Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 6, Juni 2023

 

ANALISIS LEGALITAS PEMBERIAN KREDIT TANPA AGUNAN OLEH BANK BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NO 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN

 

Florencia Saputro Jong, Jeane Neltje Saly

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta

�Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kredit Tanpa Agunan (KTA), merupakan salah satu produk dari lembaga pembiayaan seperti perbankan. KTA menjadi produk pembiayaan yang cukup banyak dilakukan di samping kredit usaha rakyat dan leasing. Produk ini dinilai cukup umum diberikan oleh lembaga pembiayaan seperti perbankan kepada nasabah debiturnya, dengan menganalisis rekam jejaknya selam melakukan transaksi perjanjian sesuai dengan kesempatan. Sehingga KITA sampai saat ini menjadi produk pembiayaan yang cukup legal bahkan dinaungi oleh BI dan OJK. Akan tetapi persoalannya KTA juga menyuguhkan resiko yang cukup besar dengan tingkat kredit macet yang juga cukup tinggi. Banyak bank mengalami persoalan krusial, dalam menjalankan program ini,salah satunya adalah BNI. Dari persoalan yang telah terjadi tujuan penulisan artikel ini adalah, menganalisis legalitas penerapan pidana atau kredit tanpa agunan berdasarkan ketentuan undang-undang mengenai perbankan. Proses analisis dilakukan dengan studi literasi berdasarkan prinsip normatif. Basis penelitian ini menunjukkan bahwa legalitas pemberian kredit tanpa agunan belum penuhi prinsip syariah sebagaimana tertuang dalam pasal 8 Ayat 1 UU tentang perbankan, meskipun OJK dan BI telah melegalkan aktivitas tersebut. Hal ini dikarenakan kredit tanpa agunan merupakan aktivitas pembiayaan yang tinggi risiko.

 

Kata kunci: Agunan, Debitur, Perbankan, Kredit, Nasabah

 

Abstract

Unsecured Credit (KTA), is one of the products of financing institutions such as banks. KTA is a financing product that is quite widely carried out in addition to people's business loans and leasing. This product is considered quite commonly given by financing institutions such as banks to their debtor customers, by analyzing their track record of making agreement transactions according to the opportunity. So that KITA has until now become a fairly legal financing product even shaded by BI and OJK. However, the problem is that KTA also presents a considerable risk with a high level of bad debt. Many banks experience crucial problems, in carrying out this program, one of which is BNI. From the problems that have occurred, the purpose of writing this article is, analyzing the legality of criminal application or unsecured credit based on the provisions of the law on banking. The analysis

 

How to cite:�������������������� Florencia Saputro Jong, Florencia Saputro Jong, Jeane Neltje Saly (2023) Analisis Legalitas Pemberian Kredit Tanpa Agunan Oleh Bank Berdasarkan UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,

Volume 8 Issue 6, Juni 2023

E-ISSN:�������������������������� 2548-1398

Published by:������������������ Ridwan Institute


process is carried out by literacy studies based on normative principles. The basis of this study shows that legality The provision of unsecured loans has not complied with sharia principles as stipulated in article 8 Paragraph 1 of the Law on banking, even though OJK and BI have legalized such activities. This is because unsecured credit is a high-risk financing activity.

 

Keywords: Collateral, Debtor, Banking, Credit, Customer

 

Pendahuluan

Pemenuhan kebutuhan manusia tidak dapat dilepaskan dari adanya aspek komersial dan ekonomi yang dilakukan oleh setiap individu.(Muhari, 2019) Sektor ekonomi menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk mencapai kesejahteraan yang diharapkan oleh setiap orang.(Rahmawaty, 2013) Hal ini menjadikan kehidupan penuh dengan kerjasama hubungan yang saling terikat antar manusia, dalam aspek perekonomian yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup. Maka dari itu kegiatan perekonomian sendiri secara makro tidak dapat dilepaskan dari aspek finansial atau keuangan yang dikelola, diatur dan juga menjadi objek yang banyak digunakan dalam berbagai bentuk bisnis dan kerjasama(Pardiansyah, 2017). Aspek ekonomi dan finansial atau keuangan menjadi satu kesatuan yang tidak terlepas dari usaha manusia dalam menjalankan bisnis dan usaha, serta mendorong aktivitas yang sesuai dengan harapan dalam peningkatan taraf hidup yang lebih baik.

Pengelolaan keuangan merupakan salah satu aktivitas yang mendorong kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan baik(Reichheld, 2003). Sehingga banyak bisnis memang berupaya untuk menciptakan pengelolaan dan distribusi keuangan dengan cukup baik demi menjamin kegiatan bisnis agar tetap berjalan baik. Bahkan hal ini menjadikan setiap pelaku bisnis dan usaha tidak dapat dilepaskan dari dukungan keuangan yang baik(Rahmatillah, 2022). Dukungan tersebut dapat diperoleh melalui hackhield ari usaha dan bisnis yang dilakukan, itu justru dari pihak pemberi dukungan keuangan dalam bisnis yang dijalankan. hal ini menjadikan sistem utang piutang dalam sektor ekonomi menjadi hal yang cukup lumrah dilakukan.(Silviana, 2022) karena setiap bisnis harus tumbuh dengan berimbang dan juga mempertimbangkan orientasi pada masa depan, maka setiap bisnis mendapatkan peluang yang sama untuk memperoleh dukungan keuangan, termasuk dari lembaga keuangan seperti perbankan.

Dukungan keuangan sebagai sebuah aspek yang dapat mendorong kegiatan ekonomi dalam berbagai bentuk kerjasama pembiayaan.(Sri & Ahmad, 2017) Banyak lembaga pembiayaan berupaya untuk menyediakan kesempatan dukungan uang dari lembaga terkait para pelaku bisnis atau pada pihak yang akan dibiayai. Termasuk didalamnya adalah lembaga keuangan berupa perbankan yang merupakan alas atau lembaga keuangan formal yang banyak menyediakan layanan bentuk pinjaman dan pembiayaan keuangan bagi pelaku usaha atau bagi individu. Lembaga Perbankan sendiri dapat diartikan sebagai lembaga perantara untuk pihak yang memiliki kelebihan dan atau surplus of fund terhadap pihak yang memerlukan dana atau lack of funds.(Soetopo, Saerang, & Mawikere, 2016) Sehingga lembaga perbankan menjadi suatu lembaga


keuangan yang memiliki integritas dan penting bagi perekonomian negara secara makro.(Fitri, 2022) Oleh karena itu negara memiliki lembaga formal yang memang bertujuan alam mendorong efektivitas kegiatan ekonomi masyarakat, baik itu dalam tingkatan paling mikro hingga pada tingkatan paling makro.

Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga pembiayaan yang menyediakan layanan untuk peminjaman bagi nasabahnya merupakan salah satu bentuk dari kerjasama yang dilakukan antara dua pihak (Ilham & Hariyani, 2020). Kegiatan kerjasama hutang- piutang dalam bentuk tunjangan kreditur dari bank pada nasabahnya merupakan salah satu bentuk hubungan kerjasama yang umum terjadi dalam aktivitas keuangan di Indonesia dan di banyak negara. kerjasama ini kerap menjadi salah satu hal yang sekiranya perlu diatur secara hukum, karena dampak dari kerjasama ini dapat dikatakan cukup beragam(Moertiono, 2019). Sebagai suatu aktivitas pembiayaan, layanan kredit merupakan bagian dari upaya mendorong aktivitas ekonomi yang terus berkembang, dan pembangunan nasional.(Andriansyah, 2009) Oleh karena itu lembaga perbankan sebagai lembaga pembiayaan juga menjadi salah satu subjek hukum yang suaranya diatur berdasarkan undang-undang karena perannya cukup besar dalam mendorong pembangunan nasional.

Perbankkan sebagai lembaga pembiayaan memiliki usaha utama dalam sektor kredit (Perdagangan, 2013). Perlu disadari bahwa Bank memiliki program layanan kredit dan pembiayaan lainnya yang cukup beragam(Fitri, 2022). Setiap lembaga perbankkan akan menjadilan usaha dalams ektor kredit sebagai penghasilan utama, karena pada dasarnya lembaga perbankkan mendapatkan hasil atau laba dari usaha kredit yang telah dijalankan sehingga penghasilan tersebut didapatkan melalui bunga dan provisi atau pembiayaan administrasi pada saat dana diberikan pada nasabah. Lembaga perbankan sebagai lembaga keuangan merupakan pihak yang menyediakan jasa keuangan atau permodalan bagi nasabah yang membutuhkan bantuan pembiayaan atau keuangan, melalui suatu sistem kredit yang telah diatur berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam bentuk layanan ini pihak perbankan merupakan peran dalam posisi pihak kreditur, sedangkan nasabah merupakan pihak debitur. Didalamnya tentu terdapat kerjasama yang telah disepakati alam pemberiaan pembiayaan dan pengucuran dana berdasarkan sistem pembiayaan yang telah ditetapkan oleh Perbankan kepada nasabahnya.

Posisi perbankan dan nasabah dalam sistem kredit merupakan suatu fata bahwa perjaiayang melibatkan usaha dalam bidang keuangan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan tunduk apa hukum yang berlaku di Indonesia. Perbankan sebagai lembaga formal yang menyediakan jasa pembiayaan harus mengacu pada ketentuan mengenai formalitasnya sebagai lembaga keuangan yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana telah diperbaharui dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Berdasarkan ketentuan yang berlaku setiap lembaga perbankan haruslah tunduk pada undang-undang yang berlaku, termasuk dalam menciptakan sistem pembiayaan kepada nasabahnya, yang berdasarkan prinsip keadilan dan juga kerjasama yang dibatasi oleh ketentuan undang-undang yang


berlaku, seperti bunga dan juga provisi yang maksimal yang dapat diberikan pada proses pembiayaan dilakukan. Sehingga lembaga perbankan akan tetap menjalankan fungsinya untuk mendorong pembangunan berdasarkan prinsip keadilan.

Banyak lembaga perbankan berupaya untuk mengoptimalkan layanan pemberian kredit kepada nasabah, karena ini merupakan salah satu layanan paling menguntungkan bagi lembaga keuangan. Salah satu dari sekian banyak layanan yang cukup populer belakangan ini lah kredit tanpa agunan (KTA) yang dianggarkan oleh banyak lembaga perbankan dengan tujuan untuk menarik minat nasabahnya dan juga membuka peluang kesempatan bagi setiap nasabahnya dalam kerjasama pembiayaan tanpa adanya agunan atau jaminan. KTA sebagai salah satu produk dari layanan pembiayaan yang diberikan oleh perbankan apa nasabahnya dengan sistem peminjaman tanpa adanya agunan atau aset yang menjadi syarat untuk jaminan pinjaman yang dilakukan. Produksi sendiri telah banyak digunakan oleh lembaga perbankan di Indonesia termasuk bagi lembaga-lembaga seperti Danamon. BRI, Digibank, MayBank dan OK Bank .

Dalam layanan yang diberikan oleh bank pada nasabahnya dalam usaha kredit, tentunya terdapat perjanjian yang telah disepakati oleh dua pihak yang terlibat didalamnya. Perjanjian yang telah disepakati dalam bentuk kontrak pembiayaan inilah yang menjadi salah satu unsur penting bagi diberikannya hak dan kewajiban kepada setiap pihak baik itu perbankan maupun nasabahnya. Perjanjian yang tertuang dalam kontrak kredit merupakan dasar dari berlakunya hukum yang mengikat kedua belah pihak (Siswandi, 2019). Sehingga terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi serta dipenuhi sesuai dengan kesempatan yang telah ditetapkan, dimana pihak nasabah telah menyetujui kontrak yang telah diberikan. Maka kontak akan berlaku dan mengikat ketika nasabah telah menyetujui setiap perjanjian yang ditetapkan berdara kontra dan menimbulkan adanya tanggung jawab hukum, baik oleh nasabah maupun pihak perbankan. Perjanjian kredit yang telah disetujui oleh nasabah sebagai pihak debitur tentunya mengakibatkan munculnya tanggung jawab prestasi yang harus dipenuhi berdasarkan kontrak yang telah disepakati.

Dalam setiap perjanjian terdapat suatu kesepakatan yang diterima oleh setiap pihak yang bersedia terikat di dalamnya (Salim H. S., 2017). kecepatan tersebut memunculkan suatu konsekuensi berupa kewajiban yang harus dipenuhi. Hal tersebut juga berlaku bagi suatu perjanjian kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh lembaga perbankan terhadap nasabahnya. Perjanjian tersebut umumnya berbatu kontra yang disepakati oleh nasabah. Dalam kesepakatan itu pada akhirnya nasabah harus memiliki kewajiban untuk memenuhi suatu keharusan atau prasasti yang ada dalam kecepatan. Oleh karena itu perjanjian antara lembaga pembiayaan seperti perbankan dengan nasabah umumnya menghasilkan suatu prestasi yang harus dipenuhi. sebagai unsur dari perjanjian berupa pembiayaan. Maka dari itu keterikatan kedua belah pihak inilah yang juga tidak terlepas dari konsep wanprestasi yang kerap kali muncul dalam banyak kasus.

Menurut Fauziah (1995) Wanprestasi merupakan suatu kondisi dimana pihak debitur dinilai tidak dapat memenuhi prestasi karena telah ingkar dengan kesepakatan atau perjanjian baik itu secara lisan maupun kontra yang ditetapkan antara kedua belah


pihak yakni debitur dan kreditur. Kondisi ini ditandai dengan tidak terpenuhinya prestasi yang seharusnya menjadi hak kreditur pada suatu waktu atau periode tertentu yang telah disepakati oleh pihak debitur dan kreditur. Dalam konteks negara Indonesia kondisi ini ditandai dengan putusan pengadilan yang telah memutuskan bahwa suatu pihak debitur maupun kreditur telah wanprestasi terhadap prestasi yang telah disepakati., dan umumnya kondisi ini menjadikan setiap pihak yang dinilai wanprestasi harus memenuhi tanggung jawab hukum yang berlaku. Dalam peraturan mengenai wanprestasi setiap perjanjian dimana pihak yang terlibat wanprestasi haruslah ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan, untuk mendapatkan hak dari agunan atau jaminan sebagai bentuk hak fidusia. Wanprestasi sebagai kondisi tidak terpenuhinya prestasi tentunya juga harus disikapi dengan kekuatan hukum yang tepat untuk memutuskan persoalan yang melibatkan pihak-pihak dalam perjanjian. Salah satu aspek penting yang juga cukup berpengaruh besar terhadap kondisi wanprestasi adalah istilah force majeure. Istilah ini merupakan salah satu konsep hukum yang legal dalam kaidah hukum perdata di Indonesia, berdasarkan pada paradigma civil law yang dilaksanakan dalam sistem hukum di Indonesia. hanya saja di Indonesia lebih mengenal istilah force majeure sebagai overchmat. Menurut Riduan Syahrani (2006), force majeure atau overmacht merupakan kondisi memaksa atau sebab akar yang menjadikan suatu prestasi tidak terpenuhi. Seangkatan Mieke Komar Kantaatmadja mendefinisikan wanprestasi secara lebih detail sebagai suatu keadaan yang tidak dicantumkan dalam perjanjian, yang muncul akibat perubahan, dimana kondisi tersebut dianggap cukup fundamental mempengaruhi perjanjian, serta belum diperkirakan sebelumnya oleh pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut . Oleh karena itu akibat dari adanya perubahan tersebut mampu mengubah ruang

lingkup kewajiban yang harus di terpenuhi.

Istilah force majeure sendiri tidak serta merta diartikan sebagai kondisi terpaksa atau dimasa yang dapat berpengaruh terhadap perjanjian, secara lebih detail istilah ini juga merujuk pada dua konsep penting., terdapat istilah force majeure absolute, dan force majeure relatif,. Dua istilah ini yang menggambarkan mengenai bagaimana kondisi force majeure yang dapat menjadi dasar dari tidak dapat terpenuhinya kewajiban dianggap batal demi hukum. Pertama untuk force majeure absolute, sebagai kondisi atau faktor yang mendorong hilangnya kewajiban untuk memenuhi prestasi atau perjanjian, akibat kondisi yang dia dapat ditanggulangi sama sekali, dan dianggap hal tersebut sebagai faktor dimana kewajiban dapat hilang. Dosis force majeure absolute ini umumnya ditandai dengan berbagai bentuk peristiwa yang tidak diperkirakan sebelumnya, seperti kondisi bencana alam, hilang atau musnahnya suatu objek dalam perjanjian atau kondisi lainya yang dinilai memang tidak dapat ditanggulangi dengan alternatif apapun.

Sedangkan force mature relatif, menurut Wibawa diartikan sebagai kondisi yang mengakibatkan suatu prestasi atau kewajiban tidak dapat terpenuhi tepat waktu, sehingga terdapat unsur pembebasan sementara dari prestasi yang harus dipenuhi. Dalam hal force majeure relatif, kondisi yang terjadi amsih memungkinkan pihak yang harusnya memenuhi prestasi untuk berusaha lebih keras, meskipun harus mengambil suatu kerugian, akan tetapi memungkinkan untuk melawan pemenuhan untuk prestasinya di


kemudian hari atau di lain waktu. Namun meskipun pembebasan ini ditetapkan sebagai force majeure relatif, pihak yang tidak mampu memenuhi prestasi, harus dapat membuktikan bahwa kondisi tidak terpenuhinya prestasi adalah kondisi force majeure. Dalam kondisi force majeure relatif ini tentunya terdapat unsur itikad baik yang harus dipenuhi oleh pihak yang tidak dapat memenuhi sebagai tanggung jawabnya terhadap norma hukum yang berlaku.

Suatu perjanjian dilakukan atas dasar tujuan masing-masing pihak yang bersedia terlibat dalam berbagai bentuk perikatan.Hal ini menimbulkan norma yang harus dipenuhi dalam perjanjian yang telah disepakati. termasuk adanya asas kepatutan terhadap perjanjian yang harus dil;asikana. Dalam perjanjian kontrak pembiayaan, baik pihak kreditur maupun debitur harus melaksanakan asas ini sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap isi perjanjian yang telah disepakati. Norma kepatutan menjelaskan mengenai berbagai bentuk pertautan terhadap isi perjanjian dalam suatu perikatan yang telah disepakati oleh masing-masing pihak. bahwa norma kepatutan ini juga dijelaskan dalam KUHPerdata pasal 1339 sebagai suatu norma yang mengharuskan pihak dalam perikatan patut terhadap isi perjanjian.

Suatu perjanjian kontrak atau kesepakatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti perbankan umumnya menerapkan adanya kontrak berdasarkan prinsip klausula baku yang ditetapkan oleh lembaga perbankan. Klausula baku sebagai ketentuan yang mengatur mengenai isi perjanjian yang ditetapkan oleh satu pihak dan disepakati oleh puak lain, sehingga terjadi suatu perikatan yang telah ditetapkan secara bersama-sama. Hal ini cukup umum dalam bisnis pembiayaan yang didalamnya melibatkan pihak debitur dan kreditur., Sehingga klausula baku dipahami sebagai bentuk isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh salah satu pihak, dan pihak lainnya sebagai penerima ketetapan tersebut (Suryono, 2011). Dimana kesepakatan terjadi ketika pihak lain yang menerima ketetapan menyetujui itikad baik perjanjian atau kontrak yang telah diberikan. Banyak ahli mendefinisikan klausula baku, seperti:

1)        Munir Fuady, menyebutkan kontrak baku sebagai suatu ketentuan yang telah dibuat oleh salah satu pihak, dalam bentuk korban yang telah tercetak seperti berbentuk formulir tertentu yang didalamnya mengandung ketentuan atau klausula, sehingga kontrak tersebut dapat diterima dan disepakati oleh pihak lain .

2)        Sutan Remy Sjahdeini mendefinisikan klausula baku sebagai suatu perjanjian yang ditetapkan berdasarkan syarat yang telah dipersiapkan oleh salah satu pihak terlebih dahulu, dalam mengikat pihak lain ketika ketentuan tersebut disepakati .

3)        Kelik Wardiono mendefinisikan klausula baku sebagai suatu aturan atau syarat yang dipersiapkan serta ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak dalam menjalankan suatu kerjasama yang dituangkan dalam bentuk dokumen yang mengikat bagi pihak lainnya .

4)        Abdul kadir Muhammad mendefinisikan bahwa perjanjian atau klausula baku merupakan bentuk tertulis dengan format perjanjian yang ditetapkan oleh pelaku usaha kepada konsumen .


5)        Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani memberikan pengertian awha klausula baku merupakan bentuk kontrak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang diatur oleh pihak tertentu, dimana klausula ini dapat dipakai atau tidak dipakai berdasarkan tujuan perjanjian itu sendiri .

6)        Subekti menjelaskan bahwa hukum dalam perjanjian menetapkan adanya klausula yang ditetapkan oleh pihak yang melakukan perjanjian, termasuk didalamnya adalah klausula baku .

7)        Salim mendefinisikan bahwa klausula baku sebagai ketentuan yang telah dibuat secara sepihak, dengana danya kesepakatan baru dapat mengikat pihak lainnya .

8)        Hondius mendefinisikan tuliskan baku sebagai konsep perjanjian tertulis yang telah disusun tanpa dibicarakan sisinya serta lazimnya terutang dalam sejumlah formulir .

9)        Asser Rutten memberikan definisi kalau bagi sebagai suap perjanjian yang ditandai dengan penandatanganan formulir perjanjian yang berisikan klausula baku, maka klausula tersebut bersifat mengikat bagi orang atau pihak yang telah menyetujui .

10)    Pitlo memberikan definisi klausula baku sebagai perjanjian baku atau perjanjian paksa .

 

Klausula baku dalam mengikat pihak-pihak dalam perjanjian tentunya menjadi bagi yang juga diatur dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Pada dasarnya klausula baku merupakan ketentuan yang juga dilaksanakan oleh banyak lembaga pembiayaan seperti perbankan pada nasabahnya dalam kontrak perjanjian pembiayaan, baik itu dengan agunan maupun tanpa agunan. Dalam penerapan klausula baku tersebut. terdapat akibat hukum dari penerapan hal ini. Penerapan Klausula baku dapat berakibat dari adanya prinsip ketidakadilan karena pihak yang membantu klasula baku tentunya pihak yang lebih dominan, dan memiliki kekuatan, oleh karena itu dapat berdampak pada perlindungan hukum yang lemah terhadap pihak debitur. Bukan hanya itu isi perjanjian dapat bermakna beda ketika tidak dijelaskan terlebih dahulu, sehingga diartikan prinsip klausula baku dapat menyesatkan

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau doktrinal. Fokus penelitian ini untuk melakukan pengkajian dan analisis terhadap hak waris istri (kedua) dari perkawinan dengan menggunakan asal-usul perkawinan palsu dengan pendekatan undang-undang. Penelitian ini memakai bahan hukum primer yaitu putusan pengadilan dan peraturan perundangan yang terkait dan bahan hukum Sekunder yakni buku hukum serta jurnal yang akan dikumpulkan dengan teknik studi pustaka. Data yang diperoleh melalui cara studi pustaka yang dikaji secara kualitatif dan disuguhkan secara deskriptif.

 

Hasil dan Pembahasan Force Majeure

Pertimbangan Hukum Tentang Force Majeure


Force majeure sebagai salah satu ketentuan dalam ranah hukum perdata diatur berdasarkan putusan pengadilan mengenai posisi pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi. Dalam ketentuan force majeure ini juga dapat menyasar pada pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pembiayaan seperti kredit tanpa guna oleh lembaga perbankan. Sebagai bentuk dari kondisi memaksa tidak dapat memenuhi prestasi, force majeure menjadi alasan kuat dari hilangnya suatu kewajiban oleh pihak-pihak yang terlibat suatu suatu perjanjian., Hal ini juga kerap terjadi pada sebuah kerjasama pembiayaan tanpa agunan, atau kredit tanpa agunan yang melibatkan pihak perbankan dengan nasabahnya. Force majeure sebagai alasan kuat hilangnya suatu kewajiban memang menjadi cukup rancu ketika dihadapkan dengan posisi kasus yang terjadi pada perjanjian kredit tanpa agunan.

Kredit tanpa agunan sendiri merupakan salah satu produk dari lembaga pembiayaan seperti perbankan, yang memudahkan nasabahnya untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan atau bantuan keuangan dengan lebih mudah. Produk hukum ini muncul sebagai salah satu inovasi bisnis finansial yang menyasar pada berbagai bentuk aktivitas pembiayaan, termasuk dalam kuberikan fasilitas paling mudah bagi para nasabah untuk mendapatkan kredit atau pinjaman keuangan dengan persyaratan yang tidak terlalu kompleks. Hal ini juga didasarkan pada Ketentuan pasal 8 ayat 1 Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 mengatur mengenai usaha pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan dilaksanakan atas dasar analisis terhadap kemampuan debitur untuk melunasi hutang atau kewajibannya., bank umum harus memiliki rasa yakin berdasarkan analisis yang lebih mendalam untuk memberikan kredit pada debitur. ketentuan ini tentunya menjadi salah satu hal penting yang memunculkan produk kredit tanpa agunan cukup legal berdasarkan pada UU tentang Perbankan, karena didalamnya hanya menyinggung mengenai prinsip syariah yang didasarkan atas analisis mendalam. Dimana proses analisis tersebut dapat dilakukan dengan berbagai bentuk cra termasuk alamnya adalah melakukan analisis terhadap rekam jejak nasabah sebagai pelanggan suatu lembaga perbankkan.

Berkaitan dengan hal yang terjadi pada perjanjian dan kesepakatan kredit tanpa agunan, hal yang perlu disadari adalah kondisi force majeure yang dapat menjadi alasan dari tidak dipenuhinya prestasi. Dalam kondisi demikian banyak Kredit Tanpa Agunan juga memiliki konsekuensi paling berat yakni kredit macet. Sehingga hal ini juga cukup penting untuk dianalisis kembali mengenai ketentuan produk lembaga pembiayaan yakni kredit tanpa agunan, berkaitan dengan kondisi force majeure yang dapat saja menjadi dasar dari hilangnya kewajiban. Maka dari itu terdapat suatu ketentuan yang dinilai cukup penting, mengatur mengenai kondisi wanprestasi dan juga faktor yang memicu terjadinya kredit macet atau bahkan hilangnya kewajiban khususnya dalam produk kredit tanpa agunan.

Kronologi Kasus

Salah satu kasus yang cukup krusial dalam penerapan sistem kredit tanpa agunan dalam skala makro terjadi apa BNI. Pada akhir tahun 2022 lalu BNI mendapatkan peringatan dari OJK (otoritas jasa Keuangan) dan BI (bank Indonesia) karena PMI (Prompt Manufacturing Index) yang terkendala . BNI mengalami suatu kondisi yang


cukup menyediakan paa akhir tahun 2022 lalu yang berdampak pada pemberhentian sementara pembiayaan yang dilakukan oleh BI terhadap bank BNI. Hal ini disinyalir akibat dari tunggakan dari para PMI sekitar 2 milyar rupiah dari total KTA yang diberikan dengan besaran sejumlah delapan belas milyar rupiah. Dalam pemberian KITA sendiri Bank BNI menetapkan bunga sebesar 11%. Dari kasus tersebut menempati BNI dalam kondisi yang cukup rentan dari aktivitas TA yang diselenggarakan meskipun mendapatkan dukungan Bl, tetapi sanksi yang telah diberikan menjadi BNi dituntut memiliki solusi terbaik untuk mendisiplinkan KTA yang harus dibayar oleh nasabahnya.

 

Analisis Hukum

Pada dasarnya KTA di Indonesia merupakan salah satu produk usaha pembiayaan yang diterapkan untuk mendorong efektivitas pembangunan nasional dengan mendorong perekonomian mulai dari skala mikro hingga skala maktour. Dalam penerapanya KTA memang cukup dilematis untuk dijalankan, terlebih lagi dalam kondisi force majeure yang terjadi memaksa pihak yang berkewajiban hilang dari tanggung jawab yang telah diberikan. Kondisi force majeure seperti halnya yang terjadi pada BNI akibat dari PMI yang tidak sesuai dengan perjanjian dalam KTA yang telah ditetapkan, menjadikan BNI dalam kondisi terpaksa untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi kredit macet yang berdampak pada efekstabilitas kegiatan usaha. hal ini tentunya menjadi salah satu kasus dari force majeure relatif yang harus dihadapi oleh BNI terhadap dana yang seharusnya menjadi praktisi kepada Bank Indonesia. Oleh karena itu kondisi ini tentunya juga harus disikapi dengan dasar hukum yang berlaku pada sistem usaha permainan yang ada di Indonesia.

Dalam kasus yang demikian ini tentunya force majeure menjadi salah satu yang sekiranya perlu untuk diatur dalam sistem Kredit Tanpa Agunan. Sebagaimana dijelaskan dalam perubahan Pasal 8 UU Tentang perbankan, bahwa usaha pembiayaan berupa kredit harus dilakukan atas dasar rasa percaya, dan juga jaminan yang ditetapkan sebagai bentuk ari penilaian kelayakan debitur menerima pembiayaan dengan besaran yang telah diajukan. Maka dari itu pasal 8 dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 menjelaskan secara lebih tegas bahwa produk kredit kepada nasabah atau debitur harus dilakukan atas dasar rasa kepercayaan akan adanya jaminan atau agunan yang diberikan sebagai penilaian terhadap kemampuan debitur untuk memenuhi perhatianya. Sehingga ketentuan dalam pasal 8 yang telah dirubah ini diberikan penjelas bahwa bahwa agunan sebagai salah satu unsur pembentuk adanya pembiayaan atau kredit yang diberikan oleh pihak terhadap nasabah atu debiturnya. Secara lebih rinci bahwa Bank harus melakukan analisis atau penilaian terhadap kemampuan nasabah debitur dalam mendapatkan pembiayaan, dimana analisis mendalam dilakukan secara semasa baik itu dari watak, kemampuan, modal serta agunan dan prospek dana usaha yang diberikan.

 

Pengabaian Penerapan Klausula Baku Pertimbangan Hukum


Klausula baku sebagai ketentuan yang ditetapkan oleh pihak perbankan dalam memberikan produk kredit tanpa agunan, ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip penyelenggaran produk kredit. Pada dasarnya kredit tanpa agunan merupakan sebuah produk yang harus dipertimbangkan dengan cukup analitik untuk menilai kelayakan nasabah dalam mendapatkan pembiayaan yang tepat sesuai dengan debitur. namun secara lebih mendalam dengan mengacu pada ketentuan Undang-Undang tentang perbankan, agunan dinilai menjadi unsur penting yang ada dalam syarat pemberian kredit. Sebagaimana diejlaskan dalam pasal 8, ditetapkan bahwa pemberian kredit dilakukan berdasarkan prinsip syariah dengan analisis terhadap kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajiban atau prestasi berdasarkan perjanjian pembiayaan yang telah disepakati.

Setiap usaha kredit atau pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga perbankan harus dilakukan dengan berdasarkan prinsip syariah. Dalam artian bahwa setiap usaha kredit itu mengandung risiko, sehingga pelaksanaannya harus memperhatikan berbagai bentuk asas mengenai pemberitaan yang sehat. Oleh karena itu dengan tujuan untuk mengurangi resiko tersebut, maka pembiayaan dapat dilakukan oleh lembaga perbankan dengan adanya jaminan yang berdasarkan prinsip kesanggupan dan kemampuan. jaminan inilah yang telah mereprentasikan agunan sebagai bentuk atau syarat wajib yang hadir ditengah usaha kredit yang dilakukan oleh perbankan. Pihak perbankan harus perhatian kemampuan nasabah debitur, dan besarnya pembiayaan yang dapat diberikan untuk menjaga efekstabilitas usaha pembiayaan dapat berjalan dengan baik. Dengan mengacu pada ketentuan mengenai usaha kredit tersebut, maka agunan sebagai unsur penting dalam memberikan kredit. Yang apabila berdasarkan unsur lain dapat diperoleh melalui suatu proses analisis terhadap kemampuan nasabah, untuk meyakinkan bank dalam pembiayaan.

Selain ketentuan mengenai kesanggupan dalam pembayaran pembiayaan yang telah diberikan oleh bank, terdapat unsur lainnya yang termuat dalam unsur syariah dalam pemberian kredit. Unsur lai tersebut adalah analisis mengenai dampak lingkungan bagi perusahaan berskala besar dan resiko tinggi agar suatu proyek atau industri yang dibayar tapi tetapi menjaga kepastian lingkungan, Unsur ini menjadi salah satu penjelasan tambahan yang belum ada, pada uu perbankan sebelumnya,dan diperjelas pada uu yang telah diperbaharui. Dalam memberikan kredit kepada debitur, lembaga perbankan harus memperhatikan ketentuan Bank Indonesia yang terdiri dari:

Pemberian kredit yang didasarkan pada prinsip syariah dalam perjanjian tertulis. bank memiliki prinsip keyakinan atas kemampuan serta kesanggupan berdasarkan

yang diperoleh dari penilaian terhadap kemampuan, watak, modal, agunan serta prospek dana dari debitur.

Bank wajib untuk menyusun dan menetapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Kewajiban bank memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan pestarakat pembaiatan.


larangan untuk memberikan kredit berdasarkan prinsip yang berbeda terhadap pihak tertentu.

 

 

Penyelesaian Sengketa Posisi Kasus

Kredit Tanpa Agunan (KTA) sebagai produk dari lembaga perbankan yang saat ini banyak dilakukan. Layanan ini telah disetujui oleh OJK dan BI. KTA sebagai salah satu alternatif yang digunakan dalam usaha pembiayaan untuk menjamin kegiatan usaha dapat berjalan dengan baik, memang dapat dikategorikan cukup dilematis. persoalannya adalah KTA merupakan aktivitas yang belum memenuhi syarat atau unsur kredit, tetapi diperbolehkan dalam sistem finansial dan pembiayaan di Indonesia. Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari aspek kebutuhan permodalan untuk menunjang aktivitas peningkatan perekonomian, melalui dorongan modal untuk menggerakan perekonomian. Sehingga Bank Indonesia juga menetapkan bahwa Kredit Tanpa Agunan menjadi salah satu produk atau layanan lembaga perbankan yang diperbolehkan berdasarkan prasyarat tertentu yang ditetapkan oleh lembaga terkait mengacu pada ketentuan Undang-Undang dan ketentuan bank Indonesia.

Namun banyak kasus KTA mengalami suatu pelanggaran atau pengingkaran terhadap kewajiban dari prestasi yang harus dipenuhi oleh debitur. Dalam kaitannya dengan agunan yang dihapus dari prasyarat kallula batu alam KITA sebagai produk pemberian pembiayaan yang mudah bagi para nasabah debitur, memang memiliki resiko cukup tinggi dalam banyak persoalan, terutama hilangnya kewajiban akibat berbagai bentuk kejadian atau peristiwa., Sehingga TA tidad apat berjaland enagnbbaik berkahir paa tingkat elektabilitas yang rendah bagi lembaga perbankan. Dimana hal ini juga cukup merugikan bagi lembaga perbankan untuk mendapatkan profit dari usaha ]pembiayaan yang dilakukan. oleh karena itu meskipun KTA sebagai produk yang banyak menawarkan kemudahan tetapi juga tinggi dengan resiko.

 

Analisa Hukum

Ketentuan hukum di Indonesia yang mengatur mengenai usaha kredit oleh perbankan telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Berdasarkan pasal 11 mengatur mengenai resiko dari pemberian kredit kepada masyarakat yang berdampak terhadap perekonomian nasional(Satradinata & Muljono, 2020). Dalam artian bahwa usaha kredit yang dilakukan oleh perbankan pada dasarnya merupakan pengaloksian keuangan yang diatur untuk mendapatkan keuntungan yang stabil dari asas keadilan dalam bertransaksi. Sehingga proses tersebut melibatkan banyak hal terutama sistem kredit yang diselenggarakan oleh perbankan harus meminimalisir resiko yang dapat terjadi. Sehingga hal ini menjadikan kredit tanpa agunan yang beresiko terhadap kegiatan lembaga perbankan juga memiliki dampak yang cukup besar terhadap aktivitas perekonomian masyarakat.


Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan dari kredit yang diberikan sebagai atasan pemberian kredit yang berfungsi untuk menjaga stabilitas perekonomian secara makro.(AIDIL NOVIA, 2019) Bahwa Bank Indonesia juga memberikan keleluasaan bagi lembaga perbankan yang ada untuk menjalankan fungsinya dalam memberikan kredit kepada rakyat dengan mudah, termasuk didalamnya adalah kredit tanpa agunan. Namun perlu disadari bahwa kredit tanpa agunan belum memenuhi prinsip syariah sebagaimana dijelaskan dalam pasal penjelas UU perbankan Nomor 10 tahun 1998 Tentang perbankan. bahwa unsur sejarah yang dimaksudkan adalah memenuhi kriteria seperti watak, modal, kemampuan agunan dan prospek usaha dari pihak debitur. prinsip-prinsip ini diterapkan ebagaipenlaian yang digunakan untuk memberikan besarnya pembiayaan yang layak didapatkan oleh nasabah debitur.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa legalitas pemberian kredit tanpa agunan belum penuhi prinsip syariah sebagaimana tertuang dalam pasal 8 Ayat 1 UU tentang perbankan, meskipun OJK dan BI telah melegalkan aktivitas tersebut. Hal ini dikarenakan kredit tanpa agunan merupakan aktivitas pembiayaan yang tinggi risiko.

 

Bibliografi

 

AIDIL NOVIA, AIDIL. (2019). INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER ISLAMI DI BERBAGAI NEGARA MUSLIM.

Andriansyah, Yuli. (2009). Kinerja keuangan perbankan Syariah di Indonesia dan Kontribusinya bagi pembangunan Nasional.

Fitri, Winda. (2022). Pengaruh integritas perbankan syariah sebagai sektor keuangan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia pada masa pandemi. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 8(1), 317�333.

Ilham, Misbahul, & Hariyani, Iswi. (2020). Memahami Peran Lembaga Pembiayaan Syari�ah Dalam Meningkatkan Aksesibilitas Keuangan UMKM Pada Masa Pandemi Covid19. Widya Yuridika: Jurnal Hukum, 3(2), 257�270.

Moertiono, Raden Juli. (2019). Ketentuan Hukum Terhadap Pelaksanaan Iktikad Baik Dalam Kerja Sama. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian, 2(2), 1425� 1451.

Muhari, Syafaat. (2019). BENARKAH SUMBER DAYA LANGKA?: TINJAUAN MEKANISME DISTRIBUSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM. Al-

Mizan: Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam, 3(2), 1�13.

Pardiansyah, Elif. (2017). Investasi dalam perspektif ekonomi islam: pendekatan teoritis dan empiris. Economica: Jurnal Ekonomi Islam, 8(2), 337�373.

Perdagangan, Kementerian. (2013). Analisis peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, 90.

Rahmatillah, Nely. (2022). Eksistensi Ekonomi Syariah di Indonesia Dalam Perspektif Psikologi Ekonomi. Jurnal Qiema (Qomaruddin Islamic Economics Magazine), 8(1), 66�74.

Rahmawaty, Anita. (2013). Distribusi Dalam Ekonomi Islam Upaya Pemerataan Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif. Equilibrium, 1(1), 1�17.


Reichheld, Frederick F. (2003). The one number you need to grow. Harvard Business Review, 81(12), 46�55.

Satradinata, Dhevi Nayasari, & Muljono, Bambang Eko. (2020). Analisis Hukum Relaksasi Kreadit Saat Pandemi Corona Dengan Kelonggaran Kredit Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK. 03/2020. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 4(2), 613�620.

Silviana, Reda Farih. (2022). Analisis Transaksi Akad QardhDalam Perspektif Hukum Islam Pada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Larangan Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. IAIN KUDUS.

Soetopo, Kartika, Saerang, David P. E., & Mawikere, Lidia. (2016). analisis implementasi prinsip bagi hasil, risiko dan penanganan pembiayaan bermasalah terhadap pembiayaan musyarakah dan pembiayaan mudharabah (studi kasus: Bank Syariah Mandiri KC manado). Accountability, 5(2), 207�223.

Sri, Maulida, & Ahmad, Yunani. (2017). Peluang dan Tantangan Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Dari Berbagai Aspek Ekonomi. Jurnal Ilmiah Manajemen Dan Bisnis, 2(1), 181�197.

 

 


Copyright holder:

Florencia Saputro Jong, Jeane Neltje Saly (2023)

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: