������������������������������������������ Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��������������������������������� e-ISSN: 2548-1398
��������������������������������� Vol. 6, No. 4, April 2021
EFEKTIFITAS TEKNIK FORWARD CHAINING DALAM
KEMAMPUAN MEMAKAI KANCING PADA ANAK DENGAN SELECTIVE
MUTISM
Made Ayu Krisna Putri dan I GAA Noviekayati
Fakultas Psikologi, Universitas
Tujuh Belas Agustus 1945 Surabaya, Indonesia
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstract
Children who
experience selective mutism (SM) are children who tend not to want to interact
with people around them or at all they do not want to talk to people who feel
less familiar with them. The difficulty of establishing such interactions makes
the child unable to express the difficulties he or she has experienced to
others, such as teachers and friends at school. The purpose of this study was
to assist the subject with selective mutism (SM) in increasing his confidence
in the ability to use his shirt buttons. This research is a study with a single
subject design. The data obtained, such as interviews, observations, and others
use qualitative techniques. In this study the subject will be helped to train
the ability to use kacing clothes by being given
interventions in the form of Forward Chaining with puppet media and play
equipment (sand, origami, plasticine/night). In Forward Chaining, the subject
will be given verbal support (compliments, soothing words), physical prompting
(assisting the child in wearing buttons) and verbal prompting (giving
directions/ instructions). The study was conducted over eight sessions (over
eight days) to be conducted by researchers and the subject's mother. The result
of the intervention given can be seen from the change in attitude and
confidence of the subject that became better than before the intervention was
given.
Keywords: selective mutism; selective mute; forward chaining; self-confidence;
positive reinforcement
Abstrak
Anak yang mengalami selective
mutism (SM) adalah
anak yang cenderung tidak ingin menjalin
interaksi dengan orang di sekitarnya atau sama sekali mereka
tidak ingin berbicara kepada orang yang dirasa kurang akrab
dengannya. Kesulitan untuk menjalin interaksi tersebut membuat anak tidak
mampu mengutarakan kesulitan yang dialaminya kepada orang lain, seperti guru maupun teman-teman di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah membantu subjek dengan selective mutism (SM) dalam meningkatkan kepercayaan dirinya pada kemampuan menggunakan kancing bajunya. Penelitian ini merupakan penelitian dengan single subjek design (desain subjek tunggal). Data-data yang diperoleh, seperti wawancara, observasi, dan lainnya menggunakan teknik kualitatif. Di dalam penelitian ini subjek akan
dibantu untuk melatih kemampuan menggunakan kancing baju dengan diberikan intervensi berupa Forward Chaining dengan
media boneka dan peralatan bermain (pasir, origami, plastisin/malam). Di dalam Forward
Chaining, subjek akan diberikan dukungan secara verbal (pujian, kata-kata
yang menenangkan), prompting fisik (membantu
anak di dalam menggunakan kancing baju) dan
prompting verbal (memberi arahan/instruksi). Penelitian ini dilakukan selama
delapan sesi (selama delapan hari) yang akan dilakukan oleh peneliti dan ibu subjek. Hasil dari intervensi yang diberikan dapat terlihat dari perubahan
sikap dan kepercayaan diri subjek yang menjadi lebih baik
dari sebelum intervensi diberikan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah teknik
forward chaining dapat
membantu anak dengan selective
mutism untuk berlatih menggunakan kancing baju sebagai keterampilan dasar anak.
Kata Kunci: selective mutism; bisu selektif; forward chaining; kerpercayaan diri;
penguatan positif
Pendahuluan
Seorang
anak memiliki kesulitan didalam mengerjakan suatu tugas sekolah maupun
tugas rumah, pada umumnya anak tersebut
akan mengatakan kepada orang tua, guru, ataupun temannya mengenai kesulitan yang dialami agar mendapatkan bantuan. Akan tetapi, bagi anak dengan
selective mutism, anak
mengalami kesulitan didalam mengungkapkan suatu kondisi kepada
sebagian besar orang. Anak dengan selective mutsim adalah anak yang cenderung tidak ingin menjalin
interaksi dengan orang disekitarnya atau sama sekali mereka
tidak ingin berbicara (Santoso & Novianti, 2018). Anak dengan selective
mutism bukan memiliki pembendaharaan yang tidak baik atau kurang
mampu menangkap makna dari pembicaraan
yang membuat mereka enggan berinteraksi. Dapat dikatakan bahwa anak dengan
selective mutism dapat dengan
baik memahami makna dari pembicaraan
dan juga mampu berbicara dengan baik, akan
tetapi� akan berbicara pada situasi atau tempat
yang membuat anak merasa nyaman.
Menurut
(Kurniastuti, 2014) anak
dengan selective
mutism memiliki kecemasan
sosial yang membuat dia merasa cemas
ketika berada di tempat seperti tempat bermain, sekolah dan tempat umum lainnya yang mengharuskan anak berdekatan dengan orang lain. (Ridha, 2019) berpendapat
bahwa anak dengan selective
mutism merupakan anak
yang dapat berinteraksi dengan baik dengan
teman-teman di lingkungannya,
akan tetapi berinteraksi secara gerakan tubuh maupun
non-verbal dengan
teman kelasnya. Namun ada juga beberapa anak dengan
selective mutism menunjukan
sikap menarik diri, defensif, dan juga kesulitan dalam melakukan kontak mata dengan lawan
bicara. Senada dengan pendapat tersebut, (Anggraheni, 2016) berpendapat
bahwa anak dengan selective mutism memiliki ciri-ciri kurangnya kontak mata dengan
lawan bicara, terlihat gelisah, wajah memerah karena
merasa malu, dan kurang senyum.
Muris
dan kawan-kawan (Dieu, 2017) berpendapat
bahwa sebagian besar anak-anak tidak berbicara di sekolah karena mungkin disebabkan oleh masalah khusus yang mungkin ada di sekolah. Misalnya, dikarenakan sebagian besar kegiatan sekolah bersifat verbal (contoh: berdiskusi dengan guru, menjawab pertanyaan guru, dan lain-lain), anak
yang mengalami kesulitan belajar atau anak-anak
yang tingkat kecerdasannya lebih rendah menganggap
aktifitas belajar di sekolah sebagai hal yang sulit, sehingga tingkat keterlibatan mereka secara verbal cenderung berada pada tingkat rendah.
(Kurniastuti, 2014) mengatakan
bahwa ketakutan yang dirasakan oleh anak dengan selective
mutism terasa seperti anak yang mengalami fobia yang mana ketakutan tersebut terasa sangat nyata. Apabila
dibandingkan dengan sifat pemalu yang dimiliki anak-anak, rasa malu pada anak dengan selective
mutism terasa sangat ekstrim. Fungsi sosial anak dapat
terganggu apabila selective mutism pada anak membuat anak
menjadi tidak mampu bersosialisasi. Walaupun demikian, anak dengan selective mutism tetap mempunyai keinginan untuk berkegiatan di dalam suatu aktifitas
yang tidak terlalu membutuhkan interaksi secara verbal. Misalnya, anak dengan selective mutism dapat mengikuti suatu pertunjukan drama dengan memilih peran yang tidak terdapat dialog di dalam perannya (Anggraheni, 2016).
(Puspitasari, 2013) selective mutism
diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu Mild, Moderate,
Moderate Severe dan Severe. Pada kategori Mild, anak dengan selevtive mutism hanya mampu berinteraksi
dan berkomunikasi dengan beberapa teman dan anggota keluarga. Selain itu, anak
dengan selective
mutism dalam kategori ini ketika berada
di dalam kondisi yang membuat mereka merasa tidak nyaman,
anak akan lebih banyak memakai
bahasa tubuh dan berbicara dengan bahasa yang kurang lancar. Sedangkan pada kategori moderate,
anak dengan selective
mutism tidak berinteraksi dengan menggunakan kata-kata, melainkan dengan hanya menggunakan suara. Hal tersebut juga terjadi pada anak dengan selective
mutism pada kategori moderate severe yang mana mereka memakai bahasa nonverbal seperti menganggukan kepala di dalam berkomunikasi dengan lawan bicara. Pada kategori akhir yaitu severe, anak dengan selective mutism walaupun memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan memakai bahasa nonverbal, akan tetapi mereka memilih
untuk tidak menggunakannya di dalam berkomunikasi.��
Menurut
(Ridha, 2019) selective mutism dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor
genetik dan tempramen bawaan anak sejak
lahir. Dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar selective mutism terjadi
karena faktor genetik, yang mana ada anggota keluarga yang perilakunya mencirikan selective mutism. Selain
dua faktor tersebut, (Ridha, 2019) mengatakan
bahwa lingkungan tempat anak dengan
selective mutism berada
dapat menjadi salah satu faktor terjadinya
selective mutism. Lingkungan
tersebut dapat berupa suatu lingkungan
yang keadaannya membuat anak menjadi diam
dan tidak mampu berbicara.�
(Puspitasari, 2013)
mengungkapkan bahwa ditemukan 59% kasus selective mutism pada keluarga yang cenderung pemalu dan mengalami kesulitan berkomunikasi di lingkungan sosial. Selain itu, ditemukan
31,5% kasus selective
mutism yaitu saudara kandung dari anak
dengan selective
mutism menunjukkan gejala
yang sama. Akan tetapi hanya sedikit ditemukan
kasus dimana salah satu anggota keluarga
juga mendapat diagnosa selective mutism.
Penelitian
yang dilakukan oleh (Dieu, 2017) mendapatkan
hasil bahwa orang tua dari anak
dengan selective
mutism memiliki kepribadian
yang over protective jika dibandingkan dengan anak yang kontrol secara klinis maupun tidak
secara klinis. Para orang tua tersebut dinilai
kurang memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dan cenderung menunjukkan kekuasaan. Pada umumnya para orang tua mengetahui bahwa anaknya termasuk anak yang mengidap selective mutism ketika
anak tersebut akan masuk pada usia 3 tahun (Ridha, 2019). Kebanyakan
dari orang tua berasumsi bahwa anak dengan selective mutism adalah anak yang pemalu karena tidak mau
berbicara dengan banyak orang.
(Santoso & Novianti, 2018) mengemukakan
bahwa angka persentase jumlah anak dengan selective mutism tergolong tidak tinggi, yaitu
0,7-0,8%. Akan tetapi, apabila
kondisi anak tersebut tidak ditangani, maka anak maupun pihak
sekolah yang terlibat dengan kegiatan anak di sekolah akan mengalami kesulitan didalam menjalani kegiatan di sekolah.
Berdasarkan
temuan kasus, serta hasil dari
observasi kepada subjek dan wawancara kepada orang tua maupun pihak sekolah,
peneliti mengetahui bahwa subjek mengalami
gejala selective
mutism. Ketika di rumah, subjek
merupakan individu yang mampu untuk berkomunikasi
dengan kedua orang tua maupun saudara
kembarnya, begitu juga dengan perilaku tantrum (berteriak sambil menangis) dapat subjek tunjukkan kepada kedua orang tuanya. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa subjek tidak
mengalami hambatan ketika berinteraksi dengan anggota keluarganya.
Di sisi lain, ketika subjek sedang
berada di sekolah subjek akan bersikap
sangat diam, sangat pemalu, tidak mau berkomunikasi
dengan teman-teman sekelas, hanya mau berteman dengan
dua orang teman, tidak memberikan respon jawaban ketika para guru bertanya kepada subjek dan ketika ingin menyampaikan
perasaannya subjek cenderung akan memperlihatkannya melalui tatapan mata, raut
wajah serta tangisan tanpa suara kepada gurunya.
Ketidakmampuan
subjek di dalam berkomunikasi dengan para guru maupun teman-teman sekolah membuat subjek mengalami kesulitan di dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Subjek yang sekarang berada di kelas 1 Sekolah Dasar (SD) belum mampu untuk
membaca dengan lancar. Hal ini membuat subjek menjadi tidak memahami
pelajaran dengan baik di sekolah. Beberapa nilai ulangan subjek berada di bawah nilai rata-rata kelas.
Subjek
tidak hanya memiliki kesulitan di dalam bidang akademis,
subjek juga memiliki kesulitan di dalam mengenakan baju yang memiliki kancing. Di setiap pelajaran olahraga, subjek merasa kesal
dan malu karena tidak mampu mengganti
seragamnya dengan baju olahraga. Di setiap pelajaran olahraga, guru dan dua teman subjek
akan membantu subjek untuk mengganti
baju seragam ke baju olahraga. Bantuan dari guru maupun teman tidak membuat
subjek bahagia melainkan subjek merasa malu karena
tidak mampu membuka atau memakai
baju seragam yang berkancing.
Rasa malu karena tidak mampu membuat
subjek menjadi tidak percaya diri
dan bertanya sambil menangis dan berteriak frustasi kepada ibunya mengapa subjek tidak mampu
melakukan tugas-tugasnya.
Peneliti
menilai bahwa rasa tidak percaya diri
subjek merupakan inti dari permasalahan yang dialami oleh subjek. Rasa tidak percaya diri
memperparah kondisi subjek dengan selective mutism. Hal dasar yang dapat membantu subjek untuk merasa percaya
diri adalah subjek mampu menggunakan
kancing tanpa kesulitan dan tanpa bantuan dari orang lain. Keterampilan menggunakan kancing dapat dilakukan
dengan teknik forward chaining yang merupakan bagian dari terapi perilaku.
Chaining
adalah suatu teknik modifikasi perilaku yang di dalam prosesnya menyertakan adanya stimulus dan respon yang saling beruntutan secara sistematis dan diakhir respon akan diberikan reinforce/penguatan. Di dalam penerapan teknik chaining, target
dari perilaku yang diharapkan akan dibagi beberapa sesi, yang mana dapat membantu anak untuk
menguasai suatu keterampilan secara bertahap atau tidak
dalam satu waktu (Natasya & Tirta, 2018).
Terdapat
dua jenis chaining yaitu backward
chaining dan forward chaining. Backward chaining adalah
prosedur pelatihan yang intersif yang biasanya digunakan dengan peserta didik dengan
kemampuan terbatas. Menurut Case-Smith (dalam Lee et
al, 2014), untuk menangani anak � anak dengan
tingkat toleransi yang rendah, teknik backward chaining dapat digunakan.
Dengan menggunakan teknik backward chaining, terapis
dapat menggunakan prompting dan fading untuk melatih
perilaku terakhir dalam rantai terlebih
dahulu. Dengan memulai dari perilaku
terakhir di dalam rantai, subjek menyelesaikan rantai di setiap pembelajaran. Ketika perilaku terakhir sudah dapat dilakukan
dengan baik peneliti mengajarkan perilaku nomor dua dari perilaku
terakhir.
Prompting
adalah
suatu stimulus yang terapis
berikan kepada kliennya ketika sebelum atau selama
hadirnya suatu perilaku, yang mana akan membuat kemungkinan adanya peningkatan hadirnya perilaku yang ditargetkan/ diharapkan terjadi (Wahyuningsih & Hartiani, 2021). Dapat
dikatakan bahwa pemberian prompting
bertujuan untuk membantu klien dalam mengerjakan tahapan � tahapan pada forward dan backward chaining. Prompting dapat berbentuk gestural, verbal,
physical, dan video (Wahyuningsih & Hartiani, 2021).
Backward
chaining dapat dilihat
dari contoh yang ada di dalam (Sawyer, Crosland, Miltenberger, & Rone, 2015) yaitu
ketika seseorang yang bernama Jerry merupakan anak dengan kondisi
kecacatan intelektual dilatih untuk dapat
melemparkan anak panah. Beberapa tahapan backward
chaining, yaitu: (I) SD1 (anggota
staf berkata, �Jerry ayo bermain dart�), kemudian R1 (Jerry berjalan mendekatan papan dart); (2) SD2 (berdiri� berdiri dekat dengan
garis yang berjarak 8 kaki dari
papan dart) R2 (Jerry berjalan
ke garis dan berdiri menghadap papan dart dengan jempol menyentuh
garis); (3) SD3 (berdiri di atas
garis dengan sebuah dart
yang diletakkan disebuah meja yang dekat dengannya) R3 (Jerry menggenggam
dart diantara jempol dan telunjuk, dengan titik yang mengarah papan); (4) SD4 (berdiri diatas garis dan menggenggam dart
diantara jempol dan telunjuk), kemudian R4 (Jerry membengkokan sikunya, sehingga lengan bawahnya bersudut 90 derajat); (5) SD5 (berdiri diatas garis dengan memegang dart dan siku ditekuk, kemudian R5 (Jerry mendorong lengan bawahnya dan tangannya ke arah
papan dart dan melepaskan
dart ketika lengannya lurus, kemudian� diberi reinforcer (dart menancap
dipapan dart).
Untuk
memulai prosedur backward chaining, peneliti
menyajikan SD (SD5), berikan
prompt dengan
menggunakan respon yang tepat, menyediakan sebuah reinforcer.
Pada contoh kasus Jerry, peneliti mengajak Jerry kedekat papan dart, kemudian memberikan prompt kepadanya
untuk mendekati jempolnya digaris, meraih dart ditangan Jerry dan membengkokkan sikunya sampai lengan bawahnya
berbentuk sudut 90 derajat. Posisi ini adalah SD pada langkah terakhir pada rantai/chain SD5.
Setelah itu peneliti memberikan prompt fisik dengan benar yaitu
dengan cara peneliti memegang tangan Jerry kemudian mendorong tangan Jerry ke depan dan melepaskan
dart ketika tangan Jerry sudah lurus. Ketika dart tertancap di papan dart, peneliti memberikan pujian kepada Jerry. Pujian merupakan bentuk reinforcer
kepada Jerry. Peneliti akan terus memberikan
prompt kepada Jerry ketika
Jerry melakukan percobaan untuk melakukan tahapan tadi, ketika
Jerry mampu melakukan respon yang baik peneliti menghilangkan penggunaan prompt.
Bentuk
prompt fisik yaitu ketika tangan peneliti
memegang tangan Jerry kemudian mendorong tangan Jerry ke depan dan melepaskan dart ketika tangan Jerry sudah lurus. Setelah Jerry mempelajarai SD5, maka kemudian peneliti akan mengajarkan Jerry SD4. Peneliti harus mengikuti tahapan seperti yang dituliskan di atas. Peneliti melakukan backward chaining dari
SD5, kemudian SD4 sampai
SD1. Pemberian prompt fisik
juga harus dilakukan seperti pada langkah SD5 dan
prompt akan dihilangkan ketika Jerry sudah dapat memberikan respon yang baik. Peneliti juga tetap memberikan pujian ketika Jerry sudah dapat melakukan sesuai instruksi dengan dan benar.
Forward
chaining serupa dengan
backward chaning
yang mana terapis mengajarkan
satu komponen dari rantai/chain pada satu waktu dan rantaian komponen-komponen bersama, dan terapis menggunakan prompting
dan fading untuk
mengajarkan perilaku yang berhubungan dengan SD dan setiap langkah pada rantai/chain. Perbedaan antara forward
chaining dan backward chaining yaitu terletak dititik dimana terapi mulai dilakukan.
Pada backward chaining dimulai dari komponen
terakhir sampai komponen pertama (Sawyer et al., 2015). (Lee, Muccio, & Osborne, 2009) mengatakan
bahwa di dalam backward chaining, pengasuh
dapat membantu anak untuk melakukan
tahap awal/ komponen pertama hingga tahap akhir/
komponen akhir.
Pada forward
chaining dimulai dari komponen pertama sampai komponen terakhir (Sawyer et al., 2015). Forward chaining melibatkan pengajaran awal langkah dalam analisis
tugas untuk penguasaan suatu kemampuan/ keterampilan dan kemudian secara berturut-turut mengajarkan langkah-langkah atau tahapan tambahan. Setelah sebuah langkah dikuasai dan tahapan berikutnya sudah ditentukan, maka langkah-langkah sebelumnya sudah harus dapat
diselesaikan dengan baik sehingga dapat
dinilai benar dan bisa menjadi dasar
untuk pemberian reinforcement (Slocum dan Tiger, 2011).
Penggunaan
forward dan backward chaining belum banyak digunakan untuk membantu anak dengan selective mutism, namun teknik ini cukup
umum digunakan untuk membantu anak dengan disabilitas
intelektual dalam melatih ketrampilan memakai baju (dressing
skill). (Lee, Muccio, & Osborne, 2009) berpendapat
bahwa penggunaan teknik chaining merupakan teknik yang tepat untuk membantu
anak dengan disabilitas intelektual berlatih suatu keterampilan. Misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh (Natasya & Tirta, 2018) ditemukan
hasil tidak adanya perbedaan antara forward dan
backward chaining dalam
melatih keterampilan memakai baju pada anak dengan disabilitas intelektual. Selain itu, terdapat penelitian
yang dilakukan oleh (Apriyadi, 2016) ditemukan
hasil penggunaan teknik backward chaning dapat membantu dalam mengembangkan keterampilan makan pada anak disabilitas intelektual. Seperti dua penelitian
lainnya, terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh (Wibowo & Kemala, 2019), yang mana ditemukan hasil yaitu anak dengan
disabilitas intelektual berhasil menguasai sebuah rangkaian tahapan dalam mengikat
tali sepatu dengan bantuan teknik backward
chaining.���
Berdasarkan
pemaparan di atas, dikarenakan masih sedikitnya penelitian mengenai penggunaan teknik chaining untuk membantu anak dengan selective mutism dan juga diketahui bahwa subjek penelitian
ini mengalami selective mutism dan belum
mampu melakukan keterampilan memakai kancing sendiri, maka penelitian ini penting untuk
dilakukan. (Shrestha, Anderson, & Moore, 2013) berpendapat
bahwa forward
chaining merupakan metode
alternatif untuk mengajarkan perilaku kompleks yang dapat dipecah menjadi serangkaian langkah. Pada forward chaining langkah
pertama dari sebuah tugas diajarkan
terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh langkah berikutnya sampai pelajar (subjek) mampu melakukannya
semua sendiri hingga selesai. Dengan kata lain, subjek dengan selective
mutism akan mampu mempelajari kemampuan memakai kancing baju secara perlahan dari awal hingga
akhir dengan mendapat bantuan terlebih dahulu, kemudian perlahan akan dibiarkan mengerjakan sendiri.
�Dapat dikatakan bahwa penelitian ini penting untuk
diteliti sehingga dapat membuktikan strategi yang sesuai untuk mengatasi
permasalahan anak dengan selective
mutism, yang juga nantinya diharapkan
dapat membantu orang tua dan guru dalam membantu anak dengan
selective mutism berlatih
menggunakan kancing baju atau keterampilan serupa lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas teknik �forward chaining dalam
kemampuan memakai kancing pada anak dengan selective
mutism.
Metode Penelitian
A. Indentifitkasi Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak perempuan berusia 6 tahun yang mengalami gejala selective mutism dengan mengacu pada DSM V. Sejak subjek berusia kurang lebih 3 tahun secara konsisten subjek menunjukkan gejala selective mutism.
B. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian adalah teknik observasi, wawancara, CPM (Colours Progressive Matrices), CBCL (Child Behavior Checklist), dan BG (Bender Gestalt). Pedoman observasi disusun berdasarkan karakteristik selective mutism yang terdapat pada DSM V.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dan menggunakan desain subjek tunggal (single subject design). Intervensi dilakukan dalam 8 sesi dalam 8 hari (1-1,5 jam per sesi, tergantung lamanya subjek bermain dengan media yang disediakan peneliti dan respon dari subjek terhadap intervensi yang diberikan). �
Pada tahap awal penelitian, peneliti melakukan wawancara kepada orang tua subjek dan setelah itu peneliti melakukan observasi kepada subjek. Dikarenakan wawancara untuk mendapatkan auto anamnesa tidak memungkinan dikarenakan subjek mengalami kesulitan di dalam menjelaskan mengenai dirinya kepada peneliti, peneliti menambah data mengenai subjek dengan melakukan wawancara kepada pihak wali kelas subjek.
Di dalam observasi, peneliti melakukan observasi dengan mengajak subjek bermain di tempat bermain di rumah peneliti dan juga di rumah subjek. Permainan yang digunakan berupa bermain boneka, bermain pasir, membuat bentuk dengan plastisin/malam dan juga membuat origami.
Bermain adalah suatu media juga yang digunakan peneliti untuk mendekatkan diri kepada subjek (membangun rapport), sehingga diharapkan setelah bermain subjek akan mau untuk berlatih menggunakan kancing baju (intervensi). Media bermain ini cukup efektif untuk membuat subjek menjadi santai ketika berbicara kepada peneliti dan membuat subjek lebih tenang sebelum mendapatkan intervensi (menggunakan kancing baju). Selain media bermain, peneliti juga memberikan reward sebagai positive reinforcement kepada subjek apabila subjek sudah melakukan latihan menggunakan kancing sebanyak empat sesi. Dengan kata lain, setiap empat sesi yang dijalani oleh subjek, subjek akan diberikan reward berupa hal yang subjek inginkan (boneka dan mainan mobil-mobilan). Pemberian reward ini bertujuan untuk membuat subjek menjadi bersemangat ketika melakukan sesi-sesi latihan menggunakan kancing yang diberikan oleh peneliti.
Di dalam pelaksanaan intervensi, terdapat
delapan kali intervensi yang dilakukan oleh peneliti maupun ibu subjek. Kerja
sama ibu subjek di dalam penelitian ini sangatlah penting, karena dengan
semakin sering ibu subjek membantu subjek berlatih menggunakan kancing baju,
maka diharapkan semakin cepat subjek dapat belajar menggunakan kancing baju.
Adapun tahapan intervensi yang
dilakukan di dalam penelitian ini, yaitu:
1. Pada intervensi pertama dan kedua, peneliti
memberikan intervensi chaining forward kepada
subjek. Target yang telah ditetapkan peneliti untuk dicapai subjek adalah
subjek diharapkan mampu menggunakan kancing baju sebanyak 1-2 buah
kancing.� Apabila subjek mengalami
kesulitan, maka peneliti akan memberikan bantuan berupa prompt fisik dan verbal (arahan). Selain itu, reinforcer selalu diberikan untuk memberi semangat kepada subjek.
2. Pada intervensi ketiga dan keempat, ibu
subjek memberikan intervensi chaining
forward kepada subjek. Target yang telah ditetapkan peneliti untuk dicapai
subjek adalah subjek diharapkan mampu menggunakan kancing baju sebanyak 1-3
buah kancing. Apabila subjek mengalami kesulitan, maka ibu subjek akan
memberikan bantuan berupa prompt
fisik dan verbal (arahan). Selain itu, reinforcer
selalu diberikan untuk memberi semangat kepada subjek.
3. Pada intervensi kelima dan keenam,
peneliti dan ibu subjek memberikan intervensi chaining forward kepada subjek. Ada hal yang berbeda di dalam
intervensi kelima dan keenam yaitu kondisi tangan subjek baru sembuh dari luka
karena kecelakaan sepeda motor, sehingga target jumlah kancing baju menjadi 1-2
buah kancing. Apabila subjek mengalami kesulitan, maka peneliti atau ibu subjek
akan memberikan bantuan berupa prompt
fisik dan verbal (arahan). Selain itu, reinforcer
selalu diberikan untuk memberi semangat kepada subjek.
4. Pada intervensi ketujuh dan delapan, ibu
subjek memberikan intervensi chaining
forward kepada subjek. Target yang telah ditetapkan peneliti untuk dicapai
subjek adalah subjek diharapkan mampu menggunakan kancing baju sebanyak 2-3
buah kancing. Apabila subjek mengalami kesulitan, maka ibu subjek akan
memberikan bantuan berupa prompt
fisik dan verbal (arahan). Selain itu, reinforcer
selalu diberikan untuk memberi semangat kepada subjek.
C. Teknik Analisis Data
Data penelitian yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif sehingga dapat menggambarkan perubahan perilaku subjek baik sebelum dan setelah mendapatkan intervensi.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1
Kondisi subjek sebelum dan setelah diberikan
intervensi
Sebelum |
Setelah |
1.
Subjek selalu rewel/ marah-marah ketika pulang sekolah.
2.
Subjek merupakan anak yang pendiam, tidak banyak
berbicara dan kurang mampu dalam menyampaikan isi pikiran dan perasaannya. 3.
Ketika subjek bermain dengan boneka, subjek cenderung
berdialog dengan kata-kata yang tidak ada artinya seperti �wa wa wa�. 4.
Subjek tidak memiliki inisiatif untuk berlatih
menggunakan kancing baju. Selain itu subjek cenderung cepat menyerah, kurang
bersemangat dan tidak percaya diri di dalam berlatih menggunakan kancing
baju. |
1. Subjek tidak
rewel/marah-marah dan mulai lebih tenang dibandingkan sebelumnya ketika
pulang sekolah. 2. Frekuensi subjek dalam
berbicara dengan orang tuanya mengalami peningkatan. Selain itu, subjek mulai
secara perlahan dapat mengungkapkan isi pikiran dan perasaannya kepada orang
tua dan peneliti. 3. Subjek mampu berdialog
ketika bermain dengan boneka dengan menggunakan kata-kata yang dapat
dimengerti dengan baik. 4. Subjek memiliki
inisiatif untuk berlatih menggunakan kancing dan juga subjek lebih
bersemangat di dalam proses berlatih. Terlihat rasa percaya diri subjek mulai
tumbuh di dalam proses berlatih menggunakan kancing, yang mana ia terlihat
juga tidak cepat menyerah ketika menemukan kesulitan di dalam berlatih menggunakan
kancing. |
Di dalam DSM-5 pada 312.23 (F 94.0), adapun
kriteria diagnosa selective mutism
yaitu:
a) Consisten
failure to speak in specific social situations in which there is an��� expectation for speaking (e.g., at school)
despite speaking in other situations.
b) The
disturbance interfers with educational or ocupational achievement or with
social communication.
c) The
duration of the disturbance is at least 1 month (not limited to ehe first month
of school).
d) The
failure to speak is not atributable to a lack of knowledge of, or comfort with,
the spoken language required in the social situation.
e) The
distrubance is not better explained by a communication disorder (e.g.,
childhoodonset fluency disorder) and does not occur exclusively during the
course of autism spectrum disorder, schizophrenia, or another psychothic
disorder.
Berdasarkan DSM-5 yang telah disebutkan diatas, kondisi subjek sudah sesuai dengan kriteria selective mutism. Di mana pada kriteria (a), subjek tidak mengalami kesulitan di dalam berbicara dengan orang tua maupun saudaranya, namun subjek memiliki kesulitan di dalam berbicara dan berinteraksi dengan para guru maupun teman-temannya di sekolah. Pada kriteria (b) gangguan selective mutism pada subjek membuat akademisnya menjadi terganggu, karena subjek mengalami kesulitan berkomunikasi dengan guru-gurunya. Untuk kriteria (c), subjek sudah mengalami selective mutism semenjak subjek berada pada usia balita dan hal ini menyebabkan subjek mengalami keterlambatan bicara. Pada kriteria (d), subjek memiliki kapasitas inteligensi di atas rata-rata yang terlihat dari hasil tes CPM Colours Progressive Matrices, sehingga dapat dikatakan kondisi subjek bukanlah bersumber dari kapasitas inteligensinya melainkan dari selective mutism. Kemudian, pada kriteria (e), gangguan yang dialami subjek bukanlah dari gangguan lainnya, melainkan dari selective mutism yang dimiliki subjek.
Berdasarkan pemberian intervensi melalui forward chaining dengan media bermain, dicapai hasil yaitu mulai stabilnya emosi subjek ketika pulang sekolah. Sebelum dilakukan intervensi, hampir setiap pulang sekolah subjek akan rewel/marah-marah kepada ibu subjek. Namun setelah diberikan intervensi, subjek menjadi pribadi yang lebih tenang dan pulang sekolah subjek tidak lagi bersikap rewel ataupun meluapkan semua emosi kesal dan marah kepada ibunya. Selain itu, subjek yang sebelum mendapat intervensi merupakan individu yang pendiam dan tidak mampu menyampaikan isi pikiran dan perasaannya, setelah mendapatkan intervensi frekuensi subjek berbicara kepada orang tuanya mulai meningkat dan subjek mulai mampu menyampaikan apa yang ingin subjek sampaikan kepada orang tuanya secara perlahans.
Sebelum diberikan intervensi, subjek kurang mampu menyusun sebuah dialog sederhana ketika sedang bermain boneka. Subjek hanya mengatakan �wa wa wa� yang merupakan suatu kata tanpa arti. Akan tetapi, setelah diberikan intervensi, subjek mampu menyusun sebuah dialog sederhana seperti �hai apa kabar? Kamu kenapa? Kamu sedang sakit perut ya? Ayo aku periksa�.
Perubahan perilaku yang terjadi setelah subjek melalui internvensi sebanyak tujuh kali, subjek sudah tidak lagi mengeluh tidak mampu memakai kancing baju, yang mana sebelum intervensi dan diawal intervensi subjek masih sering berkata bahwa dirinya tidak mampu menggunakan kancing baju. Dapat dikatakan sebelum intervensi, subjek tidak memiliki inisiatif untuk berlatih menggunakan kancing, namun setelah mendapatkan intervensi subjek lebih bersemangat ketika berlatih menggunakan kancing. Di tambah lagi ketika intervensi ketujuh dan delapan, sikap tubuh subjek terlihat sudah lebih santai ketika menggunakan kancing baju, tidak terlihat keraguan diwajahnya dan subjek bisa menggunakan kancing sambil bersenandung. Dengan kata lain, kepercayaan diri subjek bertambah setelah mendapatkan intervensi.
Penelitian yang serupa yang dilakukan oleh (Jaslinder & Hildayani, 2019) dalam jurnal �Efektivitas Teknik Forward Chaining Pada Kemampuan Menggunakan Kemeja Pada Anak Dengan Disabilitas Intelektual�. Hasil yang diperoleh adalah bahwa terdapat peningkatan kemampuan menggunakan kemeja pada subjek. Selain itu, subjek memperlihatkan perilaku yang lebih tenang, begitu juga ketika subjek menghadapi suatu kesulitan subjek tidak lagi memperlihatkan emosi negatif atau frustasi pada dirinya sendiri maupun orang lain. Subjek berusaha untuk lebih tenang, tidak merengek, menangis ataupun marah.
Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Natasya dan Tirta (2018) dalam jurnal �Penerapan Forward Chaining untuk Meningkatkan Kemampuan Memakai Baju pada Anak Penyandang Disabilitas Intelektual Sedang. Pada penelitian tersebut ditemukan hasil yaitu teknik forward chaining mampu meningkatkan keterampilan memakai baju pada anak dengan disabilitas intelektual sedang, meskipun subjek pada penelitian tersebut belum menguasai seluruh tahapan yang dikarenakan adanya keterbatasan motorik halus pada diri subjek penelitian tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa program modifikasi perilaku dengan teknik forward chaining dengan media bermain dan pemberian prompting dan reinforcement terbukti efektif dalam meningkatkan perilaku menggunakan kancing baju pada anak dengan selective mutism. Dapat dikatakan bahwa klien sudah mengalami perkembangan ke arah yang baik, yang mana subjek sudah mampu memakai semua kancing baju dengan hanya mendengar instruksi (prompting secara verbal) tanpa ibu subjek mengarahkan dan mencontohkan lagi cara memakai kancing (prompting secara fisik). Selain itu, setiap reward yang diberikan oleh peneliti membuat subjek menjadi lebih bersemangat untuk belajar memakai kancing dan juga subjek mau untuk belajar ulangan akhir semester dengan cukup rajin.
Walaupun
subjek sudah menunjukan perubahan-perubahan pada perilaku dan emosinya, namun
subjek masih memerlukan intervensi dalam bentuk lain seperti terapi bermain,
terapi kesenian, dan terapi perilaku lainnya. Hal ini dikarenakan peneliti
melihat perkembangan motorik halus subjek yang belum berkembang secara optimal.
Contohnya, subjek belum mampu menggenggam plastisin/malam dengan kuat, subjek
belum mampu membuat bentuk sederhana seperti bola dengan menggunakan
plastisin/malam. Selain itu, subjek belum mampu menggunting kertas dan melipat
kertas secara
sederhana, yang mana kemampuan ini sudah dimiliki anak-anak seumurnya.
BIBLIOGRAFI
Anggraheni, Dwi Astary. (2016). Meningkatkan kematangan psikososial pada
anak dengan gangguan selective mutism. Psikovidya, 20(1), 9�15. Google Scholar
Apriyadi, Arip. (2016). Keefektifan metode backward chaining untuk
meningkatkan keterampilan makan pada anak disabilitas intelektual limited.
Universitas Negeri Malang. Google Scholar
Dieu, K. (2017). Selective Mutism Intervention: What Works. Journal of
Psychiatry and Psychiatric Disorder, 1(2), 76�85. Google Scholar
Jaslinder, Jaslinder, & Hildayani, Rini. (2019). Efektivitas teknik
forward chaining pada kemampuan menggunakan kemeja pada anak dengan disabilitas
intelektual. Jurnal Psikogenesis, 7(1), 18�27. Google Scholar
Juandi, Natasya, & Tirta, Stella. (2018). Penerapan forward chaining
untuk meningkatkan kemampuan memakai baju pada anak penyandang disabilitas
intelektual sedang. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, Dan Seni, 2(1),
209�302. Google Scholar
Kurniastuti, Irine. (2014). Menangani Anak Bisu Selektif: Sebuah Contoh
Kasus Layanan Bimbingan Sosial Dan Personal Siswa SD. Widya Dharma: Jurnal
Kependidikan, 26(2), 146�269. Google Scholar
Lee, Supawadee Cindy, Muccio, Brianne E., & Osborne, Nina L. (2009).
The effect of chaining techniques on dressing skills of children with moderate
mental retardation: A single-subject design study. Journal of Occupational
Therapy, Schools, & Early Intervention, 2(3�4), 178�192. Google Scholar
Puspitasari, E. L. Y. (2013). Terapi € �aku Bisa Dan Aku Berani�
Untuk Meningkatkan Komunikasi Verbal Dan Nonverbal Pada Anak Mutisme Selektif.
Universitas Gadjah Mada. Google Scholar
Ridha, Andi Ahmad. (2019). Metode Stimulus Fading untuk Menurunkan Gejala
Selective Mutism Disorder Pada Anak. Jurnal Psikologi Integratif, 7(1),
1�13. Google Scholar
Santoso, Yoga Budhi, & Novianti, Ranti. (2018). Upaya Guru Dalam
Membantu Anak Dengan Selective Mutism Belajar Bersama Di Sekolah. Inclusive:
Journal of Special Education, 3(1). Google Scholar
Sawyer, Mary R., Crosland, Kimberly A., Miltenberger, Raymond G., &
Rone, Amanda B. (2015). Using behavioral skills training to promote the
generalization of parenting skills to problematic routines. Child &
Family Behavior Therapy, 37(4), 261�284. Google Scholar
Shrestha, Akriti, Anderson, Angelika, & Moore, Dennis W. (2013). Using
point-of-view video modeling and forward chaining to teach a functional
self-help skill to a child with autism. Journal of Behavioral Education,
22(2), 157�167. Google Scholar
Wahyuningsih, Diah, & Hartiani, Fenny. (2021). Efektivitas teknik
forward chaining dalam meningkatkan keterampilan mengenakan kemeja berkancing
pada anak dengan intellectual disability taraf sedang. Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan, 9(1), 64�74. Google Scholar
Wibowo, Sarah Halimah, & Kemala, Cut Nurul. (2019). Penerapan Teknik
Backward Chaining Untuk Meningkatkan Kemampuan Mengikat Tali Sepatu Anak
Intellectual Disabilitytingkat Moderate. Seurune Jurnal Psikologi Unsyiah,
2(1), 50�67. Google Scholar
Made Ayu Krisna Putri dan I GAA�
Noviekayati (2021) |
First
publication right : Journal Syntax Literate |
This
article is licensed under: |