untuk menjalani kehidupan yang bahagia, aman dan damai.
Di antara sekian banyak kebutuhan manusia, kebutuhan akan kepuasan seksual
adalah yang paling nyata dan penting. Bagaimanapun, orientasi seksual adalah
dasar dan ukuran kesejahteraan manusia.
Perkawinan
adalah hal terkuat, atau tembok terkuat, yang menjaga umat manusia agar tidak
jatuh ke dalam lembah dosa dan kegelapan rasa malu. Allah menjadikan pernikahan
sebagai anugerah bagi keturunannya, rahmat dan perlindungan dari godaan setan
yang mengutuk mereka1 (At-Tihami,
2006).
E. Syarat � syarat Perkawinan
Pernikahan
memiliki banyak bentuk dan pilar yang perlu didukung. Kedua mempelai harus
memahami hal ini dengan baik sebelum menikah. Pasal 6 sampai 8 UU Perkawinan
membatasi prasyarat-prasyarat yang sepatutnya dipenuhi pada akhir perkawinan.
1. "Perkawinan harus berdasarkan
kesepakatan bersama.
2.
Calon
berusia dibawah 21 tahun semestinya mendapatkan persetujuan orang tuanya untuk
menikah.
3.
Perkawinan
diperbolehkan hanya jika laki-laki berumur lebih dari sembilan belas (16) dan
perempuan lebih dari enam belas (16).
4.
Tetapi,
bagus pria ataupun wanita bisa minta pengecualian dari pengadilan atau otoritas
lain yang ditunjuk oleh orang tua mereka.
5.
Tidak
lurus ke bawah maupun lurus
6. Bebas dari hubungan suami istri dan
tidak mampu menikah lagi
Mereka yang
berniat menikah di tempat harus memberi tahu Departemen Urusan Sipil tentang
pernikahan tersebut. Selain itu, calon pasangan atau orang tuanya atau kuasa
hukumnya harus menunjuk tempat perkawinan, jika syarat-syaratnya terpenuhi.
selesai, bila perkawinan itu tidak diakui, maka akta perkawinan itu dilampirkan
dengan cara yang ditentukan oleh dinas perkawinan.
F. Pembatalan Perkawinan
Berdasarkan
UU Perkawinan, ketidakabsahan suatu perkawinan berarti cuma pengadilan yang
bisa mengukuhkan perkawinan hal yang demikian. Berdasarkan KHI, perkawinan bisa
dibatalkan sekiranya para pihak tak memenuhi prasyarat-prasyarat untuk
melangsungkan perkawinan. Secara aturan. Pasal 22 Bab 4, tahun 1974, bahwa
perkawinan bisa dibatalkan sekiranya para pihak tak memenuhi
prasyarat-prasyarat untuk melangsungkan perkawinan; Sebagaimana diceritakan di
atas, prasyarat-prasyarat putusnya perkawinan dalam Bab 2, Tata 6, Komponen 5
merupakan sebagai berikut:
1. Perkawinan didasari persetujuan
bersama para pihak yang melangsungkan perkawinan.
2. Perkawinan di bawah usia dua puluh
satu (20) tahun memerlukan persetujuan orang tua.
3. Jika orang tua sedang pergi atau.
4. Di negara-negara yang tidak
memungkinkan untuk menyatakan persetujuan, persetujuan yang diceritakan dalam
ayat ini pantas untuk didapatkan dari kedua orang tua yang masih hidup atau yang
bisa mengucapkan persetujuannya.
5. Jika orang tua tidak dapat
memberikan izin, maka wali, wali dan kerabat harus meminta izin kepada anggota
keluarga yang masih hidup. Dengan cara yang mengekspresikan keinginan Anda.
G. Alasan � alasan Pembatalan Perkawinan
Pembahasan
pembatalan perkawinan Pasal n. Pada tanggal 1 Januari 1974, seputar perkawinan
Pasal 22, dan ditegaskan bahwa �jikalau para pihak tak memenuhi
prasyarat-prasyarat perkawinan, perkawinan bisa dibatalkan�, namun tata tertib
Islam dalam Himpunan ditentukan dengan hukum 70-76 (Fiqram,
2020).
Pasal 1 UU
1974 mengendalikan batalnya perkawinan bila salah satu atau kedua belah pihak
hadir dan atas dasar adanya perkawinan. Kecuali itu, Pasal 71, Pasal 20 KUH
Perdata menyuarakan: �Dengan tak adanya wali, atau kalau seorang wali yang tak
memiliki hak menikah, melangsungkan perkawinan, karenanya perkawinan itu
batal.� Dapat pergi. Apa wali nikahnya.?� Begitulah. �Pasal 23 KHI menegaskan
bahwa hakim akan berperilaku sebagai wali nikah cuma bila wali keturunannya tak
ada atau berhalangan hadir, atau bila ditempatnya tak dikenal daerah tinggalnya
atau tak diketahuinya atau tersembunyi atau tak dikehendakinya, karenanya
diajukanlah permohonan pembatalan. Pengadilan di negara daerah perkawinan itu
dilangsungkan atau daerah kedudukan suami 1322 /Pdt.G/2012/PA Plg. 17 Tahun
2013 dengan mengaplikasikan data palsu Pernikahan dijalankan �dengan petugas
tak sah�.
H. Pembatalan Perkawinan �Orang Dalam
Gangguan Jiwa� (ODGJ)
Salah satu
unsur terpenting dalam pernikahan adalah keadaan pikiran, kehadiran pikiran
yang memberikan pertumbuhan spiritual untuk mencapai tujuan pernikahan. Orang
gila (terbelakang mental) tidak bisa menikah. Mereka tidak memiliki perjuangan
yang kuat untuk hak-hak seksual dan oleh karena itu tidak dapat memperoleh
pendidikan atau pelatihan untuk mengamankan pernikahan. Seseorang dengan
gangguan jiwa harus memiliki hubungan dengan pasangannya yang tidak tergantung
pada kematangan mental, karena syarat hukum Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan
mengungkapkan bahwa perkawinan legal apabila legal dan mengandung pelanggaran
hak dan keharusan di atasnya.
Kesimpulan
Pernikahan tersebut
merupakan penyatuan dua keluarga dan diharapkan keluarga Sakina, Mavdha dan
Varma akan terjalin melalui pernikahan dan persahabatan akan terjalin melalui
pernikahan. Selain itu, lembaga perkawinan mensyaratkan para pihak untuk
mematuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum yang berlaku. Selain itu,
para pihak atau orang tua atau wakilnya akan memberikan pemberitahuan secara
lisan atau tertulis. Selain itu, jika kondisi yang dinyatakan dihormati dan
tidak ada hambatan dalam pernikahan. Ini mencegah pembatalan pernikahan.
Apabila perkawinan
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ada, maka para pihak dapat
mengajukan pembatalan. Pemutusan hubungan kerja ini merupakan pemutusan atau
pemutusan hubungan kerja secara hukum antara suami istri, antara suami istri
dan antar keluarga. Perkawinan bisa putus karena hal-hal yang tidak terjadi.
Pengadilan dapat memerintahkan pembatalan perkawinan berdasarkan pasal 28 UU
Perkawinan. Mulai berlaku sejak hari perkawinan dan mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Al-Jauhari, M. M.,
Khayyal, M. A. H., Wibowo, S. E., Fathiyaturrahmah, & Giyanto, A. (2006). Keluarga
Sakinah Ukhti Muslimah. Era Intermedia.
Anam, K. (2017).
Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan Identitas Suami Dalam
Berpoligami. Yustitiabelen, 3(1), 60�88.
Arief, H. (2017).
Perjanjian Dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum Positif Di
Indonesia). Al-Adl: Jurnal Hukum, 9(2), 151�172.
At-Tihami, M. (2006). Membina
Mahligai Cinta Yang Islami. Cet-1. Jakarta: Bintang Terang.
Azhary, T. (2003). Bunga
Rampai Hukum Islam. Ind-Hill-Company.
Fiqram, M. (2020). Perspektif
Empat Mazhab Pembatalan Perkawinan Akibat Kelainan Fisik Pada Tubuh Pasangan.
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Hidayatulloh, H., &
Janah, M. (2020). Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dalam Hukum Islam. Jurnal
Hukum Keluarga Islam, 5(1), 34�61.
Muhammad, A. (1995).
Subulussalam, Juz 3. Surabaya: Al-Ikhlas.
Prasanti, D., &
Prihandini, P. (2019). Fenomena Aksi Menyakiti Diri Bagi Remaja Dalam Media
Online Tirto. Id Analisis Teori Konstruksi Sosial Dalam Fenomena Aksi Menyakiti
Diri Bagi Remaja Dalam Media Online Tirto. Id. Jurnal Nomosleca, 5(2).
Rahmatillah, D., &
Khofify, A. N. (2017). Konsep Pembatalan Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1947 Dan Kompilasi Hukum Islam. Hukum Islam, 17(2),
152�171.
Rosmiati, A. (2014).
Teknik Stimulasi Dalam Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Melalui Lirik Lagu
Dolanan. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan, 15(1), 71�82.
Sapitri, P. N. (2019). Konsep
Kafa�ah Dalam Perkawinan Anggota Tni Di Indonesia Dalam Teori Maslahah Mursalah.
Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (Uin) Syarif �.
Soemiyati. (1982). Hukum
Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1, Tahun 1974,
Tentang Perkawinan). Liberty.
Tobroni, F. (2015). Hak
Anak Sebagai Ahli Waris Dalam Perkawinan Siri. Jurnal Yudisial, 8(1),
85�102.
Victoria, A., &
Hadiati, M. (2022). Analisis Konsekuensi Hukum Dari Perkawinan Siri Terhadap
Perempuan Dan Anak. Jurnal Hukum Adigama, 5(2), 735�757.
Yusuf, S. A., &
Khasanah, U. (2019). Kajian Literatur Dan Teori Sosial Dalam Penelitian. Metode
Penelitian Ekonomi Syariah, 80, 1�23.
Copyright holder: Rania Zalfaa, Mia Hadiati (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |