� Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�
e-ISSN: 2548-1398
�
Vol. 5, No. 7, Juli 2020
�
FAKTOR
EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI DINAMIKA WACANA AMANDEMEN PASAL 9 UNDANG-UNDANG
DASAR JEPANG 1947 (PERIODE
2010-2016)
Igat Meliana
Prodi Bahasa
Jepang, Sekolah Tinggi Bahasa Asing Cipto Hadi Pranoto
Email: [email protected]
Abstract
This article will
focus about external factors influence the dynamics of the discourse of the
amendment of Article 9 of the Japanese Constitution period 2010-2016, namely the United States pressure, the
economic and military rise of China and the threat of North Korea. The Japanese
prime minister used global security threat issues to encourage Japanese
security police in order to amend article 9 of �Constitution 1947that had been rejected by
Japanese residents who did not want Japan to have legitimate military power.
The Japan�s remilitarization also gained attention from countries in the East
Asia region due to Japanese history during World War II. On the other side,
U.S. hegemony that began to fade encouraged Japan to be self-reliant in
security that had been supported by the United States. And North Korea missile
test activities also influenced the discourse amendment of Article 9. This
research is a qualitative research with literature method. And the results of
this study indicate that the dynamics of the discourse of Article 9
Constitution revision is affected by the perception of the level of threat and
vulnerability of the United States, the rise of the Chinese economy and
military, and the threat of North Korea. China and North Korea as well as
countries in the region that do not want Japan to rearm, pushing people to
opposed towards the amendment discourse.
Keywords : Article 9, the Constitution of Japan, External Factors
Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai faktor eksternal
yang mempengaruhi dinamika wacana amandemen Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang
1947 periode 2010-2016. Faktor eksternal yang mempengaruhi adalah tekanan Amerika
Serikat, kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok dan ancaman Korea Utara. Tekanan dari
luar atau gaiatsu turut mempengaruhi
dinamika wacana amademen pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang 1947 di level
domestik. Perdana Menteri Jepang menggunakan isu-isu ancaman keamanan global
untuk mendorong kebijakan Jepang dalam bidang keamanan agar mengamandemen Pasal
9 Undang-Undang Dasar 1947 yang selama ini mendapat penolakan dari penduduk
Jepang yang tidak menginginkan Jepang kembali mempunyai kekuatan militer. Remiliterisasi
negara Jepang juga mendapat perhatian dari negara-negara di Kawasan Asia Timur
disebabkan sejarah Jepang pada Perang Dunia II. Di lain pihak, hegemoni Amerika
Serikat yang mulai memudar mendorong Jepang agar dapat mandiri dalam bidang
keamanan yang selama ini mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Dan aktifitas
uji coba rudal Korea Utara pun turut mempengaruhi wacana amandemen Pasal
9.�� Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode
kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dinamika wacana amandemen
Pasal 9 dipengaruhi oleh presepsi tingkat ancaman dan kerawanan dari Amerika
Serikat, kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok, dan ancaman Korea Utara. Kerawanan
mendorong sikap pro masyarakat Jepang, namun di sisi lain adanya ketakutan
terhadap memburuknya hubungan Jepang dengan Tiongkok dan Korea Utara serta
negara-negara di kawasan yang tidak ingin Jepang membangun kekuatan militer
kembali, mendorong sikap kontra masyarakat terhadap wacana amandemen.
Kata kunci: Article 9; the Constitution of Japan; External Factors
Pendahuluan
Pasca Perang Dunia II, Jepang ditekan untuk tunduk pada 13 butir
deklarasi Potsdam yang mendorong Jepang untuk mencantumkan Pasal 9
Undang-Undang Dasar Jepang. Proses perumusan Undang-Undang Dasar Jepang yang
digunakan tahun 1947 mendapat tekanan dari Amerika Serikat. Bunyi Pasal 9
Undang-Undang Dasar Jepang 1947 adalah sebagai berikut:
�第九条 日本国民は、正義と秩序を基調とする国際平和を誠実に希求し、国権の発動たる戦争と、武力にたる威嚇又は武力の行使は、国際紛争を解決する手段としては、永久にこれを放棄する。
前項の目的を達するため、陸海空軍その他の戦力は、これを保持しない。国の交戦権は、これを認めない� (National
Diet Library,1947)
��Pasal 9 Rakyat Jepang, bertekad dengan sungguh-sungguh menciptakan keamanan
internasional berdasarkan keadilan dan tata tertib,
selamanya menolak perang sebagai hak Negara yang berkuasa dan ancaman atau
penggunaan pasukan bersenjata sebagai penyelesaian perselisihan international. Untuk
melengkapi tujuan dari paragraf sebelumnya, pasukan darat, pasukan laut, dan
pasukan udara, seperti semua yang berpontensial menimbulkan perang, tidak akan
pernah dipelihara. Hak Negara untuk berperang tidak akan diakui.�
Pasal 9 melarang Jepang untuk memiliki kekuatan militer baik secara
defensif maupun ofensif. Akan tetapi tahun 1950-an Pemerintah Jepang
mereinterpretasi Pasal 9 agar dapat membentuk Pasukan Bela Diri Jepang (Jietai
atau Self Defense Force) pada 10 Agustus 1950 untuk membantu Amerika
Serikat dalam Perang Korea.
Wacana amandemen Pasal 9 mulai mengemuka sejak saat itu. Sebelum tahun
1990�an wacana amandemen Pasal 9 tabu untuk diperbincangkan tetapi sejak
pembentukan Dewan Penelitian Undang-Undang Dasar di tingkat Parlemen oleh
Obuchi Keizo pada 1999 wacana amandemen semakin menjadi perdebatan di level
domestik Jepang.
Pasca perang dingin
sistem internasional berubah dari bipolar menjadi multipolar sehingga turut
mempengaruhi Jepang di kawasan Asia Timur. Jepang dihadapkan oleh kemajuan ekonomi
dan militer Tiongkok serta rudal nuklir Korea Utara. Sebagai Sekutu Amerika
Serikat, Jepang didorong untuk membangkitkan militernya kembali untuk menadingi
kemajuan militer Tiongkok yang telah mengancam hegemoni Amerika Serikat di
kawasan Asia Timur.
Selain itu, warga
negara Jepang� juga merasakan ancaman terhadap
Korea Utara yang sedang melakukan uji coba nuklir dan tidak taat dengan
peraturan internasional. Korea Utara pernah secara langsung mengancam keamanan
warga negara Jepang dengan adanya kasus penculikan warga Jepang dari tahun 1948.
Isu nuklir Korea Utara menjadi sangat penting bagi Jepang karena pemerintah
Jepang merasa keamanan negaranya terancam karena letak geografis yang
berdekatan, serta faktor historis kelam Jepang pada Perang Dunia II (Widyasari, 2014).
Pada 2016, Korea Utara
telah berhasil melakukan peluncuran rudal balistik sampai ke wilayah perairan
Jepang (Hyodo, 2017). Ancaman masyarakat
Jepang terhadap uji coba nuklir dan rudal Korea Utara sehingga pada Maret 2016,
digelar latihan simulasi jika rudal sampai ke Zona Ekonomi Eksklusif Jepang (Oh, 2016).
Selain Korea Utara,
Tiongkok juga mengancam keamanan Jepang. Kemajuan Ekonomi dan militer Tiongkok
mengancam Jepang sebagai negara yang mempunyai sejarah yang panjang dengan
Tiongkok. Perebutan wilayah di Laut China Selatan, fakta sejarah tentang zaman
pendudukan Jepang seperti isu Jugun Ianfu
(Comfort Women) atau buku teks
sejarah adalah isu-isu yang sensitif untuk hubungan diplomatik kedua negara.
Hubungan Tiongkok dan Jepang mulai dinormalisasi pada 1972 hingga pada masa
Perdana menteri Junichro Koizumi pada 2001 hubungan Jepang dan Tiongkok kembali
memanas. Pada 2004 dan 2005 di Tiongkok marak demonstrasi yang dilakukan kepada
warga negara Jepang di Tiongkok yang memperburuk hubungan antara kedua negara.
Pada 2006, setelah Perdana Menteri Koizumi Lengser dan digantikan oleh Perdana
Menteri Shinzo Abe, Perdana Menteri Abe melakukan kunjungan kenegaraan ke
Tiongkok kemudian ketegangan antara kedua negara kembali mencair. Hingga pada
2010 peristiwa penangkapan kapal nelayan ikan Tiongkok oleh Pasukan Penjaga
Pantai Jepang (Japan Coast Guard)
semakin mepertinggi ketegangan antara kedua negara terkait konflik wilayah Laut
Cina Timur (Smith, 2016).
Selain Tiongkok,
hubungan Amerika-Jepang turut pula mempengaruhi keamanan Jepang di level
domestik. Hubungan Amerika-Jepang yang erat dimulai setelah Perang Dunia II
berakhir. Pasca Perang Dunia II, keamanan Jepang dibawah payung AS. Sejalan
dengan kemajuan Jepang dalam bidang Ekonomi, Amerika Serikat menginginkan
Jepang untuk berbagi beban (burden
sharing) dengan Amerika Serikat dalam bidang keamanan, terutama di wilayah
Asia Pasifik. Apabila Jepang berhasil mengamandemen pasal 9 Undang-Undang Dasar
Jepang 1947 maka akan ikut mempengaruhi hubungan Jepang dengan negera-negara di
kawasan (khususnya Asia Timur) dan juga akan meningkatkan ketenggangan dengan
Tiongkok.
Pertanyaan penelitian
ini adalah faktor apa sajakah yang mempengaruhi wacana amandemen Pasal 9 Undang-Undang
Dasar Jepang 1947? Penelitian ini bertujuan memberikan analisis tentang
pengaruh faktor eksternal dalam dinamika isu di level domestik. Terkait
penelitian ini akan ditunjukan pengaruh faktor eksternal dalam dinamika wacana
amandemen Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang 1947.
Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori ancaman dan kerawanan dari Barry Buzan dan
teori dilema keamanan dalam aliansi dari Glenn H. Snyder. Serta Gaiatsu dalam Two Level Games yang dipaparkan oleh Kevin Cooney.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Teknik
pengumpulan data yang digunakan melalui studi pustaka, dokumen resmi, buku,
jurnal ilmiah, artikel, surat kabar, laporan penelitian, dan sumber-sumber
lainnya. Pada penelitian ini disajikan data survey atau hasil jajak pendapat
berupa angka adalah data pendukung argumen dalam penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil
Penelitian
Hasil
Penelitian ini adalah dinamika wacana amandemen yang mempengaruhi tingkat
ancaman dan kerawanan dari proses Jepang mendorong sikap pro masyarakat Jepang
wacana pasal 9, namun di sisi lain kelompok-kelompok yang tidak mendukung
wacana amandemen Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang 1947 menganggap bahwa
militerisasi Tiongkok dijadikan dasar untuk mengamandemen karena semakin memicu
kerawanan dan keamanan di kawasan.
Dari
keseluruhan temuan dapat dilihat dalam konteks keamanan sangat bergantung pada
kondisi eksternal. Keamanan Jepang teracaman dengan kemajuan militer dan
ekonomi Tiongkok yang diperkirakan akan menjadi negara adikuasa. Jepang dan
Tiongkok menghadapi masalah perebutan kepulauan Senkaku yang mendorong krisis
kepercayaan baik dari masyarakat Jepang maupun Masyarakat Tiongkok.
Berdasarkan
situasi hubungan antara Jepang dan Korea Utara, isu penculikan yang
kontraproduktif dan semakin meningkatnya uji coba rudal dan nuklir oleh Korea
Utara dapat menambah ketengangan hubungan Jepang dan Korea Utara. Dengan adanya
Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang 1947, Jepang diperbolehkan memiliki militer
sebatas untuk mempertahankan diri. Sedangkan Korea Utara memiliki nuklir dan
rudal balistik yang telah sampai ke wilayah perairan Jepang.
Jepang
mengalami dilema aliansi tahap kedua terhadap Amerika Serikat yang mempengaruhi
pemikiran masyarakat Jepang untuk kontra dengan wacana amandemen pasal 9
Undang-Undang Dasar Jepang 1947. Jika Jepang mengamandemen Pasal 9
Undang-Undang Dasar Jepang 1947 yang menjadikan Jepang mempunyai militer maka
akan memperbesar probabilitas Jepang untuk berperang dengan Tiongkok karena
perebutan kepualauan Senkaku. Sedangkan Amerika Serikat Sedang mengalami
kemunduran hegemoni dan� krisis ekonomi.
Di
sisi lain, Hegemoni Amerika Serikat di dunia mengalami kemunduran pasca tragedi
9/11. Keterlibatan Amerika Serikat pada Perang Afganistan dan Iraq telah
menghabiskan energi dan waktu Amerika Serikat. stagnansi pertumbuhan Ekonomi
Amerika Serikat menyebabkan krisis ekonomi yang dialami oleh Amerika
Serikat.� Di tengah kondisi Amerika
Serikat yang mulai kehilangan kekuatannya, mayoritas masyarakat Jepang masih
percaya untuk menjadikan Amerika Serikat sebagai sekutu. Walau pun demikian,
sebagian masyarakat tidak menginginkan Jepang untuk menjadi negara yang
memiliki militer dan berlindung di bawah payung keamanan Amerika Serikat.
B.
Pembahasan
Faktor eksternal yang mempengaruhi wacana
amandemen Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang 1947 adalah tekanan Amerika
serikat, Kemajuan Ekonomi dan Militer Tiongkok dan Ancaman Korea Utara.
Sedangkan indikator faktor eksternal yang mempengaruhi wacana amandemen Pasal 9
Undang-Undang Dasar Jepang 1947 adalah ketidakpastian hegemoni AS, masalah
kepulauan Senkaku, konflik Laut China Selatan, OBOR/BRI, isu Penculikan dan
agresivitas Uji coba nuklir dan peluncuran misil balistik rezim Kim Jong-Un.
Pada 2008, Amerika Serikat mengalami
krisis keuangan yang mempengaruhi perekonomian dunia. Menurut data statistik
dari Biro Tenaga Kerja Kementrian Tenaga Kerja Amerika Serikat, terjadi
peningkatan jumlah prosentase pengangguran yang signifikan mulai tahun 2008 dan
mencapai puncak pada tahun 2010
(Statistics, 2012).
Hubungan Jepang dan Amerika Serikat
mengalami dilema aliansi seiring dengan perubahan kepemimpinan di Amerika
Serikat dan Jepang. Namun demikian mayoritas masyarakat Jepang masih percaya
untuk bersekutu dengan Amerika Serikat.
Pada masa kepemimpinan Presiden Barrack
Obama yang mengarahkan kebijakan �Pivot
to ASIA�, Pemerintah Jepang mendapatkan keuntungan sebagai sekutu. Amerika
Serikat dihadapkan dengan kebangkitan Tiongkok. Di kawasan Asia, Tiongkok telah
meningkatkan hegemoni yang signifikan. Para ahli seperti Joseph Nye
memperkirakan bahwa hegemoni Amerika Serikat yang menurun akan digantikan oleh
Tiongkok.
Di sisi lain, hubungan Jepang dan
Tiongkok tidak begitu baik. Masyarakat Jepang dan Tiongkok saling tidak percaya
satu sama lain dalam bidang keamanan. Sehingga sangat kecil kemungkinannya
untuk Jepang beraliansi dengan Tiongkok.
Jepang dan Tiongkok memiliki masalah
perebutan wilayah, yaitu Kepulauan Senkaku. Pada awalnya kepulauan ini dilupakan
hingga ditemukan hasil penelitian yang menunjukan bahwa dasar laut dari Laut
China Timur memiliki potensi terkandung simpanan gas dan minyak yang terkaya di
kawasan Asia pada 1986 oleh peneliti gabungan dari Pemerintah Jepang, Korea
Selatan dan Tiongkok. Selain itu, Kalangan nasionalis Jepang juga menganggap
bahwa klaim wilayah yang dilakukan Tiongkok akan mengarah pada invansi terhadap
daratan utama Jepang sebagai bentuk dari ancaman Tiongkok (China Threat). Menurut Pemerintah Jepang hal ini akan memicu
masalah konflik wilayah dengan negara lain yang sedang dihadapi Jepang.
Klaim Pemerintah Jepang terhadap
Kepulauan Senkaku berdasarkan pada beberapa bukti sejarah yang menyebutkan
bahwa kepulauan Senkaku sebagai bagian dari wilayah Jepang, yaitu Jepang
mentukan batas wilayah Kekaisaran Jepang pada Januari 1895, pada artikel yang
dibuat oleh sebuah organisasi partai komunis Tiongkok menyebutkan bahwa
kepulauan senkaku berada di dalam wilayah Jepang, perjanjian Shimonoseki yang
mengakhiri perang sino-jepang tidak disebutkan kepulauan senkaku sebagai bagian
dari Taiwan yang pada perjanjian itu diserahkan kepada Jepang sebagai harta
pampasan perang, dan pada perjanjian perdamaian Jepang dan AS di San Fransisko
disebutkan bahwa kepulauan senkaku dikembalikan kepada Jepang sebagai bagian
dari wilayah Okinawa. Sedangkan klaim pemerintahan Tiongkok terhadap kepulauan
senkaku adalah menuduh Jepang telah mencuri kepulauan senkaku pada perang
sino-Jepang (Agustus 1894 - April 1895) dari kekaisaran Qing dan tidak mengakui
perjanjian sanfransisco yang dianggap dilakukan secara rahasia antara
pemerintah Jepang dan AS
(The Senkaku Island,
2013).
Konflik semakin memanas ketika
Pemerintah Jepang membeli tiga pulau yang termasuk ke dalam kepulauan Senkaku
pada 11 September 2012 seharga 2,05 milyar yen yang diumumkan oleh Perdana
Menteri yang menjabat saat itu yaitu Noda Yoshihiko. Tindakan pemerintah Jepang
tersebut memperoleh respon negatif dari pemerintah Tiongkok� di wilayah perairan dan udara Laut Cina
Timur. Menurut data dari Ministry of Foreign Affair (MOFA) pemerintah Jepang
terjadi kenaikan jumlah kapal milik Tiongkok yang memasuki wilayah perairan
disekitar kepulauan Senkaku yang signifikan. Tahun 2009 sebanyak 16 kapal yang
memasuki wilayah perairan Jepang, tahun 2010 meningkat tajam sebanyak 430, dan
pada 2011 sebanyak 8 kapal, 2012 sebanyak 39 kapal, 2013 sebanyak 88 kapal,
2014 sebnyak 208 kapal, 2015 sebanyak 70 kapal dan 2016 sebanyak 104 kapal
(Kementrian Luar Negeri Jepang yang berjudul �Status of activities by Chinese government vessels and Chinese fishing
vessels in waters surrounding the Senkaku Islands � pada 2016).
Pada 7 September 2010, terjadi peristiwa
penangkapan awak kapal berserta kapal nelayan Tiongkok yang memasuki wilayah
perairan di sekitar Kepulauan Senkaku oleh Penjaga Pantai Jepang (Japan Coast Guard). Permasalahan terjadi
ketika tiga kapal patroli Penjaga Pantai Jepang yang bernama Yonakuni, Mizuki
dan Hateruma meminta kapal nelayan berhenti untuk diinspeksi, kapal nelayan
Tiongkok tidak berhenti dan menabrak kapal yang bernama Yonakuni dan kemudian
bertambrakan lagi dengan kapal yang bernama Mizuki, setelah berkejaran selama
sekitar 40 menit kapal ikan Tiongkok tertangkap dan dijatuhi hukuman kepada
Kapten kapal bernama Zhan Qixiong berserta anak buah kapal (ABK) lainnya oleh
pemerintah Jepang atas kejahatan merusak dan menghalangi tugas Penjaga Pantai
Jepang. Pemerintah Tiongkok meminta agar kapten kapal, ABK dan kapal ikan
dibebaskan namun pemerintah Jepang menyerahkan kapten kapal dan ABK kepada
jaksa penuntut umum agar dapat diproses secara hukum Jepang.
Pemerintah Tiongkok dengan cepat
menanggapi masalah ini dengan mengajukan ke dalam agenda PBB dan juga melalui
diplomasi dengan Jepang secara langsung.�
Pemerintah Tiongkok melakukan tawar menawar dengan� empat orang warga negara Jepang yang
ditangkap di Tiongkok dan pelarang ekspor material tanah yang langka (rare earth) yang sangat penting untuk
industri Jepang. Empat karyawan perusahaan PT. Fujita dikirim ke Tiongkok untuk
mendapatkan senjata yang ditinggalkan pada Perang Dunia Kedua 20 September 2010
dihukum karena memasuki daerah militer yang terlarang di provinsi Heibei.
Selain itu, Pemerintah Tiongkok. Sehingga pada 24 September pengadilan Ishigaki
membebaskan kapten kapal (Sasaki, 2015)
Selain itu, di wilayah udara terjadi
peningkatan tajam dalam kurun waktu 2010-2015.
Pada 23 Desember 2012-23
Maret 2014 tercatat sebanyak 13 kali pesawat jenis Y-12 milik State Oceanic Administration (SOA)
pemerintah Tiongkok memasuki wilayah udara Jepang. Pada Januari 2013,
Kementrian Pertahanan Nasional Tiongkok mengumumkan kegiatan pesawat PLA di
Laut Cina Timur yang pada Juli pesawat peringatan dini udara Y-8 dan pesawat
pembom H-6 dikonfirmasi berada di langit antara pulau utama Okinawa dan pulau
Miyakojima ke arah Samudra Pasifik pada bulan Juli, September dan tiga hari
berturut-turut pada November dan pesawat intelijen Tu-154 di Laut Cina Timur
pada November selama dua hari berturut-turut (Jepang, 2014).
Selain Senkaku yang terletak di Laut
China Timur, di Laut China Selatan pun Tiongkok memiliki masalah perebutan
wilayah. Tiongkok pada 2012
mengklaim perairan Laut China Selatan yang merupakan kawawan Laut China
Selatan. Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan yaitu gugusan
kepulauan dua pulau besar (pulau Spratly dan pulau Paracels), bantaran suangai
Macclesfield dan karang Scarborough. Laut China Selatan memiliki cadangan
sumber daya alam yang besar seperti mineral, minyak bumi, dan gas alam dan juga
memiliki lokasi yang strategis karena berada di jalur perlintasan
internasional. Negara-negara yang mengklaim kawasan Laut China Selatan adalah
Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darusalam.
Rizki Roza dalam penelitiannya yang
berjudul Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Modernisasi
Militer (2013) berpendapat bahwa negara-negara yang terlibat dalam sengketa
kepemilikan Laut China Selatan sedang melakukan modernisasi kekuatan militer
dengan sangat pesat dan berkelanjutan. Tiongkok sedang berupaya untuk melakukan
program modrnisasi militer jangka panjang untuk meningkatkan kemampuan kekuatan
bersenjata yang memungkinkan untuk bertempur dan menang dalam waktu singkat.
Tiongkok memperbaharui sebanyak 84 %
senjatanya baru sejak 2009 yang diperlihatkan pada parade militer yang digelar
oleh Pemerintah Tiongkok
(Zhiyue, 2015). Dalam buku putih yang
diterbitkan Kementrian Pertahanan Jepang Tiongkok merupakan salah satu negara
yang memiliki senjata nuklir dan mempunyai misil yang berteknologi mutakhir.
Tiongkok mempunyai misil dengan sistem ICBM, MRBM, SRBM dan GLCM. Jangkauan
jarak misil balistik Tiongkok terjauh dapat mencapai 13.000 km.
Selain anggaran belanja militer yang
terus-menerus naik walaupun angka pertumbuhan ekonomi dari tahun 2016
berangsur-angsur menurun dan kepemilikan senjata pemusnah masal berupa senjata
nuklir dan misil balistik. Jumlah pasukan militer Tiongkok merupakan peringkat
kedua setelah Amerika Serikat� dengan
persenjataan yang makin modern.
Alat ukur tunggal dan terpenting untuk
mengukur sumber daya dalam bidang militer untuk dibandingkan dengan negara
lainnya adalah dengan melihat anggaran belanja militernya. Anggaran belanja
militer Tiongkok berdasarkan pada besaran pertumbuhan ekonomi, sejalan dengan
peningkatan prosentasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok maka semakin besar pula
anggaran belanja militernya. Sedangkan Jepang hanya boleh berkisar pada
prosentase 1% dari GDP. Sehingga pada tahun 2016 anggaran belanja Tiongkok
adalah lima kali anggaran belanja Jepang. Perbandingan anggaran belanja militer
Jepang dan Tiongkok tahun 2001-2017 adalah sebagai berikut:
Anggaran belaja Tiongkok terus-menerus
meningkat dari tahun ke tahun sedangkan anggaran belanja Jepang berkisar pada
41 ribu dolar AS (Zhiyue, 2015). Dalam buku putih yang
diterbitkan Kementrian Pertahanan Jepang menganggap bahwa Tiongkok kurang
transparan dalam melaporkan anggaran belanja militer dan persenjataan militer
Tiongkok setiap tahunnya.
Terlebih tanggapan Pemerintah Tiongkok
terhadap proposal revisi Undang-Undang Dasar Jepang 1947 khusunya Pasal 9 LDP
tahun 2004 yang diumumkan melalui Xinhua News Agency mengatakan bahwa perubahan
tersebut adalah peringatan untuk meningkatkan kewaspadaan dunia terutama
negara-negara Asia yang dijajah oleh Jepang pada masa lalu. Menurut Tiongkok
Jepang bermimpi untuk menjadi kekuatan militer dan politik yang akan menjadi
ancaman serius untuk kedamaian di Asia dan dunia. Tiongkok mengungkit
pemerintah Jepang yang tidak mengakui dan meminta maaf atas perbuatannya di
masa lalu sehingga dapat dipastikan Jepang akan melakukan hal yang sama lagi
jika Jepang memiliki kekuatan militer kembali. Batasan-batasan yang telah
ditetapkan dilanggar oleh Pemerintah Jepang dengan mengizinkan Pasukan Bela
diri Jepang pergi ke luar wilayah Jepang dan secara sengaja melakukan serangan
ke barbagai negara yang dianggap musuh yang dilakukan untuk pencegahan.
Dalam bidang ekonomi, Jepang dihadapkan
dengan inisiasi Presiden Xi Jinping yang disebut One Belt One Road (OBOR). OBOR adalah inisiasi strategi geopolitik
Tiongkok dengan pemanfaatan jalur transportasi dunia sebagai jalur perdagangan
yang tersebar di kawasan Eurasia. untuk meningkatkan kesejahteraan dan
perwujudan modernisasi Tiongkok di tahun 2020 dengan meningkatkan intensitas
perdagangan dengan penyediaan fasilitas infrastruktur lewat darat maupun laut (Izuyama & Kurita,
2017).
Terdapat dua jalur perdagangan dalam
skema inisiatif� OBOR yang dikemukakan oleh
Presiden Tiongkok Xi Jinping yaitu di jalur darat disebut dengan �Jalur Ekonomi
Jalan Sutra� (Silk Road Economic Belt)
dan �Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21�� (21st century Maritime Silk Road).� Negera-negara yang termasuk ke dalam
Inisiatif OBOR adalah Tiongkok, Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia,
Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Timor-Leste, Vietnam,� Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal,
Pakistan, Sri Lanka, Afghanistan, Armenia, Azerbaijan, Georgia, Iran,
Kazakhstan, Kyrgyzstan, Mongolia, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan,� Bahrain, Mesir, Irak, Israel, Yordania,
Kuwait, Lebanon, Oman, Palestina, Qatar, Arab Saudi, Republik Arab Suriah,
Turki, Amerika, Arab Emirates, Yemen, Albania, Belarus, Bosnia &
Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Estonia Hungaria, Latvia,
Lituania, Makedonia, Moldova, Montenegro, Polandia, Rumania, Rusia, Serbia,
Slowakia, Slovenia dan� Ukraina� (Enright, 2016).
Tingkok akan menjadi pemimpin dalam
perdagangan bebas melalui OBOR. Contoh yang paling baik untuk memperlihatkan
peningkatan industri Tiongkok yang menggunakan OBOR, sekaligus rasa
ketidakamanan Jepang dalam bidang ekonomi adalah strategi diplomasi yang
disebut sebagai �diplomasi kereta api cepat� (High-Speed Railway Diplomacy). Tiongkok dapat
mempromosikan teknologi tingkat tinggi dan standar insinyur pada bidang kereta
cepat melalui projek kereta api cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142 kilometer
yang menghubungkan Ibukota Indonesia dengan provinsi Jawa Barat. Proses
negosiasi proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung
merupakan medan pertarungan yang sengit antara Pemerintah Tiongkok dan Jepang.
Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung
merupakan hal yang penting bagi kedua negara. Untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung merupakan awal
dari rencana Tiongkok� untuk membangun
jaringan kereta api cepat di seluruh dunia yang merupakan bagian dari Inisiasi
OBOR. Rencana serupa akan dilakukan Malaysia, Singapura, Myanmar, Vietnam, dan
India (Salim & Negara,
2016).
Menurut Rachel Vandenbrink (2017) dalam
artikel penelitian yang berjudul Asia�s
Turn to Geopolitics: China and Japan in Central and Southeast Asia
berpendapat bahwa �terdapat persaingan yang sengit antara Tiongkok dan Jepang
dalam kerangka geopolitik.� Lebih lanjut menegaskan bahwa � sementara inisiatif
OBOR Beijing meningkatkan posisi Tiongkok di perbatasan Asia Tengah dan Asia
Tenggara, Jepang menggunakan prinsip geopolitik untuk meningkatkan
kepentingannya sendiri di wilayah yang sama dan memastikan tidak tertinggal� (Vandenbrink, 2017).
Terdapat persaingan antara Jepang dan
Tiongkok di Asia. Langkah Tiongkok selalu diikuti dengan ketat oleh Jepang.
Upaya Jepang untuk menghalangi Tiongkok menjalankan inisiatif OBOR yang
nantinya akan menjadikan Tiongkok menjadi negara adikuasa menggatikan kekuasaan
Amerika Serikat yang mengalami peneurunan hegemoni salah satunya adalah dengan
menjalin hubungan yang baik dengan negara-negara yang menjadi anggota inisiatif
OBOR.��
Melihat kemungkinan Tiongkok mengusai
ekonomi dunia, Abe Shinzo sebagai Perdana Menteri Jepang mengeluarkan startegi
yang mirip dengan inisiatif OBOR Tiongkok dengan empat negara yaitu Amerika
Serikat, Australia dan India yang akan membangun pelabuhan dan jaringan jalan
berkecepatan tinggi di Asia ke Afrika. Amerika Serikat memberikan tawaran untuk
membangun jalan di Bangladesh ke Afghanistan sehingga bahkan Pakistan dapat
diminta untuk berpartisipasi dalam proyek ini. Tujuannya adalah agar keempat
negara menjadi empat jangkar keamanan dan perdamaian di wilayah Indo-Pasifik.
Proposal ini adalah upaya Jepang menghalau OBOR Tiongkok (Hindustan Times, 2017).
Selain ancaman dari Tiongkok, Jepang
juga merasakan ancaman dari Korea Utara. Setelah kematian Kim Jong-Il tepatnya
pada 29 Januari 2012, kepala negara Korea Utara diteruskan oleh anak Kim
Jong-Il yang bernama Kim Jong-Un. Pergantian kepemimpinan Korea Utara dijadikan
peluang untuk membahas ulang nuklir Korea Utara yang pada masa pemerintahan Kim
Jong-Il mengalami kebuntuan oleh anggota Six
Party Talk (SPT), yaitu perundingan enam negara (Korea Utara, Korea
Selatan, Jepang, Rusia dan Amerika Serikat) yang dibentuk untuk membahas
mengenai nuklir Korea Utara. Pada pertemuan SPT Kim Jong-Un meminta bantuan
pangan dan berjanji akan menghentikan uji coba nuklir, memproduksi uranium dan
uji coba misil jarak jauh.
Akan tetapi, hal ini hanya berlangsung
selama satu tahun, pada Februari 2013 pemerintah Korea Utara melalui media
pemerintahan mengumumkan� akan memulai
kembali seluruh fasilitas nuklir di Yeongbyon. Pada September 2015, seluruh
fasilitas tersebut telah beroperasi secara normal.
Uji coba peluncuran rudal oleh Korea
Utara semakin banyak intensitasnya pada rezim Kim Jong-Un. Pada 2016 Korea
Utara telah meluncurkan rudal sebanyak 15 kali. Pada 7 Februari 2017 Korea
Utara meluncurkan rudal yang diperkirakan adalah rudal berjenis Taepodong-2
yang memiliki jarak luncur sampai 1.000 km (dapat mencapai wilayah Amerika
Serikat). Dua kali pelincuran telah memasuki wilayah Zona Ekonomi Esklusif
(ZEE) Jepang, tanggal 3 Agustus 2016 jatuh ke sekitar semenangjung Oga di
Perfektur Akita, dan pada 5 September 2016 juga jatuh di wilayah ZEE Jepang
yaitu dekat dengan pulau Okushiri di Hokaido.
Pada pertengahan tahun 2016, Korea Utara
juga meluncurkan serangkaian uji coba rudal yang mengalami kemajuan pada setiap
peluncurannya. Yaitu pada 23 April, 9 Juli dan 24 Agustus 2016� yaitu rudal balistik yang diluncurkan dari
kapal selam yang dikenal dengan istilah Submarine-Launched
Balistic Missiles (SLBMs). Korea Utara meluncurkan rudal SLBMs pada 23
April yang berhasil meluncur sejauh 30 km, kemudian mengalami kegagalan pada
peluncuran tanggal 9 Juli karena seketika meledak setelah diluncurkan, dan
mulai meningkat pada peluncuran tanggal 24 Agustus yang meluncur sejauh 500 km.
Selain uji coba rudal, Korea Utara juga
sedang mengembangkan senjata nuklir. Terdeteksi Korea Utara sudah melakukan uji
coba nuklir sebanyak lima kali. Uji coba nuklir yang pertama dan kedua yaitu
pada 9 Oktober 2006 dan 25 Mei 2009 menghasilkan kurang dari 3 kiloton dibawah
rezim Kim Jong-Il. Pada masa Kim Jong-Un berkembang menjadi 12 kiloton yang
dihasilkan pada 9 September 2016, yang sebelumnya pada 6 Januari 2016 dan pada
12 Februari 2013� menghasilkan sampai 7
kiloton (Erik Isaksson, 2017). Korea Utara akan
mencapai bom �Litle Boy� dan �Fat Man� yang dijatuhkan di Hiroshima
dan Nagasaki oleh Amerika serikat pada Perang Dunia II yang menghasilkan 15
kiloton dan 21 kiloton� (Murooka dan
Akutsu, 2017).
Jepang mulai mengembangkan sistem
pertahanan terhadap misil balistik (BMD) pada 2004. Pada 2007 Kementrian
Pertahanan Jepang mulai menyebar PAC-3 (the
Patriot Advanced Capability-3) yang merupakan salah satu sistem pertahanan
udara untuk membalas ancaman dari udara yang dirancang untuk menangkap misil
balistik. Dan pada 2016 memiliki 24 buah aki untuk PAC-3 dan enam buah
pertahanan misil balistik yang berpusat pada laut (Jepang, 2014).
Faktor eksternal yang dipaparkan di atas
dijadikan alat oleh Pemerintah Jepang untuk menggiring pandangan masyarakat
Jepang terhadap wacana Amandemen Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang 1947. Namun
di sisi lain, ketakutan Jepang akan memperburuk hubungan dengan Tiongkok dan
Korea Utara juga dikhawatirkan oleh masyarakat Jepang.
Kesimpulan
Tekanan
luar atau gaiatsu mempengaruhi
dinamika wacana amademen pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang 1947 di level
domestik. Perdana Menteri Jepang mencoba menggunakan isu-isu ancaman keamanan
global untuk mendorong kebijakan Jepang seperti�
kemajuan militer Tiongkok dan misil balistik dan nuklir Korea Utara
untuk mendorong opini masyarakat agar dapat mengamandemen pasal 9 Undang-Undang
Jepang 1947.� Namun di lain pihak, adanya
kekhawatiran remiliterisasi Jepang dapat memicu perang dengan negara di
kawasan, terutama Tiongkok.
Kemajuan
militer dan ekonomi Tiongkok memungkinkan Tiongkok untuk menjadi adidaya.
Hubungan Jepang dan Tiongkok yang saling bersaing, menjadikan Jepang terus
memperkuat aliansi dengan Amerika Serikat. Jepang terus menerus menghalau
Tiongkok. Contohnya Jepang membuat strategi tandingan untuk inisiatif OBOR
Tiongkok dengan mengandeng negara-negara yang tidak terlibat dengan OBOR, yaitu
Amerika Serikat, India dan Australia.
Hegemoni
Amerika Serikat di dunia mengalami kemunduran pasca tragedi 9/11. Keterlibatan
Amerika Serikat pada Perang Afganistan dan Iraq telah menghabiskan energi dan
waktu Amerika Serikat. Stagnansi pertumbuhan Ekonomi Amerika Serikat
menyebabkan krisis ekonomi yang dialami oleh Amerika Serikat.� Di tengah kondisi Amerika Serikat yang mulai
kehilangan kekuatannya, mayoritas masyarakat Jepang masih percaya untuk
menjadikan Amerika Serikat sebagai sekutu. Walau pun demikian, sebagian masyarakat
tidak menginginkan Jepang untuk menjadi negara yang memiliki militer dan
berlindung di bawah payung keamanan Amerika Serikat.
BIBLIOGRAFI
Enright, Scott. (2016). One Belt One Road: Insights for
Finland. Team Finland Future Watch Report.
Erik Isaksson, Lars Varg� and Liam
Palmbach. (2017). Japan and North Korea: Toward Engagement for Regional
Security. Institute for Security and Development Policy, 206,
1�3. Retrieved from https://isdp.eu/content/uploads/2017/10/2017-isaksson-vargo-palmbach-japan-north-korea-regional-security.pdf
Hyodo, Shinji. (2017). East
Asian Strategic Review 2017. Tokyo.
Island, The Senkaku. (2013).
Ministry of Foreign Affairs. Retrieved from
http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/senkaku/pdfs/senkaku_en.pdf
Izuyama, Mari, & Kurita,
Masahiro. (2017). Security in the Indian Ocean Region: Regional Responses to
China�s Growing Influence. East Asian Strategic Review.
Jepang, Kementrian Pertahanan.
(2014). China�s activities surrounding Japan�s airspace diakses dari pada.
Retrieved from http://www.mod.go.jp/e/d_act/ryouku/
Oh, Hyun. (2016). Sirens blare as
Japan, fearing N Korea, holds first missile drill. Retrieved from
https://japantoday.com/category/national/sirens-blare-as-japan-fearing-n-korea-holds-first-missile-drill
Salim, Wilmar, & Negara, Siwage
Dharma. (2016). Why is the high-speed rail project so important to Indonesia.
Sasaki, Alexandra. (2015). Japan�s
Security Policy: A shift in Direction under Abe?. Terj. David Barnes. SWP-Studie
21/2014. Berlin: Stiftung Wissenschaft und Politik German Institute for
International and Security affairs. Retrieved from https://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/products/research_papers/2015_RP02_skk.pdf
Smith, Sheila. (2016). Voters give
Abe an opening for contitutional debate. Retrieved from
http://forbes.com/sites/sheilaasmith/2016/07/11/voters-give-abe-an-opening-for-constitutional-debate/amp/#amph=1
Statistics, U. S. Bureau of labor.
(2012). Biro Tenaga Kerja Kementrian Tenaga Kerja Amerika Serikat. diakses dari
pada. Retrieved from https://data.bls.gov/pdq/SurveyOutputServlet
Times, Hindustan. (2017). Japan to
propose OBOR-like project with India, US to counter China. Retrieved from
http://www.hindustantimes.com/india-news/japan-to-propose-obor-like-project-with-india-us-to-counter-china/story-A3jsZBRAuQ5yM8pEPYEDPP.html
Vandenbrink, Rachel. (2017). Asia�s
Turn to Geopolitics: China and Japan in Central and Southeast Asia. Retrieved
November 18, 2017, from http://web.isanet.org/Web/Conferences/HKU2017-s/Archive/77c581ce-94fe-4c91-815d-b5f337400688.pdf
Widyasari, Lilis. (2014). Dinamika
hubungan Korea Selatan-Korea Utara dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung
Korea periode 2003-2008Widyasari, Lilis. (2014). Dinamika hubungan Korea
Selatan-Korea Utara dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea periode
2003-2008.
Zhiyue, Bo. (2015). 3 Takeaways
From China�s Military Parade. Retrieved November 8, 2017, from The Diplomat
website: https://thediplomat.com/2015/09/3-takeaways-from-chinas-military-parade/