Syntax
Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN :
2548-1398
Vol. 5, No. 5 Mei 2020
�
PERTANGGUNGJAWABAN
KORPORASI BANK DAN PENYELESAIAN GANTI RUGI TERHADAP NASABAH PENYIMPANAN DANA
YANG DIRUGIKAN
����������
Fatin
Hamamah dan Abdullah
Universitas 17
Agustus dan CV. Syntax Corporation Indonesia
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstract
Appearing Cases of Banking
Crimes (TIPIBANK) in the banking world has an impact on the trust of customers
when depositing funds into the bank. Banking Crimes (TIPIBANK) in the banking
world has an impact on the trust of customers when depositing funds to that
bank. So, the trust of the public is decreased because of the scope of the
banking world related to the principle of trust. The purpose of the research is
to find out how the process and form of accountability for the settlement of
the bank's compensation on customers as depositors of funds that have been
disadvantaged. The technique is used in this study to use normative juridical
methods with a literature study with a statute approach and conceptual
approach. The statute approach is the approach taken by identifying and
discussing the applicable laws and regulations relating to the material that is
discussed. The research produces the following conclusions; 1) The form of law
relations between banks and depositing customers can be seen from the
relationships that arise from banking products such as deposits, savings, current
accounts, etc. 2) The responsibility of the corporation can only be rightfully
burdened to the corporation if the criminal act/crime by the management of the
corporation is done by person that as the directing mind of that corporation,
3) Settlement of compensation, in this case, is carried out by means of
non-litigation and litigation efforts.
Keywords: �Accountability,
bank corporations and customers
Abstrak
Munculnya kasus-kasus Tindak Pidana Perbankan (TIPIBANK) dalam dunia perbankan berdampak terhadap kepercayaan para nasabah penyimpan dana kepada bank tersebut. Sehingga kepercayaan Masyarakat itu menjadi berkurang, karena ruang lingkup
dunia perbankan sangat berkaitan dengan asas kepercayaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses dan bentuk pertanggungjawaban penyelesaian ganti pihak bank tergadap nasabah sebagai penyimpan dana yang telah dirugikan. Teknik yang diambil dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan metode yuridis normative dengan studi kepustakaan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach). Statute approach adalah pendekatan yang digunakan dengan mengidentifikasi guna membahas peraturan perundang-undangan yang ada sesuai dengan materi
yang akan dibahas. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan berikut; 1) Bentuk hubungan hukum bank serta nasabah penyimpan dana bisa terlihat dari
hubungan yang ada dari produk-produk perbankan seperti deposito, tabungan, giro, dan sebagainya, 2) Pertanggungjawaban
korporasi baru dapat dibenar-benar di bebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana/kejahatan oleh pengurus korporasi tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan
directing mind dari korporasi
tersebut, 3) Penyelesaian ganti rugi dalam
hal tersebut, dilakukan dengan cara menempuh upaya
non litigasi maupun litigasi.
Kata kunci: Pertanggungjawaban,
korporasi bank dan nasabah
Pendahuluan
Bank merupakan badan usaha yang
menghimpun
dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan serta disalurkan kembali
kepada masyarakat
dalam bentuk kredit atau dalam bentuk yang lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup banyak orang (Indonesia, 1998). (Ibrahim, 2003) menyatakan suatu bank hanya bisa
melakukan kegiatan serta mengembangkan
banknya, jika
masyarakat
yakin
untuk menyimpan
uangnya dalam produk produk perbankan yang sudah ada�
didalam
bank tersebut.� Berdasarkan kepercayaan Masyarakat
bank mampu
mengerakkan
dana dari Masyarakat supaya disimpan
di banknya serta disalurkan
kembali kedalam
bentuk kredit atau
memberikan jasa-jasa perbankan.
Untuk mengambil kembali
kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan nasional, pemerintah melalui instrument hukum pidana
memberikan upaya pencegahan terhadap kejahatan perbankan. Kejahatan perbankan
yang bermunculan belakangan ini terjadi pada bank miilik pemerintah seperti
Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri
maupun kasus bank swasta seperti bank Century, City Bank, Bank Mega, Bank
Internasional Indonesia (BII), dan Bank Danamon yang kesemuanya itu merupakan
bentuk kjahatan perbankan yang melibatkan internal pejabat bank yang
bersangkutan tetapi juga pihak lain.
Dalam kaitan ini Soedjono Dirjojoesisworo, menyatakan:
�Kejahatan perbankan sebagai kejahatan dibidang
ekonomi dengan berbagai modus operandinya dengan penggunaan komputer sebagai
sarana kejahatanya, merupakan kejahatan yang tidak sedikit bahayanya yang dapat
mengancam sumber perekonomian sutau negara� (Ibrahim, 2004).
Berbicara tentang pelaku (Plager) tindak
pidana perbankan, maka seyogyanya dicermati eksistensi subjek hukum pidana
dalam tatanan normatif peraturan perundang-undangan kepidanaan. Dengan kata
lain, persepsi jangan hanya difokuskan kepada ketentuan pasal 59 kitab
undang-undang hukum pidana (selanjutnya disebut KUHP), yang hanya mengenak
manusia / perseorangan (naturalij person) sebagai subjek hukum pidana.
Akan� tetapi persepsi juga diarahkan pada
ketentuan undang-undang tentang TIPIBANK ekonomi, undang-undang tentang
Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Bank Indoenesia, serta
Undang-Undang Perbankan dan lain sebagainya, yang menetukan bahwa subjek hukum
pidana disamping orang juga badan hukum (recht person).
Penetapan kebijakan legislatif
(formulatif) yang mengembangkan subjek hukum pidana tersebut, salah satu
pertimbangannya didasarkan
atas karakteristik dan tipologi dari tindak pidana perbankan yang meliputi
pemahaman tentang peristilahan dan pengertiannya modus� operandi, perilaku serta korbannya.
Berdasrkan studi� dan analisis yang telah
penulis lakukan terhadap berbagai literatur dan kasus-kasus kejahatan
perbankan, karakteristik dan tipologi pelaku kejahatan perbankan sebagian besar
dapat diidentikkan dengan pelaku tindak pidana ekonomi, palaku kejahatan
korporasi, pelaku kejahatan bisnis, pelaku kejahatan di lingkungan
professional, pelaku kejahatan kerah putih, dan pelaku kejahatan komputer.
Berdasarkan uraian yang dijelaskan
diatas, maka dapatlah diidentifikasikan siapa saja yang berpeluang dan
mempunyai kemungkinan besar untuk melakukan tindak kejahatan perbankan,
keiatannya dengan hal tersebut dapat disebutkan pelaku tindak kejahatan
perbankan dilakukan oleh:
1.)
Oknum� pejabat dan pegawai di isntansi terkait;
2.)
Pihak terafiliasi;
3.)
Nasabah debitur yang
berniat buruk;
4.)
Anggota masyarakat yang memilki
akses untuk melakukanya.�
Sulitnya pengungkapan kajatahatan
berkerah putih karena faktor-faktor dibidangnya sudah teroraginisir rapih,
seperti yang dikatan suyatna �penjahat intelektual ini mempunyai target khusus
serta� pembagian tugas secara terpisah,
misalnya ada pelaku untuk mengatur sekaligus penggagas ide, pelaksana pembuka
rekening, penyandang dana, pembuat sekaligus penyedia sarana, maupun alat serta
pelaksana pencairan�.���
Dengan adanya kasus� kejahatan bank persepsi masyarakat sebagai nasabah
kuran mempercayai keamanan barang berharga maupun uang yang disimpankan dibank.
Apabila kepercayaan
nasabah dalam menyimpan dana ke bank semakin sedikit, tidak menutup
kemungkinan akan
terjadi rush terhadap dana yang
telah disimpan.� �
Berdasarkan kepercayaan nasabah
terhadap bank, dalam dunia perbankan dikenal adanya asas kepercayaan, menurut
Rachamadi Usman asas kepercayaan ialah suatu asas yang mengatakan �usaha bank
yang dalam hubungannya selalu dilandasi dengan asas kepercayaan antar bank dengan
nasabahnya�(Usman, 2001).
Lebih lanjut Sutan� Remi manyatakan �hubungan antara bank dengan
nasabah debitor juga bersifat sebagai hubungan kepercayaan yang membebankan
kewajiban-kewajiban� kepercayaan kepada bank terhadap nasabahnya�(Sjahdeini, 1993).
Oleh karena itu masyarakat bisnis serta
perbankan Indonesia berspekulasi yakni
hubungan antara bank dan
nasabah debitor
adalah juga hubungan yang berlandaskan kepercayaan. Dari pengertian kredit
hubungan antar bank dan nasabah bukan hanya sekedar hubungan kontrak belaka,
melainkan juga hubungan kepercayaan. Dalam bsinis, yang menjadi jamianan atau yang diterima
sebagai penukar uang, barang atau jasa adalah kepercayaan.
Metode
Penelitian
Paradigma yang diambil untuk penelitian ini ialah paradigma
Positivisme, dengan berasumsi bahwa norma hukum selalu
terdapat berbagai kepentingan yang relative dengan mewujudkan hukum in abstracto sampai diwujudkan inconcreto yang menjadi objek interpretasi dan konstruksi para pelaku, pengguna dan atau pemanfaatan hukum.
Jenis penelitian yang diambil
untuk penelitian ini termasuk dalam
penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yang tidak hanya menggambarkan
permasalahan saja akan tetapi secara
kualitatif memiliki interaksi sosial, karena pemahaman simbol-simbol yang digunakan menunjukkan adanya interaksi dalam konteks pertanggungjawaban korporasi bank terhadap dana nasabah yang dirugikan akibat kiprah yang dilakoni oleh pejabat bank.
Pendekatan penelitian yang diambil untuk penelitian
ini peneliti memilih Yuridis Normatif, yakni penelitian yang merujuk terhadap norma-norma hukum yang didalamnya berisi tentang peraturan perundang-undangan yang
ada sebagai pijakan normative, maka dalam mengelolah dan menganalisi bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan
diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu
hukum (Asikin, 2004).
Teknik yang diambil untuk penelitian ini yaitu dengan
menggunakan metode yuridis normative dengan studi kepustakaan dengan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) serta pendekatan
konseptual (conceptual
approach). Statute approach ialah pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang ada berkenaan dengan materi yang akan diulas. Sedangkat pendekatan dengan conceptual approach ialah
suatu pendekatan dengan teknik mengulas
kembali pendapat para sarjana sebagai acuan pendukung pembahasan dalam penelitian.
Hasil
dan Pembahasan
A.
Deskripsi Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah
Masalah hubungan antara bank dan nasabah dalam
peraturan perundag-undangan belum pernah ada yang membahas secara� tuntas. L.Budi Kangramanto, �Hubungan bank dengan nasabah bank yang mengandung tiga prinsip yang saling terkait satu
dengan yang lain, yaitu hubungan kepercayaan, kerahasiaan,� dan keharmonisan (Kagramanto, 2007). Alan L.Tyree dalam bukunya Banking Law In Australia, menyatakan � hubungan antar bank dengan nasabah bisa terlihat dalam berbagai macam segi atau kategori karena tidak mungkin
hubungan ini dibakukan dalam satu jenis hubungan saja. Hubungan satu macam segi
muncul apabila apabila perselisihan yang mana harus diselesaiakan menurut hukum
yang berlaku dan dapat memuaskan para pihak (Tyree, 1990).
Dalam kaitannya dengan prinsip suatu bank,
dapat dinayatakan bahwa suatu bank hanya bisa percayauntuk menempatkan uangnya,
pada produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan keyakinan masyarakat
tersebut, bank bisa menggerakkan dana dari masyarakat untuk diletakkan pada banknya, serta bank akan memberikan jasa-jasa perbankan.
Berdasarkan pasal 1 angka 5 UU Perbankan
disebutkan, jenis dana yang dihimpun oleh bank melalui perjanjian penyimpanan
dana bisa berbentuk giro, deposito (deposito berjangka), tabungan dan
bentuk-bentuk lainya yang dapat dipersamakan�
denagn itu. Simpanan masyarakat ini adalah satu diantara sumber dana bank, disamping modal sendiri, serta
pinjaman dari pasar uang dan pasar modal.
Berdasarkan dua fungsi utama dari suatu bank,
yakni fungsi penghimpun dana dan fungsi penyaluran dana, maka terdapat dua
hubungan hukum antara bank dan nasabah, yaitu: (Bako, 1994).
a.� Hubungan
Hukum Antara Bank dan Nasabah Penyimpan Dana
Artinya, bank menempatkan dirinya sebagai
peminjam dana milik Masyarakat (para penanam dana). Produk perbankan yang
meliputi tabungan, deposito, giro dan sebagainya kesemuanya adalah merupakan
bentuk hubungan� hukum yang terjalin
antara pihak bank dengan nasabah penyimpan dana. Bentuk hubungan hukum itu
tertulis didalam peraturan bank yang sudah dibuat oleh pihak� bank dan dilengkapi dengan syarat-syarat umum
yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah penyimpan dana. Syarat-syarat tersebut
harus disesuaikan dengan produk perbankan yang ada, karena syarat dari suatu
produk perbankan tidak akan sama dengan syarat dari produk perbankan yang lain.
Dalam produk perbankan seperti tabungan dan deposito, maka ketentuan-ketentuan
dan syarat-syarat umum� yang berlaku
adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum hubungan rekening deposito,
dan rekening tabungan.
b.
Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah Debitur
Artinya bank sebagai lembaga penyedia dana
bagi para debiturnya. Bentuk hubungan tersebut terdapat dalam perjanjian
kredit, seperti kredit modal kerja, kredit investasi, atau� kredit usaha kecil.
Dasar hubungan hukum antara bank dan para
nasabahnya adalah hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual ini terjadi pada
saat nasabah menjalin hubungan hukum dengan pihak bank, setelah nasabah melakukan
hubungan hukum seperti nasabah membuka rekening tabungan , deposito, dan produk
perbankan lainnya.
Terkait denga hubungan hukum antara bank dan
nasabah, Sutan Remy Sjahdeini, menjelaskan: �Hubungan hukum antara bank dan
nasabah penyimpan dana dituangkan dalam bentuk peraturan bank yang bersangutan
yang berisikan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang harus disetujui
oleh nasabah penyimpan� dana. Bila dana
disimpan dalam bentuk giro, maka ketentuan tersebut yang berlaku adalah
ketentuan dan syarat umum hubungan Rekening Koran. Bila dalam bentuk deposito
dan tabungan, ketentuan dan syarat umum yang berlaku adalah ketentuan dan
syarat umum hubungan rekening deposito atau rekening tabungan. Sebaliknya
hubungan hukum anntara bank dan nasabah debitur dituangkan dalam perjanjian
kredit bank, yang didalm prakatik pada umumnya�
berbentuk suatu perjanjian standar atau perjanjian baku (Sjahdeini,
1993)�.
Di Inggris melalui yurisprudensi telah
ditetapkan bahwa hubungan hukum anatara bank dan penyimpan dana merupakan
hubungan kontraktual. Ini dapat dilihat dalam kasus Folley v. Hill (1948) 9
E.R. 1002, yang kemudian tealh ditegaskan kembali dalam kasus antara
Joachimsoon v. Swiss Bank Corporation (1921) 3K.B.110 (Susanto, n.d.).
Dalam praktek perbankan yang dilakukan selama
ini, termasuk di Indonesia, penyerahan dana oleh nasabah, untuk disimpan oleh
bank selalu mengandung pengertian bahwa bank yang menerima simpanan tersebut
berhk untuk memakai dana tersebut sekehendaknya untuk keperluan apapun juga dan
nasabah menyimpan dana sementara tidak mempunyai hak apapun mengenai tujuan
pemakaian dana tersebut oleh bank. Hak nasabah penyimpan dana semata-mata hanya
berupa hak untuk menagih dan mendapatkan kembali dana tersebut. Praktek
perbankan selama ini bersikap bahwa uang atau dana yang telah diserahkan oleh
nasabah penyimpan dana kepada bank adalah uang milik bank. Hal ini berarti
bahwa dana yang disimpan oleh nasabah merupakan kekayaan bank selama dalam
penyimpanan bank.
Dalam praktek perbankan juga� berlaku ketentuan bahwa nasabah penyimpan
dana yang menyimpan atau meminjamkan uangnya kepada bank dilakukan bukan dengan
�Cuma-Cuma�, artinya pihak bank� harus
memberikan bunga kepada nasabah penyimpan dana tersebut.
Dalam hukum Indonesia, hal ini diatur dalam
pasal 1765 KUH Perdata disebutkan: �Adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga
atas pinjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian�.
Dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bank
dan nasabah penyimpan dana merupakan perjanjian peminjaman uang dengan bunga,
hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1765 KUH Perdata, maka dana yang
disampaikan oleh nasabah adalah milik bank (Asset Bank) selama dalam
penyimpanan bank. Dengan perkataan lain, maka sebelum ditagih oleh nasabah atau
telah jatuh tempo pihak bank dapat mempergunakannya untuk keperluan praktek perbankan
yang mereka lakukan dan dana yang disimpan nasabah merupakan kekayaan� bank selama dalam penyimpanan bank, hal ini
juga sejalan dengan� pasal 1755 KUH
Perdata yang menentukan bahwa �pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik
barang yang dipinjamkan�, dengan kata lain dana yang diserahkan oleh nasabah
penyimpan dana kepada bank beralih pemilikannyadari nasabah penyimpan dana
kepada bank.
������
Korporasi dalam melakukan atau tidak melakukan
perbuatan adalah selalu diwakili atau melalui perbuatan perorangan. Lompatan
pemikiran harus dilakukan Hakim dalam pertimbangan apakah perbuatan yang
dilakukan oleh perorangan dapat dipertanggungjawabkan pada korporasi. Perilaku korporasi akan selalu merupakan tindakan
fungsional. Para pelaku (pengurus korporasi) bertindak dalam konteks rangkaian
kerja sama antar manusia, in cosu melalui suatu organisasi tertentu. Hoge Raad dalam kasus tersebut memberikan
kriteria terkait pertanggungjawaban bagi pemilik perusahaan, yaitu:
a.
Apakah kesalahan mengisi formulir termasuk atau tidak termasuk pilihan
tindakan yang ada pada terdakwa; dan
b.
Apakah terdakwa menerima tindakan seperti itu atau ia biasa
menerimanya. �(Remmelink
& Moeliono, 2003)
Berdasarkan kriteria itu dapat dikatakan bahwa
tindakan yang salah itu harus masuk dalam rentang kekuasaan atau lingkungan
kekuasaan pengusaha dan pada umumnya ia harus mengetahui atau menyetujui
tindakan yang salah tersebut. Dalam hal korporasi, yang dimaksud adalah
terutama lingkup kewenangan dan penerimaan tindakan tersebut oleh pengurus atau
organ korporasi.
Teori identifikasi pada dasarnya mengidentikan
tindakan dan sikap batin individu yang berhubungan erat dengan korporasi
dianggap sebagai tindakan dan sikap batin korporasi itu sendiri. Individ yang
melakukan suatu kesalahan dalam lingkup korporasi dengan sendirinya kesalahan
itu pada dasarnya adalah kesalahan korporasi. Individu identic dengan korporasi (Ali, 2008). Teori identifikasi ini merupakan teori salah satu teori yang digunakan
dalam pembebanan pertanggungjawaban terhadap korporasi yang melakukan
kejahatan. Teori ini secara garis besar, mengemukakan agar suatu korporasi
dapat dibebani pertanggungjawaban, maka orang yang melakukan perbuatan
melanggar hukum harus dapat diidentifikasi terlebih dahulu. Pertanggungjawaban
pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan
pidana tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan directing mind dari korporasi
tersebut.
Teori identifikasi memberikan penjelasan bahwa
apabila seseorang diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama
menjalankan usaha korporasi tersebut, maka unsur �men rea� yang ada dalam
seseorang tersebut dianggap sebagai unsur �men rea� bagi korporasi, sehingga
korporasi harus bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
(pejabat) di dalam korporasi sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup
kewenangan atau dalam urusan transaksi korporasi (Pramono, 2013).
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana
menentukan siapa yang menjadi directing mind�
dari sebuah korporasi? Segi formal yuridis, bertitik-tolak dari anggaran
dasar korporasi, maka akan terlihat jelas siapa yang menjadi pejabat-pejabat
yang mengisi posisi tertentu berikut kewenangannya. Lord Diplock mengemukakan
bahwa pejabat senior adalah: �mereka-mereka yang berdasarkan memorandum dan
ketentuan yayasan atau hasil keputusan paradirektur atau putusan rapat umum
perusahaan, telah dipercaya melaksanakan kekuasaan perusahaan�. Dasar yang
harus depergunakan untuk mengidentifikasi, para pribadi yang dapat dianggap
sebagai orang yang mewakili korporasi adalah akta pendirian dan Anggaran Dasar
korporasi atau Hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang dipercayakan
untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan perusahaan (Arief, 2003).
Kenyataan daam praktik operasional korporasi, pejabat
senior yang secara formal yuridis mempunyai kewenangan dalam mengambil
keputusan dalam korporasi ternyata�
berada di bawah pengaruh pihak yang secara factual lebih memegang
kendali, misalnya para pemegang saham (shareholders).
Dalam praktik penanganan perkara, pada umumnya
tidak mudah menetapkan kualifikasi gugatan, meskipun secara teoritis
sebagaimana dikemukakan di atas bahwa kualifikasi gugatan setidaknya dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu wanprestasi (ingkar janji), perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perbuatan melawan hukum penguasa
(onrechtmatigeoverheids daad).
Disamping tanggungjawab palaku usaha/korporasi
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen)� pada pasal 19, hak-hak konsumen diatur dalam
Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Hak-hak konsumen sebagaimana telah
dikemukakan di atas, hanyalah mungkin ditegakkan apabila pelaku usaha bersedia
dengan sukarela memenuhi tuntutan konsumen terhadap pemenuhan hak-haknya yang
dilanggar oleh pelaku usaha. Jika pelaku usaha�
tidak mau melaksanakannya dengan cara sukarela, sedang konsumen
berasumsi bahwa pelaku usaha yang bersangkutan telah melakukan perbuatan
melanggar dengan ketentuan UU perlindungan Konsumen dan merugikannya, maka
pnegakan hak-hak konsumen/nasabah itu hanya dapat dituntut melalui proses
penyelesaian sengketa yang ditentukan di dalam UU Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan
Konsumen, sistem penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan dua jalur yaitu
pertama melalui jalur pengadilan dan kedua melalui jalur non penagdilan, sesuai
dengan kehdendak para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, apakah konsumen
akan berperkara di pengadilan atau di luar pengadilan� adalah pilihan sukarela para pihak. Kata
sukarela harus diartikan� sebagai pilihan
para pihak baik sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk menempuh jalan
penyelesaian di pengadilan atau di luar pengadilan.
Dalam kaitan ini Pasal 23 UU perlindungan
Konsumen menentukan bahwa: � pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi
tanggapan dan/atau memenuhi ganti kerugian atas tuntutan konsumen sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) sampai dengan ayat (1), dapat digugat melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan
di tempat kedudukan konsumen�.
Setelah berlakunya UU Perlindungan Konsumen,
perlakuan terhadap konsumen korban tindak pidana dibidang perlindungan
konsumen, telah berubah, baik dari segi peraturan hukumnya sendiri, maupun
praktik peradilan. Penempatan dalam sistem UU Perlindungan Konsumen menjamin
kepentingan dan hak-hak serta kewajiban kedua belah pihak, yaitu hak dan
kewajiban para pihak yang bersifat timbal balik. Hak konsumen merupakan kewajiban
usaha untuk memenuhinya, sebaliknya hak pelaku usaha merupakan kewajiban
konsumen untuk memenuhinya, seperti yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Bab
III Bagian Pertama UU Perlindungan Konsumen (hak dan kewajiban konsumen) serta
Pasal 6 dan Pasal 7 Bab III Bagian kedua UU Perlindungan Konumen (hak dan
kewajiban pelaku usaha).
Pelaku usaha/bank bertanggungjawab memberikan
ganti rugi atas kerugian konsumen/nasabah akibat mengonsumsi jasa perbankan
yang dihasilkan oleh bank. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang.
Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
UU Perlindungan Konsumen telah mengubah
paradigma lama yang kurang berorientasi kepentingan/hak konsumen. Pasal 63
butir c UU Perlindungan Konsumen telah menempatkan hukuman tambahan berupa
pembayaran ganti kerugian atas pelanggaran-pelanggaran norma-norma UU
Perlindungan Konsumen, disamping dijatuhkan sanksi pidana pokok berupa:
1.
Pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda maksimal Rp
2.000.000.000,- (dua miliar rupiah); dan
2.
Pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun atau pidana denda maksimal Rp
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Paradigma baru ini, tanpa diajukannya tuntutan
atau gugatan ganti kerugian oleh saksi korban atau pihak ketiga lainnya yang
dirugikan, akibat tindak pidana dibidang perlindungan konsumen, penuntut umum
ketika mengajukan tuntutan pidana di persidangan, dapat mengajukan tuntutan
tambahan berupa pembayaran ganti kerugian. Hakim yang mengadili tidak terpaku
pada pasal 99 Ayat (2) KUHP yang menentukan bahwa tuntutan ganti kerugian yang
dikabulkan terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
ketiga (termasuk saksi korban) yang dirugikan. Sikap yang semestinya ini
tidaklah melanggar hukum acara pidana (KUHAP).
Berdasarkan Pasal 19 Ayat (4) UU Perlindungan
Konsumen menegaskan: �Pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha atas kerugian
konsumen akibat mengonsumsi jasa tidaklah menghapus kemungkinan tuntutan
pidana.� Demikian pula penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak
menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini
(Pasal 45 Ayat (3) UU Perlindungan Konsumen). Ada 2 (dua) hal yang perlu dicermati pada
Pasal 22 UU Perlindungan Konsumen tersebut:
Pertama, dikatakan sebagai kasus pidana,
apabila unsur-unsur suatu tindak pidana sesuai dengan sistem pidana telah
dijalankan, seperti penyidikan, penuntutan suatu tindak pidana di bidang
Perlindungan Konsumen.
Kedua, kasus pidana yang dimaksudkan dalam
Pasal 22 UU Perlindungan Konsumen tersebut berkaitan dnegan ketentuan-ketentuan
Pasal 19 Ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Perlindungan Konsumen menegaskan
bahwa pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha atas kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi atau jasa tidaklah menghapuskan kemungkinan tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian terbalik tentang ada tidaknya unsur kesalahan. Salah satu bagian penting dalam penyelesaian
sengketa perdata konvensional, adalah beban pembuktian (bewijslast/burden of
proof). Kepada pihak mana ditetapkan beban pembuktian apabila timbul suatu
perkara. Keliru menetapkan beban pembuktian dapat menyebabkan kerugian terhadap
pihak yang dibebani, dan memberi keuntungan kepada pihak yang lain.
Untuk menghindari kesalahan pembebanan
pembuktian yang tidak proporsional, sehingga merugikan kepantingan pihak
lainnya, maka dalam menerapkan beban pembuktian harus dilihat kasus perkasus,
menurut keadaan yang konkret, dan perlu dipahami prinsip dan praktik yang
berkenaan dengan penerapannya.
Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen
menentukan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti kerugian atas
kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, dengan bentuk ganti kerugian
yang ditentukan dalam pasal 19 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Jika dikaitkan dengan Pasal 1246 KUH Perdata
ganti kerugian terdiri dari 2 (dua) factor, yaitu:
a.
Kerugian yang nyata-nyata diderita, dan
b.
Kerugian lainnya, atau keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (2) Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008
(selanjutnya disebut PBI-Penyelesaian Pengaduan Nasabah) telah mewajibkan semua
Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat untuk menyelesaikan setiap pengaduan yang
diajukan nasabah dan/atau perwakilan nasabah. Maka, setiap nasabah disini,
selain pihak yang menggunkan jasa bank, termasuk pula pihak yang tidak memiliki
rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan
(walk-in customer). Hal ini berarti bahwa setiap pengguna jasa bank baik yang
memiliki rekening ataupun pengguna jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan
dapat pula mengajukan pengaduan.
Model penyelesaian sengketa melalui pengaduan
nasabah, dalam struktur penyelesaian sengketa perlindungan konsumen termasuk
penyelesaian secara damai di luar pengadilan sebagaimana dinmanfaatkan dalam UU
Perlindungan Konsumen. Secara Prosedural, konsep �Pengaduan Nasabah� haruslah
berlandaskan pada filosofis keseimbangan kedudukan nasabah bank sebagai
konsumen dan pihak perbankan. Reulasi proses penyelesaiannya harus menjaminb
bahwa proses penyelesaian tersebut tidak semakin memperlihatkan posisi pelaku
usaha sebagai pihak yang kuat dan pihak nasabah sebagai konsumen datang mengadu
dalam posisi meminta-minta belas kasihan kepada pihak bank. Oleh karena itu,
apabila mekanisme penanganan pengaduan nasabah ini merupakan wujud integrasi
dan harmonisasi hukum perbankan dan perlindungan konsumen, maka ada jaminan
bahwa regulasi tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedua belah pihak secara
seimbang.
Berkenaan dengan keberadaan unit dan/atau
fungsi khusus penyelesaian pengaduan nasabah, ketentuan dalamPasal 5
PBI-Penyelesaian Pengaduan Nasabah mewajibkan Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat mempublikasikan kepada Masyarakat secara tertulis dan/atau elektronis.
Menurut PBI-Penyelesaian Pengaduan Nasabah, nasabah dapat mengajukan atau
mengajukan atau menyampaikan pengaduan, bisa secara tertulis dan/atau lisan,
yang berisikan penjelasan inti permasalaha yang akan diadukan dan apa yang akan
diharapkan dari bank.
Menurut Rachmadi Usman, terdapat dua cara yang
dapat ditempuh nasabah untuk mengajukan pengaduan, yaitu:
1.
Secara lisan
a.
Diajukan secara langsung ke kantor bank terdekat, kantor bank tempat nasabah
membuka rekening atau kantor bank temapat nasabah melakukan transaksi keuangan;
b.
Melalui telepon, termasuk call center (layanan 24 jam) yang tersedia.
2.
Secara tertulis
a.
Membuat dan menyampaikan surat resmi dengan jelas serta dengan
mengungkapkan kronologis dan lokasi terjadinya permasalahan, baik diantar
langsung, atau dikirim melalui faksmili atau melalui pos ke bank yang
bersangkutan;
b.
Melalui e-mail atau website bank;
c.
Melalui sarana elektroniklainnya;
d.
Mengisi formulir pengaduan yang tersedia pada setiap kantor bank;
e.
Pengaduan secara tertulis
wajib dilengkapi fotocopi identitas dan Dokumen pendukung lainnya
yang mendasari transaksi keuangan.
Pengaduan nasabah tersebut dapat disampaikan
kepada kantor bank terdekat, kantor bank tempat nasabah membuka rekening atau
kantor bank tempat nasabah melakukan transaksi keuangan. Ketentuan dalam Pasal
7 ayat (1) PBI-Penyelesaian Pengadaan nasabah, menetapkan baha penerimaan
pengaduan nasabah dapat dilakukan pada setiap kantor bank dan tidak terbatas
hanya pada kantor bank tempat nasabah membuka rekening dan/atau kantor bank
tempat nasabah melakukan transaksi keuangan. Jadi, seluruh kantor bank yang
bersangkutan dapat menerima pengaduan nasabah.
Terdapat akibat hukum dari kejahatan dibidang
perbankan sehingga bank dikategorikan sebagai bank bermasalah. Dalam hal ini
diajukan beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam rangka perlindungan dana
nasabah bank sebagai berikut:
a.
Pembuatan Peraturan Baru
b.
Pelaksanaan Peraturan yang Ada
c.
Perlindungan Nasabah deposan lewat lembaga asuransi deposito
d.
Memperketat perizinan bank
e.
Memperketat pengaturan dibidang kegiatan bank
f.
Memperketat pengawasan bank
Kesimpulan
Bentuk hubungan hukum bank
dan nasabah penyimpan dana dapat terlihat dari hubungan yang muncul dari produk-produk
perbankan seperti deposito, tabungan, giro, dan sebagainya. Dalam hal ini
bank menempatkan dirinya sebagai peminjam dana milik Masyarakat (para penanam
dana). Bentuk� hubungan
hukum itu, dapat tertuang dalam bentuk peraturan
bank yang bersangkutan dan syarat-syarat
umum yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah penimpan dana.
Pertanggungjawaban setiap korporasi
bank terhadap nasabah bank
yang dirugikan akibat dari perbuatan penyimpangan (pelanggaran) yang dilakukan oleh pejabat bank, dalam hal ini
harus diketahui terlebih dahulu bahwa korporasi dalam melakukan perbuatan adalah selalu diwakili atau melalui perbuatan
pengurursnya, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pengurusnya, untuk mempertanggungjawbakan perbuatan pengurus tadi tersebut,
maka digunakan teori identifikasi yang secara garis besar
mengemukakan�
agar� suatu
korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban , maka orang� yang melakukan perbuatan melanggar hukum atau kejahatan harus dapat diidentifikasi
terlebih dahulu. dengan demikian pertanggungjawaban korporasi baru dapat dibenar-benar
di bebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana/kejahatan oleh pengurus korporasi tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan
directing mind dari
korporasi tersebut. Teori identifikasi memberikan penjelasan bahwa apabila seseorang
diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama� menjalankan usaha korporasi tersebut, maka� unsur men
rea yang ada dalam diri seseorang tersebut dianggap sebagai unsur men
rea bagi korporasi,
sehingga korporasi harus bertanggungjawab atas� perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat didalam korporasi sepanajang ia melakukannya� dalam ruang lingkup kewenangan
atau dalam urursan transaksi korporasi.
Model penyelesaian ganti rugi terhadap
dana nasabah yang dirugikan
akibat perbuatan menyimpang (pelanggaran) yang dilakukan oleh pejabat bank. Penyelesaian ganti rugi dalam hal
tersebut, dilakukan dengan cara menempuh
upaya non litigasi maupun litigasi, dalam hal ini
dapat ditempuh melalui pengaduan nasabah ke bank tempat dia buka
rekening dan tembusan pengaduan tersebut� ke Bank Indonesia, terhadap nasabah yang tidak puas terhadap
penyelesaian melalui bentuk pengaduan, maka nasabah dapat
menempuh upaya mediasi melalui arbitrase ataupun lembaga mediasi perbankan yang dibentuk oleh asosiasi perbankan , dan apabila nasabah tetap tidak puas
dengan model penyelesaian melalui mediasi bank, maka� nasabah dapat menyelesaiakan
sengketa ke BPSK, maupun gugatan perdata di pengadilan atas dasar wanprestasi.��
BIBLIOGRAFI
Ali, M. (2008). Kejahatan korporasi: Kajian relevansi sanksi tindakan
bagi penanggulangan kejahatan korporasi. Arti Bumi Intaran.
Arief, B. N. (2003). Kapita selekta hukum pidana.
Citra Aditya Bakti.
Asikin, Z. (2004). Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bako, R. S. H. (1994). Hubungan bank dan nasabah terhadap
produk tabungan dan deposito: suatu tinjauan hukum terhadap perlindungan
deposan di Indonesia dewasa ini.
Ibrahim, J. (2003). Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan
Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank. Utomo.
Ibrahim, J. (2004). Kartu kredit: dilematis antara kontrak
dan kejahatan. Refika Aditama.
Indonesia, P. R. (1998). Undang-undang Republik Indonesia
nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992
tentang perbankan. BP. Cipta Jaya.
Kagramanto, I. B. (2007). Eksistensi Lembaga Penjamin
Simpanan dalam Sistem Perbankan Nasional. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, 19(3).
Pramono, W. (2013). Pertanggungjawaban pidana korporasi hak
cipta. Bandung: Alumni.
Remmelink, J., & Moeliono, T. P. (2003). Hukum pidana:
komentar atas pasal-pasal terpenting dari kitab undang-undang hukum pidana
belanda dan padanannya dalam kitab undang-undang hukum pidana indonesia.
Gramedia Pustaka Utama.
Sjahdeini, S. R. (1993). Kebebasan berkontrak dan
perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank di
Indonesia. FH-UI.
Susanto, M. (n.d.). Kedudukan Dana Aspirasi Dewan
Perwakilan Rakyat dalam Ketatanegaraan Indonesia.
Tyree, A. L. (1990). Banking law in Australia.
Butterworths.
Usman, R. (2001). Aspek-aspek hukum perbankan di Indonesia.
Gramedia Pustaka Utama.