Syntax
Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 6, No. 6, Juni 2021
�
ANALISIS
KOMUNIKASI KRISIS YG ENTERTAINMENT DALAM KASUS BURNING SUN
Ni
Putu Ayuniantari, Eunike Serfina Fajarini, Eunike Iona Saptanti
LSPR Communication and
Business Institute, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract
The success of the South
Korean entertainment industry cannot be separated from the role of
entertainment companies that create famous K-Pop idols. In order to maintain a
good reputation as a successful company, the home of these famous idols must
have a good way to deliver its message, especially when crisis occurs. This
article discusses about one of the famous South Korean entertainment companies,
namely YG Entertainment, which experienced a crisis in 2019. YG Entertainment's
former CEO and its artists have involved in a scandal. This study aims to study
how the company responded to the crisis and how crisis responses should have
been given in accordance with the Situational Crisis Communication Theory
framework. The method used in this study is qualitative content analysis. The
results showed that the crisis experienced by YG Entertainment was categorized
as victim cluster. The type of the crisis is rumors and malevolence toward the
organization. This study provide some suggestions for
YG Entertainment in overcoming the crisis (titik koma) i.e. responding quickly, being consistent with core
messages, being open with information, and being honest.
Keywords: crisis communication, SCCT, rumor, K-pop, YG
Entertainment
Abstrak
Kesuksesan industri
hiburan Korea Selatan tidak
lepas dari peran perusahaan agensi hiburan yang mencetak idola ternama. Untuk mempertahankan reputasi sebagai industri yang sukses menaungi artis dan grup ternama, perusahaan agensi harus memiliki
cara berkomunikasi yang tepat, termasuk disaat perusahaan dilanda krisis. Penelitian ini mengangkat salah satu agensi idol Korea Selatan YG Entertainment yang mengalami situasi krisis pada 2019 lalu. Pimpinan YG Entertainment beserta
artis yang dinaunginya terbukti
terlibat skandal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari bagaimana perusahaan agensi hiburan merespons krisis dan bagaimana respon krisis yang seharusnya diberikan sesuai dengan kerangka
Situational Crisis
Communication Theory. Metode yang dipakai
dalam kajian ini adalah analisis
isi kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa krisis yang dialami oleh YG Entertainment termasuk dalam ranah victim cluster dengan jenis krisis yaitu rumor dan malevolence toward organization. Adapun rekomendasi
untuk YG Entertainment dalam mengatasi krisis rumor adalah merespons dengan cepat, konsisten dengan pesan-pesan inti, dan terbuka dengan informasi serta bersikap jujur.
Kata Kunci: komunikasi
krisis; SCCT; rumor, K-Pop, YG Entertainment
Pendahuluan
K-Pop (Korean Pop) merujuk kepada sebuah industri
yang mana tidak hanya populer di Asia, namun seluruh dunia. Mengutip berita dalam situs Kumparan, F�oundation melaporkan bahwa pada 2015 terdapat 35 juta fans K-Pop yang tersebar di 86 negara. Industri K-Pop
tidak hanya mempengaruhi dunia hiburan, namun turut membawa
dampak pada pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan. Berdasarakan
keterangan yang dirilis
oleh Korea Creative Content Agency dalam The
Economic Times, ekspor industri
hiburan K-Pop diperkirakan telah menyumbang peningkatan nilai industri musik sebanyak 5 juta dollar AS. K-Pop tidak hanya membawa
hiburan berupa musik saja, melainkan
industri film, mode, dan kuliner.
Salah satu agensi industri hiburan terbesar di korea adalah YG Entertainment. Perusahaan yang berdiri sejak 1966 ini dipimpin oleh Yang Hyun Suk. Salah satu grup idola besutan YG Entertainment yang paling berpengaruh adalah Bigbang. Grup yang beranggotakan G-Dragon, TOP, Taeyang, Daesung, dan Seungri ini merupakan salah satu penyumbang keuntungan terbesar untuk YG Entertainment. Media asing, The Washington Post mengklaim Big Bang adalah idol group yang terbesar di Asia.
Tahun 2019 menjadi tahun krisis bagi YG, akibat rumor dan skandal yang menimpa perusahaan, YG harus menelan kerugian
tidak hanya materi, namun juga reputasi. Kejadian berawal dari kasus
Burning Sun. Burning Sun merupakan sebuah nama kelab
malam yang berlokasi di
Gangnam, Korea Selatan. Kelab yang didirikan pada 23 Februari 2019 ini berhasil meraih keuntungan tertinggi di kota Gangnam hanya dalam waktu satu
tahun. Klub malam ini dipimpin oleh empat direktur eksekutif. Salah satu Direktur Eksekutif adalah Seungri, mantan anggota Bigbang. Pada tanggal 28 Januari 2019, sebuah video seorang pria yang diserang oleh seorang karyawan dari klub
malam menjadi viral karena Seungri adalah salah satu direktur eksekutif. Setelah masalah ini menyebar,
banyak selebritis, pebisnis, dan tokoh penting dan terkenal lainnya di Korea Selatan terseret
ke dalam kasus ini. Nama-nama orang penting ini kemudian terungkap.
Hal ini menghasilkan pengungkapan beberapa fakta tentang tindakan
kriminal mulai dari kekerasan, pelecehan seksual, bisnis prostitusi, suap, perjudian, penghindaran pembayaran pajak, perekaman dan distribusi video ilegal, hingga penggunaan dan distribusi obat-obatan (Roemit, 2019).
Yang
Hyung Suk selaku CEO agensi
tempat Seungri bekerja saat itu,
memberikan pernyataan resmi dan klarifikasi mengenai keterlibatan Seungri dalam insiden
tersebut melalui situs web
YG Entertainment pada 31 Januari 2019. YG
Entertainment menegaskan bahwa
tidak ada keterlibatan pada Seungri karena pada saat insiden penyerangan terjadi Seungri tidak ada di sana.
Yang Hyung Suk juga menyatakan bahwa
Seungri sedang dalam proses pengunduran diri dari posisinya
di Burning Sun karena kesibukan
pendaftaran militer (wajib untuk pria
Korea) yang ia rencanakan akan lakukan pada April 2019 mendatang.
Karena salah satu artisnya menjadi topik hangat di Korea, nama Yang Hyung Suk mulai ikut terseret dalam kasus tersebut. Dia dikabarkan telah menghancurkan bukti yang menunjukkan keterlibatan Seungri dalam pelacuran, perdagangan narkoba, dan penipuan pajak yang terjadi di klub malam Burning Sun. Setelah berita itu, Yang Hyun Suk secara pribadi membantah rumor itu. Meskipun membantah desas-desus itu, ia semakin sering terseret ke dalam skandal itu. Mulai dari munculnya laporan bahwa ia telah menyalahgunakan pembayaran pajak dan izin usaha untuk bisnis klub malamnya. Rumor lain beredar, sebuah stasiun TV melaporkan keterlibatan Yang Hyun Suk sebagai penyedia layanan prostitusi bagi investor di YG Entertainment. Meskipun stasiun TV telah mengungkapkan beberapa bukti termasuk kesaksian dari seseorang yang mengaku sebagai saksi, Yang Hyun Suk masih membantah tuduhan itu.
Rumor terkait skandal yang diperbuat oleh anggota perusahaan, khususnya dalam industri hiburan tidak hanya
mengancam pribadi si artis itu saja,
melainkan turut mengancam reputasi perusahaan. Apabila rumor tidak direspons dengan benar, berita
miring akan membawa bencana besar bagi
organisasi. Kajian ini menarik karena industri hiburan Korea Selatan saat ini memiliki
penggemar yang tersebar di seluruh dunia. Selain itu, kasus krisis,
konflik, dan skandal yang melibatkan figur publik merupakan sebuah peristiwa yang memiliki nilai berita untuk diekspos
ke publik (Korchi et al., 2019).
�� Kasus krisis yang melibatkan pimpinan di perusahaan di Korea Selatan pernah diangkat dalam penelitian dari (Kim, Yoo, & Uddin, 2018) tentang maskapai Korean Air, mereka menyebutkan bahwa pimpinan perusahaan cenderung menerapkan cara yang kurang etis dan tidak bertanggung jawab. Alih-alih fokus pada tanggung jawab di mata hukum, pimpinan cenderung menerapkan strategi menyelamatkan muka. Dalam konteks di Indonesia, perusahaan Grab Indonesia pernah mengalami situasi krisis setelah menayangkan video iklan bertajuk #PilihAman. Video iklan ini dinilai telah merendahkan pekerjaan pengemudi ojek pangkalan. (Aditya & Nasrianti, 2017) menganalisis bagaimana Grab Indonesia menggunakan sarana sosial media dalam merespons krisis. Temuan dari penelusuran tersebut adalah Grab terkesan kurang cepat merespons komentar publik sehingga pemberitaan negatif semakin meluas dan berdampak pada citra perusahaan.� Selain perusahaan transportasi, industri telekomunikasi juga memiliki potensi terkena krisis. (Suhaeri, 2018) menyebutkan bahwa teknologi informasi mendorong perusahaan untuk mengubah cara berkomunikasi. Perubahan teknologi informasi termasuk di dalamnya adalah berkembangnya sosial media. Pada akhirnya, organisasi dituntut menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan publiknya. Akan tetapi, media sosial memiliki tantangan tersendiri, yakni dapat menyebarluaskan informasi dengan sangat cepat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian dari (Akhyar & Pratiwi, 2019), media sosial dapat memperburuk situasi karena kekuatannya yang bisa menjadikan sebuah isu menjadi viral, oleh sebab itu perusahaan harus cepat dan tanggap ketika merespons krisis di media sosial.� Selain itu, kehadiran pimpinan menjadi salah satu kunci untuk memulihkan reputasi karena menunjukan bahwa organisasi memiliki keseriusan untuk bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi.
Melihat dari beberapa penelitian terdahulu yang disebutkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa orgnisasi memiliki faktor penentu keberhasilan untuk menyelamatkan reputasi organisasi, yaitu bagaimana pimpinan tampil disaat situasi krisis dan durasi yang diperlukan untuk merespon isu, terutama di sosial media. Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat industri yang berbeda, yakni industri hiburan (K-Pop) yang mana industri ini juga memiliki jumlah pangsa pasar yang besar di seluruh dunia. Selain itu, penelitian ini mengangkat tipe krisis yang berbeda, yaitu rumor dan kesalahan organisasi. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana perusahaan di Korea Selatan merespons rumor dan memperbaiki situasi krisis yang disebabkan oleh pimpinan perusahaannya sendiri (McCanna, 2019).
Kajian ini menggunakan konsep Situational Crisis Communications Theory (SCCT) dari (Coombs & Holladay, 2011) menyebutkan bahwa krisis digolongkan dalam beberapa klaster sesuai dengan tingkatan besar atau kecilnya tanggung jawab yang harus diambil oleh organisasi. Pertama, Victim cluster merupakan tanggung jawab organisasi termasuk rendah karena hanya posisinya sebagai korban dari sebuah kejadian. Peristiwanya meliputi kejadian bencana alam, rumor, kekerasan di tempat kerja, dan kedengkian terhadap organisasi. Kedua, Accidental cluster yang mana organisasi harus bertanggung jawab meski tidak sengaja. Peristiwanya meliputi tantangan, kecelakaan karena kesalahan teknis, dan kerusakan produk kerena kesalahan teknis. Ketiga, Preventable cluster yaitu organisasi bertanggung jawab penuh terhadap krisis karena anggotanya terbukti melakukan kesalahan yang merugikan perusahaan. Adapun peristiwanya yaitu kecelakaan karena kesalahan manusia, kerusakan produk karena kesalahan manusia dan kesalahan organisasi.
Strategi respon dibagi menjadi empat (Coombs & Holladay, 2011) yakni: (1) Denial strategy, bentuk aksinya meliputi menyerang penuduh, menyangkal bencana atau situasi krisis yang terjadi dan mengkambing hitamkan; (2) Diminish strategy, dengan 2 jenis aksi yaitu memberikan alasan untuk situasi dan memberikan pembenaran untuk situasi tersebut. (3) Rebuilding strategy, dimana respon krisis dikategorikan menjadi dua; yaitu memberikan kompensasi kepada para korban dan menawarkan permintaan maaf atau menerima tanggung jawab; (4) Bolstering strategy, strategi ini dibagi menjadi tiga aksi, yaitu mengingatkan para pemangku kepentingan atas perbuatan baik masa lalu, ingratiation, dan mengklaim status korban.
Selain SCCT, tulisan ini menelaah dari konsep rumor dalam krisis. Rumor, dikutip dalam (Fearn-Banks, 2016) mendefinisikan rumor sebagai "informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut dan komunikasi elektronik tanpa verifikasi fakta dan tidak ada sumber yang dapat dipercaya. Informasi tersebut dapat bermanfaat atau merusak. Informasi ini mungkin tidak benar atau dapat menjadi fakta yang tidak dapat disangkal atau prematur. Karenanya, tim krisis harus melawan rumor ini dan juga menghentikan desas-desus supaya tidak menyebar lebih jauh. Melihat bahwa rumor dapat menciptakan bencana bagi organisasi, (Fearn-Banks, 2016) menyatakan 6 langkah yang dapat diambil organisasi untuk memerangi rumor negatif yang beredar. Pertama, memberikan informasi lengkap kepada publik. Ketika desas-desus negatif telah beredar maka organisasi harus menceritakan kisah mereka sendiri dengan menyiratkan bahwa desas-desus itu sepenuhnya tidak benar di depan publik. (Fearn-Banks, 2016) menambahkan bahwa disarankan untuk tidak menyebutkan rumor untuk tidak meningkatkan sirkulasi.
Kedua, menganalisis rumor. Rumor yang beredar harus dianalisis. Tim krisis harus menganalisis asal rumor, dampak yang mungkin akan terjadi bagi perusahaan, bagaimana pendapat publik, seberapa jauh rumor ini menyebar, dan apakah itu permanen atau sementara.
Ketiga, (Fearn-Banks, 2016) percaya bahwa penolakan sebagian besar lebih menarik perhatian daripada diam. (Fearn-Banks, 2016) menyarankan kita untuk berhati-hati ketika memilih strategi ini dengan mempertimbangkan "jika rumor itu tetap ada, itu tidak akan merusak" (hal.77). Kempat, menyangkal rumor palsu dan membuktikannya bahwa rumor tersebut salah kepada publik. Kelima, berkonsultasi kepada ahli. Untuk mendiskreditkan rumor, organisasi dapat meminta beberapa pendapat dan mencari saran-saran dari para ahli. Para ahli harus kredensial dan profesional, seperti profesor universitas misalnya.
Keenam, membuat iklan. Jika pesan organisasi meyakinkan maka iklan akan sangat kuat karena dapat menjangkau jutaan orang. (Fearn-Banks, 2016) menyarankan untuk memastikan bahwa rumor itu salah sebelum menempatkan iklan. Jika desas-desus itu benar, atau sebagian benar itu mungkin lebih merusak reputasi perusahaan.
Berdasarkan latar belakang ini, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komunikasi krisis yakni berupa jenis krisis dan respon terhadap krisis yang dilakukan oleh perusahaan industri hiburan khususnya di Korea Selatan. Adapun manfaat tulisan ini diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi organisasi industri hiburan di tanah air.
Metode Penelitian
Kajian ini dianalisis dengan menggunakan paradigma interpretif. Menurut paradigma interpretif, realitas merupakan hasil konstruksi dan interaksi antar manusia. Oleh sebab itu, pemaknaan terhadap realitas bisa beragam karena tergantung dari cara pandang individu atau kelompok yang memaknai realitas tersebut.
Lewat tulisan yang berjudul �The Social Construction of Reality� merumuskan paradigma konstruktivis (Berger Peter & Luckmann, 1966). Paradigma konstruktivis memiliki asumsi bahwa individu membangun pengertian subjektif lewat pengalaman masing-masing sehingga makna dari sebuah objek dapat beragam (Creswell & Creswell, 2017).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode analisis media. Sebelum menganalisis bentuk komunikasi krisis YG Entertainment, dilakukan penelusuran tentang pemberitaan tentang kasus Burning Sun dan YG Entertainment di berbagai media online. Untuk menemukan bagaimana YG Entertainment menangani krisis, pertama dilakukan pengamatan menyeluruh terhadap seluruh berita dengan kata kunci �Burning Sun�. Setelahnya, penulis mengamati pemberitaan yang menuliskan keterangan bagaimana YG Entertainment menangani krisis yang disesuaikan dengan teori SCCT.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menjadi dua bagian yaitu menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan teknik studi dokumentasi untuk mengumpulkan data. Data primer dalam kajian ini adalah pemberitaan tentang YG Entertainment di berbagai media online. Sedangkan data sekunder didapatkan dari berbagai literatur seperti jurnal ilmiah, artikel pendukung dari internet, dan bahan bacaan tentang komunikasi krisis.
Hasil dan Pembahasan
Sejak insiden di Burning Sun terungkap, kasus yang melibatkan sejumlah selebriti Korea dan tokoh-tokoh terkenal semakin berkembang dan masih dalam penyelidikan oleh polisi Korea Selatan dan Komisi Anti Korupsi dan Hak Sipil. Sementara itu, kasus Burning Sun justru meluas hingga dilaporkan menyinggung kasus-kasus penggunaan dan distribusi narkoba, penipuan pajak, dan adanya kasus suap dengan polisi. Bahkan setelah satu tahun terungkap, kasus ini masih diselidiki dan semua pelaku yang diduga terlibat dalam kasus ini sedang dalam proses penyelidikan. YG Entertainment menderita kerugian besar setelah insiden itu terjadi. Bagian ini memaparkan analisis dan kritik terhadap apa yang terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan.
1. Tipe Krisis YG Entertainment
Dengan menggunakan teori Coombs, krisis YG Entertainment ditentukan sebagai victim cluster - low responsibility.
Tabel 1
Tipe Krisis YG Entertainment Berdasarkan Teori SCCT Coombs
Disaster/Tipe |
Deskripsi |
Rumor |
Ada begitu banyak rumor yang beredar tentang artis YG Entertainment, mulai
dari Seungri yang terlibat dalam kasus prostitusi, tindakan seksual, dan penggelapan pajak, Yang Hyun
Suk terlibat dalam kasus prostitusi, dan Hanbin terlibat dalam kasus narkoba.
Hasil investigasi mengungkapkan
tidak ada rumor yang benar. Rumor tersebut merusak reputasi YG dan bisnisnya. Karena rumor tersebut,
YG menderita kerugian besar. |
Malevolence toward the organization |
Tagar #ApologizeToSeungri
menjadi tren di seluruh dunia setelah polisi mengungkapkan bahwa Seungri terlibat dalam kasus tindakan seksual. Stasiun TV yang menyediakan bukti tangkapan layar obrolan grup pada akhirnya mengakui bahwa mereka mengarang bukti tersebut (Kompas). Yang Hyun
Suk bebas dari tuduhan terkait prostitusi karena Kantor Kejaksaan Seoul tidak memiliki bukti yang cukup (CNN Indonesia, 2019). |
Analisis ini dapat menilai seberapa menakutkan rumor tersebut. Menurut pendapat kami, ketika hal-hal seperti itu terjadi, YG Entertainment seharusnya tidak mengizinkan organisasi lain bertindak sebagai juru bicara tidak resmi karena hal itu dapat menimbulkan situasi yang tidak terkendali. YG mengizinkan stasiun TV tersebut menyebarkan informasi palsu tentang perusahaannya. Rumor yang beredar di masyarakat seharusnya tidak diremehkan. Tim PR dari YG Entertainment seharusnya menganalisis dan memantau rumor karena dapat mempengaruhi reputasinya. Para pemangku kepentingan, terutama para pemegang saham seharusnya diberikan informasi dengan baik.
2. Strategi Respons YG Entertainment yang Tidak Tepat
Menggunakan (Coombs & Holladay, 2011) teori strategi respons dan teori (Coombs, 2007) SCCT Recommendations untuk Seleksi Respons Krisis, berikut adalah analisis strategi respons YG.
Tabel 2
Strategi
Respons Krisis YG
Entertainment
Strategi |
Deskripsi |
Rebuilding � Giving Apology |
YG Entertainment memberikan pernyataan resmi melalui situs webnya. Perusahaan meminta maaf tentang situasi tersebut dan menyatakan bahwa Seungri tidak terlibat ketika insiden penyerangan terjadi. Dalam kasus Yang Hyun Suk, YG Entertainment juga meminta maaf kepada publik atas apa yang terjadi dan menyangkal rumor tersebut. Meskipun dia membantah rumor itu, sebagian besar masyarakat tidak percaya dengan pernyataannya. |
Tokoh-tokoh penting atau artis Korea cenderung meminta maaf ketika mereka terlibat dalam insiden. Setelah memberikan pernyataan, mereka juga terdiam dan membiarkan semua rumor beredar, ini juga terjadi selama krisis YG. Menurut pendapat kami, YG Entertainment seharusnya mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang yang menyebarkan rumor tentang perusahaan. (Coombs, 2007) menyebutkan bahwa ketika sebuah perusahaan menghadapi gosip, ia dapat menggunakan strategi korban. Menuru penulis selain meminta maaf, YG dapat menerapkan strategi lain untuk mengelola krisis, yaitu mengklaim status korban dengan memberikan beberapa informasi kepada para pemangku kepentingan bahwa YG Entertainment adalah korban dari rumor palsu dan mengingatkan para pemangku kepentingan atas hal-hal baik yang YG lakukan di masa lalu.
3.
Rekomendasi Aksi
untuk Merespons Rumor
Menggunakan teori (Coombs, 2007) tentang bentuk dan respons krisis, berikut adalah analisis krisis YG Entertainment dan saran tentang apa yang seharusnya dilakukan perusahaan.
Tabel 3
Rekomendasi Strategi Respons Krisis
YG Entertainment
Langkah |
Deskripsi |
Being Quick |
YG seharusnya menyadari bahwa desas-desus tentang artisnya dapat menyebabkan kerusakan pada reputasinya. Yg sangat lambat dalam memberikan respon. YG sebagian besar hanya diam. Responsnya yang lambat dan memilih untuk berdiam diri telah menciptakan peluang bagi pihak lain untuk mengendalikan situasi dan memperburuk situasi � dalam hal ini stasiun TV menjadi juru bicara tidak resmi. |
Menunjukkan Konsistesi |
YG Entertainment tidak menunjukkan konsistensi dalam penyampaian pesannya kepada para pemangku kepentingan. Mereka menyangkal rumor tersebut tetapi membiarkan artis dan mantan CEO-nya mengundurkan diri dari perusahaan. Coombs (2007) menyatakan bahwa untuk membangun kredibilitas respon, konsistensi sangat penting. Para karyawan, terutama yang terlibat dalam rumor tersebut tidak mendapat informasi dengan baik. |
Terbuka |
Coombs (2007) percaya bahwa bersikap terbuka berarti bersedia, mau mengungkapkan informasi, dan bersikap jujur. Pertama, YG berdiam diri ketika media mempertanyakan keterlibatan Seungri dalam insiden serangan di Burning Sun yang terjadi pada tanggal 28 Januari. YG memberikan pernyataan pada hari berikutnya yang membuat beberapa pihak bebas dalam membuat asumsi mereka. |
Berdasarkan respon yang diberikan oleh YG, sebetulnya ada banyak hal yang YG bisa lakukan dengan lebih baik. Jelas terlihat bahwa tim PR-nya tidak menanggapi masalah ini dengan serius. Mereka hanya memberikan pernyataan resmi melalui situs webnya, sedangkan Tim PR YG seharusnya mengendalikan situasi. YG seharusnya cepat dan membuka diri dan lebih fleksibel ketika media pertama kali melaporkan tentang insiden penyerangan dan menuntut jawaban. Mereka seharusnya menyadari seberapa besar dampak rumor yang beredar di era Media Sosial ini, YG seharusnya konsisten tentang penyampaian pesannya juga (Kerans, Dybdahl, Gangloff, & Jannot, 2005). Menurut pendapat saya, membiarkan artis dan mantan CEO nya keluar dari perusahaan berarti mereka menyetujui rumor itu, hal tersebut sangat kontradiktif. Selain itu, meskipun mereka jujur, YG Entertainment tampaknya kurang berupaya membuktikan bahwa rumor itu salah. Masyarakat dibagi menjadi dua yakni mereka yang mendukung YG dan yang tidak mendukung.
4.
Belajar dari
Kasus Rumor Pepsi
YG sebagian besar berdiam diri ketika insiden yang melibatkan artis dan mantan CEO nya terjadi. Untuk mengatasi rumor, YG dapat belajar dari apa yang terjadi pada Pepsi pada tahun 1993. Pada saat itu, seorang pasangan menemukan jarum suntik bekas dalam kaleng Pepsi. Pada waktu itu, kesadaran akan HIV AIDS sering menjadi bahan pembicaraan di banyak berita lokal dan nasional. Kemudian, ada juga beberapa laporan benda asing, seperti jarum jahit dan peluru, yang ditemukan di kaleng Pepsi di beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Pepsi bekerja sama dengan FDA pada waktu itu, memastikan pelanggan bahwa produk mereka aman. FDA menyelidiki perusahaan tersebut. Pepsi sangat terbuka kepada media tentang investigasi� kasusnya dan memberi informasi kepada media dengan baik. Lebih lanjut, FDA merilis pernyataan kepada publik bahwa perusahaan itu aman dan dapat dipercaya. Dari contoh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Pepsi telah menerapkan empat strategi untuk melawan rumor, yaitu memberikan informasi lengkap kepada publik, menganalisis rumor, menghubungi para ahli, menyangkal rumor palsu, dan membuktikan bahwa rumor tersebut salah kepada publik dengan berkolaborasi dengan FDA (Sullivan et al., 2019).
Belajar dari kasus ini, YG dapat mengikuti langkah-langkah Pepsi untuk melawan rumor, yaitu memberikan informasi lengkap kepada publik, menganalisis rumor, menghubungi para ahli, menyangkal rumor, dan membuktikan bahwa rumor tersebut salah kepada publik dengan bekerja sama dengan Kantor Kejaksaan Seoul. YG seharusnya memilih juru bicaranya dan membuat siaran pers. Ketika beberapa stasiun TV menyediakan bukti palsu, mereka harus menghubungi beberapa ahli untuk menganalisis bukti palsu tersebut. Pernyataan yang diberikan oleh Seungri, Yang Hyun Suk, dan Hanbin tidak cukup karena rumor telah beredar untuk beberapa waktu. Selain itu, YG Enterntainment juga seharusnya tidak membiarkan artis dan mantan CEO nya keluar ketika mereka dalam penyelidikan. Hal tersebut hanya membuat publik percaya bahwa mereka benar-benar terlibat dalam kasus ini.
Kesimpulan
YG Entertainment dulunya menjadi "Big 3" di industri K-Pop. Namun, karena rumor yang tidak dikelola dengan baik pada tahun 2019, perusahaan menghadapi krisis. Krisis ini menyebabkan beberapa dampak buruk pada perusahaan; yaitu keluarnya artis dan orang berpengaruh penting, kehilangan kepercayaan publik, bisnis tidak berjalan baik, dan rusaknya reputasi perusahaan. Selain itu, karena krisis, perusahaan kehilangan gelar "Big 3" nya. Selain itu, Louis Vuitton, salah satu investor terbesar YG Entertainment menarik kembali investasinya yang kemudian menyebabkan YG Entertainment mengembalikan 67,4 miliar KRW pada 15 Oktober 2019. Dari kasus YG, kita bisa mengetahui bahwa rumor tidak boleh diremehkan. Tim PR harus cepat dan konsisten dalam memerangi rumor yang beredar.
Aditya, Vita, & Nasrianti,
Lisdian Fitri. (2017). Komunikasi Krisis Di Sosial Media Analisis Manajemen
Krisis Iklan# Pilihaman Grab Bike Indonesia. Prosiding Magister Ilmu
Komunikasi, 1(2). 1-8. Google
Scholar
Akhyar, Dani, & Pratiwi, Arum Sekar.
(2019). Media Sosial Dan Komunikasi Krisis. Ultimacomm: Jurnal Ilmu
Komunikasi, 11(1), 35�52. Google
Scholar
Berger Peter, L., & Luckmann, Thomas.
(1966). The Social Construction Of Reality: A Treatise In The Sociology Of
Knowledge. Anchor Book. Google
Scholar
Coombs, W. Timothy. (2007). Protecting
Organization Reputations During A Crisis: The Development And Application Of
Situational Crisis Communication Theory. Corporate Reputation Review, 10(3),
163�176. Google Scholar
Coombs, W. Timothy, & Holladay, Sherry
J. (2011). The Handbook Of Crisis Communication (Vol. 22). John Wiley
& Sons. Google
Scholar
Creswell, John W., & Creswell, J.
David. (2017). Research Design: Qualitative, Quantitative, And Mixed Methods
Approaches. Sage Publications. Google
Scholar
Fearn-Banks, Kathleen. (2016). Crisis
Communications: A Casebook Approach. Routledge. Google
Scholar
Kerans, B. L., Dybdahl, M. F., Gangloff, M.
M., & Jannot, J. E. (2005). Potamopyrgus Antipodarum: Distribution,
Density, And Effects On Native Macroinvertebrate Assemblages In The Greater
Yellowstone Ecosystem. Journal Of The North American Benthological Society,
24(1), 123�138. Google
Scholar
Kim, Rebecca Chunghee, Yoo, Kate Inyoung,
& Uddin, Helal. (2018). The Korean Air Nut Rage Scandal: Domestic Versus
International Responses To A Viral Incident. Business Horizons, 61(4),
533�544. Google
Scholar
Korchi, Amine M., Cengarle-Samak,
Alexandre, Okuno, Yuji, Martel-Pelletier, Johanne, Pelletier, Jean Pierre,
Boesen, Mikael, Doyon, Jos�e, Bodson-Clermont, Paule, Lussier, Bertrand, &
H�on, H�l�ne. (2019). Inflammation And Hypervascularization In A Large Animal
Model Of Knee Osteoarthritis: Imaging With Pathohistologic Correlation. Journal
Of Vascular And Interventional Radiology, 30(7), 1116�1127. Google
Scholar
Mccanna, Karen S. Levy. (2019). Employer
Perceptions When Applying Criminal History Information To The Hiring Process.
Walden University. Google
Scholar
Roemit, Korea. (2019). Retrieved From
Youtube: Https://Www.Youtube.Com/Watch?V=Q0moqzlzqv. Google
Scholar
Suhaeri, Suhaeri. (2018). Strategi
Komunikasi Inovasi Dalam Meminimalisir Konflik Horizontal Pengemudi Taksi
Online Dan Konvensional Di Kota Bandung. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah
Indonesia, 3(2), 122�131. Google
Scholar
Sullivan, John T., Mcgee, Thomas J.,
Stauffer, Ryan M., Thompson, Anne M., Weinheimer, Andrew, Knote, Christoph,
Janz, Scott, Wisthaler, Armin, Long, Russell, & Szykman, James. (2019).
Taehwa Research Forest: A Receptor Site For Severe Domestic Pollution Events In
Korea During 2016. Atmospheric Chemistry And Physics, 19(7),
5051�5067. Google
Scholar
Ni Putu Ayuniantari, Eunike Serfina Fajarini, Eunike Iona Saptanti (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |