������������������������� ��� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541 0849

��������������������������� e-ISSN : 2548-1398

��������������������������� Vol. 2, No 5 Mei 2017

PENERAPAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NO. 4 TAHUN 2005 UNTUK MELAKSANAKAN PENCEGAHAN POLUSI LAUT JENIS MINYAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MENJAGA EKOSISTEM PERAIAN INDONESIA

 

Pagira Ritci

Akademi Maritim Cirebon

[email protected]

 

Abstrak

Pencemaran lingkungan merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Hal ini karena kasus pencemaran lingkungan di Indonesia bukan sesuatu hal yang baru dan kuantitasnya pun terbilang besar. Kasus pencemaran lingkungan di Indonesia sendiri mencakup semua elemen, baik udara, tanah, hingga laut. Pencemaran terhadap umumnya diakibatkan oleh polusi yang berasal dari kegiatan usaha, rumah tangga, maupun alamiah. Menurut pembagiannya jenis polusi laut terbagi menjadi beberapa jenis, mulai dari padat, cair, hingga gas. Namun jika dipertimbangkan lebih mendalam polusi laut yang hingga kini jadi permasalahan dan berdampak besar bagi ekosistem adalah polusi minyak. Polusi minyak umumnya diakibatkan oleh kecelakaan tanker atau kebocoran pada kilang minyak yang berada di laut. Upaya penanganan dan/atau pencegahan sendiri dapat dilakukan dengan mengikuti Peraturan Kementerian Perhubungan No. 4 Tahun 2005. Dalam peraturan tersebut termaktub beberapa aturan kelengkapan kapal yang selama ini jadi penyebab kecelakaan kapal hingga menyebabkan tumpahnya minyak ke laut. Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dengan berorientasi pada permasalahan pencegahan polusi laut jenis minyak sebagai bahasan utama.

 

Kata Kunci: Pencegahan Polusi Laut, Polutan Minyak

 

Pendahuluan

Secara garis besar polusi atau pencemaran laut adalah masuknya kotoran dan/atau hasil buangan kegiatan makhluk hidup ke dalam laut. Adapun sumber dari pencemaran laut tersebut umumnya berbentuk tumpahan minyak, sampah sisa aktivitas manusia, limbah industri, dan buangan aktivitas perkapalan. Ada beberapa sumber yang menyebabkan terjadinya polusi laut, diantaranya adalah:

1.      Limbah rumah tangga yang dibuang ke laut

2.      Limbah lumpur yang dibuang ke laut

3.      Sisa limbah industri

4.      Limbah bekas pengerukan

5.      Limbah sisa eksploitasi

6.      Ceceran dan/atau tumpahan minyak

7.      Objek sedimentasi

8.      Limbah perikanan

9.      Limbah padat

Beberapa limbah di atas merupakan polutan yang kerap merusak ekosistem laut. Sebagai contoh limbah rumah tangga.Disudur dari Liputan6.com (2017), setiap tahun Indonesia mengumpulan 9 juta ton sampah yang kemudian dibuang di laut. Jumlah tersebut tentu sangat mengkhawatirkan mengingat mayoritas sampah yang dibuang ke laut adalah sampah plastik yang notabene tidak bisa terurai oleh organisme laut.

Salah satu contoh kasus polusi yang hingga saat ini belum menemukan titik temu adalah meledaknya kilang minyak Montara yang mengakibatkan pencemaran laut dan mengakibatkan 13.000 petani rumput laut mengalami kerugian. Kejadian tersebut terjadi pada�� 9 tahun yang lalu, tapatnya di tanggal 29 Agustus 2009 hingga 3 November 2009. Polusi laut akibat tumpahan minyak tersebut terjadi akibat kilang minyak yang berada di laut Australia meledak dan menimbulkan kebocoran pipa. Kebocoran tersebut terjadi tidak hanya satu atau dua hari, melainkan 75 hari. Akibat lamanya proses penanganan minyak yang menyembur ke permukaan kemudian tumpah dan mengotori lautan sekitar. Jika dikalkulasi luas pencemaran laut akibat kondisi tembus hingga angka 90.000 m2 (Blasius Mangkaka: 2017). Dengan luas pencemaran tersebut polutan minyak yang dihasilkan dari kondisi ini telah masuk ke wilayah ZEE Indonesia dan merusak ekosistem sekitar.

13.000 petani rumput laut NTT adalah salah satu dari kelompok masyarakat yang dirugikan akibat kejadian ini. Namun bukan hanya petani rumput laut saja yang dirugikan. Nelayan asal NTT juga harus berlayar lebih jauh untuk mencari ikan. Laut Kalimantan dan Sulawesi adalah alternatif pilihan untuk beberapa nelayan NTT. Kendati sangat jauh, para nelayan harus tetap berlayar dengan menghidupi keluarga di rumah.

Melihat dari kondisi tersebut banyak pihak yang menyayangkan hal ini terjadi. Minyak sendiri adalah salah satu polutan yang memiliki dampak signifikan bagi ekosistem laut.Adapun dampak negatif yang dapat timbul akibat polusi laut akibat tumpahan minyak adalah (Ahmad Riyadi: 2015):

1.      Terlembatnya perkembang biakan beberapa organisme laut seperti gangga dan beberapa jenis biota lain.

2.      Penumpukan lapisan minyak yang tebal dapat mengakibatkan keterlambatan proses fotosintesa alamiah.

3.      Komponen-komponen minyak yang larut secara tidak langsung akan berubah menjadi racun dan merusak kualitas hidup organisme laut.

4.      Mengganggu rantai makanan.

5.      Meningkatkan jumlah kematian biota laut akibat keracunan dan/atau kehabisan oksigen.

Dari beberapa kerugian yang disebutkan di atas penulis dapat menalarkan bahwa kerugian-kerugian tersebut ialah kerugian yang berujung pada keberlangsungan hidup suatu jenis biota, bahkan ekosistem. Lebih lanjut, jika suatu ekosistem alam rusak akibat polusi, cepat atau lambat beberapa makhluk hidup yang tinggal disana akan mati dengan sendirinya.

����������� Ekosistem sendiri adalah tatanan kesatuan yang sangat kompleks. Dalam tatanan tersebut terdapat hewan, habitat, dan tumbungan yang hidup dan dipertimbangkan sebagai satu kesatuan yang utuh (Woodbury: 1954). Berbeda dengan Woodbury, Odum (1993) menjelaskan pengertian ekosistem secara lebih ringkas. Menurutnya ekosistem merupakan satuan unit yang mendasar dalam ekologi. Di dalam ekologi tersebut terdapat organisme dan lingkungan yang saling memberikan dampak baik satu dengan yang lain.Indonesia sendiri telah mengatur pengertian ekosistem melalui perundang-undangan lingkungan hidup yang dimana pada UU Lingkungan Hidup tersebut ekosistem diartikan sebagai satu kesatuan lingkungan hidup yang menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam bentuk kestabilan, produktivitas dan keimbangan lingkungan hidup (UU Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009). Dalam UU tersebut unsur yang dimaksud adalah unsur biotik dan abiotik, dimana unsur biotik merupakan unsur yang berhubungan dengan makhluk hidup sedangkan untuk abiotik merupakan unsur yang berhubungan dengan benda mati seperti batuan, tanah, air, dan sejenisnya.

����������� Jika merujuk pada pengertian ekosistem di atas, lalu dikaitkan dengan pencemaran/polusi, maka penulis dapat berspekulasi bahwa; jika suatu ekosistem baik darat, laut maupun udara dirusak, kerusakan tidak hanya terjadi pada unsur abiotik atau benda mati, melainkan juga pada unsur biotik. Kerusakan tersebut tentu akan berakibat fatal menginat ekosistem merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan antarunsurnya. Sehingga, apabila salah satu unsur sudah mengalami kerusakan, bukan tidak mungkin unsur lain akan mengalami kerusakan pula.

����������� Penanganan polutan akibat pencemaran minyak memang sangat mungkin dilakukan. Caranya pun tidak terlalu sulit. Namun demikian, pemerintah �dalam hal ini Kementerian Perhubungan� telah menetapkan peraturan yang digunakan untuk mencegah pencemaran akibat penumpahan minyak ke laut.Merujuk pada latar belakang tersebut penulis kemudian berinisiatif untuk menyusun karya tulis ilmiah dengan bahasan pencegahan polusi laut dengan orientasi pembahasan pada peraturan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan mengenai Pencegahan Pencemaran laut.

Metodologi Penelitian

Studi kepustakaan adalah desain penelitian yang peneliti gunakan. Studi kepustakaan sendiri merupakan desain penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan berbagai macam data yang berasal dari buku, majalah, dokumen, catatan, ataupun produk kepustakaan lain (Mardalis: 1999). Untuk teknik pengumpulan data peneliti memilih kajian kepustakaan karena dinilai selaras dengan desain penelitian yang digunakan. Dengan kesamaan tersebut penulis dapat berharap desain penelitian dapat diterapkan dapat menghasilkan penelitian yang maksimal.

Penelitian ini memiliki orientasi penuh pada kajian kepustakaan dan literatur, karenanya peneliti menggunakan instrumen yang ideal untuk desain penelitian tersebut. Adapun untuk instrumen penelitian yang dimaksud adalah buku dengan tema pencemaran/polusi laut serta komputer jinjing yang digunakan untuk menyusun karya tulis.

Berkaitan dengan waktu dan tempat penelitian, peneliti tidak mencantumkan kedua hal tersebut mengingat penelitian ini tidak berorientasi pada tempat dan waktu khusus.

Analisis data yang digunakan disini adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif sendiri merupakan analisis yang dilakukan untuk memvisualkan suatu data melalui kalimat dan/atau kata-kata yang disusun sehingga menggambarkan data tersebut.

Hasil dan Pembahasan

Polusi laut yang diakibatkan tumpahan minyak memang bukan merupakan hal yang asing. Indonesia sebagai negara yang ada di jalur pelayaran dan memiliki kilang minyak laut tidak lepas dari kasus seperti ini. Tercatat ada beberapa kasus penting yang melibatkan permasalahan pengelolaan minyak, baik itu produksi maupun distribusi, yang pada tahap lanjut kemudian mengalami masalah dan berujung pada tumpahnya minyak ke laut. Berikut adalah beberapa contoh kasus yang dapat peneliti himpun:

Tabel 1

Beberapa Kasus Tumpahnya Minyak di Laut RI

No

Tahun

Lokasi

Kronologi

1

1975

Selat Malaka

Tenggelamnya Kapal Showa Maru dan Menumpahkan Sedikitnya 1 Juta Barel Minyak Jenis Solar Ke Laut

2

1979

Pelabuhan Louksemaweh

Kasus kebocoran Kapal Tanker Golden Win dan Menumpahkan 1.500 kiloliter Minyak Mentah

3

1999

Cilacap

Kasus kerusakan (kerobekan) kapal King Fisher yang berujung pada penumpahan 4.000 barel minyak ke laut

4

2000

Batam

Kasus kandasnya MT Natuna Sea yang menumpahkan sedikitnya 4.000 ton minyak mentah

5

2001

Tegal � Cirebon

Tenggelamnya kapal tanker Stedfest yang mengangkut kurang lebih 1.200 ton limbah minyak

����������� �� Sumber: (Sofyan: 2001) dan (Dephub: 2002)

Lima kasus di atas bukanlah keseluruhan kasuas penumpahan minyak yang terjadi di Indonesia, melainkan contoh kasus yang dipilih karena beberapa kriteria yang dipenuhi. Jika merujuk pada kasus di atas, keseluruhan kasus merupakan permasalahan teknis yang berujung pada kecelakaan dan penumpahan minyak. Secara keseluruhan, menurut Ingmanson dan Wallace (1985), dari semua kasus yang ada, dunia menerima 6 juta metrik ton minyak akibat permasalahan transportasi minyak dan produksi minyak di laut.

Pencemaran laut akibat penumpahan minyak mengakibatkan berbagai permasalahan baru, beberapa diantaranya seperti kerusakan ekosistem, penurunan kualitas air sehingga menyebabkan kematian biota laut, penurunan kualitas hidup beberapa burung yang menggantungkan hidup dari laut akibat pencemaran minyak yang membunuh beberapa spesies ikan, kerusakan terumbu karang akibat endapan minyak yang sampai ke dasar, serta beberapa kerusakan lain yang mungkin terjadi akibat endapan dan/atau penumpukan minyak di permukaan.

Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mengurangi dan/atau bahkan menghindari pencemaran/polusi laut yang diakibatkan oleh minyak. Salah satu cara yang diterapkan adalah dengan mentaati peraturan Kementerian Perhubungan Nomor KM 4 tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran Laut.

Pada pasal 4 bab 3 peraturan Kementerian Perhubungan Nomor KM 4 Tahun 2005 menegaskan bahwa kapal dengan tonase kotor GT 100 � 149 harus memiliki struktur tubuh dan peralatan yang menunjang pencegahan pencemaran laut yang diakibatkan oleh minyak. Kapal dengan tonase tersebut harus memiliki pondasi, pipa, serta tangki yang dirancang dengan standar tinggi dan memenuhi kriteria keamanan perlengkapan perminyakan. Di samping syarat tersebut kapal dengan tonase demikian juga harus memiliki pipa balas yang terpisah dari pipa yang digunakan untuk bahan bakar dan pelumasan. Kapal dengan tonase demikian juga harus memiliki tangki penampungan minyak kotor dengan ukuran yang diperhitungkan dengan rumus di bawah ini:

V =0,15 x C

Keterangan:

V = kapasitas tangki (m3)

C = bahan bakar yang digunakan setiap hari (ton)

Oily water sparator yang ditempatkan di ruang mesin dan pembuangan memiliki kadar tidak lebih dari 15 ppm (part per million) dan memiliki kapasitas sebagai berikut:

1.      0,10 m3/jam = kapal dengan mesin <500 PK

2.      0,25 m3/jam = kapal dengan mesin >500 PK

Di samping diharuskan memiliki peralatan dan instrumen kapal sebagaimana uraian di atas, kapal yang difungsikan untuk kegiatan perminyakan juga harus memiliki buku agenda yang dalam lingkupannya berisi tentang catatan minyak di ruang mesin dan muatan. Dalam buku tersebut tersusun agenda kegiatan ABK dalam pengelolaan kapal seperti pencucian, pembersihan, dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan aktivitas perminyakan maupun perkapalan. Pada prosesnya, baik peralatan maupun buku perkapalan wajib diisi awak maupun nahkoda kapal untuk keperluan pencatatan dan evaluasi jika memang terjadi penumpahan minyak yang diakibatkan kesalahan teknis kapal.

Di sisi lain aspek perkapalan yang disebutkan di atas hanya merujuk pada tindakan evaluasi semata, namun bila dicermati lebih jauh, pemenuhan aspek-aspek tersebut akan menghindarkan kapal dari resiko tumpahnya minyak ke lautan akibat kesalahan teknis.

Fungsi pencatatan yang digunakan disini berperan sebagai kontrol. Saat komponen kapal terdeteksi berkualitas buruk atau abnormal, pihak ABK akan melaporkan pada nahkoda untuk ditinjak lanjut sehingga menghindarkan terjadinya penumpahan minyak akibat komponen yang abnormal. Dengan adanya buku kontrol yang berorientasi pada kegiatan kapal akan memudahkan ABK untuk mendeteksi permasalahan yang terjadi pada kapal.

Pada bab IV Peraturan Kementerian Perhubungan Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pencegahan Pencemaran Laut termaktub beberapa aturan yang mengharuskan kapal untuk memiliki standar penanggulangan penumpahan minyak yang terjadi di laut. Adapun standar penanggulangan yang dimaksud adalah:

1.      Kapal tangki dengan tonase GT 100 atau lebih dan/atau kapal non tangki dengan tonase GT 400 atau lebih wajib dilengkapi dengan pola penanggulangan penumpahan minyak lengkap dengan prosedur dan cara yang benar, yang menurut keabsahannya keberadaan pola penanggulangan tersebut disahkan oleh Direktur Jenderal.

2.      Nahkoda dan/atau pemimpin kapal wajib membuat sijil penanggulangan minyak tumpah yang pada pelaksanaannya sijil tersebut dipasang pada tempat-tempat strategis dan mudah terlihat.

3.      Nahkoda dan/atau pemimpin kapal wajib mengadakan latihan penanggulangan minyak tumpah sekurang-kurangnya 3 bulan sekali atau terjadi pergantian ABK di angka 25%.

4.      Apabila pada pelaksanaanya nahkoda dan/atau pemimpin kapal tidak dapat menanggulangi tumpahan minyak maka pihak nahkoda atau pemimpin kapal wajib meminta bantuan pada pihak yang dinilai mampu dan memiliki kewajiban atas kondisi tersebut.

5.      Pemilik dan/atau operator kapal wajib melengkapi kapalnya dengan peralatan penanganan penumpahan minyak dengan rincian sebagai berikut:

a.       Bahan kimia pengendap sejumlah 100 liter untuk kapal tangki dengan tonase kotor GT 150 � GT 1.000

b.      Bahan kimia pengendap sejumlah 60 liter untuk kapal non tangko dengan tonase kotor GT 400 � GT 1.000

c.       Oil boom ukuran 145 meter, alat penyemprot, bahan kimia pengendap 400 liter, dan absorber (peredam) ukuran 100 kguntuk kapak tangki dengan tonase GT 1.000 � GT 5.000

d.      Absorber minyak 100 kg dan bahan kimia pengendap 400 liter untuk kapal non tangki dengan tonase GT 1.000 � GT 5.000

Pada proses pelaksanaan aturan ini kuantitas bahan dan/atau alat akan bertambah apabila tonase lebih besar dibandingkan tonase kapal-kapal di atas.

Pencucian atau dalam istilah perkapalan disebut tank cleaning merupakan kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran minyak di laut. Potensi tersebut pada umumnya muncul apabila pihak bersangkutan tidak mematuhi pedoman telah ditetapkan. Menurut Peraturan Kementerian Perhubungan Nomor 4 Tahun 2005 untuk menurunkan potensi pencemarah minyak akibat kegiatan tank cleaning dan dumping, operator kapal harus melakukan tank cleaning dan dumping dengan merujuk aturan sebagai berikut:

1.      Pelaksanaan tank cleaning dan dumping harus dilakukan oleh badan usaha yang tersertifikasi dan bukan dilakukan oleh ABK dari kapal masing-masing.

2.      Badan usaha yang digunakan untuk proses tank cleaning harus memiliki sekurang-kurangnya beberapa seperti berikut:

a.       Memiliki SIUP yang dikeluarkan dari instansi terkait

b.      Memiliki rekomendasi yang dikeluarkan menteri lingkungan hidup mengenai peralatan tank cleaning yang dimiliki

c.       Memiliki tenaga ahli sekurang-kurangnya 2 karyawan yang kompeten dalam hal tank cleaning.

d.      Memiliki dan/atau mengusai peralatan tank cleaning berikut:

1)     Blower (2 unit)

2)     Kompresor (2 unit)

3)     Gas detector (2 unit)

4)     Masker gas (2 unit)

5)     Pakaian tahan api (2 unit)

6)     Pompa cairan (2 unit0

7)     Sepatu karet (10 unit)

8)     Batterworth (2 unit)

9)     Safety lamp (5 unit)

10) Alat pemadam kebakaran jinjing (2 unit)

e.       Mengusai dan/atau memiliki alat penanggulangan penumpahan minyak seperti;

1)      Oil bloom

2)      Absorbent

3)      disperant

f.        Pelaksana tank cleaning harus mengusai dan/atau memiliki kapal tunda paling sedikit 1 unit

g.       Pelaksana tank cleaning harus mengusai dan/atau memiliki kapal tongkang (penampung) paling sedikit 1 unit

Pada dasarnya kejadian kecelakaan yang melibatkan penumpahan minyak di lautan disebabkan oleh kondisi abnormal dari kapal tangki. Sehingga, guna meminimalisir hal tersebut dibuatlah Peraturan Kementerian Perhubungan Nomor 4 Tahun 2005 mengenai Pencegahan Pencemaran Minyak sebagai bentuk dari polusi laut. Pada proses pelaksanaannya peraturan tersebut merupakan pedoman untuk mengurangi polusi laut yang diakibatkan oleh kecelakaan yang berujung pada penumpahan minyak di laut. Dengan kata lain, penerapan Peraturan Kementerian Perhubungan No. 4 merupakan upaya pencegahan polusi laut untuk menjaga kelestarian ekosistem laut dari polutan dengan bentuk minyak.

 

Kesimpulan

Dari bahasan di atas didapat beberapa kesimpulan sebagaimana berikut:

1.      Mayoritas penumpahan minyak ke laut diakibatkan oleh kecelakaan tanker dan/atau kilang minyak akibat kondisi peralatan yang abnormal.

2.      Tumpahnya minyak ke laut mengakibatkan kerusakan ekosistem dan pemutusan rantai makanan.

3.      Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh polusi laut berbentuk minyak membuat kondisi laut tercemar jadi tidak stabil.

4.      Pencegahan polusi laut dengan meminimalisir tumpahnya minyak ke laut dapat dilakukan dengan mematuhi Peraturan Kementerian Perhubungan No. 4 Tahun 2005 mengenai Pencegahan Pencemaran Laut.

5.      Ada beberapa syarat yang mengharuskan kapal tangki dan non tangki untuk mencegah penumpahan dan/atau penanggulangan minyak ke laut. Syarat yang paling utama dalam konteks ini adalah perizinan yang harus dimiliki operator kapal, buku pencatatan kapal baik harian maupun bulanan, perlengkapan perkapalan yang harus dilengkapi (khususnya perlengkapan yang berkaitan dengan pencegahan dan/atau penanganan minyak tumpah di laut), serta proses tank cleaning yang harus dilakukan oleh badan ahli dan tersertifikasi guna meminimalisir penumpahan susulan yang diakibatkan oleh pembersihan tangki dan dumping.

6.      Penerapan peraturan yang baik akan meminimalisir timbulnya kecelakaan yang berujung penumpahan minyak ke laut (polusi laut).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Indonesia. 2005. Peraturan Kemenhub Mengenai Pencegahan Pencemaran Dari Kapal. Peraturan Kementerian Perhubungan Nomor KM 4 tahun 2005

Indonesia. 2009. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. 31 Tahun 2009.

JICA-Dephub. 2002. The Study for The Maritime Safety Development Plan in Republic of Indonesia.

Liputan 6. 2017. 9 Juta Ton Sampah Plastik Dibuang Ke Laut Indonesi Tiap Tahun. Disudur Dari http://news.liputan6.com/read/2893632/9-juta-ton-sampah-plastik-dibuang-ke-laut-indonesia-tiap-tahun (22 Mei 2017)

Mangkaka, Blasius. 2017. Hampir 8 Tahun Lalu, Tragedi Montara di Cela Timor Akibatkan Pencemaran Laut Terbesar di Dunia. Disudur Dari http://www.kompasiana.com/1b3las-mk/hampir-8-tahun-lalu-tragedi-montara-di-cela-timor-akibatkan-pencemaran-laut-terbesar-di-dunia_5887635be1afbde1048b4568 (22 Mei 2017)

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Riyadi, Ahmad. 2015. Dampak Buruk Tumpahan Minyak di Laut. Disudur Dari http://www.kompasiana.com/a.ryadi/dampak-buruk-tumpahan-minyak-dilaut_55a022dd0f9373620d8b4567 (22 Mei 2017)

Sofyan. 2001. Desentralisai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Suatu Peluang dan Tantangan. Makalah Falsafah Sain. PPS

Woodbury, Angus, Munn. 1954. Principles of General Ecology. New York: Blakiston