Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol.
5, No.
6, Juni 2020
����������
Yeshi Mayasari, Prih Sarnianto
dan Yusi Anggriani
Magister Farmasi Universitas Pancasila Jakarta
Email: [email protected],
[email protected] dan [email protected]
Abstract
Pharmaceutical care is a series of disease
management which is expected to improve the quality of life of patients with
Diabetes Mellitus. The purpose of this study is to see that pharmaceutical care
can improve adherence and quality of�
patients life for type 2 DM. This research with quasi-experimental
non-equivalent control group pretest-posttest design. A sample of 160 type 2 DM
patients consisted of 80 patients from Public Health Center of Cipayung
sub-district (intervention group) 80 patients from Public Health Center of
Kramat jati sub-district (control group). The total sampling method for the
Prolanist group, and non-Prolanist groups by purposive sampling. Data was
collected using questionnaire MMAS-8 (obedience), SF-36 (quality of life) and
fasting blood glucose data (GDP) from laboratory of public health center. The
characteristics of DM patients include a mean age is 58 years, female gender,
high school education, housewife. Duration of DM is 2-3 years old and obesity
IMT value I. The result of Wilcoxon (p <0.05) there was an increase in
adherence, quality of life, and controlled levels of GDP on intervention group.
The result of the test of Mann-Whitney, there was an increase in adherence,
quality of life, and controlled levels the consequences of pharmaceutical care
in Non-Prolanist patients with value (p < 0,05). The
result of The Spearman rho test indicate a positive relationship between the
level of compliance and GDP control with quality of life. It can
be concluded that pharmaceutical care can improve adherence, quality of life
and control of GDP of the quality of patients life of DM 2 who are Prolanis and
non-Prolanis participants, in certain public health center in East Jakarta.
Keywords: Pharmaceutical care, adherence,
quality of life and diabetes mellitus
Abstrak
Asuhan kefarmasian merupakan rangkaian
penatalaksanaan penyakit yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien Diabetes Melitus. Tujuan penelitian ini untuk melihat asuhan kefarmasian
dapat meningkatkan kepatuhan dan kualitas hidup pasien DM tipe 2. Penelitian
dengan desain quasi experimental non-equivalent control group Pretest-Posttest.
Sampel 160 pasien DM tipe 2 terdiri dari 80 pasien dari Puskesmas Kecamatan
Cipayung [kelompok intervensi] dan 80 pasien Puskesmas Kecamatan Kramatjati
[kelompok kontrol]. Metode total sampling untuk kelompok Prolanis, dan kelompok
non-Prolanis secara purposive sampling. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner
MMAS-8 (kepatuhan), SF-36 (kualitas hidup) dan data gula darah puasa (GDP) dari
laboratorium Puskesmas. Karakteristik pasien DM meliputi usia rata-rata 58
tahun, jenis kelamin perempuan, pendidikan SMA,�
ibu rumah tangga. Lama DM� 2-3
tahun dan nilai IMT obesitas I. Hasil Uji Wilcoxon� (p < 0,05)�
terdapat� petingkatan kepatuhan,
kualitas hidup, dan keterkendalian kadar GDP pada kelompok intervensi. Hasil
uji Mann-Whitney terdapat peningkatan kepatuhan, kualitas hidup dan
keterkendalian kadar GDP akibat asuhan kefarmasian pada pasien Non-Prolanis
dengan nilai� (p < 0,05). Hasil uji
Spearman�s rho menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat kepatuhan dan
keterkendalian GDP dengan kualitas hidup. Dapat disimpulkan bahwa asuhan
kefarmasian dapat meningkatkan kepatuhan, kualitas hidup dan keterkendalian GDP
kualitas hidup pasien DM 2 peserta Prolanis dan non-Prolanis, pada puskesmas
tertentu di Jakarta Timur.
Kata
Kunci: Asuhan kefarmasian, kepatuhan,
kualitas hidup dan diabetes
melitus
Pendahuluan
Menurut
data dari International of Diabetic Federation (IDF) 2014, diperkirakan
9,1 juta orang penduduk Indonesia didiagnosis sebagai penyandang DM. Dengan
angka tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua
peringkat dibandingkan pada 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia dengan
7,6 juta orang penyandang DM (Perkeni, 2015).
Menurut
Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013, prevalensi nasional DM di Indonesia
berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 2,1% dengan prevalensi
tertinggi pada daerah Sulawesi Tengah (3,7%) dan paling rendah pada daerah Jawa
Barat (0,5%). Sementara itu prevalensi DM di DKI Jakarta� yang terdiagnosis sebesar 3,0% (Kemenkes, 2013).
Diabetes mellitus
merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup, sehingga penyakit
ini sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup sumber daya manusia. Untuk
meningkatkan kualitas hidup penyandang DM maka perlu dilakukan penatalaksanaan
yang baik pada pasien DM. Apoteker mempunyai tanggung jawab penting dalam
memaksimalkan pelayanan kefarmasian pada pasien. Hal yang dapat dilakukan
apoteker di antaranya melaksanakan asuhan kefarmasian yaitu pengkajian dan
pelayanan resep, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, visite
pasien (khusus pasien rawat inap), monitoring efek samping obat, pemantauan
terapi obat dan evaluasi penggunaan obat. Dengan adanya asuhan kefarmasian diharapkan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan terjaga sehingga kadar glukosa darah dapat
terkontrol dan kualitas hidup pasien meningkat (Kemenkes, 2013).
Penyakit
ini disebabkan gangguan metabolism glukosa akibat kekurangan insulin baik
secara absolu tmaupun relative, diabetes mellitus dapat diklasifikasikan
berdasarkan penyebabnya, perjalanan klinik, dan terapinya, yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2
(RISKESDAS 2013), diabetes mellitus gestasional (GDM) serta tipe-tipe tertentu
yang memiliki kaitan dengan keadaan lain (International Diabetes Federation,
2006) (Subandi, 2017).
Menurut
pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI 2014, DKI Jakarta memiliki
populasi pasien DM urutan kelima di Indonesia dengan jumlah 190.232 orang yang
terdiagnosis oleh dokter (Perkeni, 2006). Di Puskesmas Cipayung dan di
Puskesmas Kramatjati, penyakit diabetes melitus merupakan penyakit yang banyak
diderita oleh pasien. Glukosa darah dan kualitas hidup pasien belum dapat
dikontrol dengan baik, di kedua puskesmas tersebut dikarenakan belum ada asuhan
kefarmasian yang optimal oleh seorang apoteker. Hal ini disebabkan karena
tenaga apoteker yang bertanggung jawab terhadap asuhan kefarmasian di Puskesmas
ini belum ada.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan
penelitian� di Puskesmas Cipayung sebagai
kelompok yang mendapatkan asuhan kefarmasian (intervensi) dan di Puskesmas
Kramatjati sebagai kelompok yang tidak mendapatkan asuhan kefarmasian
(kontrol). Puskesmas Cipayung dan Puskesmas
Kramatjati merupakan� Puskesmas Kecamatan
yang berada di Wilayah Jakarta Timur. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
asuhan kefarmasia� yang dilakukan
terhadap pasien DM di Puskesmas Cipayung sebagai kelompok intervensi untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi quasi exsperimental nonequivalent control
group design yang bersifat prospektif.�
Penelitian ini dilakukan pada pasien DM prolanis dan non prolanis pada
Mei 2018 � Agustus 2018. Data dalam penelitian ini merupakan data yang
diperoleh dari pengisian kuesioner MMAS-8 dan SF-36 (Ware,J.E, Sherbourne,C.D,
1992) pasien DM yang melakukan kontrol di Puskesmas Cipayung dan Puskesmas
Kramatjati Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan variabel dependen dan
independen, sebagai variabel dependen adalah kualitas hidup pasien DM.
Sementara itu, variabel independen dari penelitian ini adalah asuhan
kefarmasian dalam bentuk pelayanan informasi obat (PIO) dan konseling. Pelayanan
informasi obat (PIO) dan konseling merupakan variabel intervening yang
keberadaannya merupakan faktor dimana variabel independen tidak berhubungan
langsung dengan variabel dependen. Variabel independen ini adalah faktor yang
akan mempengaruhi variabel dependen. Selain itu ada variabel coumpounding yang mungkin memiliki
hubungan dengan kualitas hidup, yaitu jenis kelamin, usia, pendidikan,
pekerjaan, lama menderita DM dihitung sejak terdiagnosis dan indeks masa tubuh
(IMT).
Hasil dan Pembahasan
1. Karakteristik
Pasien
Berdasarkan
karakteristik sosio-demografi pasien DM tipe 2 dilihat dari median usia yang
paling banyak pada usia 58 tahun pada kelompok kontrol non-Prolanis yaitu 19
orang atau 47,5%, pada kelompok intervensi Prolanis 20 orang atau 50%, pada kelompok� intervensi non-Prolanis sebanyak 20 orang
atau 50%, pada kelompok kontrol Prolanis 18 orang atau 45%. Penelitian ini
didukung oleh beberapa pendapat ahli bahwa dengan meningkatnya umur, maka
intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada lanjut
usia ini sering dikaitkan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
berkurangnya masa otot,� terjadi
penurunan fungsi fisiologis, sehingga terjadi defisiensi sekresi insulin karena
adanya gangguan pada sel-β prankreas yang akan menyebabkan terjadinya
resistensi insulin (PASARIBU, 2014).
Jenis kelamin
pasien mayoritas� perempuan yaitu 30
orang atau 75% dari kelompok kontrol maupun kelompok intervensi. Tingkat
pendidikan terbanyak SMA yaitu kelompok intervensi Prolanis� 15 orang atau 37,5%, dan pada kelompok
non-Prolanis intervensi 16 orang atau 40%. Karakteristik jenis kelamin
terbanyak adalah perempuan. Hal ini disebabkan karena pada perempuan akan
terjadi masa penurunan hormon estrogen dan progesteron terutama pada saat masa
menopause. Hormon estrogen dan progesteron dapat meningkatkan respon insulin di
dalam darah. Dikarenakan rendahnya hormon estrogen dan progesteron. Pada saat
menopause terjadi, maka respon insulin akan menurun. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah banyaknya masa indeks tubuh perempuan yang tidak ideal,
sehingga dapat menurunkan sensitifitas insulin. Hal tersebut yang menyebabkan
wanita lebih banyak beresiko menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan laki-laki (Meidikayanti & Wahyuni, 2017).
Pada tingkat
pengetahuan salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Dengan
pendidikan yang lebih tinggi seseorang dapat dengan mudah memahami sesuatu
salah satunya mengenai penyakit diabetes dan efeknya terhadap kesehatan,
sehingga berpengaruh terhadap kepatuhan kontrol gula darah, mengatasi gejala
yang muncul dengan penanganan kesehatanan yang tepat serta mencegah terjadinya
komplikasi. (Javanbakht, Abolhasani, Mashayekhi, & Baradaran,
2012).
Namun demikian, tidak menjamin bahwa pendidikan tinggi, pengalaman yang didapat
tinggi juga� karena dipengaruhi oleh
faktor sosial budaya yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan
berdasarkan pengalamannyaa Adat-istiadat, norma, dan dorongan dari orang-orang
terdekat merupakan salah satu faktor yang membuat seseorang bertindak dalam
mengambil suatu keputusan.
Dari
karakteristik pekerjaan, sebagian besar�
sebagai ibu rumah tangga yaitu pada kelompok kontrol Prolanis 25 orang
atau 62,5%, kelompok kontrol non-Prolanis 27 orang atau 67,5%, kelompok
intervensi Prolanis 27 orang atau 67,5%, kelompok Intervensi non-Prolanis
sebanyak 25 orang atau 62,5%. Pekerjaan ibu rumah tangga dikategorikan dalam
pekerjaan yang mempunyai aktivitas ringan. Aktifitas fisik merupakan salah yang
berpengaruh terhadap peningkatan insulin dan kadar gula dalam darah. Seseorang
yang aktifitas fisiknya ringan memiliki resiko 4,36 kali lebih besar menderita
DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang mempunyai aktifitas sedang dan berat (Isnaini & Ratnasari, 2018).
Lama DM paling
banyak yaitu dengan rentang 2-3 tahun, untuk kelompok kontrol Prolanis 16 orang
atau 40%,� kelompok kontrol non-Prolanis
19 orang atau 37,5%, pada kelompok intervensi non-Prolanis 15 orang atau 37,5%.
Pada kelompok . Untuk pasien yang baru didiagnosis DM biasanya belum bisa
menerima kalau dirinya menderita penyakit, sehingga dalam melaksanakan
penatalaksanaan DM belum begitu baik dibandingkan dengan pasien yang sudah
lebih lama menderita DM. Pasien yang sudah lama menderita DM biasanya sudah
biasa dalam melakukan perawatan sehingga lebih berpengalaman dalam melakukan
penatalaksanaan penyakitnya.
Untuk nilai
Indeks Masa Tubuh (IMT) terbanyak adalah obesitas I yaitu pada kelompok
non-Prolanis kontrol 13 orang atau 32,5%, pada kelompok Prolanis intervensi 16
orang atau 40%, Pada kelompok non-Prolanis intervensi 13 orang atau 32,5%. Pada
kelompok Prolanis kontrol terbanyak adalah nilai IMT berat badan normal
yaitu� 16 orang atau 40 %. Indeks Massa
Tubuh (IMT) atau Body Mass Index
(BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
Berat badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi,
sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit
degeneratif salah satunya DM. Timbunan lemak bebas yang tinggi dapat
menyebabkan meningkatnya up-take sel terhadap asam lemak bebas dan memacu
oksidasi lemak yang pada akhirnya akan menghambat penggunaan glukosa dalam otot
(Mc.Wright, 2008). Menurut D�adamo (2008) orang yang mengalami kelebihan berat
badan, kadar leptin dalam tubuh akan meningkat. Leptin adalah hormon yang
berhubungan dengan gen obesitas. Leptin berperan dalam hipotalamus untuk
mengatur tingkat lemak tubuh, kemampuan untuk membakar lemak menjadi energi,
dan rasa kenyang. Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat
badan. Leptin bekerja pada sistem saraf perifer dan pusat. Peran leptin
terhadap terjadinya resistensi yaitu leptin menghambat fosforilasi insulin receptor
substrate-1 (IRS) yang akibatnya dapat menghambat ambilan glukosa. Sehingga
mengalami peningkatan kadar gula dalam darah (Adnan, Mulyati, & Isworo, 2013).
2. Pengaruh
Asuhan Kefarmasian Terhadap Pasien Prolanis dan Non-Prolanis
a.
Tingkat Kepatuhan
Berdasarkan hasil Uji Wilcoxon diperoleh nilai p-value 0,761 (p
> 0,05) artinya tidak ada perbedaan
yang signifikan tingkat kepatuhan pada kelompok kontrol prolanis sebelum dan sesudah dilakukan test. Sementara pada kelompok intervensi Prolanis diperoleh nilai p-value 0,000 (p < 0,05).
Ini menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kepatuhan yang signifikan setelah dilakukan asuhan kefarmasian.� Untuk kelompok kontrol nilai tingkat kepatuhan
sebelum dan sesudah dilakukan test tidak ada perbedaan yang signifikan dengan nilai yaitu 0,477 (p > 0,05). Sementara pada kelompok intervensi non-Prolanis terdapat perbedaan tingkat kepatuhan yang signifikan setelah dilakukan asuhan kefarmasian yaitu dengan nilai
0,000 (p < 0,05).
Tabel 1 Hasil Uji Wilcoxon Antara Kepatuhan
Sebelum dan Sesudah Intervensi Farmasi Pada Pasien Prolanis dan non-Prolanis
Kepatuhan |
Prolanis |
Non
Prolanis |
||||||||||
Kontrol
(n=40) |
Intervensi
(n=40) |
Kontrol
(n=40) |
Intervensi
(n=40) |
|||||||||
Pre test |
Pos test |
Sig |
Pre test |
Pos test |
Sig |
Pre test |
Pos test |
Sig |
Pre test |
Pos test |
Sig |
|
Tinggi� (8) |
5 |
0 |
|
5 |
15 |
|
3 |
1 |
|
4 |
21 |
|
Sedang (6
- ) |
22 |
30 |
|
12 |
21 |
|
22 |
23 |
|
16 |
18 |
|
Rendah
(< .6) |
13 |
10 |
|
23 |
4 |
|
15 |
16 |
|
20 |
1 |
|
Rata-rata |
6 |
6 |
0,76 |
5 |
7 |
0,00 |
5 |
5 |
0,45 |
5 |
7 |
0,00 |
Hasil pre-test dengan tingkat kepatuhan tinggi
pada kelompok kontrol non-Prolanis 3 orang, kemudian terjadi penurunan pada
hasil post-test hanya satu orang.
Sebelum dilakukan asuhan kefarmasian tingkat kepatuhan tinggi pada kelompok
intervensi non-Prolanis sebanyak 4 orang. Kemudian setelah dilakukan intervensi
jumlah responden dengan nilai tingkat kepatuhan tinggi dan terjadi peningkatan
yang lebih tinggi terhadap kelompok intervensi non-Prolanis yaitu sebanyak 21
orang. Ada peningkatan nilai tingkat kepatuhan pada kelompok intervensi
non-Prolanis sesudah diberikan intervensi yaitu sebesar 2, sedangkan pada
kelompok kontrol non-Prolanis tidak terjadi perubahan. Pemberian asuhan kefarmasian memberikan dampak pada paien DM. Perbedaan
nilai kepatuhan antara kelompok kontrol dan intervensi baik Prolanis maupun
non-Prolanis menggambarkan bahwa asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi
obat dan konseling yang diberikan farmasis kepada pasien prolanis DM tipe 2 meningkatkan
tingkat kepatuhan pasien. Asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat
dan konseling dapat meningkatkan pengetahuan pasien mengenai obat, cara
penggunaan obat, mekanisme kerja obat, serta resiko menggunakan obat tidak
sesuai aturan. Dengan meningkatnya pengetahuan pasien maka akan memberikan
dampak yang lebih baik terhadap perilaku pasien untuk patuh dalam menjalani
pengobatan.
b. Kadar
Gula Darah Puasa
Tabel
2� Hasil Uji Wilcoxon Antara GDP Sebelum dan Sesudah Intervensi Farmasi Pada
Pasien Prolanis� dan non-Prolanis
GDP |
Prolanis |
Non Prolanis |
||||||||||
Kontrol (n=40) |
Intervensi (n=40) |
Kontrol (n=40) |
Intervensi (n=40) |
|||||||||
Pre test |
Pos test |
Sig |
Pre test |
Pos test |
Sig |
Pre test |
Pos test |
Sig |
Pre test |
Pos test |
Sig |
|
Normal� (<100 mg / dl) |
2 |
2 |
|
1 |
5 |
|
0 |
1 |
|
0 |
22 |
|
Pra-diabetes� (100 - 125 mg / dl) |
10 |
7 |
|
3 |
16 |
|
6 |
5 |
|
35 |
18 |
|
Diabetes (
≥126 mg / dl) |
28 |
31 |
|
36 |
19 |
|
34 |
34 |
|
5 |
0 |
|
Rata-rata Nilai
kadar GDP |
163,68 |
168,63 |
0,66 |
189,45 |
132,40 |
0,00 |
161,48 |
178,35 |
0,037 |
204,45 |
101,98 |
0,00 |
Gula Darah Puasa (GDP) merupakan kadar
gula darah seseorang yang diukur atau diperiksa setelah menjalani puasa sekitar
10-12 jam (Kemenkes RI,2013). GDP dapat digunakan sebagai pedoman dalam
diagnosis DM. Jika hasil pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl dan terdapat keluhan
khas DM, diagnosis DM dapat ditegakkan (Sustarni L Alam S Hadibroto I., 2010).
Jumlah responden dengan kadar GDP normal pada kelompok kontrol Prolanis
tidak terdapat perubahan, baik� pre-test maupun post-test yaitu tetap sebanyak 2 orang. Sementara terjadi
peningkatan jumlah responden dengan�
kadar GDP normal pada kelompok intervensi Prolanis sebelum dilakukan
asuhan kefarmasian� dari 1 orang
responden kemudian meningkat menjadi 5 orang setelah dilakukan asuhan
kefarmasian, pada kelompok intervensi non-Prolanis sebelum dilakukan asuhan
kefarmasian tidak ada satu responden dengan kadar GDP normal, tetapi setelah
dilakukan asuhan kefarmasian terjadi peningkatan yang sangat baik yaitu menjadi
22 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol non-Prolanis terjadi peningkatan
jumlah responden dengan kadar GDP normal hanya sedikit yaitu dari tidak ada
menjadi 1 orang responden. Jumlah responden dengan kadar GDP pra-diabetes
terjadi peningkatan hanya pada kelompok intervensi Prolanis yaitu dari 3
responden sebelum dilakukan intervensi, menjadi 16 orang setelah intervensi.
Sedangkan pada kelompok lainnya terjadi penurunan jumlah responden dengan� kadar GDP pra-diabetes. Pada kelompok
Intervensi non-Prolanis dari 35 orang sebelum intervensi menjadi 18 orang
setelah intervensi, pada kelompok kontrol Prolanis dari 10 orang menjadi 7
orang dan pada kelompok kontrol non-Prolanis dari 6 orang menjadi 5 orang. Pada
kategori responden dengan GDP kategori diabetes, tidak ada perubahan pada
kelompok kontrol non-Prolanis yaitu dengan jumlah tetap yaitu sebanyak 34
orang, pada kelompok kontrol Prolanis terjadi peningkatan dari 28 orang menjadi
31 orang responden. Sedangkan pada kelompok Intervensi terjadi penurunan jumlah
responden, pada kelompok intervensi Prolanis sebelum dilakukan intervensi
sebanyak 36 orang dan sesudah dilakukan intervensi sebanyak 19 orang. Pada
kelompok intervensi non-Prolanis dari jumlah responden 5 orang menjadi tidak
ada sama sekali responden yang mempunyai kadar GDP dengan kategori diabetes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling mempunyai pengaruh
terhadap penurunan kadar gula darah puasa. Untuk menjaga agar gula darah
terkendali dengan baik, penderita DM tipe 2 memerlukan penatalaksanaan DM
secara baik dan teratur. Apabila kadar gula darah tidak dapat dikendalikan
dengan baik, maka kadar gula darah akan mengalami peningkatan dan penurunan
secara tidak stabil sehingga dapat memicu terjadinya komplikasi (Anonim, 2014).
Salah satu kadar gula darah yang dapat menggambarkan kondisi gula darah
seseorang, khususnya penderita DM tipe 2 adalah kadar Gula Darah Puasa (GDP).
GDP merupakan kadar gula darah seseorang yang diukur atau diperiksa setelah
menjalani puasa sekitar 10-12 jam(Kemenkes RI,2013). GDP dapat digunakan
sebagai pedoman dalam diagnosis DM. Jika hasil pemeriksaan GDP ≥ 126
mg/dl dan terdapat keluhan khas DM, diagnosis DM dapat ditegakkan (Adnan et al., 2013).
Pada penelitian ini kadar gula darah puasa (GDP) responden pasien DM tipe
2 diukur untuk mengetahui kadar gula darah�
puasa pada kelompok kontrol dan kelompok Intervensi sebelum dilakukan
asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling (pretest) dan sesudah dilakukan asuhan
kefarmasian (postest).
c. Tingkat
Kualitas Hidup
Tabel 3 Hasil Uji Wilcoxon Nilai Tingkat Kualitas Hidup Sebelum dan Sesudah
Interfensi Farmasi Pada Pasien Prolanis dan Nonprolanis
Kualitas Hidup |
Prolanis |
Non Prolanis |
||||||||||
Kontrol (n=40) |
Intervensi (n=40) |
Kontrol (n=40) |
Intervensi (n=40) |
|||||||||
Pre test |
Pos test |
Sig |
Pre test |
Pos test |
Sig |
Pre test |
Pos test |
Sig |
Pre test |
Pos test |
Sig |
|
Baik
sekali (76 - 100) |
0 |
0 |
|
2 |
11 |
|
0 |
0 |
|
1 |
11 |
|
Baik (51 -
75) |
13 |
20 |
|
22 |
27 |
|
4 |
13 |
|
22 |
27 |
|
Cukup (26
- 50) |
17 |
17 |
|
16 |
2 |
|
28 |
17 |
|
17 |
2 |
|
Kurang (0
- 25) |
10 |
3 |
|
0 |
0 |
|
8 |
10 |
|
0 |
0 |
|
Rata-rata |
42,23 |
45,65 |
0,35 |
57,80 |
68,00 |
0,00 |
35,18 |
39,55 |
0,13 |
48,75 |
69,80 |
0,00 |
Nilai Peningkatan kualitas hidup pada
saat pre-test dan post-test dengan nilai baik sekali tidak
terjadi perubahan pada kelompok kontrol non-Prolanis. Sedangkan pada kelompok
intervensi terjadi peningkatan yaitu pada kelompok intervensi non-Prolanis dari
1 orang menjadi 11 orang. Nilai tingkat kualitas hidup dengan nilai baik saat pre-test dan post-test terjadi
peningkatan pada kelompok prolanis kontrol dari 13 orang menjadi 20 orang, pada
kelompok prolanis intervensi dari 22 orang menjadi 27 orang. Nilai tingkat
kualitas hidup dengan nilai cukup pada saat pretest
dan post-test tidak terjadi perubahan
pada kelompok kontrol non-Prolanis yaitu tetap sebanyak 17 orang, sedangkan
pada kelompok lainnya terjadi penurunan. Pada kelompok intervensi kontrol non-
Prolanis dari 28 orang menjadi 17 orang , dan pada kelompok non prolanis
intervensi dari 17 orang menjadi 2 orang.�
Nilai tingkat kualitas hidup dengan nilai kurang pada saat pretest dan post-test pada kelompok intervensi non-Prolanis tidak ada
perubahan yaitu tidak ada seorang responden pun dengan nilai tingkat kualitas
hidup kurang. Sedangkan pada kelompok kontrol non-Prolanis terjadi peningkatan
dari 8 orang pada saat pre-test dan
menjadi 10 orang pada saat post-test.
Perbedaan nilai kualitas hidup antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
yang signifikan menggambarkan bahwa asuhan kefarmasian yang diberikan farmasis
kepada pasien DM tipe 2 kelompok intervensi baik Prolanis maupun non-Prolanis
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien tersebut.
3. Hubungan Antara Tingkat
Kepatuhan, Gula Darah Puasa, dan Kualitas Hidup
Berdasarkan hasil Uji korelasi dengan Spearman�s Rho Correlation, pada
kelompok kontrol Prolanis diperoleh nilai sig > 0,05. Korelasi� nilai antara tingkat kualitas hidup dengan
tingkat kepatuhan tidak signifikan yaitu dengan nilai sig 0,445 (p>0,05),
korelasi nilai tingkat kepatuhan dan GDP dengan nilai sig 0,284 (p>0,05).
Sedangkan untuk nilai korelasi tingkat kualitas hidup dan GDP terjadi perubahan
yang signifikan yaitu <0,05 dengan nilai sig 0,000, nilai tersebut
menunjukkan adanya hubungan antara kualitas hidup dengan kadar GDP. Pada
kelompok kontrol non-Prolanis� untuk
semua nilai korelasi nilai sig > 0,05, nilai korelasi tingkat kualitas hidup
dan tingkat kepatuhan dengan nilai sig 0,834 (p > 0,05), nilai korelasi
tingkat kualitas hidup dan� GDP 0,255
(> 0,05), dan korelasi kepatuhan dan GDP diperoleh nilai sig 0,821 (>
0,05).
Pada kelompok
Intervensi Prolanis� untuk semua korelasi
nilai sig < 0,05, korelasi tingkat kualitas hidup dan tingkat kepatuhan
nilai sig 0,001, korelasi tingkat kualitas hidup dan� GDP dengan nilai sig 0,003, dan korelasi
kepatuhan dan GDP dengan nilai sig 0,037. Pada kelompok Intervensi
non-Prolanis� untuk semua korelasi nilai
sig < 0,05, korelasi kualitas hidup dan kepatuhan nilai sig 0,038, korelasi
kualitas hidup dan� GDP 0,003, dan
korelasi kepatuhan dan GDP 0,002.
Tabel 4 Hasil Korelasi Pada Kelompok
Kontrol Dan Kelompok Intervensi Dengan Uji Spearman�s
Rho Correlation
Variabel |
Kelompok |
|||||||
Kontrol |
Intervensi |
|||||||
Prolanis (n=40) |
Nonprolanis (n=40) |
Prolanis (n=40) |
Nonprolanis (n=40) |
|||||
Nilai korelasi |
Sig. |
Nilai korelasi |
Sig. |
Nilai korelasi |
Sig. |
Nilai korelasi |
Sig. |
|
Kualitas
hidup |
0,124 |
0,445 |
-0,030 |
0,834 |
0,495 |
0,001 |
0,330 |
0,038 |
Kepatuhan |
||||||||
Kualitas
hidup |
0,493 |
0,001 |
0,184 |
0,255 |
0,452 |
0,003 |
0,460 |
0,003 |
GDP |
Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan
disandang seumur hidup, sehingga penyakit ini sangat berpengaruh terhadap kualitas
hidup sumber daya manusia. Untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang DM maka
perlu dilakukan penatalaksanaan yang baik pada pasien DM yang mempunyai tujuan
menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi resiko
komplikasi akut, mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati
dan makroangiopati, serta turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes melitus
(Perkeni, 2015). Pada kelompok Intervensi baik
Prolanis maupun non-Prolanis dari hasil korelasi menunjukkan bahwa tingkat
kepatuhan pasien berpengaruh signifikan terhadap GDP, dan kualitas hidup.
Tingkat kepatuhan pasien meningkat dikarenakan pengetahuan pasien tentang
penyakit, pengobatannya serta efek-efek yang ditimbulkan dari penyakit
meningkat. Hal itu akan mempengaruhi hasil GDP, dan kualitas hidup dari pasien
tersebut.
Pada penelitian
ini walaupun kebanyakan pasiennya berlatar belakang Sekolah Menengah Atas (SMA)
dengan pekerjaan ibu rumah tangga tetapi hasil terapi dan kualitas hidup mereka
meningkat. Hal ini menunjukkan pentingnya farmasis ikut berperan aktif
memberikan asuhan kefarmasian yang optimal sehingga mempengaruhi pengetahuan
dan cara pandang mereka tentang kesehatan khususnya tentang penyakit diabetes mellitus yang dideritanya dan
selanjutnya meningkatkan kepatuhan, sehingga keberhasilan terapi dan kualitas
hidup yang baik pun akan tercapai.
Kesimpulan
Kriteria pasien
Prolanis dan non-Prolanis diabetes
mellitus tipe 2 pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol
hampir sama, yaitu usia mayoritas 50-59 tahun dengan nilai median 58 tahun,
jenis kelamin perempuan lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki, tingkat
pendidikan terbanyak Sekolah Menengah Atas, pekerjaan terbanyak sebagai ibu
rumah tangga, lama mengalami DM 2-3 tahun, dan rata-rata IMT dengan nilai
obesitas I. Asuhan Kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling
pada kelompok intervensi baik pada kelompok Prolanis maupun non-Prolanis
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan, GDP, dan kualitas
hidup, sedangkan pada kelompok kontrol tidak memberikan perbedaan yang
signifikan terhadap kepatuhan, GDP, dan kualitas hidup sebelum dan sesudah
dilakukan penelitian. Adanya hubungan antara kepatuhan, GDP, dan kualitas hidup
pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol� tidak ada hubungan antara kepatuhan, GDP, dan
kualitas hidup. Hal ini menunjukkan, bahwa asuhan kefarmasian berupa pelayanan
informasi obat dan konseling yang diberikan farmasis dapat meningkatkan
kepatuhan sehingga tercapai keterkendalian�
GDP dan kualitas hidup yang optimal. Saran penulis perlu adanya
penelitian lebih lanjut pada penelitian ini, yaitu dengan asuhan kefarmasian
lainnya� mengenai monitoring efek samping
obat, pemantauan terapi obat, evaluasi penggunaan obat dan ronde/visite baik pada
pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap sehingga pengaruh peranan farmasis
dalam peningkatan� kepatuhan,
keterkendalian GDP dan kualitas hidup yang optimal pada pasien DM tipe 2 dapat
terlihat lebih signifikan.
BIBLIOGRAFI
Adnan, Miftahul, Mulyati, Tatik, & Isworo, Joko Teguh.
(2013). Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kadar gula darah penderita
diabetes mellitus (DM) tipe 2 rawat jalan di RS Tugurejo Semarang. Jurnal
Gizi, 2(1).
Isnaini, Nur, & Ratnasari, Ratnasari. (2018). Faktor
risiko mempengaruhi kejadian Diabetes mellitus tipe dua. Jurnal Kebidanan
Dan Keperawatan Aisyiyah, 14(1), 59�68.
Javanbakht, Mehdi, Abolhasani, Farid, Mashayekhi, Atefeh,
& Baradaran, Hamid R. (2012). Health related quality of life in patients
with type 2 diabetes mellitus in Iran: a national survey. PloS One, 7(8).
Kemenkes, R. I. (2013). Balitbangkes. 2013. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007.
Meidikayanti, Wulan, & Wahyuni, Chatarian Umbul. (2017).
Hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup Diabetes melitus tipe 2 di
puskesmas pademawu. Jurnal Berkala Epidemiologi, 5(2), 240�252.
Pasaribu, Sumitro. (2014). Distribusi Umur, Jenis Kelamin,
Tingkat Pendidikan, Pekerjaan Dan Jenis Komplikasi Pada Penderita Dm Tipe 2
Dengan Komplikasi Yang Dirawat Inap Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012.
Subandi, Endang. (2017). Pengaruh Senam Diabetes Perhadap
Penurunan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Upt Puskesmas Mundu
Kabupaten Cirebon Tahun 2017. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(7),
53�68.