Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
8, No. 1, Januari
2023
PERTANGGUNGJAWABAN
HUKUM PENYEDIA PLATFORM TERHADAP FENOMENA PELANGGARAN MEREK DI MARKETPLACE
Muhammad
Arkan, R. Rahaditya
Fakultas
Hukum Universitas Tarumanagara, Indonesia
Email:
[email protected]
ABSTRAK
Artikel ini mendefinisikan tanggung jawab hukum yang dikenakan pada
penyedia platform marketplace untuk barang yang melanggar merek, dengan
menggunakan metode penelitian hukum normatif. Tanggung jawab hukum atas barang
yang melanggar merek di marketplace berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik tidak dapat ditanggung oleh penyedia platform. UU ITE
ternyata dapat memberikan kelonggaran bagi penyedia platform untuk melepaskan
diri dari tanggung jawab mereka sebagai pengelola situs e-commerce. Sebagai
bentuk kepastian dan tanggung jawab hukum atas pengelolaan platform
marketplace, perlu ditetapkan tanggung jawab hukum penyedia platform atas
terjadinya pelanggaran. Hal inilah yang mendasari kajian lebih lanjut untuk mengetahui
bagaimana pola pertanggungjawaban hukum yang tepat atas permasalahan
pelanggaran yang terjadi.
Kata
Kunci:
Tanggung Jawab Huku; Penyedia Platform; Barang Yang Melanggar Hak Merek;
E-Commerce; Marketplace.
Abstract
This article
defines the legal responsibility imposed on marketplace platform providers for
goods that infringe on the brand, using normative legal research methods. Legal
responsibility for goods that violate the brand in the marketplace based on Law
Number 11 of 2008 as amended by Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to
Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions cannot
be borne by the platform provider. It turns out that the ITE Law can provide
leeway for platform providers to escape their responsibilities as e-commerce
site managers. As a form of legal certainty and responsibility for the
management of the marketplace platform, it is necessary to determine the legal
responsibility of the platform provider for violations. This is what underlies
further studies to find out how the pattern of legal accountability is
appropriate for the problems of violations that have occurred.
Keywords: Legal
Responsibilities; Platform Provider; Goods Violating Brand Rights; E-Commerce;
Marketplaces.
Pendahuluan
Dalam realita masyarakat
saat ini, globalisasi memberikan dampak terhadap perkembangan kehidupan
masyarakat. Salah satu dampak dari globalisasi adalah perkembangan teknologi
dan informasi. Perkembangan teknologi dan informasi menyebabkan perubahan pola transaksi,
yang tadinya mengandalkan offline shopping seperti ke mall, pasar atau
tempat-tempat lainnya, sekarang cukup dengan online shopping dengan perantara
internet dan perangkat berupa komputer atau handphone (Abdullah, 2017).
Saat ini, dengan
perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, berbagai produk dapat dibeli
melalui platform e-commerce. Seperti produk kesehatan, otomotif, fashion,
software, dan produk-produk lainnya. Platform e-commerce dalam kegiatannya
memiliki pengguna platform (user) yang merupakan masyarakat umum yang membuat
dan memiliki akun e-commerce (Orinaldi, 2020). Dalam
pengoperasiannya, platform e- commerce menerapkan sistem User
Generated Content (UGC), yaitu melibatkan pengguna untuk mengisi konten dalam
situs.
Penerapan prinsip UGC ini
terdapat dalam salah satu model e-commerce berbentuk marketplace. Dimana
transaksi dalam marketplace ini dilakukan melalui pihak ketiga yang menyediakan
platform (penyedia platform) (Rerung, 2018). Karena
transaksinya yang dilakukan antar konsumen (sebagai pengguna), model
marketplace ini juga disebut dengan model consumer to consumer (C2C). Didalam
platform marketplace, pedagang (merchant) dapat menawarkan barang-barang yang
dimiliki dengan membuat iklan dalam platform tersebut.
Tetapi, dalam
perkembangannya, didalam marketplace banyak ditemukan produk-produk yang
melanggar hak merek. Perlindungan hukum terhadap merek sudah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, tetapi
pada realitanya, masih banyak ditemukan produk-produk yang melanggar ketentuan
dari undang-undang tersebut, salah satunya ditemukan pada platform marketplace.
Pengguna hanya cukup menuliskan nama dari produknya, disertai dengan istilah
yang seringkali digunakan untuk merujuk kepada barang yang melanggar hak merek,
seperti �barang kw (kualitas)�, �replika�, �grade ori�, �premium�, dan
sebutan-sebutan lain yang menggambarkan kualitas barang yang melanggar merek,
atau tingkat kemiripannya dengan barang dengan merek asli.
Berdasarkan daftar yang
dikeluarkan oleh Office of the United States Trade Representative (USTR),� platform marketplace besar yang beroperasi di
Indonesia terdaftar dalam notorious market list. Notorious market list
merupakan daftar yang dikeluarkan oleh departemen perdagangan Amerika Serikat
(USTR), dimana daftar ini memuat list pasar yang menjual atau memfasilitasi
penjualan produk palsu. Ketiga platform marketplace tersebut adalah Shopee,
Tokopedia dan Bukalapak (Novianto & Zebua, 2021).
Beredarnya barang yang
melanggar hak merek tersebut lantas dapat menjadi kendala perkembangan
e-commerce Indonesia. Permasalahan terjadi ketika dengan tingginya prospek dan
potensi e-commerce yang juga pengembangannya didukung oleh pemerintah, akan
tetapi tidak disertai dengan kesadaran dari masyarakat Indonesia sebagai
pengguna, mengenai aspek kepentingan hak atas kekayaan intelektual dalam hal
ini khususnya adalah perlindungan atas hak merek. Apalagi dengan jumlah
pedagang dalam e-commerce berbentuk marketplace yang banyak, peredaran lewat
e-commerce ini membuat penyebaran barang palsu menjadi semakin sulit untuk
diawasi (Giantama & Kholil, 2020). Peran penyedia
platform pun menjadi penting sebagai operator utama yang dapat menindak dan
memproses atas kontrol muatan konten dalam situsnya (Fatmawati Octarina, n.d.).
Berdasarkan uraian
diatas, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan tentang bagaimana
pertanggungjawaban hukum penyedia platform terhadap fenomena pelanggaran merek
di marketplace. Penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekurangan yang
terdapat dalam aturan mengenai e-commerce, sehingga dapat menyelesaikan
problematika hukum yang ada.��
Metode Penelitian
�������� Jenis
penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif.
Sifat penelitian didasarkan pada ilmu preskriptif atau ilmu terapan. Pendekatan
dalam melakukan kajian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute
approach). Sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan maupun peraturan lainnya yang berkaitan dengan
pembahasan permasalahan, dan bahan hukum sekunder yang merupakan
publikasi-publikasi publikasi nonresmi sebagai referensi pustaka. Teknik
analisis bahan hukum dilakukan berdasarkan metode analisis deduksi yang
berpangkal dari prinsip-prinsip dasar, dengan kemudian menghadirkan objek yang
diteliti.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis,
pada Pasal 101 ayat (1) dan (2), dinyatakan bahwa perbuatan pelanggaran merek
adalah menggunakan merek yang mempunyai kesamaan pada pokoknya dan/atau
keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau
jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Nomor, 20 C.E.). Menurut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, �persamaan pada pokoknya� dalam penjelasan
Pasal 21 ayat (1), adalah timbulnya kesan adanya persamaan akibat terdapat
kemiripan unsur dominan antara merek satu dengan yang lainnya. Persamaan ini
bisa berupa bentuk, cara penulisan atau kombinasi antar unsur, cara penempatan,
maupun persamaan pelafalan dan bunyi ucapan.
Dalam bukunya, OK. Saidin
mengemukakan tentang macam-macam bentuk pelanggaran merek, yaitu (OK, 2015):
1. Counterfeits, yaitu membuat
suatu produk menyerupai aslinya dengan tujuan untuk mengelabui konsumen agar
beranggapan bahwa produk tersebut adalah produk asli (Lai
& Zaichkowsky, 1999).
2.
Trademark Piracy, yaitu tindakan
pembajakan suatu merek dan atau produk. Dalam tindakan piracy, konsumen secara
sadar mengetahui bahwa produk tersebut adalah palsu (Hidayat & Phau, 2003).
3. Imitations
of Labels and Packaging, yaitu Segala perbuatan yang menimbulkan informasi yang
tidak benar terkait Merek dagang. Termasuk dalam persaingan tidak jujur apabila
pengusaha mencantumkan keterangan sifat dan asal usul barang yang tidak benar,
untuk mengelabuhi konsumen, seakan-akan barang memiliki kualitas yang baik
karena berasal dari daerah penghasil barang yang bermutu (Aryan, 2009).
Pasal 83 UU Merek dan
Indikasi Geografis secara jelas telah memberikan perlindungan kepada pemilik
merek maupun penerima lisensi sebagai pihak yang berhak, sebagaimana diatur
bahwa pemilik merek dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menggunakan
merek tanpa hak untuk memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang ditimbulkan;
dan menghentikan segala perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek
tersebut.
Berkaitan dengan
pelanggaran yang dilakukan dalam platform e-commerce, Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) juga memberikan tanggung jawab kepada penyedia platform
sebagai pengelola situs e-commerce, �Penyelenggara Sistem Elektronik
bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya�.
Dalam Pasal 15 ayat (3)
UU ITE, disebutkan bahwa �Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan,
dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik�. Ketentuan yang tertuang
dalam Pasal 15 ayat (3) UU ITE sejatinya dapat memberikan kelonggaran bagi
penyedia platform untuk berlepas diri atas tanggung jawabnya sebagai pengelola
situs e-commerce. Akibatnya hal ini dapat meminimalisasi kontrol dari penyedia
platform terhadap konten yang diunggah oleh usernya. Apalagi dengan bentuk
platform e-commerce berjenis marketplace, user memiliki keleluasaan untuk mengunggah
barang dagangannya untuk ditawarkan dalam situs e-commerce. Hal inilah yang
dapat menjadi permasalahan berkaitan dengan penegasan tanggung jawab hukum yang
diemban oleh penyedia platform terhadap perlindungan merek (Shidiq et al., 2021).
Pengaturan mengenai
tanggung jawab pengelolaan platform juga diterapkan dalam Surat Edaran Menteri
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2016 tentang
Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant)
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk User
Generated Content (SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab
E-Commerce). Surat edaran ini tidak hanya memuat tanggung jawab dan batasan
penyedia platform e-commerce, melainkan juga memuat kewajiban penyedia platform
e-commerce beserta pelarangan terhadap barang yang melanggar hak kekayaan
intelektual. Adapun barang yang melanggar hak kekayaan intelektual ini termasuk
ke dalam barang/jasa yang memuat konten negatif.
Ketentuan-ketentuan
tersebut sejatinya menjadi dasar bagi adanya kontrol dari penyedia platform dan
penindakan terhadap barang yang melanggar merek. Mekanismenya pun telah
diberikan sebagai tatacara penindakannya. Meskipun demikian, dari ketentuan
yang ada penindakan tersebut baru dapat dilakukan apabila terdapat pelaporan
dari pihak yang mengetahui adanya pelanggaran merek terhadap barang yang
diperdagangkan dalam e-commerce. Dengan kata lain, belum diberikan kewajiban
inisiatif kontrol atas barang yang melanggar merek oleh penyedia platform
sendiri.
Mekanisme yang diberikan
dalam Surat Edaran tersebut hanya memerintahkan penyedia platform untuk
menghapus barang yang melanggar merek apabila terdapat pelaporan terlebih
dahulu. Dengan demikian, kekuatan hukum dari ketentuan tersebut pun bisa
dikatakan belum kuat. (Lubis, 1919).menjelaskan bahwa,
Surat Edaran Menteri bukanlah peraturan perundang-undangan, hal itu dikarenakan
Surat Edaran Menteri tidak memuat tentang norma tingkah laku (larangan,
perintah, ijin dan pembebasan), kewenangan (berwenang dan tidak berwenang), dan
penetapan.
Penjelasan tersebut
sangat logis, karena Surat Edaran Menteri ini pun tidak termasuk ke dalam
peraturan perundangundangan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal inilah yang menjadikan
mekanisme penindakan atas barang yang melanggar merek tersebut dalam SE
Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce, tidak mengikat secara
kuat kepada penyedia platform. Dan apabila dalam pelaksanaannya penyedia
platform tidak melaksanakan ketentuan tersebut, penyedia platform tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Karena di dalamnya pun tidak memuat
tentang pertanggungjawaban secara hukum apabila ketentuan dalam Surat Edaran
tersebut tidak dilaksanakan oleh penyedia platform.
Tidak dibebankannya
tanggung jawab hukum penyedia platform marketplace terhadap barang yang
melanggar merek oleh penggunanya ini menjadi urgensi untuk dapat diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Permasalahan penjualan barang hasil pelanggaran
hak merek dalam situs marketplace ini pada prinsipnya tidak dapat dipersalahkan
sepenuhnya kepada penyedia platform. Karena konten yang dimuat di dalam
situs-situs marketplace juga berasal dari penjual yang menjadi user platform.
Akan tetapi sebagai pengelola situs, pertanggungjawaban hukum dari penyedia
platform e-commerce ini menjadi penting karena selain penyedia platform
merupakan pihak yang mewadahi penjual untuk menawarkan barangnya, penyedia
platform berwenang menentukan konten apa saja yang dapat dimuat di dalam
situsnya, atau dalam hal ini termasuk mengontrol barang yang dijual.
Berkaitan dengan
penjualan barang yang melanggar hak merek dalam platform e-commerce juga turut
menyebabkan terciptanya hubungan hukum antara pelaku usaha dengan pemilik merek
yang berhak. Hubungan hukum diantara kedua pihak tersebut berbentuk perikatan
yang lahir karena undangundang. Perikatan ini pada dasarnya timbul karena
adanya perbuatan yang menyebabkan kerugian kepada pemilik merek yang berhak
atas merek yang dicatutnya.
Hal ini sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUHPer. Yang mana dalam Pasal 1352
berketentuan: �Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dan
undang-undang sebagai undang-undang atau dan undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang�. Lalu dalam Pasal 1353 KUHPer diatur �perikatan yang lahir dan
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, muncul dan suatu perbuatan yang
sah atau dan perbuatan yang melanggar hukum�.
Apabila ketentuan
tersebut diterapkan ke dalam hubungan hukum yang tercipta antara penyedia
platform dengan pemilik merek yang sah, perbuatan penjualan barang yang
melanggar merek dapat menjadi suatu perbuatan yang melanggar hukum. Perincian
mengenai perbuatan yang termasuk melanggar hukum mengacu pada Pasal 1365
KUHPer, diatur: �Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan
kerugian itu mengganti kerugian.�
Pembebanan tanggung jawab
hukum tersebut dapat didasarkan atas Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer), yang diatur: �Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh
karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian�. Gugatan atas
kesalahan pun didasarkan dengan syarat-syarat :(Zulham, 2018)
1. Suatu
tingkah laku yang menimbulkan kerugian tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang
normal.
2.
Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai
dalam kewajiban berhati-hati terhadap penggugat.
3. Kelakuan
tersebut merupakan penyebab nyata (proximate cause) dari kerugian yang timbul.
Ketentuan mengenai
perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer tersebut pada dasarnya menganut
prinsip pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan. Dimana prinsip ini
menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum
jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya (Kristiyanti, 2022).
Meskipun barang yang
melanggar bukan merupakan barang yang berasal dari penyedia platform akan
tetapi penyedia platform tetap harus bertanggung jawab atas perannya dalam
penyebarluasan peredaran barang tersebut. Karena sejatinya dengan upaya kontrol
dan pengawasan terhadap barang yang diunggah dalam platform marketplace,
penyedia platform dapat mengetahui kecenderungan pelanggaran yang terjadi. Atas
pelanggaran tersebut sudah semestinya ditindak dengan menghapus barang tersebut
dalam marketplace yang dikelolanya.
Unsur kesalahan sebagai
syarat pertanggungjawaban dapat dilandasi oleh pembiaran yang menjadikan
kerugian bagi pihak yang berhak. Penyedia platform tidak dapat berdalih tidak
bertanggung jawab secara mutlak terhadap barang yang melanggar peraturan dalam
platform yang dikelolanya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) karena
sebagai pengelola dari situs e-commerce, tentunya setidak-tidaknya turut serta
dalam menyebarluaskan produk-produk yang melanggar hukum tersebut. Karena para
konsumen atau pembeli produk barang melakukan pembayaran melalui penyedia
platform, yang akan diserahkan pelunasannya itu kepada merchant beberapa waktu
kemudian (Putra, 2022).
Dalam hal ini jaminan
perlindungan terhadap kesalahan tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 83
UU Merek dan Indikasi Geografis. Dengan demikian, Pasal 15 ayat (3) UU ITE
menjadi tidak relevan apabila diterapkan secara mutlak. Pada prinsipnya, materi
isi dari Pasal 15 ayat (3) UU ITE tidak sepenuhnya salah mengingat urgensi dari
penerapan muatan materi pasal tersebut juga menuntut kehati-hatian dari
pedagang yang menjadi pengguna untuk tidak menjual barang yang melanggar
peraturan. Oleh karena itu, memang pengguna platform sebagai pedagang dan
berkedudukan sebagai pelaku usaha harus bertanggungjawab atas barang yang
dimilikinya.
Perlunya pembebanan
pertanggungjawaban kepada penyedia platform dilandasi atas urgensi penerapan
asas kepastian hukum, asas kehati-hatian dan asas itikad baik sebagaimana
dikehendaki dalam Pasal 3 UU ITE. Berkaitan dengan hal tersebut, tanggung jawab
hukum penyedia platform tetap harus diatur untuk menuntut kehati-hatian dari
penyedia platform terhadap penyelenggaraan sistem elektronik dalam marketplace
yang dikelolanya sebagai bentuk iktikad baik untuk menjaga pengelolaan platform
dari perbuatan pelanggaran. Hal inilah yang lantas perlu untuk diatur dalam UU
ITE maupun perundang-undangan lain yang menjadi dasar penyelenggaraan
e-commerce.
Kesimpulan
Materi Pasal 15 ayat (3)
UU ITE memuat ketentuan yang membebaskan tanggung jawab hukum penyelenggara
sistem elektronik atas kesalahan yang dilakukan pengguna. Dengan demikian
penyedia platform marketplace tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum
terhadap beredarnya barang yang melanggar merek yang diunggah oleh merchant
dalam situs marketplace yang dikelolanya.
Surat Edaran Menkominfo
tidak mengikat secara kuat kepada penyedia platform marketplace. Ketentuan
dalam Surat Edaran Kominfo hanya memerintahkan penyedia platform untuk
menghapus barang yang melanggar merek apabila terdapat laporan terlebih dahulu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ketentuan hukum dari SE Menkominfo belum kuat,
hal ini dikarenakan Surat Edaran Menteri tidak memuat tentang norma tingkah
laku (larangan, perintah, ijin dan pembebasan), kewenangan (berwenang dan tidak
berwenang), dan penetapan.
Terkait permasalahan
hukum mengenai pembebanan tanggung jawab kepada penyedia platform marketplace,
tanggung jawab hukum yang dibebankan dapat didasarkan pada Pasal 1365 KUHPer
mengenai perbuatan melawan hukum. Mengingat pengelolaan situs e-commerce
sejatinya menjadi ranah penyedia platform, sudah semestinya penyedia platform
e-commerce tetap dapat dibebankan tanggung jawab atas dasar kesalahan dengan
membiarkan pembiaran peredaran dan penyebarluasan barang tersebut.
Abdullah, V. A. (2017).
Sosial Media Sebagai Pasar Bagi Masyarakat Modern (Sebuah Kritik Terhadap
Budaya Populer). Jurnal Dakwah Tabligh, 18(1), 116�130.
Aryan, E. I. (2009).
Pemalsuan Merek Dan Penegakan Hukumnya (Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana). Wacana
Hukum, 8(1).
Fatmawati Octarina, N.
(N.D.). Media Sosial & Anak (Perlindungan Anak Atas Pornografi Di Media
Sosial). Cv. Amerta Media.
Giantama, A. N., &
Kholil, M. (2020). Pertanggungjawaban Hukum Penyedia Platform Terhadap Barang
Yang Melanggar Merek Dalam Marketplace. Jurnal Privat Law, 8(1),
21�27.
Hidayat, A., & Phau,
I. (2003). Pembajakan Produk: Dilema Budaya Antara Barat Dan Timur Kajian
Literatur Pada Sisi Permintaan. Jurnal Siasat Bisnis, 2(8).
Kristiyanti, C. T. S.
(2022). Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika.
Lai, K. K.-Y., &
Zaichkowsky, J. L. (1999). Brand Imitation: Do The Chinese Have Different
Views? Asia Pacific Journal Of Management, 16, 179�192.
Lubis, M. S. (1919). Pergeseran
Garis Politik Dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintahan Daerah. -.
Nomor, U.-U. R. I. (20
C.E.). Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Indonesia. Jakarta: Presiden
Republik Indonesia.
Novianto, W., &
Zebua, A. M. (2021). Factors Influencing Decisions To Purchase Counterfeit
Fashion Products: Brand Image, Price And Lifestyle (Literature Review Customer
Behavior). Journal Of Law, Politic And Humanities, 1(4), 154�163.
Ok, H. (2015). Saidin,
Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Orinaldi, M. (2020).
Peran E-Commerce Dalam Meningkatkan Resiliensi Bisnis Diera Pandemi. Iltizam
Journal Of Shariah Economics Research, 4(2), 36�53.
Putra, Y. Y. (2022). Perlindungan
Hukum Pemegang Hak Merek Deenay Sebagai Merek Terkenal Dari Produk Yang
Dipasarkan Melalui Platform E-Commerce Berdasarkan Uu No. 20 Tahun 2016 Tentang
Merek Dan Indikasi Geografis Juncto Uu No 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik. Fakultas Hukum Universitas Pasundan.
Rerung, R. R. (2018). E-Commerce,
Menciptakan Daya Saing Melalui Teknologi Informasi. Deepublish.
Shidiq, M. P., Suseno,
S., & Safiranita, T. (2021). Transaksi Elektronik Illegal Pada Platform
Marketplace Tokopedia. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 5(1),
352�362.
Zulham, S. (2018). Peran
Negara Dalam Perlindungan Konsumen Muslim Terhadap Produk Halal. Kencana.
Copyright holder: Talita Taskiyah, Gunawan Djajaputera (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |