Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No.
9, September 2020
�
Audy Haryanto Lebang
Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga Jawa Tengah,
Indonesia
Email:
[email protected]
Abstract
This paper aims to analyze the causes of
youth's lack of enthusiasm to be involved in the ministry of being a presbyter
in the church. Youth are the pillars of the church that will continue the
mission of the church ministry to create a missionary church. However, in
reality, the youth are not yet aware of their existence and responsibility as
true Christian youth. This research was conducted at GPIB congregation
"Immanuel" Makassar. The research method that I use is descriptive
qualitative. The descriptive qualitative method is used to analyze how youth's
spirituality and readiness to become a presbyter so that the results obtained
from this study provide a clearer picture of what is behind the absence of
youth who are involved in presbyter ministry. The results of the study found
that there was no involvement of youth in presbyter ministry at GPIB of the
"Immanuel" Congregation in Makassar because youth considered
themselves too young and had no experience to be involved in presbyter
ministry. Youths do not yet have self-confidence and there is still fear and
embarrassment to sit together with parents within the scope of the presbyterian
ministry to discuss together the future of the church. The readiness of a young
man to be involved in presbyterian ministry cannot be separated from his
spiritual life with God and other fellow creatures.
Keywords:
Spirituality, Youth, Presbyter Service.
Abstrak:
Tulisan ini bertujuan
untuk menganalisa penyebab kurangnya semangat pemuda untuk terlibat dalam
pelayanan menjadi seorang presbiter di gereja. Pemuda adalah pilar gereja yang akan melanjutkan misi pelayanan gereja dalam rangka mewujudkan
gereja yang misioner. Akan tetapi pada kenyataannya pemuda belum menyadari
akan keberadaan dan tanggung jawabnya sebagai pemuda Kristen yang sejati. �Penelitian ini dilakukan di GPIB Jemaat �Immanuel� Makassar. Metode
penelitian yang penulis gunakan adalah kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif digunakan untuk menganalisa
bagaimana spritulitas pemuda dan kesiapannya menjadi seorang presbiter, sehingga hasil yang didapatkan dari penelitian ini, memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
apa yang melatarbelakangi tidak adanya pemuda
yang terlibat dalam pelayanan presbiter. Hasil Penelitian didapati bahwa tidak adanya keterlibatan pemuda dalam
pelayanan presbiter di GPIB Jemaat
�Immanuel� Makassar dikarenakan pemuda menganggap dirinya masih terlalu muda
dan belum memiliki pengalaman untuk terlibat dalam pelayanan presbiter. Pemuda belum memiliki rasa kepercayaan diri dan masih ada rasa takut serta malu untuk
duduk bersama dengan para
orang tua dalam lingkup pelayanan presbiter guna bersama-sama membicarakan masa depan gereja. Kesiapan seorang pemuda untuk terlibat
dalam pelayanan presbiter tidak terlepas dari kehidupan spiritualitasnya bersama dengan Tuhan dan sesama ciptaan lainnya.
Kata kunci: Spiritualitas,
Pemuda, Pelayanan Presbiter.
Pendahuluan
�Beri aku 1.000
orang tua, niscaya akan kucabut Semeru
dan akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.� (Ir. Soekarno).
Ir. Soekarna mengatakan dengan
1.000 orang tua, gunung Semeru bisa hancur.
Namun hanya dengan 10 pemuda saja, dunia akan berguncang. Kata-kata ini menjelaskan secara tidak langsung bahwa betapa pentingnya
peran pemuda di dunia ini, untuk kemajuan
bangasa dan negara. Di sini
dapat dilihat betapa kuat dan hebatnya para pemuda sehingga dengan beberapa orang saja dapat guncangkan dunia. Ini bisa terjadi
karena terdapat hal-hal luar biasa
di dalam diri pemuda. Dalam diri
pemuda ada semangat, kekuatan lebih, impian-impian hebat, keberanian, dan ketangkasan yang tidak terkira karena organ tubuhnya masih fresh dan kuat.
Pemuda merupakan benih bagi bangsa
dan negara. Benih inilah
yang menentukan sebuah
negara akan bertumbuh dan berkembang, apakah akan terus berkembang
maju atau akan terpuruk. Para pemuda harus berpikir
mengenai hal ini, karena sudah
menjadi tugas dan tanggung jawab pemuda untuk berperan
dalam membangun sebuah bangsa dan negara ke arah yang lebih
maju, makmur dan hebat �(Lestari,
2016, hlm. 39).
Salah satu peran serta pemuda
bagi bangsa ini, dapat dilihat
pada masa kemerdekaan bangsa
Indonesia. Kemerdekaan bangsa
Indonesia, mungkin tidak� dapat diproklamirkan apabila pemuda tidak berperan
di dalamnya, dengan menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dan terus mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia segera diproklamasikan (Sardini, 2014, hlm. 108).
Melalui usaha dan peran pemuda, akhirnya
pada tanggal 17 Agustus
1945 bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya.
Sebagai
seorang pemuda, kehadirannya harus dapat memberikan secercah harapan nyata, dengan selalu
berkarya bagi bangsa dan negara tercinta(Ramadhan,
2016, hlm. 37),
karena dipundak para pemuda terdapat harapan dari generasi
pendahulunya, untuk bisa membawa pembaharuan
bagi bangsa ini ke arah
yang lebih baik atau biasa disebut
dengan agent of
change. Apalagi dalam
dunia yang terus berkembang
dan semakin modern, pemikiran
para pemuda sangat dibutuhkan, karena dapat dikatakan bahwa di zaman millenial ini merupakan zamannya
para pemuda. Para pemuda memiliki wawasan yang luas, inovatif serta kreatif� untuk� membuat sebuah pembaharuan.
Namun tidak dapat dipungkuri
juga bahwa dengan zaman
yang terus berubah atau biasa orang katakan �zaman now�,
orientasi dan nilai-nilai dalam diri pemuda
mulai bergeser. Banyak pemuda yang terlibat dalam aksi kejahatan,
masuk dalam pergaulan bebas, menggunakan obat-obat terlarang, lebih suka mencari kesenangannya
sendiri, tertutup dengan dunia luar dan lain sebagainya. Sehingga terkadang membuat citra pemuda jelek
dimata masyarakat.
Pertanyaannya
sekarang bagaimana dengan pemuda gereja.
Apakah sebagai seorang pemuda, mereka sudah turut
berperan aktif untuk membawa sebuah
kemajuan serta pembaharuan di dalam gereja dengan mau
terlibat dalam
ibadah-ibadah, kegiatan gerejawi,
maupun pelayanan yang ada di dalam gereja?
Atau malah sebaliknya, mereka lebih memilih untuk
bersenang-senang dalam lingkungan pergaulannya saja dan tertutup dengan lingkungan sekitarnya.�
Kehadiran
pemuda sangat dibutuhkan di dalam gereja. Kreatifitas dan pemikiran-pemikiran baru dari para pemuda diharapkan dapat mengembangkan dan memajukan berbagai pelayanan yang ada di dalamnya. Sehingga dapat memberi warna dalam
pelayanan.
Tuhan sebagai �Kepala� gereja memanggil setiap orang percaya untuk masuk dalam
persekutuan-Nya, serta menunaikan tugas panggilan-Nya di tengah-tengah
dunia. Gereja dipanggil untuk melaksanakan amanat agung Yesus Kristus melalui pemberitaan dan pengajaran, pelayanan yang nyata dan usaha pembebasan serta penyelamatan secara menyeluruh sebagai pernyataan kuasa Allah yang mengalahkan
dunia dan segala pengaruh kuasa kegelapan (Wuwungan, 2009, hlm. 76).
Di sini gereja memiliki peranan penting dalam pembentukkan
iman setiap orang percaya, sehingga setiap orang percaya betul-betul memahami akan keterpanggilannya sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia.
Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya, dipanggil untuk menampakkan tugas panggilan gereja yakni bersekutu
(koinonia), bersaksi (marturia),
dan melayani (diakonia). Tugas
dan panggilan ini harus dijalankan bersama-sama, sebagai bentuk persekutuan dan dasar dari panggilan
gereja. Tidak boleh ada salah satu dari panggilan
yang tidak dijalankan, karena akan ada
ketimpangan di dalamnya. Pemuda
sebagai pilar gereja ikut terpanggil untuk melaksanakan tri tugas panggilan gereja, dalam rangka
mewujudkan gereja yang misioner. Itu berarti
bahwa pemuda tidak hanya menjalankan
tugasnya sebatas dalam lingkup pelayanan
kategorial pemuda saja, tetapi pemuda
harus turut terlibat dalam semua lini pelayanan
yang ada di dalam gereja. Salah satu pelayanan yang sangat membutuhkan kehadirian pemuda di dalamnya yaitu pelayanan presbiter, dengan jabatan sebagai penatua dan diaken. Kehadiran pemuda dibutuhkan agar penatalayanan yang ada di dalam gereja semakin
berkembang.
Dalam memenuhi tugas dan tanggung jawab menjadi seorang presbiter, spiritualitas pemuda perlu dipersiapkan dengan baik.� Spiritualitas pemuda sudah harus
terbentuk sejak masih kanak-kanak. Sehingga ketika masuk dalam komunitas
kaum muda, seorang pemuda dapat mengerti tujuan hidupnya sebagai seorang pemuda Kristen yang sejati, dengan siap memenuhi
tugas dan panggilan gereja, serta ikut
terlibat secara langsung dalam berbagai pelayanan yang ada di gereja. Pembentukkan spiritualitas kaum muda dibentuk
mulai dari keluarga, gereja dan masyarakat.
Dalam� Gereja Protestan di Indonesia bagian
Barat (GPIB) yang tergolong dalam
usia pemuda adalah mereka yang berusia sekitar 18-35 tahun dan belum menikah (Majelis Sinode GPIB, 2015a, hlm. 266).
Pada masa ini merupakan
masa yang produktif bagi seorang pemuda, karena keadaan fisik masih berada
dalam keadaan yang sangat baik dan memiliki pemikiran yang sedang berkembang. Sehingga pada masa ini merupakan masa yang tepat bagi para pemuda untuk berkarya dengan berbagai kreatifitas yang dimiliki, guna membuat pelayanan
dalam gereja menjadi lebih berkembang
lagi.
Mengingat
betapa pentingnya peran pemuda, sebagai
generasi penerus misi gereja dan pembaharuan wajah gereja, maka sumber
daya mereka perlu dikembangkan. Di sini gereja menjadi
wadah terpenting, untuk memberikan pembinaan dan pemberdayaan bagi pemuda, serta
memberikan pemahaman kepada pemuda, mengenai tugas dan panggilan gereja, agar pemuda dapat mengerti
arti gereja dalam kehidupannya, dan ikut mengambil bagian secara langsung� dalam semua aktivitas gereja, secara khusus dalam pelayanan
menjadi seorang presbiter (Homrighausen & I.H. Enklaar,
1985, hlm. 145).
Namun dengan melihat realita yang terjadi di GPIB Jemaat
�Immanuel� Makassar, dengan tidak adanya pemuda yang terlibat dalam pelayanan presbiter, maka penulis ingin meninjau
dan meneliti secara langsung, apa yang menjadi penyebab sehingga para pemuda
tidak ingin melibatkan diri secara langsung dalam pelayanan presbiter. Apakah dengan
ketidakterlibatan pemuda secara langsung dalam pelayanan presbiter, dikarenakan pemuda tersebut yang tidak mau memberi diri
atau dikarenakan tidak adanya kepercayaan dari jemaat kepada pemuda gereja,
sehingga tidak memberikan ruang bagi pemuda untuk dapat terlibat secara
langsung dalam pelayanan presbiter.
GPIB merupakan sebuah lembaga gereja yang menganut sistem presbiterial sinodal, yang di
mana kepemimpinannya terletak
pada presbiter,
yang terdiri dari pendeta, penatua dan diaken. Merujuk kepada Tata Gereja GPIB tentang Presbiter dan tata cara pengadaan presbiter pasal 1:1, yang menyatakan presbiter ialah warga sidi jemaat GPIB yang menyediakan diri secara khusus melalui
proses perupaan untuk melayani di GPIB, sebagai pemenuhan panggilan dan pengutusan Kristus dalam rangka mewujudkan
gereja misioner (Majelis Sinode GPIB, 2015b, hlm. 65) .Ini
mengindikasikan bahwa, para
pemuda sudah selayaknya mengambil bagian dan terlibat secara langsung dalam pelayanan presbiter, dengan jabatan sebagai penatua dan diaken.��
Peran dan keterlibatan pemuda dalam semua
lini pelayanan menjadi begitu penting, sebab mengingat bahwa semua orang beriman tanpa terkecuali merupakan subjek dalam mengembangkan misi pelayanan gereja. Oleh sebab itu, menjadi penting
tanggung jawab dan partisipasi secara langsung dari seluruh
warga gereja secara khusus pemuda
dalam pekerjaan Kristus ���(Hooijdonk, 1996, hlm. 32). Oleh karena
itu gereja harus memperhatikan bagaimana eksistensi serta peran pemuda
dan keterlibatannya dalam penatalayanan gereja.
GPIB Jemaat �Immanuel�
Makassar akan menjadi tempat dan sasaran penulisan karya ilmiah ini, karena
di dalamnya penulis melihat tidak adanya keterlibatan
pemuda secara langsung dalam pelayanan presbiter. Dalam kaitannya dengan hal ini, penulis
ingin meninjau dan meneliti latar belakang, mengapa pemuda tidak mau
atau enggan untuk terlibat secara langsung dalam pelayanan sebagai presbiter dan bagaimana peran majelis jemaat
dalam mempersiapkan pemuda untuk terlibat
dalam pekerjaan Kristus, berkaitan dengan pelayanan menjadi presbiter.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di GPIB Jemaat
�Immanuel� Makassar. Metode penelitian
yang penulis gunakan adalah kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif digunakan untuk
menganalisa bagaimana spritulitas
pemuda dan kesiapannya menjadi seorang presbiter,
sehingga hasil yang didapatkan dari penelitian ini, memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
apa yang melatarbelakangi tidak adanya pemuda
yang terlibat dalam pelayanan presbiter.
Metode pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan observasi dan
wawancara kepada
20 orang responden pemuda,
12 responden Majelis Jemaat, dan 10 responden anggota jemaat. Wawancara dilakukan untuk mendapat informasi atau data berupa kata-kata yang diungkapkan oleh responden secara langsung. Selain observasi dan wawancara penulis juga melakukan
studi kepustakaan yang berkaitan dengan artikel ini. Setelah semua data
terkumpul penulis melakukan analisa terhadap data yang ada.
Hasil dan Pembahasan
1.
Pengertian Spiritualitas
Spiritualitas
berasal dari akar kata spare (Latin)
yang memiliki arti, menghembus,
meniup, mengalir. Dari kata
kerja spare menjadi kata benda spritus atau spirit, yang memiliki
arti hembusan, tiupan, aliran angin. Kata ini kemudian mengalami
perubahan arti menjadi, udara, hawa yang dihisap, nafas hidup, nyawa, roh,
hati, sikap, perasaan, kesadaran diri, kebesaran hati keberanian. Dalam Alkitab, spirit ditulis
dalam bahasa asli ruakh (Ibrani) dan pneuma (Yunani). Arti kata ruakh atau pneuma dalam Alkitab adalah
nafas atau angin yang menggerakkan dan menghidupkan. Seperti kata spirit yang artinya
semangat untuk bergerak dan hidup. Itu berarti bahwa
semangat atau spirit ini hanya dimiliki di dalam Holy Spirit (Roh Kudus) (Banawiratma, 2012, hlm. 7). Dari pengertian yang telah dikemukakan maka
spiritualitas dapat dipahami sebagai sumber semangat untuk hidup, bertumbuh dan
berkembang dalam sebuah bidang kehidupan di dunia, baik secara pribadi maupun
bersama orang lain, yang diperoleh dalam perjumpaan dengan Allah, sesama dan
diri sendiri (Banawiratma, 2012, hlm. 8). Seperti
yang dikatakan oleh Tom Jacobs dalam
bukunya yang berjudul Paham Allah, menekankan spiritualitas itu lebih kepada suatu
corak atau gaya hidup. Jadi, malah lebih menyangkut
soal jasmani, tetapi tidak terlepas
dari yang rohani. Namun bukan rohani
sebagai lawan dari jasmani, melainkan
rohani dalam arti �digerakkan oleh Roh Allah�. Khususnya dalam lingkup kristiani spiritualitas berarti hidup dari kekuatan
Roh (Jacobs,
2002, hlm. 232).
�Fowler menambahkan bahwa ada unsur
transenden dalam iman manusia, yang menjelaskan hubungan dengan transenden itu (Shelton
& Charles M., 1987, hlm. 61).
Jadi intinya memang rohani, dalam arti bahwa manusia dalam
hati menyadari diri di hadapan Tuhan dan kesadaran itu langsung diwujudnyatakan
melalui tindakan dan pergaulan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa spiritualitas berhubungan langsung dengan iman kepada
Tuhan yang diwujudnyatakan melalui perbuatan (Jacobs,
2002, hlm. 232).
Thomas
Michael pun mengatakan bahwa
spiritualitas adalah suatu kesadaran menanggapi Allah yang mencakup dua dimensi yakni
dimensi vertikal dan
horizontal. Dari keduanya tidak
boleh ada yang kurang akan penghayatan
hidup kristiani yang diintegrasikan secara penuh.� Dalam dimensi vertikal,
spiritualitas hidup Kristen
menuntun dan mengarahkan umat Kristiani, agar dapat membangun hidup spritual yang mendalam melalui latihan rohani, karena melalui latihan rohani dapat membantu umat Kristen menumbuhkan rasa kecintaan, kesadaran dan kecakapan akan pentingnya penghayatan hidup rohani, dan mengarahkan kehidupan umat beriman agar senantiasa hidup dalam semangat Roh dan bersatu dengan Allah melalui kegiatan peribadahan maupun pelayanannya. Sedangkan dimensi horizontal, spiritualitas mengarahkan umat kristiani untuk ambil bagian
membangun kehidupan bersama sebagai bentuk kesatuan umat Allah dalam Tubuh Kristus sebagai
gereja komunal (Sesilia, 2018, hlm. 17�18) Itu berarti bahwa
spiritualitas, tidak hanya menyangkut hubungan manusia dengan Allah tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya dalam menciptakan sebuah kedamaian.
2. Dimensi-Dimensi Spiritualitas
Kristen.
Spiritualitas
Kristen memiliki tiga dimensi, yaitu perjumpaan dengan Allah, perjumpaan dengan sesama, dan perjumpaan dengan diri sendiri.
Ketiganya tidak dapat terpisahkan karena cinta kepada
Tuhan, terwujud dalam cinta kepada
sesama dan juga diri sendiri (Banawiratma, 2012, hlm. 11).
Berikut adalah cara memahami hubungan
perjumpaan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama dan dengan dirinya sendiri:
3. Membangun Hubungan
Dengan Tuhan
Setiap
manusia dalam menjalani kehidupannya tidak dapat terlepas
dari yang namanya komunikasi. Manusia perlu berkomunikasi agar dapat memahami dan mengerti keadaan di sekitarnya. Begitu juga dengan kehidupan bersama Tuhan, manusia perlu berkomunikasi
dan membangun hubungan yang
baik dengan-Nya. Sebab manusia adalah
milik kepunyaan Tuhan, yang memahami akan seluruh kehidupan
manusia. Untuk dapat membangun hubungan yang baik dengan Tuhan, manusia
dapat melakukannya dengan cara beribadah
sesuai dengan apa yang telah dikembangkan oleh gereja seperti berdoa
untuk menaikkan ungkapan syukur serta terus bersandar
kepada-Nya (Jacobs,
2004, hlm. 12),
memuji dan memuliakan nama Tuhan sebagai
bentuk penyembahan kepada-Nya, dan membaca firman Tuhan, sebagai
pedoman dalam kehidupan orang percaya.
Sebagai
pemuda Kristen keempat bagian ini merupakan
bagian terpenting dalam seluruh kehidupannya,
karena dengan taat beribadah, berdoa, memuji Tuhan dan membaca Alkitab dapat membentuk
spritualilitas iman kepercayaan para pemuda dan membuat pemuda dapat mengerti dan memahami tentang Tuhan yang mereka percaya dan imani. Pemuda pun dapat mengenal Tuhannya dengan segala kehendak-Nya
melalui pengalaman hidup yang dialaminya. Sehingga pemuda dapat mengerti akan keberadaannya di tengah-tengah dunia sebagai pemuda Kristen yang sejati.
4. Membangun Hubungan
Dengan Sesama
Manusia
adalah makhluk sosial yang dalam seluruh kehidupannya tidak dapat dipisahkan
dengan orang lain yang ada
di sekitarnya. Sebagai makhluk sosial, manusia saling berinteraksi, menjalin hubungan yang baik, saling menghormati
sesama, dan membangun hubungan cinta kasih di dalamnya. Untuk itu hidupnya harus
dapat berdampak bagi orang lain. Hidup yang berdampak adalah ketika dapat membangun
hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar.
Dalam membangun hubungan dengan sesama yang baik, itu semua
dimulai dari keluarga. Keluarga merupakan lingkungan awal dan utama bagi setiap manusia,
secara khusus pemuda untuk dapat
menghayati kedekatan dan hubungan saling membangun serta memberikan sesuatu yang terbaik dari apa
yang dimiliki, karena ketika terhadap keluarga sendiri, pemuda dapat memberikan
yang terbaik dengan membangun, memelihara dan mengembangkan suasana damai, kerukunan dan saling mencintai, menghargai, terbuka, rela berkorban, rukun, jujur, taat,
disiplin dan bekerja sama, maka pemuda
dapat menghayati hal yang sama dengan
lingkungannya yang lebih luas seperti dalam
kehidupan bermasyarakat.
Selman mengatakan bahwa
ketika seseorang terlibat dengan kehidupan bersama dengan orang lain, maka berkembang dalam dirinya suatu kemampuan
untuk menghargai pandangan orang lain. Seseorang mampu untuk memahami
cara pikir, pandangan dan perasaan orang lain
serta mampu mengambil pandangan orang lain
dan menghubungkan dengan pandangannya sendiri (Shelton
& Charles M., 1987, hlm. 87). Itu berarti bahwa dalam membangun
hubungan spiritualitas yang
horizontal, pertama yang harus
dilakukan oleh pemuda ialah Saling Menghargai, karena dengan saling menghargai,
para pemuda dapat mencintai orang lain sebagai pribadinya yang lain dan dapat mencermikan kehadiran Allah dalam hidup bersesama.
5.
�Pemuda
Dalam Proses Mencari Jati Diri
Manusia sebagai kepribadian yang utuh adalah manusia
yang di hadapan Tuhan menyadari siapa dirinya sebenarnya (Banawiratma, 2012, hlm. 14). Manusia harus
dapat memahami dirinya sendiri dengan baik melalui
berbagai pengalaman hidup yang telah dilalui, karena pengalaman hidup merupakan wahana Allah berkarya dalam kehidupan manusia. Untuk itu sebagai
manusia, perlu untuk menggali dengan benar setiap
pengalaman-pengalaman hidup
dan berusaha mencari, serta menemukan kehadiran Allah dalam berbagai macam bentuk kasih yang telah lama dialami, baik itu melalui
pengalaman bersama dengan pribadi-pribadi lain atau pengalaman pribadi dengan Allah.� Dengan demikian pengalaman hidup yang disertai penghayatan akan kehidupan itu sendiri,
akan membawa manusia mengenali dan menyadari siapa dirinya dan bisa mencintai serta menerima dirinya sendiri apa adanya.
6. Psikologi Perkembangan
Pemuda
Masa
muda merupakan masa bagi setiap pemuda
berusaha untuk menentukan, arah dan tujuan hidupnya. Pada umumnya masa muda merupakan masa transisi antara masa remaja dan dewasa. Dalam psikologi
perkembangan John W. Santrock dan Elizabeth B. Harlock, sepakat menyatakan bahwa masa muda disebut sebagai
masa dewasa awal. Pada masa ini para pemuda berusaha menunjukkan eksistensinya agar dapat diakui oleh lingkungan sekitar mereka berada. Meskipun mereka mengaku masih perlu� bimbingan
dengan penuh perhatian dari generasi sebelumnya, namun harapan mereka
adalah �perlakukan mereka sebagai sahabat sederajat� yang diberi kesempatan dan kepercayaan yang penuh dari generasi pendahulu,
karena sesungguhnya pemuda tidak ingin
dilibatkan hanya pada saat pelaksanaan saja, tetapi mereka
juga ingin dilibatkan sejak perencanaan dan pengambilan keputusan. Dengan kata lain, mereka ingin dihargai sebagai pribadi yang sedang berada dalam
proses menemukan identitas dirinya (Gultom, 2017, hlm. 2).
Dalam
buku �perkembangan kepribadian & Keagamaan�, Robert W. Crapps menjelaskan bahwa pada tahap ini orang muda makin lancar
dalam mempergunakan cara berpikir dan makin terlepas dari dunia kanak-kanak serta semakin mandiri.
Dalam perkembangan kognitif� menurut Pieget masa� muda merupakan masa yang digambarkan sebagai gerak peralihan
dari cara berpikir konkrit ke cara berpikir
proposional (Crapps, 1994, hlm. 23).
Itu berarti bahwa pada tahap ini pemuda sudah
tidak hanya terikat pada apa yang telah dialami, tetapi juga dapat berpikir mengenai sesuatu yang akan datang, karena mereka sudah dapat
berpikir secara hipotesis.
Bertitik tolak dari teori Pieget mengenai perkembangan
kognitif, Ronald Goldman pun menjelaskan bahwa kaum muda dari tahap demi tahap
semakin mencapai efesiensi, bukan hanya dalam menggali pemikiran hipotesis,
tetapi mereka juga sudah dapat melihat relevansi kebenaran abstrak bagi
pengalaman mereka. Ronald menjelaskan
bahwa pertumbuhan kognitif, memberi kemungkinan terjadi perpindahan atau transisi dari agama lahiriah ke agama batiniah. Maksudanya bahwa pada masa ini, para pemuda tidak hanya
meyakini agamanya karena mengikuti agama dari orang tua mereka yang dibawa sejak lahir, tetapi
di sini mereka sudah mulai berfikir
dan mencari nilai kebenaran dari apa yang diyakini dan percayai. Studi Pieget dan Goldman ini, menunjukkan bahwa perkembangan kognitif selama masa muda berubah dan membuat cara berpikir secara
kualitiatif berbeda dengan cara berpikir
anak-anak (Crapps, 1994, hlm. 24).
Dien
Sumiatiningsih dalam teorinya menambahkan bahwa, perkembangan pemuda tidak hanya
terjadi secara kognitif saja, melainkan pemuda dalam dirinya juga memiliki perkembangan moral, ego,
dan iman. Perkembangan-perkembangan
inilah yang turut memengaruhi pola pikir pemuda terhadap
gereja, ibadah, pelayanan
dan Tuhan, sehingga pemuda dapat merasakan
arti gereja itu sesungguhnya dalam dirinya (Surbakti, 2017, hlm. 12).
Dalam tulisan Fernando Perananta Alfa Surbakti, Sigmund
Freud juga mengatakan bahwa pada tahap ini pemuda mengalami pertumbuhan hormon
seksual, yaitu pemuda telah mulai suatu tahap baru dalam perkembangan hidupnya.
Pemuda mulai diarahkan ke objek seksual
(cinta) yang sebenarnya, dengan lawan jenisnya.
Bentuk ini muncul antara lain mulai membangun persahabatan dengan lawan jenis, pacaran,
mempersiapkan karir, dan menikah atau berkeluarga(Surbakti, 2017, hlm. 12�13).
Pada fase ini menurut Erik H. Erikson sebagaimana
yang dikutip oleh Reza Indragiri Amriel
pemuda mulai melebur dengan individu lain tanpa disertai ketakutan akan hilangnya sesuatu dari dalam
diri pemuda itu sendiri (Amriel, 2007, hlm. 20)
7. Spiritualitas Pemuda
Spiritualitas
merupakan salah satu unsur terpenting bagi pemuda dalam
proses pembentukkan karakter
hidupnya, sehingga dapat menemukan identitas dirinya sebagai pemuda Kristen yang sejati. Itu dapat
dilihat dari hubungannya, baik dengan Tuhan, sesamanya,
maupun dengan dirinya sendiri. Ketika seseorang masuk dalam usia muda,
mereka mendapatkan kemungkinan-kemungkinan iman yang
cukup matang dan reflektif. Mereka mulai memandang iman yang semakin �menjadi milik sendiri�.
Selanjutnya iman itu tidak hanya
lebih personal, tetapi mengantar untuk ungkapan iman yang lebih konstan dan koheren serta mereka
mulai mempertanggung jawabkan ungkapan iman yang masuk akal dan logis (Shelton
& Charles M., 1987, hlm. 60).
Menurut
Charles M. Shelton SJ, ada beberapa
cara yang dapat digunakan untuk membantu kaum muda
menghubungkan rasa identitas
personal mereka yang semakin
dalam dengan spiritualitas mereka (Shelton
& Charles M., 1987, hlm. 70�73):
a.
Teknik pertama disebut sebagai teknik �saat-saat puncak�. Saat-saat puncak maksudnya ialah tahap dimana pemuda
sudah mulai mandiri dan dapat berdiri dengan pemikiran serta keputusannya sendiri.� Pada masa ini merupakan tahap awal untuk merumuskan
permasalahan yang semakin dalam sehubungan dengan makna hidup.
Hal yang dibutuhkan orang muda
ialah pandangan pendorong yang memungkinkan mereka secara sadar
mengalami �saat-saat puncak� dan pengalaman religius mereka. Menciptakan secara sadar pengalaman dan dukungan seperti itu akan dapat
mengembangkan rasa aman
yang berdasarkan pada cinta
Tuhan. Itu akan memperkuat spiritualitas kaum muda. Dalam
teknik ini, kaum muda memusatkan
perhatian mereka kepada aspek khusus
dalam hidup mereka, seperti keluarga, teman atau pengalaman pribadi yang menyangkut kesadaran akan Tuhan.
b.
Penekanan
pada pergaulan dengan teman sebaya serta
orang-orang yang ada di sekitarnya,
dapat memberikan pengalaman yang sangat membantu selama tahun-tahun perkembangan spiritualitas seorang pemuda.
c.
Pada masa muda mulai muncul
berbagai peranan. Orang muda harus dapat
membuat keseimbangan dalam berbagai peran, baik sebagai
seorang anak, olahragawan, pekerja, siswa atau mahasiswa
dan lain sebagainya.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa spiritualitas pemuda berpengaruh pada perubahan dan perkembangan kehidupan orang muda. Mereka berusaha
untuk menyatukan segala aspek perkembangan
dalam diri pribadi mereka, guna membantunya untuk terlibat dan membangun hubungan pribadi dengan Yesus Kristus dalam
konteks perkembangan menuju kedewasaan iman dan juga dengan dengan manusia lainnya dalam pergaulan.
8. Pemuda Sebagai
Generasi Penerus Gereja
Gereja
merupakan persekutuan
orang-orang percaya yang dipanggil
untuk berkumpul (Yunani: Ekklesia) (Hadiwijono, 2015, hlm. 362). Sebagai
sebuah lembaga gereja tidak hanya
merupakan tempat untuk manusia mendengar
dan menerima akan kabar keselamatan dari Allah, tetapi juga menjadi tempat manusia menjawab dan memberi dirinya kepada Tuhan dalam
rangka melayani dan menyebarkan kabar keselamatan itu ke seluruh dunia. Dalam
penyebaran misi keselamatan, peran ini tidak hanya
diberikan kepada
orang-orang tertentu saja, tetapi diberikan kepada semua orang percaya yang telah dipanggil keluar dari kegelapan menuju terangnya yang ajaib dan salah satu peran terpenting dalam penyebaran injil Kristus yaitu
pemuda.
Keberadaan
pemuda sebagai generasi penerus dalam gereja adalah
hal yang tidak dapat dipisahkan dari gereja, karena
pemuda merupakan pilar yang
menjadi kekuatan bagi perkembangan gereja. Di pundak para pemuda terdapat berbagai harapan, terutama dari generasi
lainnya, baik itu generasi sebelumnya
atau sesudahnya. Ini karena para pemuda diharapkan dapat menjadi generasi
yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya dalam melaksanakan misi pelayanan gereja secara terus menerus.
Ini berarti bahwa kehadiran pemuda dengan segala
potensi yang mereka miliki, diharapkan dapat menjadi daya
pembaharu (Gultom, 2017, hlm. 4) dalam pelayanan
yang ada di gereja salah satunya seperti dalam pelayanan presbiter.
Di
sini juga peran pemuda dalam pembangunan
misi pelayanan gereja sangatlah penting, yaitu sebagai �motor� atau penggerak dalam gereja karena tanpa
peran� pemuda dalam semua
lini pelayanan yang ada di gereja, maka ada tahapan
pembangunan gereja yang terlewatkan yakni absennya keterlibatan pemuda dalam memahami
realita perkembangan dan kebutuhan gereja dimasa kini dan masa yang akan datang (Gultom, 2017, hlm. 4)
Jonathan
Parapak mengatakan bahwa peran pemuda
dalam gereja ialah menjadi pemuda
yang benar-benar diperkenankan
Tuhan, dengan mengambil alih tongkat estafet pelayanan yang ada dalam gereja dan dituntut mempersiapkan diri untuk bertanggung
jawab dalam pelayanan (Parapak, 2002, hlm. 139), seperti menjadi seorang presbiter dengan jabatan sebagai penatua dan diaken. Itu berarti
bahwa pemuda harus berdiri di atas landasan dan tujuan yang sama yaitu menjalankan misi Kristus di tengah-tengah dunia, sehingga sejak masa mudanya mereka mampu menjadi
saksi-saksi Kristus yang siap utus, untuk
menjalankan tri tugas panggilan gereja dan dapat meningkatkan pelayanan yang ada di dalam gereja.
Selain
itu peran pemuda gereja adalah
�kehadiran, keberadaan dan kehidupan� sebagai pemuda dalam persekutuan
yang ikut menentukan citra persekutuan melalui kualitas dirinya. Pemuda berperan untuk �ada� menjadi orang penting dari persekutuan
itu. Kehadiran pemuda dalam gereja
adalah kehadiran relasional dalam persekutuan. Pemuda harus menghayati relasinya dengan Tuhan karena kasih
Yesus Kristus, pemuda merasakan kemudaan dalam relasinya dengan yang lebih tua dan anak-anak.
Pemuda harus menyadari dirinya bahwa �ia adalah
ia�, pemuda gereja. Realisme keberadaannya, kualitas imannya, kualitas hidupnya dalam relasi dengan Tuhan,
dengan keluarga, dengan masyarakat luas harus memancarkan
citra Kristus. Dengan demikian peran pemuda sangat
penting dalam sebuah persekutuan. Peran pemuda dalam tugas
dan panggilan gereja tentu tidak dapat
dilupakan. Pemuda harus bersaksi tentang hubungan dan pengalamannya dengan Tuhan dan sesama. Mereka harus terlibat
dalam pelayanan gerejawi, memperhatikan yang sakit, menolong yang memerlukan pertolongan dan lain sebagainya, karena pemuda berada pada umur dan fisik yang kuat, sehingga bebas memberitakan kabar baik, Injil
keselamatan, baik sendiri-sendiri maupun melalui pertemuan-pertemuan yang lebih besar (Parapak, 2002, hlm. 139�142)
9. Pemuda dalam
Gereja Protestan di
Indonesia bagian Barat (GPIB)
Dalam
Tata Gereja GPIB, peraturan
nomor 15, tentang pelayanan kategorial GPIB pasal 1 ayat 2c, pemuda disebut dengan nama Gerakan Pemuda yang disingkat dengan GP. Dalam keanggotaannya pada pasal 2 ayat 3, yang termasuk dalam pelayanan kategorial (Pelkat) GP adalah semua pemuda
warga GPIB yang terdaftar
di jemaat, berusia sekitar 18 sampai maksimal 35 tahun dan yang belum menikah. Serta orang-orang muda dari gereja
lain yang atas kemauannya sendiri bergabung dalam GP GPIB� (Majelis Sinode GPIB, 2015b, hlm. 266).
Pemuda
GPIB adalah pemuda yang hadir untuk menjalankan
tugas dan misi gereja. Eksistensi GP GPIB sebagai sebuah pelayanan kategorial, tidak bisa hanya
dilihat sebagai pajangan, bagi kegiatan-kegiatan pelayanan GPIB saja. Tetapi GP harus menyadari bahwa, dirinya memiliki tanggung jawab untuk menjadi saksi
bagi gereja dan terlibat secara langsung dalam berbagai lini pelayanan(Singgih, 2004, hlm. 292). Seperti
arti dari logo Pelkat GP
GPIB, yang berbentuk segitiga
dengan warna biru benhur. Warna
biru benhur berarti �berani� dan �setia�. Warna biru
ini berasal dari warna api
yang memiliki temperatur
paling panas. Ini menandakan semangat GP yang harus melampaui semangat yang pernah ada. Bentuk segitiga
pada logo GP, menandakan tri tugas
panggilan gereja, dan bentuk segitiga memberikan arti bahwa ketiga pemanggilan dan pengutusan itu, mesti dijalani dengan sikap rendah
hati dan tunduk di bawah kuasa Tuhan.
Adapun garis segitiga berwarna
putih, yang menandakan kekudusan, kesucian, yang harus menjadi garis yang jelas dan tegas, yang membedakan GP dengan kehidupan di luarnya. Kesucian Ilahi inilah yang menjadi pedoman spiritualitas pemuda agar senantiasa menjaga dirinya tetap berada dalam
kehendak Allah.
Pada
logo GP, ada juga gambar Salib yang melambangkan pengorbanan Yesus Kristus Sang Pemuda Agung itu dan gambar Alkitab yang melambangkan Firman Tuhan, yang harus menjadi pedoman
bagi GP dalam menjalankan tugas, panggilan dan pengutusannya.
Adapun ayat Alkitab yang menjadi landasan bagi pelkat GP, yang terambil dari 1 Korintus 3; 11. Teks ini menjadi dasar bagi
pelkat GP agar sebagai sebuah organisasi senantiasa mengutamakan Kristus dalam gerak
layannya.�
10. Presbiter dalam Gereja
Protestan di Indonesia bagian
Barat (GPIB)(Majelis Sinode GPIB, 2015b, hlm. 5).
GPIB
menganut sistem dan bentuk Presbiterial Sinodal (Yunani: Presbiter = tua-tua = Penatua; Sun = Bersama; Hodos = Jalan). Artinya bahwa gereja
dipimpin oleh presbiter untuk berjalan, berpikir dan bertindak bersama-sama dalam mewujudkan gereja yang misioner. Sistem ini berasal
dari tradisi Calvinis. Dalam GPIB yang dimaksud dengan presbiter adalah diaken, penatua, pendeta dan penginjil untuk daerah Pekabaran Injil. Namun jabatan
ini tidak digunakan lagi sejak tahun 1992, karena para penginjil semuanya telah dialihkan menjadi pendeta.
Dalam
perjalanannya, para presbiter dipanggil
dan diutus untuk melayani dan memimpin gereja secara bersama.
Kebersamaan itu bukan atas dasar
sukarela atau terpaksa, tetapi karena misi Kristus
yang satu dan mempersatukan
presbiter. Kebersamaan itu harus terwujud dalam tindakan, yaitu berjalan, bergumul, bermusyawarah, bekerja dan berbuat serta mempunyai pengalaman bersama dalam mengisi persekutuan
untuk melayani dan bersaksi.
Sistem
dan bentuk Presbiterial Sinodal ini lebih memberikan
penekanan kepada para presbiter yang terpanggil untuk melayani dan memimpin gereja dalam menentukan
arah dan kebijakan gereja. Ini dilakukan
secara bersama-sama melalui Majelis Jemaat, Persidangan Sinode dan Majelis Sinode. Kebersamaan ini lebih nampak
dalam kepemimpinan gereja jemaat sehari-hari.
Sistem ini ingin menghidupkan hubungan timbal balik antara jemaat (Majelis Jemaat) dengan pimpinan Gereja (Majelis Sinode).
Dalam
pemanggilannya menjadi seorang presbiter, panggilan lahiriahlah yang dilaksanakan
oleh GPIB dewasa ini dalam pemilihan diaken dan penatua. Bagi pendeta yang dipanggil oleh gereja harus melalui pendidikan
teologi dan vikariat. Melalui proses pemilihan, pendidikan, pembinaan serta pengurapan seseorang diyakinkan akan panggilan batinnya, karena itu tidak dapat
diartikan bahwa presbiter khususnya diaken dan penatua, itu menjadi
wakil jemaat karena terpilih oleh jemaat hingga harus bertanggung
jawab secara organisatoris kembali kepada jemaat. Secara moral terikat pada jemaat karena kepercayaan
dan hubungan pengembalaan.
Para presbiter
terikat dalam majelis jemaat dan bersama-sama melayani dan memimpin jemaat.
Di
GPIB untuk menjadi seorang presbiter ada persyaratan
yang harus dipenuhi oleh warga jemaat, itu
di atur dalam tata gereja GPIB, peraturan nomor 1
tentang presbiter dan tata cara pengadaan presbiter, pasal 1 tentang presbiter:
1) Presbiter
adalah warga sidi jemaat GPIB yang menyediakan diri secara khusus
melalui proses perupaan untuk melayani di GPIB, sebagai pemenuhan panggilan dan pengutusan Kristus dalam rangka
mewujudkan gereja misioner.
2) Presbiter
terdiri atas: diaken, penatua dan pendeta
3) Presbiter
adalah pelaksana penatalayanan di dalam gereja dan jemaat
4) Presbiter
terikat dengan tugas dan tanggung jawab umum dan khusus
Syarat
lain yang harus dipenuhi diatur dalam pasal
3 tentang pemilihan diaken dan penatua, no. 2 tentang persyaratan calon diaken dan penatua sebagai berikut:
a. Kualitatif
1)
Memenuhi
persyaratan Alkitabiah.
2)
Tidak
berada dalam tindakan pengembalaan khusus.
3)
Tidak
bercerai hidup.
4)
Memiliki
semangat pengabdian yang tinggi dan loyal serta taat kepada pemahaman
iman dan Tata Gereja GPIB serta menjaga kemurnian
ajaran gereja dalam kesetiaan kepada Tuhan Yesus
Kristus.
5)
Menyatakan
kesediaan untuk mengikuti pembinaan secara berkesinambungan.
6)
Menyatakan
kesediaan untuk tidak terlibat dalam kegiatan denominasi lain atau persekutuan di luar GPIB
b. Administratif
1) Memenuhi ketentuan pasal
2) Berdomisili
di dalam wilayah pelayanan jemaat.
3) Bagi
yang sudah menikah wajib menunjukkan surat nikah/kawin gereja dan akte perkawinan catatan sipil.
4) Berijazah sekurang-kurangnya SMU (Sekolah Menengah Umum) atau sederajat.
5) Bukan isteri/suami pendeta,
pegawai/tenaga honorer GPIB.
6) Bukan isteri/suami dari
penganut agama/denominasi/gereja lain.
7) Sehat jasmani dan rohani.
8) Berusia maksimal 70 tahun tepat pada tanggal 31 Oktober dalam tahun
pemilihan.
11. Pemahaman Pemuda
Tentang Spiritualitas Dalam Mempersiapkan Diri Untuk Menjadi
Seorang Presbiter
Seperti
yang telah penulis jelaskan sebelumnya,
spiritualitas merupakan
salah satu hal terpenting dalam proses pembentukan kehidupan seorang pemuda,� karena dengan spiritualitas dapat membuat karakter
para pemuda berkembang ke arah yang lebih
baik, serta dapat membuat hubungan
antara pemuda dengan Tuhan, pemuda
dengan sesama maupun dengan dirinya
sendiri menjadi lebih baik lagi.
Untuk itu sangat penting bagi seorang pemuda
memahami secara baik apa arti spiritualitas
itu sendiri. Sehingga dalam kehidupannya, pemuda dapat memahami akan keberadaan dan kehadirannya ditengah-tengah
dunia serta menyadari bahwa �ia adalah
ia�, pemuda gereja yang harus terus menunjukkan eksistensinya dengan mau terlibat secara
langsung dalam berbagai pelayanan dalam gereja.
Thomas Michael mengatakan bahwa spiritualitas adalah suatu kesadaran menanggapi Allah yang mencakup dua dimensi yakni
dimensi vertikal dan
horizontal. Dari keduanya tidak
boleh ada yang kurang akan penghayatan
hidup kristiani yang diintegrasikan secara penuh. Itu berarti
bahwa pemuda harus dapat membangun
hubungan yang baik dengan Tuhan, dengan
sesama ciptaan lainnya, maupun dirinya sendiri dalam sebuah keselarasan.
Berdasarkan
hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap pemuda GPIB Jemaat �Immanuel� Makassar, penulis
melihat bahwa rata-rata
para pemuda hanya sebatas mengerti apa arti spiritualitas, tetapi belum memahami
secara baik spiritualitas itu sendiri. Ini terlihat
dalam kesenjangan akan kasadaran menanggapi Allah. Pemuda dalam kehidupannya, untuk membangun hubungan horizontal dengan
orang-orang yang ada di sekitarnya
atau dengan anggota jemaat setempat sudah cukup baik. Itu
bisa dilihat dengan kehadiran pemuda untuk terlibat
secara langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pelkat-pelkat lain, atau ketika
ada acara-acara khusus dalam jemaat, pemuda
turut membantu untuk mensukseskan kegiatan atau acara-acara tersebut. Namun dalam membangun hubungan vertikal dengan Tuhan, secara
khusus dari penghayatan hidup kekristenan, para pemuda belum mampu untuk
membangun relasi yang baik. Itu bisa
dilihat melalui pola peribadahan yang mereka lakukan, baik itu dalam
ibadah kategorial GP, ibadah sektor,
berdoa, baca firman Tuhan maupun
mengikuti berbagai kegiatan dan pelayanan yang ada dalam gereja,
seringkali yang terjadi, tingkat keaktifan pemuda masih sangat
terbatas.
Padahal
sebagai pemuda gereja, para pemuda di GPIB Jemaat �Immanuel� Makassar menyadari
bahwa sangat penting bagi pemuda
untuk terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan, ibadah, maupun pelayanan yang ada di gereja. Salah satu pelayanan yang penting untuk pemuda terlibat
di dalamnya yaitu pelayanan presbiter, karena ketika ada anggota
GP yang terlibat secara langsung dalam pelayanan presbiter, maka aspirasi-aspirasi atau program kerja dari rekan-rekan
pemuda lainnya lebih mudah untuk
disuarakan atau disampaikan dalam sidang majelis jemaat untuk dibicarakan
dan diputuskan bersama. Namun kesadaran itu hanya sebatas
kesadaran saja tanpa ada tindakan
nyata untuk mau terlibat dalam
pelayanan presbiter secara langsung.
Dalam
pelayanan presbiter, pemuda gereja harus mampu
mengintegrasikan secara penuh hidup kristiani
bersama Tuhan, karena dalam tugas
dan tanggung jawabnya sebagai seorang presbiter, seluruh kehidupannya akan menjadi cerminan
bagi semua anggota jemaat. Dalam relasinya, pemuda tidak bisa
hanya membangun hubungan yang baik dengan sesamanya saja, tetapi pemuda
harus dapat membangun hubungan yang baik dengan Tuhan,
karena tugas dan jabatan sebagai presbiter merupakan anugerah yang Tuhan berikan kepada
umatnya, dan umatnya menjadi perpanjangan tangan untuk menyebarkan
kabar keselamatan dari Tuhan Yesus
Kristus. Selain itu pemuda harus
mampu untuk memahami akan kehendak
Tuhan, sehingga pemuda dapat menjalankan
tugas dan tanggungjawab ini sesuai dengan
apa yang Tuhan Yesus kehendaki. Dengan demikian pemahaman akan spiritualitas itu sangat penting bagi para pemuda dalam mempersiapkan diri menjadi seorang
prisbiter, agar pemuda dapat memangku jabatan tersebut dengan penuh tanggung
jawab.����
12. Faktor-faktor yang Menyebabkan
Pemuda Belum Terlibat Secara Langsung Dalam Pelayanan Presbiter di GPIB
Jemaat �Immanuel� Makassar.
Berdasarkan
hasil penelitian yang penulis lakukan di GPIB Jemaat �Immanuel� Makassar, penulis
melihat ada tiga faktor yang menyebabkan pemuda belum terlibat dalam pelayanan presbiter secara langsung:
a.
Faktor dari dalam
diri pemuda.
Berdasarkan
hasil penelitian yang penulis lakukan, penulis melihat pemuda GPIB Jemaat �Immanuel�
Makassar belum menyadari akan keberadaannya sebagai pemuda gereja, dikarenakan pemuda sendiri masih meragukan akan keberadaannya, dengan menganggap dirinya masih terlalu
muda untuk terlibat dalam pelayanan presbiter. Kesiapan mental, rasa kepercayaan diripun belum ada dalam
diri pemuda. Mereka masih memiliki
rasa takut, malu, dan merasa belum bisa
tampil di depan jemaat untuk memberitakan
firman Tuhan dan menyelesaikan masalah-masalah jika ada masalah
yang terjadi dalam jemaat. Pemuda merasa bahwa hal
itu lebih baik dilakukan oleh orang-orang tua atau orang yang lebih berpengalaman saja. Padahal jika
dilihat dari perkembagan psikologi pemuda yang dijelaskan oleh
Philip Tangdilintin, pemuda
adalah orang-orang yang penuh
dengan dinamika dan semangat untuk mencoba hal-hal baru guna membawa
sebuah perubahan dengan perkembangan intelektual yang mereka miliki.
Sebagai
seorang pemuda Kristen yang
hakikatnya merupakan pilar gereja, pemuda seharusnya menyadari akan keberadaan dan tanggung jawabnya di tengah-tengah kehidupan bergereja. Karena mereka adalah generasi penerus yang akan melanjutkan misi pelayanan gereja, guna mewujudkan gereja yang missioner. Dengan memiliki daya pikir
kritis, kreatifitas, wawasan-wawasan baru sesuai dengan perkembangan
zaman dan semangat melakukan
pembaharuan di mana mereka berada, pemuda gereja seharusnya bisa menunjukkan eksistensinya tanpa ada ketakutan maupun
keraguan dalam dirinya.�
b.
Faktor dari luar
diri diri pemuda.
Dengan
perkembangan zaman yang terus
terjadi, membuat para pemuda yang ada di GPIB Jemaat�Immanuel� Makassar, selalu
berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya dan mengejar cita-citanya, baik itu dengan
bekerja maupun berkuliah. Sehingga membuat keaktifan dalam mengikuti ibadah-ibadah atau pelayanan terkadang menjadi terhambat. Ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat para pemuda di GPIB Jemaat �Immanuel�
Makassar belum mau terlibat dalam pelayanan presbiter, mereka kuatir tidak dapat
membagi waktu dengan baik antara
pelayanan, pekerjaan atau berkuliah.
Faktor
lain yang membuat pemuda belum mau terlibat
dalam pelayanan presbiter yaitu pergaulan. Penulis melihat bahwa para pemuda masih ingin bebas
dan masih mau bersenang-senang. Mereka belum mau terlibat
dalam pelayanan presbiter karena takut menjadi
soroton dari jemaat akibat pergaulan
mereka, yang masih senang untuk nongkrong
sampai tengah malam, masih suka
�hura-hura� dan lain sebagainya.
Selain itu para pemuda juga belum mau terikat dengan
aturan-aturan yang ada di dalam gereja. Para pemuda masih mau
bebas dengan �dunianya sendiri� dan aturan mainnya sendiri.�� ���������
c.
Pertimbangan dari jemaat.
Sebagai
orang-orang yang akan memilih
calon presbiter dengan jabatannya sebagai penatua dan diaken, jemaat memiliki peran penting dalam
menentukan siapa yang akan masuk dan terlibat dalam pelayanan presbiter. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, penulis melihat belum adanya pemuda
yang terlibat secara langsung dalam pelayanan presbiter disebabkan oleh sikap jemaat yang sangat selektif untuk menentukan calon-calon presbiter. Jemaat memiliki penilian-penilaian tersendiri bagi calon presbiter yang akan mereka pilih, dan yang sering kali membuat jemaat belum mau
untuk memilih pemuda, karena jemaat melihat pemuda yang ada di GPIB Jemaat �Immanuel� Makassar hanya fokus kepada komunitasnya
saja. Contohnya saja dalam ibadah sektor. Ibadah yang seharusnya semua unsur kategorial
hadir di dalamnya, tetapi yang sering terjadi yang hadir hanya PKB, PKP, dan PKLU. Tidak ada GP yang hadir di dalamnya. Sehingga terkadang membuat jemaat tidak mengenal
anak-anak GP yang ada di sektornya sendiri. Akhirnya jemaat enggan untuk memilih
para pemuda ketika diadakan pemilihan presbiter.
13. Pemuda Rekan Sekerja Allah��
Spiritualitas
merupakan salah satu aspek terpenting dan menjadi landasan kehidupan bagi pribadi setiap orang percaya, karena dengan spiritualitas setiap orang percaya dapat memahami arti kehidupannya di tengah-tengah
dunia, bagaimana untuk membangun hubungan yang baik dengan Tuhan,
dengan sesame manusia maupun dengan diri
sendiri. Seperti dalam Injil Matius
22: 37-40, teks ini mau menjelaskan bahwa kasih kepada
Allah harus dibarengi dengan kasih kepada
sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Itu
berarti bahwa hubungan vertikal tidak bisa diwujudkan
tanpa yang horizontal, dan begitu
pun sebaliknya (Singgih, 2008, hlm. 246).
Ini yang harus ditanamkan dalam diri setiap orang percaya, bagaimana dapat membangun spiritualitasnya, agar dapat menjadi teladan melalui pikiran, perkataan dan perbuatan, serta siap menjadi
saksi-saksi Kristus untuk menyebarkan kabar keselamatan.
Gereja
merupakan persekutuan
orang-orang percaya yang terpanggil
untuk menjalankan amanat agung Tuhan Yesus Kristus. Itu berarti bahwa
setiap orang percaya harus turut berpartisipasi
dalam mengemban amanat agung tersebut, karena orang-orang percaya telah menerima Roh Kudus sebagai motivator (penggerak)
dan energizer (pemberi
kekuatan) (Elbers, 2015, hlm. 30). Seperti
dalam Injil Matius 28 :18-20 yang menjadi amanat agung bagi orang percaya:
18. Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku
telah diberikan segala kuasa di
sorga dan di bumi. 19. Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, 20. dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."
Dari teks
ini mau menegaskan
bahwa setiap orang percaya diberikan kuasa untuk dapat
memberitakan Injil ke seluruh dunia. Namun sebagai orang percaya dalam segala
kehidupannya, harus dapat mencerminkan teladan Allah di dunia dan menaati
segala perintah-Nya. Itu berarti bahwa
setiap orang percaya harus berusaha untuk menjaga seluruh
kekudusan hidupnya.
Diayat
ke 19-20 merupakan inti perintah terakhir kepada murid-murid-Nya. Perintah ini diawali dengan
kata karena itu (Yunani: oun), jadikanlah semua bangsa murid-Ku. Tujuan utama dari amanat
agung ini adalah pemuridan (Yunani: matheteusate, yang
artinya �jadikanlah
murid�). Pemuridan biasa dilakukan dengan cara pergi, membaptis
dan mengajar (Elbers, 2015, hlm. 6).
Pemuridan
artinya menjadi pengikut Kristus. Di mana dalam segala hal
seorang murid menjadi pengikut tuannya yaitu Yesus Kristus.
Matius 10:24 menyatakan bahwa �Seorang murid tidak lebih dari
pada gurunya, atau seorang hamba tidak lebih dari pada tuannya. Seorang murid diberi kuasa seperti
Tuhan Yesus sendiri, tetapi dia juga diikut sertakan dalam penderitaan seperti yang dialami oleh Yesus Kristus. Itu berarti
bahwa hanya Yesus Kristus yang layak untuk dipuji
dan disembah oleh seluruh umatnya seumur hidup, selama mereka
masih berada di dunia dan bergumul dengan segala keterbatasan mereka. Rasul Matius mengingatkan kepada semua orang percaya bahwa, agen atau
pelaksana misi keselamatan sedunia adalah orang yang biasa-biasa saja yang diperlengkapi dan dipakai oleh Tuhan secara luar biasa
(Elbers, 2015, hlm. 7).
Tuhan
memerintahkan semua orang percaya untuk pergi
dan melayani. Tuhan tidak mengijinkan orang percaya untuk menutup
diri dari dunia dan hidup hanya untuk
kehidupan atau komunitasnya sendiri. Tetapi orang percaya dituntut untuk dapat bertindak menurut kehendak Allah, dengan segala kuasa
yang telah diberikan kepadanya.� Diayat yang ke 20b menegaskan bahwa ketika semua
orang percaya mau pergi dan melayani, maka Tuhan akan
menyertainya sampai kepada akhir zaman. Untuk itu, bagi
semua orang percaya di manapun berada harus ikut dan terlibat secara langsung dalam tugas mulia yang telah Tuhan Yesus
percayakan di dalam kehidupannya, tanpa harus ada keraguan
dan ketakutan untuk melayani.�
Salah satu
tokoh terpenting yang diberikan kepercayaan untuk menjalankan tugas mulia dari
Tuhan Yesus untuk mewujudkan gereja yang misioner adalah pemuda gereja,
karena mereka merupakan pilar gereja. Untuk mewujudkan gereja yang misioner pemuda harus dapat
terlibat dalam semua lini pelayanan
yang ada di gereja, salah satu lini pelayanan
terpenting yang membutuhkan
kehadiran pemuda di dalamnya adalah pelayanan presbiter. Sebagai pemuda mereka memiliki
daya fisik yang kuat, cakap dan memiiki daya pikir
kritis, kreatif serta inovatif yang dapat membuat pembaharuan
dalam wajah bergereja. Dengan sifat dinamis yang dimiliki oleh para pemuda, membuat mereka selalu berusaha untuk mewujudkan cita-citanya, sehingga di pundak para pemudalah terdapat harapan dari generasi sebelum
dan sesudahnya untuk dapat melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan. Namun berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan kepada pemuda GPIB Jemaat �Immanuel�
Makassar dalam keterlibatannya
menjadi seorang presbiter dengan jabatan sebagai penatua dan diaken, penulis melihat bahwa para pemuda belum mau
untuk terlibat dalam pelayanan tersebut. Para pemuda merasa bahwa mereka
masih terlalu muda untuk terlibat
dalam pelayan presbiter dan belum ada rasa kepercayaan diri, sehingga menimbulkan keraguan dan ketakutan dalam diri pemuda
itu sendiri dan lebih memberikan tugas dan tanggung jawab presbiter kepada orang yang lebih tua, karena
dianggap lebih berpengalaman.
Jika melihat
dalam Perjanjian Lama (PL),
kitab Yeremia 1:4-10, menjelaskan
bagaimana proses terjadinya
pemanggilan Yeremia untuk menjadi seorang
nabi. Pemanggilan Yeremia untuk menjadi
seorang nabi merupakan inisiatif Allah sendiri. Allah memilih Yeremia sebelum Yeremia dilahirkan dan mempersiapkan Yeremia selama kehidupannya. Sebelum dikandung dan antara masa kandungan dengan kelahiran, Allah telah mengenal dan menguduskan Yeremia dan membawanya sampai masa pengangkatannya sebagai seorang nabi. Allah menetapkan Yeremia sebagai nabi atas
bangsa-bangsa dan juga kerajaan-kerajaan
untuk menyampaikan nubuat-Nya. Tugas Yeremia tidak hanya
terbatas kepada bangsa Yehuda saja yang merupakan bangsanya sendiri, tetapi Allah mengutus Yeremia di antara bangsa-bangsa besar yang ada di Timur Tengah
dan Timur Dekat dan juga kerajaan
besar pada waktu itu, seperti Asyur,
Mesir dan Babel serta bangsa-bangsa kecil lainnya (Paterson,
2015, hlm. 39).�
Ketika Yeremia diperhadapkan dengan tugas kenabian
ini, Yeremia mengajukan protes atau keberatan kepada Allah, karena Yeremia merasa dirinya masih muda
dalam arti bahwa ia tidak mempunyai
kualifikasi karena pendidikan atau pengalaman, merasa belum matang, tidak
cakap untuk berbicara dan belum sanggup untuk memegang
jabatan sebagai seorang nabi. Dalam
buku tafsiran Alkitab: kitab Yeremia yang di tulis oleh Paterson, menjelaskan bahwa kemungkinan besar ketika Yeremia
dipanggil untuk menjadi seorang nabi dia masih
berumur dibawah 20 tahun. Sebab di Israel Kuno biasanya seseorang
kawin pada umur 18 atau 19 tahun dan Yeremia tidak kawin
karena pemanggilannya
(band. Yeremia 16: 1-2).� Di sisi lain Yeremia mengajukan keberatan kepada Allah atas tugas kenabiannya,
dikarenakan pada zaman itu
di Israel Kuno perintah dan
nasihat dari orang-orang tualah yang patut dihormati, bukan pemuda. Selain itu Yeremia juga memiliki sifat yang sensitif, ia lebih
suka hidup dalam sebuah ketenangan
dibandingkan harus memiliki masalah dengan orang-orang yang ada di sekitarnya (Paterson,
2015, hlm. 38�39).
Dengan
keberatan yang diajukan
oleh Yeremia, Allah tidak membebaskannya dari tugas kenabian itu. Allah tidak memberikan pilihan lain, kecuali menaati
kehendak-Nya. Allah berjanji
bahwa Ia akan menyertai Yeremia dan menjaganya untuk melawati setiap tantangan. Dalam ayat 9, terdapat
unsur penglihatan bahwa Tuhan bertindak
secara simbolis untuk menguatkan pemanggilan Yeremia dengan menjamah dan menaruh perkataan-perkataan Allah
dalam mulutnya untuk menyampaikan firman Allah atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan, tentang penghukuman Allah atas dosa-dosa.
Dalam
Perjanjian Baru (PB), kisah yang sama juga dialami oleh Timotius yang merupakan anak rohani dari Rasul Paulus. Dari
masa mudanya, Timotius� dipersiapakan oleh
Rasul Paulus untuk mengambil
alih tugas dari padanya sebagai
generasi penerus tradisi dan kekayaan gereja. Dalam I Timotius 4: 11-16, Paulus memberikan
saran kepada Timotius mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hidup pribadinya maupun tentang tugasnya sebagai pelayan Injil. Diayatnya yang ke 11, diawali dengan perintah kepada Timotius untuk beritakanlah dan ajarkanlah semuanya itu. Paulus ingin memberikan lebih banyak keberanian
kepada Timotius di dalam pengajaran dan tindakannya, karena ia melihat masih
ada ketakutan dalam diri Timotius,
karena usianya yang masih muda (Budiman,
1997, hlm. 40).
Ketika Timotius dibawa kepada pertobatan oleh Paulus
pada perjalanannya yang pertama
(I Timotius 1:2) pada tahun
44, Timotius berusia sekitar 15 tahun (band. II Timotius 1:5; 3:15). Timotius kemudian diikutsertakan sebagai pembantu Paulus pada perjalanan yang kedua tahun 52. Itu berarti
bahwa ketika Paulus menulis surat I Timotius pada tahun 62, usia Timotius sekitar
33 tahun. Usia ini merupakan usia
yang masih relatif muda. Timotius diberikan perintah untuk mengajar dan berhadapan dengan orang-orang
yang kebanyakan lebih tua dari padanya.
Ia harus memberikan instruksi-instruksi kepada mereka dan itu merupakan hal
yang tidak mudah baginya, karena instruksi-instruksi yang dia berikan belum tentu
diterima oleh orang yang jauh
lebih tua dari padanya (Budiman,
1997, hlm. 40).
Dalam kebudayaan PB
orang-orang yang berusia lanjut
sangat dihormati dan kemudaan dianggap rendah.
Ketakutan
Timotius tercermin dalam I Timotius 4: 12 (band. I Korintus 16 :10 dan 11). Paulus menguatkan
hati Timotius dengan mengatakan bahwa tidak akan
ada seorangpun yang menganggap engkau rendah dan meremehkan engkau karena engkau
muda, apabila engkau dapat menampakkan
diri dihadapan semua orang sebagai teladan untuk diteladani
baik dalam kata, tindakan dan dalam asas kasih, kesetiaan
serta keutuhan yang merupakan penerapan dari keseluruhan ajaran-Nya.
Sebagai
orang muda yang terpanggil,
Timotius juga diperintahkan
untuk terus menjalankan pelayanannya dalam jemaat dengan
memberikan perhatian kepada tiga tugas
utamanya yaitu membacakan Alkitab kepada jemaat, memberi semangat dan nasihat melalui firman Tuhan tersebut
serta mengajarkan katekesasi. Paulus sebagai orang tua rohani juga terus mengingatkan Timotius agar jangan lalai untuk mempergunakan
karunia yang ada pada dirinya. Karunia yang dimaksud bukanlah karunia Roh seperti
dalam 1 Korintus 12: 7-10
dan Roma 12 :6-8, melainkan karunia
dalam arti luas yaitu kuasa Roh
yang diperlukan untuk melakukan tugas pelayanan. Di sini Timotius telah diberikan nubuat oleh Tuhan yang memilih dia untuk mengajar
dan beritakan nubuatan itu. Oleh sebab itu Tomotius tidak
perlu takut, karena Tuhan akan
terus menyertainya dalam tugas pelayanan
tersebut (Budiman,
1997, hlm. 42).
Dengan
karunia Roh yang telah diterima oleh Timotius, Timotius diperintahkan untuk dapat mengembangkan pemberian ilahi itu dan membuktikan kepada semua orang mengenai kemajuan yang telah ia alami.
Timotiuspun terus dingatakan untuk tetap waspada atau
berhati-hati dalam tingkalaku dan apa yang diajarkan serta terus bertekun, karena dengan demikian
akan menyelamatkannya dan membuat ia menjadi
saksi Kristus yang membawa orang lain kepada keselamatan.
Selain
itu dalam Perjanjian Baru juga dapat dilihat bagaimana
Yesus sebagai Pemuda Agung mulai berkarya di tengah-tengah dunia. Dalam keempat kitab Injil, yakni Matius,
Markus, Lukas dan Yohanes memberikan
suatu informasi historis yang nyata bagaimana riwayat hidup Yesus. Kitab Injil ini ditulis
oleh para pengikut setia Yesus yang menggunakan informasi untuk membuat pernyataan spiritual tentang dimulainya Kerajaan Allah
dengan kedatangan Yesus, Putra Allah dan Juru Selamat umat manusia.
Keempat Injil ini memberitakan kepada umat manusia
bahwa, setelah dibaptis oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan pada usia sekitar 30 tahun, Yesus memulai
pelayanan umum yang berlangsung hanya kurang lebih selama
tiga tahun itu berarti bahwa
Yesus mati sekitar usia 33 tahun. Salah satu tindakan pertama Yesus ditengah-tengah dunia adalah memilih 12 murid-Nya yang hampir seluruhnya tinggal bersama-Nya sampai akhir hidup-Nya.
Yesus menghabiskan banyak waktu untuk
mengajar dan mempersiapkan
para murid-Nya untuk dapat meneruskan karya-Nya setelah Ia meninggal
dunia. Ia juga berkhotbah kepada orang banyak (Keene,
2006, hlm. 8)
Di samping
pengajaran-pengajaran-Nya, Injil juga menulis sejumlah mujizat yang dilakukan Yesus. seperti memberi makan 5.000 orang, membangkitkan
Lazarus dari kematian dan
juga melakukan mujizat penyembuhan bagi orang-orang sakit dan memberikan pengajaran kepada orang banyak. Namun dalam
pelayanan yang Yesus lakukan, Yesus pun mendapatkan tantangan dari lawan-lawan religius seperti ahli-ahli taurat dan orang-orang farisi. Mereka berusaha untuk mencari cara dengan
membuat rencana jahat untuk membunuh
Yesus. Akhirnya, Pontius
Pilatus, orang Romawi yang diberi
kuasa untuk bertindak atas nama orang Yahudi, memerintahkan pembunuhan terhadap Yesus. Kematiannya terjadi di atas suatu bukit
yang disebut Kalvari atau Golgota yang terletak di luar kota Yerusalem. Yesus disalibkan namun pada hari yang ketiga Allah membangkitkan Yesus kembali dari
antara orang mati dan ini merupakan inti iman Kristen, karena dari peristiwa tersebut Allah menyatakan kuasa dan janji-Nya atas setiap umat
yang percaya kepada-Nya (Keene,
2006, hlm. 9).
Dari ketiga
tokoh di atas menjadi titik tolak
bagi pemuda gereja untuk ada
dan terlibat dalam semua lini pelayanan.
Yeremia, Timotius dan Yesus sendiri telah
menjadi tokoh iman yang nyata, bagaimana Allah dengan inisiatif-Nya sendiri memberikan Anak-Nya yang Tunggal ke
tengah-tengah dunia untuk memberitakan kabar keselamatan serta memilih dan memakai pemuda dalam menyebarkan
firman-Nya dan dalam misi penyelamatan-Nya, walaupun ada rasa ketakutan, kurang percaya diri karena
merasa dirinya masih terlalu muda,
merasa belum berpengalaman dan tidak cakap untuk memberitakan
firman Tuhan atau berbicara di depan umum, namun
Tuhan tidak mau itu menjadi
penghalang bagi setiap orang muda untuk terlibat dalam pelayanan, karena kepada semua
orang percaya Tuhan telah memberikan karunia serta kuasa
agar dapat melayani. Untuk itu Tuhan
mau agar karunia dan kuasa itu dipergunakan
dengan sebaik-baiknya dalam rangka memenuhi
tugas panggilan gereja. Itupun yang Tuhan inginkan dalam kehidupan pemuda gereja saat
ini, walaupun ada begitu banyak
tantangan dan pergumulan di
zaman yang semakin modern ini,
Tuhan ingin agar pemuda gereja tetap
menunjukkan eksistensinya
dan memberi diri untuk terlibat dalam berbagai lini pelayanan yang ada di dalam gereja,
salah satunya ialah terlibat dalam pelayanan presbiter. Walaupun terlibat dalam pelayanan presbiter merupakan hal yang berat bagi para pemuda gereja, karena harus duduk bersama dengan para orang tua atau tua-tua gereja
dalam rangka memikirkan akan kemajuan dari gereja,
harus siap untuk memberitakan firman serta harus
menjadi teladan bagi semua anggota
jemaat, namun itu seharusnya tidak boleh membuat
pemuda untuk enggan terlibat di dalamnya, karena ketika Tuhan telah
memilih dan menganugerahkan
tugas dan tanggung jawab itu kepada
pemuda, maka Tuhan sendiri yang akan mendampingi, memperlengkapi dan memberkati
orang-orang pilihannya. Untuk
itu sebagai seorang pemuda gereja haruslah hidup dalam keteladanan
dan ketekunan kepada Yesus Kristus, yang dinyatakan melalui relasinya bersama dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dirinya sendirinya serta menunjukkan keteladanan melalui sikap dan perbuatan, karena hanya dengan itu
dapat membuat kehidupan pemuda siap untuk menjadi
saksi-saksi Kristus ditengah-tengah dunia dan tidak ada seorangpun yang dapat merendahkannya.
Kesimpulan
Pemahaman
spritulitas pemuda belum dapat diwujudnyatakan.
Pemuda lebih memilih untuk hidup
dalam zona nyamannya saja, sehingga membuat spiritualitas akan pengahayatan hidup bersama Allah menjadi tidak seimbang.
Pemuda lebih memilih untuk mencari
kesenangannya sendiri, dibandingkan terlibat dalam ibadah-ibadah, kegiatan-kegiatan
maupun pelayanan-pelayanan
yang ada dalam gereja. Salah satu pelayanan gerejawi yang belum ada pemuda
terlibat secara langsung di dalamnya adalah pelayanan presbiter. Pada hal keterlibatan pemuda dalam pelayanan
presbiter sangat penting untuk proses kaderisasi, agar pemuda dapat menjadi
generasi penerus yang akan memimpin serta
memikirkan masa depan gereja.
Pemuda belum menyadari akan keberadaannya sebagai pemuda Kristen yang sejati untuk memenuhi
tugas dan panggilan gereja. Masih ada ketakutan dan keraguan dalam dirinya untuk
mengambil bagian dalam pelayanan presbiter, dengan menganggap dirinya masih terlalu
muda untuk terlibat dalam pelayanan tersebut. Pemuda merasa bahwa
pelayanan tersebut lebih tepat apabila
dilakukan oleh orang-orang tua
yang sudah memiliki banyak pengalaman. Selain itu faktor
kesibukan dari setiap anggota GP juga menjadi penghambat bagipemuda untuk terlibat dalam pelayanan presbiter. GPIB Jemaat �Immanuel�
Makassar sangat terbuka dan
memberikan kesempatan kepada para pemuda untuk dapat mengambil
bagian dalam pelayanan presbiter. Gereja selalu berusaha untuk mempersiapakan para pemuda dari masa-masa ketika pemuda mulai
bertumbuh dan berkembang. Gereja juga selalu mendukung setiap program kerja yang pemuda programkan
BIBLIOGRAFI
Amriel, R. I. (2007). Psikologi
Kaum Muda Pengguna Narkoba. Salemba Humanika.
Banawiratma, J. B.
(2012). Pelayan, Spiritualitas
& Pelayanan. Taman Pustaka.
Budiman,
R. (1997). Tafsiran Alkitab:
Surat-surat Pastoral I & II Timotius
dan Titus. BPK Gunung Mulia.
Crapps, R. W.
(1994). Perkembagan Kepribadian
& Keagamaan. Kanisius.
Elbers, V. J.
(2015). Gereja Misioner.
Literatur SAAT.
Gultom, D. N.
(2017). Motivasi pemuda-pemudi
Dalam Pelayanan Sekolah Minggu di Gereja Toraja Jemaat
Sinar Mahakam Kalimantan Timur. UKSW.
Hadiwijono, H.
(2015). Iman Kristen. BPK Gunung Mulia.
Homrighausen, E.
G., & I.H. Enklaar. (1985). Pendidikan Agama
Kristen. BPK Gunung Mulia.
Hooijdonk, P. G.
van. (1996). Batu-batu Yang Hidup; Pengantar ke Dalam
Pembangunan Jemaat. BPK Gunung
Mulia.
Jacobs,
T. (2002). Paham Allah; Dalam
Filsafat Agama-agama dan Teologi.
Kanisius.
Jacobs,
T. (2004). Teologi Doa.
Kanisius.
Keene,
M. (2006). Kristianitas: Sejarah, Ajaran, Ibadat, Keprihatinan, pengaruhnya di Seluruh Dunia. Kanisius.
Lestari,
A. (2016). Kiat-kiat Cerdas
Cendekiawan Muslim: Karena Aku
Tahu, Aku Adalah Emas Permata Untuk Negeri. Begitu Juga Kamu! PT Elex Media Komputindo.
Majelis Sinode GPIB. (2015a). Buku
III PKUPPG & Grand Design PPSDI. Sinode GPIB.
Majelis Sinode GPIB. (2015b). Buku
IV Tata Gereja. Sinode
GPIB.
Parapak, J.
(2002). Pembelajaran & Pelayanan di Sekitar Iman, Teknologi, Pendidikan dan Pelayanan
Gerejawi. Institut Darma Mardika.
Paterson,
R. M. (2015). Tafsiran Alkitab:
Kitab Yeremia. BPK Gunung
Mulia.
Ramadhan,
M. S. F. (2016). Spirit Of Life: 25 Inspirasi dan Motivasi Penggugah Jiwa. PT Elex Media Komputindo.
Sardini, N. H.
(2014). Kepemimpinan Pengawasan
Pemilu: Sebuah Sketsa. Rajawali Pers.
Sesilia.
(2018). Penghayatan Spiritualitas
Hidup Kristiani Untuk meningkatkan Semangat Pelayanan Prodiakon di Paroki Kristus Raja Barung Tongkok, Kalimantan Timur. Santha
Darma.
Shelton,
S. J., & Charles M. (1987). Spiritualitas
Kaum Muda; Bagaimana Mengenal dan Mengembangkannya.
Kanisius.
Singgih, E. G.
(2004). Mengatasi Masa Depan;
Berteologi Dalam Konteks di awal millennium III.
BPK Gunung Mulia.
Singgih, E. G.
(2008). Menguak Isolasi,
Menjalin Relasi; Teologi Kristen dan Tantangan
Dunia Post Modern. BPK Gunung Mulia.
Surbakti, F. P.
A. (2017). Faktor-faktor Penyebab
Pemuda Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Runggun Jalan Katepul Tidak Hadir
Dalam Ibadah. UKSW.
Wuwungan, O. E.
C. (2009). Bina Warga:Bunga Rampai
Pembinaan Warga Gereja. BPK Gunung Mulia.