Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��e-ISSN : 2548-1398
�Vol. 5, No. 6, Juni 2020
FAKTOR-FAKTOR
YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) PADA PETANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN
KETANGGUNGAN KABUPATEN BREBES� PROVINSI
JAWA TENGAH TAHUN 2017
�
Ika
Popi Sundani
Program Studi Diploma III Kebidanan Akademi Kebidanan Graha Husada
Cirebon
Email: [email protected]
Abstract�
LBW
is a baby born with a weight less than 2,500 grams regardless of pregnancy period.
To determine the causes of LBW, conducted an assessment of what risk factors
can cause LBW occurrence. Theoretically, factors that influence the occurrence
of LBW include maternal factors, fetuses, health services and the environment.
The general objective of this research is to know the factors associated with
the LBW on onion farmers cases in SubDistrict of Ketanggungan, Brebes Regency,
Central Java Province of 2017, including variables of mother's age, mother's
education, mother's knowledge, pregnancy age, birth spacing, parity, history of
LBW at previous birth, income, nutritional status, frequency of antenatal care
examination, participation in agricultural activities, duration of work and use
of personal protective equipment. Descriptive analytic research method with
case control research design with a sample of 120 mothers who have babies aged
≤ 1 year. Data analysis was done by univariate, bivariate and
multivariate. The results showed that multivariate analysis of duration of work
variable (p = 0.006 OR: 8.117 CI = 1.838-35.834) became the most dominant
variable related to the LBW occurrence. The variable of birth spacing and
history of LBW at previous birth have no relation with LBW occurrence.
Keywords: Factor-Factor, Low Birth Weight (LBW), Participation
in Agricultural Activities.
Abstrak
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi
yang lahir� dengan berat badan kurang
dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan. Untuk mengetahui penyebab
terjadinya Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dilakukan pengkajian terhadap
faktor risiko apa yang dapat menimbulkan terjadinya BBLR. Secara Teori faktor
yang mempengaruhi terjadinya BBLR meliputi faktor ibu, janin, pelayanan
kesehatan dan lingkungan. Tujuan umum dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian BBLR pada petani bawang merah di Kecamatan
Ketanggungan Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017, meliputi
variabel umur ibu, pendidikan ibu, pengetahuan ibu, usia kehamilan, jarak
kelahiran, paritas, riwayat BBLR pada kelahiran sebelumnya, pendapatan, status
gizi, frekuensi pemeriksaan antenatal
care, keikutsertaan dalam kegiatan pertanian, lama kerja dan penggunaan
alat pelindung diri. Metode penelitian deskriptif analitik dengan desain
penelitian case control dengan sampel berjumlah 120 ibu yang mempunyai bayi umur
≤ 1 tahun. Analisa� data dilakukan
secara univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan pada
analisa multivariat variabel lama kerja (p=0.006 OR: 8.117 CI= 1.838-35.834)
menjadi variabel paling dominan yang berhubungan dengan kejadian BBLR. Variabel
jarak kelahiran dan riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada kelahiran
sebelumnya tidak memiliki hubungan dengan kejadian Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR).
�
Kata kunci : Faktor-faktor, BBLR,
Keikutsertaan Dalam Kegiatan Pertanian
�
Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang memiliki tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Salah satu bidang yang menjadi prioritas negara berkembang adalah kesejahteraan
bidang kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia melalui pembangunan
nasional yang berkesinambungan dan diarahkan pada peningkatan derajat kesehatan
yang dicerminkan oleh besar kecilnya kematian maternal dan kematian neonatal (Amalia, 2016).
Generasi yang sehat, cerdas dan
berkualitas serta penurunan AKB (Angka Kematian Bayi) harus di upayakan sedini
mungkin dengan cara pemeliharaan Kesehatan bayi. Salah satu
indikator yang lazim digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat
adalah AKB. AKB merupakan jumlah kematian bayi (0-12 bulan) per 1.000 kelahiran
hidup dalam kurun waktu satu tahun (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes,
2015).
Menurut Word Health
Organization (WHO), pada tahun 2009 terdapat 5 juta kematian bayi setiap
tahun dan 98% kematian tersebut terjadi di Negara berkembang. Indonesia sebagai
Negara berkembang, masih memiliki AKB yang tinggi sebesar 34 per 1000 kelahiran
hidup (Badan Pusat Statistik, 2012). Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah (2015), jumlah kematian bayi di Jawa Tengah mengalami
penurunan tetapi tidak signifikan dibandingkan AKB tahun 2014 yaitu 10,08
menjadi 10 per 1.000 kelahiran hidup. AKB Kabupaten Brebes tahun 2015 mengalami
penurunan bila dibandingkan tahun 2014 dan bila berdasarkan SDGs (Sustainable Development Goals) ke � 3 tahun 2016 yaitu 25 per 1000
kelahiran hidup, berarti angka kematian di Kabupaten Brebes masih di bawah
target (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, 2015). �
Faktor-faktor yang
mempengaruhi AKB menurut laporan WHO yang dikutip dari State of the world�s mother 2007 di antaranya berat badan lahir
rendah (BBLR) yaitu sebesar 27%. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2007 penyebab kematian bayi adalah BBLR yaitu sebesar 30,3%. Bayi dengan
BBLR berisiko mengalami kematian 6,5 kali lebih besar daripada bayi yang lahir
dengan berat badan normal (Sistiarani,
2008).
Menurut Proverawati dkk. (2010), faktor yang berhubungan dengan
bayi BBLR meliputi faktor ibu antara lain penyakit yang dialami ibu saat
kehamilan seperti anemia, hipertensi dan preeklampsia, kejadian tertinggi pada
ibu umur < 20 tahun atau > 35 tahun, usia kehamilan yang berisiko yaitu
di bawah dari 37 minggu atau lebih dari 42 minggu, jarak kelahiran yang terlalu
dekat atau terlalu pendek < 2 tahun, paritas, riwayat BBLR sebelumnya,
keadaan sosial ekonomi (kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi
rendah), tingkat pendidikan� yang rendah,
keadaan gizi yang kurang baik, pengawasan antenatal oleh tenaga kesehatan
kurang dan sebab lainnya ibu peminum alkohol dan perokok. Pada faktor janin, hidramnion
atau kelebihan cairan ketuban, kehamilan kembar/ganda dan kelainan kongenital.
Sedangkan dari faktor lingkungan, bertempat tinggal di dataran tinggi, terkena
radiasi, terpapar zat beracun dan pestisida termasuk salah satu bahan beracun (Syafitri,
Sitawati, & Setyobudi, 2014).
Pertanian
di Indonesia merupakan sektor penyerap paling banyak tenaga kerja. Tahun 2012 diperkirakan
oleh Kementerian Pertanian sekitar 50% perempuan Indonesia ikut andil dalam
membangun pertanian. Tercatat sebagian besar perempuan, istri atau ibu, dari 23 juta keluarga
petani yang terlibat. Peran perempuan di sektor pertanian yang sangat besar membuat
perempuan juga dominan dan paling berisiko terhadap dampak pestisida karena
pestisida merupakan salah satu bahan beracun (Syafitri
et al., 2014).
Efek negatif dari pajanan
pestisida pada kelompok wanita usia subur termasuk ibu hamil dapat menimbulkan
berbagai gangguan seperti anemia, disfungsi tiroid dan gangguan reproduksi
(abortus spontan, lahir prematur, janin cacat, terjadinya gangguan pertumbuhan
psikomotorik anak dan juga BBLR (Siwiendrayanti,
2011).
Menurut Setiyobudi dkk.
(2013), besarnya paparan pestisida pada ibu hamil tergantung dari pekerjaan
ibu, lama paparan, frekuensi paparan, penyimpanan pestisida, pencampuran pestisida
dan penanganan peralatan pestisida serta penggunaan alat pelindung diri.
Berdasarkan Data Profil Dinas Pertanian Kabupaten Brebes (2016), Brebes
merupakan Kabupaten di Jawa Tengah yang tingkat pemakaian pestisidanya cukup
tinggi, karena luasnya lahan pertanian khususnya bawang merah. Brebes yang
mempunyai lahan pertanian bawang merah lebih dari 23.000 Ha mempekerjakan
ratusan buruh tani perempuan.
Berdasarkan Profil Kesehatan
Kabupaten Brebes, angka kejadian BBLR di Kabupaten Brebes setiap tahun mengalami
peningkatan. Tahun 2013 sebanyak 1.415, Tahun 2014 sebanyak 1.468 dan pada
Tahun 2015 sebanyak 1.572 per 1000 kelahiran bayi. Berdasarkan jumlah bayi baru
lahir yang ditimbang sebanyak 33.312 balita, 1.572 balita (4,72%) dikategorikan
BBLR. Kondisi ini dapat terjadi karena di antaranya dipengaruhi oleh faktor
gizi ibu hamil yang kurang baik dan pestisida di lingkungan pertanian tempat
tinggal ibu hamil.
Kecamatan dengan Angka
kejadian BBLR tertinggi pada tahun 2015 terdapat di Kecamatan Ketanggungan
yaitu 189 dari 2.277 bayi lahir hidup dan berdasarkan hasil wawancara dengan
petugas lingkungan di Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, menunjukkan Kecamatan
Ketanggungan merupakan daerah dengan tingkat penggunaan pestisida tinggi dan
intensif. Para petani pada umumnya menggunakan campuran 3-5 jenis pestisida
dengan frekuensi menyemprot hampir setiap hari terutama pada musim penghujan.
Berdasarkan Hasil survei awal
yang dilakukan di Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes Pada Bulan Agustus
2016, menunjukkan perempuan usia subur di antaranya ibu hamil ikut serta dalam
kegiatan pertanian. Bentuk keikutsertaan ini seperti melepas bawang dari tangkainya,
membantu menyiapkan pestisida dan mencuci peralatan/pakaian yang dipakai suami
saat menyemprot. Selain itu 30% dari hasil panen bawang merah yang sebelumnya
sudah dilakukan penyemprotan pestisida di simpan di dalam rumah sebagai benih
untuk proses penanaman berikutnya.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari Puskesmas di Kecamatan Ketanggungan� pada bulan Januari sampai dengan Desember 2016
terdapat 159
kasus BBLR. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui faktor apa saja yang
mempengaruhi kejadian BBLR pada petani bawang merah di Kecamatan Ketanggungan
Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan desain case control
yaitu pendekatan yang mempelajari bagaimana faktor risiko dengan pendekatan �retrospektif� yaitu untuk melihat ke
belakang tentang riwayat status paparan penelitian yang dialami oleh objek (Noor,
2008).
Desain penelitian ini untuk
mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen berdasarkan
perjalanan waktu secara retrospektif. Penelitian dimulai dengan mengukur
variabel dependen, kemudian membagi subyek penelitian menjadi 2 kelompok yaitu
kasus (BBLR) dan Kontrol (Tidak BBLR/Normal). Selanjutnya peneliti mengukur
variabel independen (faktor penyebab BBLR) yang terjadi pada responden dimasa
lalu secara retrospektif. Kejadian dimasa lalu diidentifikasi melalui studi
dokumentasi atau pengkajian riwayat masa lalu responden.
�
Hasil
Dan Pembahasan
1.
Kejadian Berat Badan Lahir
Rendah �
Berdasarkan hasil penelitian dari 120
ibu yang memiliki bayi� umur ≤ 1
tahun diketahui bahwa sebagian besar responden yang mengalami kejadian bayi
dengan BBLR berada pada umur < 20 tahun yaitu 14 (46.7%), sedangkan sebagian
besar responden pada kelompok umur 20-35 tahun tidak mengalami kejadian bayi
BBLR sejumlah 56 (62.2%). Artinya hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kejadian BBLR disebabkan oleh faktor�
umur responden yang sebagian dalam kategori tidak reproduktif.
Menurut (Manuaba
& Bagus, 2007), umur <20 tahun dianggap
sangat berbahaya untuk hamil, karena secara fisik tubuh ibu masih dalam
pertumbuhan dan organorgan reproduksi masih sangat muda dan belum kuat, belum sempurnanya
peredaran darah yang menuju uterus dan serviks, sehingga hal tersebut dapat
mengganggu proses masuknya nutrisi ke janin yang ada dalam kandungan dan berat
bayi kurang normal pun bisa terjadi. Sedangkan menurut Saiffudin (2005) umur 20-35 tahun
adalah kelompok umur yang dianggap paling baik untuk kehamilan, sebab selain
fisik sudah cukup kuat, dari segi mental pun sudah cukup dewasa.
Selain faktor umur, paritas responden
pun mempengaruhi kejadian BBLR, diketahui sebanyak (53.3%) responden yang
melahirkan secara prematur mengalami kejadian BBLR, pendidikan yang rendah dan
frekuensi pemeriksaan ANC yang kurang berpengaruh terhadap� pengetahuan ibu tentang BBLR juga kurang,
status gizi yang kurang karena pendapatan yang rendah serta keterlibatan ibu
dalam kegiatan pertanian yang dilakukan lebih dari tiga kali dalam seminggu
tanpa penggunaan alat pelindung diri.
Menurut teori Blum (1981) dalam
penelitian (Damanik
& Gorodetski, 2011) status kesehatan masyarakat
dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi
satu sama lain. Keempat faktor tersebut adalah lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan dan keturunan. Konsep itu menunjukkan bahwa status kesehatan termasuk
kejadian bayi dengan berat badan lahir rendah�
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor
keturunan. Faktor lingkungan antara lain lingkungan fisik, biologis dan sosial
memegang peranan yang terbesar dimana hampir sebagian besar lingkungan fisik di
Kecamatan� Ketanggungan Kabupaten Brebes
merupakan pertanian bawang merah dengan penggunaan pestisidanya cukup tinggi
serta keterlibatan para wanita cukup besar dalam kegiatan ini. Keadaan
masyarakat dengan pendapatan dan status gizi yang rendah, pengetahuan yang kurang
serta pendidikan yang rendah yang hampir sebagian responden hanya menamatkan
sekolah sampai SD dan SMP yaitu sejumlah (74.2%).
2. Umur Ibu
Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 14
responden (46.7%) berumur < 20 tahun. Sedangkan pada kelompok responden yang
tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 20 responden (22.2%) yang berumur
< 20 tahun. Dari hasil tersebut secara persentase, ibu yang berumur < 20
tahun lebih banyak yang melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu
yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Hasil uji statistik hubungan antara
umur ibu dengan kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.007 maka dapat disimpulkan
ada hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan kejadian BBLR.
Untuk mendapatkan nilai OR peneliti
melakukan dummy pada tiga kategori
umur ibu ini, sehingga dapat pula dilihat kategori umur mana yang mempunyai
risiko lebih besar ������� untuk � mengalami kejadian BBLR.
Berdasarkan tabel dummy umur tersebut diketahui bahwa
nilai OR pada dummy umur < 20 dan
≥ 20 tahun sebesar 3.063 sedangkan pada dummy umur > 35� dan
≤ 35 tahun didapatkan nilai OR sebesar 1.652 sehingga dapat disimpulkan
bahwa pada kategori umur < 20 tahun memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk
mengalami kejadian BBLR.
Kehamilan di bawah umur 20 tahun
merupakan kehamilan yang berisiko tinggi. Angka kematian
dan kesakitan ibu pun 2-4 kali dibandingkan dengan ibu yang hamil dengan usia yang cukup dewasa. Pada umur tersebut fungsi dari alat reproduksi
belum siap, sehingga mengakibatkan banyak risiko (Trihardiani, 2011).
Umur ibu mempengaruhi tingkat
kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), terutama ibu dengan paritas tinggi
yaitu umur ibu kurang dari 20 tahun, pada umur ibu yang terlalu muda (kurang
dari 20 tahun) peredaran darah menuju serviks dan juga uterus masih belum
sempurna sehingga ini dapat mengganggu proses penyaluran nutrisi dari ibu ke
janin yang dikandungnya (Manuaba, 2010). Selain dari segi fisik dan reproduksi
yang belum siap untuk hamil, umur < 20 tahun secara psikologi juga belum
matang. Menurut Jean Jacques Rousseau dalam buku (Soekanto,
2002). masa pematangan diri terlihat
ketika individu berumur lebih dari 20 tahun. Dalam tahap ini, perkembangan
fungsi kehendak mulai dominan. Orang mulai dapat membedakan mana yang harus
dilakukan untuk kesehatannya dalam hal ini menjaga kesehatan diri dan janin
yang dikandungnya selama kehamilan.
BBLR juga
meningkat seiring dengan penambahan usia ibu, dengan
peningkatan usia ibu maka akan terjadi perubahan pada pembuluh darah disertai
dengan menurunnya fungsi hormon yang mengatur siklus reproduksi (endometrium).
Di samping
itu, semakin bertambahnya umur maka akan semakin meningkatkan pula risiko
hipertensi yang juga merupakan faktor predisposisi terjadinya BBLR (Sondari,
SYAMSUR1PUTRA, & Setiadi, 2006). Secara psikologi pada usia > 35
tahun kemampuan diri dan kematangan emosional lebih stabil, pengalaman dalam
kehamilan dan perawatan bayi jauh lebih baik sehingga kejadian BBLR masih dapat
dicegah. Umur 2035 tahun adalah kelompok umur yang paling baik untuk kehamilan,
sebab selain fisik sudah cukup kuat, dari segi mental wanita tersebut sudah
cukup dewasa dan mampu merawat bayi dan dirinya sendiri (Martaadisoebrata,
Sastrawinata, & Saifuddin, 2005).
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Suhaili di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
pada Tahun 2003, memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara kejadian
BBLR dengan usia ibu di mana nilai p 0.003 < 0.05. Selain itu penelitian ini
juga diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan oleh (Sistiarani,
2008), yang menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan persentase BBLR antara ibu yang termasuk kategori
umur yang berisiko dengan ibu yang termasuk kategori umur yang tidak berisiko
pada saat hamil dan melahirkan. Hasil uji statistik yang didapatkan nilai p
0.009 < 0.05, OR=4.28 (95% CI : 1.4-12.4) artinya ibu yang termasuk kategori
umur berisiko (umur kurang dari 20 tahun) mempunyai peluang melahirkan BBLR
4,28 kali dibandingkan ibu yang tidak termasuk kategori umur yang tidak
berisiko (umur 20 tahun sampai dengan 35 tahun).
3. Pendidikan Ibu
Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 28
responden (93.3%) berpendidikan rendah. Sedangkan pada kelompok responden yang
tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 61 responden (67.8%) yang
berpendidikan rendah. Dari hasil tersebut secara persentase, ibu yang berpendidikan
rendah lebih banyak yang melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu
yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Hasil uji statistik hubungan antara
pendidikan ibu dengan kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.011 maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian
BBLR. Diperoleh pula nilai OR= 6.656 (95% CI; 1.483 � 29.862) dapat diartikan
bahwa ibu yang mempunyai pendidikan rendah, memiliki peluang melahirkan bayi
dengan BBLR 7 kali dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh (NURROHMAH,
2002), yang menyatakan bahwa
variabel yang mempunyai hubungan secara bermakna dengan kejadian BBLR yaitu salah
satunya pendidikan di mana berdasarkan hasil uji didapatkan nilai p value = 0.017 dan OR : 3.755 yang
artinya ibu yang memiliki pendidikan rendah mempunyai peluang 3.755 kali untuk
mengalami kejadian BBLR. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan (Nurhadi,
2006), Proporsi kejadian BBLR pada
ibu hamil yang berpendidikan formal� 6
tahun, lebih besar dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi dengan berat
lahir normal pada ibu yang berpendidikan rendah.
Menurut (Setyaningrum,
Triyanti, & Indrawani, 2014), pendidikan adalah salah satu tolak ukur status ekonomi yang
mempengaruhi outcame pelayanan
kesehatan. Wanita pun dipandang perlu berpendidikan
tinggi, dengan pendidikan tinggi taraf hidup mereka dapat meningkat, membuat keputusan
yang terutama menyangkut masalah Kesehatan dan berbeda dengan wanita yang berpendidikan rendah
dimana wanita berpendidikan tinggi dapat berperilaku sehar dalam kehidupan
sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang wanita
maka ia semakin tinggi pula tingkat kesadaran tentang sesuatu hal dan semakin
matang pertimbangan seseorang untuk mengambil sebuah keputusan. Pendidikan banyak menentukan sikap dan tindakan dalam menghadapi
berbagai masalah misalnya membutuhkan �� vaksinasi
�������� untuk
anaknya,
memberi oralit waktu mencret, kesediaan menjadi peserta keluarga, termasuk pengaturan
makanan bagi ibu hamil untuk mencegah timbulnya bayi BBLR.
Tingkat pendidikan
mempengaruhi kesadaran akan pentingnya arti kesehatan� diri, individu dan lingkungannya yang dapat
mempengaruhi atau mendorong kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Khususnya tingkat pendidikan ibu yang
sangat berpengaruh terhadap kualitas pengasuhan anak. Pesan
kesehatan akan sulit dicerna jika tingkat pendidikan
seorang ibu rendah. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam
perilaku dan gaya hidup sehari-hari (Depkes, 2007)
Dalam penelitian ini
dapat diketahui bahwa angka kejadian bayi dengan BBLR maupun tidak BBLR berada
pada ibu dengan tingkat pendidikan rendah. Hal ini diketahui dari jumlah
responden yang sebagian besar merupakan ibu dengan pendidikan rendah yaitu SD
(49.2%) dan SMP (25%).
4. Pengetahuan Ibu
Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 23
responden (76.7%) berpengetahuan kurang. Sedangkan pada kelompok responden yang
tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 38 responden (42.2%) yang
berpengetahuan kurang. Dari hasil tersebut secara persentase, ibu yang
berpengetahuan kurang lebih banyak yang melahirkan bayi BBLR, dibandingkan
dengan ibu yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Hasil uji statistik hubungan
antara pengetahuan dengan kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.002 maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian
BBLR. Diperoleh pula nilai OR = 4.496 (95% CI; 1.750 � 11.554) dapat diartikan
bahwa ibu yang mempunyai pengetahuan kurang, memiliki peluang melahirkan bayi
dengan BBLR 4.5 kali dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan baik.� Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nurohmah
(2002), dari hasil penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan ibu dengan kejadian BBLR dengan nilai p value 0.002 < 0.05 dan mereka yang mempunyai pengetahuan kurang
tentang ANC mempunyai peluang 4.7 kali untuk mengalami Kejadian BBLR.
Besarnya tingkat
pengetahuan yang kurang di objek penelitian berdasarkan hasil observasi
ditemukan bahwa sebagian ibu belum mengenal dan mengetahui tentang perilaku
kesehatan dan kehamilan. Sebagian besar ibu belum mengetahui bagaimana menjaga
nutrisi yang baik selama hamil, tanda bahaya pada ibu hamil termasuk bahaya dari
pestisida yang ada di sekitarnya yang dapat menimbulkan pengaruh terhadap
kehamilan dan janin yang ada dalam kandungannya. Kaitannya dengan pemeriksaan
ANC yang sebetulnya dapat banyak memberikan ilmu dan informasi terkait kesehatan
ibu dan bayi sebagian besar responden kurang memanfaatkannya. Hal ini
dibuktikan dengan hasil frekuensi pemeriksaan ANC kurang pada sebagian besar
responden (57.5%).
Penelitian ini juga sependapat
dengan Soetriono (2007), pengetahuan merupakan aspek pokok untuk menentukan perilaku
untuk menyadari dan tidak, maupun mengatur perilakunya sendiri. Tahu� kerap
kali menjadi dasar suatu tindakan. Timbulnya gangguan kesehatan atau penyakit
pada seseorang disebabkan oleh perilaku seseorang tersebut. Pengetahuan tentang
BBLR maupun pestisida dalam pertanian adalah hasil dari �tahu� seseorang, yang
terjadi setelah orang tersebut melakukan pengindraan terhadap kejadian BBLR.
5. Usia Kehamilan
Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada
sejumlah 20 responden (66.7%) dengan usia kehamilan berisiko. Sedangkan pada
kelompok responden yang tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 39
responden (43.3%) dengan usia kehamilan berisiko. Dari hasil tersebut secara
persentase, ibu dengan usia kehamilan berisiko lebih banyak yang melahirkan
bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN).
Hasil uji statistik hubungan antara usia kehamilan dengan kejadian BBLR
diperoleh nilai p=0.045 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan
antara usia kehamilan dengan kejadian BBLR. Diperoleh pula nilai OR= 2.615 (95%
CI; 1.100 � 6.218) dapat diartikan bahwa ibu yang mempunyai usia kehamilan
berisiko, memiliki peluang melahirkan bayi BBLR 3 kali dibandingkan dengan ibu
yang mempunyai usia kehamilan tidak berisiko.
Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Farika (2016), ibu yang melahirkan pada umur kehamilan kurang dari
37 minggu memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk mengalami BBLR dibandingkan
dengan ibu yang melahirkan pada umur ≥37 minggu. Penelitian ini didukung
pula dengan penelitian Dwiningsih (2007), diketahui bahwa dari 298 kasus BBLR
terdapat 229 (76.8%) yang dipengaruhi oleh usia kehamilan ibu bersalin dengan p value 0.04 < 0.05 yang menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia kehamilan ibu bersalin dengan
kejadian BBLR. Penelitian ini sesuai pula dengan teori yang ditulis oleh (Pantiawati, 2010), yang menyatakan bahwa penentuan usia kehamilan
sangat penting karena angka kematian dan kesakitan menurun dengan meningkatnya
umur kehamilan. Selain itu, ada hubungan antara umur kehamilan dan tingkat
maturitas fisiologis neonatus.
Bayi
lahir prematur adalah bayi yang lahir dengan usia
kehamilan antara 28-36 minggu. Bayi prematur dengan kategori kurang bulan ini organ
dan alat-alat tubuhnya belum bisa berfungsi secara optimal ketika hidup di luar
rahim sang ibu. Semakin muda usia kehamilan, maka
semakin rentan organ bayi dan prognosisnya juga buruk. Sedangkan pada bayi
matur, organ dan alat-alat tubuh bayi sudah matang dan berfungsi lebih baik
dibanding dengan bayi kurang bulan.
Sedangkan menurut Utomo
(1985) dalam penelitian (Nurhadi, 2006), bayi BBLR dengan berat lahir sesuai menurut
umur kehamilan biasanya berhubungan dengan kejadian ketidakmampuan uterus untuk
mempertahankan janin. Kontraksi efektif pada
uterus sebelum kelahiran yang belum mencapai usia kehamilan
disebabkan karena gangguan pada perjalanan kelahiran. Kelahiran
preterm disebabkan karena adanya infeksi oleh bakteri pada cairan amnion dan
ketuban. Produk-produk bakteri dapat merangsang produksi sitokinin lokal
dengan akibat ketuban pecah setempat. �
6.
Jarak kelahiran�
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 17
responden (56.7%) dengan jarak kelahiran tidak berisiko. Sedangkan pada
kelompok responden yang tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 61 responden
(67.8%) dengan jarak kelahiran tidak berisiko. Dari hasil tersebut secara
persentase, ibu yang mempunyai jarak kelahiran tidak berisiko lebih banyak yang
melahirkan bayi tidak dengan BBLR (BBLN) dibandingkan dengan ibu yang
melahirkan bayi BBLR. Hasil uji statistik hubungan antara jarak kelahiran
dengan kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.377 maka dapat disimpulkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara jarak kelahiran dengan kejadian BBLR
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Fitri (2013), dengan perhitungan statistik
menggunakan Chi Square terhadap
variabel jarak kelahiran diperoleh nilai p
value = 0.070. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara jarak kelahiran dengan kejadian BBLR.
(Ismi
Trihardiani, 2011) dalam penelitiannya
menunjukkan hasil yang sama, dari analisis hubungan antara jarak kelahiran
dengan kejadian BBLR diperoleh bahwa ada sebanyak (14,3%) subyek yang memiliki
jarak kelahiran kurang dari sama dengan dua tahun (risiko) melahirkan bayi
BBLR, sedangkan di antara subyek yang memiliki tinggi jarak kelahiran lebih
dari sama dengan dua tahun (tidak risiko), ada (85,7%) subyek yang melahirkan
bayi BBLR. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,496 maka dapat disimpulkan
tidak ada hubungan antara jarak kelahiran dengan kejadian BBLR.
Jarak kelahiran yang pendek (< 2
tahun) akan menyebabkan seorang ibu belum cukup waktu untuk memulihkan kondisi
tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Sistem reproduksi yang terganggu akan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandungnya sehingga berpengaruh
terhadap berat badan lahir. Ibu hamil yang jarak kelahirannya kurang dari dua
tahun, kesehatan fisik dan kondisi rahimnya masih butuh istirahat yang cukup.
Ada kemungkinan juga ibu masih menyusui dan memberikan perhatian pada anak yang
dilahirkan sebelumnya, sehingga kondisi ibu yang lemah ini akan berdampak pada
kesehatan janin dan berat badan lahir (Bobak,
Dejmek, Solansky, & Sram, 2005).
Berdasarkan temuan di lapangan mayoritas
responden tidak mempunyai risiko pada jarak kelahiran, baik pada ibu yang
mengalami kejadian BBLR maupun tidak BBLR sejumlah (65%). Tetapi ditemukan
bahwa banyaknya ibu yang melahirkan bayi normal berada pada kelahiran lebih
dari dua tahun mempunyai persentase lebih tinggi (67.8%). �
7. Paritas
Berdasarkan hasil � penelitian menunjukkan
bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 16 responden
(53.3%) dengan paritas berisiko. Sedangkan pada kelompok responden yang tidak
mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 13 responden (14.4%) dengan paritas
berisiko. Dari hasil tersebut secara persentase, ibu dengan paritas berisiko
lebih banyak yang melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu yang
melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Hasil uji statistik hubungan antara paritas
dengan kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.000 maka dapat disimpulkan ada hubungan
yang signifikan antara paritas dengan kejadian BBLR. Diperoleh pula nilai OR= 6.769
(95% CI; 2.678 � 17.110) dapat diartikan bahwa ibu yang mempunyai paritas
berisiko, memiliki peluang melahirkan bayi BBLR 7 kali dibandingkan dengan ibu
yang mempunyai paritas tidak berisiko.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nurrohmah (2002), paritas berhubungan secara
signifikan dengan kejadian BBLR di mana nilai p value = 0.006 dan OR: 12.429 (CI: 1.461-105.737).
Paritas yang berisiko melahirkan
BBLR adalah paritas lebih dari empat. Setelah seorang ibu melahirkan lebih dari empat dan
mempunya paritas tinggi dapat menyebabkan gangguan pada uterus terutama pada
fungsi pembuluh darah. Terlalu seringnya kehamilan akan mengakibatkan rusaknya dinding pembuluh darah uterus,
dengan demikian hal tersebut dapat menghalangi jalannya nutrisi bagi kehamilan pada
janin berikutnya dan karena hal tersebut bayi dengan BBLR lahir.
Kehamilan yang optimal
adalah kehamilan anak ke 2-4, ini merupakan paritas paling aman ditinjau dari
sudut kematian maternal, hal ini dikarenakan risiko komplikasi yang serius,
seperti perdarahan dan infeksi meningkat secara bermakna mulai dari persalinan
yang ke empat dan seterusnya, sehingga ada kecenderungan bayi lahir dengan
kondisi BBLR bahkan terjadinya kematian ibu dan bayi (Winkjosastro, 2005).
Penelitian lain menunjukkan
bahwa berat badan lahir bayi meningkat seiring peningkatan status paritas dan mencapai
berat badan maksimal pada paritas ketiga, kemudian pada paritas berikutnya
rata-rata berat badan bayi akan menurun (Negi, Kandpal, & Kukreti, 2006). Penelitian lain
menambahkan bahwa status paritas yang tinggi dapat meningkatkan risiko kejadian
BBLR dan bayi lahir mati. Hal tersebut terjadi karena semakin tinggi status
paritasnya maka kemampuan rahim untuk menyediakan nutrisi bagi kehamilan
selanjutnya semakin menurun sehingga penyaluran nutrisi antara ibu dan janin
terganggu yang akhirnya dapat mengakibatkan BBLR (Aliyu et al., 2005). �
8. Riwayat BBLR Pada Kelahiran
Sebelumnya
Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 16 responden
(53.3%) dengan tidak berisiko pada riwayat BBLR kelahiran sebelumnya. Sedangkan
pada kelompok responden yang tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 56
responden (62.2%) dengan tidak berisiko pada riwayat BBLR kelahiran sebelumnya.
Dari hasil tersebut secara persentase, ibu tidak berisiko pada riwayat BBLR
kelahiran sebelumnya lebih banyak yang melahirkan bayi tidak dengan BBLR (BBLN)
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi BBLR. Hasil uji statistik hubungan
antara riwayat BBLR pada kelahiran sebelumnya dengan kejadian BBLR diperoleh
nilai p=0.519 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
riwayat BBLR pada kelahiran sebelumnya dengan kejadian BBLR.
Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian Saraswati (2001), yang menyatakan bahwa ibu hamil
yang pernah melahirkan bayi BBLR dan lahir mati mempunyai risiko untuk
melahirkan bayi BBLR 4,35 kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak pernah
melahirkan bayi lahir mati. Ibu yang mempunyai riwayat BBLR sebelumnya lebih
berisiko terjadi BBLR pada kehamilan dan persalinan berikutnya (Proverawati, n.d.)
Hal ini dikarenakan dari
data yang didapatkan mayoritas responden tidak mengalami kejadian BBLR pada
kehamilan sebelumnya sejumlah (60%). Namun hal ini tidak membuktikan bahwa
riwayat BBLR pada kelahiran sebelumnya selalu mempunyai risiko atau mempengaruhi
kelahiran berikutnya karena berdasarkan hasil temuan menunjukkan bahwa
persentase lebih besar pada ibu yang melahirkan dengan berat badan bayi normal
tidak mempunyai riwayat BBLR pada kelahiran sebelumnya sejumlah (62.2%).�
9.
Pendapatan
Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 22
responden (73.3%) dengan pendapatan rendah. Sedangkan pada kelompok responden yang
tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 43 responden (47.8%) dengan
pendapatan rendah. Dari hasil tersebut secara persentase, ibu dengan pendapatan
rendah lebih banyak yang melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu
yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Hasil uji statistik hubungan antara
pendapatan dengan kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.026 maka dapat disimpulkan
ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan kejadian BBLR.
Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR= 3.006 (95% CI; 1.211�7.458) dari kejadian
BBLR. Dapat
diartikan bahwa ibu dengan pendapatan rendah, memiliki peluang melahirkan bayi
dengan BBLR 3.006 kali dibandingkan ibu dengan pendapatan tinggi.
Hasil penelitian Zaenab
2006 menyatakan bahwa rendahnya pendapatan akan menyebabkan kecenderungan ibu
kekurangan asupan nutrisi selama kehamilan sehingga menimbulkan gizi buruk.
Gizi buruk menyebabkan janin kekurangan zat-zat yang dibutuhkan sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan yang pada akhirnya dapat menyebabkan
BBLR dan bayi cacat. Hal ini sesuai pula dengan teori bahwa, keadaan sosial
ekonomi mempengaruhi kualitas dan kuantitas gizi ibu selama bulan�bulan
terakhir kehamilan dan ukuran bayi pada saat lahir. Semakin buruk gizi ibu
semakin kurang berat dan panjang bayinya (Sistiarani, 2008).
Faktor pendapatan keluarga
berhubungan pula dengan tingkat pendidikan, pekerjaan ibu, ekonomi keluarga. Secara tidak langsung, Pendidikan berpengaruh
terhadap kehamilan terutama pada kelahiran bayi BBLR.
Hal tersebut dikaitkan dnegan Pendidikan seorang ibu yang mengatahui cara merawat dan memelihara kandungan serta upaya dalam
pemeriksaan dan mendapatkan pelayanan kesehatan selama ibu tersebut mengandung.
Pendapatan
keluarga dapat menunjang gambaran kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan
gizi ibu selama hamil yang berperan terhadap timbulnya prematuritas. Kejadian tertinggi
terdapat pada golongan pendapatan rendah (Maryanti, n.d.).
10. Status Gizi Ibu
Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 24
responden (80%) dengan status gizi kurang. Sedangkan pada kelompok responden
yang tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 43 responden (47.8%) dengan
status gizi kurang. Dari hasil tersebut secara persentase, ibu dengan status
gizi kurang lebih banyak yang melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan
ibu yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Hasil uji statistik hubungan antara
status gizi ibu dengan kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.004 maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara status gizi ibu dengan kejadian
BBLR. Dari analisis diperoleh pula nilai OR= 4.372 (95% CI;� 1.632 � 11.714). Dapat diartikan bahwa ibu dengan
status gizi kurang, memiliki peluang melahirkan bayi dengan BBLR 4.372 kali
dibandingkan ibu dengan status gizi baik.
Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian (Shanklin, 1979) dalam penelitian (Nurhadi, 2006) yang menyatakan bahwa,
ibu hamil dengan gizi kurang akan melahirkan bayi BBLR� 10 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang
gizinya baik. Asupan gizi yang kurang ini juga ditemukan pada penelitian di
Ciawi di mana angka kejadian BBLR sebesar 16,1 %, di daerah ini terdapat
kepercayaan tidak makan banyak untuk menghindari bayi besar agar� persalinan dapat berjalan lancar.
Kurangnya
gizi berdampak buruk terhadap janin seperti prematuritas, kelahiran mati atau
kematian noental dini dan gangguan pertumbuhan janin. Status nutrisi ibu mempunyai efek kevil terhadap pertimbuhan janin
selama embriogenetis. Kekurangan gizi saat hamil akan berakibat buruk
terhadap janin seperti prematuritas, gangguan pertumbuhan janin, kelahiran mati
atau kematian neonatal dini. Selama embriogenesis status nutrisi ibu memiliki
efek yang kecil terhadap pertumbuhan janin. Hal ini sesuai dengan perkiraan kebanyakan
wanita memiliki simpanan nutrisi yang cukup untuk embrio yang tumbuh lambat. Namun
demikian pada fase pertumbuhan trimester III saat hipertrofi sel janin dimulai,
kebutuhan nutrisi janin dapat melebihi persediaan ibu jika masukan nutrisi
kurang.� �
Pengaruh gizi terhadap
kehamilan sangat penting. Peningkatan pendidikan mengenai gizi dan perolehan
gizi yang memadai dari segi susunan menu maupun jumlah atas kualitasnya, hal
tersebut yang perlu di perhatikan bagi ibu hamil dengan gizi buruk. Karena adanya malnutrisi
pada ibu hamil, menyebabkan volume darah menjadi kurang, aliran darah ke uterus
dan plasenta berkurang, ukuran plasenta berkurang dan transfer nutrient melalui
plasenta berkurang sehingga janin tumbuh lambat atau terganggu. Ibu hamil dengan kekurangan gizi cenderung melahirkan prematur
atau BBLR (Romauli, 2011).
11. Frekuensi Pemeriksaan
ANC�
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 25 responden
(83.3%) dengan frekuensi pemeriksaan ANC kurang. Sedangkan pada kelompok
responden yang tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 44 responden (69%)
dengan frekuensi pemeriksaan ANC kurang. Dari hasil tersebut secara persentase,
ibu dengan frekuensi pemeriksaan ANC kurang lebih banyak yang melahirkan bayi
dengan BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN).
Hasil uji statistik hubungan antara frekuensi pemeriksaan antenatal care dengan
kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.002 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang
signifikan antara frekuensi pemeriksaan antenatal care dengan kejadian BBLR.
Dari analisis diperoleh pula nilai OR= 5.227 (95% CI;� 1.838 � 14.868). Dapat diartikan bahwa ibu
dengan frekuensi pemeriksaan ANC kurang, memiliki peluang melahirkan bayi
dengan BBLR 5.227 kali dibandingkan� ibu
dengan pemeriksaan ANC baik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Sistiarani,
2008) yang menyatakan bahwa
frekuensi pemeriksaan Antenatal Care mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian
BBLR, ditunjukkan dengan nilai p= 0.001 dan OR: 5.85 yang artinya ibu yang
tidak melakukan pemeriksaan ANC mempunyai peluang 5.85 kali untuk mengalami
kejadian BBLR.�
Pelayanan yang dilakukan secara rutin
juga merupakan upaya untuk melakukan deteksi dini kehamilan berisiko sehingga
dapat dengan segera dilakukan tindakan yang tepat untuk mengatasi dan
merencanakan serta memperbaiki kehamilan tersebut. Kelengkapan antenatal
terdiri dari jumlah kunjungan antenatal dan kualitas pelayanan antenatal. Pelayanan
antenatal mempunyai pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan janin atau lama
waktu mengandung, baik dengan diagnosis maupun dengan perawatan berkala
terhadap adanya komplikasi kehamilan (PMKP No.97, 2014).
Pelayanan antenatal
Ketika pertama kali ibu hamil termasuk Langkah yang snagat penting dilakukan,
dengan demikian resiko kekurangan dan kehilangan bisa diatasi sedini mungkin. Upaya tersebut dilakukan saat pertama kali mengetahui adanya
keterlambatan menstruasi, dengan demikian penetapan data dasar mempengaruhi
tumbuh kembang janin dan Kesehatan ibu sampai persalinan. Ibu hamil juga
dianjurkan untuk melakukan pengawasan antenatal minimal sebanyak 4 kali sesuai
standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Kualitas pelayanan antenatal meliputi
sifat/struktur dan jenis pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Dalam
hal ini pelayanan antenatal yang kontinu serta layanan antenatal yang ditujukan
pada segmen kehamilan berisiko (Pengurus Pusat, 2006).
12. Keikutsertaan Dalam Kegiatan
Pertanian
Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada
sejumlah 19 responden (63.3%) dengan keikutsertaan dalam kegiatan pertanian
> 3 kali seminggu. Sedangkan pada kelompok responden yang tidak mengalami
kejadian BBLR, ada sejumlah 25 responden (27.8%) dengan keikutsertaan dalam
kegiatan pertanian >3 kali seminggu. Dari hasil tersebut secara persentase,
ibu dengan keikutsertaan dalam kegiatan pertanian > 3 kali dalam seminggu
lebih banyak yang melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu yang
melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Hasil uji statistik hubungan antara
keikutsertaan dalam kegiatan pertanian dengan kejadian BBLR diperoleh nilai
p=0.002 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara
keikutsertaan dalam kegiatan pertanian dengan kejadian BBLR.
Untuk mendapatkan nilai OR pada
variabel keikutsertaan dalam kegiatan pertanian ini peneliti melakukan dummy antara ketiga kategori
keikutsertaan dalam kegiatan pertanian dan berdasarkan tabel dummy tersebut diketahui bahwa nilai OR
pada keikutsertaan
dalam kegiatan pertanian > 3 kali dalam seminggu lebih besar yaitu 4.491 dibandingkan
dengan nilai OR
pada keikutsertaan
dalam kegiatan pertanian < 2 kali dalam seminggu� yaitu sebesar 4.065 yang artinya ibu yang
terlibat dalam kegiatan pertanian > 3 kali dalam seminggu mempunyai risiko 5
kali untuk mengalami kejadian BBLR.
Penelitian ini selaras dengan penelitian
yang dilakukan (Sari
& Hanani, 2013), yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara keterlibatan ibu hamil dalam kegiatan pertanian dengan kejadian
BBLR. Hal ini dibuktikan dengan menggunakan uji Chi-Square yang menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.019.
Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh (Hidayati,
2013) dengan hasil uji statistik
terhadap hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian berat badan lahir rendah
menunjukkan hubungan yang bermakna (p=0,005).�
Kejadian BBLR ini dapat terjadi karena sebagian besar responden yang berada di Kecamatan Ketanggungan merupakan petani
(52.2%) subyek bekerja, dan juga dikarenakan sebagian besar ibu yang bekerja
memiliki pekerjaan yang membahayakan kesehatan janinnya, terlibat dengan
kegiatan yang berkaitan dengan bahan beracun yaitu pestisida pada bawang merah,
selain itu ibu yang bekerja mempunyai pendidikan rendah sehingga mereka tidak dapat
mengurangi faktor risiko dari pekerjaan mereka dengan melakukan pencegahan
secara dini.
Seorang petani
yang sedang hamil dan ikut menyemprotkan pestisida di sawah maka bisa terpapar
pestisida tersebut, pencarian hama di ladang atau membantu
mencabut rumput dari tanaman, Ketika ibu hamil mencucu pakaian yang terkena
pestisida memungkinkan ibu hamil terpajan pestida tersebut. Begitupun
Ketika waktu panen tiba, ibu hamil dapat terpajan pestisida dari daun bawang
yang dipetiknya. Adanya pajanan pestisida dapat
mengganggu pertumbuhan janin pada ibu hamil dan dapat mengakibatkan bayi lahir
dalam keadaan berat badan lahir rendah.
Sementara penelitian di Tanzania menunjukkan
bahwa ibu hamil yang bekerja memiliki risiko terjadinya BBLR 1,99 kali
dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak bekerja (ibu rumah tangga). Ibu hamil
yang bekerja kecenderungan memiliki waktu istirahat kurang yang akan
mengakibatkan terjadinya komplikasi kehamilan, seperti terlepasnya plasenta
yang secara langsung berhubungan dengan BBLR (Setiyobudi,
Setiani, & Wahyuningsih, 2011).
Pekerjaan yang berkaitan dengan
pestisida berpeluang besar untuk menimbulkan terjadinya keracunan pestisida.
Pekerjaan ibu sewaktu hamil yang berkaitan dengan pestisida adalah pekerjaan
sebagai petani yang bekerja di bidang pertanian. Pekerjaan di bidang pertanian berkaitan
dengan sebagian besar petani menggunakan pestisida dalam menggarap lahan dan
melindungi tanaman dari serangan hama. Petani yang melakukan pekerjaan berkaitan
dengan pestisida akan menyebabkan mereka berpeluang menderita keracunan
pestisida yang dapat masuk melalui hidung, mulut maupun kulit. Pada umumnya
seorang petani kurang menyadari bahwa mereka terpapar pestisida yang dapat
membahayakan kesehatan.�
Walaupun pestisida merupakan zat
racun, pestisida sering dianggap sesuatu hal biasa dan dihadapi sehari-hari. (Pujiono,
2009), menemukan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara pekerjaan pengelola pestisida dengan keracunan
pestisida di tempat penjualan pestisida. Salah satu indikator terdapatnya
keracunan pestisida dengan menurunnya aktivitas cholinesterase. Penelitian (Sundani
& SKM, 2017) menemukan terjadinya
penurunan aktivitas cholinesterase
pada pekerjaan penyemprotan pestisida. Lama paparan pestisida juga akan
menurunkan aktivitas cholinesterase.�
Selain lama pemaparan pestisida,
frekuensi paparan pestisida sangat berkaitan dengan banyaknya pestisida yang
masuk ke dalam tubuh. Semakin lama dan lebih dari tiga kali dalam seminggu serta
berturut-turut seseorang terpapar dan semakin sering terpapar pestisida, maka
akan semakin banyak pestisida yang terakumulasi di dalam tubuh. Hal ini disebabkan
karena dengan lamanya terpapar, maka akan semakin banyak pestisida yang dapat
melekat pada kulit, terhirup oleh hidung ataupun tertelan melalui mulut,
sehingga pestisida akan masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang banyak.
13. Lama Kerja
Dari responden yang mengalami
kejadian BBLR, ada sejumlah 21 responden (70%) dengan lama kerja berisiko (≥
5 jam). Sedangkan pada kelompok responden yang tidak mengalami kejadian BBLR,
ada sejumlah 34 responden (37.8%) dengan lama kerja berisiko (≥ 5 jam).
Dari hasil tersebut secara persentase, ibu dengan lama kerja berisiko (≥
5 jam) lebih banyak yang melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu
yang melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Hasil uji statistik hubungan antara
lama kerja dengan kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.004 maka dapat disimpulkan
ada hubungan yang signifikan antara lama kerja dengan kejadian BBLR. Dari
analisis diperoleh pula nilai OR=3.843 (95% CI; 1.579 � 9.355), dapat diartikan
bahwa ibu yang bekerja ≥ 5 jam sehari memiliki peluang melahirkan bayi
dengan BBLR 3.843 kali dibandingkan dengan ibu yang bekerja < 5 jam.
Hal ini sependapat dengan hasil
penelitian Setiyobudi dkk. (2013), yang menyatakan bahwa, terdapat hubungan
yang signifikan antara lama paparan pestisida dengan kejadian BBLR dengan nilai
p = 0,001 dan RP 5,229 (95% CI: 2,325 � 11,757). Penyebab adanya hubungan antara
lama kerja dalam kegiatan pertanian dengan kejadian BBLR dikarenakan pada
umumnya ibu terlibat langsung dengan aktivitas pertanian seperti mencari hama,
mencabut rumput tanaman, menyiram tanaman, memanen, melepas bawang dari
tangkainya, mencuci pakaian untuk bertani dan memupuk. Adanya kontak langsung
antara ibu dengan pestisida menambah risiko pajanan pestisida yang berlebihan.
Menurut (Helen,
2001), seorang wanita hamil dengan aktivitas kerja yang berat berisiko
mengalami persalinan prematur atau bayi dengan BBLR. Jenis pekerjaan juga
dihubungkan dengan penghasilan yang dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi
wanita hamil tersebut. Dari beberapa penelitian, persalinan prematur dan BBLR
dapat terjadi pada wanita yang bekerja terus menerus selama kehamilan, terutama
bila pekerjaan tersebut memerlukan kerja fisik atau berdiri untuk waktu yang
lama. Keadaan ini dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serta
kesejahteraan janin yang dikandungnya.
Semakin lama bekerja sebagai petani
maka semakin sering kontak dengan pestisida sehingga risiko terjadinya
keracunan pestisida semakin tinggi. Penurunan aktivitas kolinesterase dalam
plasma darah karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang
terpapar hingga 2 minggu setelah melakukan kegiatan tersebut dan waktu yang
dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisida maksimal 5 jam per hari (Setiyobudi
et al., 2011).
14. Penggunaan Alat Pelindung
Diri
Pestisida masuk ke dalam tubuh dapat
melalui berbagai cara, antara lain melalui pernafasan atau penetrasi kulit.
Oleh karena itu cara-cara yang paling baik untuk mencegah terjadinya keracunan
adalah memberikan perlindungan pada bagian-bagian tersebut. Peralatan untuk
melindungi bagian tubuh dari pemaparan pestisida pada saat melakukan kegiatan pertanian
disebut alat pelindung diri.
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa, dari responden yang mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 23
responden (76.7%) dengan tidak menggunakan alat pelindung diri. Sedangkan pada
kelompok responden yang tidak mengalami kejadian BBLR, ada sejumlah 46
responden (51.1%) dengan tidak menggunakan alat pelindung diri. Dari hasil
tersebut secara persentase, ibu dengan tidak menggunakan alat pelindung diri
lebih banyak yang melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu yang
melahirkan bayi tidak BBLR (BBLN). Hasil uji statistik hubungan antara
penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian BBLR diperoleh nilai p=0.025
maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara� penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian
BBLR. Dari analisis diperoleh pula nilai OR=3.143 (95% CI; 1.226�8.059) dapat
diartikan bahwa, tidak menggunakan alat pelindung diri saat melakukan kegiatan
pertanian memiliki peluang melahirkan bayi dengan BBLR 3.143 kali dibandingkan
dengan ibu yang menggunakan alat pelindung diri saat melakukan kegiatan
pertanian.
Hal ini sependapat dengan penelitian (Setiyobudi
et al., 2011) yang menyatakan bahwa,
terdapat hubungan yang signifikan antara pemakaian Alat Pelindung Diri
(APD)� dengan kejadian� BBLR dengan nilai p = 0,039 dan RP = 2,699
(95% CI : 1,180 � 6,174).
Berdasarkan hasil temuan di lapangan,
kondisi ini ditunjang dengan tidak lengkapnya alat pelindung diri yang
digunakan. Sebagian besar responden tidak menggunakan alat pelindung diri
secara lengkap dan tidak memenuhi standar. Tidak lengkapnya penggunaan APD pada
ibu hamil sewaktu bekerja di daerah pertanian akan meningkatkan pemaparan
pestisida pada ibu hamil tersebut baik melalui hidung, mata dan kulit saat
bekerja.� Alat pelindung diri yang tidak
lengkap akan memperlama waktu kontak pestisida dengan kulit sehingga absorpsi
pestisida melalui kulit juga akan semakin banyak. (Pujiono,
2009) menemukan� adanya hubungan yang signifikan antara
pemakaian APD dengan Paparan Pestisida pada Masa Kehamilan keracunan pestisida
dengan P = 0,012. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak lengkap
memungkinkan pestisida masuk ke dalam tubuh melalui kulit, saluran pernafasan,
mata, dan mulut. Apabila pestisida tersebut terabsorpsi ke dalam tubuh maka
akan mengakibatkan adanya gangguan hormon tiroid, yaitu hormon yang mengatur
keseimbangan dengan hormon lainnya. Gangguan tersebut menyebabkan kelenjar
tiroid tidak menghasilkan cukup banyak hormon tiroid sesuai yang dibutuhkan
tubuh (hipotiroidisme) yang jika terjadi pada ibu hamil dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan janin di dalam kandungannya (Sari
& Hanani, 2013).
15. Faktor Dominan
Berdasarkan hasil
pemodelan terakhir analisis multivariate dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
variabel independen yang berhubungan signifikan secara statistik pada kejadian
bayi dengan� berat badan lahir rendah
atau nilai p value < 0.05 adalah
variabel pengetahuan ibu, paritas, status gizi, Frekuensi pemeriksaan ANC dan
lama kerja. Hasil Analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang memiliki
nilai signifikan yang tertinggi terhadap pada variabel lama kerja dengan nilai p value 0.006 dan nilai OR sebesar
8.117. Artinya ibu dengan lama kerja lebih dari 5 jam dalam sehari memiliki
peluang sebesar 8 kali untuk mengalami kejadian BBLR.
Berdasarkan survei yang
dilakukan peneliti ketika melihat langsung pada saat penelitian di lapangan
bahwa, kejadian
ini dikarenakan pada umumnya ibu hamil terlibat langsung dengan aktivitas
pertanian dan ini dilakukan oleh ibu lebih dari 5 jam sehari. Sebagian besar
ibu bertani atau terlibat dalam pertanian mulai dari pagi sampai sore bahkan
malam. Keterlibatan ibu hamil mulai dari menyiapkan bahan pestisida, terjun
langsung ke sawah membantu suami bekerja seperti memanen, menyiram bawang, mengambil
rumput di sawah dan mencuci pakaian suami setelah bekerja. Adanya kontak
langsung antara ibu dengan pestisida menambah risiko pajanan pestisida yang
berlebihan.
Dari beberapa penelitian, persalinan
prematur dan BBLR dapat terjadi pada wanita yang bekerja terus menerus selama
kehamilan, terutama bila pekerjaan tersebut memerlukan kerja fisik atau berdiri
untuk waktu yang lama. Keadaan ini dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan serta kesejahteraan janin yang dikandungnya.
Semakin lama bekerja sebagai petani
maka semakin sering kontak dengan pestisida sehingga risiko terjadinya
keracunan pestisida semakin tinggi. Penurunan aktivitas kolinesterase dalam
plasma darah karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang
terpapar hingga 2 minggu setelah melakukan kegiatan tersebut dan waktu yang
dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisida maksimal 5 jam per hari (Setiyobudi
et al., 2011).
Hal ini menunjukkan bahwa
faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kejadian BBLR adalah faktor lama
kerja.
�
�
�
BIBLIOGRAFI
Aliyu, M. H., Salihu, H. M.,
Keith, L. G., Ehiri, J. E., Islam, M. A., & Jolly, P. E. (2005). Extreme
parity and the risk of stillbirth. Obstetrics & Gynecology, 106(3),
446�453.
Amalia, M. (2016). Analisis
Perbedaan Berat Badan Aseptor KB Menggunakan Kontrasepsi Suntik Tiga Bulan. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(2), 1�15.
Bobak, M., Dejmek, J.,
Solansky, I., & Sram, R. J. (2005). Unfavourable birth outcomes of the Roma
women in the Czech Republic and the potential explanations: a population-based
study. BMC Public Health, 5(1), 106.
Damanik, D., &
Gorodetski, A. (2011). Spectral and quantum dynamical properties of the weakly
coupled Fibonacci Hamiltonian. Communications in Mathematical Physics, 305(1),
221�277.
Depkes, R. I. (2007). Profil
kesehatan 2007. Departemen Kesehtan RI.
Helen, F. (2001). Perawatan
Maternitas. Jakarta: EGC, 60.
Hidayati, R. (2013). Modifikasi
Tata Rias Pengantin Yogya-PAES AGENG. Gramedia Pustaka Utama.
Ismi Trihardiani, I. T.
(2011). Faktor risiko kejadian berat badan lahir rendah di wilayah kerja
Puskesmas Singkawang Timur dan Utara Kota Singkawang. Diponegoro
University.
Manuaba, I., & Bagus, G.
(2007). Ilmu Penyakit Kebidanan, Kandungan dan Pelayanan KB untuk pendidikan
Bidan. EGC, Jakarta.
Martaadisoebrata, D.,
Sastrawinata, S., & Saifuddin, A. B. (2005). Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi
Sosial. Jakarta: YBPSP.
Maryanti, D. (n.d.).
dkk.(2011). Buku Ajar Neonatus, Bayi Dan Balita.
Negi, K. S., Kandpal, S. D.,
& Kukreti, M. (2006). Epidemiological factors affecting low birth weight. JK
Science, 8(1), 31�34.
Noor, N. N. (2008). Epidemiologi.
Jakarta. Rineka Cipta Press.
Nurhadi, N. (2006). Faktor
Risiko Ibu Dan Layanan Antenatal Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah
(Studi kasus di BP RSUD Kraton Pekalongan). program Pascasarjana
Universitas Diponegoro.
Nurrohmah, H. (2002). Hubungan
Beberapa Faktor Maternal, Sosial Ekonomi Dan Pengetahuan Serta Praktek Tentang Antenatal
Care (ANC) Dengan Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Mungkid Kabupaten Magelang Januari 2001-Juni 2001.
Diponegoro University.
Pantiawati, I. (2010). Bayi
dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Yogyakarta: Nuha Medika.
Pengurus
Pusat, I. B. I. (2006). Standar pelayanan kebidanan. Jawa Barat.����������������
Proverawati, A. (n.d.). dkk.
2010. Panduan Memilih Kontrasepsi.
Pujiono, P. (2009). Hubungan
Faktor Lingkungan Kerja dan Praktek Pengelolaan Pestisida dengan Kejadian
Keracunan Pestisida Pada Tenaga Kerja di Tempat Penjualan Pestisida di
Kabupaten Subang. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Romauli, S. (2011). Buku Ajar
Asuhan Kebidanan 1 Konsep Dasar Asuhan Kehamilan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sari, N. K., & Hanani, D.
(2013). Hubungan riwayat pajanan pestisida pada ibu hamil dengan kejadian berat
badan lahir rendah (BBLR) di wilayah kerja puskesmas wanasari kabupaten brebes.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, 2(2), 18759.
Setiyobudi, B., Setiani, O.,
& Wahyuningsih, N. E. (2011). Hubungan paparan pestisida pada masa
kehamilan dengan kejadian berat badan bayi lahir rendah (BBLR) di Kecamatan
Ngablak Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 12(1),
26�33.
Setyaningrum, S. R.,
Triyanti, T., & Indrawani, Y. M. (2014). Pembelajaran di Pendidikan Anak
Usia Dini dengan perkembangan kognitif pada anak. Kesmas: National Public
Health Journal, 243�249.
Sistiarani, C. (2008). Faktor
maternal dan kualitas pelayanan antenatal yang berisiko terhadap kejadian berat
badan lahir rendah (BBLR) studi pada ibu yang periksa hamil ke tenaga kesehatan
dan melahirkan di rsud banyumas tahun 2008. Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro.
Siwiendrayanti, A. (2011).
Keterlibatan dalam aktivitas pertanian dan keluhan Kesehatan Wanita Usia Subur.
KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), 73�82.
Soekanto, S. (2002).
Sosiologi suatu pengantar Ringkas. Penerbit CV Rajawali Jakarta.
Sondari, W. D.,
SYAMSUR1PUTRA, A. A., & Setiadi, T. (2006). Screening of al-cohol-tolerant
yeast of Saccharomyces Cerev/siae. J Teknlk Kimia Indonesia, 5(2),
409�414.
Sundani, I. P., & SKM, M.
K. M. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) Pada Petani Bawang Merah Di Kecamatan Ketanggungan Kabupaten
Brebes Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017. PLACENTA, 2(2), 41�56.
Syafitri, F. R., Sitawati,
S., & Setyobudi, L. (2014). Kajian etnobotani masyarakat desa berdasarkan kebutuhan
hidup. Jurnal Produksi Tanaman, 2(2).
Winkjosastro, H. (2005). Ilmu
Kebidanan, Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.