Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 12,
Desember 2022
FAKTOR-FAKTOR
YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN LAYANAN VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING
(VCT) OLEH KELOMPOK LELAKI SEKS LELAKI (LSL) DI KOTA PADANG TAHUN 2019
Shelly
Maya Lova, Besral, Vivi Triana
Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Andalas, Padang, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected],
[email protected]
ABSTRAK
Data Kemenkes RI (2016) melaporkan LSL merupakan faktor risiko tertinggi
kedua (39%) dalam penularan kasus HIV/AIDS. HIV/AIDS pada LSL terus meningkat
dari tahun 2014-2016 (3.858-13.063 kasus HIV). Salah satu program yang
dilaksanakan pemerintah untuk mencegah penularan HIV dan AIDS adalah layanan
Voluntary Counseling and Testing (VCT). SIHA (2017) melaporkan 6,94% LSL yang
melakukan tes HIV dinyatakan positif HIV. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok
LSL di Kota Padang tahun 2019. Desain penelitian yang digunakan adalah cross
sectional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2019 dengan responden
sebanyak 66 responden, yang diambil secara purposive sampling. Pengumpulan data
menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat, bivariat dan
multivariat dengan menggunakan uji statistik Chi-Square dan regresi logistik.
Hasil uji statistik multivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara
peran tenaga kesehatan dan dukungan teman sebaya dengan pemanfaatan layanan
VCT. LSL yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan 5,7 kali lebih berisiko
memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan. LSL yang
mendapat dukungan dari teman sebaya 2,6 kali lebih berisiko memanfaatkan
layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan. Diharapkan tenaga kesehatan
lebih sering melakukan kegiatan yang dapat mempromosikan layanan VCT sehingga
dapat menjangkau semua LSL dan teman sebayanya.
Kata
Kunci:
HIV/AIDS; Konseling dan Tes HIV Sukarela; Lelaki Seks Lelaki.
Abstract
KemenkesRI Data
(2016) reports MSM is the second-highest risk factor (39%) In transmission of
HIV/AIDS. HIV/AIDS in MSM increase from 2014-2016 (3.858-13.063 HIV cases). One
of programs implemented by Government to prevent transmission HIV/AIDS is VCT
service. SIHA (2017) reported 6.94% of MSM that conducted HIV test was
expressed positively HIV. The purpose of this research is to know the factors
related to utilization of VCT services by MSM group in Padang City, 2019. The
design of the research is cross sectional. Data collection was held in March
2019 with 66 respondents, taken purposive sampling. Data collection using
questionnaires. Data tested with univariate, bivariate and multivariate
analysis using Chi-Square statistical test and logistic regression. Statistical
multivariate test results showed a meaningful relationship between the health
workers and peer support with utilization of VCT services. MSM who receive
support from health workers are 5.7 times more at risk of utilizing VCT
services than those who not receive support. MSM who receive support from peers
are 2.6 times more at risk of utilizing VCT services than those who not receive
support. It is expected healthcare professionals often do activities that can
promote VCT services to reach all MSM and peer support.
Keywords: HIV/AIDS; Voluntary
Counseling and Testing; Male Sex with Male.
Pendahuluan
Human Immunodeficiency
Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan manusia yang dapat
mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS), sehingga tubuh menjadi
lemah dalam melawan infeksi dan menyebabkan defisiensi sistem imun (Amalinda, 2017). Hal ini
mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap berbagai penyakit dan pada akhirnya
dapat menyebabkan kematian (Balqis Nazaruddin et al., 2021).
Menurut (Dharlis & Khasanah, 2022) Asia Pasifik
merupakan benua dengan jumlah penderita HIV terbanyak kedua di dunia. Penyebab
tingginya penyebaran penderita HIV diakibatkan adanya populasi berisiko yaitu
pekerja seks, pria gay, Lelaki Seks Lelaki (LSL), transgender dan penasun
dengan usia dibawah 25 tahun (Hariyadi, 2018).
Perilaku seksual yang
dilakukan pada kelompok LSL memberikan kontribusi yang cukup besar dalam rantai
penularan HIV/AIDS. Prevalensi HIV pada kelompok LSL di Indonesia adalah
sebesar 7% dan 29-34% LSL sudah terkena Infeksi Menular Seksual (IMS) pada
rektal. Prevalensi IMS rektal yang tinggi merupakan indikasi tingginya
frekuensi seks anal tanpa kondom yang tinggi, sehingga LSL sangat rentan
tertular IMS dan HIV akibat perilaku hubungan seksual yang tidak aman, baik
yang dilakukan secara anal maupun oral (Kemenkes, 2017).
Data Kemenkes RI
melaporkan bahwa menurut faktor risiko HIV tahun 2016, LSL merupakan faktor
risiko tertinggi kedua (39%) setelah heteroseksual (53%) dalam penularan kasus
HIV/AIDS. Trend kasus HIV/AIDS pada LSL terus meningkat yaitu tahun 2014 jumlah
kasus HIV 3.858 dan kasus AIDS 391, tahun 2015 jumlah kasus HIV 4.241 dan kasus
AIDS 510, tahun 2016 jumlah kasus HIV 13.063 dan kasus AIDS 180 kasus (Kemenkes, 2017).
Komisi Penanggulangan
AIDS Kota Padang berdasarkan hasil pemetaan populasi kunci tahun 2017
menunjukan terjadi peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ketahunnya
pada populasi LSL, dan menjadi populasi terbanyak pada tahun 2015 (861 orang)
dan 2017 (1591 orang). Laporan Dinas Kesehatan Kota Padang mengenai
perkembangan prevalensi HIV tahun 2007-2011 menyebutkan jumlah populasi LSL
mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat yaitu 5,3% pada tahun 2007 dan
12,4% pada tahun 2011. Sedangkan untuk populasi WPS, waria, dan penasun
cenderung menurun (Kemenkes, 2016).
Berdasarkan laporan kasus
HIV di Kota Padang, terjadi peningkatan jumlah kasus HIV pada kelompok LSL dari
tahun 2015-2017. Pada tahun 2015 yaitu 79 kasus, tahun 2016 yaitu 113 kasus,
dan tahun 2017 yaitu 170 kasus (Kemenkes, 2016).
Klinik VCT merupakan
layanan kesehatan yang pertama dalam pencegahan HIV/AIDS. Layanan VCT dinilai
penting karena sarana ini sangat efektif dalam mencegah penularan HIV. Melalui
VCT setiap orang akan memperoleh akses ke semua pelayanan baik informasi,
edukasi, terapi ataupun psikososial (Pangaribuan, 2017).
Menurut Teori (Notoatmodjo, 2014) ada tiga
karakteristik yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu
Predisposing, Enabling, dan Need. Penelitian (Fatmala, n.d.) di Surabaya
menyebutkan bahwa adanya pengaruh antara pengetahuan, presepsi, pemberian
dorongan dari teman atau komunitas serta sikap dan peilaku petugas layanan
kesehatan dalam pemanfaatan VCT oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL). Sedangkan, penelitian
(Mujiati, 2014) di Bandung
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara presepsi dalam pemanfaatan layanan
VCT oleh kelompok LSL.
Berdasarkan permasalahan
yang diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor
yang berhubugan dengan pemanfaatan VCT pada kelompok LSL di kota Padang tahun
2019.��
Metode Penelitian
�������� Penelitian
ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Kota Padang
dengan populasi seluruh LSL di Kota Padang yang berjumlah sebanyak 1591 orang.
Jumlah sampel yang diperlukan sebanyak 66 responden. Teknik pengambilan sampel
yaitu purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan data primer dan data
sekunder. Pengolahan data menggunakan menggunakan analisis univariat, bivariat
menggunakan uji Chi Squaredengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) dan
multivariat menggunakan Regresi Logistik.
Hasil dan Pembahasan
A.
Pemanfaatan
Layanan VCT dan Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pemanfaatan Layanan VCT� dan Karakteristik Responden
No |
Karakteristik |
f |
% |
1. |
Pemanfaatan Layanan VCT Tidak� Ya� |
35 31 |
53 47 |
2. |
Tingkat Pengetahuan Rendah Tinggi
|
10 56 |
15,2 84,8 |
3. |
Sikap Negatif Positif |
30 36 |
45,5 54,5 |
4. |
Peran Tenaga Kesehatan Tidak
Berperan Berperan
|
31 35 |
47 53 |
5. |
Akses ke VCT Sulit Mudah |
43 23 |
65,2 34,8 |
6. |
Dukungan Teman Sebaya Tidak
Mendukung Mendukung |
45 21 |
68,2 31,8 |
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa terdapat lebih
dari separuh responden tidak
memanfaatkan layanan VCT (53%),
kurang dari separuh responden tingkat
pengetahuan yang rendah (15,2%),
kurang dari separuh responden memiliki sikap negative (45,4%),
kurang dari setengah responden tidak
mendapatkan peran dari tenaga kesehatan (47%),
lebih dari setengah responden memiliki akses ke layanan VCT yang
sulit (65,2%), dan lebih dari setengah responden tidak
memiliki teman sebaya yang mendukung (68,2%).
B. Hubungan
Pengetahuan, Sikap, Akses, Peran Tenaga Kesehatan, dan Peran Teman Sebaya
dengan VCT
Tabel 2. Hubungan Pengetahuan, Sikap, Akses, Peran
Tenaga Kesehatan,
dan Peran Teman Sebaya dengan VCT
No. |
Variabel� |
VCT |
f� |
p-value |
||||
Tidak |
Ya |
|||||||
f |
% |
f |
% |
|||||
1. |
Pengetahuan Rendah |
10 |
100 |
0 |
0 |
10 |
|
|
|
Tinggi |
25 |
44 |
31 |
55,4 |
56 |
|
- |
2. |
Sikap |
|
|
|
|
|
|
|
|
Negatif |
18 |
60 |
12 |
40 |
30 |
|
|
|
Positif |
17 |
47,2 |
19 |
52,8 |
36 |
|
0,431 |
3. |
Peran Tenaga Kesehatan |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak Berperan |
24 |
77,4 |
7 |
22,6 |
31 |
|
|
|
Berperan |
11 |
32,4 |
24 |
68,6 |
35 |
|
0,001 |
4. |
Akses Ke VCT |
|
|
|
|
|
|
|
|
Sulit |
26 |
60,5 |
17 |
39,5 |
43 |
|
|
|
Mudah |
9 |
39,1 |
14 |
60,9 |
23 |
|
0,163 |
5. |
Dukungan Teman Sebaya |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak Mendukung |
29 |
64,4 |
16 |
35,5 |
35 |
|
|
|
Mendukung |
6 |
28,6 |
15 |
71,4 |
31 |
|
0,014 |
Berdasarkan tabel
2 dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memanfaatkan layanan VCT
ditemui lebih banyak pada responden yang memiliki pengetahuan rendah (100%),
jika dibandingkan dengan responden dengan tingkat pengetahuan tinggi (44,6%).
Variabel tingkat pengetahuan pada penelitian ini tidak dapat di analisa karena
terdapat kolom yang bernilai Nol, sehingga tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di
Kota Padang tahun 2019.
Pada variabel
sikap dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memanfaatkan layanan
VCT lebih banyak ditemui pada responden yang memiliki sikap negatif (60%), jika
dibandingkan pada responden yang memiliki sikap positif (47,2%). Berdasarkan
hasil uji statistik diperloleh nilai p-value sebesar 0,431 (p>0,05) yang
berarti bahwa tidak ada hubungan bermakna antara sikap dengan pemanfaatan
layanan VCT pada LSL di Kota Padang tahun 2019.
Pada variabel
peran tenaga kesehatan dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak
memanfaatkan layanan VCT ditemui lebih banyak pada responden yang tidak
mendapat dukungan dari tenaga kesehatan (77,4%), jika dibandingkan dengan
responden yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan (31,4%) (Triani, 2019). Hasil uji statistik menunjukkan P-value sebesar
0,001 yang mengartikan bahwa terdapat hubungan bermakna antara peran tenaga
kesehatan dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di Kota Padang tahun 2019.
Dengan nilai OR 7,48 (95% CI 2,48-22,55) menunjukkan bahwa LSL yang tidak
mendapat dukungan dari tenaga kesehatan 7,4 kali lebih berisiko tidak
memanfaatkan layanan VCT daripada responden yang mendapat dukungan.
Pada variabel
akses dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memanfaatkan layanan
VCT lebih banyak ditemui pada responden yang memiliki akses layanan sulit
(60,5%), jika dibandingkan dengan responden memiliki akses layanan mudah
(39,1%). Hasil uji statistik menyatakan nilai P-value sebesar 0,163 (p>0,05)
menunjukkan arti bahwa akses ke layanan VCT tidak memiliki hubungan bermakna
dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di Kota Padang tahun 2019.
Pada variabel
peran teman sebaya dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak
memanfaatkan layanan VCT ditemui lebih banyak pada responden yang tidak
memiliki teman sebaya yang mendukung (64,4%), jika dibandingkan dengan yang
memiliki teman sebaya yang mendukung (28,6%). Hasil uji statistik menyatakan
nilai p-value sebesar 0,014 yang memiliki arti bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara dukungan teman sebaya dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL
di Kota Padang tahun 2019. Dengan nilai OR 4,53 (95% CI 1,46-13,97) memiliki
arti bahwa LSL yang tidak memiliki teman yang mendukung 4,5 kali lebih berisiko
tidak memanfaatkan layanan VCT daripada LSL yang memiliki teman yang mendukung.
C.
Analisis
Multivariat Faktor yang Berhubungan dengan Pelayanan VCT
Tabel
3. Full Model
Variabel |
p
value |
OR |
95%
CI |
|
Lower |
Upper |
|||
Peran
tenaga kesehatan |
0,006 |
5,19 |
1,61 |
16,70 |
Akses
ke layanan VCT |
0,237 |
2,05 |
0,62 |
6,76 |
Dukungan
teman sebaya |
0,116 |
2,76 |
0,77 |
9,85 |
Variabel yang masuk dalam pemodelan analisis
multivariat adalah variabel bivariat yang mempunyai p value <0,25.
Berdasarkan hasil uji bivariat, variabel independent yang dapat diuji adalah
tingkat pengetahuan, peran tenaga kesehatan, akses ke layanan VCT, dan dukungan
teman sebaya. Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel yang
pertama kali dikeluarkan adalah akses ke layanan VCT karena memiliki nilai p-value
yang paling besar, setelah variabel akses ke layanan VCT dikeluarkan, dilakukan
kembali analisis regresi logistik.
Table
4. Final Model
Variabel |
p
value |
OR |
95%
CI |
|
|
|
|
Lower |
Upper |
Peran tenaga kesehatan |
0,003 |
5,69 |
1,79 |
18,04 |
Dukungan teman sebaya |
0,128 |
2,62 |
0,75 |
9,04 |
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa variabel
peran tenaga kesehatan merupakan variabel yang paling berpengaruh dibandingkan
dengan variabel lainya. Dengan nilai signifikan p=0,003 dan OR 5,69 yang mana
berarti LSL yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan 5,7 kali lebih
berisiko untuk memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan
setelah dikontrol oleh variabel dukungan teman sebaya. LSL yang mendapat
dukungan dari teman sebaya 2,6 kali lebih berisiko memanfaatkan layanan VCT
daripada yang tidak mendapat dukungan.
D.
Pemanfaatan
Layanan VCT
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa lebih dari setengah (53%) responden tidak memanfaatkan
layanan VCT. Di dalam VCT ada dua kegiatan utama yakni konseling dan tes HIV.
Dalam penelitian ini menujukkan bahwa 40% dari responden yang tidak VCT, pernah
melakukan VCT lebih dari 3 bulan setelah melakukan hubungan seksual berisiko.
Ini menunjukkan bahwa masih belum berhasilnya petugas dalam VCT untuk merubah
perilaku seksual berisiko dari responden. Selain itu, 31,4% responden yang
tidak VCT pernah melakukan skrinning HIV, skrinning yang dilakukan responden
tentunya membuat responden tidak mendapatkan kesempatan untuk konseling pasca
tes (Dian Gilang, 2022). Dan 28,6% responden tidak pernah VCT sama sekali dan
tidak pernah skrinning HIV.
E.
Tingkat
Pengetahuan
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil (15,2%) dari responden memiliki tingkat
pengetahuan yang rendah mengenai HIV/AIDS dan VCT. Dalam penelitian ini
didapatkan bahwa 15,2% responden memiliki pengetahuan yang rendah mengenai
HIV/AIDS dan VCT. Responden banyak menjawab salah pada pernyataan kondom tidak
dapat mencegah penularan HIV (60,6%), berciuman dengan penderita HIV dapat
melularkan HIV (40,9%) dan kapan VCT harus dilakukan (16,7%).
Hasil analisis
bivariat antara tingkat pengetahuan terhadap pemanfaatan layanan VCT pada LSL
di kota Padang didapatkan 100% responden yang tingkat pengetahuannya rendah
tidak memanfaatkan layanan VCT yang mana jumlah ini lebih banyak dibandingkan
dengan responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi (44,6%) (Marlinda et al., 2022). Hubungan pemanfaatan layanan VCT dan tingkat
pengetahuan pada penelitian ini tidak dapat di analisa karena terdapat kolom
yang bernilai Nol, sehingga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
tingkat pengetahuan dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di Kota Padang
tahun 2019.
Hasil penelitian (Asdriyanti Tora, 2017) di lapangan menunjukkan bahwa tingginya pengetahuan
responden dikarenakan sebagian besar responden sudah pernah mendapat informasi
melalui tenaga kesehatan, petugas KPA maupun mencari informasi melalui media
elektronik. Pihak KPA setiap bulannya melakukan penyuluhan mengenai HIV/AIDS
dan membagikan leaflet dari tenaga kesehatan yang ada di layanan VCT. Adapun
responden yang sudah memiliki tingkat pengetahuan tinggi tapi tidak memanfatkan
layanan VCT dikarenakan jadwal layanan VCT yang sama dengan jadwal pekerjaan
responden, sehingga menyulitkan responden untuk melaksanakan VCT.
Upaya preventif
yang dapat dilakukan untuk menambah pengetahuan, terutama mengenai penularan
HIV dan kapan waktu yang tepat untuk melakukan test HIV dapat dilakukan dengan
cara mengadakan seminar dan kelompok teman sebaya yang diikuti oleh LSL,
disarankan pada waktu sore atau malam hari sehingga tidak bertentangan dengan
jadwal kerja LSL tersebut (Sumartini &
Maretha, 2020).
F.
Sikap
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kurang dari setengah (45,5%) responden memiliki sikap negatif
dalam pemanfaatan layanan VCT. Hasil uji bivariat antara sikap dan pemanfaatan
layanan VCT oleh kelompok LSL dikota padang diperoleh p-value sebesar 0,431
(p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
sikap dengan pemanfaatan layanan VCT oleh lelaki seks lelaki di kota Padang
tahun 2019.
Hasil penelitian
dilapangan menunjukkan bahwa sikap negatif responden terhadap penyakit AIDS dan
pemanfaatan layanan VCT cukup besar.�
Responden menyatakan bahwa mereka masih takut dan akan merasa sangat
terbebani apabila mengetahui jika hasil tes HIV mereka positif. Hanya sebagian
kecil saja yang siap menerima hasil tes positif HIV dikarenakan kesadaran
mereka bahwa penularan HIV/AIDS sebagian besar disebabkan oleh perilaku seksual
yang menyimpang, seperti hubungan seks anal dan bergonta-ganti pasangan.
Responden juga menyatakan layanan VCT sangat bermanfaat karena responden
menyadari bahwa LSL adalah kelompok yang berisiko terkena HIV/AIDS.
Untuk dapat
menghilangkan sikap negatif tentu harus diubah menjadi sikap positif.
Disarankan kepada LSL untuk tetap melakukan VCT untuk mencegah penularan HIV,
dan yakin bahwa VCT sangat aman dan dijaga kerahasiannya. Jadi LSL tidak perlu
takut status LSL atau status HIVnya diketahui oleh orang lain.
G.
Peran
Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kurang dari setengah (47%) responden tidak mendapatkan
dukungan dari tenaga kesehatan dalam pemanfaatan layanan VCT. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Syuciati (2018) yang menunjukkan bahwa 24,4%
responden tidak mendapatkan dukungan yang baik dari tenaga kesehatan dalam
pemanfaatan layanan VCT.
Hasil analisis
bivariat antara peran tenaga kesehatan terhadap pemanfaatan layanan VCT
diperoleh p-value sebesar 0,001 (p<0,05). Hal ini menunjukkan terdapat
hubungan yang bermakna antara peran tenaga kesehatan dengan pemanfaatan layanan
VCT oleh LSL di Kota Padang tahun 2019.
Hasil penelitian
di lapangan menunjukkan bahwa peran petugas kesehatan di Kota Padang sudah
cukup berperan dengan baik. Sebagian besar responden menyatakan sudah pernah
mendapat penyuluhan mengenai HIV/AIDS dan layanan VCT dan diajak untuk ke
layanan VCT. Tetapi ada pula responden yang menyatakan bahwa mereka hanya
melakukan tes HIV tanpa adanya konseling sebelum dan sesudah tes, sehingga
tidak merubah perilaku seksual berisiko yang dilakukan oleh responden.
Disarankan kepada
tenaga kesehatan untuk dapan memberi perhatian lebih kepada LSL dan
memastikannya untuk VCT. LSL yang sudah datang ke layanan VCT tetap dipantau
agar tidak melakukan perilaku seksual berisiko yang dapat menularkan HIV. Dan
jika hasil awal tes HIVnya negatif, tenaga kesehatan sebaiknya menghubungin
secara personal agar LSL tersebut mau melakukan VCT 3 bulan setelah pemeriksaan
awal untuk memastikan status HIV nya benar-benar negatif.
Berdasarkan hasil
uji multivariat diketahui bahwa peran tenaga kesehatan merupakan variabel yang
paling berpengaruh terhadap pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok LSL di Kota
Padang Tahun 2019 dengan nilai signifikan p=0,003 dan OR 5,69 yang mana berarti
responden yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan 5,7 kali lebih berisiko
untuk memanfaatkan layanan VCT daripada responden yang tidak mendapat dukungan
setelah dikontrol dukungan teman sebaya.
H.
Akses
ke Layanan VCT
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa lebih dari setengah (65,2%) responden memiliki akses ke
layanan VCT yang sulit. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Syuciati
(2018) yang menunjukkan bahwa 77,8% responden memiliki akses yang sulit atau
jarak yang jauh dengan layanan VCT.
Dari hasil analisis
hubungan antara variabel akses le layanan VCT dengan pemanfaatkan layanan VCT
diperoleh p-value sebesar 0,163 (p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara akses ke layanan VCT dengan pemanfaatan layanan
VCT oleh LSL di Kota Padang tahun 2019. Dimana hasil analisis diperoleh 60,5%
responden yang memiliki akses yang sulit ke layanan VCT tidak memanfaatkan
layanan VCT lebih banyak jika dibandingkan dengan responden yang memiliki
kemudahan dalam akses kelayanan VCT (39,1%).
Penelitian ini
tidak sejalan dengan penelitian Syuciati (2018) yang menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan jarak atau akses ke layanan VCT dengan pemanfaatan layanan VCT
oleh LSL dengan p-value= 0,001 (p<0,05).(11)
Akses pelayanan
kesehatan adalah pelayanan kesehatan harus dapat dicapai oleh masyarakat, tidak
terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa (Datuan et al., 2018). Salah satunya yaitu keaadaan geografis yang dapat
diukur dengan jarak, lama perjalanan, jenis transportasi, dana atau hambatan
fisik yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Seseorang yang tidak mau mengunjungi pelayanan kesehatan bukan hanya disebabkan
karena orang tersebut tidak tahu atau belum tahu manfaat pelayanan tersebut,
tetapi juga karena rumahnya terlalu jauh dengan pelayanan Kesehatan (Notoatmodjo, 2014).
Hasil penelitian
dilapangan menunjukkan layanan VCT sudah ada di seluruh puskesmas dan rumah
sakit umum yang ada di Kota Padang dan yang menyebabkan akses ke layanan
menjadi sulit bagi responden adalah responden merasa khawatir atau malu jika
pergi ke layanan VCT yang berada di wilayah tempat tinggalnya. Sehingga
responden memilih untuk ke layanan VCT yang lebih jauh untuk menghindari
bertemu dengan kerabat atau orang yang dikenal. Waktu pelayanan VCT pun juga
sangat terbatas sehingga menyulitkan responden untuk pergi kesana.
Disarankan kepada
LSL yang merasa sulit untuk mendapatkan akses ke layanan VCT untuk pergi ke puskesmas
terdekat karna seluruh puskesmas yang ada di Kota Padang sudah menyediakan
klinik VCT. Atau mengikuti acara-acara yang menyediakan mobile VCT. Sehingga
LSL tetap bisa memanfaatkan layanan VCT.
I.
Dukungan
Teman Sebaya
Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah (68,2%) responden tidak memiliki
teman sebaya yang mendukung untuk memanfaatkan layanan VCT. Berdasarkan hasil
analisis bivariat diketahui 64,4% responden yang tidak memiliki teman sebaya
yang mendukung tidak memanfaatkan layanan VCT, jumlah ini lebih banyak jika
dibandingkan dengan responden yang mendapat dukungan teman sebaya (28,6%).
Hasil uji statistik menunjukkan p-value sebesar 0,014 (p<0,05). Hal ini
menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan teman sebaya dengan
pemanfaatan layanan VCT oleh LSL di Kota Padang Tahun 2019.
Hasil penelitian
di lapangan menunjukkan cukup banyak responden yang tidak memiliki teman sebaya
yang mendukung. Hal ini juga disebabkan karena responden tidak aktif di dalam
komunitas dan kelompok dukungan sebaya. LSL yang mendapat dukungan dari teman
sebaya 2,6 kali lebih berisiko memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak
mendapat dukungan.
Disarankan kepada
LSL untuk lebih terbuka dan mau bercerita kepada orang terdekatnya mengenai prilaku
seksual berisiko yang dilakukannya sehingga orang terdekatnya tersebut dapat
membantu untuk mengingatkan dalam pencegahan HIV dan mendorong untuk
memanfaatkan layanan VCT. Dan saran untuk semua orang agar lebih peka dan
peduli dengan orang disekitar dan tidak mendiskriminasi LSL serta ODHA.
Kesimpulan
Lebih dari setengah
responden tidak memanfaatkan layanan VCT, Terdapat hubungan antara peran tenaga
kesehatan dan dukungan teman sebaya dengan pemanfaatan layanan VCT oleh
kelompok LSL di Kota Padang tahun 2019. LSL yang mendapat dukungan dari tenaga
kesehatan 5,7 kali lebih berisiko memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak
mendapat dukungan. LSL yang mendapat dukungan dari teman sebaya 2,6 kali lebih
berisiko memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan. Tidak
terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap, dan akses ke layanan VCT
dengan pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok LSL di Kota Padang tahun 2019.
Amalinda, F. N. (2017).
Hubungan Kadar Sgot Dan Sgpt Pada Penderita Hiv Berdasarkan Lama Menderita.
Universitas Muhammadiyah Semarang.
Asdriyanti Tora, P.
(2017). Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Remaja Tentang Hiv/Aids Disma Negeri
2 Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017. Poltekkes Kemenkes
Kendari.
Balqis Nazaruddin, S. K.
M., Siregar, K. N., Skm, M. A., Thabrany, H., & Wahyuniar, I. L. (2021). Pedoman
Dan Instrumen Penilaian Kolaborasi Lintas Sektor Pencegahan Dan Penanggulangan
Hiv-Aids. Deepublish.
Datuan, N., Darmawansyah,
D., & Daud, A. (2018). Pengaruh Kualitas Pelayanan Kesehatan Terhadap
Kepuasan Pasien Peserta Bpjs Di Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Maritim, 1(3).
Dharlis, I., &
Khasanah, U. (2022). Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat Rt 001 Rw 09
Kelurahan Sudiang Raya Tentang Hiv/Aids. Window Of Public Health Journal,
2059�2066.
Dian Gilang, P. (2022). Hubungan
Pengetahuan Tentang Hiv/Aids Dengan Minat Wanita Usia Subur Dalam Melakukan
Voluntary Councelling And Testing (Vct) Di Rw 2 Desa Kuripan Kidul Kabupaten
Cilacap. Universitas Al-Irsyad Cilacap.
Fatmala, R. D. (N.D.).
Predisposing, Enabling And Reinforcing Factors Of The Utilization Of Vct By Men
Who Have Sex With Men (Msm). Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(1),
138�150.
Hariyadi, P. (2018). Perbedaan
Strategi Koping Pada Pasien Hiv Yang Berkeluarga Dan Belum Berkeluarga
Dikomunitas Lsl (Lelaki Seks Dengan Lelaki) Poli Vct Rsj Menur Surabaya.
Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Kemenkes, R. I. (2016).
Laporan Perkembangan Hiv-Aids Triwulan I Tahun 2016. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit.
Kemenkes, R. I. (2017). Profil
Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta.
Marlinda, M., Tiara, T.,
& Wijayanti, R. (2022). Pemanfaatan Klinik Vct Oleh Kelompok Beresiko Dan
Faktor-Faktor Yang Berhubungan. Healthcare Nursing Journal, 4(1),
214�220.
Mujiati, P. J. (2014).
Faktor Persepsi Dan Sikap Dalam Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling And
Testing (Vct) Oleh Kelompok Berisiko Hiv/Aids Di Kota Bandung Tahun 2013. J
Kesehat Reproduksi, 5(1), 49�57.
Notoatmodjo, S. (2014).
Ipkjrc (2015). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Biomass Chem
Eng, 49(23�6).
Pangaribuan, S. (2017).
Pengaruh Stigma Dan Diskriminasi Odha Terhadap Pemanfaatan Vct Di Distrik
Sorong Timur Kota Sorong. Junal Global Heatlh Science, 2.
Sumartini, S., &
Maretha, V. (2020). Efektifitas Peer Education Method Dalam Pencegahan
Hiv/Aids Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Remaja.
Triani, H. (2019).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Hamil Dalam Melakukan Pemeriksaan
Test Hiv Di Puskesmas Ibrahim Adji Bandung 2019. Jurnal Kesehatan Stikes
Muhammadiyah Ciamis, 6(1), 25�33.
Copyright holder: Shelly Maya Lova, Besral, Vivi Triana (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |