Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 7, Juli 2020
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA
PENGOBATAN SEPSIS NEONATAL DENGAN METODA GYSSENS DI RSAD SALAK BOGOR TAHUN 2018
Nanik
Patminingsih, Dian Ratih Laksmitawati dan
Hesty Utami
Ramadaniati Fakultas
Farmasi Universitas Pancasila Jakarta
Email : [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract
Sepsis is an
organ dysfunction that involves life caused by immune dysregulation against
infection. The provision of appropriate antibiotics is one of the criteria in
the management of sepsis. In neonatal sepsis patients.
The study was conducted analytically with a prospective plot. A total of 34
samples of neonatal sepsis patients were monitored for drug therapy. The
dominant characteristics of infants that determine sepsis are male babies with
a percentage of 59%, including 62% Adequate Infant Weight (BBLC), 59% types of
Early Onset Sepsis (EOS), 79% full term pregnancy and 62% normal delivery
results. The most used antibiotics are a combination of ceftriaxone-gentamicin
as much as 50%, ampicillin-gentamicin as a first-line combination of 35%, a
single ceftriaxone 9% and a single ceftazidime and a combination of
ceftazidime-gentamicin each 3%. Gyssens evaluation results reported the results
of the rationality of antibiotics 18%, irrationality 82%. Statistical results
show the value of sig obtained was 0.912> alpha 0.05. This shows that H0 is
accepted or that there is no relationship of rationality with the length of
days settled. Rational or inappropriate use of a patient is faster or longer in
healing.
Keywords: Use of
antibiotics; neonatal sepsis; Gyssens method
Abstrak
Sepsis
merupakan disfungsi organ yang mengancam kehidupan yang diakibatkan oleh disregulasi imun terhadap infeksi. Pemberian antibiotika yang sesuai merupakan salah satu
kriteria dalam tata laksana sepsis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan
antibiotika pada pasien sepsis neonatal. Penelitian
dilakukan secara obsevasi analitik dengan alur prospektif. Sebanyak 34 sampel pasien sepsis neonatal dilakukan pemantauan
terapi obat. Karakteristik dominan bayi yang mengalami sepsis adalah
bayi laki-laki dengan prosentase 59%, terdapat 62% Berat Badan Bayi Cukup
(BBLC), 59% jenis sepsis Early Onset Sepsis (EOS), kehamilan cukup bulan 79%
dan riwayat persalinan normal 62%. Penggunaan antibiotika terbanyak adalah
kombinasi seftriakson-gentamisin sebanyak 50%, kombinasi ampisilin-gentamisin
sebagai lini pertama sebanyak 35%, ceftriakson tunggal 9% serta ceftazidim
tunggal dan kombinasi seftazidim-gentamisin masing-masing 3%. Hasil evaluasi Gyssens menunjukkan hasil kerasionalan antibiotika
18%, ketidakrasionalan 82%.
Hasil statistic menunjukkan bahwa nilai sig yang didapat
sebesar 0.912 > alpha 0.05. Hal ini menunjukkan H0
diterima atau tidak adanya hubungan rasionalitas dengan lama hari sembuh.
Penggunaan rasional atau tidaknya tidak ada hubungannya
dengan seorang pasien lebih cepat atau lebih lama dalam penyembuhan.
Kata kunci : Penggunaan antibiotika; sepsis
neonatal; metoda Gyssens
Pendahuluan
Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam kehidupan (life
threatening organ dysfungtion) yang disebabkan oleh disregulasi imun
terhadap infeksi.
Sepsis dan syok septik merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas (50-60%) anak yang dirawat di ruang rawat inap dan
ruang rawat intensif. Angka kematian lebih tinggi pada anak dengan
immunodefisiensi ((IDAI),
2016). Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan sepsis
pada bayi baru lahir ((IDAI), 2016)
Sepsis
yang tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan
kematian pada neonatal. Insiden sepsis di negara berkembang cukup tinggi,
menurut perkiraan Word Health Organization (WHO), terdapat 5 juta
kematian neonatal setiap tahun dengan angka
mortalitas neonatal (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per
1000 kelahiran, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang. Penyebab
utama kematian (thn 2016) adalah: prematur, komplikasi terkait persalinan
(asfixia atau kesulitan bernafas saat lahir), infeksi (apsesi) dan cacat lahir (birth defect) (Achadi, 2019).
Menurut data Dinas Kesehatan propinsi Jawa Barat angka
kejadian sepsis neonatal termasuk dalam 10 penyakit terbesar pada penyakit
neonatal.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menyebutkan bahwa jumlah kematian akibat sepsis
neonatal tahun 2015 adalah 32 bayi meninggal (4,97%) ((Dinkes Jabar), 2012). Jumlah sepsis neonatal di Rumah Sakit Angkatan Darat
(RSAD) Salak Bogor semakin lama semakin meningkat, menurut data infokes tahun
2018, semester pertama tahun 2017 jumlah sepsis neonatal Rumah Sakit Salak
mencapai angka 102 bayi dari 625 bayi yang lahir, semester kedua 2017 jumlah
bayi yang menderita sepsis sebanyak 174 bayi dari 702 bayi yang lahir. RSAD Salak bulan April 2017 menjadi pilihan Dinas Kesehatan Kota
Bogor dalam pelaksanaan Program EMAS (Expanding
Maternal and Newborn Survival) penanganan sepsis neonatal. EMAS
adalah program kerjasama antara USAID dan Indonesia yaitu suatu proyek untuk
memperluas kelangsungan hidup ibu dan bayi, dengan Perjanjian Kerjasama Nomor
AID-497-A-11-00014, adalah program
lima tahun, $55 juta untuk mendukung Pemerintah
Indonesia untuk mengurangi kematian ibu dan bayi baru lahir. EMAS bekerja
dengan lembaga pemerintah Indonesia (nasional, provinsi dan lokal), Organisasi
masyarakat sipil, fasilitas kesehatan umum dan swasta, organisasi profesi
kesehatan, dan sektor swasta (Para
P, 2017).
Penggunaan antibiotika secara umum di RSAD Salak belum
pernah dievaluasi, oleh karena itu penulis akan melakukan evaluasi antibiotika
pada penanganan kasus sepsis neonatal di RSAD Salak, sehingga perlu dilakukan
penelitian/evaluasi terhadap pola peresepan antibiotika di RSAD Salak Bogor
khususnya pada sepsis neonatal.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasi analitik dengan
alur prospektif yaitu pengamatan langsung penderita pasien sepsis neonatal. Lokasi penelitian
dilakukan di Rumah
Sakit Angkatan Darat Salak Bogor selama empat bulan yaitu bulan April
sampai Juli 2018.
Populasi
dalam penelitian ini diambil dari pasien sepsis neonatal ruang bayi di Rumah
Sakit Angkatan Darat Salak Bogor. Pasien yang dijadikan
subyek penelitian berjumlah 34 sampel, baik yang berasal dari persalinan diluar
RSAD Salak maupun yang lahir di RSAD Salak, yaitu seluruh pasien terdiaqnosa
sepsis neonatal dan menerima pengobatan dengan menggunakan antibiotika. Data yang diambil meliputi data demografi dan data utama. Data demografi
meliputi nomor RM, jenis kelamin, umur pasien, berat badan, alamat,
penanggungjawab. Data utama meliputi kondisi saat
lahir, riwayat kehamilan, jenis kelahiran (normal atau caesar) serta hasil
laboratorium. Dalam
penelitian data pasien sepsis baru lahir diambil dari pasien yang sedang
dirawat yaitu: nama bayi, no rekam medik, jenis
kelamin, berat badan, indikasi medis, jenis sepsis, tanggal masuk dan tanggal
keluar, jenis persalinan, anak ke berapa? kelas
perawatan, cara pembayaran, antibiotika yang digunakan. Data yang terkumpul akan diperiksa/divalidasi kemudian dilakukan pengolahan
untuk di analisis. Data
demografi dan
profil pengobatan dianalisis dengan Uji univariat secara deskriptif. Evaluasi data penggunaan antibiotika
dilakukan dengan metoda Gyssens untuk
mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotika yang digunakan dalam pengobatan
sepsis neonatal.
Hasil evaluasi Gyssens kemudian
dijadikan dasar untuk melakukan analisis uji bivarait dalam mencari hubungan antara
rasionalits pengobatan dengan kesembuhan pasien dengan Uji t sampel
independen (Independent T-Test) dan mengetaui
perbedaan
rasionalits pengobatan dengan hari kesembuhan pasien dengan Uji korelasi spearman�s rho
(Corellation Spearman�s rho test).
Hasil
dan Pembahasan
1.
Profil pasien
Profil dari
34 pasien meliputi jenis
kelamin pasien, berat badan pasien, jenis sepsis neonatal, riwayat kehamilan
dan riwayat persalinan yang disajikan dalam tabel 1. Berdasarkan jenis kelamin, pasien sepsis neonatal laki-laki ada sebanyak 19 atau 59% dan perempuan
15 atau 41%. Penderita sepsis neonatal pada penelitian ini lebih
banyak laki-laki daripada perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hafith dkk
yang dilakukan di RSCM pada
tahun 2014, perbandingan rasio pasien sepis neonatal 1,25:1 (Giofani,
Oyong, & Inayah, 2016). Sedangkan pada penelitilan lain yang dilakukan Geovani R, Oyong N,
Inayah, dengan
judul evaluation usage of antibiotic to sepsis neonatus patient in RSUD Arifin
Achmad Province Riau. Penelitian dilakukan pada 68 pasien yang mendapatkan
hasil jumlah bayi laki-laki sebanyak 29 (42,6%) dan bayi perempuan 39 (57,4%) (Giofani
et al., 2016). Dalam sebuah
hipotesis dijelaskan bahwa pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan
karena adanya faktor-faktor lain yang mengatur sintesis immunoglobulin pada
kromosom X, oleh karena itu adanya dua kromosom pada perempuan membuat fungsi
pertahanan terhadap infeksi lebih besar (Wisnumurti,
2012).
Dilihat
dari proporsi evaluasi berat badan pasien baru lahir yang paling tinggi adalah
Berat Bayi Lahir Cukup (BBLC) yaitu sebanyak 21 pasien atau 62%, sedangkan Berat Bayi Lahir Ringan (BBLR) sebanyak 13 pasien atau 38%.
Penelitian yang dilakukan Geovani dkk (2016) tidak sama dengan penelitian ini, karena hasil yang diperoleh
pada berat lahir cukup berjumlah 29 atau 42,6% dari 68 jumlah pasien yang di
teliti. Sedangkan jumlah berat badan lahir ringan berjumlah 39 atau 57,8%. Penelitian yang dilakuakan oleh Ika Popi Sundani
2017 menyatakan bahwa dari
120 ibu yang memiliki bayi umur ≤ 1 tahun tanpa memandang usia kehamilan,
sebagai kelompok kasus (BBLR) sejumlah 30 ibu (25%) dan sebagai kelompok
kontrol (tidak BBLR) sejumlah 90 ibu (75%). Dari 11 faktor yang memiliki
hubungan� dengan� kejadian�
BBLR,� terdapat� 5�
faktor� dominan� yangberpengaruh� untuk mengakibatkan� ibu�
mengalami� terjadinya�� BBLR,��
yaitu�� variabel� pengetahuan�
ibu, paritas, status gizi ibu, Frekuensi pemeriksaan ANC dan lama kerja (Sundani,
2020). �Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Haryani dkk bahwa kelahiran dengan BBLR lebih tinggi yaitu 69,1% daripada BBLC (Haryani & Apriyanti, 2016). Pada penelitian Manuaba dijelaskan bahwa pada bayi
dengan BBLR memiliki pusat pengaturan pernapasan yang belum sempurna dengan
surfaktan paru-paru masih kurang menyebabkan perkembangan paru tidak sempurna.
Otot-otot pernapasan dan tulang iga yang masih lemah mengakibatkan kurangnya
suplai oksigen ke otak. Jika kurangnya kadar oksigen maka kuman aerob mudah
berkembang dan mudah untuk terjadinya infeksi (Manuaba, 2012).
Tabel I Profil Pasien Infeksi Sepsis Neonatal di RSAD Salak
Bogor
Tahun 2018 Periode April-Juli 2018.
No |
Karakteristik |
Jumlah |
Prosentase(%) |
1 |
Jenis Kelamin |
||
Laki-laki |
19 |
59 |
|
Perempuan |
15 |
41 |
|
2 |
Berat Badan Pasien |
||
Berat Badan Lahir Ringan (BBLR) |
13 |
38 |
|
Berat Badabn Lahir Cukup (BBLC) |
21 |
62 |
|
3 |
Jenis Sepsis Neonatal |
||
Early Onset Sepsis (EOS) |
19 |
59 |
|
Lost Onset Sepsis (LOS) |
15 |
41 |
|
4 |
Riwayat Usia Kehamilan |
||
Kehamilan Cukup Bulan (KCB) |
27 |
79 |
|
Kehamilan Kurang Bulan (KKB) |
7 |
21 |
|
5 |
Riwayat Persalinan |
||
Lahir Normal |
21 |
62 |
|
Lahir Sesar |
13 |
38 |
|
6 |
Riwayat Pulang |
||
|
Sembuh |
34 |
100 |
Berdasarkan
timbulnya gejala klinis jenis sepsis neonatal didasarkan pada waktu paparan
dibagi menjadi dua, yaitu sepsis awitan dini (SAD)/early
onset sepsis (EOS) sebanyak
19 pasien atau 59% dan sepsis awitan lambat/los onset sepsis sebanyak 15 pasien
atau 41%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryani S. dkk
yaitu dengan hasil 81% dari 42 bayi yang menerima pengobatan antibiotika (Haryani & Apriyanti, 2016). Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Wilar R dkk juga
diperoleh insiden SAD lebih tinggi yaitu dari 72 bayi sebanyak 58 bayi didiagnosa sepsis awitan dini (Wilar,
Kumalasari, Suryanto, & Gunawan, 2016). Tingginya angka
kejadian sepsis pada
SAD,
dengan� anggapan bahwa infeksi SAD
ditularkan perinatal dari ibunya, sedangkan SAL didapatkan pascanatal dari
lingkungan (Wilar et al., 2016).
Proporsi penderita sepsis neonatal usia kehamilan didapat
dengan kehamilan cukup bulan berjumlah 27 pasien atau 79% dan usia kehamilan
kurang bulan sebanyak 7 pasien atau 21%. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Haryani S. dkk menunjukkan hasil jumlah sepsis neonatal yang disebabkan oleh
usia kehamilan kurang bulan berjumlah 27 pasien atau 64,3% dari 42 pasien yang
diteliti (Haryani & Apriyanti, 2016). Pada bayi dengan prematur, pematangan organ-organ
tubuhnya kurang sempurna sehingga sangat peka terhadap infeksi, gangguan
pernapasan, trauma kelahiran, hipotermia, dan sebagainya (Roeslani, Amir, Nasrulloh, & Suryani, 2016). Selain itu
bayi prematur beresiko tinggi mengalami infeksi karena masih belum sempurnanya
pembentukan imun seperti, rendahnya fagositosis, aktifitas kemotaksis yang
terbatas serta penurunan produksi sitokin proinflamasi dan antiinflamasi.
Barier kulit pada bayi prematur juga lebih tipis dan lemah dalam mencegah
mikroorganisme patogen masuk ke dalam jaringa yang lebih dalam dibandingkan
dengan bayi yang lahir cukup bulan. Selain itu bayi prematur dengan BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami masalah
diantaranya pematangan organ tubuhnya (hati, paru, enzim, pencernaan, otak,
daya pertahanan tubuh terhadap infeksi) belum sempurna, maka bayi BBLR sering
mengalami komplikasi yang berakhir dengan kematian (Rahmawati, Mayetti, &
Rahman, 2018).
Proporsi
penderita sepsis neonatal pada riwayat persalinan tertinggi yaitu lahir normal
sebanyak 21 pasien atau 62%, kemudian lahir sesar sebanyak 13 pasien atau 48%.
Penelitian ini tidak sejalan dengan yang dilakuhan Haryani dkk dengan hasil
lahir non spontan 59,5% dari 42 pasien sepsis neonatal (Haryani
& Apriyanti, 2016). Tingginya angka
kejadian pada ibu dengan riwayat persalinan spontan dapat diduga bahwa bayi
sepsis neonatal bukan hanya dapat ditularkan ketika dalam kandungan, tetapi
juga dapat ditularkan pada proses persalinan (Wisnumurti,
2012). Berdasarkan
hasil penelitian bahwa bayi yang lahir dengan sesar juga beresiko untuk terjadi sepsis neonatal. Hal ini
terjadi karena kontaminasi kuman yang terjadi setelah lahir seperti penggunaan
alat saat dilakukan pertolongan persalinan (Manuaba, 2012).
Proporsi penderita sepsis neonatal pada riwayat pulang
adalah sembuh dengan jumlah 34 pasien atau 100%. Pasien
dinyatakan sembuh apabila tanda dan gejala sepsis sudah tidak muncul, pasien
menunjukkan perbaikan seperti pada umumnya keadaan bayi baik, suhu tubuh
kembali normal, percepatan pernapasan normal, denyut nadi normal.
2.
Profil Peresepan antibiotika
Profil
peresepan antibiotika menjelaskan tentang pemakaian golongan dan jenis
antibiotika yang digunakan dalam pengobatan sepsis neonatal, rute pemberian
serta durasi pemberian antibiotika yang diresepkan pada pasien sepsis neonatal
di ruang bayi RSAD Salak Bogor periode April-Juni 2018 sebagaimana
disajikan pada tabel 2.
Tabel tersebut menunjukkan jenis dan golongan antibiotika
yang digunakan pada pengobatan sepsis neonatal periode April-Juni 2018 baik
tunggal maupun kombinasi. Golongan yang sering digunakan adalah
kombinasi ceftriakson-gentamisin sebanyak 17 kasus (50%), hal ini tidak sesuai
dengan yang dianjurkan oleh SPO RSAD Salak Bogor 2015 dan juga dianjurkan oleh Intensive Care Unit Neonatal Clinical
Guedeline, Ashford and St. Peter�s Hospital NHS tahun 2015, yang menyatakan
bahwa kombinasi ampisilin-gentamisin merupakan pengobatan lini pertama pada
pengobatan sepsis neonatal.
Tabel 2 Golongan dan Jenis Antibiotika Pada Pasien Sepsis Neonatal Rawat
Inap di RSAD
Salak Periode April-Juni 2018.
No. |
Golongan dan Jenis
Antibiotika |
Jumlah satuan |
Prosentase (%) |
Tunggal/kombinasi |
Resep (R/) |
||
1. |
Penisilin-aminoglikosida |
|
|
Ampisilin-gentamisin |
12 |
35 |
|
2. |
Sefalosforin-Aminoglikosida |
||
Ceftriakson |
3 |
9 |
|
Ceftriakson-gentamisisn |
17 |
50 |
|
Ceftazidim |
1 |
3 |
|
Ceftazidim-gentamisisn |
1 |
3 |
|
|
Jumlah |
34 |
100 |
Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan yang
dilakukan Haryani dkk yang mendapatkan hasil bahwa yang menduduki peringkat
tertinggi yaitu 33% pemakaian antibiotika lini pertama yaitu amoksisilin-gentamisin
(Haryani & Apriyanti, 2016). Pada penelitian lain yang dilakukan
oleh Giovani dkk menyebutkan pemakaian paling banyak adalah golongan
aminoglikosida yaitu 35% (Giofani
et al., 2016). Hal ini
dikarenakan pasien yang di rawat inap di RSAD Salak Bogor berasal dari
poliklinik yang berarti pasien yang lahir di luar RSAD Salak atau yang lahir di
RSAD Salak tetapi sudah pulang, sehingga pengobatannya langsung lini ke-2 yaitu
kombinasi ceftriakson-gentamisin. Kemudian disusul dengan kombinasi
ampisilin-gentamisin sebanyak 12 kasus (35%) yang merupakan lini pertama dalam
pengobatan sepsis neonatal.
Ceftriakson tunggal 3 kasus (9%), ceftazidim tunggal 1 kasus
(3%), kombinasi ceftazidim-gentamisin sebanyak 1 kasus (3%). Pada penelitian ini diperoleh 7
variasi peresepan antibiotika yang digunakan dalam pengobatan sepsis neonatal
periode April-Juni 2018.
Kebanyakan dari seluruh pengobatan 30 dari 34 kasus yang diteliti menggunakan
antibiotika kombinasi, karena memang sesuai yang disarankan oleh SPO RSAD Salak
Bogor dan juga IDAI 2009. Pada penelitian ini terdapat 4 kasus antibiotika kombinasi (switching), dan 30 kasus tidak dilakukan
penggantian antibiotika.
Sebanyak 4 kasus yang dilakukan penggantian (switching) adalah 1 kasus penggantian dari cefotaksim (48 jam)
menjadi ceftriakson-gentamisin (8 hari), 1 kasus penggantian dari ampisilin (72
jam) menjadi ceftazidim (5 hari),
2 kasus penggantian dari ceftriakson-gentamisin menjadi ceftazidim. Hal ini
sesuai dengan yang dianjurkan baik oleh SPO RSAD Salak Bogor 2015 dan IDAI
2009, yaitu bila pasien tidak ada perbaikan pada lini 1 lanjut ke lini 2 dan
bila belum sembuh juga dilanjutkan dengan lini ke-3.
3.
Rute Penggunaan antibiotika
Rute pemberian antibiotika pada pengobatan sepsis neonatal di
RSAD Salak Bogor menggunakan rute intravena. Rute intravena diberikan
mengingat kondisi bayi baru lahir yang tidak memungkinkan diberikan antibiotika
melalui rute oral. Selain itu diberikan melalui rute
intravena karena sepsis merupakan inveksi berat yang memerlukan
bioavailabilitas tinggi untuk melawan bakteri yang tersebar dalam darah.
4.
Durasi Penggunaan antibiotic
Terdapat berbagai macam durasi
penggunaan antibiotika yang diberikan pada pasien sepsis neonatal, mulai dari 6
hari sampai 12 hari penggunaan antibiotika sebagaimana
disajikan pada gambar 1 dan tabel 3. Durasi tersingkat adalah 6 hari dengan prosentase 3% dan
durasi terlama adalah 12 hari dengan prosentasi 9% dari keseluruhan kasus. Durasi penggunaan antibiotika terbanyak adalah 7 hari yaitu dengan
prosentasi 44% dari keseluruhan kasus.
Gambar 1
Distribusi Durasi Pemberian Antibiotika Pada Sepsis Neonatal
Rawat Inap di RSAD Salak Bogor Periode April-Juni 2018
Tabel 3
Distribusi Durasi Pada Tiap Jenis
Penggunaan antibiotika Pada Pasien
sepsis Neonatal Rawat Inap di RSAD Salak Bogor Periode April-Juli 2018
Durasi |
Ampisilin-gentamisin |
Ceftriaxon |
Ceftriakson-gentamisin |
Ceftazidim |
Ceftazidim-gentamisin |
Jumlah |
|
6 hari |
|
|
1 |
|
|
1 |
|
7 hari |
6 |
2 |
6 |
1 |
15 |
||
8 hari |
3 |
1 |
4 |
||||
9 hari |
2 |
2 |
|||||
10 hari |
3 |
3 |
6 |
||||
11 hari |
2 |
1 |
3 |
||||
12 hari |
1 |
2 |
3 |
||||
Jumlah |
12 |
2 |
17 |
1 |
2 |
34 |
5.
Evaluasi Penggunaan Antibiotika
Dengan Metode Gyssens
Gambar 2
Distribusi Ketepatan Peresepan Antibiotika Berdasarkan
Metoda Gyssens
di RSAD Salak Bogor Periode April-Juli 2018
Evaluasi penggunaan antibiotika dengan menggunakan metode
Gyssens dan Mers yang dinilai dengan 12 subkatagori yang dinyatakan dalam
satuan peresepan dalam alur Gyssens sebagaimana ditunjuukan
pada gambar 2.
Menurut Dina Sintia Pamela dalam penelitiannya, Metode Gyssens digunakan untuk
mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotika. Tujuan evaluasi tersebut adalah
agar pasien mendapatkan obat yang paling efektif, aman, murah dengan regimen
yang tepat dan menghindari resistensi (Pamela, 2011).
Tabel 4 Distribusi Hasil Evaluasi Tiap Peresepan
Antibiotika Kombina berdasarkan Metoda Gyssens di RSAD
Salak Bogor Periode April-Juni 2018
Katagori |
Ampisilin-Gentamisin |
Ceftirakson |
Ceftirakson-Gentamisin |
Ceftazidim |
Ceftazidim-gentamisin |
Jumlah |
Gyssens |
||||||
VI |
||||||
V |
||||||
IVa |
3 |
16 |
1 |
1 |
21 |
|
IVb |
||||||
IVc |
||||||
IVd |
||||||
IIIa |
||||||
IIIb |
1 |
1 |
||||
IIa |
6 |
6 |
||||
IIb |
||||||
IIc |
||||||
I |
||||||
0 |
6 |
6 |
||||
Jumlah |
12 |
3 |
17 |
1 |
1 |
34 |
Pada tabel 4 menunjukkan hasil 6 peresepan antibiotika
memenuhi katagori 0 (penggunaan tepat), 6 peresepan antibiotika kombinasi
termasuk dalam katagori Iia (dosis pemberian tidak tepat) , 1 peresepan
antibiotika kombinasi dalam katagori IIIb (pemberian terlalu singkat), 21
peresepan antibiotika kombinasi dalam katagori Iva (ada antibiotika lain yang
lebih efektif). Pada penelitian ini tidak ditemukan antibiotika yang memenuhi
katagori I (tidak tepat saat profilaksis), katagori Iib (interval pemberian
tidap tepat), katagori IIc (rute pemberian tidak tepat), katagori IIIa
(pemberian terlalu lama), katagori IVb (ada antibiotika yang lebih aman/kurang
toksik), katagori IVc (ada antibiotika yang lebih murah), katagori IVd� (ada antibiotika yang lebih sempit
spektrumnya), katagori V (penggunaan antibiotika tanpa indikasi ), katagori VI
( rekam medis tidak lengkap untuk di evaluasi).
Hasil yang disajikan pada tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa
hasil evaluasi peresepan antibiotika dengan kriteria tepat yaitu katagori
0� sebanyak 6 pasien (18%) adalah
kombinasi ampisilin-gentamisin yang merupakan antibiotika lini pertama yang
disarankan dalam SPO RSAD Salak Bogor dan IDAI 2009.. Antibiotika yang paling banyak
digunakan dalam peresepan kasus sepsis neonatal adalah kombinasi
ceftriakson-gentamisin sebanyak 17 kasus (50%). Terdapat 6 kasus
(18%) peresepan antibiotika yang termasuk dalam katagori IIa (dosis pemberian
antibiotika tidak tepat) terdiri dari kombinasi ampisilin-gentamisin. Terkait durasi pemberian antibiotika dalam peresepan antibiotika
termasuk dalam katagori IIIa (pemberian antibiotika terlalu lama) tidak ada
kasus. Termasuk dalam katagori IIIb (pemberian
antibiotika terlalu singkat) terdiri dari 1 kasus yaitu kombinasi
ceftriakson-gentamisin. Terdapat kasus yang termasuk
dalam katagori IVa (ada antibiotika yang lebih efektif) yaitu 21 kasus (65%).
Kajian
literatur ketepatan peresepan pada penelitian ini akan
disajikan per katagori Gyssens sebagai berikut:
1. Rekam medis pasien tidak lengkap dan
tidak dapat dievaluasi (katagori VI).
Pada
penelitian ini karena bersifat prospektif jadi tidak ada rekam medis yang tidak
lengkap.
Berjumlah 34 kasus pasien sepsis neonatal dengan data rekam
medis terisi lengkap data-data pasien sepsis neonatal.
2. Pemberian antibiotika tanpa indikasi
(katagori V).
Pada
penelitian ini tidak ada pemberian antibiotika tanpa indikasi, karena
antibiotika tanpa indikasi dapat diartikan pemberian antibiotika tidak
diperlukan bagi pasien tersebut. Tanda-tanda infeksi bakteri sepsis neonatal antara lain ((IDAI), 2016):�
a. Infeksi: meliputi
1). Faktor predisposisi infeksi
2). Tanda atau bukti infeksi yang
sedang berlangsung
3). Respon inflamasi
b.��
Tanda disfungsi/gagal organ.
Berdasarkan hasil evaluasi tidak
ditemukan peresepan pasien sepsis neonatal pada katagori ini.
3. Ada antibiotika lain
yang lebih efektif (katagori IVa).
Ada antibiotika lain yang lebih
efektif dapat diartikan ada antibiotika yang bisa memberikan efek terapi yang
lebih optimal dan lebih direkomendasikan oleh instansi yang berwenang seperti
IDAI, Kemenkes, WHO. Menurut evaluasi pada penelitian ini yang termasuk dalam
katagori IVa sebanyak 21 kasus yang terbanyak adalah kombinasi
ceftriakson-gentamisin sebanyak 17 kasus (50%), 3 kasus pemberian ceftriakson
tunggal, 1 kasus ceftazidim tunggal dan 1 kasus kombinasi
ceftazidim-gentamisin. Peresepan antibiotika tersebut masuk
dalam katagori IVa karena ceftriakson merupakan untuk lini ke-2 dan ceftazidim
untuk lini ke-3. Menurut SPO RSAD Salak Bogor tahun
2015 peresepen lini pertama adalah kombinasi ampisilin-gentamisin, Lini ke-2
ceftiakson/cefotaksim, dan lini ke-3 ceftazidim.
4. Ada antibiotika lain
yang lebih aman/kurang toksik (katagori IVb).
Ada
tidaknya antibiotika yang lebih aman/kurang toksik dilihat dari keamanan
antibiotika tersebut terhadap pasien seperti interaksi obat yang menimbulkan
efek merugikan kepada pasien atau ada penggunaan antibiotika dengan
kontraindikasi dengan kondisi pasien.
5. Ada antibiotika lain
yang lebih aman/kurang toksik (katagori IVc).
Evaluasi
pada katagori ini yaitu dengan membandingkan obat yang digunakan pasien di RSAD
Salak Bogor dengan brand name dari
setiap antibiotika.
Pada penelitian ini semua antibiotika yang digunakan adalah
antibiotika generik yang harganya lebih murah jika dibandingkan dengan yang brand name, sehingga jika pengobatan
menggunakan antibiotika lini pertama pasti tidak ada yang masuk katagori ini.
6. Ada antibiotika lain
dengan spectrum lebih sempit (katagori IVd).
Pemilihan antibiotika berdasarkan
dengan spectrum harus dilakukan dengan uji kultur
darah dari pasien atau berdasarkan pola kuman setempat. Pada penelitian ini
tidak ada satupun yang menjalani uji kultur darah, sehingga pengobatan hanya
dilakukan berdasarkan empiris dan antibiotika empiris yang digunakan
berdasarkan SPO RSAD Salak Bogor, dan penatalaksanaannya sudah sesuai dengan
yang disarankan oleh IDAI, 2016
dan WHO,
2012. Antibiotika yang digunakan pada penelitian ini adalah
antibiotika yang spektrum luas karena kuman penyebab infeksi pada pasien tidak
diketahui, sehingga terapi yang digunakan adalah terapi empiris. Tidak ada antibiotika pada katagori ini karena terapi empiris sudah
sesuai dengan yang tercantum dalam literatur.
7. Pemberian antibotika terlalu lama
(katagori IIIa).
Durasi
penggunaan antibiotika pada setiap pasien berbeda-beda tergantung dari kondisi
pasien dan tingkat keparahan penyakit. Menurut SPO RSAD Salak Bogor durasi
penggunaan antibiotika sepsis neonatal adalah 7 hari untuk infeksi bakteri gram
positif dan minimal 14 hari untuk infeksi gram negatif, bila klinik baik.
Pada penelitian ini tidak ada yang masuk pada katagori ini,
karena sudah sesuai dengan yang disarankan pada literatur.
8. Pemberian antibiotika terlalu
singkat (katagori IIIb).
Durasi
penggunaan antibiotika pada setiap pasien berbeda-beda, tergantung dari kondisi
pasien dan tingkat keparahan penyakit. Menurut SPO RSAD Salak Bogor durasi
pemberian antibiotika adalah 7 hari untuk infeksi bakteri gram positif dan
minimal 14 hari untuk infeksi bakteri gram negatif, bila klinis baik.
Pada penelitian ini terdapat 1 kasus pemberian antibiotika dengan durasi
singkat yaitu pada data pasien bayi 16 yaitu penggunaan antibiotika ceftriaksin
2 hari dan antibiotika kombinasi seftriakson-gentamisin selama 4 hari, jadi
total durasi penggunaan antibiotika selama 6 hari.
9. Dosis antibiotika kurang tepat
(katagori IIa).
Pemberian
dosis antibiotika kurang tepat, bisa dikarenakan lebih dari dosis yang
disarankan atau kurang dari dosis yang disarankan. Dosis yang
terlalu tinggi dapat mengakibatkan efek toksik dan dosis yang terlalu rendah
tidak menghasilkan efek terapi yang diharapkan. Berdasarkan evaluasi
penggunaan antibiotika pada penelitian ini yang termasuk dalam katagori ini ada
26 kasus yaitu:
a. Pemberian antibiotika terlalu tinggi
sebanyak 15 kasus terdiri dari:
Pemberian antibiotika ceftriakson
�gentamisin pada kasus 2, 4, 6, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 23, 24, 26, 28, 31 dan 33.
b. Pemberian antibiotika terlalu rendah
sebanyak kasus terdiri dari:
Pemberian
ntibiotika ampisilin-gentamisin pada kasus 7, 8, 15, 18, 19, 20, 21, 29, 30 dan
34.
10. Interval pemberian antibiotika tidak
tepat (katagori IIb).
Pemberian
antibiotika tidak tepat interval bisa dikarenakan lebih atau kurang interval
yang disarankan oleh literature. Berdasarkan hasil evaluasi tidak terdapat
hasil yang termasuk dalam katagori ini.
11. Rute pemberian antibiotika tidak
tepat (katagori IIc).
Ketepatan
rute pemberian antibiotika merupakan indikator suatu ketepatan dalam sebuah
terapi. Rute pemberian obat harus dipilih rute yang paling aman dan
bermanfaat bagi pasien. Rute pemberian dikatakan tepat
apabila sesuai dengan yang disarankan oleh literatur. Berdasarkan
hasil evaluasi pemberian antibiotika tidak ada yang tidak tepat rute
pemberiannya.
12. Pemberian antibiotika tidak tepat
profilaksis (katagori I).
Waktu
pemberian antibiotika dievaluasi tiap hari saat pemberian antibiotika. Misalkan pemberian ampisilin
diberikan 2 kali sehari per 12 jam, maka jika pemberian pertama jam 07.00 dan
pemberian kedua pada jam 20.00, maka pemberian antibiotika tersebut tidak lolos
katagori I karena waktu pemberian tidak tepat. Berdasarkan
hasil evaluasi tidak ada antibiotika yang termasuk dalam katagori I.
13. Apropiate/tepat (katagori 0).
Peresepan antibiotika disebut tepat
jika memenuhi tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat,
tepat dosis, tepat rute pemberian, tepat interval pemberian, tepat lama
pemberian, waspada efek samping, tepat informasi dan tepat penilaian kondisi
pasien (Kemenkes,
2011). Berdasarkan
hasil evaluasi penggunaan antibiotika yang termasuk dalam katagori 0 adalah
peresepan kombinasi antibiotika ampisilin-gentamisin yaitu ditemukan pada kasus
1, 9, 17, 19, 27, 32. Peresepan antibiotika yang
termasuk dalam katagori ini adalah yang lolos pada katagori I-VI, sehingga
termasuk katagori 0.
6.
Analisis Data
a. Hubungan antara rasionalitas dengan
kesembuhan
Analisis data dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
rasionalitas penggunaan antibiotika dengan kesembuhan pasien. Dari evaluasi
data dengan metoda Gyssens diperoleh hasil rasionalitas pengobatan yaitu
katagori 0 sebanyak 6 pasien dari 34 kasus (18%). Sedangkan
pada pengobatan dari 34 pasien yang pulang rawat inap dinyatakan sembuh 100%.
Hasil analisis
hubungan antara kesembuhan dengan rasionalitas dianalisis dengan menggunakan
uji t sampel independen (Independent T-Test).
Tujuannya untuk melihat apakah ada perbedaaan kesembuhan berdasarkan
rasionalaitas yaitu antara sembuh rasional dan sembuh tidak rasional. Namun
penggunaan uji t didasarkan dua asumsi yaitu kedua kelompok memiliki varian
yang sama (equal variance assumed)
dan kelompok memiliki varian yang tidak sama (equal variance no assumed). Uji kesamaan dua varian (uji
homogenitas) menggunakan uji levene, dengan kriteria uji:
1.
Jika
nilai p<alpha (0.05), maka varian berbeda
2.
Jika
nilai p>alpha (0.05), maka varian sama
Hasil uji varian dapat dilihat pada Tabel 5.
di bawah ini:
Tabel
5
Hasil uji kesamaan varian (homogenitas)
Nilai
F |
Probabilitas
(P) |
10.421 |
0.003 |
Berdasarkan uji
Levene (Levene�s Test), seperti
terlihat pada Tabel 1 di atas, diperoleh nilai p = 0.003 < alpha (0.05). Hal
ini menunjukan kedua kelompok memiliki varian yang berbeda, dengan demikian
nilai t yang digunakan pada asumsi kedua kelompok berbeda (equal variance no assumed). Sedangkan hasil analisis deskriptif dan
uji statistik dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini:
Tabel 6 Hasil analisis data
Kesembuhan
Pasien |
Mean |
Std.
Deviasi |
Std.
Error |
p
Value |
N |
Rasional |
3.5 |
1.871 |
0.764 |
0.003 |
6 |
Tidak
Rasional |
20.5 |
8.226 |
1.555 |
28 |
Berdasarkan Tabel 6
di atas diperoleh rata-rata kesembuhan pasien yang rasional adalah dengan
standar deviasi 1.871. Sedangkan untuk kesembuhan pasien yang tidak rasional
memiliki rata-rata dengan standar deviasi 8.226. Selanjutnya berdasarkan
analisis data untuk melihat perbedaan kesembuhan pasian yang rasional dan tidak
rasional diperoleh nilai p value = 0.003. Nilai p value ini < 0.05, artinya
ada perbedaan kesembuhan pasien yang rasional dan tidak rasional pada alpha
(0.05) atau taraf kepercayaan 95%.
Pada penelitian
Dina Sintia, hasil evaluasi terhadap antibiotika berdasarkan kategori
Gyssens memperlihatkan bahwa sebagian besar antibiotika tergolong rasional
sebesar 61,0% sedangkan 39% termasuk pada kategori tidak rasional. Angka
tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian theresia, 2011
sebesar 39,6% rasional dan Amrin sebesar 34% rasional. Perbedaan ini
diperkirakan terjadi karena perbedaan tempat, ruang lingkup, waktu dan metode penelitian
(Pamela, 2011).
b.
Hubungan
rasionalitas dengan hari kesembuhan
Berdasarkan
Lama hari rawat sampai pasien dinyatakan sembuh pada tabel 7. Yang tersingkat
adalah 6 hari dan terlama 12 hari, sehingga bisa di buat rata-rata hari sembuh
≤ 8 hari dan ≥ 8 hari sembuh. Dari lamanya hari sembuh
dikelompokkan lagi yang rasional dan yang tidak rasional. Data yang
diperoleh diuji dengan Uji Spearman,
hasilnya bisa di lihat pada tabel 7.
Tabel 7 Hubungan
Rasionalitas dengan Lamanya Hari Sembuh
|
Rasionalitas |
||||
Rasional |
Tidak Rasional |
||||
Lama Hari Sembuh |
<= 8 Hari |
4 |
11.8% |
18 |
52.9% |
> 8 Hari |
2 |
5.9% |
10 |
29.4% |
Pada
tabel 7. diatas didapat hasil 52,9%� lama rawat kurang dari sama dengan 8 hari dan 29,4% lama
rawat lebih dari 8 hari. Rata-rata lama rawat yang tertinggi
adalah yang tidak rasional dibawah 8 hari lebih banyak pada pasien yang
menerima terapi obat tidak rasional. Terlihat belum pas pasien yang menerima pengobatan
antibiotik yang tidak rasional sebagian besar lama rawat lebih pendek
dibandingkan dengan yang rasional. Berdasarkan Standar prosedur operasional
Rumah sakit Salak Bogor minimal pengobatan sepsis neonatal adalah 7 hari.
Untuk menguatkan asumsi diatas, maka
dilakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan
rasionalitas dengan lama hari sembuh dengan Uji Spearman�s Rho
Correlation. Hasilnya
disajikan pada tabel 8.
Tabel 8 Hasil Uji Spearman�s Rho Correlation
|
Rasionalitas |
Lama Hari����� Sembuh |
||
Spearman's rho |
Rasionalitas |
Correlation Coefficient |
1.000 |
.019 |
Sig. (2-tailed) |
. |
.915 |
||
N |
34 |
34 |
||
Lama Hari Sembuh |
Correlation Coefficient |
.019 |
1.000 |
|
Sig. (2-tailed) |
.915 |
. |
||
N |
34 |
34 |
Hasil
dari Uji Spearman�s Rho Correlation menunjukkan
bahwa nilai sig yang didapat sebesar 0.915 >0.05. Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara rasionalitas dengan lama hari sembuh.
Penggunaan rasional atau tidaknya tidak ada hubungannya
dengan seseorang lebih cepat atau lama dalam penyembuhan.
Untuk mengoptimalkan
penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of
antibiotics), perlu disusun Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
nasional dalam menyusun kebijakan antibiotik dan pedoman antibiotik
bagi rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan ainnya,
baik milik
pemerintah maupun swasta (Kemenkes, 2011).
Pada penelitian yang dilakukan oleh
(Oktovina, 2011)� dikatakan bahwa kualitas
penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat rekam pemberian antibiotik
dan rekam medik pasien. Penilaian dilakukan dengan
mempertimbangkan kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan hasil laboratorium),
indikasi, regimen dosis, keamanan, dan harga. Kementrian
Kesehatan melalui Permenkes No. 2406/ MENKES/PER/ XII / 2011, tentang Pedoman
Umum Penggunaan Antibiotik mengatur evaluasi penggunaan antibiotika secara
kualitatif dengan menggunakan Metoda Gyssen.
Respon pasien terhadap pemberian
antibiotika sebaiknya dievaluasi setelah tiga hari pemberian antibiotika
tersebut (tergantung diagnosis penyakit). Bila antibiotika
yang diberikan tidak memberikan respon, maka harus dievaluasi kemungkinan
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi terhadap antibiotika atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis (Sudarmo, 2008) dalam (Pamela, 2011). Dina Sintia Pamela dalam penelitiannya mengusulkan agar waktu
evaluasi penggunaan antibiotik dijelaskan lebih rinci pada panduan penggunaan
antibiotika rumah sakit. Hal itu dapat digunakan sebagai acuan bagi
dokter dan apoteker untuk menentukan kapan sebaiknya antibiotika dievaluasi
agar pengobatan lebih optimal (Pamela, 2011).
Kesimpulan
Evaluasi penggunaan antibiotika pada
pasien sepsis neonatal dengan menggunakan metoda Gyssens, profil pasien terbanyak penderita sepsis
neonatal adalah bayi laki-laki dengan prosentase (59%), paling tinggi terjadi
pada Bayi Berat Lahir Cukup yaitu 62%. Sepsis awitan dini
menempati urutan tertinggi yaitu 59%. Sepsis neonatal
juga terjadi paling banyak pada kehamilan cukup bulan yaitu 79%. Riwayat persalinan normal menempati yang tertinggi yaitu 62%, dan
keadaan sewaktu pulang 100% sembuh. Golongan dan jenis antibiotika yang
paling sering digunakan adalah kombinasi ceftriakson-gentamisin dengan
prosentase 50%, rute pemberian melalui intravena dan durasi paling banyak
adalah 12 hari. Ketepatan peresepan antibiotika (kategori
0) berdasarkan metoda Gyssens sebanyak 18%, ada antibiotika yang lebih
efektif sebanyak 62%, durasi penggunaan antibiotika kurang dari yang disarankan
oleh standar prosedur operasional sebanyak 3%, Dosis antibiotika yang diberikan
tidak sesuai 79% (lebih dari dosis yang disarankan 32%, serta kurang dari dosis
yang disarankan 47%). Hasil statistic menunjukkan bahwa nilai sig yang didapat
sebesar 0.912 > alpha 0.05. Hal ini menunjukkan H0 diterima atau
tidak adanya hubungan rasionalitas dengan lama hari sembuh. Penggunaan rasional atau tidaknya tidak ada hubungannya dengan
seorang pasien lebih cepat atau lebih lama dalam penyembuhan.
BIBLIOGRAFI
(Dinkes Jabar), Departemen Kesehatan Jawa Barat. (2012). Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Barat Tahun 2012.
(IDAI), Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2016). Konsensus, Diagnosis dan
Tata Laksana Sepsis Pada Anak.
Achadi, Endang L. (2019). Kematian Maternal dan Neonatal di Indonesia.
Retrieved June 28, 2020, from Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia Jakarta website: https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/rakerkesnas-2019/SESI
I/Kelompok 1/1-Kematian-Maternal-dan-Neonatal-di-Indonesia
Giofani, Rizki, Oyong, Nazardi, & Inayah, Inayah. (2016). Evaluation
USAge of Antibiotic to Sepsis Neonatus Patient in RSUD Arifin Achmad Province Riau.
Riau University.
Haryani, Septiani, & Apriyanti, Yusna Fadlyyah. (2016). Evaluasi
terapi obat pada pasien sepsis neonatal di ruang perinatologi RSUP Fatmawati
Januari�Februari tahun 2016. Journal of Fatmawati Hospital, Jakarta.
Kemenkes. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
2406/Menkes/Per/Xii/2011 Tentang pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Retrieved
July 9, 2020, from https://www.academia.edu/35874924/Permenkes_2406-2011_Pedoman_Umum_Penggunaan_Antibiotik
Manuaba, Ida Bagus Gde. (2012). Ilmu kandungan, penyakit kandungan, dan
KB. Jakarta: EGC.
Oktovina, Magdalena Niken. (2011). ALUR GYSSEN Analisa Kualitatif pada
penggunaan Antibiotik. Fatmawati Hospital Journal. Retrieved from
http://jurnal.fatmawatihospital.com/pdf/ALURGYSSENAnalisaKualitatifpadapenggunaanAntibiotik.pdf
(Diakses pada tanggal 9 Juli 2020)
Pamela, Dina Sintia. (2011). Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotika
Dengan Metode Gyssens di Ruang Kelas 3 Infeksi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSCM Secara Prospektif. Depok: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Para P, Kerja M. (2017). Expanding Maternal and Newborn Survival (EMAS).
Rahmawati, Putri, Mayetti, Mayetti, & Rahman, Sukri. (2018). Hubungan
Sepsis Neonatorum dengan Berat Badan Lahir pada Bayi di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(3), 405�410.
Roeslani, Rosalina D., Amir, Idham, Nasrulloh, M. Hafiz, & Suryani,
Suryani. (2016). Penelitian Awal: Faktor Risiko pada Sepsis Neonatorum Awitan
Dini. Sari Pediatri, 14(6), 363�368.
Sundani, Ika Popi. (2020). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Pada Petani Bawang Merah di Kecamatan
Ketanggungan Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 5(6), 99�119.
Wilar, Rocky, Kumalasari, Ellen, Suryanto, Diana Yuliani, & Gunawan,
Stefanus. (2016). Faktor risiko sepsis awitan dini. Sari Pediatri, 12(4),
265�269.
Wisnumurti, Dewi Anggraini. (2012). Performance of Neonatal Unit, Arifin
Achmad Hospital, Pekanbaru. Paediatrica Indonesiana, 52(6), 356�361.