������������������������� ��� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia � ISSN : 2541 0849
��������������������������� e-ISSN : 2548-1398
��������������������������� Vol. 2,
No 5 Mei 2017
PENERAPAN
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NO. 4 TAHUN 2005 UNTUK MELAKSANAKAN PENCEGAHAN
POLUSI LAUT JENIS MINYAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MENJAGA EKOSISTEM PERAIAN
INDONESIA
Pagira
Ritci
Akademi Maritim Cirebon
Abstrak
Pencemaran
lingkungan merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat
Indonesia. Hal ini karena kasus pencemaran lingkungan di Indonesia bukan
sesuatu hal yang baru dan kuantitasnya pun terbilang besar. Kasus pencemaran
lingkungan di Indonesia sendiri mencakup semua elemen, baik udara, tanah,
hingga laut. Pencemaran terhadap umumnya diakibatkan oleh polusi yang berasal
dari kegiatan usaha, rumah tangga, maupun alamiah. Menurut pembagiannya jenis
polusi laut terbagi menjadi beberapa jenis, mulai dari padat, cair, hingga gas.
Namun jika dipertimbangkan lebih mendalam polusi laut yang hingga kini jadi
permasalahan dan berdampak besar bagi ekosistem adalah polusi minyak. Polusi
minyak umumnya diakibatkan oleh kecelakaan tanker atau kebocoran pada kilang
minyak yang berada di laut. Upaya penanganan dan/atau pencegahan sendiri dapat
dilakukan dengan mengikuti Peraturan Kementerian Perhubungan No. 4 Tahun 2005.
Dalam peraturan tersebut termaktub beberapa aturan kelengkapan kapal yang
selama ini jadi penyebab kecelakaan kapal hingga menyebabkan tumpahnya minyak
ke laut. Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dengan
berorientasi pada permasalahan pencegahan polusi laut jenis minyak sebagai
bahasan utama.
Kata
Kunci: Pencegahan Polusi Laut, Polutan
Minyak
Pendahuluan
Secara
garis besar polusi atau pencemaran laut adalah masuknya kotoran dan/atau hasil
buangan kegiatan makhluk hidup ke dalam laut. Adapun sumber dari pencemaran
laut tersebut umumnya berbentuk tumpahan minyak, sampah sisa aktivitas manusia,
limbah industri, dan buangan aktivitas perkapalan. Ada beberapa sumber yang
menyebabkan terjadinya polusi laut, diantaranya adalah:
1.
Limbah
rumah tangga yang dibuang ke laut
2.
Limbah
lumpur yang dibuang ke laut
3.
�Sisa limbah industri
4.
Limbah
bekas pengerukan
5.
Limbah
sisa eksploitasi
6.
Ceceran
dan/atau tumpahan minyak
7.
Objek
sedimentasi
8.
Limbah
perikanan
9.
Limbah
padat
Beberapa
limbah di atas merupakan polutan yang kerap merusak ekosistem laut. Sebagai
contoh limbah rumah tangga.� Disudur dari
Liputan6.com (2017), setiap tahun Indonesia mengumpulan 9 juta ton sampah yang
kemudian dibuang di laut. Jumlah tersebut tentu sangat mengkhawatirkan
mengingat mayoritas sampah yang dibuang ke laut adalah sampah plastik yang
notabene tidak bisa terurai oleh organisme laut.
Salah
satu contoh kasus polusi yang hingga saat ini belum menemukan titik temu adalah
meledaknya kilang minyak Montara yang mengakibatkan pencemaran laut dan
mengakibatkan 13.000 petani rumput laut mengalami kerugian. Kejadian tersebut
terjadi pada�� 9 tahun yang lalu,
tapatnya di tanggal 29 Agustus 2009 hingga 3 November 2009. Polusi laut akibat
tumpahan minyak tersebut terjadi akibat kilang minyak yang berada di laut
Australia meledak dan menimbulkan kebocoran pipa. Kebocoran tersebut terjadi
tidak hanya satu atau dua hari, melainkan 75 hari. Akibat lamanya proses
penanganan minyak yang menyembur ke permukaan kemudian tumpah dan mengotori
lautan sekitar. Jika dikalkulasi luas pencemaran laut akibat kondisi tembus
hingga angka 90.000 m2 (Blasius Mangkaka: 2017). Dengan luas
pencemaran tersebut polutan minyak yang dihasilkan dari kondisi ini telah masuk
ke wilayah ZEE Indonesia dan merusak ekosistem sekitar.
13.000
petani rumput laut NTT adalah salah satu dari kelompok masyarakat yang
dirugikan akibat kejadian ini. Namun bukan hanya petani rumput laut saja yang
dirugikan. Nelayan asal NTT juga harus berlayar lebih jauh untuk mencari ikan.
Laut Kalimantan dan Sulawesi adalah alternatif pilihan untuk beberapa nelayan
NTT. Kendati sangat jauh, para nelayan harus tetap berlayar dengan menghidupi
keluarga di rumah.
Melihat
dari kondisi tersebut banyak pihak yang menyayangkan hal ini terjadi. Minyak
sendiri adalah salah satu polutan yang memiliki dampak signifikan bagi
ekosistem laut.� Adapun dampak negatif
yang dapat timbul akibat polusi laut akibat tumpahan minyak adalah (Ahmad
Riyadi: 2015):
1.
Terlembatnya
perkembang biakan beberapa organisme laut seperti gangga dan beberapa jenis
biota lain.
2.
Penumpukan
lapisan minyak yang tebal dapat mengakibatkan keterlambatan proses fotosintesa
alamiah.
3.
Komponen-komponen
minyak yang larut secara tidak langsung akan berubah menjadi racun dan merusak
kualitas hidup organisme laut.
4.
Mengganggu
rantai makanan.
5.
Meningkatkan
jumlah kematian biota laut akibat keracunan dan/atau kehabisan oksigen.
Dari
beberapa kerugian yang disebutkan di atas penulis dapat menalarkan bahwa
kerugian-kerugian tersebut ialah kerugian yang berujung pada keberlangsungan
hidup suatu jenis biota, bahkan ekosistem. Lebih lanjut, jika suatu ekosistem
alam rusak akibat polusi, cepat atau lambat beberapa makhluk hidup yang tinggal
disana akan mati dengan sendirinya.
����������� Ekosistem sendiri adalah tatanan
kesatuan yang sangat kompleks. Dalam tatanan tersebut terdapat hewan, habitat,
dan tumbungan yang hidup dan dipertimbangkan sebagai satu kesatuan yang utuh
(Woodbury: 1954). Berbeda dengan Woodbury, Odum (1993) menjelaskan pengertian
ekosistem secara lebih ringkas. Menurutnya ekosistem merupakan satuan unit yang
mendasar dalam ekologi. Di dalam ekologi tersebut terdapat organisme dan
lingkungan yang saling memberikan dampak baik satu dengan yang lain.� Indonesia sendiri telah mengatur pengertian
ekosistem melalui perundang-undangan lingkungan hidup yang dimana pada UU Lingkungan
Hidup tersebut ekosistem diartikan sebagai satu kesatuan lingkungan hidup yang
menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam bentuk kestabilan, produktivitas dan
keimbangan lingkungan hidup (UU Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009). Dalam UU
tersebut unsur yang dimaksud adalah unsur biotik dan abiotik, dimana unsur
biotik merupakan unsur yang berhubungan dengan makhluk hidup sedangkan untuk
abiotik merupakan unsur yang berhubungan dengan benda mati seperti batuan,
tanah, air, dan sejenisnya.
����������� Jika merujuk pada pengertian
ekosistem di atas, lalu dikaitkan dengan pencemaran/polusi, maka penulis dapat
berspekulasi bahwa; jika suatu ekosistem baik darat, laut maupun udara dirusak,
kerusakan tidak hanya terjadi pada unsur abiotik atau benda mati, melainkan
juga pada unsur biotik. Kerusakan tersebut tentu akan berakibat fatal menginat
ekosistem merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan antarunsurnya.
Sehingga, apabila salah satu unsur sudah mengalami kerusakan, bukan tidak
mungkin unsur lain akan mengalami kerusakan pula.
����������� Penanganan polutan akibat pencemaran
minyak memang sangat mungkin dilakukan. Caranya pun tidak terlalu sulit. Namun
demikian, pemerintah �dalam hal ini Kementerian Perhubungan� telah menetapkan
peraturan yang digunakan untuk mencegah pencemaran akibat penumpahan minyak ke
laut.� Merujuk pada latar belakang
tersebut penulis kemudian berinisiatif untuk menyusun karya tulis ilmiah dengan
bahasan pencegahan polusi laut dengan orientasi pembahasan pada peraturan yang
telah ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan mengenai Pencegahan Pencemaran
laut.
Metodologi Penelitian
Studi
kepustakaan adalah desain penelitian yang peneliti gunakan. Studi kepustakaan
sendiri merupakan desain penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan berbagai
macam data yang berasal dari buku, majalah, dokumen, catatan, ataupun produk
kepustakaan lain (Mardalis: 1999). Untuk teknik pengumpulan data peneliti
memilih kajian kepustakaan karena dinilai selaras dengan desain penelitian yang
digunakan. Dengan kesamaan tersebut penulis dapat berharap desain penelitian
dapat diterapkan dapat menghasilkan penelitian yang maksimal.
Penelitian
ini memiliki orientasi penuh pada kajian kepustakaan dan literatur, karenanya
peneliti menggunakan instrumen yang ideal untuk desain penelitian tersebut.
Adapun untuk instrumen penelitian yang dimaksud adalah buku dengan tema
pencemaran/polusi laut serta komputer jinjing yang digunakan untuk menyusun
karya tulis.
Berkaitan
dengan waktu dan tempat penelitian, peneliti tidak mencantumkan kedua hal
tersebut mengingat penelitian ini tidak berorientasi pada tempat dan waktu
khusus.
Analisis
data yang digunakan disini adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif
sendiri merupakan analisis yang dilakukan untuk memvisualkan suatu data melalui
kalimat dan/atau kata-kata yang disusun sehingga menggambarkan data tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Polusi
laut yang diakibatkan tumpahan minyak memang bukan merupakan hal yang asing.
Indonesia sebagai negara yang ada di jalur pelayaran dan memiliki kilang minyak
laut tidak lepas dari kasus seperti ini. Tercatat ada beberapa kasus penting
yang melibatkan permasalahan pengelolaan minyak, baik itu produksi maupun
distribusi, yang pada tahap lanjut kemudian mengalami masalah dan berujung pada
tumpahnya minyak ke laut. Berikut adalah beberapa contoh kasus yang dapat
peneliti himpun:
Tabel
1
Beberapa
Kasus Tumpahnya Minyak di Laut RI
No |
Tahun |
Lokasi |
Kronologi |
1 |
1975 |
Selat Malaka |
Tenggelamnya Kapal Showa Maru dan
Menumpahkan Sedikitnya 1 Juta Barel Minyak Jenis Solar Ke Laut |
2 |
1979 |
Pelabuhan
Louksemaweh |
Kasus kebocoran Kapal Tanker Golden
Win dan Menumpahkan 1.500 kiloliter Minyak Mentah |
3 |
1999 |
Cilacap |
Kasus kerusakan (kerobekan) kapal King
Fisher yang berujung pada penumpahan 4.000 barel minyak ke laut |
4 |
2000 |
Batam |
Kasus kandasnya MT Natuna Sea yang
menumpahkan sedikitnya 4.000 ton minyak mentah� |
5 |
2001 |
Tegal �
Cirebon |
Tenggelamnya kapal tanker Stedfest
yang mengangkut kurang lebih 1.200 ton limbah minyak |
����������� �� Sumber:
(Sofyan: 2001) dan (Dephub: 2002)
Lima
kasus di atas bukanlah keseluruhan kasuas penumpahan minyak yang terjadi di
Indonesia, melainkan contoh kasus yang dipilih karena beberapa kriteria yang
dipenuhi. Jika merujuk pada kasus di atas, keseluruhan kasus merupakan
permasalahan teknis yang berujung pada kecelakaan dan penumpahan minyak. Secara
keseluruhan, menurut Ingmanson dan Wallace (1985), dari semua kasus yang ada,
dunia menerima 6 juta metrik ton minyak akibat permasalahan transportasi minyak
dan produksi minyak di laut.
Pencemaran
laut akibat penumpahan minyak mengakibatkan berbagai permasalahan baru,
beberapa diantaranya seperti kerusakan ekosistem, penurunan kualitas air
sehingga menyebabkan kematian biota laut, penurunan kualitas hidup beberapa
burung yang menggantungkan hidup dari laut akibat pencemaran minyak yang
membunuh beberapa spesies ikan, kerusakan terumbu karang akibat endapan minyak
yang sampai ke dasar, serta beberapa kerusakan lain yang mungkin terjadi akibat
endapan dan/atau penumpukan minyak di permukaan.
Ada
beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mengurangi dan/atau bahkan
menghindari pencemaran/polusi laut yang diakibatkan oleh minyak. Salah satu
cara yang diterapkan adalah dengan mentaati peraturan Kementerian Perhubungan
Nomor KM 4 tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran Laut.
Pada
pasal 4 bab 3 peraturan Kementerian Perhubungan Nomor KM 4 Tahun 2005
menegaskan bahwa kapal dengan tonase kotor GT 100 � 149 harus memiliki struktur
tubuh dan peralatan yang menunjang pencegahan pencemaran laut yang diakibatkan
oleh minyak. Kapal dengan tonase tersebut harus memiliki pondasi, pipa, serta
tangki yang dirancang dengan standar tinggi dan memenuhi kriteria keamanan
perlengkapan perminyakan. Di samping syarat tersebut kapal dengan tonase
demikian juga harus memiliki pipa balas yang terpisah dari pipa yang digunakan
untuk bahan bakar dan pelumasan. Kapal dengan tonase demikian juga harus
memiliki tangki penampungan minyak kotor dengan ukuran yang diperhitungkan
dengan rumus di bawah ini:
V =� 0,15 x C
Keterangan:
V = kapasitas
tangki (m3)
C = bahan bakar
yang digunakan setiap hari (ton)
Oily water sparator yang ditempatkan di ruang mesin dan pembuangan
memiliki kadar tidak lebih dari 15 ppm (part per million) dan memiliki
kapasitas sebagai berikut:
1. 0,10 m3/jam = kapal dengan
mesin <500 PK
2. 0,25 m3/jam = kapal dengan
mesin >500 PK
Di
samping diharuskan memiliki peralatan dan instrumen kapal sebagaimana uraian di
atas, kapal yang difungsikan untuk kegiatan perminyakan juga harus memiliki
buku agenda yang dalam lingkupannya berisi tentang catatan minyak di ruang
mesin dan muatan. Dalam buku tersebut tersusun agenda kegiatan ABK dalam
pengelolaan kapal seperti pencucian, pembersihan, dan/atau kegiatan lain yang
berkaitan dengan aktivitas perminyakan maupun perkapalan. Pada prosesnya, baik
peralatan maupun buku perkapalan wajib diisi awak maupun nahkoda kapal untuk
keperluan pencatatan dan evaluasi jika memang terjadi penumpahan minyak yang
diakibatkan kesalahan teknis kapal.
Di
sisi lain aspek perkapalan yang disebutkan di atas hanya merujuk pada tindakan
evaluasi semata, namun bila dicermati lebih jauh, pemenuhan aspek-aspek
tersebut akan menghindarkan kapal dari resiko tumpahnya minyak ke lautan akibat
kesalahan teknis.
Fungsi
pencatatan yang digunakan disini berperan sebagai kontrol. Saat komponen kapal
terdeteksi berkualitas buruk atau abnormal, pihak ABK akan melaporkan pada
nahkoda untuk ditinjak lanjut sehingga menghindarkan terjadinya penumpahan
minyak akibat komponen yang abnormal. Dengan adanya buku kontrol yang berorientasi
pada kegiatan kapal akan memudahkan ABK untuk mendeteksi permasalahan yang
terjadi pada kapal.
Pada
bab IV Peraturan Kementerian Perhubungan Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pencegahan
Pencemaran Laut termaktub beberapa aturan yang mengharuskan kapal untuk
memiliki standar penanggulangan penumpahan minyak yang terjadi di laut. Adapun
standar penanggulangan yang dimaksud adalah:
1.
Kapal
tangki dengan tonase GT 100 atau lebih dan/atau kapal non tangki dengan tonase
GT 400 atau lebih wajib dilengkapi dengan pola penanggulangan penumpahan minyak
lengkap dengan prosedur dan cara yang benar, yang menurut keabsahannya
keberadaan pola penanggulangan tersebut disahkan oleh Direktur Jenderal.
2.
Nahkoda
dan/atau pemimpin kapal wajib membuat sijil penanggulangan minyak tumpah yang
pada pelaksanaannya sijil tersebut dipasang pada tempat-tempat strategis dan
mudah terlihat.
3.
Nahkoda
dan/atau pemimpin kapal wajib mengadakan latihan penanggulangan minyak tumpah
sekurang-kurangnya 3 bulan sekali atau terjadi pergantian ABK di angka 25%.
4.
Apabila
pada pelaksanaanya nahkoda dan/atau pemimpin kapal tidak dapat menanggulangi
tumpahan minyak maka pihak nahkoda atau pemimpin kapal wajib meminta bantuan
pada pihak yang dinilai mampu dan memiliki kewajiban atas kondisi tersebut.
5.
Pemilik
dan/atau operator kapal wajib melengkapi kapalnya dengan peralatan penanganan
penumpahan minyak dengan rincian sebagai berikut:
a.
Bahan
kimia pengendap sejumlah 100 liter untuk kapal tangki dengan tonase kotor GT
150 � GT 1.000
b.
Bahan
kimia pengendap sejumlah 60 liter untuk kapal non tangko dengan tonase kotor GT
400 � GT 1.000
c.
Oil boom ukuran 145 meter, alat penyemprot, bahan kimia
pengendap 400 liter, dan absorber
(peredam) ukuran 100 kg� untuk kapak
tangki dengan tonase GT 1.000 � GT 5.000
d.
Absorber minyak 100 kg dan bahan kimia pengendap 400 liter
untuk kapal non tangki dengan tonase GT 1.000 � GT 5.000
Pada proses pelaksanaan aturan ini
kuantitas bahan dan/atau alat akan bertambah apabila tonase lebih besar
dibandingkan tonase kapal-kapal di atas.
Pencucian
atau dalam istilah perkapalan disebut tank
cleaning merupakan kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran minyak
di laut. Potensi tersebut pada umumnya muncul apabila pihak bersangkutan tidak
mematuhi pedoman telah ditetapkan. Menurut Peraturan Kementerian Perhubungan
Nomor 4 Tahun 2005 untuk menurunkan potensi pencemarah minyak akibat kegiatan tank cleaning dan dumping, operator kapal harus melakukan tank cleaning dan dumping
dengan merujuk aturan sebagai berikut:
1.
Pelaksanaan
tank cleaning dan dumping harus dilakukan oleh badan usaha
yang tersertifikasi dan bukan dilakukan oleh ABK dari kapal masing-masing.
2.
�Badan usaha yang digunakan untuk proses tank cleaning harus memiliki
sekurang-kurangnya beberapa seperti berikut:
a.
Memiliki
SIUP yang dikeluarkan dari instansi terkait
b.
Memiliki
rekomendasi yang dikeluarkan menteri lingkungan hidup mengenai peralatan tank cleaning yang dimiliki
c.
Memiliki
tenaga ahli sekurang-kurangnya 2 karyawan yang kompeten dalam hal tank cleaning.
d.
Memiliki
dan/atau mengusai peralatan tank cleaning
berikut:
1) Blower (2 unit)
2) Kompresor (2 unit)
3) Gas
detector (2 unit)
4) Masker gas (2 unit)
5) Pakaian tahan api (2 unit)
6) Pompa cairan (2 unit0
7) Sepatu karet (10 unit)
8) Batterworth
(2 unit)
9) Safety
lamp (5 unit)
10) Alat pemadam kebakaran jinjing (2 unit)
e.
Mengusai
dan/atau memiliki alat penanggulangan penumpahan minyak seperti;
1)
Oil bloom
2)
Absorbent
3)
disperant
f.
Pelaksana
tank cleaning harus mengusai dan/atau
memiliki kapal tunda paling sedikit 1 unit
g.
Pelaksana
tank cleaning harus mengusai dan/atau
memiliki kapal tongkang (penampung) paling sedikit 1 unit
Pada
dasarnya kejadian kecelakaan yang melibatkan penumpahan minyak di lautan
disebabkan oleh kondisi abnormal dari kapal tangki. Sehingga, guna
meminimalisir hal tersebut dibuatlah Peraturan Kementerian Perhubungan Nomor 4
Tahun 2005 mengenai Pencegahan Pencemaran Minyak sebagai bentuk dari polusi
laut. Pada proses pelaksanaannya peraturan tersebut merupakan pedoman untuk
mengurangi polusi laut yang diakibatkan oleh kecelakaan yang berujung pada
penumpahan minyak di laut. Dengan kata lain, penerapan Peraturan Kementerian
Perhubungan No. 4 merupakan upaya pencegahan polusi laut untuk menjaga
kelestarian ekosistem laut dari polutan dengan bentuk minyak.
Kesimpulan
Dari
bahasan di atas didapat beberapa kesimpulan sebagaimana berikut:
1. Mayoritas penumpahan minyak ke laut
diakibatkan oleh kecelakaan tanker dan/atau kilang minyak akibat kondisi
peralatan yang abnormal.
2.
Tumpahnya
minyak ke laut mengakibatkan kerusakan ekosistem dan pemutusan rantai makanan.
3.
Kerusakan
ekosistem yang diakibatkan oleh polusi laut berbentuk minyak membuat kondisi
laut tercemar jadi tidak stabil.
4.
Pencegahan
polusi laut dengan meminimalisir tumpahnya minyak ke laut dapat dilakukan
dengan mematuhi Peraturan Kementerian Perhubungan No. 4 Tahun 2005 mengenai
Pencegahan Pencemaran Laut.
5.
Ada
beberapa syarat yang mengharuskan kapal tangki dan non tangki untuk mencegah
penumpahan dan/atau penanggulangan minyak ke laut. Syarat yang paling utama
dalam konteks ini adalah perizinan yang harus dimiliki operator kapal, buku
pencatatan kapal baik harian maupun bulanan, perlengkapan perkapalan yang harus
dilengkapi (khususnya perlengkapan yang berkaitan dengan pencegahan dan/atau
penanganan minyak tumpah di laut), serta proses tank cleaning yang harus dilakukan oleh badan ahli dan
tersertifikasi guna meminimalisir penumpahan susulan yang diakibatkan oleh
pembersihan tangki dan dumping.
6. Penerapan peraturan yang baik akan
meminimalisir timbulnya kecelakaan yang berujung penumpahan minyak ke laut
(polusi laut).
BIBLIOGRAFI
Indonesia. 2005. Peraturan Kemenhub Mengenai Pencegahan Pencemaran Dari Kapal. Peraturan
Kementerian Perhubungan Nomor KM 4 tahun 2005
Indonesia. 2009. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang
No. 31 Tahun 2009.
JICA-Dephub. 2002. The Study for The Maritime Safety Development Plan in Republic of
Indonesia.
Liputan 6. 2017. 9 Juta Ton Sampah Plastik Dibuang Ke Laut Indonesi Tiap Tahun. Disudur
Dari
http://news.liputan6.com/read/2893632/9-juta-ton-sampah-plastik-dibuang-ke-laut-indonesia-tiap-tahun
(22 Mei 2017)
Mangkaka, Blasius. 2017. Hampir 8 Tahun Lalu, Tragedi Montara di Cela
Timor Akibatkan Pencemaran Laut Terbesar di Dunia. Disudur Dari
http://www.kompasiana.com/1b3las-mk/hampir-8-tahun-lalu-tragedi-montara-di-cela-timor-akibatkan-pencemaran-laut-terbesar-di-dunia_5887635be1afbde1048b4568
(22 Mei 2017)
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi Ketiga.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Riyadi, Ahmad. 2015. Dampak Buruk Tumpahan Minyak di Laut. Disudur
Dari
http://www.kompasiana.com/a.ryadi/dampak-buruk-tumpahan-minyak-dilaut_55a022dd0f9373620d8b4567 (22 Mei 2017)
Sofyan. 2001. Desentralisai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Suatu Peluang dan
Tantangan. Makalah Falsafah Sain. PPS
Woodbury, Angus, Munn. 1954. Principles of General Ecology. New York:
Blakiston