Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, November
2022
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PERKARA
PIDANA NOMOR: 54/PID.SUS/2021/PN CBN DI PENGADILAN NEGERI CIREBON
Proram Magister Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Swadaya Gunung Jati
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia saat ini ditujukan dengan sasaran
potensial generasi muda dan sudah menjangkau berbagai penjuru daerah, serta
penyalahgunanya pun merata di seluruh strata sosial masyarakat. Metode penelitian ini kualitatif dengan
pendekatan Yuridis Normatif. Selain itu penelitian juga akan melakukan studi
kasus, yaitu suatu bentuk studi dokumen mengenai fenomena yang ditemui dalam
praktik yang berkaitan dengan Putusan Hakim dalam perkara tindak pidana
Narkotika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penelitian ini bersifat
deskriptif analistis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terdakwa dalam perkara
No. 54/Pid.Sus/2021/PN. Cbn tertanggal 16 September 2021 terbukti adalah
sebagai Panyalahguna Narkotika yang telah menggunakan untuk dirinya sendiri
sedangkan Terdakwa bukan sebagai "penyalah guna narkotika" dan
"bukan pecandu maupun korban penyalah gunaan narkotika", oleh
karenanya hakim menjatuhkan sanksi pidana bukan sanksi tindakan (rehabilitasi);
Bahwa ketentuan dalam Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika tidak dapat diterapkan dalam praktek peradilan pidana sepanjang
hakim masih berpegang teguh pada asas Pembuktian yang berlaku menurut KUHAP
yaitu asas Pembuktian Negatif (negatief wettelijk) tersebut dengan tanpa
mempertimbangkan ilmu pengetahuan bantu dari sudut keahlian kedokteran Jiwa
atau psikiatri dalam rangka menentukan sanksi Pidana dan sanksi Tindakan
(rehabilitasi) tersebut.
Kata Kunci: sanksi
pidana, penyalahgunaan
narkotika, generasi muda.
Abstract
Narcotics abuse in Indonesia is currently aimed at
the potential target of the younger generation and has reached various parts of
the region, and its abusers are evenly distributed throughout the social strata
of society. This research method is qualitative with a Normative Juridical
approach. In addition, the research will also conduct case studies, which are a
form of document study on phenomena encountered in practice related to Judges'
Decisions in Narcotics crime cases. Thus it can be said that this research is
descriptive analytic. The results showed that the Defendant in case No.
54/Pid.Sus/2021/PN. Cbn
dated September 16, 2021, it was proven that he was a narcotics user who had
used for himself while the defendant was not a "drug abuser" and
"neither an addict nor a victim of drug abuse", therefore the judge
imposed criminal sanctions instead of action sanctions (rehabilitation); That the
provisions in Article 127 paragraph (2) of Law Number. 35 of 2009 concerning
Narcotics cannot be applied in criminal justice practice as long as the judge
still adheres to the principle of Evidence applicable according to the Criminal
Procedure Code, namely the principle of Negative Evidence (negatief wettelijk)
without considering auxiliary science from the point of expertise of mental
medicine or psychiatry in order to determine criminal sanctions and sanctions
for such actions (rehabilitation).
Keywords: criminal
sanctions, drug abuse, younger generation.
Pendahuluan
Penyalahgunaan
Narkotika di Indonesia saat ini ditunjukan dengan sasaran potensial generasi muda
dan sudah menjangkau berbagai penjuru daerah, serta penyalahgunanya pun merata
di seluruh strata sosial masyarakat (Kusuma, 2020). Pada awalnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di
bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi
sesuatu yang berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk
menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan
di satu sisi, dan di sisi lain perlu upaya untuk mencegah peredaran gelap
narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, sehingga
diperlukan regulator sebagai alat pengaturan di bidang narkotika.
Peraturan
perundang- undangan ini selalu mengalami penyempurnaan sejalan dengan perubahan
dan perkembangan akibat kejahatan yang ditimbulkan oleh perbuatan
penyalahgunaan tersebut (Koto, 2018). Begitu pula dalam melaksanakan peraturan tersebut dapat dimungkinkan
terjadi penyimpangan sebagai suatu kelemahan aparat penegak hukumnya, masih
kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat atau ada kelemahan peraturan
perundang-undangan itu sendiri. Sehingga pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia
merevisi undang- undang no. 22 Tahun 1997 yang sudah ada tentang Narkotika
dengan peraturan yang baru yaitu undang-undang No. 35 Tahun 2009 (Pakpahan et
al., 2021).
Mencermati salah
satu pertimbangan dalam Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang pada pokoknya menyatakan akan pentingnya
Narkotika yang merupakan Zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan
untuk penyakit tertentu (Suharto, 2021). Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar
pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan
atau masyarakat khususnya generasi muda (Andriansyah
& Abdurrahman, 2013).
Oleh karena itu, agar
penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia,
peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang tentang
Narkotika bertujuan (Nugroho et al.,
2019): (a) Menjamin ketersediaan, narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi; (b) Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan
bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; (c) Memberantas
peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika; dan (d) Menjamin
pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna
dan pecandu narkotika. Kriminalisasi penyalahgunaan Narkotika di dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika harus disertai dengan
penegakanhukum bagi pelaku melalui sistem pemidanaan yang dianut di Indonesia,
bila di amati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai satu dari
Undang-Undang Khusus atau perundang-undangan Pidana di luar KUHP, terdapat
suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya yang
berarti sanksi Pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus (Sholehuddin,
2003). Menurut Muladi, hukum Pidana modern yang berceritakan
orientasi pada perbuatan dan pelaku (daad-dader
straafrecht), stelsel sanksinya
tidak hanya meliputi Pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relatif
lebih bermuatan pendidikan (Muladi &
Medis, 1997).
Penegakan hukum
terhadap Tindak Pidana Narkoba, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak
hukum dan telah mendapat putusan hakim di sidang pengadilan (Novitasari
& Rochaeti, 2021). Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal
terhadap merebaknya peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba, tapi dalam
kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum semakin
meningkat pula peredaran Narkoba tersebut.
Adalah menjadi
tanggungjawab hakim memberi Putusan yang berkualitas kepada pencari keadilan.
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan bahwa (Suryoutomo et al., 2022): Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggungjawab atas
penetapan dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan Putusan sebagaimana dimaksud
ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan
dasar hukum yang tepat dan benar.
Kemudian dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
berikut penjelasannya dinyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat (Dewanto, 2020). Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut, maka secara yuridis hakim wajib memberi putusan
yang berkualitas (ideal) dan dapat dipertanggungjawabkan.
Mahkamah Agung
dalam instruksinya No.KMA / 015 / iNST / VI / 1998 tanggal 1 Juni 1998
menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan
peradilan yang berkualitas dengan putusan hakim yang eksekutabel berisikan
ethos (integritas), pathos (pertimbangan
yuridis yang pertama dan utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), dan sosiologis (sesuai dengan tata
nilai budaya yang berlaku di masyarakat) serta logos
(diterima dengan akal sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman (Arto, 2010).
Sanksi pidana yang
dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku kejahatan masih dinilai belum
memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar norma hukum,
tampaknya masih melekat dan menjadi kendala terhadap penegakan hukum secara
konsekuen (Supramono,
2004).
Menurut H. Prayitno
Iman Santosa, SH.,MH, hakim mempunyai kedudukan sentral dalam proses peradilan,
karena dipundaknya diserahkan keadilan yang diharapkan oleh para pencari
keadilan (yusticiabelen). Untuk sampai kepada peradilan yang adil, diperlukan suatu proses dalam
memutus suatu perkara yang biasanya dengan menggunakan metode dedukasi untuk
menerapkan hukum terhadap kasus yang selanjutnya diambil kesimpulan dalam
putusan yang adil (Santosa &
SH, 2022).
Hakim dalam
kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak (impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi, mengandung
makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai hak-hak asasi
manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah menjadi
kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap
warga negara (equally before the
law) (Andi & Waluyo, 2008).
Sehubungan dengan
itu, ada baiknya penelitian menggambarkan salah satu contoh kasus Narkoba yang
diputus oleh Pengadilan Negeri Cirebon yang menjadi bahan
penelitian penelitian, sebagaimana yang telah di putuskan dalam persidangan di
Pengadilan Negeri Cirebon dalam Putusan Perkara Pidana Nomor 54 / Pid.Sus /2021/ PN.Cbn tertanggal 16
September 2021 yang dalam kasus tersebut Terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana "Tanpa hak dan melawan hukum menyalahgunakan
Narkotika Golongan I bagi diri sendiri" dengan di Pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 10 (sepuluh) bulan� (Dewi, 2019).
Penerapan sanksi
pidana terhadap karakteristik pengguna di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika mensyaratkan bahwa dianutnya paham kesalahan yang
menentukan ukuran kesalahan dan pemidanaan hanya dapat dilakukan sebatas yang
ditentukan undang-undang (Saikhu, 2020). Salah satu tujuan pemidanaan pada dasarnya untuk mengoreksi pembuat
dan perbuatannya, pidana yang bersifat koreksi diarahkan kepada manusia yang
pada dasarnya mempunyai rasa penuh tanggungjawab dan pada kejadian tertentu
melakukan kesalahan yang oleh hukum kemudian memandangnya tercela karena melakukan suatu tindak pidana.
Prinsip dasar
penerapan sanksi hukum pidana penjara dalam kerangka penegakan hukum
Penyalahgunaan Narkoba seharusnya diterapkan bagi pelaku pengedar dan merujuk
pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum penjahat sehingga dapat
memberikan efek jera (Saikhu, 2020). Hal ini memberikan wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis
penjatuhan sanksi kepada para pelaku penyalahguna Narkotika.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui alasan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana
Penyalahguna Narkotika pada putusan perkara Nomor. 54 / Pid.Sus /2021/ PN.Cbn tertanggal
16 September 2021 di Pengadilan Negeri Cirebon menerapakan Sanksi
Pidana bukan Sanksi Tindakan (rehabilitasi); dan untuk dapat mengetahui penerapan ketentuan
dalam Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam
praktek peradilan Pidana.
Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan mempunyai arti penting bagi pengembangan hukum Pidana yang
telah ada, terutama yang menyangkut hukum Penyalahguna Narkotika dalam sistem
hukum Indonesia. Dalam hal ini pengembangan tentang pendayagunaan fungsi hukum
pidana dalam menanggulangi tindak pidana yang terjadi khususnya dalam persoalan
tindak pidana Penyalahguna Narkotika.
Metode Penelitian
Metode pendekatan penelitian teknis hukum ini yang peneliti maksudkan dengan
hukum adalah norma-norma atau kaedah-kaedah hukum yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan. Metode penelitian yang dilakukan adalah memakai
pendekatan yuridis normatif (Susanti et al.,
2016). Dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian untuk menganalisis
Putusan hakim terhadap hak terdakwa Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
dalam mengajukan bukti-bukti penting dalam rangka pembelaannya di persidangan
dengan kajian kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif yang mengatur
tentang Penerapan sanksi pemidanaan terhadap Penyalahgunaan Narkotika. Data
penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data Primer dan data
Sekunder. Data sekunder meliputi bahan-bahan non hukum dan bahan-bahan hukum,
sedangkan bahan-bahan hukum meliputi : Peraturan Perundang-undangan meliputi (Undang-Undang dan peraturan yang setaraf, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan Keputusan Mahkamah Agung), Putusan Hakim. Buku-buku, jurnal, majalah, serta hasil
penelitian. Kamus dan ensiklopedia. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh
data yang dianggap relevan untuk dijadikan bahan dalam menulis Tesis ini dengan
menggunakan dasar'penelitian kepustakaan (Soaekanto, 2004).
Dalam rangka
penyusunan penelitian ini, penelitian melakukan penelitian dengan metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan Yuridis Normatif (Ashshofa, 2007). Selain itu penelitian juga akan melakukan studi kasus, yaitu suatu
bentuk studi dokumen mengenai fenomena yang ditemui dalam praktik yang
berkaitan dengan Putusan Hakim dalam perkara tindak pidana Narkotika. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa penelitian ini bersifat deskriptif analistis.
Secara deskriptif akan di analisis objek yang diteliti, dalam hal ini
kewenangan hakim dalam hubungannya dengan penerapan sanksi pidana dalam perkara
tindak pidana penyalahguna Narkotika dalam Putusannya, dan hubungannya dengan
aparat penegak hukum lainnya yaitu : Polisi, Kejaksaan, Hakim dan Advokat.
Sedangkan secara analitis akan dilihat seberapa jauh tindak pidana penyalahguna
Narkotika yang di atur dalam Undang-undang Nomor. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika dapat di Fungsionalisasikan secara maksimal.
Penelitian ini
tidak sekedar mengkaji masalah hukum secara normatif namun juga mengkaji
masalah bekerjanya hukum acara pidana dalam masyarakat dalam rangka
penanggulangan terhadap perbuatan pidana yang serupa.
Hasil dan Pembahasan
Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Dalam Perkara Pidana Nomor. 54 / Pid.Sus / 2021/ PN.Cbn di Pengadilan Negeri Cirebon
A. Penjatuhan Pidana terhadap Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika menurut
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Di dalam Perumusan
Sanksi terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika, identik dengan ide
dasar double track system, bermakna berbicara tentang gagasan dasar
mengenai sistem sanksi yang menjadi dasar kebijakan dan penggunaan sanksi dalam
hukum pidana. Dalam hal ini, sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum
pidana. Literatur yang ada tidak pernah memberikan penegasan eksplisit soal
gagasan double track system, namun dilihat dari latar belakang
kemunculannya dapat disimpulkan ide dasar double track system tersebut
adalah kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Ide kesetaraan ini
dapat ditelusuri lewat perkembangan yang terjadi dalam sistem sanksi hukum
pidana dari aliran klasik ke aliran moderen neo klasik (Sholehuddin,
2003).
Khususnya dalam hal penetapan jenis sanksi ini, semula hanya dianut single track system, yakni jenis sanksi pidana saja sebagai representasi melekatnya pengaruh aliran klasik dalam hukum pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan kepada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-straftrecht) karenanya, sistim pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat membatasi kebebasan hakim dalam menetapkan jenis sanksi dengan berbagai bentuknya.
Pengaruh perkembangan kesadaran hukum masyarakat memunculkan aliran neoklasik yang menitikberatkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia. Pada sekitar tahun 1810 mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran neo klasik memberikan kekuasaan kepada � hakim untuk menetapkan pidana penjara antara batas minimum dan maksimum yang ditentukan dalam undang-undang. Dengan demikian sistem the definite sentence ditinggalkan dan beralih kepada sistem the indefinite sentence. Beberapa ciri dari aliran neo klasik yang relevan dengan prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban pidana.
B. Kasus Atasnama Terdakwa FERI ARDHIAN anak dari (alm) Moch Nasir.
1. Kasus Posisi
Bahwa ia Terdakwa Feri Ardian Bin M.Nasir, pada Hari Sabtu tanggal 05 Desember 2020 sekitar
pukul 21.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan
Desember 2020 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain dalam tahun 2020,
bertempat di Kampung Cangkol
Utara Rt.01/04 Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon atau setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Cirebon yang berwenang memeriksa
dan mengadili perkara ini, setiap Penyalahguna
Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri.
Bahwa Terdakwa mengkonsumsi Narkotika Jenis Shabu menggunakan botol plastik bekas air mineral yang Terdakwa isi dengan air dan tutupnya
dilubangi sebanyak 2 (dua) lubang yang masing-masing lubang disambung dengan sedotan plastik yang salah satu sedotan disambungkan
dengan pipet kaca warna bening yang kemudian Terdakwa masukan Narkotika Jenis Shabu tersebut kedalam pipet kaca selanjutnya Terdakwa bakar menggunakan korek api
gas tepat pada pipet kaca setelah itu salah satu ujung sedotan lainnya Terdakwa gunakan untuk menghisap
seperti merokok;
Bahwa
berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Bareskrim Mabes
Polri Nomor LAB : 6272/NNF/2020 tanggal 04 Januari 2021 yang ditandatangani
oleh Yuswardi, S.Si,Apt.M.M, dkk. yang menerangkan Hasil Pengujian sebagai berikut :
Barang
bukti: Barang bukti berupa 1 (satu) buah amplop warna coklat berlak segel
lengkap dengan label barang bukti, setelah dibuka didalamnya terdapat 1 (satu)
bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih dengan berat Netto 0,5463 gram yang setelah
dilakukan pemeriksaan sisanya sebanyak 0,5343 gram diberi nomor barang bukti
3685/2020/NF.Barang bukti tersebut adalah milik Feri ArdianBin M.Nasir;
Hasil Pemeriksaan������ :����������
1.Uji Pendahuluan������ : (+) Positif Narkotika
2.Uji Konfirmasi ������ :
(+) Positif Metamfetamina
Kesimpulannya adalah kristal warna putih tersebut adalah
benar mengandung Metamfetamina;
Dalam Dakwaan Primer, Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 112 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sedangkan dalam Dakwaan Subsidair, Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sehubungan dengan Dakwaan Penuntut Umum tersebut di atas Terdakwa dan Penasehat Hukumnya menyatakan telah mengerti dan tidak mengajukan eksepsi/keberatan;
2. Pemeriksaan Saksi-Saksi
Bahwa untuk dapat membuktikan dakwaannya Penuntut Umum mengajukan saksi-saksi yang terlebih dahulu disumpah menurut cara agamanya yang pada pokoknya memberikan keterangan
C. Analisis Hukum Terhadap Putusan Perkara Pidana Nomor 54 / Pid.Sus / 2021 / PN.Cbn tertanggal 16
September 2021.
1. Pertimbangan hakim dalam menerapkan Sanksi Pidana bukan sanksi
tindakan.
Putusan Pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan, yang di dalam Putusan tersebut terdapat di antaranya pertimbangan-pertimbangan tentang hukumnya dalam perkara yang dimaksud dalam permasalahan pertama tersebut yaitu:
Menimbang, bahwa dipersidangan telah ditemukan fakta-fakta sebagai berikut bahwa Saksi Gumilar dan Saksi Herman telah melakukan penangkapan terhadap Terdakwa yang diduga melakukan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Jenis Sabu pada pada Hari Selasa, tanggal 08 Desember 2020 sekira pukul 11.30 Wib di Jl. Brigjen Dharsono tepatnya di Gg. Musolah Ds. Kertawinangun, Kec. Kedawung, Kab. Cirebon, berawal dari Saksi Gugun bersama dengan Saksi Herman mendapatkan informasi dari Masyarakat bahwa ada penyalahgunaan Narkotika Jenis Shabu Pada hari Selasa, tanggal 08 Desember 2020 sekira pukul 11.30 Wib di Gg.Musholla, Jl.Brigjen Dharsono, Desa Kertawinangun, Kec.Kedawung, Kab.Cirebon;
Menimbang, bahwa
pada saat dilakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap Terdakwa ditemukan
barang bukti berupa 1 (satu) Paket Narkotika jenis Shabu dengan berat Bruto 1,00
(satu) gram di dalam plastik klip warna bening di balut solatip warna hitam
kemudian Terdakwa dan barang bukti dibawa ke Kantor Sat Res Narkoba Polres
Cirebon Kota untuk Penyidikan lebih lanjut;
Menimbang, bahwa dari keterangan Terdakwa mendapatkan Narkotika jenis Shabu dari Sdr. Somadi Als Oma (DPO) dikarenakan Terdakwa hanya diajak oleh Sdr. Somadi Als Oma (DPO) untuk mengambil paket yang berisi Narkotika jenis Shabu tersebut dan uang untuk membeli Shabu tersebut adalah uang milik Sdr.Somadi Als Oma (DPO), sedangkan Terdakwa mengkonsumsi shabu secara cuma-Cuma. Bahwa dari keterangan Terdakwa berawalnya Sdr. SOMADI Als OMA (DPO) datang ke rumah Terdakwa tepatnya di Kmp.Cangkol Utara Rt.03/04 Kel. Lemahwungkuk, Kec. Lemahwungkuk, Kota Cirebon yang kemudian mengajak Terdakwa mengambil paket yang berisi Narkotika Jenis Shabu yang sudah Sdr.SOMADI Als OMA (DPO) pesan yang peta atau denah tempat pengambilan paket yang berisi Narkotika Jenis Shabu tersebut ada pada Handphone Sdr.SOMADI Als OMA (DPO) yang kemudian diambil oleh Terdakwa dan Sdr.Somadi Als Oma (DPO). Bahwa Terdakwa dengan Sdr.SOMADI Als OMA (DPO) hanya sebatas teman biasa dan Terdakwa bertemu dengan Sdr.SOMADI Als OMA (DPO) pada saat Terdakwa membesuk Teman Terdakwa yang berada di Rutan Kelas 1 Cirebon yaitu Sdr.ADI MULYADI (Terpidana) yang kemudian di kenalkan dengan Sdr.SOMADI Als OMA (DPO) yang juga pada saat itu Sdr.SOMADI Als OMA juga sedang menjalani hukuman penjara di Rutan Kelas I Cirebon;
Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Bareskrim Mabes Polri Nomor LAB : 6272/NNF/2020 tanggal 04 Januari 2021 yang ditandatangani oleh Yuswardi, S.Si,Apt.M.M,Dkk yang menerangkan Hasil Pengujian sebagai berikut :
Barang Bukti:
berupa 1 (satu) buah amplop warna coklat berlak segel lengkap dengan label barang
bukti, setelah dibuka didalamnya terdapat 1 (satu) bungkus plastik klip
berisikan kristal warna putih dengan
berat Netto 0,5463 gram
yang setelah dilakukan pemeriksaan sisanya sebanyak 0,5343 gram diberi nomor
barang bukti 3685/2020/NF.Barang bukti tersebut adalah milik Feri Ardian Bin
M.Nasir;
Hasil Pemeriksaan���� :����������
1.Uji Pendahuluan� : (+) Positif Narkotika
2.Uji Konfirmasi���� : (+) Positif
Metamfetamina
Kesimpulan�� Kristal warna putih tersebut adalah benar mengandung Metamfetamina;
Menimbang, bahwa untuk selanjutya akan dipertimbangkan apakah Penggunaan Narkotika jenis sabu-sabu oleh Terdakwa dilakukan Tanpa Hak atau Melawan Hukum;
Menimbang, bahwa dasar
aturan hukum yang melegitimasi orang untuk bisa mempergunakan Narkotika hanya dapat
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (vide Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika) sedangkan Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah
terbatas Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk Reagensia Diagnostik, serta Reagensia
Laboratorium setelah mendapat persetujuan Menteri atas Rekomendasi Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan (vide Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika );
Menimbang, bahwa selanjutnya dalam kaitannya dengan Pengobatan atau Rehabilitasi sekalipun, Dokter hanya dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan. Pasien yang sedang diobati juga dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri (vide Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ) ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan Terdakwa ternyata bukanlah orang yang sedang menjalani Pengobatan atau Rehabilitasi Medis;
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan pula isi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, meskipun barang bukti yang ditemukan pada saat penangkapan berupa Narkotika Golongan I dengan berat 0,60 gram, akan tetapi tidak ditemukan fakta dipersidangan adanya proses pengujian atas penggunaan Narkotika terhadap Terdakwa yang menunjukkan adanya ketergantungan yang tinggi terhadap Narkotika atas diri Terdakwa, dengan kata lain Terdakwa bukan merupakan pecandu yang harus dinyatakan oleh Ahli, sehingga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis Hakim berpendapat perbuatan Terdakwa menggunakan Narkotika Golongan I adalah Tanpa Hak atau Melawan Hukum, sehingga dengan demikian unsur �Penyalah Guna Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri � telah terpenuhi;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Subsidair, sehingga dengan demikian Majelis Hakim sependapat dengan Tuntutan pidana Penuntut Umum yang menyatakan perbuatan Terdakwa memenuhi unsur Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana sebagaimana dalam Dakwaan Subsidair, akan tetapi untuk pidana penjaranya tidak sependapat dikarenakan Terdakwa belum pernah dihukum, bukan target opersi dari Satuan Narkoba Polres Cirebon, barang bukti berat Netto 0,5463 gram untuk dikonsumsi bersama dengan Sdr.Somadi Als Oma (DPO) dan Terdakwa juga mengkonsumsi secara cuma-cuma yang didapat dari Sdr. Somadi Als Oma (DPO);
Menimbang, bahwa dalam persidangan Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal
yang dapat
menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau
alasan pemaaf, Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa mampu bertanggungjawab, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana;
Menimbang, bahwa untuk memberikan pertimbangan yang tepat mengenai pidana yang akan dijatuhkan terhadap Terdakwa, Majelis Hakim berpendapat adalah perlu dipertimbangkan variabel-variabel yang melingkupi penjatuhan pidana dengan menengok dimensi sosio yuridis, agar Putusan tidak jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, mengingat hukum adalah untuk Manusia dan bukan sebaliknya Manusia untuk hukum, variabel-variabel pertimbangan itu ;
Menimbang, bahwa
merupakan otoritas Hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dalam interval waktu dari yang paling ringan
hingga maksimal ancaman dalam Pasal Dakwaan dengan tidak meninggalkan spirit
dari hukum itu sendiri dalam perkara ini Terdakwa telah terbukti melanggar
Pasal 127 Ayat (1) huruf a
Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 55 Ayat (1)
Ke-1 KUHPidana dengan ancaman hukuman paling lama 4 (empat) tahun, sehingga
dengan demikian Majelis Hakim dapat menjatuhkan pidana antara 1 (satu) hari
sampai dengan maksimal 4 (empat) tahun;
Menimbang bahwa merupakan prinsip dalam penjatuhan pidana harus sebanding dengan bobot kesalahan Terdakwa. Sebuah hukuman tidak boleh mencerminkan kesewenang-wenangan tanpa menengok fungsi dan arti dari hukuman itu sendiri. Hakikat penghukuman itu harus merefleksikan tujuan pembinaan dan pengajaran bagi diri Terdakwa, yang pada gilirannya Terdakwa bisa merenungi apa yang telah diperbuatnya, dari sanalah diharapkan pula akan timbul perasaan jera pada diri Terdakwa dan dimasa mendatang tidak akan mengulangi perbuatannya;
Menimbang, bahwa pada saat dilakukan penangkapan Terdakwa sedang menguasai Narkotika jenis sabu-sabu sebanyak 1 (satu) paket dengan berat Bruto sekira 1,00 gram , dan untuk berat Nettonya sekira 0,5463 gram untuk dikonsumsi secara bersama dan yang membelinya juga uang milik Sdr. Somadi Als Oma (DPO), Terdakwa mengkonsumsi dengan cuma-cuma dan merupakan fakta dipersidangan bahwa Terdakwa merupakan Penyalah Guna Narkotika yang tidak dikategorikan sebagai Pecandu Narkotika maupun Korban Penyalahgunaan Narkotika, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, adalah tepat bagi Terdakwa untuk dijatuhi pidana berupa penjara yang lamanya sebagaimana ditentukan dalam Amar Putusan perkara ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana terurai di atas, Majelis Hakim memandang pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dalam Putusan ini sudah sesuai dan setimpal dengan kesalahan Terdakwa sehingga sudah dipandang tepat dan adil;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah dikenakan penangkapan dan penahanan yang sah, maka masa penangkapan dan penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;
Menimbang, bahwa
oleh karena Terdakwa ditahan dan penahanan terhadap Terdakwa dilandasi alasan yang cukup, maka perlu ditetapkan
agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti berupa : (a) 1 (satu) Paket Narkotika Jenis Sabu yang dibungkus plastik klip warna bening dengan berat Bruto 1,00 (satu) gram, sisa hasil setelah pengujian dengan berat Netto 0,5343 gram karena merupakan sarana yang digunakan untuk melakukan tindak pidana maka dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 46 jo. Pasal 194 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sehingga barang bukti tersebut harus dirampas untuk dimusnahkan;
Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa bahwa Keadaan yang memberatkan: (a) Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat; (b) Perbuatan Terdakwa dilarang oleh Agama maupun Pemerintah; (c) Perbuatan Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika. Adapun Keadaan yang meringankan: (a) Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulanginya lagi; (b) Terdakwa bersikap sopan dipersidangan dan berterus terang tidak berbelit-belit dipersidangan; (c) Terdakwa belum pernah dihukum;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara; Setelah memerhatikan Putusan Nomor 54 / Pid.Sus / 2021 / PN.Cbn tertanggal 16 September 2021 tersebut terlihat bahwa Pengadilan Negeri Cirebon telah memilih salah satu dari tiga jenis Putusan yang dikenal di dalam Hukum Acara Pidana, yakni yang dipilih itu merupakan Putusan Pemidanaan bukan Putusan yang mengandung sanksi tindakan.
Artinya Jenis
putusan pengadilan ini adalah putusan yang membebankan suatu pidana terhadap
terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan
bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu.
Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal adanya dua alat bukti dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa itu berdasarkan atas alat bukti yang ada, dan dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim ini, berarti pula syarat untuk menjatuhkan pidana telah terpenuhi.
Sehingga apabila di hubungkan dengan fakta-fakta lainnya yang telah di sampaikan sebagai bukti dari Terdakwa tersebut yang telah dipertimbangkan di atas dalam hal untuk menentukan apakah dalam perkara itu Terdakwa dapat dikenakan Sanksi Pidana atau
Sanksi Tindakan, hakim akan menerapkan ketentuan pasal 127 (mengatur mengenai sanksi pidana) atau menerapkan ketentuan pasal 103 (mengatur mengenai sanksi tindakan "rehabilitasi") adalah pada akhirnya bermuara kepada keyakinan hakim apakah pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut tepat untuk dikatakan sebagai pecandu yang harus direhabilitasi atau lebih tepat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang harus dipidana penjara adalah dengan berdasarkan hasil keterangan laboratorium yang menyatakan bahwa pelaku tersebut mengalami ketergantungan terhadap narkotika sehingga memerlukan proses perawatan dan/atau pengobatan yang dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi dan yang tentunya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Setelah dipelajari beberapa sistem pembuktian, dapatlah dicari sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP yaitu Sistem Pembuktian Negatif (negatif wettelijk bewijs theones) (Sasangka & Rosita, 2003).
Sehingga terhadap alasan tersebut dalam hal hakim mempertimbangkan alat bukti yang disampaikan oleh Penasehat hukum terdakwa adalah menjadi wujud dari kewenangan majelis hakim dalam setiap mempertimbangkan putusannya tersebut dengan mendasarkan pada suatu sistem Pembuktian Negatif (negatif wettelijk bewijs theories) sebagaimana yang di anut oleh KUHAP.
2. Penerapan ketentuan dalam Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang No.35 Tahun
2009 tentang Narkotika dalam Praktek Peradilan Pidana.
Sanksi hukum
berupa pidana,diancamkan kepada pembuat tindak pidana kejahatan dan pelanggaran
(punishment) adalah merupakan ciri perbedaan hukum pidana dengan jenis hukum yang
lain. Sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati
norma-norma yang berlaku, di mana tiap-tiap porma mempunyai sanksi
sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang di harapkan adalah upaya pembinaan (treatment) (Taufik,
2020).
Ketentuan pidana
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang NARKOTIKA yang di atur dalam
Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 seperti halnya kebanyakan Undang-Undang
Tindak Pidana di luar KUHP rumusan ketentuan pidananya dalam beberapa hal
berbeda dengan rumusan pidana dalam KUHP.
Dalam seminar
tentang Prospek Mahkamah Agung di Universitas Hasanuddin Tahun 2001, telah
terungkap suatu harapan bahwa Mahkamah Agung dalam era reformasi ini harus
mempunyai sifat-sifat transparansi dan akses publik akuntabilitas publik,
peningkatan profesionalisme, integritas dan responsif (Manan et al.,
2021).
Bagir Manan lebih
jauh menyatakan bahwa suatu putusan hakim akan bermutu, hal ini tergantung pada
tujuh hal, yakni :
a. Pengetahuan hakim yang mencakup tentang pemahaman Konsep Keadilan dan Kebenaran;
b. Integritas hakim yang meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat dipercaya;
c. Independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh dari pihak-pihak berpekara maupun tekanan publik;
d. Tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka hukum sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai kekuatan moral;
e. Fasilitas di lingkungan badan peradilan;
f. Sistem kerja yang berkaitan dengan sistem manajemen lainnya termasuk fungsi pengawasan dari masyarakat untuk menghindari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan di daerah.
g. Kondisi aturan hukum didalam aturan hukum formil dan materiil masih mengandung kelemahan.
Aktualisasi dari moralitas ini tidak hanya berlaku terhadap para hakim saja, tetapi termasuk pula para penyidik, penuntut umum dan Advokat sebagai bagian dari criminal justice system.
Dalam sistem peradilan pidana hakim sangat penting peranannya dalam penegakan hukum apalagi dihubungkan dengan penjatuhan hukuman pidana terhadap seseorang harus selalu didasarkan kepada keadilan yang berlandaskan atas hukum. Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa segala putusan peradilan selain memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula Pasal tertentu dalam dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Selain itu didalam ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadlian yang hidup dalam masyarakat.
Dari ketentuan kedua Pasal tersebut di atas mengisyaratkan bahwa ternyata.' masalah penjatuhan pidana kepada penjatuhan pidana kepada seseorang bukanlah hal mudah. Hakim selain harus mendasarkan diri pada Peraturan Perundang-undangan, tetapi juga harus memperhatikan perasaan dan pendapat umum masyarakat. Dengan perkataan lain sedapat mungkin putusan hakim harus mencerminkan kehendak perundang-undangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Seperti diketahui belum ada pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang yang mengatur tentang Narkotika. Tetapi yang ada hanya ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah jenis-jenis pidana, batas maksimun dan minimum lamanya pemidanaan.
Walaupun demikian bukan berarti kebebasan hakim dalam menetukan batas maksimum dan minimum tersebut bebas mutlak melainkan juga harus melihat pada hasil pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan atau faktor-faktor apa saja yang meliputi perbuatannya tersebut.
Dalam ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yaitu (Daniel & Sujono, 2013):
Ayat (1) : Setiap Penyalah guna :�������
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri di Pidana dengan Pidana Penjara paling lama 4 (empat) tahun.
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri di Pidana dengan Pidana Penjara paling lama 2 (dua) tahun.
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri di Pidana dengan Pidana Penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Ayat (2) : Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
Ayat (3) : Dalam hal Penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Arti penyalah guna telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Penyalahguna disini di awali dengan kata "setiap" maka semua orang tanpa terkecuali sebagai pengguna Narkotika termasuk pecandu Narkotika dan korban penyalahguna Narkotika dapat di ancam dengan ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, hal ini karena pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13, sedangkan korban Penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan 54).
Bagi Penyalahguna narkotika yang tertangkap tangan tentulah akan lebih muda dan tidak terdapat persoalan karena dengan tertangkap tangannya seseorang yang sedang menggunakan narkotika tentulah uji laboratorium akan menunjukkan hasil positif, sehingga meskipun tidak ditemukan barang bukti berupa narkotika adanya tes urine dapat ditelusuri jenis maupun golongan narkotika yang telah digunakan/dikonsumsi. Persoalan muncul bagi penyalah guna narkotika untuk masa yang lampau dalam arti saat dilakukan uji laboratorium tidak terbukti positif (negatif) sedangkan banyak saksi yang menyatakan benar orang tersebut sebagai penyalahguna narkotika.
Mengingat untuk menentukan suatu jenis barang/zat narkotika berikut golongannya diperlukan keahlian khusus oleh karena itu tentulah akan sangat kesulitan tanpa adanya barang bukti dapat ditentukan suatu barang/zat yang dikonsumsi seseorang adalah benar-benar narkotika apabila menentukan narkotika termasuk golongan mana (I, II, atau III).
Sehingga praktis hampir dapat dipastikan tidak mungkin seseorang diajukan kepersidangan dengan ancaman tindak pidana sebagaimana Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 meskipun banyak saksi mengetahui seseorang pernah menggunakan narkotika untuk dirinya pada masa lampau.
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa dalam rangka mendapatkan Narkotika bagi dirinya sendiri penyalah guna narkotika tentulah bisa memperoleh dengan cara "membeli, dan menerima," atau bahkan sebelumnya telah memiliki sehingga dapat dikatakan telah menyimpan, menguasai atau sedang kedapatan "membawa". Sedangkan terminologi, "membeli, menerima, menyimpan, menguasai, dan membawa serta memiliki" ada dalam rumusan Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 119, Pasal 122, Pasal 124, dan Pasal 125, maka bukan berarti begitu saja secara serampangan penyalah guna narkotika yang demikian dikenakan Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 119, Pasal 122, Pasal 124, dan Pasal 125, tetapi tetap penyalah guna narkotika ini dikenakan Pasal 127.
Dalam proses menentukan apakah sesorang sebagai Penyalah guna narkotika atau tidak (terlibat peredaran narkotika) adalah sangat penting. Penentuan ini akan berpengaruh terhadap penerapan ketentuan pidana yang tepat. Jika ternyata memang seseorang tersebut kedapatan, "membeli, menerima, menyimpan, menguasai, dan membawa" terbukti untuk digunakan bagi dirinya sendiri tentulah harus digilongkan sebagai penyalahguna narkotika, apalagi jika ternyata jumlah narkotika yang kedepatan pada seseorang, jumlahnya sedemikian rupa sehingga diragukan apakah benar orang tersebut penyalahguna narkotika.
Beberapa isi edaran Surar Mahkamah Agung Nomor. 4 Tahun 2010, tertanggal 7 April 2010, setidak-tidaknya dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah seseorang tersebut penyalahguna narkotika yaitu, apabila :
a. Pada saat di tangkap di temukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut:
1) Kelompok Metamphetamine (sabu) ������������������������������� :��� 1 gram;
2) Kelompok MDMA ( ekstasi) ����������������������������������������� :��� 2,4 gram = 8 butir;
3) Kelompok Heroin1,��������������������������������������������������������� :��� 8 gram;
4) Kelompok Kokain1,�������������������������������������������������������� :��� 8 gram;
5) Kelompok Ganja�������������������������������������������������������������� :��� 5 gram;
6) Daun Koka���������������������������������������������������������������������� :��� 5 gram;
7) Meskalin�������������������������������������������������������������������������� :��� 5 gram;
8) Kelompok Psilosybin������������������������������������������������������� :��� 3 gram;
9.� Kelompok LSD (D-Lysergic acid Diethy-la lamide : 2 gram;
�10. �Kelompok PCP (Phencyeklidine) ��� :���������� 3 gram
�11. �Kelompok fentanil���� ����������� : �������� 1 gram
�12. �Kelompok Metadon�� ����������� : �������� 0,5 gram
�13. �Kelompok Morfin����� ����������� : �������� 1,8 gram
�14. �Kelompok Petidin����� ����������� :���������� 0,98 gram
�15. �Kelompok Kodein���� ����������� : �������� 72 gram
�16. �Kelompok Bufrenorfin��������� : �������� 32 gram
b. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan dalam peredaran gelap narkotika.
Oleh karena itu, jika ada terdapat keadaan keadaan di atas maka Pasal 127 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 ini dikenakan bukannya ketentuan Pidana sebagaimana Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 115. Pasal 117, Pasal 119, Pasal 122, Pasal 124 dan Pasal 125.
Mengenai ancaman pidana setiap penyalah guna bagi dirinya sendiri ditentukan, apabila terhadapa narkotika golongan I di pidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, terhadap Narkotika Golangan II di pidana dengan Pidana penjara paling lama 2 (dua) Tahun, dan terhadap Narkotika Golongan III di Pidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Jika uraian di atas berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika yang tidak termasuk dalam pencandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika selanjutnya bagaimana dengan penyalahgunaan narkotika dengan yang dikategorikan sebagai pecandu Narkotika dan Korban penyalahgunaan Narkotika.
Lamanya proses rehabilitasi yang akan dijatuhkan hakim harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi/ taraf kecanduan terdakwa sehingga wajib diperlukan keterangan ahli, dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi dapat di kemukakan, sebagai berikut:
a. Program Detoksifikasi dan stabilisasi�� : Lamanya 1 (satu) bulan;
b. Program Primer������������������������������������ : Lamanya 6 (enam) bulan
c. Program Re-entry�������������������������������� : Lamanya 6 (enam) bulan
Selanjutnya jika dalam terdapat suatu putusan pidana sedapat mungkin harus bersifat futuristik artinya menggambarkan apa yang diperoleh darinya (Hudianto et al., 2023). Keputusan pidana selain merupakan pemidanaan tetapi juga menjadi dasar untuk memasyarakatkan kembali si terpidana agar dapat diharapkan baginya untuk tidak melakukan kejahatan lagi di kemudian hari sehingga bahaya terhadap masyarakat dapat dihindari.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian bahasan di atas, maka dapat penelitian simpulkan antara lain : (1) Bahwa Terdakwa dalam perkara No. 54/Pid.Sus/2021/PN. Cbn tertanggal 16 September 2021 terbukti adalah sebagai Panyalahguna Narkotika yang telah menggunakan untuk dirinya sendiri sedangkan Terdakwa bukan sebagai "penyalah guna narkotika" dan "bukan pecandu maupun korban penyalah gunaan narkotika", oleh karenanya hakim menjatuhkan sanksi pidana bukan sanksi tindakan (rehabilitasi); (2) Bahwa ketentuan dalam Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak dapat diterapkan dalam praktek peradilan pidana sepanjang hakim masih berpegang teguh pada asas Pembuktian yang berlaku menurut KUHAP yaitu asas Pembuktian Negatif (negatief wettelijk) tersebut dengan tanpa mempertimbangkan ilmu pengetahuan bantu dari sudut keahlian kedokteran Jiwa atau psikiatri dalam rangka menentukan sanksi Pidana dan sanksi Tindakan (rehabilitasi) tersebut.
BIBLIOGRAFI
Andi, H., & Waluyo, B. (2008). Delik-Delik
terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Conterm of Court). Sinar Grafika.
Jakarta.
Andriansyah,
Y., & Abdurrahman, L. (2013). Penyuluhan pencegahan Bahaya Narkoba Terhadap
anak-Anak Usia Dini. Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship (AJIE),
2(02), 104�108.
Arto,
A. M. (2010). Putusan Yang Berkualitas Mahkota Bagi Hakim Mutiara Bagi Pencari
Keadilan. Varia Peradilan; Majalah Hukum, 25(229).
Ashshofa,
B. (2007). Metode penelitian hukum.
Daniel,
A. S., & Sujono, A. R. (2013). Komentar & Pembahasan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.
Dewanto,
P. (2020). Rekonstruksi Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Sengketa Perdata
Berbasis Nilai Keadilan. Jurnal Ius Constituendum, 5(2), 303�324.
Dewi,
W. P. (2019). Penjatuhan Pidana Penjara Atas Tindak Pidana Narkotika Oleh Hakim
Di Bawah Ketentuan Minimum Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Jurnal Hukum Magnum Opus, 2(1), 55�73.
Hudianto,
S., Stevanus, K., & Anjaya, C. E. (2023). Transformasi Pendidikan
Futuristik Melalui Konstruksi Masyarakat Pancasila sebagai Implementasi
Pendidikan Multikultural: Sebuah Perspektif Kristiani. Jurnal Teologi Berita
Hidup, 5(2), 329�346.
Koto,
I. (2018). Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan Penggunaan Merek yang Sama
pada Pokoknya Tanpa Izin (Analisis Putusan MA. RI No: 2037/Pid. Sus/2015).
Kusuma,
J. D. (2020). Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pengguna Narkotika (Studi
Kasus Putusan No. 405/Pid. Sus/2013/PN. Mtr). Unizar Law Review (ULR), 3(2),
220�236.
Manan,
B., Abdurahman, A., & Susanto, M. (2021). Pembangunan Hukum Nasional Yang
Religius: Konsepsi dan Tantangan dalam Negara Berdasarkan Pancasila. Jurnal
Bina Mulia Hukum, 5(2), 176�195.
Muladi,
T. J. H. R. S., & Medis, T. (1997). Dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan
Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Undip Press.
Novitasari,
N., & Rochaeti, N. (2021). Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak. Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, 3(1), 96�108.
Nugroho,
B., Sumarso, S., Yustianti, S., & Roesli, M. (2019). Penerapan Pasal 112
Dan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jurnal
Media Hukum Dan Peradilan, 5(2), 305�313.
Pakpahan,
M. M., Hermansyah, E. O., & Hakim, L. (2021). Penerapan Status Pengguna
Pada Tindak Pidana Narkotika Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Jurnal Hukum Sasana, 7(2), 203�216.
Saikhu,
M. (2020). Dekriminalisasi bagi Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan dan
Pecandu Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Islam Malang.
Santosa,
H. P. I., & SH, M. H. (2022). Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi
Menurut Ajaran Dualistis. Penerbit Alumni.
Sasangka,
H., & Rosita, L. (2003). Hukum pembuktian dalam perkara pidana: untuk
mahasiswa dan praktisi. Mandar Maju.
Sholehuddin,
M. (2003). Sistem sanksi dalam hukum pidana: Ide dasar double track system
& implementasinya.
Soaekanto,
S. (2004). Sri mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Suharto,
A. S. (2021). Penindakan Peredaran Gelap Obat Daftar G Perspektif Undang-Undang
Kesehatan Kaitannya Dengan UndangUndang Narkotika. Jurnal Hukum Media
Justitia Nusantara, 11(1), 207�231.
Supramono,
G. (2004). Hukum Narkoba Indonesia.
Suryoutomo,
M., Mariyam, S., & Satria, A. P. (2022). Koherensi Putusan Hakim Dalam
Pembuktian Ganti Rugi Imateriel Perbuatan Melawan Hukum. Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia, 4(1), 133�149.
Susanti,
D., Rosyani, R., & Suratno, T. (2016). Hubungan Tingkat Kepercayaan Anggota
Dan Fungsi Kelompok Dengan Efektivitas Kelompok Tani Di Kelurahan Bagan Pete
Kecamatan Kota Baru Kota Jambi. Jurnal Ilmiah Sosio-Ekonomika Bisnis, 19(2),
5. https://doi.org/10.22437/jiseb.v19i2.5021
Taufik,
M. (2020). Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan Pembuatan Keripik Ikan Mas
di Desa Ciasihan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Jurnal Penelitian
Dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, 7(2), 134�138.
Copyright
holder: Anton Afrizona,
Ibnu Artadi, Teddy Asmara (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This
article is licensed under: |