Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 8, Agustus 2020
�
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM MALPRAKTIK UNTUK PELAYANAN KESEHATAN GIGI
Endang Sutrisno, Inge Hartini dan Erika
Pascasarjana Universitas Swadaya Gunungjati (UGJ) Cirebon,
Indonesia
Email: [email protected],
[email protected] dan [email protected]
Abstract
Malpractice can be defined
as the negligence or failure of a doctor to use the skill level and knowledge
commonly used in treating patients. Orthodontic medical procedures must be
carried out with great care so that medical personnel is
following their competence and authority. Various possibilities may occur if
fixed orthodontic treatment is performed by someone with unsuitable competence
including dentists. The findings of the study, in general, dentists already
know the rules for limiting authority in performing dental care, especially in
the field of fixed orthodontics, but there are still some who violate these
rules. Without the competence and authority of a dentist and no referral to a
more competent orthodontist specialist, the dentist may be subject to
disciplinary and criminal liability under article 69 paragraph (3) of Law Number
24 of 2004 concerning Medical Practice. It takes supervision and guidance by
stakeholders, but this is not running optimally.
Keywords: Malpractice; Dentist;
Orthodontics
Abstrak
Malpraktikkdapat diartikan sebagai sebuah kelalaian atau kegagalan seorang dokter untuk mempergunakanntingkat keterampilan dan ilmu pengetahuannya yang
lazim dipergunakanndalam mengobati pasien. Tindakan medis ortodonti harus
dikerjakan dengan sangat hati-hati sehingga oleh tenaga medis sesuai dengan
kompetensi dan kewenangannya. Berbagai kemungkinanndapattterjadi jika perawatannortodontik
cekat dilakukan olehhseseorang dengannkompetensi yang tidak sesuai termasuk dokter gigi. Temuan penelitian secara
umum dokter gigi sudah mengetahui aturan batasan kewenangan dalam melakukan perawatan gigi
terutama dibidang ortodonti cekat, namun tetap ada yang melanggar aturan tersebut. Denganntanpa adanya
kompetensi dan kewenangan yang dimiliki dokter gigi serta tidak dilakukan
rujukan kepadaadokter gigi spesialis ortodonti
yang lebih berkompetensi makaadokter gigi
tersebut dapat dikenakan sanksi disiplin dan pertanggungjawabannsecaraapidana
berdasarkannpasal 69 ayat (3) Undang- Undang Nomor 24 Tahunn2004 tentang Praktik Kedokteran. Dibutuhkan pengawasan dan pembinaan oleh
para pemangku kepentingan, tetpai hal tersebut tidak berjalan optimal.
Kata kunci: Malpraktik;
Dokter Gigi; Ortodonti.
Pendahuluan
Malpraktik adalah sebagai sebuah kelalaian atau kegagalan seorang dokter
untuk mempergunakanntingkat keterampilan dan ilmu pengetahuannya yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien (Hanafiah & Amir,
2019). Keberhasilannupaya kesehatanntergantung padaaketersediaan
sumber daya kesehatan itu sendiri
seperti tenagaakesehatan, saranaaprasarana, serta adminitrasi dengan
jumlah dan mutu yanggmemadai (Sri, 2006). Apabila terjadi malpraktik maka penyelesaian dapat
dilakukan secara litigasi
dan non litigasi (Arthani & Citra,
2013). Berdasarkan norma hukum
kesehatan bahwa tingkat kesehatan yang optimal harus
dilakukan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi, komprehensif serta
holistik sehingga pembangunan kesehatan untuk seluruh masyarakat dapat tercapai dengan maksimal.
Kesehatannrongga muluttmerupakan standar
kesehatan gigi serta jaringan lunak sekitar rongga mulut. Kesehatan gigiidan
mulut sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia baik dilihat dari segi fungsi maupunnestetika (Isfandyarie, 2005).
Salahhsatu dari masalah kesehatan gigi
dan mulut adalah maloklusi. Maloklusiiyaitu oklusi
yanggmenyimpang
dari normal dannmerupakannsalah satu masalah gigi ketigaapalinggumum terjadi di
antara masalahhkesehatan
gigiiumummlainnya di dunia (Karki, Parajuli,
Kunwar, Namgyal, & Wangdu, 2014). Untuk mengatasiimaloklusi
dapat terjadi dikarenakannbeberapaafaktor
dan membutuhkannperawatan
khusus menggunakan alat-alat
ortodonti seperti kawat gigi (Ardyan, 2010). Ortodonti
cekat (fixed appliances) adalahhsalah
satu alat ortodontiiyang digunakanndi kedokteran gigi
yanggmempunyai fungsi untuk merapikan
gigi yanggtidak
beraturan biasanya melibatkan penggunaan bracket yang dipasang secara permanennpada gigi (Hansu, Anindita, & Mariati, 2013).
Para dokter
gigi umum (general practicioner), spesialis ortodonti (ortodontis) dan
spesialis kedokteran gigi anak yang menerapkan ilmu ortodonsia dalam menjalankan prakteknya hendaknya menyadari apa yang menjadi kewenangan masing-masing dalam melakukan perawatan pada pasien agar terhindar dari tuntutan pasien jika dikemudian hari terlibat dalam
masalah hukum berkaitan dengan perawatan yang dilakukan (Ardhana, 2013).
Dasar-dasar
hukum yang memberikan perlindungan
hukum terhadap dokter dalam menjalankan
profesi kedokteran apabila terjadi
dugaan malpraktek terdapat dalam Pasal
50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU RI, 2004), pasal 27 ayat (1) dan pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU RI, 2009). Perlindungan hukum tersebut tidak seperti konsep
perlindungan ilmu exact
yang selalu dapat terukur (Rompis, 2017).
Berdasarkan
latar belakanggdi
atas, pertanyaannya
adalah bagaimanakah tanggungjawabbdokter gigi yang
melakukan pelayanan kesehatan gigi tidak sesuai dengan kompetensinya.
Metode Penelitian
Pada penelitian
iniiparadigma yang dipakai
adalah paradigma Critical Legal Studies. Critical Legal Studies (CLS).
Jenis penelitian yanggdigunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan penelitiannini
menggunakan social-legal, dengan
melihattaspek hukum dalam perspektif gejala sosial atau human action
sehingga mencoba menggali hal-hal yang berada dibelakang teks, dalam bentuk produk
hukum tertulis sehingga dapat diperoleh pemahaman dan pemaknaan terhadap
ketentuan hukum tersebut, dalam ranah keberlakuannya. Penelitian ini menggunakaniinstrumen
yang digunakan yaitu peneliti sebagai instrumen utama.
Hasil dan Pembahasan
Hukum adalah
kristalisasi nilai-nilai
yang terdapat di masyarakat
(Sutrisno & Rahayu,
2017). Dalam pemaknaan
secara mendalam berkenaan dengan adanya tanggung jawab dalam dimensi norma
hukum dipahami dalam koridor ada tindakan berupa tindakan implementatif
terhadap sesuatu hal atau perilaku berdasarkan kriteria yag telah ditentukan
serta tidak bertentangan dengan norma, tatanan nilai, kaidah yang telah
diberlakukan secara umum. Temuan riset membuktikan bahwa dokter
gigi pada dasarnya sudah
mengetahui aturan batasan
kewenangan dalam melakukan perawatan
gigi terutama dibidang ortodonti, namun tetap melanggar batasanntersebut.
Dalam kajian hukum hal ini tentu akan melanggar norma hukum yang telah
dirumuskan bersama khususnya dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Regulasi
tersebut, telah mengatur secara tegas bahwa profesi yang diemban dibidang
kesehatan pada saat melakukan tindakan pelayanan kesehatan harus mengacu kepada
kewenangan
yang diberikan dengan
mendasarkan diri kepada standar kompetensi yang dimilikinya. Hal ini sesuai pula dengan tataran regulasi teknis
dalam bentuk produk hukum tertulis Peraturan Menteri Kesehatan.
Dokter
gigi dapat melakukan perawatannortodonti hanya dalam kasus yang sederhana, dengan berdasarkan Peraturan Konsil
KedokterannIndonesia
dimaksudkan untuk menjamin
rasa kepastian hukum para pihak, yang terlibat dalam pelayanan kesehatan.
Jaminan kepastian hukum ini penting mengingat proses bekerjanya hukum, termasuk
di bidang kesehatan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor lingkungan
sekitar tempat norma hukum tersebut berproses dan bekerja.
Perawatan ortodonti cekat full braces
tsebaiknya dirujuk kepada dokter gigi
spesialis ortodonti dimana dokter gigi tersebut lebih berkompeten dalammhal perawatan ortodonti terutama pada kasus yang
tergolong kompleks. Dengan tanpa adanyaakompetensi dan
kewenangan
yang dimiliki dokterrgigi
maka akan
sangat mudahhuntuk
menimbulkannkesalahan ketika
melakukan perawatan sehingga dapattmerugikan secaraatidak
langsung baik materil maupun inmateril. Hal tersebut
menandakan bahwa
telah terjadi salah satu pelanggaran disiplin yang yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi sebab
melakukan tindakan medis tidak sesuai dengan kompetensinya dan tidak melakukan tindakan dengan memberikan solusi terbaik untuk
pasien.
Dalam
hal ini terdapat sanksi jika melakukan pelanggaran tersebut, hal ini diterangkan pada pasal
4
Perkonsil KedokterannIndonesia
Nomor 4 Tahun 2011 tentanggDisiplin profesional dokter dan dokter
gigi yanggmelanggar
ketentuan dibebankan dengan
kewajiban penerapan sanksi dalam bentuk disiplin. Bentuk sanksi disiplin ini
diatur dalam kaidah hukum tertulis mengatur masalah praktik kedokteran
bentuk-bentuk sanksi disiplin meliputi hal-hal yaitu diberikannya peringatan
secara tertulis, atau rekomendasi pencabutannsurat tanda registrasi
/ surattizin
praktik, serta kewajibannmengikuti
pendidikan atauupelatihan
di institusi pendidikan kedokteran atauukedokteran gigi. Selain merupakannsalah satu
pelanggaran disiplinndokter,
dan dokter
gigi tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban asecara pidana dengan mengacu kepada kaidah norma praktik
kedokteran. Hukum telah mengaturnya secara jelas dan tegas menyangkut hal-hal
yang berkenaan dengan tindakan dokter atau dokter gigi dalam melakukan
pelayanan kesehatan, hal ini harus dapat dipahami dalam rangka upaya-upaya
pencapaian tujuan hukum yaitu keadilan para pihak, kepastian hukum serta
kemanfaatan hukum.�
Untuk mencegah terjadinya malpraktek atau tidak melaksanakan standar profesi, maka aparat penegak
hukum dalam hal ini pihak
kepolisian, Jaksa dalam menangani setiap pengaduan yang datangnya dari pasien, keluarga pasien, ataupun kuasa dari pasien,
maka sebelum diajukan ke muka
sidang pengadilan ia sudah dapat
menilai bahwa perkara yang diajukan adalah merupakan kesalahan yang didasari atas pelanggaran etik kedokteran dan aparat penegak hukum tersebut wajib memberitahukan kepada si pengadu
bahwa perkara ini akan diselesaikan
oleh Ikatan Dokter
Indonesia atau Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai
organisasi yang berwenang menanganinya apabila bukan pelanggaran pidana. Sedangkan atas pelanggaran hukum pidana diselesaikan
di pengadilan dengan bukti fisik (Nurdin, 2015).
Pemangku Kebijakan (Stakeholder) dalam
penanganan malpraktik untuk
pelayanan kesehatan gigi,
diantaranya Pemerintah Daerah setempat melalui Dinas Kesehatan dan Organisasi
Profesi. Berdasarkan proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, dipengaruhi oleh
environmental law lembaga pembuat
aturan adalahhpemerintah, dinas kesehatan, dan
organisasi profesi. Pemangku kepentingan yaitu Dinas Kesehatan harus melakukan
upaya-upaya menerapkan fungsi pengawasan dan pembinaan dokter dan dokter gigi
dilakukannoleh Pemerintah Daerah yaitu Dinas
Kesehatan. Terdapat dua bentuk pengawasaan yang dilakukan yaitu pengawasan
langsung danntidak langsung.
Dinas Kesehatan memiliki tugas untuk melakukan pengawasan
tersebut, sebuah proses kebijakan tahap awal perumusan kebijakan, selanjutnya
implementasi kebijakan, tahapan berikut monitoring serta tahapan evaluasi harus
dilakukan secara berkesinambungan dalam konteks membangun proses pemberian
pelayanan kesehatan dengan
tetap menjunjung tinggi mengutamakannkeselamatan dokter
dan pasien.
Kesimpulan
Secara
umum dokter gigi sudah mengetahui aturan batasan kewenangan dalam
melakukan perawatanngigi terutama
dibidang ortodonti, namun tetap melanggar
aturan tersebut. Dengan tanpaaadanya kompetensi
dan kewenangan
yanggdimiliki
dokter gigi serta tidak
dilakukan rujukan kepada dokter gigi spesialis ortodonti yang lebih
berkompetensi, dokter gigi tersebut dapat dikenakan sanksi disiplin dan dapat
dikenai pertanggungjawaban secaraapidana.
Pemangku kepentingan harus melakukan pembinaan dan pengawasan secara
berkesinambungan, hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir
kemungkinan-kemungkinan oleh sebab pelayanan kesehatan yang diberikannya,
misalnya terjadinya malpraktek.
BIBLIOGRAFI
Ardhana, Wayan. (2013). Identifikasi Perawatan
Ortodontik Spesialistik dan Umum. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia, 20(1),
1�8.
Ardyan, Gilang Ramadhan. (2010). Serba Sebi Kesehatam Gigi dan Mulut. Jakarta:
Bukune�.
Arthani, Ni Luh Gede Yogi, & Citra, Made Emy Andayani. (2013).
Perlindungan hukum bagi pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan yang
mengalami malpraktek. Jurnal Advokasi, 3(2), 206�214.
Hanafiah, Muhammad Jusuf, & Amir, Amri. (2019). Etika Kedokteran
& Hukum Kesehatan. EGC.
Hansu, Christy, Anindita, P. S., & Mariati, Ni Wayan. (2013).
Kebutuhan perawatan ortodonsi berdasarkan index of orthodontic treatment need di
SMP Katolik Theodorus Kotamobagu. E-GiGi, 1(2).
Indonesia, Republik. (2004). Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Jakarta: Republik Indonesia.
Indonesia, Republik. (2009). Undang-undang Republik Indonesia nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta Republik Indones.
Isfandyarie, Anny. (2005). Malpraktek dan resiko medik dalam kajian
hukum pidana. Prestasi Pustaka Publisher.
Karki, Saujanya, Parajuli, Umesh, Kunwar, Nischal, Namgyal, Kunsang, &
Wangdu, Khamsum. (2014). Distribution of malocclusion and occlusal traits among
Tibetan adolescents residing in Nepal. Orthodontic Journal of Nepal, 4(2),
28�31.
Nurdin, M. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Atas Korban Malpraktek
Kedokteran. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 10(1), 92�109.
Rompis, Michelle Gabriele Monica. (2017). perlindungan hukum terhadap
dokter Yang diduga melakukan medical malpraktik. Lex Crimen, 6(4).
Sri, Praptianingsih. (2006). Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan
Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutrisno, Endang, & Rahayu, Riris Eka Sri. (2017). Budaya Hukum Dokter
Gigi dalam Pelimpahan Wewenang dan Konsekuensi Hukumnya. Kanun Jurnal Ilmu
Hukum, 19(3), 399�417.