� Syntax Literate :
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��e-ISSN : 2548-1398
��Vol. 5,
No. 6, Juni 2020
�
PENDIDKAN NILAI
DALAM BUDAYA SUMANG ETNIK GAYO
Evanirosa
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Takengon Aceh
Email: [email protected]
Abstract
Sumang is an unyielding culture in the
Gayo ethnic community that is almost extinct in the interior of the Aceh
province of Indonesia, forbidden because all acts of sumang are considered to
be contrary to the teachings of Islam and customs. Sumang as intended is
related to manners or is more inclined towards morality. Courtesy that is held
in high esteem by the community binds all components of society, this is used as
the norm that regulates how each individual must maintain how to behave and act
among each other, both between men and women and the young to the older who
must maintain the limits of decency, sitting ethics, ethics of speech, ethics
of running and ethics see everything that is regulated in such a way that
refers to shari'ah and adat. The research method uses a qualitative
ethnographic approach, by exploring traditional leaders, Gayo tribal community
leaders, and community members. This data collection uses observations,
dialectics, ethnographic interviews, and ethnographers documentation. Whereas
data analysis uses domain analysis, taxonomic analysis, component analysis, and
the presentation of ethnographic conclusions. As a result of the research, the
actualization of the values of Islamic education in the culture
of Sumang in the Gayo tribe community is contained in four pillars namely,
Sumang Peceraken (taboo of words), Sumang Kenunulen (Taboo sitting), Sumang
Pelangkahan (Taboo of Travel), and Sumang Penengonen (Taboo of sight) ). Of the
four Sumang pillars, they include Intrinsic and Instrumental values, namely
integration of shari'ah and adat values, in the form of Faith values, Worship
values, and moral values that are in synergy with Gayo traditional
values, namely mukemel, orderly, trustful, setie, alangtulung, and
bersekekemelen. The actualization of these values is significant
with the aim of Islamic education and national education in restoring the
character of the Gayo community in particular
Keywords: Value Education,
Sumang Culture, Gayo etnic
Abstrak
Sumang adalah budaya
pantang larang dalam masyarakat etnis Gayo yang hampir punah di pedalaman
provinsi Aceh Indonesia, terlarang karena segala tindakan sumang dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam dan adat istiadat. Sumang sebagaimana yang
dimaksud berkaitan dengan budi pekerti atau lebih cenderung pada Akhlak. Sopan
santun yang dijunjung tinggi masyarakat mengikat seluruh komponen masyarakat,
ini dijadikan norma yang mengatur bangaimana setiap individu harus menjaga
bagaimana bersikap dan bertindak antar sesama, baik antara laki-laki dan
perempuan serta yang muda kepada yang lebih tua yang harus menjaga batas
kesopanan, etika duduk, etika berbicara, etika berjalan serta etika melihat segala
sesuatu yang diatur sedemikian rupa yang mengacu kepada syari�at dan adat.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif etnografi, dengan menggali
tokoh adat, tokoh masyarakat suku Gayo, dan anggota masyarakatnya. Pengumpulan
data ini menggunakan pengamatan, dialektika, wawancara etnografis, dan
dokumentasi etnografer. Sedangkan analisis data menggunakan analisis domain,
analisis taksonomik, analisis komponen, dan penyajian kesimpulan etnografi.
Sebagai hasil penelitian, aktualisasi nilai-nilai pendidikan Islam dalam budaya
sumang pada Masyarakat suku Gayo terkandung dalam
empat pilar yaitu, Sumang Peceraken
(tabu perkataan), Sumang Kenunulen
(Tabu duduk), Sumang Pelangkahan
(Tabu Perjalanan), dan Sumang Penengonen
(Tabu penglihatan). Dari keempat pilar Sumang
tersebut mencakup nilai Instrinsik dan Instrumental, yakni integrasi
nilai-nilai syari�at dan adat, berupa nilai Keimanan, nilai Ibadah, dan nilai
akhlak yang bersinergis dengan nilai-nilai adat Gayo, yaitu mukemel, tertib, amanah, setie, alangtulung,
dan bersikekemelen. Aktualisasi dari nilai-nilai tersebut signifikan
dengan tujuan pendidikan Islam dan pendidikan nasional dalam merestorasi
karakter masyarakat Gayo pada khususnya
Kata kunci: Pendidikan
Nilai, Budaya Sumang, Etnis Gayo
Pendahulan
��� Indonesia
merupakan negara kepulauan yang membentang luas dari sabang sampai
meuroke, dengan
beragam suku bangsa, budaya dan agama yang tersebar di seluruh tanah
air.
Seperti suku Aceh, Gayo, Jawa, sunda, betawi, dan lain-lainnya. Keanekaragaman
masing-masing suku bangsa tersebut memiliki budaya lokal yang berbeda-beda dan
keunikan tersendiri baik dari segi bahasa daerah, adat istiadat, kebiasaan, dan
berbagai hal lain yang memperkaya negara ini.
Budaya adalah kebiasaan meliputi kegiatan keagamaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam lingkup wilayah tertentu (Juwintan, 2017). Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Era globalisasi dengan segala implikasinya menjadi salah satu pemicu cepatnya perubahan yang terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, perkembangan kontemporer yang mempunyai pengaruh dalam mendorong berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia yang berlangsung. Pengaruh globalisasi dapat menjadikan dunia semakin terbuka dan saling bergantung satu sama lainnya. Globalisasi akan membawa perspektif baru bagi dunia tanpa batas yang saat ini diterima sebagai realita masa depan yang akan mempengaruhi perkembangan budaya dan membawa perubahan baru. Maka jelaslah dalam globalisasi muncul pergeseran sebagai akibat pengaruh globalisasi yang mambawa perubahan besar dari semua sektor kehidupan, dan bila tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk mengantisipasinya maka hal tersebut akan menjadi masalah yang sangat serius dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu permasalahan tersebut adalah dalam aspek pendidikan nasional Indonesia.
Pendidikan Nasional kita masih menghadapi
berbagai macam persoalan. Salah satu permasalahan tersebut adalah krisis
akhlak, nilai-nilai pendidikan yang belum teraktualisasikan dalam kehidupan,
nilai moral yang memprihatinkan. Moral generasi hari ini senantiasa menjadi
topik hangat pembicaraan, pembahasan�
masyarakat di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional,
maupun internasional di berbagai kesempatan.
Maraknya sikap
ketidaksopanan antara yang muda terhadap yang tua semakin merambah sehingga
mensiratkan minimnya etika. Tingkah laku tersebut bukan hanya dilakukan
individu di lingkungan keluarga, namun pada seluruh aspek lingkungan
pendidikan bahkan masyarakat (Zulkarnain dkk, n.d.)
Dewasa ini masalah moral yang terjadi jauh
lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan dengan masalah-masalah moral yang
terjadi pada masa-masa sebelumnya. Rusaknya perilaku moral generasi pada masa
ini dipengaruhi oleh pergaulan yang tidak mengenal arah yang mencerminkan
buruknya pendidikan karakter. Nilai-nilai moral kemanusiaan disisihkan dalam
pergaulan kehidupan sehari-hari. Tidak mengherankan, jika kenakalan
anak/remaja, pergaulan bebas, pemerkosaan, dan solidaritas, hilangnya budaya
sopan santun dan rasa hormat, makin marak terjadi. Di luar sekolah, banyak anak
usia sekolah terlibat kasus kekerasan, kerusuhan, tawuran antar-pelajar,
kriminalitas dan aksi-aksi anarkis lainnya, dalam dunia pendidikan.
Moralitas bangsa
Indonesia muncul sebelum terbentuknya Negara Kesatuan yang tercermin dalam
tradisi yang arif yang dianut hingga sekarang. Nilai arif tersebut menjadi
landasan dalam berperilaku antar individu, kelompok maupun masyarakat sehingga
ideologi bangsa dapat termanifestasikan hingga tercipta persatuan dan kesatuan
dalam bingkai kedamaian. Nilai merupakan kualitas yang menjadikan hal itu dapat
disukai, diinginkan, berguna dan dihargai sehingga dapat menjadi semacam objek
bagi kepentingan tertentu. Suatu nilai memberikan makna dalam hidup yang
memberikan hidup ini titik tolak, isi dan tujuan (Sjarkawi, 2006). Kebermaknaan nilai dapat
ditransformasikan melalui pendidikan karena merupakan ujung tombak merubah
segalanya sehingga ketidak seriusan dalam memperhatikan dunia pendidikan akan
sulit mendapatkan perubahan yang maksimal.
Pendidikan
merupakan suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental,
moral bagi individu-individu agar menjadi manusia yang berbudaya sehingga
diharapkan mampu memenuhi tugas sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan
semesta alam, sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifah-Nya
di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan
bermanfaat bagi suatu negara (Masnur Muslich, 2011). Tidak sedikit berita yang menggambarkan sikap abnormal
seperti perpecahan antar suku, tindakan yang mengatasnamakan agama namun
merugikan sosial. Tidak memiliki adab, etika, sopan santun dalam berbicara,
berjalan berdua antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, duduk
berduaan di tempat sepi, melihat seseorang dengan tatapan tajam, dan melihat
hal-hal yang berbau pornografi merupakan hal yang biasa.
Kasus tersebut
menjadikan modal utama dalam memudarkan ciri khas bangsa yaitu menjunjung
persatuan dan kesatuan yang termanifestasikan dalam Islam yang rahmatan
lil�alamin. Sehingga identitas bangsa yang terkenal toleran, ramah, cinta
damai, menjunjung persatuan dan kesatuan serta persaudaraan beralih sebaliknya.
Dengan realita yang termaktub, Negeri ini sebaiknya segera melakukan tindakan
preventif karena akan terus melahirkan generasi yang amoral dengan cara
mengangkat dan melestarikan nilai lokalitas. Kearifan lokal bagi setiap daerah
memiliki ciri khas tersendiri bagi masyarakat. Ciri khas terkait norma
masyarakat dapat dijadikan sebagai pedoman jawaban atas dinamika hidup yang
semakin menyimpang. Untuk menghindari dari sikap amoral yang menjadi larangan
bagi hukum adat dan hukum Islam, setiap daerah mempunyai kebijakan masing-masing.
Sebagaimana masyarakat Gayo, dalam mendidik
generasi bangsa menjadi manusia yang berakhlak mulia memberi batasan atau
aturan dalam bertindak, memberi larangan supaya dihindari.
Gambar 1: Skema
prilaku sosial masyarakat Gayo
Masyarakat Gayo menegakkan aturan
atau norma masyarakat yang dikenal dengan istilah sumang yaitu suatu
model atau bentuk pendidikan dalam masyarakat yang melarang melakukan tindakan
yang menyimpang dari tata krama yang berlaku. dalam makna hakiki, sumang
merupakan salah satu bentuk dan sistem pendidikan yang berakar dalam budaya
masyarakat Gayo, disamping dianggap sebagai pola dasar dan landasan hidup (basic
of life) baik, dalam pergaulan hidup bersama, sistem kekerabatan, adat
pergaulan, sosial kemasyarakatan, maupun sistem budaya (cultural system)
pendidikan sumang itu pada dasarnya bermuatan pengetahuan, keyakinan,
nilai-nilai, aturan, hukum yang menjadi acuan bagi tingkah laku dalam kehidupan
suatu masyarakat (M. Junus Melalatoa,
1997). terutama bagi para generasi muda,
mahasiswa, terlebih lagi bagi para pelajar atau siswa dan siswi yang jiwanya
masih tergolong labil. Di sini Pendidikan Sumang merupakan suatu proses
pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam
Sumang menjadi kontrol perilaku
masyarakat dalam berinteraksi sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun
lingkungan sosial, menjadi kontrol kelompok maupun individu dalam membentuk
manusia yang beradab, dari masyarakat bangun dari tidurnya hingga tidur
kembali. Budaya menjadi kontrol perilaku di dalam keluarga, bagaimana anak
berperilaku baik terhadap orang tua, yang kecil kepada yang besar atau
sebaliknya, dan perilaku terhadap satu keluarga kepada keluarga lainnya. Sumang
merupakan salah satu jalan untuk menjaga lingkungan sosial masyarakat menjadi
masyarakat beradab dan bernilai Islami tidak terlepas dari ajaran-ajaran agama.
Metode
Penelitian
� Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Studi etnografi
(ethnographic studies) mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok
sosial atau sistem. Etnografi adalah pendekatan empiris dan teoretis yang
bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan
berdasarkan penelitian lapangan yang intensif. Etnograf bertugas membuat
pelukisan mendalam yang menggambarkan �kejamakan struktur-struktur konseptual
yang kompleks�, termasuk asumsi-asumsi yang tidak terucap dan yang dianggap
sebagai kewajaran mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan
perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan
proses-proses sosial yang lebih luas.
Gambar 2: siklus etnografis Research
Kajian
budaya etnografis memusatkan diri pada penelitian kualitatif tentang nilai dan
makna dalam konteks �keseluruhan cara hidup�, yaitu dengan persoalan
kebudayaan, dunia kehidupan dan identitas. Dalam kajian budaya yang
berorientasi media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode
kualitatif, termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok
diskusi terarah.
Penelitian ini dilaksanakan pada
masyarakat Gayo yang berada di Kabupaten Aceh Tengah dan Gayo Lues, pemilihan
lokasi penelitian ini didasarkan pertimbangan bahwa, permasalahan tentang
aktualisasi nilai budaya sumang� pada
masyarakat Gayo penting untuk� diteliti
dalam rangka memperoleh informasi yang tepat dan menyeluruh tentang penerapan sumang �di kedua wilayah ini. Peneliti merupakan
instrumen utama dalam penelitian ini sesuai dengan akhlak penelitian kualitatif
itu sendiri. Peneliti sendiri yang akan terjun langsung ke site penelitian
selaku �tangan pertama�. Peneliti memainkan peranan penting sebagai instrument
kreatif. Di samping itu, peneliti melacak informasi deskriptif, sekaligus
melakukan refleksi dan secara simultan pula yang merakit dengan sejumlah fakta
dan informasi ke tingkat konsep atau teori. Sebelum terjun kelapangan peneliti
akan melakukan latihan pribadi (pers-training), khususnya untuk menguasai
peranan selaku instrumen penelitian, terutama tentang teknik pengumpulan dan
analisis data di tahap eksplorasi menyeluruh dan di tahap eksplorasi terfokus.
Hasil dan Pembahasan
Suku
Gayo adalah salah satu suku bangsa yang berada di Provinsi Aceh yang berdiam di
Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya. Suku ini adalah
suku asli yang hampir punah di pedalamam Aceh, di daerah asal kediaman orang Gayo ini dikenal dengan nama
Dataran Tinggi Gayo dan orang Gayo sendiri menyebutnya dengan istilah Tanoh Gayo, yang artinya Tanah Gayo, karena sebagian besar
penduduknya adalah orang Gayo. Suku Gayo menyebut diri mereka sebagai urang Gayo, dari segi kebudayaan suku
Gayo memang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan suku Aceh pada umumnya. Hal
ini terlihat dari adat istiadat, bahasa, maupun seni yang ada, terlihat jelas
bahwa memang ada perbedaan dengan suku Aceh. Namun demikian, ajaran Islam yang
masuk dan tersebar keseluruh Aceh menjadikan suku tersebut saling hidup
berdampingan serta menjadikan kebudayaan sedikit banyaknya memiliki kesamaan
karena tetap memuat unsur ajaran Islam dan menjalin persaudaraan. Bagi suku Gayo, agama Islam dengan
segala kaidahnya merupakan acuan utama perilaku mereka yang bergandeng dengan
norma adat yang ada.
Masyarakat Gayo menegakkan aturan
atau norma masyarakat berupa perintah dan larangan adat. Salah satu larangan
adat yang dikenal dengan istilah Sumang yaitu
suatu model atau bentuk pendidikan dalam masyarakat yang melarang melakukan
tindakan yang menyimpang dari tata karma yang berlaku. Sumang tersebut ada
empat Sumang� �Dalam makna hakiki, Sumang merupakan salah satu bentuk dan system pendidikan yang
berakar dalam budaya masyarakat Gayo, di samping dianggap sebagai pola dasar
dan landasan hidup (basic of life)
baik, dalam pergaulan hidup bersama, sistem kekerabatan, adat pergaulan, sosial
kemasyarakatan, maupun sistem budaya (cultural
system) pendidikan Sumang pada
dasarnya bermuatan pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, aturan, hukum yang
menjadi acuan bagi tingkah laku dalam kehidupan suatu masyarakat.
Gambar 3: skema Norma adat gayo
Budaya Sumang juga menyangkut kepada norma-norma prilaku yang tidak
baik, atau prilaku yang tidak menunjang sopan santun, Sumang juga mengandung arti sumbang yang berarti hal-hal yang amat
dilarang atau tidak sopan. Lebih dari itu� Sumang
sendiri memberikan makna perbuatan atau tindakan yang menyimpang dari
kebiasaan� tatakrama yang berlaku di
masyarakat gayo. Perbuatan dan tindakan ini tergolong tidak terpuji karena
meresahkan masyarakat dan lingkunannya.
����������� Selain itu Sumang
merupakan sebutan untuk adat atau norma adat masyarakat pada suku Gayo. Karena
disebut norma adat, maka Sumang
sendiri bukan benda abstrak. Walaupun bukan benda abstrak akan tetapi jika
diberikan subjek maka akan muncul nilai-nilai yang tidak lepas dari penilaian
manusia. Sumang juga merupakan wujud
konkret berupa pesan atau seruan yang mengatur dan mengukur aspek-aspek
tertentu dalam hidup bermasyarakat. Sehingga Sumang dikatakan aturan yang berguna untuk menuntun sikap dan
perilaku pada masyarakat Gayo itu sendiri.
Dalam
Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo
menyebutkan bahwa Sumang adalah suatu
perbuatan amoral yang dilakukan oleh sorang perempuan dan laki-laki yang telah
dewasa yang merupakan perbuatan yang dilarang dalam adat Gayo. Oleh karena itu,
adat Sumang sendiri mengatur tentang
tata pergaulan masyarakat dalam berinteraksi dalam pergaulan. Pergaulan yang
dimaksud adalah peraturan yang berbentuk larangan dalam pergaulan antara
laki-laki dan perempuan baik muda mudi maupun dewasa yang bukan muhrimnya, Sumang memang melekat dan terikat dengan
nilai dan norma, jika keduanya ada maka akan muncul juga kata moral dan etika. Sumang mengatur individu seseorang untuk
menjadi pribadi yang tertib, mukemel, dan saling bersikemelen. Sedangkan norma,
yang mana dalam kehidupan masyarakat Gayo juga dijadikan sebagai hukum yang
mengatur tentang kesopanan/etika, dan norma moral. Dengan demikian bias
dikatakan bahwa Sumang merupakan
aturan adat atau norma yang berlaku dalam masyarakat Gayo dengan tujuan untuk
mengatur tata cara bergaul seperti tatakrama, kesopanan/etika, dan perbuatan
yang tidak terpuji dalam kehidupan sehari-hari pada suku Gayo.
1. Sejarah
Sumang
Sumang adalah adat berupa aturan yang dibuat oleh masyarakat
Gayo. Berbicara mengenai asal usul kapan Sumang
dibuat tidak ada yang mampu menjawab secara pasti. Sejauh ini tidak ada satupun
catatan sejarah mampu menjelaskan secara jelas tentang asal usul Sumang, adat Sumang sendiri telah tumbuh berkembang menjadi norma adat yang
dipatuhi oleh masyarakat Gayo. Selama ini, mengenai asal usul Sumang biasanya hanya cerita lisan
(riwayat verbal) yang berkembang dalam masyarakat Gayo berupa kekeberen (cerita) yang diturunkan dari
generasi kegenerasi berikutnya.
Dalam cerita masyarakat Gayo ada dua versi yang
menyebutkan lahirnya Sumang dalam
masyarakat Gayo. Pertama, ada yang berpendapat bahwa Sumang sudah ada sejak nenek moyang bangsa suku Gayo bermukim di
Dataran Tinggi Gayo. Merujuk dari pendapatnya Wiradnyana dan Setiawan, �bahwa
sejak zaman prasejarah orang Gayo sudah memiliki etika yang digambarkan dalam
bentuk perlakuan terhadap orang yang memiliki struktur yang tinggi di
kelompoknya dan juga berdasarkan umur maka akan diberlakukan secara khusus
ketika orang itu meninggal. Lebih dari itu bahwa masyarakat pada saat itu sudah
bisa membedakan antara manusia dengan hewan, maka terlihat disini aspek
penghormatan yang tercermin dari aspek etika. Selanjutnya etika inilah
dijadikan sebuah nilai yang disepakati dan dijalankan menjadi sebuah bentuk
budaya Sumang�. Namun demikian, perlu
ditekankan bahwa pada saat itu kemungkinan besar Sumang masih berlaku pada masing-masing kelompok dan masih dalam
bentuk yang sederhana dalam artian belum semua aturan masuk dalam pembagian Sumang seperti saat sekarang ini. Etika yang
terbentuk pada saat itu selanjutnya menjadi rujukan orientasi pada moralitas
masyarakat. Secara konseptual pada saat itu Sumang
lebih menekankan pada penghormatan saja belum pada pergaulan, menginat masa itu
ajaran kesopanan pengaruh agama belum masuk dan yang masih ada hanya
berdasarkan kepercayaan.
Sebelum masuk Islam atau pengaruh luar, masyarakat
Gayo terus berbenah dengan segala budaya dan adat istiadatnya. Masyarakat Gayo
telah merumuskan prinsip-prinsip adat yang disebut kemalun ni edet. Prinsip adat ini menyangkut harga diri (malu) yang
harus dijaga, diamalkan, dan dipertahankan oleh kelompok kerabat tertentu,
kelompok satu rumah (sara umah), dan
klen (belah). Keseluruhan anggota
kelompok ini disebut satu kesatuan harga diri (sara kekemelen) adat ini selanjutnya akan mempengaruhi tindakan
anggota kelompok dalam mempertahankan prinsip-prinsip yang tadi Karena pada
saat itu masih hidup berkelompok, biasanya adat Sumang diatur dan dipegang oleh kepala adat. Karena bersifat
normatif dan tidak tertulis maka Sumang
biasanya disampaikan secara lisan oleh pemangku adat. Kepatuhan masyarakat
kepada pemimpin atau pemangku adat menjadikan adat Sumang harus dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa ada
batasan sosial. Kepatuhan terhadap aturan yang bersifat normatif tersebut terus
menerus diamalkan dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari menjadikan Sumang menjadi tradisi dan hukum.
Sedangkan ranah yang masuk dalam adat Sumang
adalah hal yang dianggap gere jeroh (tidak baik), gere mampat (tidak bagus),
dan jes (tidak sopan).
Sedangkan pendapat yang kedua, ada yang berpendapat bahwa Sumang ada sejak masyarakat Gayo ada. Pendapat ini lebih menekankan
pada masa Kerajaan Linge dan Kerajaan Isaq yang diyakini sebagai awal
terbentuknya Sumang. Tanoh Gayo terdapat empat kerajaan utama
yang merupakan daerah asal dari orang- orang Gayo. Kerajaan itu antara lain:
Syiah Utama berpusat di Nosar, Linge berpusat di Isaq, Cik berpusat di Bebesen,
dan Bukit berpusat di Kebayakan�. Dalam masyarakat Gayo sendiri mempercayai
bahwa kerajaan yang tertua adalah Kerajaan Linge yang berpusat di Isaq. Atas
dasar inilah masyarakat Gayo meyakini bahwa asal usul Sumang bermula dari kerajaan tersebut. Pada masa Kerajaan Linge I,
sistem belah (klen) sudah ada sehingga setiap kampung sudah ada pembagian klen.
Di mana menurut Melalatoa �belah berada di bawah satu kesatuan pimpinan yang
tediri dari Reje, Petue, Imem, dan rakyat, keempatnya dalam masyarakat Gayo
disebut Sarak Opat. Kepemimpinan Sarak Opat ini lebih banyak mengikuti norma-
norma adat setempat dan norma agama.� Dalam masyarakat Gayo kepemimpinan Sarak
Opat disimbulkan pada sebuah motif pada kerawang Gayo.
Perlu disadari bahwa sejak Islam masuk ke Aceh, rakyat
Gayo seluruhnya juga mendapat pengaruh Islam. Secara umum, sejak masuknya Islam
menjadikan kebudayaan Gayo juga bernafaskan Islam. Karena pada saat itu,
hubungan antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Linge maupun lainnya sangat rapat
dikarenakan pengaruh Islam yang sangat kuat menjadikan tali persaudaraan juga
selalu terjaga. Pada saat itu, reje dijadikan sebagai pemegang edet (adat) di
dalam masing-masing wilayah yang dipimpinnya. Dalam kepemimpinanya reje
menggunakan sistem sedere dalam artian dalam setiap kebijakan yang dibuat harus
berdasarkan mupakat (musyawarah). Saat ini pula Sumang diyakini telah dibentuk dan mulai dijalankan. Konon adat Sumang disusun
dan dibuat dengan cara musyawarahkan
terlebih dahulu yang melibatkan
Sarak Opat. Hukum adat yang disusun
dan dibentuk pada dasarnya bukan hukum
adat yang tertulis melainkan hukum adat
normatif.
Sistem
musyawarah tersebut juga dijadikan
sebagai falsafah masyarakat Gayo
hingga saat ini. Dimana adat istiadat sebagai unsur kebudayaan Gayo dengan menganut prinsip keramat
mupakat behu berdedele
yang artinya kemuliaan karena mufakat,
berani karena bersama. Masuknya agama Islam kedataran tinggi Gayo membuat
masyarakat Gayo
mengadaptasi ajaran Islam kedalam istiadat
mereka. Adat istiadat yang telah diadaptasi
tersebut selanjutnya disebut hukum
adat yang berlandaskan syariat atau adat
mutamainah, hukum adat seperti Sumang
diperkirakan sudah ada pada abad ke
13 Hijriah. Sejak itupula keterjalinan antara agama dan adat terekam
jelas yang melekat menjadi
ungkapan �edet peger ni agama� yang berarti adat
masyarakat Gayo pelindung
Islam. Adat yang telah ada benar-benar dihayati oleh masyarakat Gayo, inipula menjadi dasar prinsip
orang Gayo harus berani
berkorban meskipun dengan darah dan
nyawa demi tegaknya harga diri. Hal ini
tercermin melalui ungkapan adat �ike kemel mate�
yang berarti jika malu lebih baik
mati.
Selanjutnya
masa kerajaan Linge ini
dilakukan menetapan 45 Pasal Adat Negeri
Linge. Dalam menetapkan ke 45 Pasal
tersebut disusun secara bersama yang melibatkan
pimpinan agama dan para pemuka
adat setempat. Keempat puluh lima
pasal tersebut selanjutnya dijadikan dokumen
awal penulisan hukum adat Gayo yang
mana pada tahun 1940 kemudian dikokohkan
oleh residen Aceh. Disebutkan bahwa dalam
Pasal Adat Negeri Linge tersebut, dimana
dalam sebuah pasal menjelaskan tentang
adat Sumang. Alasan inilah yang menyebabkan adat Sumang dikatakan telah ada sejak masyarakat Gayo
bermukim di Dataran
Tinggi Gayo.
Gambar 4:
skema fasal sumang
2. Macam-macam
Sumang pada suku Gayo
Sumang
merupakan budaya penatang larang dalam pergaulan masyarakat gayo merupakan
integrasi adat gayo dan ajaran syri�at Islam dalam perihal pengaturan akhlak.
Dalam pasal 5 peraturen reje Linge, terdapat empat hal mengenai sumang.
a.
Sumang Peceraken
Dalam
adat Gayo ada larangan dalam
berbicara atau berkata yang memang dianggap
tidak pantas. Perkataan yang biasanya
dilarang meliputi ucapan yang dianggap
tabu dan porno bahkan nakal. Untuk
mengatur tata cara berbicara dan berkata
tersebut maka ada aturan yang disebut
Sumang Peceraken yang jika diartikan
kedalam bahasa Indonesia adalah aturan
dalam berbicara (pembicaraan).
Sumang
Peceraken juga sering diterjemahkan oleh
masyarakat Gayo sendiri
sebagai aturan dimana setiap ucapan
yang dipandang tidak pada tempatnya.
Selain itu, Sumang ini mengatur bagaimana tata cara
berbicara antara yang muda
dengan yang tua, seorang anak dengan
orang tuanya, murid dengan gurunya,
yang sebaya dengan yang sebaya. Biasanya
jika anak muda berbicara dengan orang
lebih tua atau bahkan sudah tua maka
diharuskan berbicara dengan bertutur.
Menurut Melalatoa tutur sendiri merupakan sistem panggilan atau bentuk sapaan yang
ada dalam masyarakat
Gayo. Selain itu, tutur juga dapat
didefinisikan sebagai sistem atau istilah
dalam kekerabatan suku Gayo.
Aturan
ini juga sebenarnya tidak saja
mengatur larangan dalam berbicara. Lebih
dari itu, Sumang ini juga mengatur� bagaimana
tata cara seseorang berakhlak yang
mana biasanya tidak lepas dari ucapan
yang mencerminkan seseorang tidak
memiliki akhlakul karimah. Dalam artian,
Sumang ini jelas mengatur pergaulan seseorang dalam
berbicara dan harus
tau tata cara, adab, kesopanan dan etika
agar tidak dikatakan jis-jis sen
(tidak memiliki
rasa hormat terhadap orang lain).
Sehingga
terlihat jelas bagaimana suku
Gayo memiliki adat yang kiranya dapat
mengatur setiap orang dalam berbicara.
Penekanannya bahwa setiap orang
harus melihat pong becerak (lawan bicara)
atau sebelum berbicara harus melihat
tingkatannya. Dalam kehidupan sehari-hari
aturan bagaimana cara seorang anak
berbicara dengan orang tuanya, dimana
anak tersebut tidak boleh mengucapkan
kata yang dianggap mice, gere
jeroh, dan entah sesanah (yang jorok, kotor, dan porno) kepada orang tuanya baik itu dengan bercerita
sekalipun. Begitu juga
sebaliknya dilarang orang tua berkata kotor atau porno didepan anaknya. Sebenarnya aturan seperti
ini juga berlaku di
tempat umum atau di depan orang lain. Selain itu Sumang Peceraken
sebenarnya juga
mencakup hal-hal lainnya seperti bung (angkuh),
jengkat (sombong), dan jejogon
(kasar).
Dalam
berumah tangga Sumang ini sebenarnya tidak saja
berlaku untuk anak dengan
orang tua akan tetapi juga berlaku untuk
seorang istri kepada suami. Sebagai contoh,
seorang istri dilarang memanggil suaminya
dengan panggilan ko (kau), karena
kata-kata tersebut dianggap tidak pantas.
Lalu biasanya panggilan ko akan diganti
dengan kam atau me, kata ini dianggap
lebih sopan dan hormat. Dengan demikian
bisa dikatakan etika dalam berkomunkasi
tidak saja diatur dalam keluarga
(anggota keluarga) saja akan tetapi
hampir menyeluruh.
b.
Sumang Pelangkahen
Sumang
Pelangkahen atau Sumang peralanen merupakan
aturan yang mengatur
tentang Pelangkahen/peralanen (perjalanan). Perjalanan
yang dimaksud disini
bukan hal yang perjalanan seperti perjalanan
seorang dari desa ke kota, akan tetapi
lebih pada aturan pada siapa, dengan siapa,
dan kemananya seseorang itu berjalan.
Dalam masyarakat Gayo
aturan ini tidak
berlaku untuk semua orang. Dalam artian
hanya berlaku bagi sebagian orang saja.
Dalam Islam sendiri ada yang dikatakan
yang muhrim dan bukan muhrim maka
aturan ini kiranya sama dengan aturan
ajaran Islam tersebut. Dimana larangan
ini menekankan pada aturan larangan
melakukan perjalanan dengan yang
bukan muhrimnya. Dalam masyarakat Gayo
sendiri Sumang ini dianggap tidak baik jika seorang
laki-laki berjalan dengan perempuan
yang bukan muhrimnya baik ditempat
yang ramai maupun ditempat yang
sepi yang jauh dari pandangan orang banyak.
Masyarakat Gayo juga sangat kuat memberikan
aturan pada jema banan (perempuan)
dan beru sedang (anak gadis) untuk
tidak keluar rumah sendirian apalagi diwaktu
malam hari. Hal ini juga menyangkut
dengan Sumang Pelangkahen.
Walaupun dikatakan Sumang ini berdasarkan ajaran Islam
dimana penekanannya
pada tidak muhrim, akan tetapi
dalam pandangan masyarakat Gayo ada
beberapa anggota keluarga yang sudah muhrim
juga diberlakukan aturan Sumang Pelangkahen.
Hal ini terlihat dalam aturan batasan
antara inen tue (ibu mertua) dengan
kile (menantu laki-laki), dimana keduanya
dilarang untuk pergi ketempat yang
sepi seperti ku empus (kebun). Begitu juga dengan aman tue (bapak mertua) dengan pemen (menantu
perempuan) yang memiliki
larangan pergi berduaan apalagi ketempat
yang sunyi dan sepi. Jika ini terjadi
biasa akan menjadi omongan masyarakat
dan dikucilkan masyarakat. Walau
demikian ada saat-saat genting kadang
aturan ini dilanggar seperti saat sang
menantu sakit maka tidak menjadi masalah
seorang bapak mengantar anaknya untuk
berobat tentu harus melewati tempat sepi
maka saat seperti ini diperbolehkan.
Dengan demikian Sumang ini dapat dikatakan sebagai aturan
yang berlaku untuk
menghindari terjadinya pelecehan seksual,
perjinahan, dan pemerkosaan. Selain
itu, dengan adanya aturan ini tentu akan
berdampak teradap tetap terjaganya nama
baik keluarga dan masyarakat seuatu desa.
c.
Sumang Kenunulen
Menggunakan tempat tidak
pada fungsinya
dan tidak menghormati orang lain
yang sedang duduk ditempat itu dapat dipandang
sebagai Sumang Kenunulen �Larangan terhadap� seseorang
yang duduk atau yang tinggal dengan
wanita yang bukan muhrimnya. Sumang
ini juga melarang
dalam suatu ruangan, masing- masing
anggota dalam keluarga merasa diri bagian
mana seharusnya duduk, biasanya yang
lebih tua duduk dibagian uken (tempat
paling ujuang) yang tidak dekat dengan
pintu.
Sumang
ini pada dasarnya dalam pandangan
masyarakat Gayo dibagi menjadi
dua yaitu Sumang Kenunulen dan Sumang
kedudukan. Sumang ini merupakan larangan
dalam cara duduk dan tempat tinggal.
Sebagaimana Sumang Kenunulen disini ditekankan pada
larangan atau etika cara
duduk sesuai dengan tempat dimana dia
duduk dan dengan siapa dia duduk. Seperti
seorang pemen (menantu perempuan) duduk
berdekatan dengan aman tue
(orang tua si suami) walaupun disana
ada suami tetap saja ini menjadi hal yang
tabu dan tidak boleh dilakukan. Biasanya
dalam masyarakat Gayo hal yang berkaitan
dengan etika cara duduk ini juga sering
dikatakan dengan istilah kemali (pamali). Katakan saja
seorang anak perempuan
dilarang duduk di depan pintu dan
untuk orang tua diharuskan duduk I uken
(tidak berdekatan dengan pintu). Sehingga
tidak heran jika dalam satu keluarga
dan perkumpulan biasanya sudah masing-masing
orang akan menyesuaikan diri
dimana harus duduk dan dengan siapa dia
duduk.
Sedangkan Sumang keduduken menekankan
pada tempat tinggal atau sebuah
tempat. Dimana larangannya adalah tidak
bolehnya seorang perempuan tinggal serumah
dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Namun demikian, tidak saja untuk
yang bukan muhrimnya, akan tetapi Sumang
ini kadang juga berlaku untuk yang
sudah dianggap muhrim seperti adanya
larangan inen tue (mertua perempuan) dengan kile
(menantu) yang tinggal
atau ditinggal anggota keluarga lainnya
dalam satu bahkan serumah. Jika itu
terjadi maka dianjurkan salah satu dari mereka harus keluar untuk sementara dari rumah tersebut hingga
anggota keluarga yang
lain kembali.
Ada yang lebih ditekankan
pada Sumang yang ini yaitu larangan
suami atau istri
masuk kerumah orang lain yang mana rumah
tersebut merupakan rumah orang lain,
dimana rumah tersebut sang istrinya atau
suaminya tidak berada dirumah. Jika ini
terjadi maka akan diberikan sangsi adat yaitu dikucilkan dan akan diusir dari kampung (desa) tersebut.
Selain itu, biasanya
akan diberikan denda sesuai ketentuan
adat. Tentu hal ini merupakan aturan
yang memberikan peringatan yang akan
memberikan dampak positif agar tidak
terjadi perselingkuhan.
d.
Sumang Penerahen atau Penengonen
Pertemuan antara individu
atau komunitas
yang satu dengan yang lain akan
melahirkan sebuah kontak pemikiran dan
budaya yang dimiliki oleh masing- masing
pihak sehingga terjadi proses dialektika
pemikiran dan budaya secara kontinu.
Dalam masyarakat
Gayo terjadinya kontak pemikiran
dalam cara berdialek antar mereka
dan dengan orang luar telah diatur sejak
dulu. Pertemuan antara anggota masyarakat
diatur agar tidak terjadi hal yang
dianggap bertentangan dengan norma adat
yang telah ditentukan. Pada dasarnya aturan
pertemuan yang menimbulkan komukasi
memiliki dasar yang cukup kuat, dimana
aturan tersebut guna menghindari penglihatan
dari sesuatu yang dianggap tidak
pantas. Oleh karena itu adanya budaya
malu terhadap penglihatan atau Sumang
Penerahen/Penengonen untuk mengatur bagaimana cara
penglihatan dalam
budaya Gayo. Sumang ini pada dasarnya berlaku untuk
yang bukan muhrim
atau lawan jenis yang dianggap tidak
ada ikatan keluarga.
Sumang
ini juga merupakan larangan
melihat aurat, �memperlihatkan aurat atau memandang
secara birahi. Hal ini
dianggap tabu karena dikhawatirkan dapat
terjerumus dalam kemaksiatan. Memandang wanita dengan iktikad yang tidak
baik, artinya sangat
merasa malu jika seorang pria melihat
seorang wanita dengan pandangan hawa
nafsu. Sumang Penerahen
atau penengonen bertujuan untuk
mengontrol pandangan dari hal yang dianggap
tidak pantas atau tercela. Ini juga menjadi
pantangan karena jika dilakukan maka
bisa saja seseorang akan bernafsu dan
terjerumus pada kemaksiatan yang bisa menyebabkan isin (malu). Sehingga dalam tatanan hukum masyarakat
Gayo jika ada yang
melanggar larangan ini maka akan diberi
sangsi tegas, seperti jika separang muda
mudi berduaan dalam tempat sepi dengan
melakukan percakapan sajapun bisa
dinikahkan, karena bagi masyarakat Gayo
hal tersebut dianggap tabu. Oleh karena
itu, dalam masyarakat Gayo tidak mengenal
pula istilah tunangan. Mengapa demikian,
karena orang tua akan mencarikan
jodoh untuk sang anak dan perjodohan
ini biasanya tidak boleh dengan satu
desa atau satu kepala desa.
Namun zaman sejarang memilih jodoh sudah diserahkan kepada masing-masing
pilihan anak.
Satu kenyataan yang tidak bisa
disangkal, dulu seorang
murid perempuan saja dijalan melihat
guru laki-lakinya akan lewat, maka biasanya
murid perempuan tersebut akan mencari
jalan pintas atau bersembunyi. Beginilah
masyarakat Gayo dulunya menanamkan
konsep kemel atau Sumang dalam kehidupan
sehari-hari. Walaupun demikian,
di era globalisasi sekarang ini implementasi
Sumang sudah tergerus oleh pengaruh budaya luar.
3. Pendidikan
Nilai
Islam dalam Budaya Sumang Gayo
�Kebudayaan memiliki
nilai-nilai yang
selalu diwariskan dan dilaksanakan dalam
masyarakat secara turun-temurun. Nilai-nilai
budaya biasanya ditafsirkan seiring
dengan mozaik-mozaik perubahan sosial
dalam masyarakat tersebut. Setiap kebudayaan
memiliki eksistensi yang beragam,
tergantung bagaimana masyarakat
memahami dan melaksanakannya.
Namun demikian, pada dasarnya
budaya sendiri memiliki nilai- nilai
luhur dan budi pekerti. Lebih
dari itu, menurut
Geerts �kebudayaan sendiri
merupakan pola dari pengertian- pengertian
atau makna yang terjalin secara menyeluruh
dalam simbol-simbol yang ditransmisikan
secara historis, suatu sistem mengenai
konsepsi-konsepsi yang diwariskan
dalam bentuk simbolik yang dengan
cara tersebut manusia berkomunikasi,
melestarikan dan mengembangkan
pengetahuan dan sikap mereka
terhadap kehidupan�. Dalam kebudayaan
adat istiadat dianggap tingkatan
paling tinggi. Adat istiadat sendiri
biasanya dijadikan sebagai konsep dasar
dalam mengatur warga masyarakat sehingga
terciptanya sebuah karakter yang melekat
pada masyarakat yang bersangkutan.
Atas dasar itu pula,
kebudayaan memiliki
peranan penting dalam pengembangan
karakter masyarakat dan bangsa.
Budaya memiliki nilai-nilai yang cukup
memberikan pengaruh terhadap nilai kesopanan
(sopan santun), kejujuran, dan adanya
rasa saling menghargai. Dalam proses
budaya bergerak dari pre-figurative ke co-figurative yang selanjutnya menunju� post-figurative
secara cepat menunju perubahan
tentu tidak lepas dari pengaruh globalisasi.
Dampaknya, negara akan hancur
jika nilai-nilai budi luhur nan berpekerti
tidak lagi diterapkan dalam masyarakat.
Seperti halnya menurut Lickona
bahwa ada 10 tanda perilaku
manusia yang menunjukkan arah kehancuran
suatu bangsa yaitu: (1) meningkatnya
kekerasan dalam kalangan remaja;
(2) ketidakjujuran yang menjadi budaya;
(3) meningkatnya rasa tidak hormat
kepada orang tua, guru, dan pada pemimpin;
(4) pengaruh peer group terhadap
tindakan kekerasan; (5) semakin meningkatnya
kebencian dan kecurigaan; (6)
penggunaan bahasa yang memburuk; (7)
menurunnya etos kerja; (8) menurunnya
rasa tanggung jawab
individu dan
warga negara; (9) meningkatnya perilaku
merusak diri; dan (10) semakin kaburnya
pedoman moral.
Unsur budaya Sumang dianggap memiliki nilai-nilai yang
dapat membentuk karakter
masyarakat dan bangsa. Budaya Sumang
disadari sebagai bentuk aturan atau norma
yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat
secara umum. Sumang sendiri bukan saja dilakukan
secara bersama-sama untuk
kepentingan umum akan tetapi juga berlaku
pada kepentingan pribadi. Setiap individu
sekiranya harus menanamkan dan mengamalkan
Sumang sebagai pemeger (pemagar) dan pembendung
diri dari hal yang
dianggap gere pantas (tidak pantas). Selain
menjaga diri sendiri, budaya Sumang
juga mampu menjaga nama baik keluarga,
dan menjaga nama baik kelompok
warga masyarakatnya. Jika ditinjau
dari sudut pandang agama, sesuai dengan agama yang dianut
oleh masyarakat
Gayo yaitu Islam. Oleh
karena itu,
tidak heran jika Sumang sangat berkaitan erat dengan
ajaran Islam. Lebih jauh,
Lestari menegaskan bahwa �masyarakat
Gayo merekonstruksi larangan
agama dalam adat kehidupannya yang
disebut Sumang�. Sehingga tidak heran setiap unsur budaya
selalu berkaitan dengan
ajaran Islam yang menjadi keterpaduan,
hasil dari keterpaduan tersebut
selanjutnya dijadikan syariat.
Perlu disadari bahwa Sumang salah satu dasar dalam
pembentukan karakter warga
masyarakat dan bangsa. Dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, jika
budaya Sumang benar-benar diamalkan maka akan terbentuk sikap
dan perilaku yang
penuh dengan kaidah-kaidah pada kebaikan.
Konsep budaya Sumang memang mempunyai makna untuk
menjaga, namun lebih
dari itu, jika Sumang tetap diberlakukan maka akan
terbentuk national character
yang mencirikan kepribadian yang
khusus (khas) dalam bernegara. Karena
dalam Sumang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama maka
dimensi spiritual hal
yang utama yang jika dimplementasikan
akan membentuk perilaku
dan sikap yang baik. Budaya Sumang
sendiri sarat
akan nilai-nilai Pendidikan
Islam, yaitu Nilai Akidah, Nilai Ibadah, dan Nilai Akhlah (karakter), nilai-nilai tersebut
dapat dilihat sebagai
berikut:
a.
Nilai
Akidah
Sumang
ditransformasikan dalam bentuk nilai-nilai
secara umum �yaitu memiliki nilai akidah. Karena Sumang merupakan norma, aturan,
larangan sesuai dengan
ajaran agama yang diyakini serta mempunyai
jiwa penuh tanggung jawab dalam
menjalankan ajaran agama Islam sesuai
dengan �menjalankan perintahnya dan
menjauhi larangannya�. Jika dilihat, budaya
Sumang memang hasil dari integrasi ajaran Islam
yang penuh dengan akidah
dengan keyakinanitu sumang
dijalankan dengan penuh kesadaran dari dalam diri sendiri.
b.
Nilai
Ibadah
Sumang mengandung Ibadah karena budaya sumang
bertujuan untuk menjaga dan menahan diri dari sipat dan tindakan tercela dalam
masyarakat, segala sesuatu yang diniatkan karena mematuhi ajaran Islam
merupakan Ibadah di sisi Allah SWT.
Disini
dapat diartikan bahwa
masyarakat Gayo menangung tanggung
jawab dan kewajiban dalam menjalankan
ajaran agama sekaligus untuk mengontrol
sikap dan perilaku untuk menjaga
diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan
negara. Dengan tujuan agar masyarakat
menjalankan apa yang diperintahkan
Allah dan menjauhi apa yang
menjadi dilarangNya.
Disamping Nilai Akidah dan Ibadah, lebih dari itu
Nilai Akhlak yang teraktualisasi dalam diri masyarakat Gayo terdapat Nilai yang
membentuk Karakter berupa:
1) Nilai
Tanggung Jawab
Dalam
budaya Sumang terdapat nilai tanggung jawab baik untuk
diri sendiri maupun
warga masyarakatnya. Sumang menekankan bahwa setiap
individu �dan masyarakat harus
bertanggung jawab dalam
menjalankan norma yang diberlakukan.
Selain itu, setiap individu dan
warga masyarakat memiliki tanggung jawab
dalam menjaga dirinya sendiri, keluarga,
warga (masyarakatnya), dan negara
untuk tidak melakukan hal yang dianggap
tidak pantas (Sumang). Dalam kehidupan bermasyarakat
ditekankan pula setiap
warga masyarakat wajib mengingatkan
sesamanya untuk tidak melakukan
penyimpangan dan tetap menjaga
nama baik dirinya, keluarga, warganya,
dan negaranya.
2) Cinta
Damai
Sumang
juga memiliki nilai yang mengandung
cinta damai. Bentuk cinta damai
tersebut terlihat dari keseharian masyarakat
diharuskan menjaga harmoni, keselarasan,
dan tenggag rasa. Dalam artian
bahwa masyarakat Gayo diharuskan menjaga
interaksi sosial dan prilaku sosial agar
tidak terjadi gesekan. Larangan yang diberlakukan
berguna dalam menjaga stabilitas
hidup bermasyarakat atau tidak menimbulkan
konflik.
3) Peduli
Sosial
Sumang
bisa dikatakan juga memiliki nilai- nilai
peduli sosial. Bantuan pada dasarnya tidak
saja dinilai dari pemberian berupa benda,
akan tetapi bantuan berupa tindakan dan
sikap juga termasuk dalam nilai peduli sosial. Sumang mengajarkan seseorang agar peduli terhadap masyarakat dengan cara memberikan tindakan
jika seseorang tersebut
dianggap melanggar apa yang sudah
berlaku dalam masyarakat. Selain itu,
dalam bersikap tentu Sumang� mengajarkan
seseorang itu untuk bisa mengatur
dirinya dalam etika dan kesopanan
sesuai nilai-nilai hakiki sesuai ajaran
leluhur.
4) Jujur
Budaya
Sumang memiliki nilai-nilai kejujuran. Masyarakat
Gayo ditekankan untuk
selalu memegang amanah (jujur). Sebagaimana
Sumang memberikan gambaran bagaimana
masyarakat harus bersikap
jujur. Setiap individu diharuskan untuk
bisa jujur serta tidak melakukan pelanggaran
terhadap norma adat yang sudah
berlaku. Oleh karena itu, kesadaran dari
setiap individu sangat diharapkan guna terbentuknya kejujuran yang menjadikan dirinya sebagai orang
yang dapat dipercaya baik
dari perkataan, tindakan, dan perbuatan.
Selain menumbuhkan kesadaran masyarakat
diharapkan selalu dan terus mengendalikan
diri dari perbuatan yang dianggap
tercela, asusila, dan maksiat yang jelas
dianggap bertentangan dengan akidah dan
agama.
5) Kreatif
Budaya Sumang merupakan budaya asli suku Gayo, yang
diakulturasikan dengan nilai-nilai
ajaran Islam. Tentu patut diberikan
apresiasi sebesar-besarnya pada pemangku
adat terdahulu sebagai bentuk pengakuan
terhadap kreatifnya para leluhur telah
menciptakan adat budaya Sumang sebagai bentuk aturan
norma yang pada dasarnya
membutuhkan ketajaman hati dalam
membentuk subtansi Sumang. Dalam hal ini, kreatifnya
para leluhur terdahulu
telah mampu menciptkan antara keselarasan
budaya dengan agama yang mampu
menjadi landasan masyarakat dalam
makrokosmos maupun mikrokosmos.
6) Demokratis
Sumang
sebagai budaya yang mengatur masyarakat
memiliki nilai-nilai demokratis.
Hal ini tercermin dari bagaimana
cara setiap individu dalam berfikir,
bersikap, dan bertindak sehingga selalu
adanya rasa saling menghargai. Selain
itu, Sumang yang mana sebagai aturan dalam masyarakat
Gayo yang memberikan
tindakan kepada siapa saja yang
melakukan pelanggaran tanpa melihat status
sosialnya. Hal inilah yang menjadikan
masyarakat Sumang memiliki nilai demokratis karena
menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
7) Kerja
Keras
Pewujudan Sumang memang bukan hal yang terlihat jelas,
walaupun sudah tertulis dalam
pasal adat akan tetapi nilai-nilai Sumang
sendiri biasanya dilihat dari baik dan
buruknya sikap, perbuatan, dan tindakan
seseorang. Sumang
sudah menjadi aturan
atau norma adat pada masyarakat Gayo
maka dapat dipastikan ini menjadi tanggung
jawab bersama dalam menjalankan
aturan yang berlaku sebagaimana
konsep Sumang dapat dibagi menjadi opat bagian: Sumang Kenunulen, Sumang
Peceraken, Sumang Pelangkahen, dan Sumang penengonen yang mana keempatnya memberikan nilai-nilai kerja keras masyarakat yang
dicerminkan melalui
penunjukkan perilaku tertib dan patuh
terhadap ketentuan dan aturan sesuai dengan
budaya Sumang. Selain itu, nilai kerja keras juga
tercermin melalui pengawasan
masyarakat terhadap pelanggaran
yang terus dilakukan secara kontinu.
4. Upaya Aktualisasi Nilai-Nilai
Pendidikan Islam Dalam
Budaya Sumang
Pada Masyarakat Gayo.�
a.
Mempertahankan
Bahasa Gayo Dalam Keluarga
Bahasa
Gayo harus dipertahankan didalam kehidupanan sehari-hari khususnya didalam keluarga,
karena dengan bahasa Gayo lah masyarakat bias menjalankan adat istiadat yang
ada di Gayo. Adat Gayo menggunakan bahasa Gayo dan harus dijelaskan dengan
bahasa Gayo. Apabila bahasa Gayo sudah pudar bahkan hilang bagaimana adat bisa
dijalankan. Menurut beberapa pakar budaya apabila suatu suku penduduknya kurang
dari satu juta, kalau tidak setia kepada bahasanya maka suatu saat suku
tersebut akan hilang dari permukaan bumi. Sekarang suku Gayo mulai dari Aceh
Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues sudah kurang. Gayo akan berangsur hilang,
dimasa mendatang, sebagaimana yang pernah dipublikasikan para peneliti etnis
Gayo Bhawa Gayo akan punah dalam satu abad mendatang, hilang dua puluh tahun
mendatang Itulah yang di takutkan. Kalau bahasa bahkan budaya telah hilang
bagaimana cara masyarakat mempertahankan identitas nya sebagai suku Gayo asli?
Masyarakat harus mempertahankan bahasa untuk mempertahankan identitas
masyarakat Gayo sendiri.��
Generasi
etnis ini tidak akan bertahan bila tidak mempertahankan bahasa Gayo, sebab
bukanlah hal yang mustahil bila punahnya suatu bahasa bersamaan dengan punahnya
suku itu sendiri.
b.
Menerapkan
Sumang sebagai Kebiasaan (Habits) sejak Dini
Pendidikan pertama dan yang paling utama adalah
pendidikan dalam Keluarga, Budaya sumang sebagaimana yang dimaksud penting
disosialisasikan sejak dini dari unit terkecil, yaitu keluarga, membiasakan
berprilaku sopan santun dalam keluarga dengan membiasakan anak bertutur kata
yang baik (betutur), cara duduk
dengan sopan, dan memperkenalkan tempat duduk serta fungsinya, berpakaian
dengan sopan, dan memperkenalkan cara berjalan yang baik di depan orangtua
merupakan transfer nilai sumang yang sudah di perkenalkan sejak dini. Penanaman
sumang ini adalah sosialisasi sumang pada tatanan masyarakat yang paling
mendasar, ini penting karena setelah dewasa anak akan mengetahui dan mengikat
jiwanya sehingga mudah bagi anak untuk mengaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat.
c.
Intervensi
Reje dalam menerapkan budaya Sumang.
Reje dalam hal ini merupakan pemerintah sebagai penentu
yang menetapkan dan memutuskan dalam qanun desa yang harus dipatuhi bersama di
masyarakat dalam menerapkan budaya sumang, peraturan ini memuat tentang
pemberlakuan budaya Sumang, dan
penerapan sanksi bagi pelanggar sumang
melalui sarak opat di tingkat desa. Sosialisasi kepada masyarakat akan sangat
bermanfaat dengan mengingatkan kembali masyarakat untuk senantiasa mengingat
sumang dalam setiap sikap dan tindakan. Aktualisasi nilai-nilai Sumang
bisa dilakukan pemerintah melalui
program pembuatan papan Sumang
di setiap desa. Kegiatan seperti ini
bisa juga melakukan kolaborasi dengan Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup, dan
Dinas Syariat Islam.
Disamping itu untuk lebih mantap dalam
program ini perlu juga melibatkan Majelis
Adat Gayo yang memiliki pemahaman
kuat terhadap hukum adat Gayo.
Tujuan kerjasama ini adalah selain saling
besinergi dan memperkokoh tali persaudaraan,
diharapkan juga masing- masing
dinas mampu memperkenalkan kembali
budaya Sumang pada masyarakat Gayo yang merupakan
budaya sendiri.
Tentu
hal ini menjadi langkah awal dalam mensosialisasikan
kembali budaya Sumang kepada masyarakat luas.
Usaha lainnya adalah
mensosialisasikan budaya Sumang kepada sekolah-sekolah
baik melalui pembinaan
guru dimana budaya Sumang kiranya bisa di
implementasikan pada siswa
melalui modul atau memasukkan pada
mata pelajaran muatan lokal. Sebagai bentuk
dokumentasi setiap sekolah juga diharapkan
mampu membuat papan budaya
Sumang.
d. Membentuk Kampung Adat sebagai model Kampung berbudaya
Sumang.
Kepada Dinas Pariwisata kiranya tentu kiranya
melakukan dokumentasi
tentang budaya Sumang dan melakukan rekam jejak
terhadap desa-desa yang
masih menjunjung tinggi nilai budaya Sumang
yang selanjutnya mengembangkan desa
tersebut sebagai desa percontohan atau
sebagai desa adat yang nantinya bisa menjadi
daya tarik wisata. Usaha lain yang dapat
dilakukan oleh Dinas Syariat Islam setempat
dalam budaya Sumang terhadap masyarakat luas adalah
melalui misi agama.
e.
Menggalakan
dan Memfasilitasi Publikasi Ilmiah terkaitan Kearifan Lokal
Menggalakan publikasi Ilmiah terhadap kearifan Lokal
gayo, merupakan tindakan nyata dalam mempertahankan eksistensi dan distribusi
nilai-nilai kearifan lokal suku gayo. Menggalakan tidak akan berjalan dengan
optimal apabila pemerintah tidak kooperatif dalam memfasilitasi publikasi
ilmiah. Tawaran untuk menggalakan publikasi ilmiah terkait nilai kearifan lokal
harus mampu menjadi daya tarik akademisi untuk menggali kembali kekayaan lokal
dalam meningkatkan peradaban masyarakat Suku Gayo sebagai upaya dokumentasi
Budaya Gayo.
Kesimpulan
Aktualisasi Nilai-nilai budaya Sumang
pada masyarakat Gayo, terdapat dalam
empat pilar yaitu: Sumang peceraken
(tabu perkataan), Sumang kenunulen
(Tabu duduk), Sumang pelangkahan
(Tabu Perjalanan), dan Sumang
penengonen (Tabu penglihatan). Dari keempat pilar Sumang tersebut memiliki nilai-nilai pendidikan Islam yang
bersinergis dengan nilai-nilai adat Gayo. Terdapat nilai-nilai Instrinsik dan
instrumental berupa; Nilai Akidah, Ibadah dan Nilai Akhlak yang termuat dalam
Nilai Karakter yang bersinergis dengan sistem nilai budaya Gayo yaitu mukemel, tertib, setie, semayang gemasih, mutentu, amanah, genap
mufakat, alang tulung, dan bersikekemelen.
Namun masyarakat Gayo kontemporer hanya sebatas mengetahui etnolingustic budaya Sumang,
tanpa memahami dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, ini disebabkan
oleh putusnya transfer nilai antar generasi. Sehingga upaya internalisasi nilai
sangat perlu dilakukan, sehingga fungsi budaya sebagai wujud ide dan gagasan
yang membentuk prilaku masyarakat dalam pendidikan dapat diaktualisasikan.
Upaya-upaya Reaktualisasi Budaya Sumang pada masyarakat suku Gayo; Adapun upaya-upaya reaktulisasi
nilai-nilai pendidikan Islam dalam Budaya Sumang
pada masyarakat Gayo yaitu; mempertahankan bahasa daerah (Gayo) dalam keluarga,
Menerapkan Sumang sebagai habits dalam keluarga, Intervensi Reje dalam menerapkan Budaya
Sumang, Membentuk Kampung Adat sebagai model
Kampung berbudaya Sumang, Menggalakan
dan Memfasilitasi Publikasi Ilmiah terkaitan Kearifan Lokal.
BIBLIOGRAFI
M. Junus Melalatoa. (1997). �Budaya Malu: Sistem Budaya
Gayo� dalam Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Pelajar-Jakarta.
Masnur Muslich. (2011). Pendidikan Karakter Menjawab
Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Syukri� (2017). Budaya Sumang dan Implementasinya Terhadap
Restorasi Karakte Masyarkat Gayo. Medan; Jurnal Miqot vol 41 no 2.
Sjarkawi. (2006). Pembentukan Kepribadian Anak; Peran
Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun
Jati Diri. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
Zulkarnain dkk. (n.d.). �Sumang: Norm Of Gayo Community
Within The Framework Of Islamic Education,.� 19, 1.