Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol. 5, No. 7, Juli 2020
COST EFFECTIVENESS ANALYSIS PENGGUNAAN HEPATOPROTEKTOR� PADA TERAPI TUBERKULOSIS DI RS PARU CISARUA, BOGOR
Lukluk Utaminingsih,
Delina Hasan dan Alvin Kosasih
Fakultas
Farmasi Universitas Pancasila Jakarta
Email : [email protected], [email protected] dan �[email protected]
Abstract
Alternative use of hepatoprotector in
tuberculosis therapy with the incidence of drug-induced hepatitis (DIH)
requires economic pharmacological studies, especially Cost Effectiveness
Analysis. The purpose of this study is to compare the cost effective use of hepatoprotector
to treat DIH in the treatment of TB. The method used was a cohort design and
prospective data collection from medical records of inpatient TB patients with
DIH and detailed data on treatment costs from the financial department of
Cisarua Lung Hospital, Bogor. A sample of 90 patients was randomly divided into
double blind, group 1 using placebo, group 2 using curcumin and group 3 using
lecithin. The parameters measured were the value of
serum ALT levels on day 5, direct costs and indirect costs. The results showed
the effectiveness of hepatoprotector in TB patients with the highest DIH in
reducing ALT levels to normal values (<51IU / L) was a placebo
for 11 patients, curcumin for 8 patients, and lecithin for 2 patients. Cost effectiveness
based on ACER values on placebo, curcumin and lecithin
sequentially was Rp 4,120,342.23 / patient, Rp5,571,803.76
/ patient and Rp.25,444,523.64 / patient. The use of curcumin as a
hepatoprotector is more cost effective than lecithin but the incidence of DIH in
TB management will be controlled by itself without hepatoprotector
administration if the causative drug is stopped.
Keywords : Cost effectiveness analysis; hepatoprotector;
tuberculosis
Abstrak
Alternatif� penggunaan hepatoprotektor pada terapi tuberkulosis
dengan kejadian hepatitis imbas
obat (DIH) memerlukan studi farmako ekonomi terutama Cost Efectiveness
Analysis. Tujuan penelitian ini membandingkan cost effective pemakaian hepatoprotektor untuk mengatasi DIH pada pengobatan TB. Metode
dengan desain kohort dan pengambilan data secara prospektif dari rekam medis
penderita TB rawat inap yang mengalami DIH dan data rincian biaya pengobatan dari bagian keuangan RS
Paru Cisarua Bogor. Sampel 90 pasien dibagi secara acak buta ganda yaitu kelompok 1 menggunakan
plasebo, kelompok 2 menggunakan kurkumin dan kelompok 3 menggunakan lesitin.
Parameter yang diukur adalah nilai
kadar serum ALT hari ke 5,
biaya langsung dan biaya tidak langsung. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas
hepatoprotektor pada pasien TB dengan DIH paling tinggi dalam menurunkan kadar
ALT sampai nilai normal (<51IU/L) adalah plasebo sebanyak 11 pasien,
kurkumin� sebanyak 8 pasien, dan lesitin
sebanyak 2 pasien. Efektivitas biaya berdasarkan nilai ACER pada plasebo,
kurkumin dan lesitin secara berurutan adalah Rp
4.120.342,23/pasien, Rp 5.571.803,76/pasien dan Rp 25.444.523,64/pasien.
Penggunaan kurkumin sebagai hepatoprotektor lebih cost effective
dibandingkan lesitin akan tetapi kejadian DIH pada tatalaksana TB akan
terkendali dengan sendirinya tanpa pemberian hepatoprotektor jika obat penyebab
dihentikan.
Kata kunci :
Cost effectiveness analysis; hepatoprotektor; tuberkulosis.
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) masih menjadi
salah satu penyakit menular yang paling mematikan di dunia dan �dapat menyerang individu dari semua tingkat
sosial dalam masyarakat ((Kemenkes RI), 2016). Data WHO
menunjukkan sekitar 85% kasus TB berhasil diobati, namun ada beberapa efek
samping yang terkait dengan pengobatan, antara lain hepatotoksisitas, reaksi
kulit, gangguan pencernaan dan neurologis.
Hepatotoksisitas merupakan efek
samping paling umum dari semua reaksi obat yang merugikan pada 11% pasien yang
diobati dengan kombinasi isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid (Wang et al., 2016). Berdasarkan studi literatur
diketahui bahwa ada banyak faktor yang meningkatkan risiko terjadinya
hepatotoksisitas imbas OAT. Di antara faktor tersebut yaitu usia, jenis
kelamin, genetik, infeksi hepatitis C atau B, infeksi HIV, status gizi,
konsumsi alkohol, bersamaan dengan konsumsi obat hepatotoksik lainnya dan kadar
SGPT awal yang meningkat (Luthariana, Karjadi, Hasan, & Rumende, 2017).
Data di RS Paru dr. M. Goenawan
Partowidigdo, Cisarua, Bogor pada bulan November tahun 2016 sampai November
2017 terdapat 10.750 kunjungan pasien rawat jalan penderita TB paru dan 2.070
pasien TB yang rawat inap. Dari 10.750 pasien rawat jalan, terdapat 631 pasien
TB paru dengan hepatitis imbas obat karena obat anti tuberkulosis. Dan dari
2.070 pasien TB rawat inap, terdapat 329 pasien TB paru dengan hepatitis imbas
obat karena obat anti tuberkulosis
(Bil et al., 2018).
Hepatitis imbas obat dapat
mengurangi efektivitas obat anti tuberkulosis karena dapat mengurangi kepatuhan
(adherence) penderita secara signifikan
dan pada akhirnya dapat mengarah pada kegagalan terapi dan resistensi obat. Jika diabaikan hepatitis
imbas obat yang timbul akan memperburuk keadaan umum penderita dan menyebabkan
penundaan pengobatan sehingga berakibat fatal (Ramappa & Aithal,
2013). Berdasarkan evaluasi efek terapi obat
anti tuberkulosis (OAT) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar Malang pada
tahun 2013 yang melibatkan sebanyak 460 pasien tuberkulosis (TB) yang menerima directly
observed treatment strategy (DOTS), hasil penelitian diperoleh 25 pasien
yang mengalami hepatitis akibat OAT dengan nilai insiden sebesar 5,4% (Rifai, Herlianto,
Mustika, Pratomo, & Supriono, 2015).
Pada era pelayanan kesehatan menggunakan
sistem jaminan kesehatan nasional saat ini, kelompok hepatoprotektor tidak
masuk dalam standar obat nasional yaitu Formularium Nasional. Dari perspektif
lembaga pembayar yaitu BPJS, hepatoprotektor tidak masuk dalam manfaat yang
dijamin karena tidak ada dalam penatalaksanaan pengobatan tuberkulosa, panduan
praktik klinik ataupun Formularium Nasional karena efikasi hepatoprotektor
belum ada evidence basenya. Akan
tetapi bertentangan dengan kenyataan dimana para klinisi memberikan
hepatoprotektor dalam upaya mencegah dan mengatasi kejadian hepatitis imbas
obat. Dari perspektif individu yaitu pasien, di satu sisi ada kebutuhan untuk
mendapatkan terapi sesuai dengan yang diberikan oleh klinisi, akan tetapi ada
harapan untuk tidak harus iuran biaya atau mengeluarkan biaya out of pocket. Oleh sebab itu diperlukan
penelitian tentang cost effectiveness
analysis penggunaan hepatoprotector untuk mengatasi terjadinya hepatitis
imbas obat pada terapi tuberkulosis di RS Paru dr. M. Goenawan Partowidigdo,
Cisarua, Bogor. Bogor. Dengan
memperhatikan efektivitas dan biaya terapi tersebut, penelitian ini dapat
menjadi bahan pertimbangan rumah sakit dalam membuat kebijakan atau clinical pathway tuberkulosis paru
dengan hepatitis imbas obat.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Cost Efectiveness Analysis desain kohort dengan penelusuran data secara prospektif. Lokasi penelitian dilakukan di RS Paru dr.M. Goenawan Partowidigdo Cisarua,
Bogor. �Populasi penelitian ini adalah penderita tuberkulosis paru yang sedang dalam
terapi OAT dengan hepatitis imbas obat di RS Paru dr.M. Goenawan Partowidigdo Cisarua, Bogor, sebesar
281� pasien. Sampel
�sebesar 90 pasien dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu 30 sampel kelompok dengan pemberian obat hepatoprotektor
kurkumin, 30 �sampel �kelompok dengan pemberian obat hepatoprotektor
lesitin, dan 30 sampel �kelompok dengan
pemberian plasebo/tanpa pemberian obat hepatoprotektor. Data dalam
penelitian ini merupakan data sekunder yang�
diperoleh dari rekam medis pasien, hasil laboratorium� dan billing pasien. Subjek penelitian ini
adalah pasien TB Paru yang sedang dalam terapi OAT dengan hepatitis imbas obat
serta mendapatkan hepatoprotektor (kurkumin, lesitin maupun placebo). Penentuan
subjek penelitian untuk tiap kelompok perlakuan dilakukan dengan randomisasi
buta ganda.
Kemudian data diolah dan dianalisa secara deskriptif dan statistik,
karakteristik pasien digambarkan dalam nilai rata-rata (mean) dan prosentase.
Hasil dan Pembahasan
Komite Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan Nomor : 0773/UN2.F1/Etik/2018 telah memberikan keterangan
lolos kaji etik untuk penelitian ini.
1. Analisis Univariat
a. Karakteristik
Subyek Penelitian
Karakteristik
pasien dalam penelitian ini antara lain jenis kelamin laki-laki ada 53 orang
atau� 58,9% lebih banyak dibandingkan
jenis kelamin perempuan. yaitu 37 orang atau�
41,1%. Persentase penderita tuberkulosis dengan hepatitis imbas obat
pada jenis kelamin laki-laki cenderung lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan, hal ini sejalan dengan penelitian Nurul dkk. (2014), yang dikutip
oleh� Dewi, Ayu Sintya (2018), menyebutkan
bahwa penderita TB dengan hepatitis imbas obat lebih banyak diderita oleh
laki-laki disebabkan oleh kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol (Sintya, 2018);
(Rahayu, 2018).
Sesuai juga dengan penelitian Lies Luthariana dkk bahwa dari 33 kasus yang
ditemukan, 91% subjek berjenis kelamin laki-laki (Luthariana et al.,
2017). Dari kelompok umur,� paling banyak�
antara umur 17 sampai 25 tahun�
sebanyak� 22 orang atau 24,4%,� sedangkan yang sedikit adalah umur di atas 65
tahun sebanyak 7 orang atau 7,8%..
Karakteristik
usia subyek penelitian yang dominan antara 17 sampai 25 tahun.� Menurut Debarhavi, 2012 pada pasien remaja
terdapat faktor pemicu� hepatitis imbas
obat� selain keturunan yaitu penggunaan
obat-obatan penginduksi hati, kekurangan nutrisi, polifarmasi, HIV/AIDS dan
penderita hepatitis B atau hepatitis C yang memiliki potensi lebih besar
terkena hepatitis imbas obat (Devarbhavi, 2012).
Berbeda dengan penelitian di RSUD Dr. Saeful Anwar Malang Rerata usia pasien
kemoterapi anti-TB standar jangka pendek yang TB adalah 40,60�18,267 dengan 60%
berusia antara 25-50 (Rifai et al., 2015).
Dari jenis
pekerjaan, 45 orang (50,0%) yang bekerja, sebagian besar buruh sebanyak 42
orang (46,7%). Dari� 45 orang
(50,0%)� tidak bekerja, terdapat 28 orang
(31,1%) tidak bekerja dan� ibu rumah
tangga 16 orang (17,8%). Dari komposisi jenis pekerjaan� dan status pekerjaan tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara kelompok bekerja dan tidak bekerja. Tidak dapat
digambarkan apakah status bekerja dan tidak bekerja tersebut dapat mendukung
adanya faktor predisposisi TB dan hepatitis imbas obat dalam hal ini terkait
faktor sosial seperti� nutrisi
Berdasarkan
domisili pasien, subjek penelitian paling banyak berdomisili di wilayah
Kabupaten Bogor yaitu sebanyak 61 orang atau 67,8%, sisanya dari berbagai kota
atau kabupaten lain. Domisili pasien cukup bervariasi karena RSP dr. M.
Goenawan Partowidigdo merupakan rumah sakit vertikal pemerintah rujukan kelas A
untuk pelayanan penyakit paru. Data domisili selanjutnya akan digunakan sebagai
dasar menentukan biaya kehilangan produktivitas dan biaya transport
Berdasarkan fase terapi tuberkulosis, fase pengobatan
intensif merupakan fase pengobatan terbanyak yaitu sekitar 83 orang (92,2%) dan
pasien yang menjalani fase pengobatan lanjutan sebanyak 7 orang (7,8%). Fase
intensif merupakan fase 2 bulan pertama terapi OAT, dimana regimen yang
diberikan adalah� rifampisin, isoniazid,
ethambutol, pyrazinamide untuk kategori I dan ditambah streptomisin pada
kategori II. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Savita Mishra, 2014), yang menyebutkan bahwa OAT seperti
rifampisin, isoniazid dan pirazinamid yang digunakan dalam terapi TB secara
signifikan dapat menyebabkan hepatotoksik pada mamalia dan dalam jangka waktu
panjang dapat menyebabkan DILI (Drug
Induced Liver Injury (Devarbhavi, 2012). Pyrazinamide merupakan regimen paling
hepatotoksik, lalu diikuti oleh isoniazid dan rifampisin (Anand & Hospitals,
2015). Berdasarkan
fase terapi tuberkulosis, fase pengobatan intensif merupakan fase pengobatan
terbanyak Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Vitarani dkk. (2010), yang menyebutkan penderita tuberkulosis dengan hepatitis
imbas obat paling banyak berada pada stage
1 dalam kategori WHO (Rahayu, 2018).
Pada kategori
keparahan berdasarkan peningkatan kadar ALT diperoleh tingkat keparahan
penyakit ringan sebanyak 69 orang (76,7%), sedangkan tingkat keparahan penyakit
sedang� sebanyak 21 orang (23,3%). Perbedaan
tingkat keparahan yang dialami penderita dapat dipengaruhi beberapa faktor
risiko,� yaitu konsumsi alkohol (Abera et al, 2015), genetik, nilai serum ALT
awal yang meningkat (Luthariana et al., 2017),
jenis kelamin, malnutrisi dan penggunaan obat-obatan penginduksi hati David et al, 2010 dalam (Sintya, 2018).
Usia lanjut, jenis kelamin, faktor gaya hidup, obesitas, status gizi, latar
belakang genetik, dosis, dan durasi obat dapat memengaruhi risiko reaksi
hepatotoksik karena obat. Dalam penelitian ini tidak diteliti faktor risiko
yang dapat mempengaruhi keparahan�
kejadian hepatitis imbas obat. Dengan demikian dapat terjadi� ketidakseragaman faktor risiko
b. ��Efektivitas Hepatoprotektor
Subjek
penelitian diberikan hepatoprotektor secara acak meliputi� kurkumin, lesitin dan plasebo/tanpa obat
sebagaimana disajikan pada tabel 1. Kriteria terkendali jika kadar ALT mencapai
nilai normal <51 IU/L dan tidak terkendali jika kadar ALT tidak mencapai
nilai normal (>51 IU/L).
Tabel 1
Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan
efektivitasnya
Jenis
Hepatoprotektor |
Efektivitas |
Total |
||||
Terkendali |
Tidak
Terkendali |
|||||
N |
% |
N |
% |
N |
% |
|
Plasebo |
11 |
36,70% |
19 |
63,30% |
30 |
100% |
Kurkumin |
8 |
26,70% |
22 |
73,30% |
30 |
100% |
Lesitin |
2 |
6,70% |
28 |
93,30% |
30 |
100% |
Jumlah |
21 |
23,33%) |
69 |
76,67% |
90 |
100% |
Berdasarkan tabel
diatas, sebanyak 21 orang (23,33%) hasil pengobatannya terkendali, dan sebanyak
69 orang (76,67%) hasil pengobatannya tidak terkendali.. Kriteria
efektivitas� berupa terkendali atau tidak
terkendali, ditentukan berdasarkan hasil objektif pengukuran kadar ALT subjek
pada hari ke-5 (lima). Penetapan hari ke-5 (lima) evaluasi kadar ALT merupakan
asumsi dan didukung oleh hasil studi retrospektif terhadap kasus TB dengan
hepatitis imbas obat yang terjadi di Rumah Sakit ini. Penanda lain berupa
perbaikan gejala klinis hepatitis imbas obat dengan evaluasi� atas keluhan pada akhir pengobatan tidak
dijadikan dasar menetapkan efektivitas�
karena bersifat subjektif dan adanya keterbatasan data. Pada penelitian
ini, yang dijadikan acuan hanyalah nilai ALT (alanin transaminase) karena
peningkatan ALT merupakan penanda yang lebih spesifik pada gangguan hati
dibandingkan dengan AST (aspartat aminotransferase). (Loho
& Hasan, 2014). Keduanya
merupakan parameter yang mudah dilakukan�
di rumah sakit untuk menilai fungsi hati. Reny Setiowati dan Dumilah
Ayuningtyas dalam penelitiannya mengatakan bahwa efek samping obat merupakan
kendala besar yang harus dihadapi oleh pasien TB. Berbagai upaya dilakukan
untuk menghindari efek samping obat ini salah satunya dengan pemberian tablet
antasida untuk mengatasi mual pada lambung. Namun kebanyakan dari pasien TB
tidak dapat mengatasi masalah ini, sebanyak 52,4% pasien TB mengeluhkan adanya
efek samping obat (Reny Setiowati, 2017).
Dalam penelitian ini tidak diteliti
faktor risiko yang dapat mempengaruhi keparahan�
kejadian hepatitis imbas obat, dengan demikian dapat terjadi� ketidakseragaman faktor risiko. Kriteria
efektivitas ditentukan berdasarkan hasil objektif pengukuran kadar ALT subjek
pada hari ke-5 (lima). Penetapan hari ke-5 (lima) evaluasi kadar ALT merupakan
asumsi dan didukung oleh hasil studi retrospektif terhadap kasus TB dengan
hepatitis imbas obat yang terjadi di Rumah Sakit.
Penelitian di Jepang� tentang efektivitas
hepatoprotektor menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada penurunan
nilai AST (Aspartate Transaminase)/ALT
(Alanine Transminase) pada pasien yang mendapatkan hepatoprotektor dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan� hepatoprotektor (Saito et al., 2016).�
Distribusi
Subjek Penelitian Berdasarkan Nilai ALT dan Biaya
Berdasarkan
penyajian pada tabel 2 diperoleh data nilai ALT awal rata-rata 156,63IU/L dan
standar deviasi 113,7 IU/L. Rata-rata nilai ALT akhir pengobatan 128,81 IU/L
serta standar deviasi 105,8 IU/L. Rata-rata penurunan� kadar ALT�
27,82 IU/L. Namun nilai terendah adalah -348 IU/L dan tertinggi 213 IU/L
dengan standar deviasi 85,5 IU/L Pada penelitian ini, yang dijadikan acuan
hanyalah nilai ALT (alanin transaminase) karena peningkatan ALT merupakan
penanda yang lebih spesifik pada gangguan hati dibandingkan dengan AST (aspartat aminotransferase).(Loho
& Hasan, 2014).
Biaya yang
dikeluarkan untuk gejala klinik rata-rata Rp 306.511,00 dan standar deviasi Rp
106.117,00. Rata - rata biaya obat hepatoprotektor Rp 34.765,00 dengan standar
deviasi Rp 47.662,00. Biaya rawat rata-rata Rp 398.611,00 dan standar deviasi
Rp 317.388,00. Biaya visit dokter rata-rata Rp 197.777,00 dan standar deviasi
Rp 45.844,00. Biaya kamar untuk kelas utama adalah Rp 350.000,00, kelas 1 Rp
225.000,00, kelas 2 Rp 75.000,00 dan kelas 3 sebesar Rp 50.000,00. Biaya visite
dokter juga berbeda untuk tiap kelas, yaitu kelas utama Rp 80.000,00, kelas 1
Rp60.000,00, kelas 2 Rp 40.000,00 dan kelas 3 sebesar Rp 35.000,00. Rata-rata
biaya laboratorium Rp 49.255,00 dengan standar deviasi Rp 7.947,00. Rp
429.166,00 dengan rata-rata peringkat 50,83.
Tabel 2 Deskripsi Subjek
Penelitian Berdasarkan Nilai ALT dan Biaya secara Keseluruhan
Variabel |
Minimum |
Maksimum |
Rata-rata |
St.Dev |
Nilai
Awal ALT |
52 |
487 |
156,63 |
113,7 |
Nilai
Akhir ALT |
11 |
483 |
128,81 |
105,8 |
Penurunan
ALT |
-348 |
213 |
27,82 |
85,5 |
Biaya
Obat dan Alkes Gejala Klinis |
131.552 |
629.690 |
306.511 |
106.117 |
Biaya
Obat Hepatoprotektor |
0 |
103.400 |
34.765 |
47.622 |
Biaya� Ruang Rawat |
250.000 |
1.750.000 |
398.611 |
317.388 |
Biaya
Visite Dokter |
175.000 |
400.000 |
197.777 |
45.844 |
Biaya
Laboratorium |
44.000 |
66.000 |
49.255 |
7.947 |
Total
Biaya Langsung |
600.552 |
2.612.378 |
986.921 |
392.969 |
Biaya
Transport |
22.000 |
780.000 |
280.511 |
151.995 |
Biaya
Kehilangan Produktivitas |
0 |
768.274 |
317.943 |
344.796 |
Total
Biaya Tidak Langsung |
22.000 |
1.288.733 |
598.454 |
371.556 |
Total Biaya����������� |
789.210 |
3.278.378 |
1.585.375 |
563.897 |
Total biaya langsung medik yang
dikeluarkan subjek penelitian rata-rata Rp 986.921,00 dan standar deviasi Rp
329.969,00. Biaya transportasi yang dikeluarkan oleh subjek penelitian
rata-rata Rp 280.511,00 serta standar deviasi Rp 151.995,00. Biaya kehilangan
produktivitas akibat sakit rata-rata Rp 317.943,00 dan standar deviasi Rp
344.796.,00.� Total biaya tidak
langsung� yang dikeluarkan subjek
penelitian� rata-rata Rp 598.454,00 dan
standar deviasi Rp �371.556,00.
Perhitungan biaya tidak langsung� dalam
penelitian� ini, tidak melibatkan biaya
akomodasi� dan biaya kehilangan
produktivitas pendamping karena tidak diperoleh data yang akurat. Dari total
biaya langsung dan biaya tidak langsung�
di atas, maka total biaya yang dikeluarkan oleh subjek penelitian paling
rendah sebesar Rp 789.210,00 dan yang tertinggi Rp 3.278.378,00 dengan
rata-rata Rp 1.585.375,00 dan standar deviasi Rp 563.897,00.
Biaya laboratorium dihitung berdasarkan
tarif pemeriksaan fungsi hati yaitu� ALT
dan AST. Tarif pemeriksaan tersebut bervariasi sesuai kelas rawat, yaitu kelas
utama dan kelas 1 sebesar Rp 33.000,00, kelas 2 sebesar Rp 27.500,00 dan kelas
3 sebesar Rp 22.000,00.� Evaluasi
laboratorium atas nilai ALT dilakukan setelah 5 hari, berdasarkan hasil studi
retropektif� di rumah sakit ini terkait
penanganan pasien tuberkulosis dengan hepatitis imbas obat (Syntia,2018). Semua biaya dihitung
dengan asumsi� 5 (lima hari) dan didukung
hasil studi retrospektif yang dilakukan di rumah sakit ini oleh (Sintya, 2018), bahwa rentang waktu
rawat untuk pasien tuberkulosis dengan hepatitis imbas obat adalah 3-5 hari
Biaya untuk gejala klinik meliputi obat-obatan dan� alat�
medis habis pakai.
2.
Analisis Bivariat
Kemudian
untuk mengetahui hubungan antar variabel dilakukan analisis bivariat dengan Uji
beda Mann Whitney, Uji Kruskal Wallis dan Uji Chi square.
a. Uji Beda Mann
Whitney
Hasil uji beda Mann
Whitney disajikan pada tabel 3. Uji antara kelompok plasebo dan kelompok
kurkumin diperoleh nilai akhir ALT�
dengan p = 0,120 > 0,05, dan total biaya langsung dengan p = 0,274
> 0,05. Kesimpulannya tidak ada perbedaan bermakna penggunaan plasebo dan
kurkumin. Akan tetapi .penggunaan plasebo dan kurkumin berbeda bermakna pada
biaya hepatoprotektor dengan� p = 0,000
< 0,05. Hasil uji beda Mann Whitney
antara kelompok plasebo dan kelompok lesitin�
menunjukkan perbedaan nilai akhir ALT�
dengan� p = 0,005 < 0,05, biaya
hepatoprotektor dengan p = 0,000 < 0,005, dan total biaya langsung� dengan p = 0,010 < 0,05. Kesimpulannya ada
perbedaan bermakna penggunaan plasebo dan lesitin. Hasil uji beda Mann Whitney antara kelompok kurkumin
dan kelompok lesitin menunjukkan perbedaan nilai ALT 2 dengan� p = 0,203> 0,05, biaya� dan total biaya langsung dengan p = 0,274
> 0,05. Kesimpulannya tidak ada perbedaan bermakna penggunaan plasebo dan
kurkumin. Akan tetapi .penggunaan plasebo dan kurkumin berbeda bermakna pada
biaya hepatoprotektor dengan p = 0,000 <0,05.
b. Uji
Kruskal Wallis
Hasil
uji Kruskal Wallis disajikan pada
tabel 4. Rata-rata penurunan kadar ALT subjek penelitian yang menggunakan
plasebo 34,93 IU/L dengan rata-rata peringkat 45,43. yang menggunakan
hepatoprotektor kurkumin, rata-rata penurunan kadar ALT 17,63 IU/L dengan
rata-rata peringkat 42,10. Sedangkan yang menggunakan hepatoprotektor lesitin
rata-rata penurunan kadar ALT 30,77 IU/L
dengan rata-rata peringkat 48,97.
Hasil uji statistik diperoleh nilai X2 = 1,037 dan p value = 0,595.
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pada taraf alpha 5% tidak terdapat
hubungan yang bermakna rata-rata penurunan kadar ALT pada ketiga kelompok
subjek penelitian. Rata-rata biaya obat dan alkes untuk mengatasi gejala klinis
yang dikeluarkan subjek penelitian yang menggunakan plasebo adalah Rp
307.958,00 dengan rata-rata peringkat 44,30. Pada subjek penelitian yang
menggunakan hepatoprotektor kurkumin, biaya obat dan alkes untuk mengatasi
gejala klinis yang dikeluarkannya adalah Rp 323.848,00 dengan rata-rata
peringkat 51,21. Sedangkan subjek yang menggunakan hepatoprotektor lesitin
rata-rata biaya klinis yang dikeluarkannya adalah Rp287.728,00 dengan rata-rata
peringkat 41,00.
Hasil
uji statistik diperoleh nilai X2 = 2,382 dengan p value = 0,304,
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada taraf alpha 5% tidak terdapat
perbedaan yang bermakna rata-rata biaya klinis yang dikeluarkan pada ketiga
kelompok subjek penelitian tersebut. Rata-rata biaya obat hepatoprotektor yang
dikeluarkan subjek penelitian yang menggunakan plasebo adalah Rp0 dengan
rata-rata peringkat 15,50.
Pada
subjek yang menggunakan hepatoprotektor kurkumin, rata-rata biaya obat
hepatoprotektor yang dikeluarkannya adalah Rp4.343,00 dengan rata-rata
peringkat 45,50. Sedangkan subjek yang menggunakan hepatoprotektor lesitin
rata-rata biaya yang dikeluarkannya adalah Rp103.400,00 dengan rata-rata
peringkat 75,50. Hasil uji statistik diperoleh nilai X2 = 89,000
dengan p value = 0,000, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada taraf
alpha 5% terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata peringkat biaya obat
hepatoprotektor yang dikeluarkan pada ketiga kelompok subjek penelitian
tersebut. Rata-rata biaya ruang rawat yang dikeluarkan oleh subjek peenelitian
yang menggunakan plasebo adalah Rp 400.000,00 dengan rata-rata peringkat 40,72.
.
Tabel 3 Hasil Uji Beda Mann Whitney
Variabel |
Kelompok Hepatoprotektor |
p-Value |
Kesimpulan |
Nilai
Akhir ALT |
Plasebo |
0,120 > 0,05 |
tidak berbeda bermakna |
Kurkumin |
|||
Plasebo |
0,005 < 0,05 |
berbeda bermakna |
|
Lesitin |
|||
Kurkumin |
0,203 > 0,05 |
tidak berbeda bermakna |
|
Lesitin |
|||
Biaya Hepatoprotektor |
Plasebo |
0,000 < 0,05 |
berbeda bermakna |
Kurkumin |
|||
Plasebo |
0,000 < 0,05 |
berbeda bermakna |
|
Lesitin |
|||
Kurkumin |
0,000 < 0,05 |
berbeda bermakna |
|
Lesitin |
|||
Total Biaya Langsung |
Plasebo |
0,274 > 0,05 |
tidak berbeda bermakna |
Kurkumin |
|||
Plasebo |
0,010 < 0,05 |
berbeda bermakna |
|
Lesitin |
|||
Kurkumin |
0,027 < 0,05 |
berbeda bermakna |
|
Lesitin |
Pada
subjek yang menggunakan hepatoprotektor kurkumin, biaya ruang rawat yang
dikeluarkan adalah Rp 366.666,00 dengan rata-rata peringkat 47,95.� Pada subjek yang menggunakan hepatoprotektor
lesitin rata-rata biaya� ruang� rawat�
yang� dikeluarkannya adalah Rp
429.166,00 dengan rata-rata peringkat 50,83. Hasil uji statistik diperoleh
nilai X2 = 3,270 dengan p value = 0,195, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pada taraf alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang bermakna
rata-rata peringkat biaya ruang rawat yang dikeluarkan pada ketiga kelompok
subjek penelitian tersebut. Rata - rata biaya visit dokter yang dikeluarkan
subjek penelitian yang menggunakan plasebo adalah Rp 196.666,00 dengan
rata-rata peringkat 40,72
Pada
subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor kurkumin, biaya visit dokter
yang dikeluarkannya adalah Rp 193.333,00 dengan rata-rata peringkat 47,95.
Sedangkan subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor lesitin rata-rata
biaya visit dokter yang dikeluarkannya adalah Rp 203.333,00 dengan rata-rata
peringkat 50,83. Hasil uji statistik diperoleh nilai X2 = 3,270
dengan p value = 0,195, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada taraf
alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata peringkat biaya visit
dokter yang dikeluarkan pada ketiga kelompok subjek penelitian tersebut.
Rata-rata biaya laboratorium yang dikeluarkan subjek penelitian yang
menggunakan plasebo adalah Rp 48.400,00 dengan rata-rata peringkat 41.68. Pada
subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor kurkumin, biaya laboratorium
yang dikeluarkannya adalah Rp 48.766,00 dengan rata-rata peringkat 44.55.
Sedangkan subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor lesitin rata-rata
biaya laboratorium yang dikeluarkannya adalah Rp 50.600,00 dengan rata-rata
peringkat 50.27. Hasil uji statistik diperoleh nilai X2 = 2,376
dengan p value = 0,305, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada taraf
alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata peringkat biaya
laboratorium yang dikeluarkan pada ketiga kelompok subjek penelitian tersebut.
Rata-rata
biaya langsung yang dikeluarkan subjek penelitian yang menggunakan plasebo
adalah Rp 953.025,00 dengan� rata-rata
peringkat 35,53. Pada subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor
kurkumin, biaya langsung yang dikeluarkannya adalah Rp 976.046,00 dengan
rata-rata peringkat 46,03. Sedangkan subjek penelitian yang menggunakan
hepatoprotektor lesitin rata-rata biaya langsung yang dikeluarkannya adalah Rp1.074.228,00
dengan rata-rata peringkat 54,93. Hasil uji statistik diperoleh nilai X2
= 8,290 dengan p value = 0,016, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
taraf alpha 5% terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata peringkat biaya langsung
yang dikeluarkan pada ketiga kelompok subjek penelitian tersebut. Rata-rata
biaya transport yang dikeluarkan subjek penelitian yang menggunakan plasebo
adalah� Rp 244.333,00 dengan rata-rata
peringkat 39,47. Pada subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor
kurkumin, biaya transport yang dikeluarkannya adalah Rp 289.533,00 rata-rata
peringkat47,47.Sedangkan subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor
lesitin rata-rata biaya transport yang dikeluarkannya adalah Rp 307.666,00
dengan rata-rata peringkat 49,57. Hasil uji statistik diperoleh nilai X2=
2,498 dengan p value = 0,287, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
taraf alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata biaya transport
yang dikeluarkan pada ketiga kelompok subjek penelitian tersebut. Rata-rata
kehilangan produktivitas subjek penelitian yang menggunakan plasebo adalah Rp 313.337,00
dengan� rata-rata peringkat 44,65.
Pada
subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor kurkumin, biaya kehilangan
produktivitas adalah Rp 259.323,00 dengan�
rata-rata peringkat 42,82. Sedangkan subjek penelitian yang menggunakan
hepatoprotektor lesitin rata-rata biaya kehilangan produktivitas adalah Rp 381.169,00
dengan� rata-rata peringkat 49,03. Hasil
uji statistik diperoleh nilai X2 = 1,106 dengan p value = 0,575,
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada taraf alpha 5% tidak terdapat
perbedaan yang bermakna rata-rata kerugian produktivitas pada ketiga kelompok
subjek penelitian tersebut.� Rata-rata
biaya tidak langsung yang dikeluarkan subjek penelitian yang menggunakan
plasebo adalah Rp 557.670,00 dengan�
rata-rata peringkat 41,92.
.
Tabel 4 Hasil Uji Kruskal
Wallis
Hepatoprotektor |
N |
Mean |
Mean
Rank |
X2 |
P
Value |
1.
Rata-rata penurunan ALT |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
34.93 |
45.43 |
1.037 |
0,595 |
Kurkumin |
30 |
17.63 |
42.10 |
|
|
Lesitin |
30 |
30.77 |
48.97 |
|
|
2.
Rata-rata pengeluaran biaya obat dan alkes gejala klinis |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
307958 |
44.30 |
2.382 |
0.304 |
Kurkumin |
30 |
323848 |
51.20 |
|
|
Lesitin |
30 |
287728 |
41.00 |
|
|
3.
Rata-rata pengeluaran biaya obat hepatoprotektor |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
0 |
15.50 |
89.000 |
0.000 |
Kurkumin |
30 |
4343 |
45.50 |
|
|
Lesitin |
30 |
103400 |
75.50 |
|
|
4.
Rata-rata pengeluaran biaya ruang
rawat |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
400000 |
40.72 |
3.270 |
0.195 |
Kurkumin |
30 |
366666 |
44.95 |
|
|
Lesitin |
30 |
429166 |
50.83 |
|
|
5.
Rata-rata pengeluaran biaya visite
dokter |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
48400 |
41.68 |
2.376 |
0.305 |
Kurkumin |
30 |
48766 |
44.55 |
|
|
Lesitin |
30 |
50600 |
50.27 |
|
|
6.
Rata-rata pengeluaran biaya
laboratorium |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
196666 |
40.72 |
3.270 |
0.195 |
Kurkumin |
30 |
193333 |
44.95 |
|
|
Lesitin |
30 |
203333 |
50.83 |
|
|
7.
Rata-rata pengeluaran biaya langsung |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
953025 |
35,53 |
8,290 |
0.016 |
Kurkumin |
30 |
976046 |
46,03 |
|
|
Lesitin |
30 |
1074228 |
54,93 |
|
|
8.
Rata-rata pengeluaran biaya transport |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
244333 |
39.47 |
2.498 |
0.287 |
Kurkumin |
30 |
289533 |
47.47 |
|
|
Lesitin |
30 |
307666 |
49.57 |
|
|
9.
Rata-rata kehilangan produktivitas |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
313337 |
44.65 |
1.106 |
0.575 |
Kurkumin |
30 |
259323 |
42.82 |
|
|
Lesitin |
30 |
381169 |
49.03 |
|
|
10.
Rata-rata pengeluaran total biaya
tidak langsung |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
557670 |
41.92 |
2.768 |
0.251 |
Kurkumin |
30 |
548856 |
42.62 |
|
|
Lesitin |
30 |
688836 |
51.97 |
|
|
11.
Rata-rata pengeluaran total biaya |
|
|
|
|
|
Plasebo |
30 |
1510696 |
39,37 |
4,056 |
0,132 |
Kurkumin |
30 |
1524903 |
44,33 |
|
|
Lesitin |
30 |
1763064 |
52,80 |
|
|
Pada
subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor kurkumin, biaya tidak
langsung yang dikeluarkannya adalah Rp 548.856,00 dengan� rata-rata peringkat 42,62. Sedangkan subjek
penelitian yang menggunakan hepatoprotektor lesitin rata-rata biaya tidak
langsung yang dikeluarkannya adalah Rp 688.836,00 dengan� rata-rata peringkat 51,97. Hasil uji
statistik diperoleh nilai X2 = 2,768 dengan p value = 0,251, dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pada taraf alpha 5% tidak terdapat perbedaan
yang bermakna rata-rata biaya tidak langsung yang dikeluarkan pada ketiga
kelompok subjek penelitian tersebut. Rata-rata total biaya yang dikeluarkan
subjek penelitian yang menggunakan plasebo adalah Rp 1.510.696,00 dengan� rata-rata peringkat 39,37. Pada subjek
penelitian yang menggunakan hepatoprotektor kurkumin, total biaya yang
dikeluarkan adalah� Rp 1.524.903,00
dengan� rata-rata peringkat 44,33. bat
hepatoprotektor dan total biaya langsung
Sedangkan
subjek penelitian yang menggunakan hepatoprotektor lesitin rata-rata total
biaya yang dikeluarkannya adalah Rp 1.763.064,00 dengan� rata-rata peringkat 52,80, yang dikeluarkan
pada ketiga kelompok subjek penelitian tersebut. Hal ini dikarenakan dari
seluruh komponen biaya hanya ada perbedaan bermakna pada biaya o
c. Uji Chi
square.
Hasil Uji Chi Square dapat dilihat pada
tabel 5. Berdasarkan� tingkat keparahan,
pada keparahan ringan dari 69 subjek penelitian,� terdapat 21 subjek penelitian atau 30,4% yang
terkendali hepatitis imbas obatnya dan 48 (69,6%) subjek tidak terkendali. Pada
tingkat keparahan sedang, dari 21 subjek penelitian, 21 subjek (100%) tidak
terkendali masalah hepatitis imbas obat yang dialaminya. Hasil uji statistik
diperoleh p value = 0,02, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada taraf
alpha 5% terdapat perbedaan yang bermakna antara tingkat keparahan dan
efektivitas pengobatan.
Pada
penelitian ini setiap sampel diperlakukan sama, dimana� sampel dengan kadar ALT tinggi diukur
dengan hasil atau luaran yang sama dengan sampel dengan kadar awal ALT yang
rendah.Subjek penelitian diberikan obat hepatoprotektor atau plasebo sesuai hasil
random� yang dilakukan oleh petugas di
Depo Farmasi IGD.
Berdasarkan efektivitas hepatoprotektor
yang diberikan, diketahui bahwa ada sebanyak 11 orang subjek penelitian pada
kelompok plasebo yang hasil pengobatannya terkendali 36,67%, sedangkan sisanya
sebanyak 19 subjek penelitian dengan hasil pengobatan yang tidak terkendali
(63,33%). Pada subjek penelitian pada kelompok kurkumin terdapat 8 orang� yang hasil pengobatannya terkendali (26,67%),
sedangkan yang tidak terkendali� sebanyak
22 atau sebesar 73,33%. Sebanyak 2 orang subjek penelitian pada kelompok
lesitin yang hasil pengobatannya terkendali (6,67%), sedangkan sisanya sebanyak
28 subjek penelitian dengan hasil pengobatan yang tidak terkendali (93,33%).
Tabel 5 Hasil Uji Chi
Square
Variabel |
Efektivitas(n=90) |
Total |
% |
OR |
P-value |
|||
Terkendali |
% |
Tidak
terkendali |
% |
���� 95%CI |
||||
1.
Keparahan |
|
|
|
|
|
|
|
|
Ringan |
21 |
30,4 |
48 |
69,6 |
69 |
100,0 |
0,696 (0,593-0,813) |
0,02 |
Sedang |
0 |
0 |
21 |
100 |
21 |
100,0 |
||
�Total |
21 |
23,3 |
69 |
76,9 |
90 |
100,0 |
||
2.
Hepatoprotektor |
|
|
|
|
|
|
|
|
Plasebo/ |
11 |
36,67 |
19 |
63,3 |
30 |
100,0 |
|
0,02 |
Kurkumin |
8 |
26,67 |
22 |
73,33 |
30 |
100,0 |
||
Lesitin |
2 |
6,67 |
28 |
93,33 |
30 |
100,0 |
||
Total |
21 |
23,3 |
69 |
76,7 |
90 |
100,0 |
||
3.
Hepaprotektor (Plasebo-Kurkumin) |
|
|
|
|
|
|
|
|
Plasebo |
11 |
36,7 |
19 |
63,3 |
30 |
100,0 |
1,6 (0,531-4,775) |
0,579 |
Kurkumin |
8 |
26,7 |
22 |
73,3 |
30 |
100,0 |
||
Total |
19 |
23,3 |
41 |
76,7 |
60 |
100,0 |
||
4.
Hepaprotektor (Plasebo-Lesitin) |
|
|
|
|
|
|
|
|
Plasebo |
11 |
36,7 |
19 |
63,3 |
30 |
100,0 |
8,1 (1,612-40,7) |
0,012 |
Lesitin |
2 |
6,7 |
28 |
93,3 |
30 |
100,0 |
||
Total |
13 |
21,7 |
47 |
78,3 |
60 |
100,0 |
||
5.
Hepaprotektor (Kurkumin-Lesitin) |
|
|
|
|
|
|
|
|
Kurkumin |
8 |
26,7 |
22 |
73,3 |
30 |
100,0 |
5,1 (0,981-26,43) |
0,038 |
Lesitin |
2 |
6,7 |
28 |
93,3 |
30 |
100,0 |
||
Total |
10 |
16,7 |
50 |
83,3 |
60 |
100,0 |
Berdasarkan hasil uji statistik yang
dilakukan diperoleh p value sebesar 0,02. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil pengobatan hepatitis imbas obat
pada ketiga kelompok tersebut.� Dari 30
orang subjek penelitian yang menggunakan plasebo, ada 11 orang atau sebesar
36,7% yang efektivitas pengobatannya terkendali. Tiga puluh (30) orang subjek
yang menggunakan kurkumin, ada 8 orang atau 26,7% yang efektifvitas
pengobatannya terkendali. Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan
diperoleh p value sebesar 0,579. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
pasien tuberkulosis dengan hepatitis imbas obat tidak terdapat perbedaan hasil
pengobatan� yang signifikan antara� plasebo dan penggunaan� kurkumin.
Dari sebanyak 30 orang subjek penelitian
yang menggunakan plasebo, ada 11 orang atau sebesar 36,7% yang efektivitas
pengobatannya terkendali. Tiga puluh (30) orang subjek yang menggunakan
lesitin, ada 2 orang atau 6,7% yang efektifitas pengobatannya terkendali.
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan diperoleh p value sebesar 0,012.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan efektifivitas pengobatan
antara plasebo dan lesitin. Dilihat dari nilai OR maka subjek penelitian yang
menggunakan plasebo efektivitas pengobatannya 8,1 kali lebih tinggi dibanding
dengan subjek penelitian yang menggunakan lesitin.� Dari 30 subjek penelitian yang menggunakan
kurkumin, ada 8 orang atau sebesar 26,7% yang efektivitas pengobatannya
terkendali. Tiga puluh (30) orang subjek yang menggunakan lesitin, ada 2 orang
atau 6,7% yang efektivitas pengobatannya terkendali.
Penderita tuberkulosis� dengan hepatitis imbas obat memiliki keluhan
klinis yang hampir sama ketika masuk rumah sakit.� Keluhan tersebut sakit perut, nausea, muntah,
unexplained fatigue, atau jaundice atau meningkat lima kali lipat dari ULN
tanpa disertai gejala (Ramappa & Aithal, 2013). Hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian (Liu et al., 2016), yang menyatakan tidak
ada perbedaan pengaruh tingkat keparahan terhadap normalisasi enzim hepatik (Liu et al., 2016).� Pemilihan kurkumin dan lesitin didasarkan
pada hasil studi retrospektif yang dilakukan di rumah sakit ini oleh (Sintya, 2018),
dimana jenis hepatoprotektor yang paling sering digunakan adalah kurkumin
(CurcumaR), kurkumin-silymarin (Hepa QR) dan lesitin
(LesicholR). (Saukkonen J J, Cohn D L, Jasmer R M, Schenker S, Jereb J A,
Nolan C M, et al., 2006).
Penggunaan plasebo menunjukkan efektiviitas paling besar, hal ini selaras
dengan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ttalaksana Tuberkulosis yang
menyatakan bahwa hepatitis imbas obat dapat pulih tanpa obat dan hanya dengan
penghentian pemberian obat penyebab ((Kemenkes RI), 2013).
Menurut (Singh, Jodave, Bhatt,
Gill, & Suresh, 2014)
kurkumin diyakini mempunyai efek kemoprotektif, antioksidan dan antiinflamasi (Savita Mishra, 2014).
Berdasarkan hasil uji statistik yang
dilakukan diperoleh p value sebesar
0,038. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan hepatoprotektor
kurkumin dan lesitin memberikan� hasil
dengan perbedaan yang signifikan. Apabila dilihat dari nilai OR, maka dikatakan
bahwa pengobatan dengan kurkumin 5,1 kali lebih efektif dibanding dengan
lesitin. Dilihat dari nilai OR, subjek penelitian yang menggunakan plasebo
efektivitas pengobatannya 8,1 kali lebih tinggi dibanding dengan yang
menggunakan lesitin. Hal ini selaras dengan Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Teberkulosis dan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis Persatuan Dokter Paru Indonesia, bahwa hepatitis imbas obat akan
terkendali dengan menghentikan obat yang bersifat hepatotoksik ((Kemenkes RI), 2013). Sebuah penelitian oleh (Singh et al., 2014)
pada pengobatan dengan isoniazid dan penambahan kurkumin, terjadi� pengurangan toksisitas yang cukup
besar, ditunjukkan oleh perubahan kadar kolesterol, albumin dan peroksidasi
lipid. Hal tersebut dikaitkan dengan aktivitas antioksidan dari kurkumin (Singh et al., 2014).
3.
Analisis Farmakoekonomi
Perhitungan
Unit Cost/Average Cost Effectiveness
Ratio Penggunaan Hepatoprotektor pada Penderita Tuberkulosis dengan
Hepatitis Imbas Obat
Untuk
mengetahui perbandingan biaya mana yang lebih cost effective antara penggunaan plasebo, kurkumin atau lesitin� dilakukan perhitungan unit cost / ACER. Hasilnya disajikan pada tabel 6 dan tabel 7. Dari
tabel tersebut dapat dilihat bahwa, unit
cost untuk mengatasi hepatitis imbas obat dengan menggunakan plasebo/tanpa
obat adalah paling rendah yaitu Rp 4.120.342, 23.� Selanjutnya unit cost� untuk penggunaan
kurkumin adalah Rp 5.571.803,76 dan paling tinggi adalah unit cost untuk penggunaan lesitin sebesar Rp 26.444.523,64.
Selanjutnya dibandingkan cost
effectiveness ratio masing-masing�
obat hepatoprotektor dan plasebo. Hasil perbandingan nilai CER
menunjukkan bahwa bahwa CER terendah adalah CER plasebo terhadap kurkumin� yaitu 0,16, lalu CER kurkumin terhadap
lesitin� dan tertinggi adalah CER plasebo
terhadap kurkumin. Dengan demikian penggunaan plasebo lebih cost effectives dibandingkan dengan obat
hepatoprotektor yang lain.
�Pilihan berikutnya yang cukup cost effective adalah kurkumin.
Tabel 6 �Hasil Unit Cost/Average Cost Effectiveness Ratio
|
Plasebo |
Kurkumin |
Lesitin |
Total Biaya
Langsung |
Rp28.425.653,54 |
Rp28.108.738,13 |
Rp32.391.965,28 |
Total Biaya Tidak Langsung |
Rp16.898.111,00 |
Rp16.465.692,00 |
Rp20.497.082,00 |
Total Biaya/Total Cost |
Rp45.323.764,54 |
Rp44.574.430,13 |
Rp52.889.047,28 |
Efektivitas |
11 |
8 |
2 |
Unit
Cost / ACER����� (= |
Rp4.120.342,23 |
Rp5.571.803,76 |
Rp26.444.523,64 |
Tabel
7 Hasil
Perbandingan Cost Efectiveness Ratio/CER
JENIS OBAT |
ACER (rupiah/efektivitas) |
CER (Cost
Effectiveness Analysis) |
||
Plasebo/Kurkumin |
Plasebo/Lesitin |
Kurkumin/lesitin |
||
Plasebo |
������� 4.120.342,23 |
0,74 |
|
|
Kurkumin |
5.571.803,76 |
|
0,16 |
|
Lesitin |
26.444.523,64 |
|
|
0,21 |
4.
Uji Sensitivitas
Penggunaan Hepatoprotektor pada Penderita Tuberkulosis dengan Hepatitis Imbas
Obat
Dalam
penelitian ini dilakukan pula uji sensitivitas penggunaan Hepatoprotektor pada Penderita Tuberkulosis dengan Hepatitis
Imbas Obat dengan menghitung perubahan nilai variabel biaya total
menggunakan kisaran nilai 0%, 5% dan 10% sedangkan variabel lainnya yaitu� efektivitas diperlakukan tetap.
Plasebo Kurkumin Lesitin
Gambar� 1 Diagram Tornado
Pada
Gambar 1 berikut dihitung
perubahan nilai variabel biaya total menggunakan kisaran nilai 0%, 5% dan 10%
sedangkan variabel lainnya yaitu� efektivitas
diperlakukan tetap.
Analisis
sensitivitas perlu dilakukan untuk�
menganalisis parameter yaitu estimasi biaya, efektivitas dan
efektivitas-biaya yang diperoleh dari hasil studi evaluasi ekonom karena
memiliki ketidakpastian (uncertainty) akibat berbagai sebab.
Ketidakpastian tersebut misalnya karena keterbatasan data atau keterbatasan
analisis oleh karena menggunakan nilai rerata (mean) padahal realitasnya
data tidak terdistribusi secara normal (Singh et al., 2014). Diagram Tornado
digunakan untuk melihat ketidakpastian�
atau� dampak perubahan parameter
terhadap luaran yang terjadi.
Pengendalian
TB yang menjadi rekomendasi WHO adalah penerapan strategi pengobatan jangka
pendek dengan pengawasan langsung atau Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS). Strategi DOTS mempunyai lima buah komponen kunci, yaitu
komitmen politis dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan; penemuan kasus
dengan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya; pengobatan
yang standar dengan supervisi dan dukungan bagi pasien penderita; sistem
pengelolaan dan ketersediaan obat anti-tuberkulosis (OAT) yang efektif; dan
sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program (Pratiwi, Rohmawaty,
& Kulsum, 2018).
Kesimpulan
Tanpa menggunakan hepatoprotektor,
kejadian hepatitis imbas obat akibat penggunaan obat anti tuberkulosis dapat
membaik. Efektivitas
hepatoprotektor dalam pengobatan pasien tuberkulosis dengan hepatitis imbas
obat paling tinggi untuk menurunkan kadar ALT�
sampai nilai normal (< 51U/L) adalah�
kurkumin. Nilai
unit cost atau ACER (An Average Cost Effective) berdasarkan
efektivitas hepatoprotektor, paling rendah adalah pada penggunaan plasebo yaitu
Rp4.120.342, 23, sedangkan pada penggunaan kurkumin sebesar Rp 5.571.803,76 dan pada
penggunaan lesitin Rp 25.444.523,64.
(Kemenkes RI), Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. (2013). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta.
(Kemenkes RI), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
(2016). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Tahun 2016. ; .
Jakarta.
Anand, Anil C., & Hospitals, Indraprastha Apollo. (2015).
Risk Factors of Hepatotoxicity During Anti-tuberculosis. . . Medical Journal
Armed Forces India., (February), 45�49.
Bil, Janneke P., Schrooders, Peter A. G., Prins, Maria, Kouw,
Peter M., Klomp, Judith H. E., Scholing, Maarten, Waegemaekers, CHFM, Zuure, Freke
R., & Tostmann, A. (2018). Screening and prevention of infectious
diseases in newly arrived migrants. Integrating hepatitis B, hepatitis C and
HIV screening into tuberculosis entry screening for migrants in the Netherlands,
2013 to 2015.
Devarbhavi, Harshad. (2012). An update on drug-induced liver
injury. Journal of Clinical and Experimental Hepatology, 2(3),
247�259.
Liu, Liying, Qian, Yuan, Zhang, You, Zhao, Linqing, Jia,
Liping, & Dong, Huijing. (2016). Epidemiological aspects of rotavirus and
adenovirus in hospitalized children with diarrhea: a 5-year survey in Beijing. BMC
Infectious Diseases, 16(1), 508.
Loho, Imelda Maria, & Hasan, Irsan. (2014). Drug-Induced
Liver Injury�Tantangan dalam Diagnosis. Contin. Med. Educ, 41(3),
167�170.
Luthariana, Lies, Karjadi, Teguh H., Hasan, Irsan, &
Rumende, C. Martin. (2017). Faktor Risiko Terjadinya Hepatotoksisitas Imbas
Obat Antituberkulosis pada Pasien HIV/AIDS. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia,
4(1), 23�28.
Pratiwi, Elsa P., Rohmawaty, Enny, & Kulsum, Iceu D.
(2018). Efek Samping Obat Antituberkulosis Kategori I dan II Pasien
Tuberkolosis Paru Dewasa di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Indonesian Journal of
Clinical Pharmacy, 7(4), 252�259.
Rahayu, Ani. (2018). Analisis Efektifitas Biaya Terapi
Anti hipertensi Kombinasi Pada Pasien Hipertensi Di Ruang Rawat Inap RSUD DR.
Soekardjo Tasikmalaya. STIKes BTH Tasikmalaya.
Ramappa, Vidyasagar, & Aithal, Guruprasad P. (2013).
Hepatotoxicity related to anti-tuberculosis drugs: mechanisms and management. Journal
of Clinical and Experimental Hepatology, 3(1), 37�49.
Reny Setiowati, Dumilah Ayuningtyas. (2017). Failure at The
End of DOTS Intensive Phase among Acid Fast Bacilli Positive Pulmonary
Tuberculosis. Jurnal Respirologi Indonesia, (37), 47�52.
Rifai, Achmad, Herlianto, Budi, Mustika, Syifa, Pratomo,
Bogi, & Supriono, Supriono. (2015). Insiden dan Gambaran Klinis Hepatitis
Akibat Obat Anti Tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar
Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(3), 238�241.
Saito, Zenya, Kaneko, Yugo, Kinoshita, Akira, Kurita, Yusuke,
Odashima, Kyuto, Horikiri, Tsugumi, Yoshii, Yutaka, Seki, Aya, Seki, Yoshitaka,
& Takeda, Hiroshi. (2016). Effectiveness of hepatoprotective drugs for
anti-tuberculosis drug-induced hepatotoxicity: a retrospective analysis. BMC
Infectious Diseases, 16(1), 1�6.
Savita Mishra, Vidhu Aeri and Deepshikha Pande Katare.
(2014). Hepatoprotektor protective Medication For Liver Injury. World
Journal and Pharmaceutical Sciences, 5(3), 891�932.
Singh, Charan, Jodave, Laxmikant, Bhatt, Tara Datt, Gill,
Manjinder Singh, & Suresh, Sarasija. (2014). Hepatoprotective agent
tethered isoniazid for the treatment of drug-induced hepatotoxicity: Synthesis,
biochemical and histopathological evaluation. Toxicology Reports, 1,
885�893.
Sintya, Dewi Ayu. (2018). Efektivitas Penggunaan Obat
Hepatoprotektor pada Pasien Tuberkulosis dengan DIH di RSP Dr. M. Goenawan
Partowidigdo Cisarua.
Wang, Ning Tao, Huang, Yi Shin, Lin, Meng Hsien, Huang,
Bryan, Perng, Chin Lin, & Lin, Han Chieh. (2016). Chronic hepatitis B
infection and risk of antituberculosis drug-induced liver injury: Systematic
review and meta-analysis. Journal of the Chinese Medical Association, 79(7),
368�374.