Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 8,
Agustus 2020
EVALUASI PROFIL PENGOBATAN DAN OUTCOME KLINIS PENGGUNAAN INSULIN ANALOG PADA PASIEN BPJS� DM TIPE 2 DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA
Rosdaniati, Yusi Anggriani, Hesty Utami R. dan Tri Kusumaeni
Magister Farmasi Universitas Pancasila Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected] dan [email protected]
Abstract
Insulin
is used to lower blood glucose and HbA1C levels and can reduce microvascular
complications. The purpose of this study was to determine the profile of
treatment, the factors that influence the choice of insulin therapy and to
determine the differences in clinical outcomes of patients with type 2 diabetes
mellitus who use insulin at the Friendship Hospital. This study is a
retrospective study, which was conducted using a longitudinal time series. The
population was BPJS type 2 DM patients at the Friendship Hospital for the
period January 2017-December 2018 totalling 1,100
patients. A sample of 285 was taken using the Krecjie
Morgan formula. Data comes from medical records in the Hospital Pharmacy Installation
using a questionnaire and processed and analyzed with SPSS version 23. The most
commonly prescribed oral DM drug is a sulfonylurea. Non-DM drugs that are often
prescribed are heart drugs. The insulin that is often used by type is Humalog
insulin, the brand is Humalog Mix and based on its work is intermediate-acting
analogue insulin. Based on clinical outcomes, clinical outcomes of GDP, GDPP
and HbA1C in patients aged ≤ 60 years or> 60 years are generally
uncontrolled/poor. Based on the results of the Kruskal Walls test, in the GDP
outcome, there was a significant difference between insulin groups (at least
one pair of groups were significantly different) on the GDP outcome. In the
GDPP and HbA1C outcomes, there was no significant difference between the
insulin groups on the GDPP and HbA1C outcomes. Based on the results of the Mann
Whitney test, with 28 groups of insulin partners, the clinical outcome value of
GDP was significantly different, namely the comparison of therapy between
fast-acting insulin and intermediate-acting insulin analogues, as well as
between fast-acting insulin and insulin combinations, both combinations using 2
types of insulin. analogues, or a combination of analogue insulin and ADO. In
the clinical outcome test, GDPP was significantly different in the comparison
of therapy between fast-acting insulin and long-acting insulin with a
combination of intermediate-acting insulin and ADO. The HbA1c results showed no
difference in the therapeutic use of various types of insulin.
Keywords: Insulin; DM drugs; non DM
drugs; Diabetes Mellitus
Abstrak
Insulin digunakan untuk menurunkan glukosa darah dan
kadar HbA1C serta dapat mengurangi komplikasi mikrovaskular. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui profil pengobatan, faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam pemilihan terapi insulin dan untuk mengetahui perbedaan outcome klinis
pasien diabetes melitus tipe 2 yang menggunakan insulin di RSUP Persahabatan. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif, yang dilakukan secara longitudinal
time series. Populasi adalah pasien BPJS DM tipe 2 RSUP Persahabatan periode Januari 2017-Desember 2018 sejumlah 1.100 pasien. Sampel sebanyak 285 diambil dengan rumus Krecjie Morgan. Data berasal dari rekam medis di Instalasi Farmasi Rumah Sakit menggunakan formulir isian dan kuesioner dan diolah serta
dianalisa dengan SPSS versi 23.
Obat DM oral yang banyak diresepkan adalah
Sulfonilurea. Obat non DM yang sering
diresepkan adalah obat jantung. Insulin yang sering digunakan
berdasarkan jenis adalah insulin Humalog, merk adalah Humalog Mix dan berdasarkan kerja
adalah Insulin analog intermediate acting.
Berdasarkan outcome klinik, �outcome
klinik GDP, GDPP dan HbA1C pada pasien usia ≤ 60 tahun atau� > 60 tahun secara umum termasuk tidak terkendali/buruk. Berdasarkan hasil uji
Kruskall Walls, pada
outcome GDP ada perbedaan yang signifikan diantara golongan insulin
(minimal ada satu pasang golongan yang berbeda nyata) terhadap outcome GDP. Pada outcome
GDPP dan HbA1C tidak ada perbedaan yang signifikan diantara golongan insulin terhadap outcome
GDPP dan HbA1C. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney, dengan 28
kelompok pasangan insulin, diperoleh hasil nilai outcome klinik GDP berbeda nyata yaitu pada perbandingan terapi antara insulin fast acting dengan
insulin analog intermediate acting, begitupun antara insulin fast acting dan kombinasi
insulin, baik kombinasi
yang menggunakan 2 macam
insulin analog, maupun kombinasi
antara insulin analog dan ADO. Pada uji nilai outcome klinik GDPP berbeda nyata pada perbandingan terapi antara insulin fast acting maupun
insulin long acting dengan kombinasi
insulin intermediate acting dan ADO. Pada hasil HbA1c
menunjukkan tidak ada perbedaan penggunaan
terapi berbagai jenis insulin.
Kata kunci : Insulin, obat DM; obat non DM; Diabetes Mellitus
Pendahuluan
Indonesia
mengalami pergeseran pola penyakit dari
penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya status sosial dan ekonomi, pelayanan kesehatan masyarakat, perubahan gaya hidup, bertambahnya umur harapan hidup.
Salah satu jenis penyakit tidak menular yang selalu mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun adalah diabetes
mellitus (Hastuti RT.,2008, Andayani TM.,2006). Dari
pengukuran yang dilakukan Riset kesehatan dasar (RIKESDAS) tahun 2018, rata-rata pasien
yang terdiagnosa DM pada semua
umur sebesar 1,5%(Widodo C,dkk,2016, Riskesdas,2018).
Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya manusia dan berdampak pada produktivitas. Berdasarkan penyebabnya penyakit kronis ini dibagi menjadi
dua tipe, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. Diabetes tipe 2 adalah bentuk diabetes yang
paling umum dan paling banyak
prevalensinya. Hampir
200 juta orang dengan
diabetes tidak terdiagnosis. Oleh
karena itu, lebih berisiko mengembangkan komplikasi, yang termasuk gagal ginjal, kebutaan, amputasi, penyakit jantung dan stroke, sehingga berpotensi meningkatkan biaya perawatan dan menurunkan kualitas hidup (Baroroh F,dkk,2016, IDF,2017).
Untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM, dilakukan terapi non farmakologi dan farmakologi. Terapi farmakologi yang diberikan untuk pengobatan DM tipe 2 terdiri dari obat
oral dan bentuk suntikan. Obat antihiperglikemik oral antara lain: pemicu sekresi insulin (sulfonilurea, glinid), peningkat sensitivitas terhadap insulin (meformin, TZD), penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan (penghambat alfa glukosidase, penghambat DPP IV, penghambat
SGLT-2). Obat antihiperglikemik
suntik antara lain insulin,
agonis GLP-1, dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1 (Ndraha S.,2014)
.
Insulin
digunakan untuk pengobatan DM tipe 1 dan DM tipe 2, pada pasien DM tipe 2
terapi insulin digunakan untuk menurunkan glukosa darah dan bisa digunakan
untuk menurunkan kadar HbA1C sesuai target yang diinginkan, serta dapat mengurangi
komplikasi mikrovaskular. Saat
ini di Indonesia terdapat beberapa jenis insulin, Berdasarkan onset kerjanya,
insulin dapat dibedakan menjadi empat tipe,
yaitu insulin kerja cepat (rapid acting),
insulin kerja pendek (short acting), insulin kerja menengah (intermediate acting) dan insulin kerja panjang (long acting) (Rosdiana D.,2014)
.
Dari uraian
tersebut, dalam terapi pasien DM tipe 2, jenis insulin yang digunakan akan berpengaruh terhadap biaya dan hasil terapi. Salah satu tolak ukur dalam
pencapaian terapi adalah outcome klinis, yaitu gambaran
suatu keberhasilan terapi yang dapat dilihat pada pasien setelah mendapatkan perawatan atau pengobatan. Menurut Food and Drug
Administration (FDA), penilaian Outcome klinis dilakukan
berdasarkan gejala, kondisi mental, dan pengaruh penyakit terhadap aktivitas pasien (FDA, 2013)
.
Rumah Sakit Umum
Pusat Persahabatan (disingkat RSUP Persahabatan) merupakan rumah sakit tipe A
yang terletak di Jakarta Timur dengan jumlah pasien DM di Rumah sakit ini cukup
tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang Analisis Penggunaan Insulin
Pada Pasien Umum dan BPJS DM Tipe 2 di RSUP Persahabatan. Tujuan dilakukan
penelitian ini adalah Untuk mengetahui penggunaan� insulin analog pada pasien DM type 2, untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan terapi insulin dan untuk
mengetahui perbedaan outcome klinis
pasien diabetes melitus tipe 2 yang menggunakan insulin di RSUP Persahabatan.
Metode Penelitian
Penelitian
yang dilaksanakan merupakan
penelitian retrospektif,
yang dilakukan secara longitudinal time series yaitu pengumpulan data yang memerlukan lebih dari satu tahap
pengumpulan data pada saat
yang berbeda dan data penelitian
berupa rentetan waktu. Pengambilan data dari rekam medis
yang berasal dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Populasi
dalam penelitian ini merupakan pasien
umum dan BPJS DM tipe 2 RSUP
Persahabatan periode
Januari 2016-Desember 2017 berjumlah
1.100 pasien. Pengambilan
sampel dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi menggunakan rumus Krecjie Morgan dan diperoleh sampel sebanyak
285 pasien.
Data yang dikumpulkan berupa data
demografi pasien, profil pengobatan, dan outcome
klinis
dengan menggunakan formulir yang diadopsi dari CRF
Kementerian Kesehatan Direktorat Pelayanan
Kefarmasian dan lembar kuesioner untuk wawancara para dokter spesialis penyakit dalam.
Data kemudian diolah
dan dianalisa secara deskriptif dan statistic dengan bantuan
SPSS versi 23. Penelitian ini juga merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan
dengan mewawancarai dokter spesialis penyakit dalam yang meresepkan insulin.
Hasil dan Pembahasan
1.
Karakteristik
Pasien
Data demografi� pasien DM Tipe 2 rawat jalan pengguna
insulin, menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah berjenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 52,63% (2017) dan 50,40% (2018). Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil Riset Kesehatan Dasar� yang menyebutkan bahwa jumlah penderita
Diabetes terbanyak diderita oleh perempuan (Riskesdas,2013). Juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Inayah, dkk bahwa sampel pasien
DM type 2 di Rumah Sakit X Pekan Baru sebagian
besar adalah perempuan yaitu 55,6% dan laki-laki sebanyak 44,4% (Sari, Inayah,
& Hamidy, 2016). Penelitian berikutnya yaitu Ratnasari dan Bargah bahwa jenis kelamin
sampel pasien DM type 2 dari RSU Negara sebagiaan besar perempuan (50,8%) (Ratnasari
& Bhargah, 2018). Perbedaan jenis kelamin dalam distribusi
lemak tubuh berkaitan erat dengan resistensi
insulin, hal ini disebabkan karena perempuan memiliki lebih banyak lemak subkutaneus yang berhubungan dengan peningkatan sensitifitas terhadap insulin. (Eliza B Geer WS.,2010)� Sedangkan bentuk anatomis, fisiologis dan sistem hormonal yang berbeda juga
dapat menimbulkan terjadinya perbedaan insiden penyakit. Selain itu dapat
disebabkan oleh perbedaan jenis pekerjaan, kebiasaan dan pola makan. (Noor N.,2008).
Berdasarkan usia pasien, yang paling banyak
pada usia 55-64 tahun, sebesar 31,10% (2017) dan 34,40% (2018), hal ini sesuai dengan hasil
dari Riskesdas tahun 2018 dimana jumlah penderita DM terbanyak pada usia 55-64 tahun (Riskesdas,2013). Sejalan juga dengan penelitian Ayu nindi dkk yang menyebutkan bahwa jumlah kasus
terbanyak penderita DM tipe 2� pada usia 55-64 tahun. dalam hal ini
tidak hanya faktor fisiologis saja yang mempengaruhi kelompok usia tua
mengidap penyakit DM tipe 2, faktor lingkungan juga mempengaruhi kejadian� DM tipe 2 (Kistianita AN,Gayatri RW.,2018) Hal ini didukung juga oleh penelitian
yang dilakukan oleh Emma & Idris bahwa serangan dari DM tipe 2 pada orang dewasa lebih di-karenakan individu tersebut obesitas, mempunyai riwayat keturunan DM tipe 2, pola hidup yang tidak seha. (Emma,Wilmot & Idris I.,2014). �
Pada variabel diagnosa pasin DM tipe 2 diperoleh hasil yang paling banyak terjadi adalah dengan kode ICD-10 E11.8 (Non-Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus with Unspecified Complications), dengan
kejadian komplikasi terbanyak pada neuropati DM, yaitu sebesar 4,78 % pada tahun 2017
dan sebanyak 2,4% pada tahun 2018. Sedangkan untuk penyakit penyerta yang dialami oleh pasien DM pada penelitian ini adalah hipertensi,
yaitu sebesar 13.9% pada tahun 2017 dan 16.0 % pada tahun 2018. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Stanifer et.al. dimana ada keterkaitan
antara riwayat hipertensi dengan neuropati diabetic. Hipertensi dapat menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri menyebabkan
diameter pembuluh darah menyempit. Penyempitan pembuluh darah akan mempengaruhi pengangkutan metabolisme dalam darah, sehingga
kadar glukosa dalam darah akan
terganggu (Stanifer, J.W.,et.all,2016).
Dari karakteristik pendidikan pasien, yang paling banyak adalah pendidikan SMA yaitu sebesar 77,99 % (2017) dan 77,60% (2018), dan pekerjan pasien umumnya swasta. Pendidikan merupakan dasar utama keberhasilan
pengobatan, sehingga kemampuan serta pemahaman tentang managemen DM dinilai rendah. (Cai Le,,et.all.,2011)� Sedangkan untuk pasien DM pekerja memiliki jam kerja tinggi dengan jadwal
yang tidak teratur sehingga menjadi faktor penting dalam meningkatnya penyakit DM. �Selain itu lingkungan kerja yang kurang sehat dalam
hal ini dapat
mengakibatkan terganggunya jadwal makan dan tidur sehingga akan mengakibatkan kenaikan berat badan dan beresiko besar terkena DM. (Frank H.,2008).
Jumlah kunjungan
terbanyak pasien DM type 2 adalah 3-5 kali kunjungan yaitu pada tahun 2017
sebesar 43,54 % dan tahun 2018 sebesar 35,20%, jumlah kunjungan 9-11 kali pada
tahun 2017 sebesar 36,84% sedangkan tahun 2018 sebesar 32,00%. Dilihat dari banyaknya
jumlah kunjungan mengindikasikan bahwa kondisi pasien DM belum mengalami
kestabilan, sehingga diperlukan kontrol setiap bulannya, menurut penelitian
yang dilakukan oleh Valentina dkk, bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
kestabilan kondisi penyakit DM, yaitu kesibukan juga dapat mengakibatkan pasien
lupa minum obat. Selain itu, pasien mengaku lupa dikarenakan
bepergian dan lupa membawa obat, atau
kondisi dimana pasien merasa sehat
dan saat merasa tidak ada keluhan
(Srikart,Ika VM,dkk.,2011).
Sesuai
data yang diambil dari Rekam medik pasien
penggunaan insulin di RSUP Persahabatan
terbanyak ada pada golongan insulin intermediate acting (insulin analog
premix) dari tahun 2017 dan
2018. Penggunaan selanjutnya
disusul oleh insulin kerja panjang (insulin analog long acting) dan insulin kerja cepat (insulin analog fast
acting). Hasil ini berbeda dengan penelitian Luh Putu,dkk bahwa
insulin yang paling banyak digunakan
pada pasien DM type 2 di Kota Denparar
adalah golongan rapid
acting (Riskesdas,2018).
Berbeda pula penelitian Inayah,dkk yang banyak digunakan pada pasien di RS X Pekan Baru adalah
insulin golongan Short Acting (Hastuti RT.,2008).
Namun sejalan dengan penelitian Vitriana G.,dkk bahwa rata-rata dosis insulin
yang diguanakn paing banyak adalah golongan
premixed insulin (Ratnasari & Bhargah,
2018).
Menurut American
Diabetes Association (ADA) pada tahun 2018, pertimbangkan untuk memulai terapi insulin (dengan atau tanpa
obat tambahan) pada pasien DM tipe 2 baru terdiagnosis yang disertai gejala dan/atau memiliki kadar
HbA1c ≥ 10% (86 mmol/mol) dan/atau kadar gula darah
≥300 mg/dL (16,7 mmol/L) atau pada pasien yang sudah terdiagnosis DM tipe 2, bila target HbA1c tidak tercapai dalam 3 bulan penggunaan 3 obat antihiperglikemik oral. Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Insulin yang dipergunakan
untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal
(insulin kerja sedang atau panjang). Insulin basal biasanya disuntikkan di malam hari, dikombinasikan
dengan metformin atau terkadang agen non insulin lainnya (Ratnasari & Bhargah, 2018)
2.
Evaluasi Profil Pasien
a)
Jumlah
Kunjungan
Berdasarkan hasil jumlah kunjungan pasien diabetes melitus tipe 2 pengguna insulin pada tabel 1, persentase� kunjungan
tertinggi yakni pada tahun 2017 sebanyak 3-5 kali kunjungan sebesar 54,55 % dengan total pasien 114 orang.
Pada tahun 2018 terbanyak kunjungan 3-5 kali juga dengan
total pasien 64 orang atau
51,20%.
Tabel 1 Jumlah Kunjungan Rawat Jalan Pasien DM tipe 2 Pengguna Insulin Periode 2017-2018 di RSUP Persahabatan
Variabel |
Tahun 2017 |
Tahun 2018 |
||
Jumlah |
% |
Jumlah |
% |
|
Kunjungan <3 kali |
7 |
3.35 |
21 |
16.80 |
Kunjungan 3-5 kali |
114 |
54.55 |
64 |
51.20 |
Kunjungan 6-8 kali |
48 |
22.97 |
28 |
22.40 |
Kunjungan 9-11 kali |
28 |
13.88 |
12 |
9.60 |
Kunjungan ≥ 12 kali |
12 |
5.26 |
0 |
0.00 |
Hal ini menunjukkan bahwa masih belum stabilnya
kondisi pasien DM yang melakukan rawat jalan di RSUP Persahabatan, karena masih tingginya
jumlah kunjungan yang terjadi. Pasien yang melakukan kunjungan kurang dari 3 kali selama tahun 2017 dapat masuk kedalam
kriteria inklusi dan tetap dijadikan sampel pada penelitian ini, karena pasien
tersebut melakukan kunjungan juga di tahun 2018. �Dari
jumlah kunjungan yang masih tinggi, mengindikasikan
bahwa pasien DM masih rutin dalam
melakukan kontrol penyakitnya. Kondisi penyakit DM nya pun belum stabil, sehingga
diperlukan pemeriksaan rutin tiap bulan
oleh dokter penyakit dalam. Hasil ini sejalan dengan penelitian Vitriana G.,dkk bahwa rata-rata pasien menderita DM type2 adalah 6,3�4,36 tahun (Ratnasari & Bhargah, 2018), artinya bahwa semakin lama seorang pasien menderita DM typ2, maka kunjungannya semakin meningkat. Apabila kondisi gula darah pasien
DM ini sudah stabil maka bisa
dirujuk ke FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama)
untuk melanjutkan pengobatannya. (Dirut BPJS Kesehatan).
b)
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
1)
Hasil pemeriksaan laboratorium
berdasarkan psien yang menggunakan insulin
Setiap kali melakukan kunjungan
rawat jalan, pasien DM dilakukan pemeriksaan GDP (Gula darah puasa)
dan GDPP (Gula darah 2 jam setelah makan) serta pemeriksaan HbA1c meskipun tidak rutin diperiksa 3 bulan sekali. Gambar 1 dan 2 menunjukan hasil rata-rata dan
rentang pemeriksaan
GDP,GDPP dan HbA1c penggunaan insulin pasien DM tipe 2 periode tahun 2017-2018. Nilai
HbA1c rata-rata yang diperoleh pada penelitian ini diatas 9%, maka pasien memerlukan terapi insulin untuk pengobatan DM nya. Hal ini sesuai dengan
PERKENI tahun 2015 bahwa untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c ˃ 9, maka diperlukan terapi insulin (Perkumpuan
Endrokinologi Indonesia, 2015). Untuk pasien yang kadar HbA1c nya ˂ 9 merupakan pasien
yang sudah lama berobat atau pasien yang melakukan kontrol setelah rawat inap.
Rata-rata kadar GDP yang paling tinggi 187,62 mg/dL
sedangkan rata-rata GDP yang paling rendah 138,53 mg/dl.
Hal ini masih menunjukan tingginya kadar gula darah
pasien, sehingga diperlukannya insulin sebagai terapi pengobatan. Kadar
rata-rata GDPP yang paling tinggi 290,39 mg/dl sedangkan rata-rata GDPP yang paling rendah
211,88 mg/dl, hal ini menunjukkan bahwa kadar gula darah
pasien 2 jam sesudah makan masih belum
stabil, sehingga masih diperlukan kontrol rutin setiap
bulannya ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Hasil
ini sejalan dengan penelitian Vitriana G., dkk bahwa kadar GDP dan GDPP pasien DM type 2 masih dalam katagori buruk (GDP 72% dan GDPP 75%). Hal ini
berhubungan dengan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan insulin pada pasien diantaranya, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan terhadap penyakit, kepatuhan berobat, dan pengaturan dosis insulin yang belum maksimal. Salah satu penyebab utama pengaturan dosis yang tidak optimal dikarenakan adanya komplikasi akut berupa hipoglikemi
yang dapat menyebabkan kematian (Ratnasari & Bhargah, 2018).
2)
Hasil pemeriksaan laboratorium berdasarkan jenis insulin
Kadar GDP dan GDPP serta hasil perhitungan
HbA1C pasien DM type 2 dikatagorikan
menurut jenis insulin yang digunakan disajikan pada gambar 3 dan gambar
4.
Gambar 1.
Rata-rata hasil Laboratorium
Pasien DM Type 2 Pengguna
Insulin Periode 2017-2018
Gambar 2.
Rata-rata hasil Perhitungan
HbA1C Pasien DM Type 2 Pengguna
Insulin Periode 2017-2018
�
Gambar 3.
Rata-rata hasil Laboratorium
Pasien DM Type 2 Pengguna
Insulin Tunggal dan Kombinasi Periode
2017-2018
Gambar 4.
Rata-rata hasil Perhitungan
HbA1C Pasien DM Type 2 �Pengguna
Insulin Tunggal dan Kombinasi Periode
2017-2018
Berdasarkan
gambar 3.
hasil pemeriksaan laboratorium GDP dan GDPP berdasarkan
jenis insulin diperoleh bahwa pada tahun 2017, rata-rata nilai GDP sebesar 165 mg/dL pada
insulin analog tunggal dan 169 mg/dL pada insulin
analog kombinasi. Rata-rata nilai
GDP tertinggi pada insulin analog tunggal
pada bulan Februari 2017 yaitu 183 mg/dL dan terendah pada
bulan Desember 2017 yaitu 151 mg/dL. Untuk jenis insulin analog kombinasi,
rata-rata nilai GDP tertinggi
pada bulan Februari 2017 sebesar 204 mg/dL dan terendah
pada bulan Juni 2017 sebesar 139 mg/dL. Rata-rata Nilai GDPP tahun
2017 sebesar 250 mg/dL pada insulin analog tunggal dan 251 mg/dL pada insulin analog kombinasi. Rata-rata nilai GDPP tertinggi pada insulin analog tunggal
pada bulan Januari 2017 yaitu 287 mg/dL dan terendah pada
bulan Desember 2017 yaitu 230 mg/dL. Untuk jenis insulin analog kombinasi,
rata-rata nilai GDPP tertinggi
pada bulan Januari 2017 sebesar 307 mg/dL dan terendah
pada bulan Mei 2017 sebesar
218 mg/dL.
Pada tahun 2018,
rata-rata nilai GDP sebesar
160 mg/dL pada insulin analog tunggal dan 157 mg/dL
pada insulin analog kombinasi. Rata-rata nilai GDP tertinggi pada insulin
analog tunggal pada bulan Januari 2018 yaitu 172 mg/dL dan terendah pada bulan Desember 2018 yaitu 142 mg/dL. Untuk jenis insulin analog kombinasi, rata-rata nilai GDP tertinggi pada bulan November
2018 sebesar 177 mg/dL dan terendah
pada bulan Desember 2018 sebesar 139 mg/dL. Rata-rata Nilai GDPP tahun
2018 sebesar 240 mg/dL pada insulin analog tunggal dan 239 mg/dL pada insulin analog kombinasi. Rata-rata nilai GDPP tertinggi pada insulin analog tunggal
pada bulan Agustus 2018 yaitu 263 mg/dL dan terendah pada
bulan Desember 2018 yaitu 214 mg/dL. Untuk jenis insulin analog kombinasi, rata-rata
nilai GDPP tertinggi pada bulan November 2018 sebesar 272
mg/dL dan terendah pada bulan
Desember 2018 sebesar 212
mg/dL
Berdasarkan
gambar 4.
hasil perhitungan HbA1C berdasarkan jenis insulin diperoleh bahwa pada tahun 2017, rata-rata nilai HbA1C
sebesar 9,0 pada insulin analog tunggal
dan 9,0 pada insulin analog kombinasi. Rata-rata nilai HbA1C tertinggi pada
insulin analog tunggal pada bulan
November 2017 yaitu 12,5 dan terendah
pada bulan September 2017 yaitu
7,15. Untuk jenis insulin
analog kombinasi, rata-rata nilai
HbA1C tertinggi pada bulan
November 2017 sebesar 11 dan terendah
pada bulan Juni 2017 sebesar 7,7.
Pada tahun 2018,
rata-rata nilai HbA1C sebesar
9,0 pada insulin analog tunggal dan 7,0 pada insulin
analog kombinasi. Rata-rata nilai
HbA1C tertinggi pada insulin analog tunggal pada bulan April 2018 yaitu 12,0 dan terendah pada bulan Maret 2018 yaitu 7,2. Untuk jenis insulin analog kombinasi,
rata-rata nilai HbA1C tertinggi
pada bulan Juni 2018 sebesar 10,77 dan terendah pada bulan Agustus 2018 sebesar 6,8.
3.
Evaluasi
Penggunaan Obat
a)
Jumlah Obat
1)
Jumlah rata-rata obat per pasien
Hasil penelitian
tentang jumlah rata-rata
item obat yang diterima pasien DM tipe 2 di poli rawat jalan
RSUP Persahabatan pada tahun
2017-2018 didapat rata-rata obat yang diperoleh
pasien DM tipe 2 paling banyak 9 obat untuk
obat non DM. Untuk obat DM, jumlah rata-rata terbanyak 1 obat. Makin banyak obat yang diterima menunjukkan bahwa pasien DM type 2 memiliki penyakit penyerta. Hasil ini juga dapat ditafsirkan bahwa pasien DM Type 2 RSU Persahabatan
sebagian besar mendapatkan terapi dengan insulin.
2)
Jumlah Obat Berdasarkan Penyakit Penyerta
Perbandingan jumlah obat
yang diterima pasien secara umum sama
dengan jumlah penyakit penyerta yang diderita. Adapun rata-rata jumlah
obat yang diterima berdasarkan jumlah penyakit penyerta disajikan pada gambar 5. �Pada gambar 5. terlihat bahwa apabila pasien mengalami peningkatan penyakit penyerta, maka jumlah obat
yang akan diterima oleh pasien menjadi lebih banyak. Pasien
yang tidak memiliki penyakit penyerta menerima 4 item obat yang terdiri dari insulin analog 1
item dan obat non DM 3 item obat.
Gambar 5. Jumlah rata-rata item obat pasien DM tipe2 pengguna insulin berdasarkan penyakit penyerta
Pasien yang memiliki 1 penyakit
penyerta menerima 5 item obat yang terdiri dari 1 item� insulin
dan 4 item obat non DM. Sedangkan
pasien dengan 2 penyakit penyerta menerima 5 item obat yang terdiri dari 2 item insulin dan 3
item obat non DM. Komplikasi yang dialami mengakibatkan kerusakan jangka panjang termasuk disfungsi dan kegagalan berbagai organ tubuh, keterbatasan baik dari segi
fisik, psikologis bahkan sosial, penyakit penyerta yang� diderita antara lain� TBC, Neuropati, gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipertensi dan penyakit jantung (Wahyu Ningtyas D,dkk,2013).
Hasil
ini sejalan dengan penelitian Vitriana G,dkk
bahwa sebagian besar subyek pasien
DM type 2 menderita komplikasi.
Komplikasi yang terjadi
pada sampel dibagi menjadi komplikasi mikroangiopati dan makroangiopati.
Komplikasi mikroangiopati terbanyak adalah neuropati diabetik (37 orang,
20,9%) dan komplikasi makroangiopati
terbanyak adalah penyakit jantung koroner (51 orang, 28,8%) (Ratnasari & Bhargah,
2018).
3)
Proporsi Obat DM dan Obat Non DM
Proporsi penggunaan obat DM maupun non
DM dalam penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata peresepan untuk insulin 58,75%, obat oral DM sebesar 5,53 %, dan obat oral non
DM sebesar 35,72%. Dari data tersebut
pasien DM tipe 2 rawat jalan mendapatkan
terapi obat oral non DM lebih banyak
dari obat oral DM. Hal ini berkaitan dengan
penyakit penyerta ataupun komplikasi yang diderita oleh pasien tersebut. Obat-obatan non DM yang paling sering
diresepkan adalah obat-obat jantung, obat kolesterol, dan obat hipertensi sebagaimana disajikan tabel 2. dan Gambar 6.Hal ini sesuai dengan
ADA 2010 dimana penyakit DM
dapat mengakibatkan kegagalan organ tubuh seperti jantung, pembuluh darah, sistem saraf, ginjal
(Melitus D.,dkk,2017).
Tabel 2 �Prosentase Jenis Obat
Non DM yang digunakan pada pasien
DM tipe 2 Pengguna Insulin tahun 2017- 2018
Jenis Obat |
Proporsi |
Anti fungi |
0,57% |
Anti koagulan |
0,68% |
Anti Parkinson |
0,68% |
Anxiolitik |
0,68% |
Tiroid |
0,90% |
Antihistamin |
2,71% |
Neurotropik |
2,71% |
Obat saluran pencernaan |
2,71% |
Urin alkali |
2,71% |
Antibiotik |
3,05% |
Obat TBC |
3,39% |
Gout |
4,30% |
Analgetik/antipiretik |
4,41% |
Obat pencernaan |
9,84% |
Vitamin |
9,95% |
Obat kolesterol |
11,20% |
Hipertensi |
16,06% |
Obat jantung |
23,42% |
Gambar 6 Proporsi Jenis
Obat non DM Pasien
Type 2 yang Menggunakan insulin Periode
2017-2018
4)
Golongan
Obat Anti Diabetik Oral
�Untuk
terapi pengobatan pasien DM tipe 2 menurut Perkeni 2015 menyebutkan bahwa jenis obat anti diabetes oral
yang digunakan adalah golongan glucosidase inhibitor, sulfonylurea, biguanid Prosentase jenis obat diabetes oral yang digunakan pada pasien DM tipe 2 tahun 2017-2018 dapat dilihat pada tabel 3. Dalam penelitian ini obat diabetes oral yang penggunaannya dikombinasi dengan insulin adalah golongan glucosidase inhibitor, sulfonilurea,
dan biguanid.. Golongan obat
yang paling banyak digunakan
adalah Sulfonilurea yaitu sebesar 42,9%.�
Tabel 3
Prosentase obat Diabetes Oral yang digunakan pasien DM tipe 2 pengguna insulin tahun 2017-2018.
Golongan |
Nama Obat |
Prosentase |
1.
Glucosidase
inhibitor |
Acarbose |
21,4% |
2.
Sulfonilurea |
Glibenclamid |
3,6% |
Glimepiride |
25,0% |
|
Gliquidone |
14,3% |
|
3.
Biguanid |
Metformin |
35,7% |
5)
Proporsi penggunaan insulin
a)
Peresepan insulin berdasarkan jenis insulin
Insulin yang digunakan sebagai terapi dalam penelitian
ini hanya insulin analog, tidak ditemukan data insulin manusia sebagai terapi, dari tahun
2014 baik data di medical record maupun
di instalasi farmasi. Penggunaan jenis insulin berdasarkan jenis insulin di RSUP
Persahabatan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 Penggunaan jenis
insulin di RSUP Persahabatan berdasarkan
�Jenis Insulin
Jenis Insulin |
Tahun 2017 |
Tahun 2018 |
||||||
N |
% |
K |
% |
N |
% |
K |
% |
|
Apidra |
1 |
1% |
13 |
1% |
1 |
1% |
6 |
1% |
Humalog |
45 |
46% |
537 |
46% |
22 |
45% |
262 |
45% |
Lantus |
5 |
5% |
64 |
5% |
1 |
2% |
14 |
2% |
Levemir |
6 |
6% |
76 |
6% |
3 |
7% |
41 |
7% |
Novo rapid |
5 |
5% |
64 |
5% |
0 |
0% |
0 |
0% |
Novomix |
14 |
14% |
164 |
14% |
10 |
20% |
116 |
20% |
Humalog dan Lantus |
4 |
4% |
50 |
4% |
2 |
3% |
19 |
3% |
Humalog dan Levemir |
2 |
2% |
27 |
2% |
3 |
5% |
30 |
5% |
Humalog dan Novomix |
1 |
1% |
7 |
1% |
0 |
0% |
0 |
0% |
Lantus dan Apidra |
3 |
3% |
37 |
3% |
1 |
2% |
14 |
2% |
Lantus dan Novorapid |
5 |
5% |
59 |
5% |
3 |
5% |
30 |
5% |
Levemir dan Novorapid |
5 |
5% |
59 |
5% |
3 |
5% |
32 |
5% |
Novomix dan Lantus |
1 |
1% |
6 |
1% |
1 |
3% |
16 |
3% |
Novomix dan Levemir |
1 |
1% |
6 |
1% |
0 |
1% |
5 |
1% |
Humalog dan Glimepiride |
0 |
0% |
3 |
0% |
0 |
0% |
0 |
0% |
Novomix dan Acarbose |
0 |
0% |
5 |
0% |
0 |
0% |
0 |
0% |
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan
bahwa jenis insulin yang sering digunakan pada pasien DM type 2 adalah insulin
Humalog sebesar 46% dari
total pasien atau 46% dari total kunjungan di tahun 2017 dan 45% dari total pasien atau 45% dari total kunjungan pasien.
b)
Peresepan jenis insulin berdasarkan trend
merk
Peresepan insulin berdasarkan merk yang digunakan
di RSUP Persahabatn pada tahun
2017 maupun tahun 2018 yang
paling banyak digunakan adalah merk Humalog Mix yaitu pada
tahun 2017 sebesar 45,62%
dan pada tahun 2018 44,79%. Merk insulin ini merupakan insulin analog
intermediate acting yang diproduksi oleh perusahaan di Indonesia, banyaknya jumlah pemakaian insulin ini karena lebih
mudah dalam hal penggunaannya.
c)
Peresepan jenis insulin berdasarkan lama kerja
Peresepan insulin berdasarkan lama kerja yang digunakan di RSUP Persahabatn dari tahun 2017 sampai tahun 2018, dapat dilihat pada tabel 6. Berdasarkan lama kerja insulin seperti yang disajikan tabel 6 terlihat bahwa insulin analoh intermediate acting adalah
insulin yang paling banyak digunakan.
Pada tahun 2017 sebanyak
59% dari total pasien atau 61% dari total kunjungan dan pada tahun 2018 sebanyak 62% dari total pasien atau 62% dari total kunjungan.
4.
Outcome Klinik
Tujuan dari pengobatan DM tipe 2 yaitu mencapai
kendali glukosa yang baik, dalam hal
ini kondisinya stabil sesuai dengan
yang diharapkan. Parameter untuk
menilai kestabilan penyakit DM dilakukan pemeriksaan GDP (gula darah puasa), GDPP (gula darah post prandial) dan
HbA1C. �Rata-rata hasil outcome klinik GDP untuk pasien usia
≤60 tahun untuk yang terkendali baik adalah 8,3%, untuk yang terkendali sedang adalah 13,6%, dan yang tidak terkendali buruk 47,7%. Untuk outcome klinik GDP pasien >60 tahun yang terkendali baik sebesar 3,6%, untuk terkendali sedang sebesar 5,9%, dan untuk tidak terkendali buruk sebesar 20,5%. Untuk rata-rata
outcome GDPP pasien usia
<60 tahun untuk yang terkendali baik adalah 4,5%, yang terkendali sedang sebesar 11,6%, dan untuk yang tidak terkendali buruk sebesar 53,7%. Untuk outcome klinik rata-rata pasien usia > 60 tahun yang terkendali baik sebesar 2,0%, yang terkendali sedang sebesar 5,0%, dan untuk yang tidak terkendali buruk sebesar 23,0%.
Untuk rata-rata
outcome HbA1c, pasien usia <60 tahun
untuk terkendali baik adalah 0,2 %, terkendali sedang 1,1%, dan yang tidak terkendali buruk sebesar 11,2%. Untuk outcome rata-rata pasien usia >60 tahun yang terkendali baik sebesar 0,1%, terkendali sedang 0,5%, dan untuk yang tidak terkendali buruk sebesar 4,8%.
5.
Uji
Beda Outcome Klinik
Hasil
perhitungan Uji beda
outcome klinik menggunakan
Uji Beda Kruskal Wallis menggunakan SPSS versi 23.
Berdasarkan
uji Kruskall Walls pada outcome GDP, nilai P value (Sig.) sebesar 0,05
(sig.� 0,05) artinya
Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
yang signifikan diantara golongan insulin (minimal ada satu pasang golongan
yang berbeda nyata) terhadap outcome GDP pasien DM
type 2 di RSU Persahabatan. Berdasarkan
analisis uji Kruskall Walls
pada outcome GDPP diperoleh
nilai P value (Sig.) sebesar
0.282 (Sig. >0.005) artinya Ho diterima
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan diantara golongan insulin. terhadap
outcome GDPP pasien DM type 2 di RSU Persahabatan. Berdasarkan analisis uji Kruskall Wallis pada
outcome HbA1c diperoleh nilai
P value (Sig.) sebesar 0.672 (Sig. <0.005) artinya Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan diantara golongan insulin terhadap outcome
HbA1c pasien DM type 2 di RSU Persahabatan.
Tabel 6 Penggunaan jenis insulin di RSUP Persahabatan
berdasarkan Lama Kerja
No. |
Golongan
Insulin |
Tahun
2017 |
Tahun
2018 |
||||||
N |
% |
K |
% |
N |
% |
K |
% |
||
1. |
Insulin Analog |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a. Insulin analog fast acting |
13 |
6% |
59 |
5% |
2 |
2% |
3 |
1% |
|
b. Insulin analog intermediate acting |
127 |
59% |
723 |
61% |
80 |
62% |
362 |
62% |
|
c. Insulin analog long acting |
15 |
7% |
68 |
6% |
11 |
8% |
47 |
8% |
2. |
Kombinasi
Insulin analog |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a. Kombinasi Insulin analog intermediate acting dan ADO |
7 |
3% |
35 |
3% |
3 |
2% |
20 |
3% |
|
b. Kombinasi Insulin analog long acting dan ADO |
6 |
3% |
39 |
3% |
2 |
2% |
7 |
1% |
|
c. Kombinasi insulin analog long acting dan fast acting |
28 |
13% |
160 |
14% |
17 |
13% |
78 |
13% |
|
d. kombinasi insulin analog long acting dan intermediate acting |
16 |
7% |
86 |
7% |
15 |
12% |
69 |
12% |
|
e. Kombinasi insulin analog long acting, fast acting dan ADO |
2 |
1% |
7 |
1% |
0 |
0% |
0 |
0% |
N = Jumlah pasien
dan K= Jumlah Kunjungan
Uji
Mann Whitney adalah uji lanjut
dari Uji Kruskaal Wallis. Berdasarkan
hasil uji Mann Whitney, dengan
28 kelompok pasangan insulin,
diperoleh hasil nilai outcome klinik GDP berbeda nyata yaitu
pada perbandingan terapi antara insulin fast acting dengan
insulin analog intermediate acting, begitupun antara insulin fast acting dan kombinasi
insulin, baik kombinasi
yang menggunakan 2 macam
insulin analog, maupun kombinasi
antara insulin analog dan ADO. Pada uji nilai outcome klinik GDPP berbeda nyata pada perbandingan terapi antara insulin fast acting maupun
insulin long acting dengan kombinasi
insulin intermediate acting dan ADO. Pada hasil HbA1c
menunjukkan tidak ada perbedaan penggunaan
terapi berbagai jenis insulin.
Kesimpulan
Obat DM oral yang
banyak diresepkan adalah Sulfonilurea
sebesar 42,9%. Obat non DM yang sering diresepkan adalah obat jantung (23,42%). Insulin yang sering digunakan berdasarkan jenis adalah insulin Humalog, berdasarkan merk adalah Humalog Mix dan berdasarkan lama kerja adalah Insulin analog intermediate acting. Berdasarkan outcome klinik,� outcome klinik GDP, GDPP dan HbA1C pada pasien
usia ≤ 60 tahun atau� > 60 tahun
secara umum termasuk tidak terkendali/buruk. Ada
perbedaan yang signifikan diantara golongan insulin
(minimal ada satu pasang golongan yang berbeda nyata) terhadap outcome GDP. Namun tidak
ada perbedaan yang signifikan diantara golongan insulin terhadap outcome
GDPP dan HbA1C. Berdasarkan
hasil uji Mann Whitney, dengan
28 kelompok pasangan
insulin, diperoleh hasil nilai outcome klinik GDP berbeda
nyata yaitu pada perbandingan terapi antara insulin fast acting dengan
insulin analog intermediate acting, begitupun antara insulin fast acting dan kombinasi
insulin, baik kombinasi yang
menggunakan 2 macam insulin
analog, maupun kombinasi antara insulin analog dan ADO. Pada uji nilai
outcome klinik GDPP berbeda
nyata pada perbandingan terapi antara insulin fast acting
maupun insulin long acting dengan
kombinasi insulin intermediate acting dan ADO. Pada hasil HbA1c menunjukkan tidak ada perbedaan
penggunaan terapi berbagai jenis insulin.
BIBLIOGRAFI
Andayani, Tri Murti. (2006). Analisis biaya terapi Diabetes
mellitus Rumah Sakit Dr . Sardjito Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia,
17(3), 130�135.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar.
Baroroh, Faridah, Solikah, Wahyu Yuliana, & Urfiyya,
Qarriy Aina. (2016). Analisis biaya terapi Diabetes Melitus tipe 2 Di Rumah
Sakit Pku Muhammadiyah Bantul Yogyakarta. Jurnal Farmasi Sains Dan Praktis,
I(2), 11�22.
Cai Le, Dong Jun, Shuzhankun, Lu Yichun and Tao Jie. (2011).
Socioeconomic Difference In Diabetes Prevalence, Awarness, and Treatment in
Rurel Southwest China. Tropical Medicine and International Health, 16.
Direktur Utama BPJS Kesehatan. (n.d.). Panduan Praktis
Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN.
Eliza B Geer, Wei Shen. (2010). Gender Differences in insulin
Resistance, Body Composition and Energy, Supplemen 1. NIH.
Emma,Wilmot & Idris, Iskandar. (2014). Early Onset Type 2
Diabetes: Risk Factor, Clinical Impact, and Management. Therapeutic Advance
in Chronic Disease, 234�244.
FDA. (2013). Clinical Outcome Assesment Qualification
Program.
Frank, HU. (2008). Nutrisi & Epidemiologi. Harvard
School of Public Health.
IDF clinical practice recommendations for managing type 2
diabetes in primary care. (2017). In International Diabetes Federation
(Vol. 132).
Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan pengembangan
Kesehatan. (2018). Hasil Utama Laporan Riskesdas 2018.
Kistianita, Ayu Nindhi, & Gayatri, Rara Warih. (2018).
Analisis Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Usia Produktif Dengan
Pendekatan Who Stepwise Step 1 (Core / Inti) di Puskesmas Kendalkerep Kota
Malang. Preventia: The Indonesian J of Public Health, 3(1), 1�14.
Melitus, Diabetes, Di, Tipe, Wahidin, Rsup, & Oryza,
Rori. (2017). Sudirohusodo Makassar Profile of Antihypertension Treatment in
Diabetes Melitus Type 2 Patients At Rsup Dr . Wahidin Sudirohusodo Makassar .
Ndraha, Suzanna. (2014). Diabetes Melitus Tipe 2 Dan
Tatalaksana Terkini. Jurnal Keperawatan Klinis, 27(2), 1�8.
Noor, N. .. (2008). Epidemiologi Konsep Penyebab Penyakit
dan Hubungan Asosiasi.
Perkumpuan Endrokinologi Indonesia. (2015). Pengelolaan
dan pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia.
Ratnasari, Ni Luh Made Novi, & Bhargah, Agha. (2018). Pola
penggunaan insulin pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di poli penyakit dalam
RSU Negara Periode Juli�Agustus 2018.
Rosdiana, Dani. (2014). Penggunaan insulin basal dalam praktek
sehari-hari : Panduan praktis untuk dokter Umum. JIK, 2, 53�57.
Sari, Firni Dwi, Inayah, Inayah, & Hamidy, Muhammad
Yulis. (2016). Pola penggunaan obat anti hiperglikemik oral pada pasien
diabetes melitus tipe 2 rawat inap di Rumah Sakit X Pekanbaru tahun 2014.
Riau University.
Srikart, Ika, Valentina Meta, Cahya, Annisa Dwi, Suci, Ratna,
Hardiati, Wahyu, & Srikartika, Valentina Meta. (2015). Analisis Faktor Yang
Memengaruhi Kepatuhan Penggunaan Obat Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 the
Analysis of the Factors Affecting Medication Adherence in Patients. Jurnal
Manajemen Dan Pelayanan Farmasi, 206 Volume(2011), 205�212.
Stanifer, J.W., Cleland, C.R., Makuka, G.J.,Egger, R., Maro,
V., Maro, H., Barengo, C. (2016). Prevalence,risk factors, and complications
of diabetes in the Kilimanjaro Region. 1�13.
Tri Hastuti, Rini. (2008). Faktor-faktor Risiko Ulkus
Diabetika Pada Penderita Diabetes Mellitus (Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta). Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Wahyu Ningtyas, Dwi, Pudjo Wahyudi, Dr, Prasetyowati, Irma,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, MKes, & Jember Jln Kalimantan, Universitas
I. (2013). Analisis Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe II di RSUD
Bangil.
Widodo, Cahyono, Tamtomo, Didik, & Prabandari, Ari Natalia.
(2016). Hubungan aktifitas fisik , kepatuhan mengkonsumsi obat anti diabetik
dengan kadar gula darah pasien Diabetes Mellitus di Fasyankes primer Klaten. Jurnal
Sistem Kesehatan, 2(36), 63�69.