Syntax
Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol.
5, No. 6, Juni 2020
����������
PENGARUH ASUHAN KEFARMASIAN TERHADAP KUALITAS HIDUP PASIEN DIABETES
MELITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS KABUPATEN CIREBON
Devi Yava Rony, Prih Sarnianto dan Yusi Anggriani
Magister Farmasi, Universitas Pancasila Jakarta
Email : [email protected],
[email protected] dan [email protected]
Abstract
Pharmacy care in patients with type 2 diabetes
mellitus is expected to improve medication adherence so that blood glucose is
controlled and optimal quality of life. This study was conducted to determine
the effect of pharmaceutical care in improving medication adherence, controlling
blood glucose levels and quality of life for type 2 DM patients. This was a
prospective study using a comparative quasi-experimental design (control group
design with pre-test-post-test). A total of 80 patients consisted of 40 non-Prolanis Talun Puskesmas patients (intervention, given pharmaceutical
care) with total sampling and 40 non-Prolanis Karangsari Puskesmas patients
(control, without pharmaceutical care) with consecutive sampling. Data were
obtained from MMAS-8 (compliance), SF-36 (quality of life) and GDP, GDPP
questionnaires from laboratory results. The Wilcoxon Test results showed a
significant increase (p <0.005) before and after pharmaceutical care for
levels of compliance, levels of GDP, GDPP and quality of life of patients in the
intervention group. Mann Whitnney Test Results showed
a significant improvement (p <0.05), GDPP and quality of life due to
pharmaceutical care in patients in the intervention group. Pharmaceutical care
can improve compliance, control levels of GDP, GDPP and quality of life for
non-Prolanis DM type 2 patients in certain health
centers in Cirebon District.
Keywords: Pharmaceutical
care, Quality of life and DM patients.
� Asuhan
kefarmasian pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 diharapkan dapat meningkatkan
kepatuhan minum obat sehingga glukosa darah terkendali dan kualitas hidup
optimal. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh asuhan kefarmasian dalam meningkatkan kepatuhan minum obat,
pengendalian kadar glukosa darah dan kualitas hidup pasien DM tipe 2.
Penelitian bersifat prospektif menggunakan desain kuasi eksperimental komparatif (control group design withpre-test-post-test). Sebanyak
80 pasien terdiri dari 40 pasien non-Prolanis Puskesmas Talun
(intervensi, diberi asuhan kefarmasian) dengan total
sampling dan 40 pasien non-Prolanis Puskesmas Karangsari (kontrol, tanpa asuhan kefarmasian) dengan consecutive sampling. Data diperoleh dari kuesioner MMAS-8 (kepatuhan), SF-36 (kualitas hidup) dan kadar GDP, GDPP dari hasil laboratorium.
Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan peningkatan signifikan (p < 0,005) sebelum
dan sesudah asuhan kefarmasian terhadap tingkat kepatuhan, kadar GDP, GDPP dan
kualitas hidup pasien kelompok intervensi.Hasil Uji Mann Whitnney menunjukkan
peningkatan signifikan (p < 0,05) tingkat kepatuhan, kadar GDP, GDPP dan
kualitas hidup akibat asuhan kefarmasian pada pasien kelompok intervensi. Asuhan kefarmasian dapat meningkatkan kepatuhan, keterkendalian kadar GDP, GDPP dan kualitas hidup pasien non-Prolanis DM tipe 2 pada puskesmas tertentu di Kabupaten Cirebon.
Kata
kunci: Asuhan
kefarmasian, Kualitas hidup
dan Pasien DM.
Pengaruh era
globalisasi di segala bidang, perkembangan teknologi dan industri mengakibatkan
perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat serta situasi lingkungan,
seperti perubahan terhadap pola konsumsi makanan yang serba instan, serta
perkembangan dunia teknologi dan komunikasi yang semakin meninggi membuat
manusia seakan enggan untuk bergerak dan berolahraga. Perubahan tersebut
memberi kontribusi terhadap semakin meningkatnya beberapa penyakit, sebagaimana
penyakit jantung, kanker, penyakit saluran pernapasan dan diabetes melitus (Subandi, 2017).
Diabetes melitus (DM) didefenisikan sebagai
suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi-etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufiensi fungsi insulin
(Organization, 2006). Gaya hidup modern yang semakin luas
membuat prevalensi DM meningkat di seluruh dunia, termasuk Indonesia.World
Health Organization (WHO)
memprediksi penyandang DM di Indonesia akan meningkat dari 8,4 juta pada 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada� 2030,
atau dua kali lipat lebih dalam waktu 30 tahun. Menurut data Riset� Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013, prevalensi
nasional DM di Indonesia berdasarkan diagnosis dan gejala sekitar 2,1% dan
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung menurun. Prevalensi DM pada
perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Proporsi DM
terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (2,1%) dan Sulawesi Tengah (2,1%),
sedangkan jumlah terbesar di Provinsi Jawa Barat 225.136 (Kemenkes, 2013).
Asuhan kefarmasian atau pharmaceutical care
merupakan komponen dari praktek kefarmasian yang memerlukan interaksi langsung
apoteker dengan pasien untuk menyelesaikan masalah terapi pasien dengan obat (Organization, 2006). Asuhan kefarmasian meliputi pengkajian dan pelayanan resep,
Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visite
pasien (khusus puskesmas rawat inap), Monitoring Efek Samping Obat (MESO),
Pemantauan Terapi Obat (PTO), Evaluasi Penggunaan Obat (Permenkes,
2016). Asuhan kefarmasian terutama dibutuhkan
untuk memastikan efektivitas pelayanan kesehatan bagi pasien penyakit kronis
seperti diabetes melitus.
Pengelolaan DM
memerlukan penanganan secara mulitidisiplin yang mencakup terapi obat dan
terapi non-obat. Kebanyakan pasien dengan DM tidak mendapatkan perawatan� optimal, sehingga seringkali kadar glukosa
darah tidak terkontrol dengan baik. Masalah ini memberikan kesempatan pada
apoteker memberikan kontribusi melalui intervensi farmasi berupa asuhan
kefarmasian dalam pengendalian glukosa darah pasien DM sehingga tercapai
kualitas hidup yang optimal (Depkes, 2005).
Menurut WHO, Kualitas hidup (quality of life, QoL) adalah persepsi individu tentang keberadaannya di
kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai tempat ia tinggal (Organization, 1997). Kualitas hidup terkait kesehatan (HRQoL) adalah
konsep multi dimensi yang mencakup domain yang berkaitan dengan fungsi fisik,
mental, emosional, dan sosial. Hal ini melampaui ukuran langsung kesehatan
populasi, harapan hidup, dan penyebab kematian, dan berfokus pada dampak status
kesehatan terhadap kualitas hidup. Konsep HRQoL terkait adalah kesejahteraan,
yang menilai aspek positif dari kehidupan seseorang, seperti emosi positif dan
kepuasan hidup (Organization, 1997).
HRQoL tidak
dapat diukur secara langsung tetapi dengan mengukur indikator-indikatornya
menggunakan kuesioner standar seperti SF-36. Kuesioner yang dikembangkan Rand Corporation, Amerika Serikat, ini
terlaris� memiliki
8 domain kesehatan, yakni kesehatan umum, fungsi fisik, keadaan fisik,
keadaan emosional, fungsi social, Nyeri tubuh,
vitalitas dan kesehatan
mental (Ware Jr &
Sherbourne, 1992).
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka dilakukan penelitian untuk membuktikan pentingnya
asuhan kefarmasian terhadap meningkatnya kualitas hidup pasien DM tipe 2 di
Puskesmas Kabupaten Cirebon.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimental komporatif dengan
rancangan Pre-Test � Post-Test grup
kontrol yang bersifat prospektif pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Talun
sebagai kelompok intervensi dan Puskesmas Karangsari sebagai kelompok kontrol,
Kabupaten Cirebon, pada periode April�Juli 2018. �Data sekunder diperoleh dari rekam medis, dan
data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur selama 4
bulan.� Data yang dikumpulkan meliputi
kepatuhan minum obat, kadar glukosa darah (GDP, GDPP) dan kualitas hidup.
Pasien DM tipe
2 non-Prolanis di Puskesmas Talun, ada 40 pasien sehingga digunakan teknik total sampling. Pada Puskesmas
Karangsari pengambilan responden pasien non-Prolanis menggunakan teknik consecutive sampling untuk mencapai
jumlah yang disesuaikan dengan pasien non-Prolanis (�5%) di Puskesmas Talun.
Variabel dalam
penelitian ini terdiri dari varibel dependent
yaitu kualitas hidup (Quality of Life/QoL)
dan independent yaitu asuhan kefarmasian yang meliputi edukasi,
monitoring kepatuhan minum obat dan kadar glukosa darah (GDP, GDPP). Variabel
pengganggu (confounding factor) dalam
penelitian ini , yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan,
riwayat DM, lama DM, komorbiditas dan Indeks Massa Tubuh (IMT).
Alat yang
digunakan pada penelitian meliputi booklet
untuk sarana edukasi, kuesioner MMAS-8 untuk mengukur kepatuhan minum obat,
data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien dan kuesioner SF-36 untuk
mengukur kualitas hidup pasien DM tipe 2.
Analisis dan pengolahan data menggunakan program SPSS. Analisa deskriptif
digunakan untuk karakteristik pasien DM tipe 2. Uji normalitas menggunakan Uji Kolmogorov
Smirnov, Uji statistik
parametrik dengan Independent T test dan
non-parametrik dengan Uji Mann
Withney. Uji statistik
untuk pre-test dan post-test digunakan Independent T test dan non-parametrik
dengan Uji Wilcoxon.
Hasil dan Pembahasan
1. Karakteristik Pasien
Karakteristik
pasien DM tipe 2 sebagaimana disajikan pada tabel 1, diantaranya umur responden.
Pada kelompok kontrol rerata umur 54,7
(8,5) dan kelompok intervensi 56,8 (8,7). Karakteristik umur didominasi umur
≥ 60 tahun (42,5%)� pada kelompok
kontrol dan intervensi. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa karakteristik
umur pasien DM type 2 terbanyak pada umur ≥ 60 tahun . Hal ini disebabkan
karena semakin lanjut usia seseorang, produksi insulin oleh pankreas akan
semakin berkurang. Pada usia diatas 45 tahun, sel beta pankreas mengalami
penurunan baik jumlah maupun fungsinya, seiring dengan berjalannya usia (Holt, 2009). Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa di
Indonesia rata-rata pasien DM ada pada usia yang masih tergolong produktif
yaitu 45 sampai 64 tahun (Kemenkes, 2013). Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia salah
satu faktor risiko DM adalah orang yang berumur lebih dari 45 tahun. Resiko DM
makin meningkat sesuai dengan perkembangan usia. Semakin
tua kecenderungan menderita DM semakin tinggi (Ware Jr &
Sherbourne, 1992).
Jenis kelamin
perempuan proporsinya lebih tinggi dibandingkan laki-laki yaitu 85% kelompok
kontrol dan 92,5% kelompok intervensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang
disajikan oleh Kemenkes pada 2015 bahwa populasi pasien DM yang ada di
Indonesia adalah perempuan (225.136) (Kemenkes, 2015). Demikian
Juga dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa pada usia 45 tahun keatas
sebagian wanita sudah mulai mengalami menopause, dimana hormon esterogen dan
progesteron pun berkurang. Hormon esterogen berfungsi untuk menjaga
keseimbangan kadar glukosa darah dan progesteron berfungsi untuk menormalkan
kadar glukosa darah setiap saat bila asupan glukosa kedalam tubuh berlebih. Hal
tersebut yang membuat wanita lebih cenderung mengalami DM dibandingkan
laki-laki (Wicaksono, 2011).
Karakteristik
pendidikan pada kelompok kontrol dan intervensi menunjukkan pendidikan dasar
lebih tinggi proporsinya dibandingkan pendidikan menengah/atas yaitu kelompok
kontrol 72,5% dan kelompok intervensi 67,5%. Hasil penelitian ini sejalan
dengan data dari Kemenkes 2015, pasien DM terbanyak di Indonesia adalah level
pendidikan Sekolah Dasar (Kemenkes, 2015). Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang berbanding lurus dengan semakin tingginya
kemampuan orang tersebut untuk mengatur pola hidupnya agar tetap sehat. Tingkat
pengetahuan pada setiap individu salah satunya dapat dipengaruhi oleh status
pendidikan, dimana kemampuan dalam mendapatkan informasi tentang
penyakit-penyakit secara umum lebih banyak (Mongisidi, 2014).
Karakteristik
pekerjaan menunjukkan kelompok kontrol dan intervensi tidak bekerja lebih
tinggi proporsinya dibandingkan bekerja yaitu kelompok kontrol 70% dan kelompok
intervensi 67,5%. Hasil ini sejalan dengan pernyataan yang dikeluarkan Kemenkes
pada 2015 bahwa DM dengan pekerjaan ibu rumah tangga menempati posisi nomor dua
tertinggi yaitu 7,4% setelah pekerjaan lain-lain 9,3% (Kemenkes, 2015) Aktifitas fisik akan membuat kadar insulin lebih
meningkat. Tanpa adanya kombinasi dengan olahraga yang cukup maka kecenderungan
pekerjaan ibu rumah tangga lebih banyak dalam populasi DM di masyarakat (Wicaksono, 2011).
Karakteristik
pendapatan didominasi pendapatan
≤ 1.000.000. Kelompok
kontrol 75% dan kelompok intervensi 80%. Karakteristik pendapatan dalam
penelitian ini pada kelompok kontrol dan intervensi hampir sama. Hal ini karena responden lebih banyak tidak bekerja dibandingkan
bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan di Kanada bahwa
masyarakat yang berpendapatan rendah berisiko 77% lebih tinggi terkena penyakit
DM Tipe 2 dibanding dengan orang yang berpendapatan tinggi (Dinca-Panaitescu et
al., 2012) Senada juga dengan penelitian bahwa seseorang yang
mempunyai tingkat sosial ekonomi yang rendah diantaranya pendidikan yang
rendah, pendapatan yang rendah, dan tidak memiliki suatu pekerjaan yang tetap
memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk menderita DM Tipe 2 (Funakoshi et al.,
2017).
Penelitian yang dilakukan di Adelaide Australia mendapatkan hasil bahwa
pendapatan rumah tangga (belum dipotong pajak) di bawah dari $20.000 per tahun
memiliki risiko untuk terkena Diabetes Melitus tipe 2 (Grant et al., 2009). Hal tersebut dikarenakan perubahan sosial ekonomi
dan selera makan akan mengakibatkan perubahan pola makan masyarakat yang
cenderung menjauhkan konsep makanan seimbang, sehingga berdampak negatif
terhadap kesehatan dan gizi (Mongisidi, 2014).
Pada penelitian
ini, proporsi tidak ada
riwayat DM lebih tinggi dibandingkan ada riwayat DM. Kelompok kontrol 80%. Kelompok intervensi 77,5%. Meskipun faktor keturunan memiliki pengaruh dalam menentukan seseorang
berisiko terkena DM atau tidak, gaya hidup juga memiliki peran besar terhadap
risiko terjadinya DM Tipe 2 (Wicaksono, 2011). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa
riwayat DM bukanlah satu-satunya faktor yang berhubungan dengan kejadian DM
Tipe 2. Diketahui bahwa ada sekitar 41% responden yang telah didiagnosis
menderita DM Tipe 2 namun tidak memiliki riwayat DM. Penelitian yang dilakukan
di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa
salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian DM Tipe 2 yaitu aktivitas
fisik olahraga. Oleh karena itu, pencegahan diabetes bagi yang berisiko dapat
dilakukan dengan membiasakan hidup sehat dan berolahraga secara teratur (Wicaksono, 2011).
Karakteristik
lama menderita DM dalam penelitian ini dibagi 4 yaitu < 2 tahun, 2 - 3
tahun, 3-4 tahun, >4 tahun. Secara umum lama DM lebih banyak 2-3 tahun.
Kelompok kontrol dengan lama DM paling banyak 2-3 tahun 30 %, dan kelompok
intervensi 27,5%. Pasien yang menderita DM tipe 2 dalam rentang waktu kurang 5
tahun lebih banyak dari pada pasien yang sudah terkena lebih 5 tahun. Semakin
lama seseorang menderita DM maka semakin besar peluang terjadinya komplikasi,
terutama pada penderita DM yang memiliki glukosa darahnya tidak terkontrol
dengan baik. Durasi diabetes melitus yang semakin lama juga dapat menurunkan
sekresi insulin dan meningkatkan risiko penyakit salah satunya penyakit jantung
koroner. Risiko meningkat 1,38 kali lebih tinggi untuk setiap 10 tahun dalam
kenaikan durasi DM dan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner menjadi
1,86 kali lebih tinggi. Tujuh dari sepuluh pasien dengan DM di Indonesia akan
terjadi komplikasi yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas hidup dan
menyebabkan kematian (Wicaksono, 2011).
Karakteristik
komorbiditas proporsi lebih tinggi
pada tidak ada komorbiditas. Kelompok
kontrol 75% dan kelompok intervensi 65%. Komorbiditas atau penyakit penyerta pasien DM tipe 2 pada penelitian ini
adalah hipertensi. Proporsi
komorbid lebih tinggi
pada tidak ada komorbiditas. Kelompok
kontrol 75% dan kelompok intervensi 65%. Penyakit penyerta yang paling banyak
diderita pasien adalah hipertensi (25,6%) dan pada umumnya pasien DM juga
menderita hipertensi. Kejadian hipertensi pada pasien lanjut usia penderita DM
akan meningkat, prevalensi 40% pada usia 45 tahun meningkat menjadi 60% pada
usia 75 tahun (Handaka ES, Pinasti U., 2015).
Karakteristik
IMT dibagi 3 yaitu BB normal (IMT : 8,5-22,9), BB lebih (IMT : 23-24,9) dan obesitas
I (IMT : 25,0-29,9). Secara umum proporsi IMT responden paling tinggi adalah BB
normal. Kelompok kontrol 45% dan kelompok intervensi BB normal dan BB lebih
42,5%. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah perbandingan berat badan dalam
kilogram� dengan tinggi badan dalam meter
kuadrat. Metoda ini digunakan untuk menentukan berat badan yang sehat
berdasarkan berat dan tinggi badan. IMT ini untuk menujukkan kategori berat
badan seseorang apakah sudah proporsional atau belum. Karakteristik IMT dalam
penelitian ini secara umum proporsi IMT responden paling tinggi adalah BB
normal. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan bahwa terdapat
hubungan antara IMT dengan kadar gula darah penderita DM Tipe 2. Semakin tinggi
nilai IMT semakin tinggi pula kadar gula darahnya (Ain F., 2012).
Tabel 1
Karakteristik� Umum Pasien Non-Prolanis DM Tipe
Variabel |
Kontrol |
Intervensi |
||
(n = 40) |
Proporsi (%) |
(n = 40) |
Proporsi (%) |
|
Umur |
|
|
|
|
Rentang |
38-76 |
- |
39-73 |
- |
Median |
53,5 |
- |
56,5 |
- |
Rerata (SD) |
54,7 (8,3) |
- |
56,8 (8,7) |
- |
a. < 40 tahun |
3 |
7,5 |
4 |
10 |
b. 40 -49 tahun |
7 |
17,5 |
6 |
15 |
c. 50-59 tahun |
13 |
32,5 |
13 |
32,5 |
d.� ≥ 60 tahun |
17 |
42,5 |
17 |
42,5 |
Jenis Kelamin |
|
|
|
|
a. Laki-laki |
6 |
15 |
3 |
7,5 |
b. Perempuan |
34 |
85 |
37 |
92,5 |
Pendidikan |
|
|
|
|
a.� Dasar |
29 |
72,5 |
27 |
67,5 |
b� Menengah/Atas |
11 |
27,5 |
13 |
32,5 |
Pekerjaan |
|
|
|
|
a.��� Tidak bekerja |
28 |
70 |
27 |
67,5 |
b.��� Bekerja |
12 |
30 |
13 |
32,5 |
Pendapatan |
|
|
|
|
a.� ≤ 1.000.000 |
30 |
75 |
32 |
80 |
b.� > 1.000.000 |
10 |
25 |
8 |
20 |
Riwayat DM |
|
|
|
|
a. Ada |
8 |
20 |
9 |
22,5 |
b. Tidak |
32 |
80 |
31 |
77,5 |
Lama DM |
|
|
|
|
a. < 2 tahun |
10 |
25 |
9 |
22,5 |
b. 2 - 3 tahun |
12 |
30 |
11 |
27,5 |
c.� 3 - 4 tahun |
10 |
25 |
9 |
22,5 |
d.� > 4 tahun |
8 |
20 |
11 |
27,5 |
Komorbiditas |
|
|
|
|
a. Ada |
10 |
25 |
14 |
35 |
b. Tidak ada |
30 |
75 |
26 |
65 |
IMT |
|
|
|
|
a.
BB normal |
18 |
45 |
17 |
42,5 |
b. BB lebih |
15 |
37,5 |
17 |
42,5 |
c. Obesitas I |
7 |
17,5 |
6 |
15 |
2. Hasil Analisis Bivariat
Pengaruh asuhan kefarmasian pre-test dan post-test terhadap kepatuhan
minum obat, kadar GDP, GDPP dan kualitas hidup pasien DM Tipe 2 dengan Uji Wilcoxon dan perbedaan kelompok
kontrol dan intervensi dengan Uji Mann
Whitney disajikan pada tabel 2, tabel 3, tabel 4 dan tabel
5.
Tabel 2
Hasil
Pre-test dan Post-test Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien DM Type 2.
Tingkat Kepatuhan |
Pasien DM |
Sig**) |
|||
Kontrol (N=40) |
Intervensi(N=40) |
|
|||
Pre-test |
Post-test |
Pre-test |
Post-test |
|
|
a.
Tinggi |
0 |
0 |
0 |
22 |
|
b.
Sedang |
0 |
0 |
1 |
17 |
|
c.
Rendah |
40 |
40 |
39 |
1 |
|
Rata-rata |
2,31 |
2,34 |
2,61 |
7,23 |
|
DPostest � Pretest |
0,03 |
4,62 |
0,00 |
||
Sig*) |
1,00 |
0,00 |
|
Keterangan : *)
Hasil Uji Wilcoxon,� **) Hasil Uji Mann-Whitney
Tabel 3
Nilai GDP Pasien Kelompok Kontrol dan Intervensi
GDP |
Pasien |
Sig**) |
|||
Kontrol (N=40) |
Intervensi (N =40) |
|
|||
Pre-test |
Post-test |
Pre-test |
Post-test |
|
|
a.
Terkendali baik |
0 |
0 |
0 |
10 |
|
b. Terkendali sedang |
3 |
2 |
1 |
22 |
|
c. Terkendali buruk |
37 |
38 |
39 |
8 |
|
Rata-rata |
181,10 |
180,48 |
157,52 |
115,30 |
|
D Postest �
Pretest� |
0,62 |
|
42,22 |
|
|
Sig*) |
0,627 |
|
0,00 |
|
0,00 |
Keterangan : *) Hasil Uji Wilcoxon,
**) Hasil Uji Mann-Whitney
Tabel 4
Nilai GDPP pasien pada kelompok kontrol dan intervensi
GDPP |
Pasien |
Sig**) |
|||
Kontrol (N=40) |
Intervensi (N =40) |
|
|||
Pre-test |
Post-test |
Pre-test |
Post-test |
|
|
a. Terkendali baik |
4 |
4 |
0 |
11 |
|
b. Terkendali sedang |
4 |
6 |
1 |
7 |
|
c. Terkendali buruk |
32 |
30 |
39 |
22 |
|
Rata-rata |
211,4 |
199,7 |
224,85 |
175,55 |
|
D Postest � Pretest |
11,7 |
49,30 |
0,00 |
||
Sig*) |
0,00 |
0,00 |
|
Keterangan : *) Hasil Uji Wilcoxon,
**) Hasil Uji Mann-Whitney
Tabel� 5
Nilai tingkat kualitas hidup pada pasien DM Type 2
Tingkat Kualitas Hidup |
Non-Prolanis |
Sig**) |
|||
Kontrol (N=40) |
Intervensi (N =40) |
|
|||
Pre-test |
Post-test |
Pre-test |
Post-test |
|
|
a. Baik sekali |
0 |
0 |
0 |
9 |
|
b. Baik |
3 |
7 |
16 |
31 |
|
c. Cukup |
36 |
33 |
24 |
0 |
|
d. Kurang |
1 |
0 |
0 |
0 |
|
Rata-rata |
�
39,95 |
42,45 |
47,30 |
71,33 |
|
DPostest � Pretest |
2,50 |
24,03 |
|
||
Sig*) |
0,255 |
0,00 |
0,00 |
Keterangan : *) Hasil Uji Wilcoxon,
**) Hasil Uji Mann-Whitney
a.
Pengaruh Asuhan
Kefarmasian Terhadap Kepatuhan Minum Obat
Perbedaan kepatuhan minum obat
pasien kelompok kontrol pre-test dan post-test dengan Uji Wilcoxon diperoleh nilai p-value (1,00) >
0,05, sedangkan pada pasien kelompok intervensi pre-test dan post-test
diperoleh
nilai p-value (0,00) < 0,05. Perbedaan tingkat kepatuhan antara pasien kelompok
kontrol dan intervensi diuji dengan Uji Mann Whitney diperoleh nilai p-value (0,00) < 0,05. Berdasar
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, pada pasien kelompok kontrol tidak
ada perubahan tingkat kepatuhan pada saat sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test)
penelitian yaitu pada
tingkat kepatuhan rendah, sedang dan tinggi. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya asuhan
kefarmasian yang diberikan
oleh peneliti.
Pasien kelompok intervensi terdapat perubahan
sebelum (pre-test) dan sesudah
diberikan asuhan kefarmasian (post-test).
Tingkat kepatuhan rendah berkurang sedangkan tingkat kepatuhan sedang dan tinggi
jadi bertambah. Hal ini menunjukkan ada perbedaan signifikan sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test)
diberikan asuhan kefarmasian. Jadi asuhan kefarmasian berpengaruh terhadap
peningkatan kepatuhan minum obat pasien pre-test dan post-test kelompok
intervensi. Perbedaan
pengaruh asuhan kefarmasian terhadap kepatuhan minum obat pasien DM tipe 2
antara kelompok kontrol dengan intervensi terdapat perbedaan
yang signifikan. Hal ini
menunjukkan asuhan kefarmasian berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat kelompok
intervensi.
Hasil ini sesuai dengan penelitian di Puskesmas
Srandakan Bantul bahwa terdapat�
perbedaan signifikan antara kepatuhan pasien dalam penggunaan obat
sebelum dan setelah pelaksanaan home care
pada pasien DM tipe 2� dengan komplikasi
hipertensi (Setiawan, 2019). Demikian pula sejalan dengan penelitian di
Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur yang
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah intervensi
farmasi pada kepatuhan minum obat pasien DM tipe 2 .
Sejalan pula dengan hasil penelitian di Puskesmas
Bambanglipuro dan Puskesmas Pundong bahwa terdapat pengaruh pemberian konseling
farmasi terhadap tingkat kepatuhan penggunaan obat serta hasil terapi pasien DM
tipe 2 di puskesmas dan terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan dan hasil
terapi (Husna, Sari, &
Halim, 2017). Hasil penelitian di Rumah Sakit Mayapada Tanggerang
menyatakan bahwa� pemberian booklet dapat meningkatkan pengetahuan
dan kepatuhan minum obat pada pasien DM Tipe 2 (Husna et al., 2017). Pemberian booklet
sebagai alat edukasi pada pasien DM tipe 2 sangat efektif dapat meningkatkan
pengetahuan dan kepatuhan pasien�
menjalankan pengobatan. Diperkuat pula dengan intevensi farmasis dalam bentuk home
pharmacy care. Konseling dalam home
pharmacycare dapat meningkatkan kepatuhan pasien diabetes melitus (Husna et al., 2017).
b.
Pengaruh Asuhan
Kefarmasian terhadap kadar GDP
Hasil Uji Wilcoxon perbedaan� kadar GDP
pasien kelompok kontrol pre-test dan post-test diperoleh nilai p-value (0,627) >
0,05, sedangkan pada pasien kelompok intervensi pre-test dan post-test diperoleh
nilai� p-value
(0,00) < 0,05.
Perbedaan kadar GDP antara pasien kelompok kontrol dan intervensi diuji dengan Uji Mann Whitney diperoleh nilai p-value (0,00) <0,05. Hasil penelitian terhadap kadar GDP
pasien DM type 2 kelompok kontrol sebelum (pre-test)
ataupun sesudah (post-test)
penelitian tidak ada perubahan yang lebih baik. Hal menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara sebelum
tes (pre-test) dan sesudah tes (post-test). Pada pasien kelompok intervensi terdapat perubahan
yang lebih baik sebelum (pre-test)
dan sesudah� diberikan asuhan kefarmasian
(post-test). Pasien dengan nilai GDP
terkendali buruk menjadi berkurang dan pasien dengan nilai� GDP terkendali sedang dan tinggi menjadi
bertambah. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan lebih baik
antara sebelum (pre-test) dan sesudah
asuhan kefarmasian (post-test).
Adanya perbedaan yang signifikan kadar GDP pasien kelompok kontrol dengan intervensi
menunjukkan bahwa asuhan kefarmasian dapat meningkatkan keterkendalian kadar
GDP pasien kelompok intervensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
di Puskesmas Pundong Kabupaten Bantul yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh
konseling farmasi terhadap tingkat kepatuhan minum obat dan hasil terapi pasien
DM tipe 2 di puskesmas (Husna N. dkk, 2017). Penelitian yang dilakukan di
Puskesmas Kramat Jati Jakarta juga menyebutkan ada perbedaan yang bermakna
sebelum dan sesudah intervensi farmasi terhadap pengetahuan, kepatuhan dan
kadar GDP dan GDPP (Voni N., 2015).
c.
Pengaruh Asuhan
Kefarmasian terhadap kadar GDPP
Uji Wilcoxon yang digunakan untuk mengetahui hubungan� kadar GDPP kelompok kontrol pre-test dan post-test diperoleh nilai
p-value (0,00) <0,05, dan pada pasien kelompok intervensi pre-test dan post-test
diperoleh
nilai� p-value (0,00) < 0,05. Untuk mengetahui
perbedaan kadar GDPP antara pasien kelompok kontrol dan intervensi diuji dengan
Uji Mann Whitney diperoleh nilai p-value (0,00) < 0,05. Berdasarkan
data hasil GDPP pasien kelompok kontrol dan intervensi menunjukkan pasien� kelompok kontrol sebelum (pre-test) ataupun sesudah (post-test) terdapat peningkatan nilai GDPP kategori terkendali sedang. Hal ini menunjukkan peningkatan signifikan pada keterkendalian nilai
GDPP antara sebelum (pre-test) dan
sesudah (post-test). Pasien kelompok intervensi ada peningkatan
keterkendalian nilai GDPP sebelum (pre-test)
dan sesudah� diberikan asuhan kefarmasian
(post-test). Pasien dengan nilai GDPP
terkendali buruk menjadi berkurang dan pasien dengan nilai GDPP terkendali sedang dan tinggi menjadi bertambah. Terdapat peningkatan yang signifikan pada keterkendalian nilai GDPP antara
sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test). Hal ini menunjukkan ada pengaruh asuhan kefarmasian
terhadap keterkendalian nilai GDPP pada kelompok kontrol dan intervensi
sebelum (pre-test)
dan sesudah (post-test). Perbedaan
GDPP kelompok kontrol dengan kelompok intervensi terdapat perbedaan
yang signifikan Hal ini
menunjukkan asuhan kefarmasian berpengaruh pada peningkatan keterkendalian
nilai GDPP pada pasien kelompok intervensi.
d.
Pengaruh Asuhan
Kefarmasian terhadap Kualitas Hidup
Selanjutnya
diperoleh hasil Uji Wilcoxon
hubungan� antara kualitas hidup pasien kelompok kontrol pre-test dan post-test dengan nilai �p-value (0,255) >
0,05, sedangkan pada pasien kelompok intervensi pre-test dan post-test
diperolehnilai� p-value (0,00) <
0,05.Perbedaan kualitas hidup antara
pasien kelompok kontrol dan intervensi diuji dengan Uji Mann Whitney diperoleh nilai p-value (0,00) < 0,05. Pasien kelompok kontrol sebelum (pre-test)
dan setelah (post-test) tidak ada
perubahan yang berarti pada tingkat kualitas hidup. Hal ini
menunjukkan tidak
ada perbedaan yang signifikan sebelum (pre-test)
dan sesudah (post-test). Pada pasien kelompok intervensi menunjukkan peningkatan tingkat kualitas hidup sebelum (pre-test) dan sesudah asuhan kefarmasian
(post-test). Peningkatan kualitas
hidup dari cukup menjadi tingkat kualitas hidup baik dan baik sekali. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan kualitas hidup
yang signifikan sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test) kelompok
intervensi. Perbedaan
kualitas hidup antara pasien kelompok kontrol dan kelompok intervensi, terdapat
pengaruh signifikan asuhan kefarmasian dalam meningkatkan kualitas hidup pasien kelompok
intervensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian di Puskesmas
Gedong Tengen bahwa konseling farmasi yang dilakukan oleh farmasis menunjukkan
hasil yang signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes melitus
tipe 2 (Septiar &
Utami, 2015). Sesuai pula dengan hasil penelitian di Turki yang menyimpulkan bahwa apoteker merupakan
komponen� kunci dalam pelayanan yang
terintegrasi bagi pasien DM. Hasil yang baik dari penelitian ini merupakan
motivasi bagi apoteker komunitas untuk melakukan pharmaceutical care bagi penderita diabetes (Turnacilar, Sancar,
Apikoglu-Rabus, Hursitoglu, & Izzettin, 2009).
Kesimpulan
��������� Asuhan kefarmasian
berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kepatuhan minum obat, keterkendalian
glukosa darah (GDP, GDPP)
dan kualitas hidup sebelum (pre-test)
dan sesudah (post-test)
pada kelompok intervensi. Asuhan kefarmasian
berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kepatuhan minum
obat, keterkendalian
kadar glukosa darah (GDP,
GDPP)
dan kualitas hidup antara pasien kelompok intervensi. Asuhan kefarmasian yang dilakukan peneliti kepada
kelompok intervensi mencakup monitoring kepatuhan minum obat dan kadar GDP,
GDPP.�
BIBLIOGRAFI
Depkes, R. I. (2005). Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di
Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Dinca-Panaitescu, Mihaela, Dinca-Panaitescu, Serban, Raphael,
Dennis, Bryant, Toba, Pilkington, Beryl, & Daiski, Isolde. (2012). The
dynamics of the relationship between diabetes incidence and low income:
Longitudinal results from Canada�s National Population Health Survey. Maturitas,
72(3), 229�235.
Funakoshi, Mitsuhiko, Azami, Yasushi, Matsumoto, Hisashi,
Ikota, Akemi, Ito, Koichi, Okimoto, Hisashi, Shimizu, Nobuaki, Tsujimura,
Fumihiro, Fukuda, Hiroshi, & Miyagi, Chozi. (2017). Socioeconomic status and
type 2 diabetes complications among young adult patients in Japan. PloS One,
12(4).
Grant, Janet F., Hicks, Neville, Taylor, Anne W.,
Chittleborough, Catherine R., Phillips, Patrick J., & Team, North West
Adelaide Health Study. (2009). Gender-specific epidemiology of diabetes: a
representative cross-sectional study. International Journal for Equity in
Health, 8(1), 6.
Holt, Paula. (2009). Diabetes in hospital: a practical
approach for healthcare professionals. John Wiley & Sons.
Husna, Nurul, Sari, Sri Adelila, & Halim, Abdul. (2017).
Pengembangan Media Puzzle Materi Pencemaran Lingkungan di SMP Negeri 4 Banda
Aceh. Jurnal Pendidikan Sains Indonesia (Indonesian Journal of Science
Education), 5(1), 66�71.
Kemenkes, R. I. (2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas)
2013. Kemenkes RI. Jakarta.
Kemenkes, R. I. (2015). Profil kesehatan Indonesia tahun
2014. Jakarta: Kemenkes RI.
Mongisidi, Gabby. (2014). Hubungan Antara Status
Sosio-Ekonomi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Interna Blu
Rsup Prof. Dr. RD Kandou Manado. Jurnal Ilmiah (Online)(Http://Fkm. Unsrat.
Ac. Id/Wp-Content/Uploads/2015/02/Januari-Gabby-Mongisidi. Pdf, Diakses Pada
Tanggal 29 Januari 2018).
Organization, World Health. (1997). Measuring quality of
life: The World Health Organization quality of life instruments (the WHOQOL-100
and the WHOQOL-BREF). WHOQOL-Measuring Quality of Life.
Organization, World Health. (2006). Definition and
diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycaemia: report of a
WHO/IDF consultation.
Permenkes, R. I. (2016). No. 6 Tahun 2016 tentang Formularium
Obat Herbal Asli Indonesia. Jakarta: Biro Hukum Dan Organisasi Kementrian
Kesehatan RI, 6�225.
Septiar, Handaka Ekaningputra, & Utami, Pinasti. (2015).
Pengaruh Konseling Farmasis Terhadap Kualitas Hidup Dan Kadar Gula Darah Pada
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Puskesmas Gedong Tengen Periode Maret-Mei
2014. Jurnal Farmasi Sains Dan Praktis, 1(1), 29�34.
Setiawan, Adib Rifqi. (2019). Efektivitas pembelajaran
biologi berorientasi literasi saintifik. Thabiea: Journal of Natural Science
Teaching, 2(2), 83�94.
Subandi, Endang. (2017). Pengaruh Senam Diabetes Perhadap
Penurunan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Upt Puskesmas Mundu
Kabupaten Cirebon Tahun 2017. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(7),
53�68.
Turnacilar, Mertkan, Sancar, Mesut, Apikoglu-Rabus, Sule,
Hursitoglu, Mehmet, & Izzettin, Fikret Vehbi. (2009). Improvement of
diabetes indices of care by a short pharmaceutical care program. Pharmacy
World & Science, 31(6), 689.
Ware Jr, John E., & Sherbourne, Cathy Donald. (1992). The
MOS 36-item short-form health survey (SF-36): I. Conceptual framework and item
selection. Medical Care, 473�483.
Wicaksono, Radio Putro. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 (Studi Kasus di Poliklinik Penyakit
Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi. Faculty of Medicine.