Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 5, No. 9, September 2020

�

PELAYANAN AKSESIBILITAS JALUR RAMAH DISABILITAS DI TROTOAR JALAN MARGONDA KOTA DEPOK

 

Bhakti Nur Avianto dan Syifa Nur Fauziah

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional Jakarta, Indonesia

Email: [email protected] dan [email protected]�

 

Abstract

One accessibility services provided by the government is providing physical access specifically for persons with disabilities. However, the accessibility for disabled people promised by the government in Depok City in practice still does not facilitate access to their movements, some of their lanes are used for parking motorized vehicles, garbage piles, and street vendors. Even many disability lines are damaged and not functioning properly. This study aims to determine the extent to which function public services to accessibility persons with disabilities on the sidewalk of Jalan Margonda, Depok City is optimally realized. The survey method is used to obtain a picture of accessibility services for people with disabilities. The results were obtained that the service disability pedestrian-lane on the sidewalk of Jalan Margonda, Depok City was still breaking down various obstacles and availability facilities were not yet said to be effective, disrupted by non-disabled activities used for trading, motorized parking, piles of rubbish, and the lack of government attention to efforts to repair and maintain. Therefore this pedestrian-lane is very unfriendly for people with disabilities both in terms of its ease and safety aspects. So that the rights of people with disabilities as Depok City society have not been fulfilled properly.

 

Keywords: Public service; accessibility; pedestrian-lane; diffable

 

Abstrak

Pelayanan aksesibilitas oleh pemerintah salah satunya memberikan akses dalam bentuk fisik khusus bagi penyandang disabilitas. Namun demikian, aksesibilitas bagi difabel yang dijanjikan pemerintah Kota Depok pada prakteknya tetap saja belum mempermudah akses pergerakan mereka, sebagian jalur digunakan untuk parkir kendaran bermotor, tumpukan sampah, dan pedagang kaki lima. Bahkan banyak jalur disabilitas yang rusak dan tidak berfungsi dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana fungsi pelayanan publik terhadap aksesibilitas penyandang disabilitas di trotoar Jalan Margonda Kota Depok terwujud secara optimal. Metode survei digunakan untuk memperoleh gambaran tentang pelayanan aksesilibilitas difabel. Hasilnya diperoleh bahwa pelayanan jalur ramah disabilitas di trotoar Jalan Margonda Kota Depok masih meretas berbagai kendala dan ketersediaan sarananya belum dikatakan efektif, terganggu oleh aktivitas non-difabel yang digunakan untuk berdagang, parkir kendaran bermotor, tumpukan sampah dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap upaya perbaikan serta pemeliharaan. Oleh karena itu jalur khusus ini sangat tidak ramah bagi kaum difabel baik dilihat dari aspek kemudahan dan aspek keamanannya. Sehingga hak kaum difabel sebagai masyarakat Kota Depok belum terpenuhi dengan baik.

 

Kata kunci: Pelayanan publik; aksesibilitas; jalur ramah disabilitas; difabel


 

Pendahuluan

Amanat Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 sebagaimana pasal 59 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana, harus menyediakan fasilitas dan aksesbilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia untuk masuk dan keluar dari bangunan gedung serta beraktivitas dalam bangunan gedung secara mudah, aman, nyaman, dan mandiri. Dilihat dari segi organisasi dapat dinilai� dari kualitas pelayanan yang diberikan, dari perkembangan di wilayah Kota Depok� yang� semakin meningkat� jumlah� pertumbuhan� penduduknya dan rumah tumbuh atau rumah tinggal yang bertambah sehingga semakin meningkatnya kebutuhan akan� pembangunan� fisik� di� wilayah� tersebut. (Muksin & Samsu, 2020). Fasilitas dan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi toilet, tempat parkir, telepon umum, jalur pemandu, rambu dan marka, pintu, ramp, tangga, dan lift bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan fungsi, luas, dan ketinggian bangunan gedung. Bentuk birokrasi pemerintah yang hierarki yang selama ini menjadi model dalam menjalankan layanan publik� perlu� diubah� dengan� pendekatan baru, yaitu sistem pemerintahan responsif dengan melibatkan pemerintah,� masyarakat sipil dan sektor swasta (Falaq & Wibowo, 2020)

Bersumber data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat jumlah penyandang disabilitas Kota Depok tahun 2016 sebanyak 1.050 jiwa meliputi jumlah penyandang disabilitas fisik sebanyak 661 orang dengan rincian tuna daksa sebanyak 309 orang, tuna mata sebanyak 339 orang, dan bisu tuli sebanyak 13 orang. Jumlah penyandang disabilitas mental sebanyak 191 orang dengan rincian tuna grahita sebanyak 45 orang, tuna laras, sebanyak 46. Jumlah penyandang disabilitas fisik dan mental (ganda) sebanyak 108 orang.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penyandang difabel, maka saat ini perkembangan sarana dan prasarana yang ramah bagi penyandang difabel, khususnya pada tempat-tempat umum sudah terlihat bermunculan. Seiring dengan berjalannya waktu, hampir semua elemen dalam masyarakat turut andil dalam pembangunan sarana dan prasarana bagi kelompok penyandang difabel (Jefri, 2016). Difabel merupakan salah satu usulan istilah untuk menggantikan kata penyandang cacat yang memiliki pengertian non diskriminasi. Istilah kata difabel ini berasal dari pengertian peopole with defferent abilitiy, yakni masyarakat yang memiliki keterbatasan kemampuan fungsi dan gerak fisik yang berbeda (Haryanti & Sari, 2017). Artinya penyandang difabel mendapat kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan melalui penyediaan aksesibilitas, sehingga terpenuhinya sarana dan fasilitas yang aksesibel bagi penyandang difabel merupakan hal yang harus dan wajib dilaksanakan untuk menjamin kesamaan kesempatan hidup (Almas & Kurniati, 2017).

Merancang aksesibilitas ruang kota selayaknya juga melayani kepentingan publik yang beragam perilakunya. Apalagi jika secara sadar fungsi ruang publik kota yang menjadi tempat melarikan diri warga masyarakat dari kebosanan akan rutinitas kehidupan di perkotaan. Tentu bukan saja di alami sekelompok warga kota, tetapi berlaku menyeluruh. Dengan demikian adanya pemikiran perancangan urban public space sudah selayaknya berlaku menyeluruh bagi semua masyarakat, termasuk bagi penyandang difabel (Dewang & Leonardo, 2010). Aksesibilitas merupakan kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk penyandang difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan. Hal ini dilakukan pula oleh Pemerintah Kota Depok yang berupaya membangun akses jalan untuk Penyandang difabel seperti membuat yang sering disebut dengan Jalur Ramah Disabilitas. Jalur ramah disabilitas atau Tenji block yang diciptakan berwarna kuning cerah untuk membedakannya dengan bagian ubin trotoar lainnya (Hasanah, 2017). Selain itu, warna kuning yang cerah juga akan memudahkan orang dengan gangguan penglihatan tapi tidak buta untuk melihat Jalur ramah disabilitas.

Aksesibilitas bagi difabel yang dijanjikan pemerintah dalam perda Kota Depok pada prakteknya tetap saja belum mempermudah akses pergerakan mereka. Hasil penelitian menunjukkan masih minimnya sarana pelayanan yang dibutuhkan oleh para difabel, termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat mempermudah kehidupan difabel, di mana sebagian besar hambatan aksesibilitas berupa arsitektur yang membuat penyandang difabel kehilangan haknya dalam mendapatkan pelayanan yang baik. Sepeti jalur difabel berubah menjadi tempat parkir, tenji-block rusak dan tidak diperbaiki, jalur difabel terhalang tempat tumpukan sampah dan sebagian jalan tidak terawat atau tidak diperbaiki.

Sumber: Dokumen hasil penelitian, 2019

Gambar 1

Jalur Ramah Disabilitas menjadi tempat parkir.

 

Demikian pula pada jalur ramah disabilitas terletak pada akses Jalan Margonda Raya Kota Depok, masih pula ditemukan beberapa titik akses jalan yang tak ramah untuk dilintasi para penyandang disabilitas, terlihat pemasangan terhalang oleh beberapa motor yang tengah parkir, Pemasangan jalur Disabilitas yang tidak merata, Jalur Ramah Disabilitas yang terlihat tidak terawat, terhalangnya Jalur ramah disabililitas oleh tumpukan sampah dan tiang listrik.

 

Sumber: Dokumen hasil penelitian, 2019

Gambar 2

Jalur ramah disabilitas yang terhalang oleh tumpukan sampah dan tiang.

 

Hak aksesibilitas bagi penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan akses dan memanfaatkan fasilitas publik serta mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu (UU No. 8/2016). Setiap pengadaan sarana dan prasarana umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat, wajib menyediakan aksesibilitas. Penyediaan aksesibilitas salah satunya akses dalam bentuk fisik. Salah satu bentuk aksesibilitas dalam bentuk fisik adalah aksesibilitas pada jalan umum (PP RI, No. 43/1998). Aksesibilitas pada jalan umum salah satunya dengan cara menyediakan jalur pedestrian (trotoar) bagi penyandang disabilitas (Hasanah, 2017).

Aksesibilitas dibagi menjadi dua macam, yakni (1) Aksesibilitas fisik yang meliputi layanan yang terkait perencanaan dan peruntukan pembangunan kawasan kota serta fasilitas publik, dan (2) Aksesibilitas non fisik di mana warga berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan (Haryanti & Sari, 2017). Dalam menilai aksesibilitas fisik, maka ada beberapa asas yang harus diperhatikan yakni keselamatan, kemudahan, kegunaan, kemandirian. Hal ini mengasumsikan bahwa seluruh difabel berhak untuk mendapatkan persamaan akses kenyamanan dalam kehidupan (Jefri, 2016).

Selain Perda Kota Depok Nomor 13 Tahun 2013 yang khusus mengatur pemenuhan hak difabel, pemerintah juga telah mengeluarkan dan meng-implementasikan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang bertujuan untuk memberikan kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan publik bagi seluruh warga negara termasuk penyandang difabel (Negara & Birokrasi, 2009). Undang-Undang ini secara tegas menyatakan bahwa pelayanan publik memiliki beberapa asas yang memberikan kemudahan berupa akses kepada difabel. Namun demikian, tampaknya kehadiran perundangan tersebut belum mampu menjadi pegangan bagi penyelenggara pemerintahan untuk memberikan pelayanan publik tanpa diskriminasi. Para difabel masih menemui hambatan aksesibilitas dalam memperoleh hak-hak mereka.

Konsep pelayanan publik memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan konsep pelayanan umum atau pelayanan masyarakat (Rahayu & Dewi, 2013). Oleh karena itu, penggunaan ketiga istilah tersebut saling dipertukarkan. Pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Hal senada diungkapkan oleh (Nuraviva, 2017) bahwa tujuan dari aksesibilitas adalah untuk memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta memiliki kesempatan dan peluang yang sama dalam memperoleh pelayanan publik untuk aksesibilitas fisik maupun non fisik. Jika akan melihat aksesibilitas terkait dengan fasilitas atau sarana bagi difabel, maka hal pertama yang harus diperhatikan adalah apakah fasilitas dan sarana yang tersedia dapat digunakan oleh semua orang khususnya difabel secara mudah, tidak membahayakan, dan kemudahan menggunakan fasilitas tersebut tanpa bantuan orang lain. Dengan demikian, jelas bahwa seharusnya pelayanan publik tetap memperhatikan keadilan dan ramah terhadap masyarakat berkebutuhan khusus seperti kaum difabel sebagai salah satu kelompok masyarakat rentan selain wanita dan anak-anak (Rahayu & Dewi, 2013).

Pernyataan tersebut di atas muncul dikarenakan terjadi diskriminasi� terhadap penyandang disabilitas di� bidang� pelayanan publik terjadi dalam berbagai macam bentuk seperti minimnya aksesibilitas fisik, kebijakan�� yang tidak berpihak, hingga tidak adanya standar operasional dalam� penyelenggaraan pelayanan publik� yang menargetkan penyandang disabilitas. Diskriminasi seringkali dipengaruhi oleh pandangan pemangku kebijakan yang masih mempertahankan� paradigma tradisional dan paradigma� medis dalam memandang penyandang disabilitas (Wicaksono, Simamora, & Pradana, 2019).

Berdasarkan uraian dari hasil-hasil penelitian sebelumnya yang relevan, maka kebaruan hasil penelitian ini ditunjukkan oleh: 1) Kurangnya pengetahuan dan pemahaman penyelenggara negara sebagai pembuat kebijakan (policy maker) maupun pemilik atau pengelola fasilitas publik pada acuan aksesibilitas penyandang disabilitas. 2) Rendahnya pemahaman para penyandang disabilitas sebagai warga negara (citizen) yang berimplikasi kebutuhan mereka menjadi terabaikan. 3) Dari aspek politik bahwa lemahnya keberadaan penyandang disabilitas sebagai warga negara untuk mempengaruhi kebijakan bahkan mempengaruhi banyaknya suara ketika pemilihan umum sehingga keterlibatan mereka diabaikan oleh policy maker. 4) Proses implementasi kebijakan aksesibilitas banyak pihak yang terlibat yaitu Bapppeda, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Kota, Dinas Sosial, BPPKAD, DPRD, TAD, LSM, Desa/ kelurahan, serta pihak swasta. Banyaknya pihak yang terlibat, namun fasilitas publik tersebut belum mencerminkan pembangunan yang berpedoman pada acuan yang jelas tentang akasesibilitas, serta memberikan pemahaman bahwa keterlibatan banyak pihak membawa keadaan yang tidak efektif dalam implementasi sebuah kebijakan. 5) Adanya anggaran yang tidak spesifik, dengan belum tersedianya anggaran yang spesifik menjelas-kan bahwa rendahnya komitmen dari policy maker terhadap kebijakan tersebut. Ketika anggaran menjadi salah satu hambatan utama pembangunan tersebut akan menyebabkan ketidak optimalan pembangunan fasilitas publik yang membawa dampak tidak terpenuhinya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.� 6) Belum adanya koordinasi berupa advokasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial dengan dinas-dinas yang lain. Hal tersebut karena dilihat dari tupoksi Dinas Sosial sendiri tidak ada poin yang menjelaskan bahwa Dinas Sosial harus melakukan advokasi terhadap dinas-dinas lain ketika dinas tersebut membangun sebuah fasilitas publik

Berdasarkan uraian di atas, maka fokus dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelayanan aksesibilitas jalur ramah disabilitas di trotoar Jalan Margonda Kota Depok? Sehingga penelitian ini bertujuan mengetahui sejauh mana fungsi pelayanan publik terhadap aksesibilitas penyandang disabilitas di Trotoar Jalan Margonda Kota Depok terwujud secara optimal.

 

Metode Penelitian

Metodologi survei tergolong metode ilmiah (scientific method) yang merupakan bagian dari metodologi penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif. Metode survey adalah studi yang sumber utama data dan informasinya diperoleh oleh responden sebagai sampel survei menggunakan kuesioner atau kuesioner sebagai alat pengumpulan data serta mempelajari prosedur dalam penarikan sampel dari suatu populasi yang tepat agar dapat digunakan untuk mengeneralisasikan keadaan populasi.

Penelitian ini digunakan jenis metode survei untuk penelitian evaluasi program, sebagaimana dirumuskan dalam pertanyaan penelitian ketika program pelayanan aksesibilitas yang diterapkan telah mencapai tujuan atau mengalami kegagalan. Pencarian survei untuk tujuan evaluasi umumnya terdiri dari serangkaian studi yang lebih lengkap atau bagian dari program tertentu. Beberapa langkah-langkah teknis sederhana namun ideal yang dapat diambil dalam metode penelitian survei adalah: 1) Merumuskan masalah penelitian dan menulis tujuan penelitian survei. 2) Menulis manfaat penelitian survei dengan cara akademik praktis. Jika diperlukan, menentukan konsep dan hipotesis penelitian. 3) Mengumpulkan informasi dari hasil studi sebelumnya yang terkait. 4) Menentukan sampel penelitian dilakukan berdasarkan accidental sampling atau jumlah responden yang datang ke lokasi penelitian (dilakukan selama Dua bulan, Oktober-Nopember 2019). 5) Membuat angket atau kuesioner untuk responden terpilih secara acak (random). 6) Pengumpulan data, termasuk pernyataan untuk asisten peneliti yang mengumpulkan data penelitian, dilanjutkan dengan mem-proses dan menganalisis data secara manual atau dengan komputer.

Mendukung pengungkapan fenomena-fenomena tersebut di atas, peneliti menggunakan studi kepustakaan untuk mengumpulkan data-data yang relevan melalui sumber terpercaya, baik itu melalui buku, jurnal, artikel media masa, dan internet. Data dalam penelitian ini akan melalui empat tahapan analisis yakni pengumpulan data hasil survei yang disebarkan kepada 300 responden (difabel), reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara induktif. Metode yang digunakan dalam pemecahan permasalahannya termasuk metode analisis evaluatif.

 

Hasil dan Pembahasan

Pemerintah Kota Depok terus berusaha memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dalam meningkatkan pembangunan infrastruktur terutama Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang adalah jenis pelayanan publik bidang pekerjaan umum yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Pelayanan urusan pekerjaan umum difokuskan pada pelayanan urusan Jalan dan Jembatan, Sumber Daya Air, Perkotaan dan Perdesaan, Air Minum dan Air Limbah, Drainase, Permukiman, Bangunan Gedung dan Lingkungan, dan Jasa Konstruksi.

Pentingnya penyelenggaraan urusan pekerjaan umum ini telah disadari oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 01/PRT/M/2014 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Urusan pekerjaan umum merupakan pelayanan menyediakan sarana dan prasarana publik termasuk penerapan terhadap jalur ramah disabilitas dalam mendukung kegiatan nya sebagai warga yang berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan perhatian.

Pelayanan aksesibilitas jalur ramah disabilitas di Jalan Margonda Kota Depok ini menggunakan analisis Model Carlson dan Scwarz dalam (Hasanah, 2017). Terdapat beberapa indikator yang dapat melihat gambaran dari kualitas pelayanan itu sendiri sebagai berikut:

a)      Kemudahan menggambarkan� seberapa mudah layanan pemerintah terakses dan tersedia bagi warga negara.

b)      Keamanan menggambarkan sejauh mana layanan-layanan diberikan dengan cara yang membuat para warga negara merasa aman dan percaya diri ketika mengguna-kannya

c)      Keandalan menggambarkan sejauh mana layanan pemerintah diberikan dengan benar dan tepat waktu

d)      Pengaruh warga negara menggambarkan sejauhmana warga negara merasa bahwa mereka dapat memengaruhi kualitas layanan yang mereka terima dari pemerintah lokal.

Peneliti memfokuskan pelayanan aksesibilitas jalur ramah disabilitas di trotoar Jalan Margonda Kota Depok dengan mengutamakan indikator yang pertama aspek kemudahan, yaitu: setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. Kedua; aspek keamanan yaitu: setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun harus memperhatikan keamanan dan keselamatan semua orang. Ketiga; sejauhmana masyarakat merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi kualitas layanan yang mereka terima dari pemerintah lokal.

1.      Aspek Kemudahan

Pemerintah Kota Depok berkewajiban memenuhi amanat layanan publik berupa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas agar dengan mudah melakukan mobilitasnya. Di mana hasil survei yang melibatkan 82 tuna mata dari jumlah keseluruhan sebanyak 339 orang (data hasil survei yang diperoleh), menunjukkan pelayanan untuk hak aksesibilitas bagi penyandang difabel belum optimal. Masih banyak jalan sepanjang jalur trotoar Jalan Margonda Kota Depok tidak bisa digunakan bahkan tidak difasilitasi dengan baik. Kondisi trotoar bagi publik rusak kurang pemeliharaan dan khususnya jalur ramah disabilitas dengan menggunakan tenji block khusus difabel banyak juga belum meamadai.

Faktor lain yang ditemukan yaitu: Masih kurangnya kesadaran dari masyarakat dan pengguna trotoar yang tidak memahami fungsi trotoar sebagai jalur pedistiran dan difabel, bahkan masih ada bahu jalar trotoar digunakan untuk berjualan hingga parkir liar. Sebenarnya, pemerintah Kota Depok telah membuat jalur ramah disabilitas sesuai dengan standar peruntukannya, seperti pada ukuran dasar ruang jalur pedestrian tidak mengacu pada esensi ukuran dasar tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi). Artinya pembangunan jalur khusus penyandang disabilitas tidak mengacu pada ukuran tubuh manusia dewasa, peralatan yang digunakan, dan ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi pergerakan penggunanya (Hasanah, 2017). Namun masih ada pembangunan jalur pedestrian yang dibangun khusus untuk penyandang disabilitas tidak memenuhi persyaratan di mana jalur tersebut dibuat sangat sempit dan terputus. Hal senada diungkapkan (Syafi�ie, 2014) bagi penyandang disabilitas netra, yang paling dibutuhkan ialah sistem audio, seperti talking lift, arsitektur yang memilki braille di handel tangga, warning block di jalan umum.

Hambatan lainnya datang dari persepsi aparatur pemerintah yang berpendapat bahwa pembangunan sarana dan prasarana aksesibilitas bagi masyarakat dengan kebutuhan khusus belum prioritas (Firdaus & Iswahyudi, 2010) dan (Indriyany, 2015). Untuk dapat menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi kelompok masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus, diperlukan perubahan mindset aparatur pemerintah terhadap keberadaan kelompok masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus tersebut. Dengan demikian sistem pelayanan publik yang dibangun dapat lebih responsif terhadap keragaman kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat termasuk masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus. Aparatur pemerintah sebagai pelaksana kebijakan, paling tidak harus dapat mengamankan dan menjamin terimplementasikannya berbagai peraturan perundangan yang memungkinkan pemberian pelayanan khusus terhadap mereka yang memiliki kebutuhan khusus tersebut secara adil.

Disamping itu, setiap aparatur pemerintah sebagai pelayan masyarakat, juga harus dapat memberikan contoh yang baik dalam menyikapi pemberian pelayanan khusus kepada masyarakat yang memang memerlukan atau membutuhkan pelayanan khusus tersebut (Nuraviva, 2017). Selain itu, untuk dapat menjamin bahwa pelayanan publik dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, maka standar pelayanan publik yang dibuat harus mengakomodasi seluruh kepentingan masya-rakat, termasuk kelompok masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus (difabel). Namun sayangnya, pelayanan pemerintah yang dilakukan oleh para birokrasi sampai saat ini cenderung umum, standar, dan seragam, tidak sensitif terhadap kebutuhan yang unik.

2.      Aspek Keamanan

Aspek keamanan aksessibilitas jalur ramah disabilitas mendeskripsikan sejauh mana kondisi layanan yang diberikan agar para difabel merasakan aman dan nyaman ketika digunakan. Hasil observasi lapangan fasilitas jalur ramah disabilitas di troroar Jalan Margonda Kota Depok yang disediakan oleh pemerintah nampaknya masih jauh dari harapan. Pembangunan jalur ramah disabilitas hanya sebagai bentuk �hiasan� bagi mata memandang. Selain itu banyak yang tidak mengetahui fungsi dari jalur pedestrian tersebut karena tidak adanya sosialiasi dan informasi yang jelas di jalur ramah disabilitas sepanjang Jalan Margonda Kota Depok tersebut. Hal ini berdampak pada terjadinya alih fungsi jalur pedestrian untuk PKL, timbunan sampah, parkir motor dan pedagang asongan.� Ruang khsus yang disediakan oleh pemerintah Kota Depok ini masih jauh dari standar akesibilitas yang ramah bagi kaum difabel khususnya bagi penyandang tuna mata.

Menurut (Kustiani, 2018) Pemerintah daerah, dibantu oleh pemerintah pusat agar membangun fasilitas publik yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat penyandang disabilitas yang masih sering terabaikan. Di mana jalur ramah disabilitas esensinya merupakan jalur yang digunakan untuk berjalan kaki atau berkursi roda bagi difabel secara mandiri yang dirancang khusus didasarkan kebutuhan orang untuk bergerak aman, mudah, nyaman, dan bebas hambatan. Hal ini terlihat di jalur ramah disabilitas Kota Depok permukaan jalan yang tidak stabil, tidak kuat dan tidak tahan cuaca sehingga mudah retak dan berlubang. Selain itu, banyaknya kondisi jalur tersebut yang tingginya tidak landai sehingga mempersulit bahkan beresiko terjadinya kecelakaan. Mengacu pernyataan (Hasanah, 2017) pembangunan jalur tersebut nampaknya tidak sepenuh hati, hal ini terlihat bahwa pembangunan jalur pedestrian tersebut tidak dibangun sesuai dengan kebutuhan kaum difabel.

Fasilitas yang harus dipenuhi dalam pembuatan jalur ramah disabilitas di trotoar Jalan Margonda Kota Depok adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan tertentu dengan menggunakan bantuan ramp jalan. Hal ini banyak yang tidak memenuhi syarat seperti tidak dilengkapinya garis berwarna dan bantalan jarak jalan disetiap sisi ramp. Hal ini sesuai dengan pendapat (Dewang & Leonardo, 2010) jalur pejalan bagi kaum difabel dibuatkan sedemikian rupa agar tidak bahaya dan terhambat bergerakannya dengan menyediakan jalur pejalan yang rata tidak berlubang-lubang, tidak terjal atau bertingkat-tingkat, tidak licin dan terdapat genangan jika terjadi hujan serta terdapat ubin bertekstur (ubin pemandu dan ubin peringatan) di sepanjang jalur pejalan kaki.

Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah Kota Depok terkait dalam penyediaan aksesibilitas bagi kaum difabel salah satunya tidak adanya alokasi dana pemeliharan berkala untuk penyediaan jalur ramah disabilitas. Sebagaimana hasil wawancara ditemukan dalam proses pelaksanaan jalur ramah disabilitas banyak pihak yang terkait oleh beberapa instansi lain. Namun dalam pelaksanaan peme-liharaan dari dinas PUPR sebagai pelaksana inti tidak secara langsung di lakukan oleh nya, namun dialihkan menjadi tugas dari satpol PP sebagai penegak perda penggunaan trotoar.� Adapun dari sisi pengawasan dilakukan secara random saja tidak yang bersifat terecana karna selaku staf dinas PUPR mengaku terkendala karena terbatasnya SDM yang ada. Namun jika dilihat dari struktur organisasi yang ada di dinas PUPR ternyata memiliki bagian tersendiri di bidang pemeliharaan dan jembatan yang cukup akan SDM nya. Seharusnya sudah menjadi tugas pokok dalam pemeliharaan langsung terhadap jalannya pelaksanaan jalur ramah disabilitas. Terkhusus dalam hasil penelitian ini adalah hasil wawancara dengan informan sebagai pengguna aktif jalur disabilitas. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan sosial dalam hal ini dikatakan ada beberapa oknum masyarakat belum turut serta dalam mendorong pemerlihaaan jalur ramah disabilitas di Kota Depok, karena adanya keluhan langsung yang diberikan oleh pengguna jalur disabilitas. Hasil observasi yang dilakukan kemudian menguatkan hasil wawancara ketika berada di lapangan, jalur disabilitas memang banyak terhalang oleh beberapa kendala. Seperti terhalangnya pedagang kaki lima, penggunaan parkir motor, serta banyak jalur disabilitas yang rusak dan tidak berfungsi dengan baik.

3.      Faktor Peranan Masyarakat

Apabila dikaji lebih jauh tentang peran masyarakat memiliki posisi yang penting, sehingga aksesibilitas yang diterima oleh difabel juga dipengaruhi oleh bagaimana masyarakat bertindak dan menyikapi difabel ini. Masyarakat kita pada umumnya masih tersentuh haru ketika melihat difabel di depan matanya. Sehingga reaksi yang lazim pertama muncul adalah perasaan belas kasihan yang kemudian ditindaklanjuti dengan prilaku santun. Hal ini dikarenakan kaum difabel merasa bahwa mereka dapat memengaruhi kualitas pelayanan yang lebih baik lagi. Kaum difabel merupakan masyarakat homogen tetapi dalam pemenuhan pelayanan dari pemerintah harus tanpa terkecuali. Karena situasi dan kondisi yang semakin mendesak dan semakin banyak tuntutan dari masyarakat yang tidak hanya diberikan oleh kaum difabel tetapi disuarakan juga oleh masyarakat umum lainnya bahwa Pemerintah.

Survei berhasil mewawancara 121 responden dari 300 responden yang ditargetkan. Mereka semua warga Kota Depok yang berada di wilayah trotoar Jalan Margonda dengan harapan mendapatkan jawaban yang lebih akurat sesuai dengan rancangan observasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara teknis responden tersebut dapat menjawab melalui alat bantu aplikasi google form. Pernyataan responden yang menyatakan perlunya peran pemerintah untuk memperbaiki pelayanan jalur khusus difabel di trotoar Jalan Margonda Kota Depok yang belum diakses bagi penyandang disabilitas. Adapun alasan dari responden tersebut dapat diuraikan beberapa kriteria sebagai berikut:

a)        42,01 persen menyatakan bahwa Pemerintah harus menjadikan standar aksesibilitas sebagai persyaratan yang mengikat bagi setiap bangunan baru yang akan dibangun.

b)        22,19% responden menyatakan bahwa aparat pemerintah masih mengembangkan pelayanan yang standar dan bersifat umum, sehingga tidak responsif terhadap pemenuhan kebutuhan khusus kelompok masyarakat marjinal dan minoritas termasuk kaum difabel.

c)        18,7 % Responden menyatakan bahwa penyediaan aksesibilitas jalur trotoar difabel oleh pemerintah dirasakan belum penting atau belum prioritas.

d)        5,7 % Responden menyatakan bahwa mainset aparatur pemerintah yang secara umum belum berpihak kepada masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus.

e)        2,2% Responden menyatakan bahwa Kurangnya sosialisasi Kebijakan, Juklak dan Juknis yang terkait dengan penyediaan aksesibilitas bagi masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus

f)         Hanya sebagian kecil 1,9% responden yang menyatakan tidak mengetahui tentang kebijakan pemerintah tentang jalur ramah disabilitas di trotoar Jalan Margonda Kota Depok.

Dari hasil survei tersebut dapat diketahui bahwa pelayanan aksesibilitas jalur ramah disabilitas di trotoar Jalan Margonda Kota Depok masih terkendala. Artinya penyediaan aksebilitas bagi kaum difabel belum efektif untuk mewujudkan kesamaan kesempatan hidup bagi kaum difabel.

 

Kesimpulan

Pelayanan aksesibilitas jalur ramah disabilitas di trotoar Jalan Margonda Kota Depok masih meretas berbagai masalah dan kesediaan sarananya belum dapat dikatakan efektif. Hal ini terlihat banyak jalur khusus seharusnya berfungsi untuk pejalan kaki kaum difabel tetapi banyak beralih fungsi seperti tempat Pedagang Kaki Lima (PKL) berjualan, sebagai tempat parkir sepeda bermotor baik beroda dua maupun beroda empat, tumpukan sampah, serta masih banyak jalur ramah disabilitas yang rusak dan pembangunannya tidak sesuai dengan standar. Oleh karena itu jalur khusus ini sangat tidak ramah bagi kaum difabel baik dilihat dari aspek kemudahan dan aspek keamanannya. Sehingga hak kaum difabel sebagai masyarakat Kota Depok belum terpenuhi dengan baik. Untuk itu disarankan penguatan sistem pengawasan atau monitoring terhadap fasilitas umum agar tetap diperuntukkan seperti tujuan semula, misalnya trotoar khusus bagi difabel memang harus dipertahankan, jangan sampai terganggu oleh aktivitas lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Almas, Dhafina, & Kurniati, Rina. (2017). Kajian Aksesibilitas Bagi Difabel Pada Ruang Terbuka Publik Di Kawasan Simpang Lima Semarang. Universitas Diponegoro.

 

Dewang, Nasrudin, & Leonardo, Leonardo. (2010). Aksesibilitas Ruang Terbuka Publik Bagi Kelompok Masyarakat Tertentu Studi Fasilitas Publik Bagi Kaum Difabel Di Kawasan Taman Suropati Menteng-Jakarta Pusat. Planesa, 1(1), 213267.

 

Firdaus, Ferry, & Iswahyudi, Fajar. (2010). Aksesibilitas Dalam Pelayanan Publik Untuk Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus. Jurnal Borneo Administrator, 6(3).

 

Haryanti, Rina Herlina, & Sari, Candra. (2017). Aksesibilitas Pariwisata Bagi Difabel di Kota Surakarta (Studi Evaluasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 Tentang Pedoman Teknis Fasilitas Dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan). Spirit Publik: Jurnal Administrasi Publik, 12(1), 85�96.

 

Hasanah, Budi. (2017). Pelayanan Aksesibilitas Jalan Umum (Jalur Pedestrian) Bagi penyandang Disabilitas (Studi Kasus di Kota Serang). IJTIMAIYA: Journal of Social Science Teaching, 1(1).

 

Indonesia, Republik. (2016). Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Jakarta: Sekretariat Negara.

 

Indriyany, Ika Arinia. (2015). Pelayanan Publik dan Pemenuhan Hak Difabel: Studi tentang Layanan Pendidikan Inklusif Melalui Kasus Pemindahan Difabel dari Sekolah Reguler ke Sekolah Luar Biasa di Yogyakarta. INKLUSI, 2(1), 1�20.

 

Jefri, Tamba. (2016). Aksesibilitas sarana dan prasarana bagi penyandang tunadaksa di Universitas Brawijaya. IJDS: Indonesian Journal Of Disability Studies, 3(1), 16�25.

 

Kustiani, Antara dan Rini. (2018). Kota Ramah Disabilitas, Fasilitas Apa Saja yang Mesti Tersedia. Retrieved from Tempo website: https://difabel.tempo.co/read/1112378/kota-ramah-disabilitas-fasilitas-apa-saja-yang-mesti-tersedia/full&view=ok

 

Negara, Sekretariat, & Birokrasi, Reformasi. (2009). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Jakarta: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi.

 

Nomor, Peraturan Pemerintah. (43AD). Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Jakarta, Pemerintah Republik Indonesia.

 

Nuraviva, Lelly. (2017). Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Fasilitas Publik Di Kota Surakarta. Kebijakan Publik Jurnal.

 

Rahayu, Sugi, & Dewi, Utami. (2013). Pelayanan Publik Bagi Pemenuhan Hak-Hak Disabilitas di Kota Yogyakarta. Jurnal Natapraja: Kajian Ilmu Administrasi Negara, 1(1).

 

Syafi�ie, M. (2014). Pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Inklusi, 1(2), 269�308.

 

Wicaksono, Tio Tegar, Simamora, Jhon Ias Ganesa, & Pradana, Glinggang Hima. (2019). Pelayanan Publik Kereta Api di Yogyakarta Bagi Difabel. INKLUSI, 6(1), 47�70.