Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN LAYANAN VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT) OLEH KELOMPOK LELAKI SEKS LELAKI (LSL) DI KOTA PADANG TAHUN 2019

 

Shelly Maya Lova, Besral, Vivi Triana

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Andalas, Padang, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

ABSTRAK

Data Kemenkes RI (2016) melaporkan LSL merupakan faktor risiko tertinggi kedua (39%) dalam penularan kasus HIV/AIDS. HIV/AIDS pada LSL terus meningkat dari tahun 2014-2016 (3.858-13.063 kasus HIV). Salah satu program yang dilaksanakan pemerintah untuk mencegah penularan HIV dan AIDS adalah layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT). SIHA (2017) melaporkan 6,94% LSL yang melakukan tes HIV dinyatakan positif HIV. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok LSL di Kota Padang tahun 2019. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2019 dengan responden sebanyak 66 responden, yang diambil secara purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan menggunakan uji statistik Chi-Square dan regresi logistik. Hasil uji statistik multivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara peran tenaga kesehatan dan dukungan teman sebaya dengan pemanfaatan layanan VCT. LSL yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan 5,7 kali lebih berisiko memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan. LSL yang mendapat dukungan dari teman sebaya 2,6 kali lebih berisiko memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan. Diharapkan tenaga kesehatan lebih sering melakukan kegiatan yang dapat mempromosikan layanan VCT sehingga dapat menjangkau semua LSL dan teman sebayanya.

 

Kata Kunci: HIV/AIDS; Konseling dan Tes HIV Sukarela; Lelaki Seks Lelaki.

 

Abstract

KemenkesRI Data (2016) reports MSM is the second-highest risk factor (39%) In transmission of HIV/AIDS. HIV/AIDS in MSM increase from 2014-2016 (3.858-13.063 HIV cases). One of programs implemented by Government to prevent transmission HIV/AIDS is VCT service. SIHA (2017) reported 6.94% of MSM that conducted HIV test was expressed positively HIV. The purpose of this research is to know the factors related to utilization of VCT services by MSM group in Padang City, 2019. The design of the research is cross sectional. Data collection was held in March 2019 with 66 respondents, taken purposive sampling. Data collection using questionnaires. Data tested with univariate, bivariate and multivariate analysis using Chi-Square statistical test and logistic regression. Statistical multivariate test results showed a meaningful relationship between the health workers and peer support with utilization of VCT services. MSM who receive support from health workers are 5.7 times more at risk of utilizing VCT services than those who not receive support. MSM who receive support from peers are 2.6 times more at risk of utilizing VCT services than those who not receive support. It is expected healthcare professionals often do activities that can promote VCT services to reach all MSM and peer support.

 

Keywords: HIV/AIDS; Voluntary Counseling and Testing; Male Sex with Male.

 

Pendahuluan

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan manusia yang dapat mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS), sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi dan menyebabkan defisiensi sistem imun (Amalinda, 2017). Hal ini mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap berbagai penyakit dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Balqis Nazaruddin et al., 2021).

Menurut (Dharlis & Khasanah, 2022) Asia Pasifik merupakan benua dengan jumlah penderita HIV terbanyak kedua di dunia. Penyebab tingginya penyebaran penderita HIV diakibatkan adanya populasi berisiko yaitu pekerja seks, pria gay, Lelaki Seks Lelaki (LSL), transgender dan penasun dengan usia dibawah 25 tahun (Hariyadi, 2018).

Perilaku seksual yang dilakukan pada kelompok LSL memberikan kontribusi yang cukup besar dalam rantai penularan HIV/AIDS. Prevalensi HIV pada kelompok LSL di Indonesia adalah sebesar 7% dan 29-34% LSL sudah terkena Infeksi Menular Seksual (IMS) pada rektal. Prevalensi IMS rektal yang tinggi merupakan indikasi tingginya frekuensi seks anal tanpa kondom yang tinggi, sehingga LSL sangat rentan tertular IMS dan HIV akibat perilaku hubungan seksual yang tidak aman, baik yang dilakukan secara anal maupun oral (Kemenkes, 2017).

Data Kemenkes RI melaporkan bahwa menurut faktor risiko HIV tahun 2016, LSL merupakan faktor risiko tertinggi kedua (39%) setelah heteroseksual (53%) dalam penularan kasus HIV/AIDS. Trend kasus HIV/AIDS pada LSL terus meningkat yaitu tahun 2014 jumlah kasus HIV 3.858 dan kasus AIDS 391, tahun 2015 jumlah kasus HIV 4.241 dan kasus AIDS 510, tahun 2016 jumlah kasus HIV 13.063 dan kasus AIDS 180 kasus (Kemenkes, 2017).

Komisi Penanggulangan AIDS Kota Padang berdasarkan hasil pemetaan populasi kunci tahun 2017 menunjukan terjadi peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ketahunnya pada populasi LSL, dan menjadi populasi terbanyak pada tahun 2015 (861 orang) dan 2017 (1591 orang). Laporan Dinas Kesehatan Kota Padang mengenai perkembangan prevalensi HIV tahun 2007-2011 menyebutkan jumlah populasi LSL mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat yaitu 5,3% pada tahun 2007 dan 12,4% pada tahun 2011. Sedangkan untuk populasi WPS, waria, dan penasun cenderung menurun (Kemenkes, 2016).

Berdasarkan laporan kasus HIV di Kota Padang, terjadi peningkatan jumlah kasus HIV pada kelompok LSL dari tahun 2015-2017. Pada tahun 2015 yaitu 79 kasus, tahun 2016 yaitu 113 kasus, dan tahun 2017 yaitu 170 kasus (Kemenkes, 2016).

Klinik VCT merupakan layanan kesehatan yang pertama dalam pencegahan HIV/AIDS. Layanan VCT dinilai penting karena sarana ini sangat efektif dalam mencegah penularan HIV. Melalui VCT setiap orang akan memperoleh akses ke semua pelayanan baik informasi, edukasi, terapi ataupun psikososial (Pangaribuan, 2017).

Menurut Teori (Notoatmodjo, 2014) ada tiga karakteristik yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu Predisposing, Enabling, dan Need. Penelitian (Fatmala, n.d.) di Surabaya menyebutkan bahwa adanya pengaruh antara pengetahuan, presepsi, pemberian dorongan dari teman atau komunitas serta sikap dan peilaku petugas layanan kesehatan dalam pemanfaatan VCT oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL). Sedangkan, penelitian (Mujiati, 2014) di Bandung menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara presepsi dalam pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok LSL.

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubugan dengan pemanfaatan VCT pada kelompok LSL di kota Padang tahun 2019.��

 

Metode Penelitian

�������� Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Kota Padang dengan populasi seluruh LSL di Kota Padang yang berjumlah sebanyak 1591 orang. Jumlah sampel yang diperlukan sebanyak 66 responden. Teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Pengolahan data menggunakan menggunakan analisis univariat, bivariat menggunakan uji Chi Squaredengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) dan multivariat menggunakan Regresi Logistik.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Pemanfaatan Layanan VCT dan Karakteristik Responden

 

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pemanfaatan Layanan VCTdan Karakteristik Responden

No

Karakteristik

f

%

1.

Pemanfaatan Layanan VCT

Tidak

Ya

 

35

31

 

53

47

2.

Tingkat Pengetahuan

Rendah

Tinggi

 

10

56

 

15,2

84,8

3.

Sikap

Negatif

Positif

 

30

36

 

45,5

54,5

4.

Peran Tenaga Kesehatan

Tidak Berperan

Berperan

 

31

35

 

47

53

5.

 

 

Akses ke VCT

Sulit

Mudah

 

43

23

 

65,2

34,8

6.

Dukungan Teman Sebaya

Tidak Mendukung

Mendukung

 

45

21

 

68,2

31,8

 

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa terdapat lebih dari separuh responden tidak memanfaatkan layanan VCT (53%), kurang dari separuh responden tingkat pengetahuan yang rendah (15,2%), kurang dari separuh responden memiliki sikap negative (45,4%), kurang dari setengah responden tidak mendapatkan peran dari tenaga kesehatan (47%), lebih dari setengah responden memiliki akses ke layanan VCT yang sulit (65,2%), dan lebih dari setengah responden tidak memiliki teman sebaya yang mendukung (68,2%).

 

B.     Hubungan Pengetahuan, Sikap, Akses, Peran Tenaga Kesehatan, dan Peran Teman Sebaya dengan VCT

 

Tabel 2. Hubungan Pengetahuan, Sikap, Akses, Peran Tenaga Kesehatan,

dan Peran Teman Sebaya dengan VCT

No.

Variabel

VCT

 

f

p-value

Tidak

Ya

f

%

f

%

1.

Pengetahuan

Rendah

 

10

 

100

 

0

 

0

 

10

 

 

 

Tinggi

25

44

31

55,4

56

 

-

2.

Sikap

 

 

 

 

 

 

 

 

Negatif

18

60

12

40

30

 

 

 

Positif

17

47,2

19

52,8

36

 

0,431

3.

Peran Tenaga Kesehatan

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak Berperan

24

77,4

7

22,6

31

 

 

 

Berperan

11

32,4

24

68,6

35

 

0,001

4.

Akses Ke VCT

 

 

 

 

 

 

 

 

Sulit

26

60,5

17

39,5

43

 

 

 

Mudah

9

39,1

14

60,9

23

 

0,163

5.

Dukungan Teman Sebaya

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak Mendukung

29

64,4

16

35,5

35

 

 

 

Mendukung

6

28,6

15

71,4

31

 

0,014

 

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memanfaatkan layanan VCT ditemui lebih banyak pada responden yang memiliki pengetahuan rendah (100%), jika dibandingkan dengan responden dengan tingkat pengetahuan tinggi (44,6%). Variabel tingkat pengetahuan pada penelitian ini tidak dapat di analisa karena terdapat kolom yang bernilai Nol, sehingga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di Kota Padang tahun 2019.

Pada variabel sikap dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memanfaatkan layanan VCT lebih banyak ditemui pada responden yang memiliki sikap negatif (60%), jika dibandingkan pada responden yang memiliki sikap positif (47,2%). Berdasarkan hasil uji statistik diperloleh nilai p-value sebesar 0,431 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak ada hubungan bermakna antara sikap dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di Kota Padang tahun 2019.

Pada variabel peran tenaga kesehatan dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memanfaatkan layanan VCT ditemui lebih banyak pada responden yang tidak mendapat dukungan dari tenaga kesehatan (77,4%), jika dibandingkan dengan responden yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan (31,4%) (Triani, 2019). Hasil uji statistik menunjukkan P-value sebesar 0,001 yang mengartikan bahwa terdapat hubungan bermakna antara peran tenaga kesehatan dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di Kota Padang tahun 2019. Dengan nilai OR 7,48 (95% CI 2,48-22,55) menunjukkan bahwa LSL yang tidak mendapat dukungan dari tenaga kesehatan 7,4 kali lebih berisiko tidak memanfaatkan layanan VCT daripada responden yang mendapat dukungan.

Pada variabel akses dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memanfaatkan layanan VCT lebih banyak ditemui pada responden yang memiliki akses layanan sulit (60,5%), jika dibandingkan dengan responden memiliki akses layanan mudah (39,1%). Hasil uji statistik menyatakan nilai P-value sebesar 0,163 (p>0,05) menunjukkan arti bahwa akses ke layanan VCT tidak memiliki hubungan bermakna dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di Kota Padang tahun 2019.

Pada variabel peran teman sebaya dapat diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memanfaatkan layanan VCT ditemui lebih banyak pada responden yang tidak memiliki teman sebaya yang mendukung (64,4%), jika dibandingkan dengan yang memiliki teman sebaya yang mendukung (28,6%). Hasil uji statistik menyatakan nilai p-value sebesar 0,014 yang memiliki arti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan teman sebaya dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di Kota Padang tahun 2019. Dengan nilai OR 4,53 (95% CI 1,46-13,97) memiliki arti bahwa LSL yang tidak memiliki teman yang mendukung 4,5 kali lebih berisiko tidak memanfaatkan layanan VCT daripada LSL yang memiliki teman yang mendukung.

C.    Analisis Multivariat Faktor yang Berhubungan dengan Pelayanan VCT

 

Tabel 3. Full Model

Variabel

p value

OR

95% CI

Lower

Upper

Peran tenaga kesehatan

0,006

5,19

1,61

16,70

Akses ke layanan VCT

0,237

2,05

0,62

6,76

Dukungan teman sebaya

0,116

2,76

0,77

9,85

 

Variabel yang masuk dalam pemodelan analisis multivariat adalah variabel bivariat yang mempunyai p value <0,25. Berdasarkan hasil uji bivariat, variabel independent yang dapat diuji adalah tingkat pengetahuan, peran tenaga kesehatan, akses ke layanan VCT, dan dukungan teman sebaya. Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel yang pertama kali dikeluarkan adalah akses ke layanan VCT karena memiliki nilai p-value yang paling besar, setelah variabel akses ke layanan VCT dikeluarkan, dilakukan kembali analisis regresi logistik.

 

Table 4. Final Model

Variabel

p value

OR

95% CI

 

 

 

Lower

Upper

Peran tenaga kesehatan

0,003

5,69

1,79

18,04

Dukungan teman sebaya

0,128

2,62

0,75

9,04

 

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa variabel peran tenaga kesehatan merupakan variabel yang paling berpengaruh dibandingkan dengan variabel lainya. Dengan nilai signifikan p=0,003 dan OR 5,69 yang mana berarti LSL yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan 5,7 kali lebih berisiko untuk memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan setelah dikontrol oleh variabel dukungan teman sebaya. LSL yang mendapat dukungan dari teman sebaya 2,6 kali lebih berisiko memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan.

D.    Pemanfaatan Layanan VCT

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah (53%) responden tidak memanfaatkan layanan VCT. Di dalam VCT ada dua kegiatan utama yakni konseling dan tes HIV. Dalam penelitian ini menujukkan bahwa 40% dari responden yang tidak VCT, pernah melakukan VCT lebih dari 3 bulan setelah melakukan hubungan seksual berisiko. Ini menunjukkan bahwa masih belum berhasilnya petugas dalam VCT untuk merubah perilaku seksual berisiko dari responden. Selain itu, 31,4% responden yang tidak VCT pernah melakukan skrinning HIV, skrinning yang dilakukan responden tentunya membuat responden tidak mendapatkan kesempatan untuk konseling pasca tes (Dian Gilang, 2022). Dan 28,6% responden tidak pernah VCT sama sekali dan tidak pernah skrinning HIV.

E.     Tingkat Pengetahuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil (15,2%) dari responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah mengenai HIV/AIDS dan VCT. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa 15,2% responden memiliki pengetahuan yang rendah mengenai HIV/AIDS dan VCT. Responden banyak menjawab salah pada pernyataan kondom tidak dapat mencegah penularan HIV (60,6%), berciuman dengan penderita HIV dapat melularkan HIV (40,9%) dan kapan VCT harus dilakukan (16,7%).

Hasil analisis bivariat antara tingkat pengetahuan terhadap pemanfaatan layanan VCT pada LSL di kota Padang didapatkan 100% responden yang tingkat pengetahuannya rendah tidak memanfaatkan layanan VCT yang mana jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi (44,6%) (Marlinda et al., 2022). Hubungan pemanfaatan layanan VCT dan tingkat pengetahuan pada penelitian ini tidak dapat di analisa karena terdapat kolom yang bernilai Nol, sehingga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan pemanfaatan layanan VCT pada LSL di Kota Padang tahun 2019.

Hasil penelitian (Asdriyanti Tora, 2017) di lapangan menunjukkan bahwa tingginya pengetahuan responden dikarenakan sebagian besar responden sudah pernah mendapat informasi melalui tenaga kesehatan, petugas KPA maupun mencari informasi melalui media elektronik. Pihak KPA setiap bulannya melakukan penyuluhan mengenai HIV/AIDS dan membagikan leaflet dari tenaga kesehatan yang ada di layanan VCT. Adapun responden yang sudah memiliki tingkat pengetahuan tinggi tapi tidak memanfatkan layanan VCT dikarenakan jadwal layanan VCT yang sama dengan jadwal pekerjaan responden, sehingga menyulitkan responden untuk melaksanakan VCT.

Upaya preventif yang dapat dilakukan untuk menambah pengetahuan, terutama mengenai penularan HIV dan kapan waktu yang tepat untuk melakukan test HIV dapat dilakukan dengan cara mengadakan seminar dan kelompok teman sebaya yang diikuti oleh LSL, disarankan pada waktu sore atau malam hari sehingga tidak bertentangan dengan jadwal kerja LSL tersebut (Sumartini & Maretha, 2020).

F.     Sikap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang dari setengah (45,5%) responden memiliki sikap negatif dalam pemanfaatan layanan VCT. Hasil uji bivariat antara sikap dan pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok LSL dikota padang diperoleh p-value sebesar 0,431 (p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan pemanfaatan layanan VCT oleh lelaki seks lelaki di kota Padang tahun 2019.

Hasil penelitian dilapangan menunjukkan bahwa sikap negatif responden terhadap penyakit AIDS dan pemanfaatan layanan VCT cukup besar.Responden menyatakan bahwa mereka masih takut dan akan merasa sangat terbebani apabila mengetahui jika hasil tes HIV mereka positif. Hanya sebagian kecil saja yang siap menerima hasil tes positif HIV dikarenakan kesadaran mereka bahwa penularan HIV/AIDS sebagian besar disebabkan oleh perilaku seksual yang menyimpang, seperti hubungan seks anal dan bergonta-ganti pasangan. Responden juga menyatakan layanan VCT sangat bermanfaat karena responden menyadari bahwa LSL adalah kelompok yang berisiko terkena HIV/AIDS.

Untuk dapat menghilangkan sikap negatif tentu harus diubah menjadi sikap positif. Disarankan kepada LSL untuk tetap melakukan VCT untuk mencegah penularan HIV, dan yakin bahwa VCT sangat aman dan dijaga kerahasiannya. Jadi LSL tidak perlu takut status LSL atau status HIVnya diketahui oleh orang lain.

G.    Peran Tenaga Kesehatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang dari setengah (47%) responden tidak mendapatkan dukungan dari tenaga kesehatan dalam pemanfaatan layanan VCT. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Syuciati (2018) yang menunjukkan bahwa 24,4% responden tidak mendapatkan dukungan yang baik dari tenaga kesehatan dalam pemanfaatan layanan VCT.

Hasil analisis bivariat antara peran tenaga kesehatan terhadap pemanfaatan layanan VCT diperoleh p-value sebesar 0,001 (p<0,05). Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara peran tenaga kesehatan dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL di Kota Padang tahun 2019.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa peran petugas kesehatan di Kota Padang sudah cukup berperan dengan baik. Sebagian besar responden menyatakan sudah pernah mendapat penyuluhan mengenai HIV/AIDS dan layanan VCT dan diajak untuk ke layanan VCT. Tetapi ada pula responden yang menyatakan bahwa mereka hanya melakukan tes HIV tanpa adanya konseling sebelum dan sesudah tes, sehingga tidak merubah perilaku seksual berisiko yang dilakukan oleh responden.

Disarankan kepada tenaga kesehatan untuk dapan memberi perhatian lebih kepada LSL dan memastikannya untuk VCT. LSL yang sudah datang ke layanan VCT tetap dipantau agar tidak melakukan perilaku seksual berisiko yang dapat menularkan HIV. Dan jika hasil awal tes HIVnya negatif, tenaga kesehatan sebaiknya menghubungin secara personal agar LSL tersebut mau melakukan VCT 3 bulan setelah pemeriksaan awal untuk memastikan status HIV nya benar-benar negatif.

Berdasarkan hasil uji multivariat diketahui bahwa peran tenaga kesehatan merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok LSL di Kota Padang Tahun 2019 dengan nilai signifikan p=0,003 dan OR 5,69 yang mana berarti responden yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan 5,7 kali lebih berisiko untuk memanfaatkan layanan VCT daripada responden yang tidak mendapat dukungan setelah dikontrol dukungan teman sebaya.

H.    Akses ke Layanan VCT

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah (65,2%) responden memiliki akses ke layanan VCT yang sulit. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Syuciati (2018) yang menunjukkan bahwa 77,8% responden memiliki akses yang sulit atau jarak yang jauh dengan layanan VCT.

Dari hasil analisis hubungan antara variabel akses le layanan VCT dengan pemanfaatkan layanan VCT diperoleh p-value sebesar 0,163 (p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara akses ke layanan VCT dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL di Kota Padang tahun 2019. Dimana hasil analisis diperoleh 60,5% responden yang memiliki akses yang sulit ke layanan VCT tidak memanfaatkan layanan VCT lebih banyak jika dibandingkan dengan responden yang memiliki kemudahan dalam akses kelayanan VCT (39,1%).

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Syuciati (2018) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan jarak atau akses ke layanan VCT dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL dengan p-value= 0,001 (p<0,05).(11)

Akses pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan harus dapat dicapai oleh masyarakat, tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa (Datuan et al., 2018). Salah satunya yaitu keaadaan geografis yang dapat diukur dengan jarak, lama perjalanan, jenis transportasi, dana atau hambatan fisik yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Seseorang yang tidak mau mengunjungi pelayanan kesehatan bukan hanya disebabkan karena orang tersebut tidak tahu atau belum tahu manfaat pelayanan tersebut, tetapi juga karena rumahnya terlalu jauh dengan pelayanan Kesehatan (Notoatmodjo, 2014).

Hasil penelitian dilapangan menunjukkan layanan VCT sudah ada di seluruh puskesmas dan rumah sakit umum yang ada di Kota Padang dan yang menyebabkan akses ke layanan menjadi sulit bagi responden adalah responden merasa khawatir atau malu jika pergi ke layanan VCT yang berada di wilayah tempat tinggalnya. Sehingga responden memilih untuk ke layanan VCT yang lebih jauh untuk menghindari bertemu dengan kerabat atau orang yang dikenal. Waktu pelayanan VCT pun juga sangat terbatas sehingga menyulitkan responden untuk pergi kesana.

Disarankan kepada LSL yang merasa sulit untuk mendapatkan akses ke layanan VCT untuk pergi ke puskesmas terdekat karna seluruh puskesmas yang ada di Kota Padang sudah menyediakan klinik VCT. Atau mengikuti acara-acara yang menyediakan mobile VCT. Sehingga LSL tetap bisa memanfaatkan layanan VCT.

I.       Dukungan Teman Sebaya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah (68,2%) responden tidak memiliki teman sebaya yang mendukung untuk memanfaatkan layanan VCT. Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui 64,4% responden yang tidak memiliki teman sebaya yang mendukung tidak memanfaatkan layanan VCT, jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan responden yang mendapat dukungan teman sebaya (28,6%). Hasil uji statistik menunjukkan p-value sebesar 0,014 (p<0,05). Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan teman sebaya dengan pemanfaatan layanan VCT oleh LSL di Kota Padang Tahun 2019.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan cukup banyak responden yang tidak memiliki teman sebaya yang mendukung. Hal ini juga disebabkan karena responden tidak aktif di dalam komunitas dan kelompok dukungan sebaya. LSL yang mendapat dukungan dari teman sebaya 2,6 kali lebih berisiko memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan.

Disarankan kepada LSL untuk lebih terbuka dan mau bercerita kepada orang terdekatnya mengenai prilaku seksual berisiko yang dilakukannya sehingga orang terdekatnya tersebut dapat membantu untuk mengingatkan dalam pencegahan HIV dan mendorong untuk memanfaatkan layanan VCT. Dan saran untuk semua orang agar lebih peka dan peduli dengan orang disekitar dan tidak mendiskriminasi LSL serta ODHA.

 

Kesimpulan

Lebih dari setengah responden tidak memanfaatkan layanan VCT, Terdapat hubungan antara peran tenaga kesehatan dan dukungan teman sebaya dengan pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok LSL di Kota Padang tahun 2019. LSL yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan 5,7 kali lebih berisiko memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan. LSL yang mendapat dukungan dari teman sebaya 2,6 kali lebih berisiko memanfaatkan layanan VCT daripada yang tidak mendapat dukungan. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap, dan akses ke layanan VCT dengan pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok LSL di Kota Padang tahun 2019.


 

BIBLIOGRAFI

 

Amalinda, F. N. (2017). Hubungan Kadar Sgot Dan Sgpt Pada Penderita Hiv Berdasarkan Lama Menderita. Universitas Muhammadiyah Semarang.

 

Asdriyanti Tora, P. (2017). Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Remaja Tentang Hiv/Aids Disma Negeri 2 Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017. Poltekkes Kemenkes Kendari.

 

Balqis Nazaruddin, S. K. M., Siregar, K. N., Skm, M. A., Thabrany, H., & Wahyuniar, I. L. (2021). Pedoman Dan Instrumen Penilaian Kolaborasi Lintas Sektor Pencegahan Dan Penanggulangan Hiv-Aids. Deepublish.

 

Datuan, N., Darmawansyah, D., & Daud, A. (2018). Pengaruh Kualitas Pelayanan Kesehatan Terhadap Kepuasan Pasien Peserta Bpjs Di Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Maritim, 1(3).

 

Dharlis, I., & Khasanah, U. (2022). Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat Rt 001 Rw 09 Kelurahan Sudiang Raya Tentang Hiv/Aids. Window Of Public Health Journal, 2059�2066.

 

Dian Gilang, P. (2022). Hubungan Pengetahuan Tentang Hiv/Aids Dengan Minat Wanita Usia Subur Dalam Melakukan Voluntary Councelling And Testing (Vct) Di Rw 2 Desa Kuripan Kidul Kabupaten Cilacap. Universitas Al-Irsyad Cilacap.

 

Fatmala, R. D. (N.D.). Predisposing, Enabling And Reinforcing Factors Of The Utilization Of Vct By Men Who Have Sex With Men (Msm). Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(1), 138�150.

 

Hariyadi, P. (2018). Perbedaan Strategi Koping Pada Pasien Hiv Yang Berkeluarga Dan Belum Berkeluarga Dikomunitas Lsl (Lelaki Seks Dengan Lelaki) Poli Vct Rsj Menur Surabaya. Universitas Muhammadiyah Surabaya.

 

Kemenkes, R. I. (2016). Laporan Perkembangan Hiv-Aids Triwulan I Tahun 2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit.

 

Kemenkes, R. I. (2017). Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta.

 

Marlinda, M., Tiara, T., & Wijayanti, R. (2022). Pemanfaatan Klinik Vct Oleh Kelompok Beresiko Dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan. Healthcare Nursing Journal, 4(1), 214�220.

 

Mujiati, P. J. (2014). Faktor Persepsi Dan Sikap Dalam Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling And Testing (Vct) Oleh Kelompok Berisiko Hiv/Aids Di Kota Bandung Tahun 2013. J Kesehat Reproduksi, 5(1), 49�57.

 

Notoatmodjo, S. (2014). Ipkjrc (2015). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Biomass Chem Eng, 49(23�6).

 

Pangaribuan, S. (2017). Pengaruh Stigma Dan Diskriminasi Odha Terhadap Pemanfaatan Vct Di Distrik Sorong Timur Kota Sorong. Junal Global Heatlh Science, 2.

 

Sumartini, S., & Maretha, V. (2020). Efektifitas Peer Education Method Dalam Pencegahan Hiv/Aids Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Remaja.

 

Triani, H. (2019). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Hamil Dalam Melakukan Pemeriksaan Test Hiv Di Puskesmas Ibrahim Adji Bandung 2019. Jurnal Kesehatan Stikes Muhammadiyah Ciamis, 6(1), 25�33.

 

Copyright holder:

Shelly Maya Lova, Besral, Vivi Triana (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: