����������� ����������������������� ������ Syntax Literate
: Jurnal
Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541 0849
������������������������������������������ e-ISSN : 2548-1398
������������������������������������������ Vol. 2,
No 6Juni 2017
ANALISIS SEMIOTIK PADA ADAT NUJUH
BULAN DI CIREBON
Juwintan
STIBA INVADA Cirebon
Abstrak
Cirebon merupakan Pantai Utara Pulau
Jawa bagian barat dalam konteks sejarahnya terbukti mampu melahirkan
kebudayaan� yang berangkat dari nilai
tradisi dan agama. Kebudayaan Cirebon yang bukan Jawa dan bukan Sunda itu
akhirnya memiliki ciri khas sendiri. Misalnya dalam siklus hidup, masyarakat
Cirebon beranggapan perjalanan hidup individu dibedakan kedalam
tingkatan-tingkatan tertentu,diantaranya adalah masa hamil, masa bayi, masa
penyapihan, masa kanak-kanak, masa akil balig/remaja, masa sesudah menikah,
masa tua, dan sebagainya. Misalnya pada masa hamil, setiap fase kehidupan si
jabang dalam kandungan mulai umur 1 sampai dengan 9 bulan atau 10 bulan, selalu
disertai dengan selametan. Diperkirakan, upacara-upacara tradisional ini telah
dipraktean sejak zaman Majapahit, berupa upacara pemujaan terhadap arwah nenek
moyang dan dewata agung. Persiapan dan perlengkapan untuk melaksanakan upacara memitu
ini bermacam-macam dan merupakan simbol yang memiliki makna, maka peneliti
tertarik untuk mengkajinya dengan menggunakan teori semiotik yang merupakan
ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan metode etnografi. Penelitian ini menggunakan
pendekatan analisis semiotik. Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik
observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan subjek penelitian disini adalah
masyarakat pelaku nujuh bulan, budayawan, sesepuh masyarakat, dan pihak lain
yang berkaitan dengan budaya nujuh bulan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa
dalam upacara memitu terdapat beberapa perlengkapan yang memiliki simbol dan
makna. Hal-hal atau benda yang dijadikan sesajen sebenarnya adalah simbol
dari� tata laku kehidupan yang harus
dilakoni. Segala sesuatu yang dipersiapkan dalam upacara memitu ini secara
keseluruhan berisi pengharapan kepada si jabang agar kelak ketika menjadi
penghuni alam padang menjadi anak yang sempurna, baik fisik maupun bathinnya,
menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, negara dan masyarakat.
Kata Kunci: Analisis Semiotik, Adat Nujuh Bulan
Pendahuluan
Budaya adalah
kebiasaan �meliputi kegiatan keagamaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat�
yang �dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam lingkup wilayah
tertentu. Menurut Taylor (dalam Ranjabar: 2006) budaya adalah suatu
keseluruhan yang lebih kompleks �meliputi ilmu pengetahuan, kesehatan, keagamaan, adat istiadat, moral, hokum dan kemampuan lain� yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Goodenugh (dalam Kalangie: 1994) menyatakan bahwa kebudayaa nmerupakan suatu kesatuan sistem kognitif, dimana dalam sistem
tersebut terdapat pengetahuan, kepercayaan, sertanilai � nilai yang terdapat pada pikiran
anggota individual masyarakat.
Berbeda dengan pengertian di atas, Sukidin (2005) mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan konfigurasi tingkah laku yang diperoleh dari tingkah laku yang lain. Pada konsep ini
Sukidin juga menerangkan bahwa unsur pembentukan
tingkah laku yang dimaksud didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat
yang lain.
����������� Secara umum
budaya dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang padu. Namun, menurut Djoko Widagdho
(1993) budaya merupakan daya dari budi
dengan bentuk cipta, rasa, dan krasa. Sedangkan kebudayaan merupakan
hasil atau produk dari ketiganya.
Dalam konteks yang lebih jauh budaya di bagi ke dalam
beberapa jenis, salah satu yang umum adanya tiga
jenis budaya yang dipaparkan Koentjaraningrat
(1974). Menurutnya wujud kebudayaan
dibagi 3. Pertama kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, normal, dan peraturan. Kedua kebudayaan sebagai suatu kompleks dari aktivitet kelakuan berpola dari manusia dalam
lingkup masyarakat. Ketiga kebudayaan sebagai produk karya atau
artefak.
����������� Jika
merujuk dari pengertian dan gambaran di atas, penulis dapat mengerucutkan
pandangan bahwa budaya merupakan hasil karya berupa
tingkah laku, pengetahuan, norma,
atau seni yang ditelurkan nenek moyang ke generasi
penerus.
����������� Secara umum
budaya memiliki fungsi sebagai pelindung diri masyarakat terhadap alam, pengatu rhubungan
antarmanusia, dan sebagai wadah dari
segenap perasaan masyarakat. Dengan fungsi seperti yang dipaparkan, bukan hal yang mustahil jika budaya mampu
mengontrol kehidupan bermasyarat, mengingat dalam budaya sendiri
terdapat norma
dan hukum, sehingga menjadi suatu hal yang mungkin budaya memiliki peran vital dalam suatu kelompok
masyarakat.
����������� Budaya
merupakan produk domestik yang masing-masing memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Penyebaran budaya sendiri sudah sangat luas.
Setiap negara �bahkan daerah� memiliki kebudayaannya masing-masing.
Indonesia salah satunya.
Sebagai negara dengan jumlah kabupaten
kota yang melimpah, Indonesia memiliki ragam kebudayaan yang sangat kaya. Semua kebudayaan di Indonesia menjadi identitas daerah masing-masing, tidak terkecuali dengan kebudayaan yang ada di Cirebon sebagai salah satu
kota dan
kabupaten yang berada di
NKRI.
����������� Cirebon
merupakan negara pesisir dengan adat dan kebudayaan
yang cukup beragam. Salah satu adat
budaya Cirebon yang paling fenomenal
adalah adat nujuh bulan. Selain menjadi adat yang tidak lekang dimakan
waktu, nujuh bulan juga menjadi adat dengan ragam
makna dan kandungan yang memiliki orientasi pada unsur religius.
����������� Lekatnya unsur
religious dalam kebudayaan
Cirebon memang tidak lepas dari campur
tangan WaliSongo. Padamasanya, jajaran pemuka agama ini mengolaborasikan budaya dengan agama. Pada beberapa kasus,
kalangan wali juga menggabungkan kesenian, hiburan, adat istiadat,
serta ritual dengan �agama. Adat nujuh bulan salah
satunya. Adat ini memiliki makna dan filosofi
yang sangat kuat dari setiap unsur
yang terkandung di dalamnya.
����������� Merujuk dari
hal tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan pendekatan semiotik. Secara sederhana semiotic merupakan cabang ilmu yang mempelajari sederatan objek, peristiwa, dan kebudayaan sebagai suatu tanda
(Alex Sobur: 2006). Adapun maksud
tanda disini ialah suatu yang atas dasar konvensisosial
yang terbangun sebelumnya dapat mewakili sesuatu yang lain (Aaart van Zoest: 1993). Jika disimpulkan, analisis
semiotic merupakan analisis
yang dilakukan untuk mempelajari objek penelitian melalui tanda-tanda yang muncul dari objek tersebut
sehingga diperoleh kesimpulan setelahnya.
����������� Dari �penelitian ini penulis berharap
hasilnya dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk
penelitian yang relevan. Penulis juga berharap hasil karya tulis ini
dapat dijadikan sumber untuk penelitian
sejenis.
MetodePenelitian
Penelitian yang �penulis tulis merupakan penelitian kualitatif bermetodekan etnografi. Dalam penelitian yang sama peneliti
juga menanamkan pendekatan
semiotic naratif untuk menggambarkan sistem tanda dalam bentuk
narasi. Dalam bukunya Alex Sobur
(2003) menerangkan bahwa
semiotic naratif merupakan pembahasan sistem tanda yang dilakukan secara naratif dalam bentuk mitol
atau cerita lisan.
Teknik pengumpulan
data yang disini adalah observasi, dokumentasi, dan wawancara yang dilakukan pada budayawan, sesepuh, pelaku, dan orang-orang di �sekitar
tempat dilakukannya ritual nujuh bulan. Merujuk
dari penjabaran di atas secara jelas
penulis menyebutkan bahwa subjek dalam
penelitian ini merupakan pihak-pihak yang �memiliki
kaitan dengan budaya nujuh bulan.
Sedangkan objek dari penelitian
ini adalah nujuh bulan itu
sendiri.
Subjek penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan matang dari peneliti. Menurut
pengamatan peneliti, pihak yang melakukan adat nujuh bulan
adalah pihak yang paling tahu tentang apa yang mereka jalani. Secara tidak langsung pihak yang menjalani kegiatan tersebut secara otomatis mengetahui �atau paling tidak memiliki memiliki informasi dan gambaran� mengenai
makna dari apa yang mereka
jalani.
Data dalam
penelitian ini bersumber dari kegiatan observasi, wawancara, serta dokumentasi yang dilakukan penelitian pada subjek dan tempat
penelitian.
HasildanPembahasan
Upacara memitu adalah sebuah upacara
yang dilaksanakan oleh sepasang suami istri yang sedang menantikan anak pertama
di Cirebon dan sekitarnya. Kata memitu sendiri berasal dari bahasa Cirebon,
yakni pitu. Dalam pelaksanaannya upacara ini dilakukan pada ibu hamil yang
berusia 7 bulan dan dilakukan per tanggal 7, 17, dan 27 dalam hitungan kalender
Jawa. Tapi, di samping tanggal-tanggal seperti yang disebutkan, upaya memicu
juga disesuaikan dengan kesiapan suami istri pada ranah pelaksanaannya.
Maksud dan tujuan utama dari memitu
adalah sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Di samping sebagai bentuk syukur,
upacara ini juga dilakukan sebagai harapan dan doa agar saat proses melahirkan,
baik ibu dan anak sama-sama selamat.
Usia kehamilan 7 bulan merupakan
usia dimana janin sudah memiliki bentuk yang lebih sempurna. Pada proses ini
masyarakat Cirebon akan memanjatkan rasa syukur dengan melakukan kegiatan
memitu. Dalam pelaksanaannya upacara ini dilakukan dengan berbagai sesajen dan
perlengkapan khusus.
Di bawah� ini adalah beberapa sesajen dan perlengkapan
yang digunakan untuk upacara nujuh bulan, lengkap dengan pembahasan tanda
secara semiotik naratifnya:
1.
Umah-umahan (Rumah-rumahan)
Dalam upacara memitu hal pertama
yang kita liat adalah umah-umahan (rumah-rumahan yang terbuat dari bambu).
Rumah-rumahan tersebut terdiri dari 4 bambu dan satu atap, biasanya ada yang
memakai simbol nanas ataupun hanya bambu biasa yang menjulang ke atas. 4 Bambu
sebagai tiang dan nanas atau atap itu sebagai pancer adalah simbol bahwa dalam
kehidupan kelak si jabang harus memiliki pedoman hidup, yaitu 4 pilar
diantaranya sandang, pangan, papan dan ilmu (pendidikan) dan satu pancer
sebagai simbol bahwa bagai-manapun hidup didunia tetap harus ingat dan kembali
pada Allah� SWT. Diharapkan jabang dapat mememnuhi 4 pilar dan 1
pancer tersebut ketika ia lahir dan besar nanti.
2.
Tapi (kain panjang) sebanyak 7 lembar
Kain sebagai simbol sandang,
digunakan untuk mendandani ibu. Maksudnya adalah bahwa diharapkan ketika jabang
lahir nanti tidak akan kekurangan sandang setiap harinya, sedangkan jumlah 7
sendiri adalah simbol dari hari-hari yaitu senin, selasa, rabu, kamis, jumat,
sabtu dan minggu makanya digunakan kain hingga 7 lapis. Jadi kelak jabang bisa berganti sandang setiap
harinya.
3. Pendil atau belanga (semacam
tembikar yang pada jaman dulu dipakai untuk mengambil air) yang diisi air yang
berasal dari 7 sumber mata air yang berbeda, dan biasanya sumber mata air yang
sudah tua.
Pendil atau belanga adalah sebagai
simbol dunia artinya bahwa ketika lahir didunia kita ini berada dalam satu
wadah yang sebenarnya tidaklah luas, maka harus bisa memanfaatkannya dengan
baik, sedangkan airnya adalah simbol dari sumber kehidupan mahluk hidup yang
akan memberikan kehidupan bagi si jabang
(calon bayi)
4. Kembang tujuh rupa
Kembang 7 rupa adalah sebagai simbol
wewangian. Maknanya adalah si jabang semoga kelak dapat mengharumkan namanya
sendiri, orang tuanya, saudaranya, dan kawannya. Diingatkan juga semenjak masih
dalam kandungan bahwa kehidupan didunia itu berwarna . Kembang 7 rupa juga
melambangkan kesucian, bahwa bayi yang ada dalam kandungan ini lahir dengan
suci tanpa memiliki dosa apapun.
5. Kelapa kuning yang digambarkan tokoh
wayang biasanya rama dan shinta
Kelapa kuning atau orang cirebon
sering menyebutnya dengan bluluk kuning
yang bergambar tokoh pewayangan adalah sebagai simbol penampilan. Maknanya
adalah sang jabang yang kelak akan
dilahirkan memiliki paras dan kegagahan seperti yang dimiliki oleh si tokoh
wayang yang di gambar tersebut
6. Bekakak ayam
Bekakak ayam sebenarnya tidak hanya
ada pada orang memitu saja, pada pernikahan juga biasanya ada bekakak ayam.
Pada umumunya bekakak ayam adalah simbol dari diri kita sendiri.
7. Kendi (tempat air minum yang terbuat
dari tanah liat) dan telor
Kendi yang berisi air dan diletakan
telor diatasnya adalah sebagai simbol perut ibu. Kendi yang berisi cairan
berarti dalam perut ibu itu ada kehidupan kemudian ada telor yang nantinya
dipecahkan adalah sebagai simbol bahwa jabang kelak akan keluar seperti cahaya.
Didalam telor itu ada warna putih dan kuning. Putihnya adalah simbol
pengharapan bahwa kelak kalau lahir jabang itu akan memiliki hati yang bersih,
tidak memiliki perasaan iri dan juga dengki. Sedangkan simbol warna kuning
adalah simbol pengharapan kelak si jabang akan menjadi orang yang besar, orang
yang dapat memberikan cahaya bagi orang lain
8. Pelepah pisang
Pelepah pisang yang
disambung-sambung menggunakan lidi digunakan sebagai wadah berbagai makanan. Sebenarnya
ini boleh ada boleh juga tidak, dan zaman sekarang pelepah pisang sudah banyak
diganti dengan piring atau wadah-wadah lainnya. Wadah ini sebagai simbol bahwa
meskipun didunia ini kita dihadapkan pada berbagai kegiatan dan permasalahan,
tetapi kita masih tetap dalam satu keyakinan.
9. Sesaji yang berisi antara lain :
Rujak
parut campuran berbagai macam buah dan umbi : sebagai simbol bahwa pada fase
ini si ibu memiliki banyak keingininan.
a. Juwadah pasar : sebagai simbol harta
benda. Artinya bahwa diharapkan kelak jabang dapat mencari harta benda untuk
kehidupannya
b. Tumpeng : sebagai simbol pangan atau
juga bermakna bahwa kehidupan itu aja
ketutu kudu sing lempeng (jangan sembrono harus pada jalurnya)Sekulanggi
(nasi yang dicampur bumbu, toge mentah dan kacang panjang mentah yang diiris
kecil-kecil) : sebagai simbol bibit/ cikal bakal si jabang
c. Bubur lolos : simbol pelepasan agar
persalinannya lancar tanpa hambatan
10. Tebu wulung
Tebu wulung yang ditancapkan di
umah-umahan adalah sebagai simbol pemanis. Diharapkan si jabang ini akan
menjadi orang yang manis dan patuh pada kedua orang tuanya serta dapat membawa
kebahagiaan
11. Pohon Beringin
Pohon beringin yang juga ditancapkan
di umah-umahan adalah sebagai simbol Pengayom. Maknanya orangtua akan selalu
menjadi pelindung dan pengayom bagi si
jabang , begitu juga sebaliknya kelak si
jabang diharapkan dapat menjadi pelindung dan pengayom bagi orangtuanya.
12. Uang logam dan bancakan
Uanglogamdanbencakanbertindaksebagai
simbol berbagi rezeki. Diharapkan si jabang kelak dapat berbagi rezeki dengan
orang lain, berapapun pendapatan yang dihasilkan, tidak hanya dimakan sendiri
tapi ingat pada orang lain yang juga memiliki hak atas rizkinya
13. Mayang
Mayang biasanya dipecahkan
diperempatan bersamaan dengan uang logam juga sama sebagai simbol dari apa yang
kita miliki, maka harus berbagi dengan orang lain.
Prosesi upacara memitu biasanya
dilaksanakan di halaman rumah dan dipimpin oleh seorang lebe atau sesepuh
kampung ini dibuka dengan membaca salah satu surah dalam Al-Qur'an yakni surah
Lukman atau surah Yusuf dengan harapan anak yang dilahirkan nanti memiliki budi
pekerti seperti Lukman ataupun memiliki ketampanan seperti nabi Yusuf. Setelah
pembacaan salah satu surah dalam Al-Quran selesai barulah kemudian dilaksanakan
acara inti yakni upacara mandi atau yang lebih dikenal dengan siraman yang
dilakukan sepasang suami istri yang sedang mengandung tersebut. Upacara siraman
ini dipimpin oleh dukun beranak atau paparaji.
Jalannya upacara siraman sendiri
diawali dengan dibacakannya kidung oleh dalang kidung dihadapan air yang akan
dipakai untuk upacara mandi, pembacaan kidung itu menceritakan kisah manusia
dari mulai masih menjadi air sampai manusia itu kembali pada sang pencipta.
Kemudian setelah pembacaan kidung selesai barulah kemudian dibagikan sesajen
kepada para tamu undangan. Dan disaat para undangan telah menerima sesaji
itulah sambil berjalan pulang mereka terlebih dahulu menghampiri si ibu dan
suami untuk menyiramkan air yang telah diberi kidung dan kembang 7 rupa. Sambil
dimandikan itulah secara berkala si ibu hamil itu berganti kain panjang yang
telah di siapkan tadi hingga 7 kain tersebut habis terpakai. Dan pada saat
pergantian kain yang ke tujuh itu, kemudian paparaji menjatuhkan bluluk kuning yang telah digambari tokoh
wayang dari dalam kain yang dipakai oleh si ibu hamil dan suami si ibu hamil
yang sedari tadi ikut dimandikan diharuskan untuk menangkap bluluk kuning itu sebelum jatuh ke
tanah.
Sebagai penutup prosesi upacara
siraman ini kemudian si suami mengambil pendil yang berisi mayang, kembang
jambe dan uang logam dari ibu hamil dan berlari menuju jalan perempatan,
kemudian memecahkan pendil yang dibawanya sebagai simbol pecahnya ketuban pada
saat melahirkan nanti. Dipecahkannya pendil di jalan perempatan ini juga sebagai
simbol pengumuman. Pada zaman dulu tidak adanya alat komunikasi ataupun surat
sehingga digunakan cara ini untuk mengumumkan bahwa telah dilaksanakannya
upacara nujuh bulan (memitu) didaerah
setempat. Pada saat perjalanan menuju perempatan biasanya suami tidak boleh
berhenti-berhenti harus terus lari sekencang kencangnya. Hal ini bermakna
supaya tidak ada yang mengambil karena konon banyak mahluk halus yang
menginginkannya. Makanya , si suami juga setelah memcahkan pendil diperempatan
langsung menceburkan diri ke sungai, mandi dan membersihkan diri supaya
terbebas dari bala.
Kesimpulan
Dari
pembahasandiatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Cirebon masih memegang kuat
adat dan tradisi para leluhurnya. Misalnya pada masa hamil, setiap fase
kehidupan si jabang dalam kandungan mulai umur 1 sampai dengan 9 bulan atau 10
bulan, selalu disertai dengan selametan. Sekarang pada umumnya masyarakat
Cirebon melakukan selametan hanya untuk kandungan umur 4 bulan yang disebut
ngupati atau nyipati dan 7 bulan yang disebut nujuh bulan, memitu atau
ngrujaki. Diperkirakan, upacara-upacara tradisional ini telah dipraktean sejak
zaman Majapahit, berupa upacara pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewata
agung. Upacara Siklus Kehidupan yang dilakukan dari mulai bayi dalam kandungan
satu bulan masih dilestarikan karena hal ini selain sebagai bentuk rasa syukur
juga sebagai ajang silaturahmi dengan keluarga. Dengan adanya upacara- upacara
tersebut maka sesama keluarga jadi sering berkumpul dan memiliki kepedulian satu
sama lainnya. Hal-hal atau benda yang dijadikan sesajen sebenarnya adalah
simbol dari� tata laku kehidupan yang
harus dilakoni. Manusia diingatkan tentang segala hal yang baik dari semenjak
dari dalam kandungan, karena hal baik akan menghasilkan yang baik pula
sedangkan hal yang buruk maka akan menjadikan manusia itu buruk pula baik rupa
maupun tingkah lakunya. Selametan-selametan ini juga diselenggarakan
dengan� harapan bahwa anak yang masih
didalam kandungan itu kelak ketika menjadi penghuni alam padang menjadi anak
yang sempurna, baik fisik maupun bathinnya, menjadi anak yang berbakti kepada
orang tua, agama, negara dan masyarakat.
BIBLIOGRAFI
Aart, van Zoest. 1993. Semiotika: TentangTanda, Cara KerjanyadanApa
yang Kita LakukanDengannya. Jakarta: YayasanSumberAgung.
Klangie, N. S.
1994. KebudayaandanKesehatan (pengembanganPelayananKesehatan
Primer MelaluiPendekatanSosialBudaya).Jakarta: PT
Kesaint.
Kuntjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: GramediaPustakaUtama.
Ranjabar, J.
2006. SistemSosialdanBudaya Indonesia.Bogor: Ghalia
Indonesia.
Sobnur, Alex. 2006. AnalisisTeks
Media: SuatuPengantaruntukAnalisisWacana, AnalisisSemiotikdanAnalisis Framing. Bandug:
PT. Rosdakarya. hal
95.
Sobur, Alex.
2003. SemiotikaKomunikasi. Bandung: RemajaRosdakarya
Sobur, Alex.
2006. SemiotikaKomunikasi. Bandung: RemajaRostakarya.
Sukidin, B. 2005.PengantarSosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Widagdho, Djoko.
1993. IlmuBudayaDasar. Jakarta: BumiAksara.