Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 5, Mei 2021
TERAPI SEFT (SPIRITUAL EMOTIONAL
FREEDOM TECHNIQUE) UNTUK MEREDAKAN GANGGUAN CEMAS MENYELURUH PADA SUBJEK
DEWASA
Karina Kandhi Krisnawardhani dan IGAA Noviekayati
Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya Jawa Timur, Indonesia
Email : [email protected] dan [email protected]
Abstract
One specific type recognized by PPDGJ III
as an anxiety disorder is generalized anxiety disorder. GAD (generalized anxiety disorder) is an anxiety disorder
characterized by a general feeling of anxiety and that something bad is going
to happen and a state of increased body arousal. This disorder occurs twice as
often in women than in men. People with GAD are chronically anxious. They may
worry excessively about their life conditions, such as finances, the well-being
of their children, and their social relationships. Other related
characteristics are feeling tense, anxious, or worried, tired easily,
difficulty concentrating or finding that the mind is blank, irritability,
muscle tension, and sleep disturbances (difficulty sleeping, sleeping on,
restless and unsatisfactory sleep). This can interfere with individuals in
their daily activities. This study aims to intervene in adult subjects who
experience a thorough anxiety disorder at uptd Puskesmas Gundih Surabaya.
Researchers provide interventions in the form of tapping techniques known as
SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique), as a medium to relieve overall
anxiety disorders in adult subjects. This therapy is believed to be able to
lower anxiety levels. The method used in the study is an experiment with a case
study approach. Data analysis in this study uses the integration of all
assessment results (observations, interviews and psychological tests), as well
as documentation studies. The results of this study showed that SEFT can
relieve overall anxiety disorders in adult subjects.��
Keywords:������� Overall anxiety disorder (GAD); SEFT (Spiritual
Emotional Freedom Technique)
Abstrak
Salah satu tipe spesifik yang diakui oleh PPDGJ III sebagai salah satu
gangguan kecemasan adalah gangguan kecemasan menyeluruh atau generalized anxiety disorder. GAD (generalized anxiety disorder) yaitu
suatu gangguan kecemasan yang ditandai dengan perasaan cemas yang umum dan
bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi dan keadaan peningkatan keterangsangan
tubuh. Gangguan ini muncul dua kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan
pada laki-laki. Orang dengan GAD adalah pencemas yang kronis, mungkin mereka
mencemaskan secara berlebihan keadaan hidup mereka, seperti keuangan,
kesejahteraan anak-anak, dan hubungan sosial mereka. Ciri lain yang terkait
adalah merasa tegang, was was, atau khawatir, mudah lelah, sulit berkonsentrasi
atau menemukan bahwa pikirannya menjadi kosong, iritabilitas, ketegangan otot,
dan adanya gangguan tidur (sulit tidur, tidur terus, tidur yang gelisah dan
tidak memuaskan). Hal tersebut dapat mengganggu individu dalam beraktivitas
dalam kesehariannya. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan intervensi
pada subjek dewasa yang mengalami gangguan cemas menyeluruh di UPTD Puskesmas
Gundih Surabaya. Peneliti memberikan intervensi berupa teknik tapping yang
dikenal dengan SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique),
sebagai media untuk meredakan gangguan cemas menyeluruh� pada subjek dewasa. Terapi ini diyakini mampu
menurunkan tingkat kecemasan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
eksperimen dengan pendekatan studi kasus. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan pengintegrasian semua hasil assesment
(observasi, wawancara dan tes psikologi), serta studi dokumentasi. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa SEFT dapat meredakan gangguan cemas menyeluruh
pada subjek dewasa.
Kata Kunci:��� Gangguan Cemas Menyeluruh (GAD); SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
Pendahuluan
Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan
tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman,
takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak
mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi (Diferiansyah, Septa, &
Lisiswanti, 2016). Setiap individu akan memiliki tingkat kecemasannya
masing-masing, tingkat kecemasan tersebut bisa dipengaruhi oleh pengalaman,
masalah yang sedang dihadapi, lingkungan, pola asuh, dan lainnya. Seseorang
yang dapat mengendalikan kecemasan dalam dirinya sendiri akan dapat meredakan
kecemasannya dan hal itu tidak berlangsung lama. Seseorang yang kurang dapat
mengendalikan kecemasannya, ia akan membutuhkan dampingan atau bantuan orang
lain untuk meredakan kecemasannya, dan kecemasan yang dialami akan berlangsung
lebih lama.
Seseorang yang mengalami
kecemasan berlangsung hampir setiap hari, terjadi lebih dari enam bulan, adanya
perubahan perilaku dan keluhan abnormal, maka hal ini termasuk gangguan (Apriliani, 2015).
Hal tersebut akan mempengaruhi perilaku, aktifitas kesehariannya serta
kesehatan fisik tanpa disadari. Pada umumnya individu tidak akan menyadari
bahwa kecemasan yang dialami merupakan gangguan. Keluhan pada umumnya saat
individu tersebut datang ke ahli ialah keluhan fisiologis, sehingga ahli (misal:
dokter) memeriksa kondisi fisik individu tersebut, namun hasil medis menyatakan
individu tersebut baik secara fisiologis. Dari hasil yang didapat tersebut maka
individu akan mengevaluasi hasil medis dan menyadari bahwa dirinya sedang
mengalami gangguan kecemasan.
Salah satu tipe spesifik yang
diakui oleh PPDGJ III sebagai salah satu gangguan kecemasan adalah gangguan
cemas menyeluruh atau generalized anxiety
disorder. GAD (generalized anxiety
disorder) yaitu suatu gangguan kecemasan yang ditandai dengan perasaan
cemas yang umum dan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi dan keadaan
peningkatan keterangsangan tubuh. GAD ditandai dengan kecemasan yang persisten,
tidak dipicu oleh suatu objek, situasi atau aktivitas yang spesifik, tetapi
lebih merupakan apa yang disebut Freud dengan �mengambang bebas� (free floating). GAD merupakan suatu
gangguan yang stabil, muncul pada pertengahan remaja sampai pertengahan umur
dua puluhan tahun dan kemudian berlangsung sepanjang hidup (Nevid, Rathus, & Greene,
2005).
Gangguan ini muncul dua kali
lebih banyak pada perempuan dibandingkan pada laki-laki (Nevid et al., 2005).
Orang dengan GAD adalah pencemas yang kronis, mungkin mereka mencemaskan secara
berlebihan keadaan hidup mereka, seperti keuangan, kesejahteraan anak-anak, dan
hubungan sosial mereka (Akbar, 2018).
Ciri lain yang terkait adalah merasa tegang, was was, atau khawatir, mudah lelah,
sulit berkonsentrasi atau menemukan bahwa pikirannya menjadi kosong,
iritabilitas, ketegangan otot, dan adanya gangguan tidur (sulit tidur, tidur
terus, tidur yang gelisah dan tidak memuaskan) (Nevid et al., 2005).
Meskipun GAD secara tipikal kurang intens dalam respon fisiologisnya dibanding
gangguan panik, distress emosional yang diasosiasikan dengan GAD sering ada
bersama dengan gangguan lain seperti depresi atau gangguan kecemasan lainnya
seperti agoraphobia dan obsesif-kompulsif.
Dari permasalahan yang muncul
di atas maka peneliti merujuk pada penelitian yang dilakukan (Reeves & Rowe, 2002)
Jack Rowe, Phd. Psikolog dari Texas A & M University, Kingsville dalam
jurnal Counseling & Clinical
Psychology (2015) membuktikan bahwa efek pelatihan EFT tidak hanya jangka
pendek, tetapi tetap bertahan dalam jangka panjang dalam penurunan signifikan
tingkat stress. Selain itu penelitian yang dilakukan (Suherni; Hidayati, F., 2017),
MA tahun 2017 (Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang) menunjukkan bahwa adanya pengaruh terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap penurunan
kecemasan.
Penelitian di atas dapat menjadi rujukan atau tambahan
bagi referensi peneliti dalam melengkapi data-data yang diperlukan. Kesamaan
dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama menggunakan teknik Spiritual
Emotional Freedom Technique
(SEFT) untuk meredakan gangguan kecemasan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jack
Rowe, Phd. Psikolog dari Texas A & M University, Kingsville dalam jurnal Counseling & Clinical Psychology (2015) ialah dalam penelitian ini ada penambahan
spiritual (doa) merupakan teknik tambahan dalam melakukan EFT. Sedangkan
perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suherni; Hidayati, F., 2017),
MA tahun 2017 (Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang) ialah dalam penelitian ini menggunakan studi kasus dan hanya
menggunakan satu subjek, sedangkan penelitian (Suherni; Hidayati, F., 2017),
MA dilakukan secara klasikal dan intervensi dilakukan dengan pengelompokkan
subjek di lembaga pemasyarakatan. Ke khasan dalam penelitian ini adalah
intervensi yang dilakukan hanya pada klien dengan gangguan kecemasan menyeluruh
(GAD).
Spiritual
Emotional Freedom Technique
(SEFT) merupakan suatu metode baru dalam melakukan EFT (Rowe, 2005).
SEFT adalah salah satu varian dari satu cabang ilmu baru yang dinamai Energy Psychology. Energy Psychology adalah seperengkat prinsip dan teknik
memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan
perilaku. SEFT merupakan gabungan antara Spiritual
Power dan Energy Psychology (Zainuddin, 2006).
Spiritual Emotional
Freedom Technique
(SEFT) bekerja dengan prinsip yang kurang lebih sama dengan acupunture dan acupressure (Rofacky
& Aini, 2015).
Teknik ini memiliki 12 jalur energi (the
main meridian channels).
Cara Melakukan SEFT ialah
langkah pertama (the set-up), kedua (the tune-in beserta kata pengingatnya
atau doa: �saya ikhlas, saya pasrah�, serta sebagian langkah ke tiga (the tapping), mulai dari titik pertama (the crown) hingga titik ke-9 (bellow nipple). Cukup sampai situ dan
akhiri dengan tarik nafas panjang dan hembuskan.
Peneliti menggunakan teknik
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dengan alasan tidak membutuhkan waktu lama
untuk intervensi dan melihat adanya perubahan perilaku, selain itu terapi
menggunakan teknik Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) ini cukup
sederhana, dapat diterapkan pada subjek dengan gangguan cemas menyeluruh, serta
dapat diterapkan secara mandiri oleh subjek. Teknik ini juga memiliki tujuan
untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku. Sedangkan tujuan utama
dalam melakukan intervensi pada penelitian ini adalah agar subjek mampu
mengatasi kecemasannya dan meredakan kecemasan yang dialami.
Dari penjelasan di atas maka
diyakini bahwa teknik Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT) dapat meredakan gangguan cemas menyeluruh pada subjek
dewasa. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi terbaru
dalam hal penggunaan terapi dengan teknik Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT) pada subjek dewasa dengan gangguan
kecemasan menyeluruh atau GAD. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi pengembangan keilmuan psikologi, terutama dalam bidang
psikologi klinis dan psikoterapi. Selanjutnya penelitian ini dapat menambah
skill individu dalam penerapan teknik Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT) saat mengalami gangguan kecemasan
menyeluruh (GAD). Selain itu, penelitian ini juga sebagai tambahan informasi
bagi pembaca mengenai alternatif untuk penanganan gangguan kecemasan menyeluruh
yang dapat berdampak pada psikologis maupun fisiologis, serta mengganggu
aktivitas keseharian.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan jenis pendekatan studi kasus. Eksperimen merupakan metode suatu penelitian yang dilakukan dengan pemberian manipulasi atau perlakuan secara sengaja oleh peneliti yang bertujuan untuk mengetahui akibat manipulasi atau perlakuan terhadap perilaku individu yang diamati. Studi kasus termasuk penelitian analisis deskriptif (Sugiyono, 2015), yaitu penelitian yang dilakukan terfokus pada suatu kasus tertentu untuk diamati dan dianalisis secara cermat sampai tuntas. Dengan demikian metode eksperimen menggunakan pendekatan studi kasus akan dapat menghasilkan data yang lebih lengkap, lebih mendalam, dan bermakna sehingga tujuan dari penelitian ini akan tercapai (Siyoto & Sodik, 2015).
Alat yang digunakan dalam pengambilan data dan
intervensi adalah kertas HVS (ukuran folio), pensil, ballpoint, clipboard
tatakan kertas (papan dada), alat-alat tes psikologi (grafis, WAIS, TAT,
Rorschach, HARS), buku catatan, dan map plastik. Subjek dari penelitian
ini adalah salah seorang pasien rawat jalan di UPTD Puskesmas Gundih
Surabaya berinisial ASB,
berjenis kelamin perempuan
dan berusia 25
tahun (dewasa). Dari studi dokumentasi di UPTD Puskesmas Gundih
Surabaya, serta hasil asessment yang
dilakukan oleh peneliti, subjek didiagnosa mengalami gangguan cemas menyeluruh.
Pengambilan data pada penelitian ini
dilakukan selama sepuluh sesi
pertemuan, dengan rincian empat sesi pertemuan assesment dan enam sesi pertemuan intervensi.
Assesment yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah observasi, wawancara, tes psikologi, dan studi dokumentasi.
Observasi yang dilakukan dalam
penelitian ini ialah mendeskripsikan lokasi lingkungan subjek baik saat berkunjung ke UPTD Puskesmas Gundih
maupun lingkungan alamiah subjek yaitu tempat tinggal subjek, selain itu
peneliti juga melakukan pengamatan umum mengenai perilaku yang dimunculkan
subjek, gejala-gejala yang nampak merujuk pada PPDGJ III (F20.1) (Maslim, 2013).
Wawancara dilakukan secara informal
menggunakan pedoman umum. Wawancara dilakukan pada subjek, keluarga, dokter,
dan perawat. Hal ini dilakukan guna mendapatkan data yang lebih detail mengenai
kondisi subjek. Selain itu dilakukan wawancara secara mendalam agar dapat
mengetahui psikopatologi dan riwayat hidup subjek.
Pengambilan data lainnya menggunakan tes psikologi.
Alat tes psikologi yang digunakan peneliti adalah grafis, WAIS, TAT, Rorschach,
HARS. Tujuan dari psikotes adalah untuk memperkuat hasil observasi, wawancara,
serta dokumentasi untuk mengungkapkan gambaran diri, aspek kognitif, kondisi
emosi, sosial, dan tanda-tanda psikologis secara lebih valid.
Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan pengintegrasian semua hasil assesment
(observasi, wawancara dan tes psikologi), serta studi dokumentasi. Hal ini
digunakan dalam menegakkan diagnosis, kemudian menentukan dan memberi intervensi
yang tepat pada subjek.
Hasil dan Pembahasan
Subjek merupakan perempuan
dewasa berusia 25 tahun. Subjek merupakan anak ke dua dari dua bersaudara.
Sejak kecil subjek tinggal dengan ayah, ibu, kakak kandung, tante dan sepupu
dalam satu rumah namun hanya memiliki dua kamar (satu kamar kecil dan satu lagi
kamar yang cukup luas). Ayah subjek sering bekerja di luar
rumah hingga tidak pulang dan ibunya di rumah. Menurut ASB ibunya sangat
tempramen dan mudah marah. Saat kecil ASB sering dipukuli, ia mengaku saat
kecil bila tidak mau makan ASB dibekap menggunakan bantal hingga tidak dapat
bernafas, jika melakukan kesalahan selalu dipukul dengan benda yang ada (apapun
itu benda terdekat dengan posisi ibunya). ASB sering melihat pertengkaran
antara ibu dan ayahnya, selain itu ia sering melihat ibunya memukuli kakaknya
yang autis. Ibunya sering menuntut ASB untuk dapat melakukan hal yang ibunya
inginkan dan tak peduli ASB suka atau tidak.
Menginjak usia 12 tahun ibu
ASB meninggal dunia karena sakit komplikasi. Pola asuh ayah ASB cenderung
demokratis dimana ayahnya membebaskan cara berpakaian dan memilih teman namun
ayah ASB tidak lepas kontrol atas perilaku putrinya. Secara
tidak sadar masih ada kehidupan magis yang dialami subjek, dimana secara tidak
sengaja ia dapat melihat kejadian yang akan datang yang akan dialami seseorang.
Pada usia 20 tahun ASB menikah
dengan F yang berusia 31 tahun. Pernikahan mereka berjalan 6 bulan, dan
mengalami masalah. Dimana F dikeluarkan dari kerjaannya. Beberapa usaha
dilakukan namun gagal (tidak kembali modal). ASB hanya diberi uang jajan per
hari Rp. 10.000,- oleh F. Uang jajannya dibelanjakan dan untuk masak di rumah.
F suka berfoya-foya dengan berbelanja baju untuk dirinya sendiri, menonton
konser, mabuk-mabukan dengan teman-temannya dan hal lain. Pada saat ASB berusia
21 tahun kakak kandung ASB meninggal dunia karena panas dan kejang terus
menerus. Penderita GAD menuturkan mengalami lebih banyak pascatrauma yang
mencakup kematian.
Setiap individu memiliki
tingkat kecemasan masing-masing dan cara meredakannya. Namun jika individu
tersebut tidak dapat mengatasi kecemasan akan muncul gejala-gejala yang
mengganggu. Salah satu gangguan cemas yang dialami individu ialah gangguan
cemas
menyeluruh. Dimana individu yang mengalaminya akan mengalami
gejala-gejala kecemasan, ketegangan motorik, dan overaktivitas otonomik.
Seperti yang sedang dialami ASB, ia sering merasa dadanya berdebar, menangis
tanpa sebab, kekakuan pada beberapa bagian tubuh (utamanya tangan dan jarinya),
susah tidur, tidak nafsu makan dan merasa tidak bahagia. Hal tersebut juga
mengindikasikan subjek mengalami kecemasan berat
sekali. GAD muncul pada pertengahan remaja sampai pertengahan umur dua
puluhan tahun dan kemudian berlangsung sepanjang hidup (Nevid et al., 2005).� Melalui rasa khawatir, orang-orang yang
menderita GAD menghindari berbagai citra yang tidak mengenakkan dan sebagai
konsekuensinya kecemasan yang mereka rasakan.
F tidak bekerja. ASB lah yang
memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan cara berjualan secara online. Dokter puskesmas menyatakan
bahwa ASB ini mengalami masalah kesehatan jiwa, dan kekakuan yang sering di
derita ASB berasal dari psikisnya bukan dari pola makan atau hal lain. Hasil
pemeriksaan laboratorium juga menyatakan bahwa tidak ada masalah (semuanya
normal). Konselor puskesmas kembali memberi konseling pada ASB dan melakukan
terapi (empat kali pertemuan). ASB merasa tidak nyaman dengan lingkungannya dan
tertekan, sekujur tubuhnya kaku, kaki dan tangannya tidak dapat bergerak,
bahkan ia tidak dapat membuka mulutnya. Dokter yang memeriksa ASB menjelaskan
ke ayahnya jika hal ini terjadi bisa saja karena ada gangguan psikis.
Orang-orang yang menderita GAD
sering kali salah mempersepsikan kejadian-kejadian yang biasa. Perhatian para
penderita GAD mudah terarah pada stimulus yang mengancam. Sensitivitas pasien
GAD yang sangat tinggi terhadap stimulus, tidak dapat diterima secara sadar (Blackburn, Davidson, &
Kendell, 1994).
Februari 2019 B (teman lama
ASB) mulai mengirim pesan ke ASB, B mengajak bertemu ASB berdua, terjalin
komunikasi yang lebih intens. ASB sudah mulai merasa nyaman dengan B.
Terjadilah pertengkaran hebat. September 2019 B dan ASB pun melakukan hubungan
seksual. September 2019 akhir ASB hamil 2 minggu. Ia
meminum jamu-jamuan
yang pada akhirnya membuatnya keguguran.
Saat
ini ASB merasa sudah tidak ada hati dengan suaminya, merasa hubungan pernikahan
mereka hambar dan bahkan saat berhubungan badan dengan suaminya ia merasa biasa
saja. ASB bingung jika melanjutkan sama dengan ia menyiksa perasaannya, jika
tidak juga dia tidak tau seperti apa.
Berdasarkan hasil assesment psikologi didapatkan hasil
bahwa taraf kecerdasan ASB tergolong rata-rata. Subjek mampu menyelesaikan
tugas yang sederhana, namun kurang mampu menyelesaikan masalah konkrit. Subjek memiliki
indikasi gangguan konsentrasi karena adanya kecemasan. Subjek mengalami
kecemasan berat sekali. Secara tidak sadar masih ada kehidupan magis yang
dialami Subjek.
Subjek memiliki
pikiran yang kacau, kurang sistematis dan emosi tidak stabil, hal tersebut
berpengaruh pada pola hidupnya. Subjek lebih dikuasai emosi, sehingga ketika
menghadapi permasalahan subjek cenderung agresif, namun ia berusaha
sungguh-sungguh menekan impuls agresinya (subjek mampu melakukan kontrol
terhadap impuls-impuls dan emosinya). Selain
itu subjek mempunyai kontrol atas ekspresi emosionalitasnya yang impulsif.
Dimana subjek mampu memberi respon secara proporsional dan wajar, baik dalam
perasaan maupun tindakan terhadap lingkungan sosialnya. Subjek memiliki kontrol
diri berlebihan sehingga daya tanggap, fleksibilitas, dan daya imajinatif dalam
hubungan interpersonal menjadi terganggu.
Subjek memiliki
kemampuan yang cukup dalam penyesuaian diri dimanapun ia berada hal ini
didukung dengan kemampuan verbal yang dimiliki subjek cukup baik, namun disaat
tertentu subjek kurang mampu mengendalikan perilakunya. Subjek memiliki
kecenderungan menyibukkan diri di luar rumah, dan memiliki perhatian lebih besar
pada keadaan di luar keluarganya. Subjek lebih mengandalkan
faktor-faktor dari lingkungan daripada faktor-faktor di dalam dirinya dalam
berperilaku mencari kenyamanan atau kesejahteraan dan stimulasi bagi dirinya.
Adanya perasaan insecure, hal tersebut membuat subjek
memiliki perasaan bermusuhan dan terancam. Fungsi ayah sangat kabur. Subjek
merasa menderita, kesepian, dan tidak berdaya karena tidak ada dukungan,
bantuan, perlindungan dan cinta dari orang lain. Hal tersebut membuat subjek
memiliki kebutuhan afeksi. Namun
subjek memiliki kecenderungan menolakan, merepresi, atau
kurang berkembangnya kebutuhan akan afeksi. Penolakan atau kurangnya kesadaran
dan penerimaan terhadap kebutuhan afeksi ini menghambat perkembangan
kepribadian. Sehingga kebutuhan
afeksi subjek dipenuhi dengan melakukan perilaku yang dilarang, melanggar
aturan moral dan standar sosial dengan melakukan hubungan terlarang. Dari
perilaku tersebut subjek merasa jatuh cinta juga dicintai oleh orang lain.
Dalam mengambil
keputusan subjek butuh banyak dukungan. Selain itu juga dalam menyelesaiakan
permasalahan atau pengambilan keputusan subjek cenderung meminta bantuan, ia
membutuhkan dukungan dan nasehat, terkadang ia cenderung menangis dalam
memikirkan permasalahan yang ia hadapi.
Subjek memiliki
kebutuhan bekerja untuk mencapai suatu tujuan dengan tidak menyerah hingga bisa
atau mencapai tujuan yang diinginkan. Namun di sisi lain subjek memiliki minat terhadap lingkungan yang sempit sehingga ia
memiliki indikasi keterbatasan dalam efisiensi fungsi intelektual. Subjek memiliki
indikasi ambisi yang berlebihan, namun potensi kreatif (sumber produktif) subjek
rendah. Hal ini dikarenakan kurangnya dukungan
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan potensi kreatif secara optimal.
Subjek memiliki kebutuhan untuk memberikan kenyamanan
dan ketenangan pada orang lain, maka ia membutuhkan situasi baru. Hal tersebut
ditunjukkan dengan adanya kebutuhan mengabaikan atau menolak orang lain, untuk
menghindarkan diri dari situasi yang membahayakan (hati-hati). Jika hal
tersebut dilakukan maka subjek akan dapat menciptakan sesuatu menjadi susunan
baru, serta memperbaiki kesalahannya. Subjek juga memiliki kebutuhan memperbaiki
kesalahan, dan mengatasi kelemahannya.
Berdasarkan hasil tes psikologi yang diberikan pada
subjek, gangguan yang muncul, dan karakteristik perilaku yang muncul dikaitkan
dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III� (PPDGJ-III), subjek mengalami gangguan cemas
menyeluruh. Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III,
sebagai berikut:
Tabel 1
Kriteria diagnosis
gangguan cemas menyeluruh menurut PPDGJ-III
No |
Kriteria |
Sesuai |
Tidak |
Gejala
yang Ada pada Subjek |
1. |
Penderita
harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir
setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas
atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya �free floating� atau �mengambang�) |
� |
|
Perasaan
khawatir, gelisah, tidak tenang, adanya firasat buruk, takut akan pikiran
sendiri, hal tersebut berlangsung setiap hari. |
2. |
Kecemasan
(khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung tanduk, sulit konsentrasi,
dsb) |
� |
|
Khawatir
akan masa depan, sulit berkonsentrasi, daya ingat menurun. |
3. |
Ketegangan
motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai) |
� |
|
Gelisah,
sering pusing/ sakit kepala, kaku, kedutan otot, otot tegang, kepala terasa
berat, jari gemetar, muka tegang. |
4. |
Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan,
berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing
kepala, mulut kering, dsb.) |
� |
|
Takikardi
(denyut jantung cepat), dada terasa berdebar-debar, nyeri pada dada, rasa
tertekan atau sempit di dada, tercekik, nafas pendek atau sesak, perut
melilit, gangguan pencernaan, kembung. |
5. |
Individu
sulit untuk mengendalikan kecemasan dan kekhawatiran |
� |
|
Sulit
untuk mengendalikan kecemasan dan kekhawatiran hingga akhirnya meminta
pertolongan pada layanan psikologi di puskesmas. |
6. |
Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik
menyebabkan distress atau terganggunya fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi
penting lainnya |
� |
|
Kekakuan� otot akibat kecemasan terus menerus,
menurunnya daya ingat sehingga mengganggu aktivitas subjek. |
7. |
Gangguan tidak berasal dari zat yang memberikan efek
pada fisiologis (memakai obat-obatan) atau kondisi medis lainnya (seperti
hipertiroid) |
� |
|
Subjek
tidak menggunakan obat-obatan yang memberi efek pada fisiologis, namun tetap
mengalami gangguan fisik akibat kecemasannya. |
Jika gangguan mental yang dialami subjek disajikan
dengan pendekatan multiaxial seperti yang terdapat dalam PPDGJ-III, maka hal
itu akan tampak sebagai berikut:
Aksis I��������� : F41.1 (gangguan cemas menyeluruh)
Aksis II������� : Kepribadian Histrionik
Aksis III������ : Belum ditemukan
Aksis IV������ : Masalah dengan �primary support group� dan ekonomi
Aksis V������� :
GAF scale 50 � 41 gejala berat
(serious), disabilitas berat.
Berdasarkan riwayat perjalanan kasus subjek, dapat
disimpulkan prognosa subjek adalah buruk. Berdasarkan hasil assesment yang dilakukan maka pada kasus
ini digunakan teknik Spiritual
Emotional Freedom Technique
(SEFT) untuk dapat membantu subjek dalam meredakan gangguan cemasan menyeluruh
yang dialaminya. SEFT adalah salah satu varian dari satu cabang ilmu baru yang
dinamai Energy Psychology. Energy Psychology adalah seperengkat
prinsip dan teknik memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi
pikiran, emosi dan perilaku. SEFT baik digunakan sebagai terapi bagi penderita
gangguang cemasan menyeluruh.
Pelaksanaan intervensi menggunakan teknik Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) pada subjek dilakukan
dalam sepuluh
sesi pertemuan. Pelaksanaan
intervensi dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pembentukan
rapport menggunakan metode observasi
dan wawancara. Targetnya adalah adanya hubungan saling percaya (kedekatan)
antara subjek dan konselor. Hasil kegiatannya adalah terciptanya hubungan
saling percaya (kedekatan) antara subjek dan konselor, selain itu subjek
bersedia mengikuti tahapan intervensi.
2.
Pengenalan
terapi dengan metode Spiritual
Emotional Freedom Technique
(SEFT) menggunakan metode diskusi. Targetnya adalah subjek mengetahui maksud
dan tujuan, serta proses dalam melakukan terapi. Hasil kegiatannya adalah
subjek mengetahui maksud dan tujuan, serta proses dalam melakukan terapi dengan
metode Spiritual
Emotional Freedom Technique
(SEFT).
3.
Pre-test,
pengukuran tingkat kecemasan, menjelaskan tentang cara melakukan SEFT
menggunakan metode observasi, kuesioner, penyuluhan (ceramah). Targetnya adalah
peneliti mengetahui tingkat kecemasan yang dialami subjek sebelum dilakukan
terapi, peneliti mengetahui gejala, dan penyebab kecemasan subjek, serta subjek
dapat melakukan secara mandiri dan paham dalam melakukan terapi. Hasilnya ialah
skor total HARS = 42, artinya subjek mengalami kecemasan berat sekali. Prosentase
kecemasan subjek berada pada angka 8 (dalam range 1-10). Dari hasil pre-test
diketahui apa yang dikhawatirkan dan dicemaskan oleh subjek, gejala yang
muncul, dan pandangan tentang diri sendiri. Subjek dapat melakukan secara
mandiri dan paham dalam melakukan terapi SEFT
4.
Memulai
terapi dengan metode Spiritual
Emotional Freedom Technique
(SEFT) dan psikoedukasi menggunakan metode The
Set-Up (beberapa kata yang perlu diucapkan dengan penuh perasaan untuk
menetralisir Psychological Reversal (keyakinan
dan pikiran negatif)), The Tune-In (merasakan
rasa sakit yang kita alami, lalu mengarahkan pikiran kita ke tempat rasa sakit,
atau memikirkan sesuatu/ peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangkitkan
emosi negatif yang ingin kita hilangkan dibarengi dengan hati dan mulut kita
mengatakan : �Ya Allah saya ikhlas, saya
pasrah� atau �Ya Allah saya ikhlas
menerima sakit saya ini, saya pasrahkan pada-Mu kesembuhan saya�), The Tapping (mengetuk ringan dengan dua
ujung jari pada titik-titik tertentu di tubuh kita sambil terus tune-in). Target saat The Set-Up adalah aliran energi tubuh
terarahkan dengan tepat, target saat The
Tune-In adalah menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik, target
saat The Tapping adalah
ternetralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang subjek rasakan. Karena
aliran energi tubuh berjalan dengan normal dan seimbang kembali. Secara
keseluruhan terapi ini memiliki target meredakan kecemasan yang dialami.
Hasilnya setelah peneliti menerapkan SEFT pada subjek sesuai dengan tahapannya,
subjek merasa lebih lega, tenang, ketegangan mulai berkurang dan lebih dapat
berfikir tanpa emosi. Prosentase kecemasan subjek berada pada angka 5 (dalam
range 1-10). Subjek lebih memahami mengenai SEFT dan efeknya untuk dirinya (Zainuddin, 2010).
5.
Terapi
dengan metode Spiritual
Emotional Freedom Technique
(SEFT) dan psikoedukasi menggunakan metode The
Set-Up, The Tune-In, The Tapping. Hasilnya subjek merasa lebih lega,
tenang, ketegangan mulai berkurang dan lebih dapat berfikir tanpa emosi.
Prosentase kecemasan subjek berada pada angka 4 (dalam range 1-10). Subjek
lebih memahami mengenai SEFT dan efeknya untuk dirinya. Dimana Subjek lebih
dapat mensyukuri keadaannya saat ini, menerima segala pemberian dari Tuhan, dan
ikhlas apapun yang terjadi pada dirinya (Zainuddin, 2010).
6.
Psikoedukasi
dan penugasan (melakukan SEFT secara mandiri) menggunakan metode penyuluhan dan
observasi. Targetnya adalah subjek dapat secara mandiri mengaplikasikan teknik
SEFT dalam menghadapi kecemasannya, serta memahami fungsi dan tujuan SEFT.
Hasilnya subjek lebih memahami mengenai SEFT (fungsi dan tujuan), serta lebih
memahami mengenai SEFT (fungsi dan tujuan).
7.
Monitoring
menggunakan metode wawancara dan observasi. Targetnya adalah subjek
mengaplikasikan SEFT secara mandiri di rumah saat gejala kecemasan muncul,
serta kecemasan yang dialami subjek mereda. Hasilnya subjek mengaplikasikan
SEFT secara mandiri di rumah sebanyak 2 kali.
8.
Monitoring
menggunakan metode wawancara dan observasi. Targetnya adalah subjek
mengaplikasikan SEFT secara mandiri di rumah saat gejala kecemasan muncul,
serta kecemasan yang dialaminya mereda. Hasilnya subjek mengaplikasikan SEFT
secara mandiri di rumah sebanyak 1 kali.
9.
Post-tes
dan evaluasi menggunakan metode Observasi, kuesioner, wawancara. Targetnya
adalah peneliti mengetahui tingkat kecemasan yang dialami subjek setelah
dilakukan terapi (baik dilakukan oleh konselor atau secara mandiri di rumah),
peneliti mengetahui efek dari dilakukannya terapi SEFT, kecemasan subjek
mereda. Hasilnya skor total HARS = 11, artinya subjek tidak mengalami
kecemasan. Prosentase kecemasan subjek berada pada angka 2 (dalam range 1-10).
Subjek menjelaskan bahwa kecemasannya jarang muncul, karena subjek menerapkan
SEFT tiap kali kecemasan muncul. Rasa cemas, ketegangan otot dan gangguan
fisiologis akibat kecemasan yang muncul, berkurang secara signifikan. Subjek
telah menerapkan SEFT sebanyak 4 kali dalam satu minggu. Subjek mengaku
merasakan mengantuk, pusing, merasa tenang, lebih percaya diri dan lega setelah
melakukan SEFT.
10. Psikoedukasi dan menentukan tidak lanjut menggunakan
metode penyuluhan dan diskusi. Targetnya adalah subjek lebih memahami tentang
terapi SEFT, serta mampu mengatasi kecemasannya. Hasilnya subjek lebih memahami
tentang terapi SEFT dengan mendengarkan penjelasan dari peneliti tentang hasil
evaluasi. Dan memberikan bukti-bukti penelitian sebelumnya tentang efek dari
terapi SEFT jika dilakukan dengan tepat dan sungguh-sungguh. Subjek mampu mengatasi
kecemasannya. Kedepan subjek akan tetap menerapkan SEFT dalam menghadapi
kecemasannya.
Pada penelitian ini, teknik Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) cukup efektif sebagai
media untuk meredakan gangguan
cemas menyeluruh pada perempuan dewasa. Adapun perubahan
perilaku yang signifikan dari sebelum dilakukan intervensi hingga setelah
diintervensi, perubahan perilaku tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a)
Perilaku sebelum
diintervensi :
1.
Skor
total HARS = 42, artinya subjek mengalami kecemasan berat sekali.
2.
Subjek
bingung dalam menentukan keputusan yang diambil.
3.
Mempersepsikan
segala sesuatu negatif baginya. Kekhawatiran akan masa depannya, perasaan
bersalah dan menyalahkan diri atas hal yang terjadi pada masa lalunya
(perselingkuhan, menikah terlalu cepat), munculnya firasat buruk.
4.
Ketegangan
motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai) lebih sering.
5.
Sulit
mengontrol emosi.
6.
Subjek
bingung jika kecemasannya muncul hingga mengganggu fisiknya.
b)
Perilaku sesudah
diintervensi :
1.
Skor
total HARS = 11, artinya subjek tidak mengalami kecemasan.
2.
Subjek
lebih mampu bersyukur, ikhlas dan pasrah dalam menghadapi permasalahan yang ada
dalam hidupnya.
3.
Lebih
berfikir postif. Subjek lebih dapat menerima keadaan, bersyukur dan ikhlas
menjalani kehidupannya. Subjek berusaha memotivasi dirinya agar hidupnya lebih
baik dan dapat menikmati hidup.
4.
Subjek
tidak lagi merasakan ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran,
tidak dapat santai), bahkan saat ini merasa lebih tenang dan lega.
5.
Lebih
relaks dan mampu mengontrol emosi.
6.
Mampu
dalam mengatasi kecemasannya sehingga kecemasan yang dialami saat ini mereda.
Kesimpulan
Peneliti menggunakan metode Spiritual Emotional
Freedom Technique
(SEFT) untuk dapat mengurangi atau menghilangkan kecemasan pada subjek. Metode
tersebut diajarkan oleh peneliti pada subjek agar subjek mampu secara mandiri
melakukan di rumah saat kecemasannya datang.
Setelah dilakukan proses
intervensi Spiritual
Emotional Freedom Technique
(SEFT) pada subjek, didapatkan hasil sementara bahwa subjek tidak lagi
mengalami kecemasan karena mampu dalam mengatasi kecemasannya, lebih berfikir
positif dan dapat mengontrol emosi. Hal tersebut membuat subjek tidak lagi
mengalami gangguan atau sakit secara fisik. Dengan melakukan dan memiliki kemampuan
dalam melakukan Spiritual
Emotional Freedom Technique
(SEFT) secara mandiri, subjek lebih ikhlas, bersyukur dan pasrah, tidak lagi
mencemaskan masalalu dan masa depannya.
Akbar, Sukma Noor.
(2018). Gangguan Kecemasan Menyeluruh Pada Individu Pelaku Pelecehan Seksual. SemNasPsi
(Seminar Nasional Psikologi), 1(1), 1�15. Google Scholar
Apriliani,
Rizky Ayu. (2015). Pengaruh Yoga Prenatal terhadap kecemasan sesaat dalam
menghadapi persalinan pada primigravida trimester III Digalenia Mom and Baby
Center Kota Bandung. Fakultas Psikologi (UNISBA). Google Scholar
Blackburn,
Ivy Marie, Davidson, Kate, & Kendell, R. E. (1994). Terapi kognitif
untuk depresi dan kecemasan suatu petunjuk bagi praktisi. Alih Bahasa:
Rusda Koto Sutadi. Semarang: IKIP Semarang Press. Google Scholar
Diferiansyah,
Okta, Septa, Tendry, & Lisiswanti, Rika. (2016). Gangguan Cemas Menyeluruh.
Jurnal Medula, 5(2), 63�68. Google Scholar
Maslim,
Rusdi. (2013). Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya. Google Scholar
Nevid,
Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. (2005). Psikologi
abnormal. Jakarta: Erlangga, 96�101. Google Scholar
Reeves,
Colin, & Rowe, Jonathan E. (2002). Genetic algorithms: principles and
perspectives: a guide to GA theory (Vol. 20). Springer Science &
Business Media. Google Scholar
Rofacky,
Hendri Fajri, & Aini, Faridah. (2015). Pengaruh Terapi Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT) terhadap Tekanan Darah Penderita Hipertensi. Jurnal
Keperawatan Soedirman, 10(1), 41�52. Google Scholar
Rowe, Jack
E. (2005). The Effects of EFT on Long-Term Psychological Symptoms. Counseling
& Clinical Psychology Journal, 2(3). Google Scholar
Siyoto,
Sandu, & Sodik, Muhammad Ali. (2015). Dasar metodologi penelitian.
Literasi Media Publishing. Google Scholar
Sugiyono,
Prof. (2015). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta,
28. Google Scholar
Suherni;
Hidayati, F., MA. (2017). Selangkah Lebih Sehat Dengan Terapi Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT). Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Zainuddin,
Ahmad Faiz. (2006). Spiritual emotional freedom technique (SEFT). Jakarta:
Afzan Publishing. Google Scholar
Copyright holder: Karina Kandhi Krisnawardhani
dan IGAA Noviekayati (2021) |
First
publication right: Journal Syntax Literate |
This article is
licensed under: |