Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
5, No. 9, September 2020
�
TRANSNATIONAL DAN EKSISTENSI GERAKAN ISIS TERHADAP
DEMOKRATISASI DAN HUMAN SECURITY DI KAWASAN ASIA TENGGARA
Ajeng Rizqi Rahmanillah
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional Jakarta, Indonesia
Email:
ajeng.rizqi.rahmanillah@civitas.unas.ac.id
Abstract
Globalization
has paved the way for transnational societies to value in the international
world. One of them is ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), an Islamic
transnational movement that has a radical movement pattern and style as a
terrorism movement. This movement has spread to almost all over the world,
including Southeast Asia. The purpose of this study is to examine the extent to
which their existence in the Southeast Asian region enters through civil
society which has influence in decision making in a democratic system. The
research method used a qualitative approach by describing the problems to be
studied descriptively and then analyzing the data sources. The results showed
that ISIS took action to echo the caliphate system and showed resistance to the
existing government system and attempted to replace the system. The actions
they have carried out are acts of damage and damage to security in the
Southeast Asian region, such as acts of terrorism using suicide bombings and
the use of military instruments. Using a qualitative methodology, this study analyzes
the influence of the existence of ISIS on democratization and human security in
the Southeast Asia region.
Keywords:
Islamic Transnational Movement; Terrorism; ISIS; Southeast Asia
Abstrak
Globalisasi telah membuka jalan bagi masyarakat transnasional
untuk menyebarkan nilai di dunia internasional. Salah satunya ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria)
gerakan transnasional islam yang memiliki pola pergerakan radikal dan dianggap
sebagai gerakan terorisme. Gerakan ini menyebar hampir ke seluruh dunia
termasuk kawasan Asia Tenggara. Tujuan penelitian ini
untuk mengkaji sejauhmana eksistensi
mereka di kawasan Asia Tenggara masuk melalui masyarakat sipil yang memiliki
pengaruh dalam pengambilan keputusan di dalam sistem demokrasi. Metode penelitian dilakukan pendekatan kualitatif dengan
menggambarkan permasalahan yang akan diteliti secara deskriptif kemudian
melakukan analisis dengan sumber data pustaka. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ISIS melakukan aksi untuk menggaungkan
tentang sistem kekhalifahan dan menunjukan resistensi terhadap sistem
pemerintahan yang sudah ada serta berusaha untuk mengganti sistem tersebut.
Aksi yang mereka lakukan juga bersifat radikal dan mengancam stabilitas
keamanan di kawasan Asia Tenggara seperti aksi terorisme dengan menggunakan bom
bunuh diri dan penggunaan instrumen militer. Dengan menggunakan metodologi
kualitatif, penelitian ini mengalisis pengaruh eksistensi ISIS terhadap
demokratisasi dan human security di
kawasan Asia Tenggara.
Kata kunci:
Gerakan Transnasional Islam; Terorisme; ISIS; Asia Tenggara
Pendahuluan
Gerakan
ISIS menjadi sebuah tantangan baru dalam konstelasi politik internasional.
Gerakan ini dianggap sebagai gerakan terorisme dan ancaman bagi demokratisasi.
Meluasnya eksistensi terorisme seperti ISIS secara global merupakan implikasi
dari arus globalisasi yang dapat dilihat dari keterlibatan aktor, perluasan networking,
dan berbagai movement yang dilakukan oleh gerakan tersebut. Kemunculan
Islamic States in Iraq and Suriah (ISIS) mendapat sorotan tajam dunia
internasional, karena dalam waktu singkat memperoleh jejaring yang cukup luas
dalam waktu singkat serta pola-pola gerakan radikal yang dianggap
mengancam human security. Berbeda dengan gerakan transnasional islam
lainnya, kehadiran ISIS membawa dampak pada terciptanya instabilitas keamanan
di tingkat global, kawasan, dan negara nasional.
Gerakan
ISIS muncul melalui lapis pertama dalam sistem politik yaitu masyarakat sipil.
Mereka memasukan nilai tentang kekhalifahan dan membentuk jejering yang memungkinkan
mereka untuk melakukan movement. Berbeda dengan gerakan transnasional islam
lain yang menyuarakan tentang sistem kekhalifahan, pola gerakan ISIS lebih
radikal dan menggunakan istrument militer. Sehingga gerakan ini kemudian
dimasukan sebagai gerakan terorisme global. Eksistensi mereka yang sudah mulai
tersebar di berbagai penjuru dunia menjadi tantangan bagi dunia internasional (Hilmy, 2011).
Ideologi
khilafah yang disandang dan dikampanyekan secara luas oleh para pengikut,
pendukung, dan simpatisannya secara cepat dapat menarik dukungan warga Muslim
di berbagai belahan dunia. Perkembangannya melebihi keberhasilan perwujudan
gerakan politik Pan-Islamisme di kawasan dan tingkat global dalam membangkitkan
perlawanan bangsa-bangsa di wilayah jajahan dalam melawan imperialisme dan
kolonialisme Barat di awal abad ke-20. Sesuai dengan namanya, pada awalnya
Kekhalifahan Islam yang akan diwujudkan ISIS hanya meliputi wilayah Iraq dan
Syaam (Suriah dan sekitarnya, yang disebut kawasan Levant), sehingga disebut
juga dalam bahasa Arabnya sebagai al-Dawlah al-Islamiyah fii�I-Iraqi
wa-sySyaam (Daesh). Karena itulah, ISIS di kalangan pengikutnya
dideklarasikan sebagai Islamic States in Iraq and Levant (ISIL). Sebelum
menjadi ISIS dan ISIL, ia bermula dari organisasi Islamic State in Iraq (ISI)
yang dibentuk pada 13 Oktober 2006 oleh Majelis Syura Mujahidin. Tokoh
organisasi teroris AlQaeda di Iraq, yang bergabung tahun 1985, yang juga adalah
perwira dinas keamanan Iraq yang telah dipecat karena sikap ekstrimismenya, Abu
(Umar) Bakar al-Baghdadi, menggantikan posisi Zarkawi, pemimpin Al-Qaeda di
Iraq sebelumnya. Al-Baghdadi kemudian dinobatkan sebagai Khalifah pertama ISI,
yang kemudian berkembang menjadi ISIL/ISIS (Assad, 2014).
Untuk
memperoleh dukungan politik, sekaligus agama, yang luas dan kuat, tidak
terbatas pada teritori negara tertentu, ISIS sering mengungkapkan eksistensinya
sebagai Islamic State (IS). Dengan demikian, ISIS hendak dijadikan organisasi
dan basis dari Kekhalifahan Islam sejagad (mondial), walaupun semula terbatas
dan memfokuskan perjuangannya di Timur-Tengah, melanjutkan upaya perlawanan
para penganut ideologi dan perlawanaan dari kelompok-kelompok Islam garis
keras, radikal, dan militan, melawan pendudukan dan dominasi kekuatan dan
pengaruh Barat (Assad, 2014).
Dalam
konteks potensi kebangkitan kembali kelompok Negara Islam, khususnya di luar
kawasan Timur Tengah, salah satu kawasan yang berpotensi besar menjadi target
mereka adalah Asia Tenggara. Selain karena kawasan ini telah lama dikenal
sebagai basis bagi gerakan teroris maupun kelompok militan Islam radikal
seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Al Qaeda, dalam perkembangan terakhir, ISIS juga telah
mendeklarasikan jaringan sayap lokal dari Asia Tenggara yang dikenal dengan
�Katibah Nusantara� (Kaur, 2017a). Rencananya,
jaringan tersebut tidak hanya akan dimanfaatkan untuk keperluan perekrutan dan
memfasilitasi pengiriman simpatisan ke Irak dan Suriah, melainkan juga
dipersiapkan untuk mengorganisir serangan di beberapa negara di Asia Tenggara,
seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Rangkaian serangan bom di beberapa negara di kawasan dalam
kurun waktu empat tahun terakhir hingga meletusnya pertempuran di kota Marawi,
wilayah bagian selatan Filipina pada awal tahun 2017 yang melibatkan jihadis
maupun kelompok yang mengklaim berafiliasi dengan ISIS juga membuktikan bahwa
kawasan Asia Tenggara telah dihadapkan pada ancaman kelompok terorisme Negara
Islam Irak dan Suriah (ISIS). Satu hal yang perlu dicatat, Asia Tenggara masih
menyisakan banyak permasalahan, yang berkaitan dengan isu keamanan, baik yang bersifat
ancaman keamanan dari negara lain seperti ancaman invasi militer akibat
sengketa wilayah perbatasan antar negara di ASEAN maupun dengan Cina di wilayah
Laut Cina Selatan dan ancaman pengembangan senjata nuklir Korea Utara, sehingga ancaman keamanan yang muncul akibat gesekan antar
entitas dalam ruang-ruang sosial seperti konflik etnis di Myanmar, ancaman
kelompok-kelompok radikal di Indonesia, Malaysia dan Filipina menjadikan
kawasan ini juga masih rentan dan sensitif terhadap isu-isu yang menyeret pada
konflik, terutama yang menyangkut identitas dan keyakinan, mengingat kawasan
ini memiliki kekayaan etnis, suku, dan aliran kepercayaan yang sangat beragam.
Terlebih lagi, di era globalisasi, di mana kemudahan dalam mengakses informasi
tanpa batas melalui tersedianya teknologi yang canggih dan murah, telah
berperan besar dalam menyebarkan universalitas keyakinan bagi individu,
kelompok, maupun organisasi yang merasa memiliki kesamaan dalam memandang suatu
hal, misalnya ideologi politik, agama, maupun budaya yang dapat dijadikan
motivasi untuk melakukan berbagai tindakan, termasuk terorisme. Trend semacam inilah yang menjadi salah
satu faktor utama meluasnya ideologi dan keyakinan untuk membenarkan tindakan
kekerasan maupun terorisme (Amin, 2018).
Indikasi hadirnya ancaman ISIS di Asia Tenggara diperkuat
dengan diangkatnya pimpinan Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon, sebagai Amir ISIS di
Asia Tenggara oleh pemimpin tertinggi ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi pada tahun
2016 di Filipina, yang juga rencananya akan mendirikan salah satu provinsi di
bawah kekuasaan Kekhalifahan Negara Islam. �Wilayat�
atau provinsi Negara Islam yang akan didirikan di Filipina bagian selatan
tersebut diproyeksi sebagai representasi kekhalifahan Islam di Asia Tenggara. �Wilayat� tersebut akan dijadikan
sebagai basis dan transit bagi militan Negara Islam Asia Tenggara sekembalinya
dari Timur Tengah untuk melanjutkan perjuangan mendirikan Negara Islam di
kawasan atau di negara mereka berasal. Rencana pendirian �wilayat� Negara Islam tersebut sejalan dengan meningkatnya
aktivitas militan ISIS asal Asia Tenggara dalam menjalankan propaganda jihad di
Timur Tengah, yang sebelumnya juga telah mendeklarasikan berdirinya sayap lokal
ISIS Asia Tenggara di Irak dan Suriah yang dikenal dengan �Katibah Nusantara� (Liow, 2016).
Sejumlah aksi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir,
seperti serangan bom di Jakarta pada awal tahun 2014, ancaman aksi bom bunuh
diri di Kuala Lumpur di penghujung tahun 2015, maupun bom mobil yang meledak di
Thailand pada pertengahan tahun 2017, yang mana serangkaian peristiwa tersebut
diklaim merupakan aksi yang didalangi oleh kelompok-kelompok militan Islam yang
terindikasi berafiliasi dengan ISIS menjadi bukti serius ancaman kelompok
teroris di bawah bendera Negara Islam di kawasan.
Selain itu, keberangkatan beberapa warga Indonesia maupun
Malaysia untuk bergabung menjadi pasukan Abu-Bakr Al-Baghdadi juga terbilang
signifikan. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh CNN pada awal tahun 2016,
terdapat sekitar 700 pejuang Negara Islam asal Indonesia yang berangkat menuju
Suriah dan sekitar 200 asal Malaysia (Edwards, 2016). Ini membuktikan bahwa propaganda
dan upaya radikalisasi kelompok Negara Islam di Asia Tenggara mendapat simpati
yang besar, dan sekali lagi, ini menjadi fakta yang harus dihadapi. Namun,
puncak kekhawatiran dari itu semua adalah ketika kembalinya para pejuang Negara
Islam dari Timur Tengah yang berbekal pengalaman terlibat dalam peperangan dan
strategi dalam melakukan penyerangan yang pernah mereka dapatkan di Irak dan
Suriah serta dukungan penuh dari kelompok lokal yang berafiliasi dengan ISIS
dapat mereka gunakan untuk menyelenggarakan serangan di kawasan, terutama di
negara mereka berasal (Hashim, 2015). Tidak hanya itu, Rohan Gunaratna,
kepala International Centre for Political
Violence and Terrorism Research, menyatakan bahwa para jihadis yang kembali
ke Asia Tenggara juga dibekali ratusan ribu dolar untuk membiayai dan
mempersiapkan rancangan penyerangan (Osborne, 2016).
Lebih lanjut, dalam konteks meningkatnya pergerakan ISIS di
kawasan, faktor lain yang tidak kalah penting adalah keberhasilannya dalam
memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok militan lokal di kawasan.
Berdasarkan laporan terakhir dari Instititute
for Policy Analysis and Conflict, setidaknya terdapat empat kelompok
militan lokal di Mindanao yang juga terhubung dengan kelompok di Indonesia dan
Malaysia yang secara aktif mendukung proyek ISIS di kawasan. Beberapa kelompok
tersebut di antaranya adalah kelompok Abu Sayyaf (ASG) yang berbasis di
Basilan, Ansarul Khilafa Philippines (AKP), kelompok Maute di Lanao
del sur, dan Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF) (Amin, 2018); (Rappler, 2016).
Keseluruhan dari kelompok tersebut memiliki pejuang militan
yang berpengalaman melakukan pertempuran, instruktur beserta fasilitas
pelatihan, dan sumber pendanaan dari kelompok Indonesia dan Malaysia. Para
pejuang-pejuang tersebut juga dibekali persenjataan, alat komunikasi canggih,
serta pengetahuan tambahan mengenai strategi pertempuran oleh para pejuang dari
luar kawasan (Foreign Fighters) yang
dikirim untuk membantu Abu Sayyaf dalam menyelenggarakan serangkaian
pertempuran. Oleh karena itu, menurut direktur IPAC, Sidney Jones, hadirnya
ISIS di kawasan Asia Tenggara membuka ruang bagi kelompok-kelompok lokal untuk
semakin memperkuat kerja sama antar kelompok selain membuka peluang bagi ISIS
untuk memulai membangun kekuatan baru di wilayah lain seiring kekalahan besar
di Timur Tengah (Amin, 2018).
Walaupun sampai saat ini belum ada eksistensi kekhalifahan
ISIS dengan stuktur yang kuat di kawasan Asia Tenggara, tetapi data
mengungkapkan jika mereka memiliki simpatisan yang berasal dari masyarakat
sipil di negara-negara di kawasan tersebut. Masyarakat sipil memiliki akses
yang luas untuk menyebarkan nilai-nilai transnasionalisme seperti sistem
kekhalifahan. Mereka juga membaur dengan masyarakat sipil lainnya sehingga
sulit untuk membedakan dan menangkap mereka, kecuali merek ayang sudah berada
di basis gerakan seperti di Filipina (Assad, 2014); (Aksa, 2017). Dalam hubungannya dengan diskusi teoritik, eksistensi ISIS di
Asia Tenggara merupakan implikasi tantangan arus globalisasi dan meluasnya
marjinalisasi. Mereka melakukan resistensi terhadap sistem pemerintahan yang
telah ada saat ini dan mencoba menyebarkan nilai tentang sistem pemerintahan
yang baru. Kondisi ini menunjukkan, tidak lagi pemerintah negara periferi
bereaksi terhadap ketergantungan pada sistem dunia atau dominasi kapitalisme
global, tetapi para aktor non-negara lintas-negara yang mengusung dan
memperjuangkan tata dunia alternatif, dengan pembentukan khilafah diseluruh
dunia. Oleh karena itu, setiap negara perlu menyiapkan kebijakan untuk
menghadapi nilai transnasional yang mereka telah sebarkan untuk menjaga
kedaulatan dan keamanan di negara-negara di kawasan Asia Tenggara (Amin, 2018); (Habulan et al., 2018).
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu kajian
analisis mengenai peranan elit non politik atau masyakarat sipil dalam dinamika
hubungan internasional. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus (case
study) yang akan menungkinkan peneliti untuk menggali suatu fenomena
tunggal berupa kasus yang diteliti yang dibatasi oleh waktu dan aktivitas
(program, kejadian, proses, institusi, atau kelompok social (Creswell, 2010). Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan studi kepustakaan. Cara ini
merupakan Teknik Pengumpulan Data yang dilakukan dengan cara membaca, menelaah,
dan mempelajari bahan ilmiah yang sudah teruji dan memiliki hubungan dengan
penelitian ini. Dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang teori-teori dan
istilah-istilah serta pegertian-pengertian yang diperlukan.
Analisa data dilakukan secara simultan
bersamaan dengan proses pengumpulan data (on
going analysis) dengan menggunakan teknik analisa data yang lazim berlaku
dalam penelitian kualitatif. Data kualitatif dianalisis dengan menggunakan
metode inductive analysis dan logical analysis. Dalam istilah Neuman
metode analisis yang berlangsung siklikal memberi peluang untuk terus menerus melakukan
pengujian konsep dengan data-data dan bukti secara berulang-ulang untuk
menemukan inferensi dan teori baru di sebut successive
appromiximation. Selain itu, karena
proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
beberapa konsep yang ada sebelumnya tentang kapital sosial, maka proses
analisis data akan dilakukan juga dengan menggunakan metode ilustratif (illustrative method) dalam pengertian
yang longgar. Merujuk pada permasalahan
yang diangkat serta variabel yang tersedia maka peneliti ini hanya melakukan
analisa data berdasarkan data � data. Dengan metode ilustratif peneliti mencoba menerapkan teori kepada suatu setting sosial atau situasi historikal yang kongkrit, atau
mengorganisasikan data berdasarkan basis teori utama (Neuman, 2013). Lokus penelitian berdasarkan data-data persebaran ISIS di
Asia Tenggara dan ini dipilih karena penelitian kualitatif biasa dilakukan oleh
peneliti dibidang hubungan internasional dengan desk-research dan library
research.
Hasil dan
Pembahasan
1.
Eksistensi dan Jejaring ISIS di Kawasan
Asia Tenggara
Gerakan Islam transnasional adalah
sebuah istilah yang ditujukan kepada organisasi Islam yang bergerak lintas
negara, dimana pergerakannya melewati batas-batas teritorial setiap negara.
Dalam upaya menjelaskan terminologi Islam transnasional atau �transnasionalisme
Islam� (Islamic transnationalism)
sebagai sebuah nomenklatur, Masdar Hilmy meminjam pengertian yang diungkapkan
oleh J. R Bowen yang mencakup tiga hal yaitu: (1) pergerakan demografis, (2)
lembaga keagamaan transnasional, dan (3) perpindahan gagasan atau ide (Hilmy, 2011).
Pengertian pertama bermakna bahwa
transnasionalisme Islam berarti pergerakan Islam lintas negara. Pengertian
kedua bermakna perangkat kelembagaan yang memiliki jejaring internasional.
Pengertian ketiga adalah perpindahan ide atau gagasan dari individu atau
kelompok satu ke individu atau kelompok yang lain, serta dari negara satu ke
negara yang lain. Apabila terminologi Islam transnasional dikategorikan dalam
arti demikian, maka terdapat kesamaan persepsi secara umum bahwa gerakan Islam
transnasional atau transnasionalisme Islam adalah sebuah gerakan Islam yang
melintasi wilayah teritorial/batas negara tertentu. Gerakan organisasi ini
berorientasi pada agenda penyatuan umat Islam di seluruh dunia, dimana ideologi
keislamannya didominasi oleh pemikiran skripturalis, tekstual, normatif,
radikal, fundamental, dimana gagasannya berbeda dengan konsep negara bangsa (nation-state)
(Aksa, 2017).
Keberadaan ISIS tidak terlepas dari globalisasi
yang mengakibatkan Islam saat ini kurang dinisbahkan kepada kawasan atau
wilayah tertentu. Hal ini disebabkan karena sebagian besar umat Muslim di dunia
hidup di luar negara yang secara tradisional masih menganut agama Islam. Roy
mengemukakan bahwa deteritorialisasi bisa juga dialami oleh Muslim yang tidak
melakukan migrasi. Dengan kata lain, gejala �Westernisasi� menyebabkan masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa
mereka berada dalam kelompok minoritas. Eksistensi ISIS berbeda dengan gerakan
transnasional islam lainnya di kawasan Asia tenggara seperti Salafiyyah,
Hitzbutahrir, Jamah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin. Salah satu yang cukup
mendasar adalah proses deteritorialisasi yang dilakukan oleh ISIS. Proses ini kemudian
dianggap sebagai sebuah ancaman bagi keamanan, demokratisasi, dan eksistensi
bentuk negara di kawasan Asia Tenggara.
Proses deteritorial yang dimaksudkan
memiliki kesamaan dengan pandangan transnasionalisme, dimana sebuah gerakan
bekerja melalui ideologi dan jejaring yang sangat luas dan melintasi batas
teritorial negara tertentu. Target utama dari gerakan deteritorialisasi ini
adalah untuk mengubah budaya asli negara muslim setempat dengan pandangan baru
yang dianggap dimiliki oleh Islam murni. Dengan demikian, umat Islam yang
berbeda dengan pandangan kelompok gerakan ini dianggap salah dan tidak menerima
akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal sebagai kearifan lokal yang
dimiliki oleh masyarakat yang berpenduduk Islam di daerah dan negara tertentu.
Beberapa literature menyebutkan bahwa
proses dakwah dan ideology ISIS dianggap sebagai perpanjangan tangan dari
kelompok terorisme Al-Qaeda karena mereka memiliki karakter pergerakan yang
sama yaitu radical dan menggunakan kekerasan. Penyebaran nilai-nilai dan
ideologi ISIS menyebar begitu cepat dan meluas dengan bantuan globalisasi dan
perkembangan teknologi komunikasi seperti media sosial, situs web, dan dakwah
lintas batas sehingga mereka bias membentuk jejaring hampir di seluruh dunia
termasuk Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, eksistensi ISIS mengalami benturan
dengan kebudayaan local dan proses demoktratisasi serta mengancam human
security karena maneuver dakwah yang dilakukan oleh ISIS dilakukan dalam bentuk
terorisme yang mengancam keselamatan dan kedaulatan bangsa.
ISIS memiliki interpretasi hadist bahwa
mereka adalah pasukan hitam yang merupakan pasukan yang akan membantu Al-Mahdi
membebaskan Palestina. Sehingga, A-lMahdi tidak akan datang sebelum sebuah
pemerintahan yang menyertainya itu terbentuk dalam hal ini adalah dawlah
Islamiah. Jadi ISIS berupaya sekuat mungkin untuk terus membasmi kaum kafir dan
menganggap bahwa merekalah yang menjadi pasukan Al -Mahdi yang terlebih dahulu
memiliki tugas membuat pemerintahan dalam konsep khalifah Islamiah. ISIS
memulai gerakannya dari tanah Suriah. Hadist Nabi masih berlanjut dengan bahwa
ada tiga tempat istimewa jika kaum muslimin ingin membentuk dawlah Islamiah
yakni Syam, Yaman dan Iraq. Bahkan dalam hadist tersebut Nabi menganjurkan
untuk memilih Syam dan mengulangnya sebanyak tiga kali, yang dimana kalau
memang susah untuk dicapai maka baru bergeser ke Yaman dan Iraq. Bahkan masih
dalam hadist dinyatakan bahwa ketika kaum muslim terperosok imannya maka tanah
Syamlah yang masih tegak imannya. Mereka di Suriah sudah lama menjadi militan
dan hingga sekarang menyebar di Iraq. Bahkan ISIS menguasai salah satu kota
terkaya yang memiliki sumber minyak di Iraq yakni Mosul dan kota Raqqa di
Suriah. Disinilah perbedaan ISIS dengan Al-Qaeda. ISIS memiliki wilayah nyata
dan organisasi basis militer yang kuat. Untungnya jelas akan mudah merekrut
anggota baru sebab ada wilayah untuk menyatukan pasukan mereka (Wahid, 2014).
Terdapat sejumlah Muslim Indonesia yang
secara nyata telah terlibat aktif dalam gerakan ISIS. Artinya, mereka tidak
hanya mendukung dan membenarkan keberadaan ISIS, tetapi juga terlibat dalam
medan perang ISIS untuk mempertaruhkan nyawanya demi ISIS. Kenyataan ini
terlihat dari beredarnya video ISIS di situs Youtube di mana terdapat seorang warga Indonesia bernama Abu
Muhammad al-Indonesia dengan sangat berapi-api memprovokasi warga Muslim
Indonesia lainnya untuk mendukung perjuangan ISIS di Levant (Irak dan Suriah).
Orang-orang yang memutuskan untuk bergabung dengan ISIS termasuk juga warga negara Indonesia didasari oleh sebuah asumsi bahwa
gerakan dan perjuangan ISIS adalah �jihad� yang diperintahkan oleh Islam.
Doktrin ISIS menyatakan bagi mereka yang
berbaiat kepada ISIS dan mendukung segala bentuk perjuangannya maka nantinya
akan mendapatkan pahala surga. Dengan kata lain, ISIS mengklaim bahwa gerakannya
mengemban misi suci sesuai dengan ajaran Islam. Setiap orang yang secara
terang-terangan bergabung dengan gerakan ISIS menolak bentuk negara yang tidak
berdasarkan syariat Islam. Bentuk negara seperti Indonesia, misalnya dianggap
bertentangan dengan Islam dan oleh karenanya harus diperangi. Hukum di
Indonesia dianggap tidak memiliki ketentuan mengikat bagi setiap warganya
karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, dapat
dipastikan bahwa setiap pengikut ISIS adalah anti negara yang dapat menimbulkan
diintegrasi bangsa. Bagi mereka hanya ada satu pemimpin yang wajib ditaati,
yaitu Abu Bakr Al Baghdadi. Dengan demikian, keberadaan ISIS sebenarnya adalah
ancaman terhadap keutuhan sebuah negara. Di negara mana saja ISIS menanamkan
pengaruh, di sanalah ISIS akan menebar ancaman terhadap eksistensi negara (Wahid, 2014).
Sejumlah aksi yang terjadi dalam
beberapa tahun terakhir, seperti serangan bom di Jakarta pada awal tahun 2014,
ancaman aksi bom bunuh diri di Kuala Lumpur di penghujung tahun 2015, maupun
bom mobil yang meledak di Thailand pada pertengahan tahun 2017, yang mana
serangkaian peristiwa tersebut diklaim merupakan aksi yang didalangi oleh
kelompok-kelompok militan Islam yang terindikasi berafiliasi dengan ISIS
menjadi bukti serius ancaman kelompok teroris di bawah bendera Negara Islam di Kawasan
(Wahid, 2014).
Perkembangan ISIS di Asia Tenggara
sangat dipengaruhi oleh eksistensi agama islam di kawasan tersebut. Hal ini
dikarenakan ISIS memerlukan struktur pemerintahan dan religious nature dalam kehidupan social yang mendukung konsep
pemikiran utama mereka yaitu jihad.�
Beberapa negara seperti Vietnam, Laos, Cambodia, Thailand, dan Timor
Timur tidak menyediakan resource dan
kehidupan relilgius yang dalam menjembatani ideology jihad sehingga recruitment dan movement di negara-negara tersebut tidak menyediakan struktur
social dan pemerintahan yang mendukung penyebaran nilai ISIS. Hal ini berbeda
dengan yang terjadi di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan
Philipina. �
Salah satu factor eksistensi ISIS di
Philipina adalah karena ada religious
nature society yaitu Suku Moro di
Mindanau. Kehadiran teroris asing di Mindanao bukanlah fenomena baru. Sejak
akhir 1990-an hingga awal 2000-an, sejumlah besar militan dari kelompok teroris
regional Jemaah Islamiyah (JI) dengan anggota dari Indonesia, Malaysia, dan
Singapura menjalani pelatihan senjata dan bahan peledak di Mindanao. Mereka
dilatih di Kamp Front Pembebasan Islam Moro (MILF) Abu Bakar di mana mereka
mendirikan pangkalan mereka sendiri yang disebut Kamp Hudaybiyya yang
dijalankan oleh militan JI Indonesia. Hal ini bertujuan untuk membangun
hubungan regional yang kuat dan memungkinkan untuk melakukan pelatihan bersama
serta memperoleh dukungan dari jejaring yang ada di Asia Tenggara (Kaur, 2017b).
Pada bulan Juni 2016, ISIS merilis
sebuah video propaganda berjudul, 'The
Solid Structure' untuk menjangkau simpatisan dan anggota di Asia Tenggara
yang menyatakan �Jika Anda tidak dapat pergi ke Suriah, bergabunglah dan pergi
ke Filipina� (Rappler, 2016).�
Panggilan ini juga didengar oleh rekrutan ISIS di luar Asia Tenggara
ketika mereka mengindahkan pesan untuk membantu membangun sebuah kekhalifahan
ISIS di Filipina Selatan. Awal 2017 sudah menunjukkan tanda-tanda meningkatnya
jumlah kegiatan perekrutan untuk membawa para pejuang asing, khususnya orang
Asia Tenggara, untuk bertarung di bawah bendera Hapilon. Pada Januari 2017,
seorang pria Filipina, Nurhan Sahi Hakim, diperintahkan oleh Mahmud untuk
menggunakan Sabah di Malaysia sebagai titik transit untuk rekruitmen Asia
Tenggara dan Asia Selatan (Rappler, 2016).
Porous borders di tiga daerah perbatas antara Filipina, Malaysia, dan
Indonesia, merupakan sarang untuk kejahatan lintas negara. Hal ini juga telah
memfasilitasi gerakan jihadis yang mudah untuk melakukan perjalanan tanpa
terdeteksi dari satu negara ke negara lain. Ini secara numerik menyebabkan
pertumbuhan pejuang asing di Mindanao. Apakah jumlah mereka akan bertambah
tergantung tentang seberapa efektif Filipina, Malaysia, dan Indonesia sedang
meningkatkan mereka kerjasama dalam langkah-langkah anti-terorisme melalui
peningkatan berbagi informasi, dan patroli laut dan udara bersama di Laut Sulu (Habulan et al., 2018).
Untuk memperoleh dukungan politik,
sekaligus agama, yang luas dan kuat, tidak terbatas pada teritori negara
tertentu, ISIS sering mengungkapkan eksistensinya sebagai Islamic State (IS).
Dengan demikian, ISIS hendak dijadikan organisasi dan basis dari Kekhalifahan
Islam sejagad (mondial), walaupun semula terbatas dan memfokuskan perjuangannya
di Timur-Tengah, melanjutkan upaya perlawanan para penganut ideologi dan
perlawanaan dari kelompok-kelompok Islam garis keras, radikal, dan militan,
melawan pendudukan dan dominasi kekuatan dan pengaruh Barat (Assad, 2014). ISIS dinilai berbahaya dan mengancam
tata dunia dan stabilitas keamanan global, di kawasan, dan banyak negara dewasa
ini? Ini disebabkan oleh upayanya mencapai melalui aksi-aksi terorisme yang
dilancarkannya, menjadikan siapapun target serangan, apakah laki-laki atau
perempuan, orang dewasa atau anak-anak, muslim atau non-Muslim, dan seterusnya.
Aksi-aksi terorisme para pengikut, pendukung atau simpatisan ISIS dilakukan
secara berkelompok dan berjejaring ataupun seorang diri tanpa jejaring (lonewolf), secara membabi-buta dan tidak
mengenal perikemanusiaan, baik secara sistematis maupun tidak, dengan jumlah
korban yang sedikit maupun masif. Sejak dideklarasikan pada Juni 2014, ISIS/IS
telah melancarkan sebanyak 143 serangan terorisme, dengan berbagai macam modus
operandi, di 29 negara, yang telah menewaskan paling sedikit 2.043 orang.
Data memperlihatkan aksi-aksi terorisme
ISIS di berbagai belahan dunia yang beragam pelaku, modus operandi, dan jumlah
korbannya, yang kebanyakan dalam jumlah besar, yang tidak mengenal usia, jenis
kelamin, dan kewarganegaraan, serta waktu serangannya. Serangan secara acak di
mana dan kapan saja, dengan target korban yang besar, telah menebar ketakutan
pemerintah dan rakyat di berbagai negara. Serangan terorisme secara langsung
dan kontiniu oleh pelaku lama pengikut ISIS mantan petempur di Suriah dan Irak
dan petempur asing (foreign terrorist
fighters --FTFs) membuat pemerintah di berbagai negara kuatir atas ancaman
dan aksi-aksi ISIS. Dalam waktu singkat, dengan kampanye radikalisasi ISIS
melalui media massa daring, telah berhasil menarik dukungan secara cepat dan
luas dari kalangan muda dan pendatang baru. Sampai pertengahan tahun 2016, di
Suriah dan Irak, tempat ia dideklarasikan pembentukannya, ISIS meraih
kemenangan dan sukses secara cepat. Direbutnya wilayah-wilayah stategis yang
kaya dengan sumber minyak dan gas yang berperan penting dalam mendukung
pembiayaan operasi militer ISIS membuat mereka harus beradaptasi dengan situasi
baru, dengan merubah strategi perang mereka. ISIS kemudian tidak lagi
menjadikan Suriah dan Irak sebagai basis perjuangan, perlawanan dan kampanye
terorisme internasional mereka.
Keputusan ini harus diambil pemimpin
ISIS di Suriah dan Irak untuk mencari dukungan baru dan memperkuat serangan
mereka dalam mencapai tujuan akhir: mengimplementasikan khilafah untuk
mewujudkan Kekhalifahan Islam, dengan aksi-aksi kekerasan dan terorisme mereka.
Para pemimpin ISIS di bawah alBaghdadi pun memutuskan akan membangun
�Kekhalifahan Islam di Timur Jauh,� maksudnya Asia Tenggara, selain di tempat
asalnya, untuk memperluas basis perlawanan. Pemimpin ISIS di Suraih dan Irak,
selanjutnya, menyerukan kepada para pengikut, pendukung dan simpatisan mereka
di berbagai belahan dunia untuk membangun dan melancarkan serangan dari wilayah
asal mereka masing-masing sambil bekerjasama, melakukan komunikasi, dan
menggunakan kontak dan jejaring dengan selsel lokal (Nainggolan, 2018).
Berdasarkan laporan terakhir dari Instititute for Policy Analysis and Conflict
(2016), setidaknya terdapat empat kelompok militan lokal di Mindanao yang juga
terhubung dengan kelompok di Indonesia dan Malaysia yang secara aktif mendukung
proyek ISIS di kawasan. Beberapa kelompok tersebut di antaranya adalah kelompok
Abu Sayyaf (ASG) yang berbasis di
Basilan, Ansarul Khilafa Philippines
(AKP), kelompok Maute di Lanao del
sur, dan Bangsamoro Islamic Freedom
Fighters (BIFF). Keseluruhan dari kelompok tersebut memiliki pejuang
militan yang berpengalaman melakukan pertempuran, instruktur beserta fasilitas
pelatihan, dan sumber pendanaan dari kelompok Indonesia dan Malaysia. Para
pejuang-pejuang tersebut juga dibekali persenjataan, alat komunikasi canggih,
serta pengetahuan tambahan mengenai strategi pertempuran oleh para pejuang dari
luar kawasan (Foreign Fighters) yang
dikirim untuk membantu Abu Sayyaf dalam menyelenggarakan serangkaian
pertempuran. Oleh karena itu, menurut direktur IPAC, Sidney Jones, hadirnya
ISIS di kawasan Asia Tenggara membuka ruang bagi kelompok-kelompok lokal untuk
semakin memperkuat kerja sama antar kelompok selain membuka peluang bagi
ISIS untuk memulai membangun kekuatan baru di wilayah lain seiring kekalahan
besar di Timur Tengah (Amin, 2018).
Dengan demikian, semakin jelas bahwa
ancaman Negara Islam di Asia Tenggara semakin hari semakin meluas dan menyebar
dengan cepat, khususnya di negara-negara dengan penduduk muslim seperti
Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina, yang sebagian wilayahnya
berpenduduk muslim. Hal itu dipertegas oleh pernyataan Menteri Pertahanan
Singapura, Ng Eng Hen, yang menyatakan bahwa ISIS telah berhasil merekrut lebih
banyak orang di kawasan Asia Tenggara, khususnya dari Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Selain itu, dukungan dari jaringan teroris lokal seperti Jamaah
Islamiyah dan kelompok separatis Maute yang telah berafiliasi dengan Abu
Sayyaf, turut mempercepat perluasan ancaman Negara Islam di Asia Tenggara (Amin, 2018).
Perluasan ancaman ISIS berpeluang
terjadi di beberapa wilayah yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah
negara-negara di kawasan. Wilayah tersebut memiliki potensi penyebaran nilai
ISIS karena kurangnya perhatian terhadap penguatan nasionalisme di
wilayah-wilayah tersebut (Andriyani & Kushindarti, 2017). Selain itu, wilayah Asia Tenggara sangat berpotensi untuk dimanfaatkan
oleh kelompok teroris untuk dijadikan sebagai wilayah kekuasaan dan menyusun
serangan serta perekrutan anggota baru. Fakta menunjukan bahwa cukup banyakn
simpatisan dari kawasan ini yang merasa terpanggil untuk bergabung setelah
melihat beberapa tayangan propaganda yang disebar ISIS melalui media sosial.
Bahkan, dalam kasus penangkapan yang terjadi di Singapura, simpatisan yang
diduga terlibat kelompok teroris Negara Islam dan berencana melakukan serangan di
Singapura adalah dua orang pelajar, dengan kisaran usia 17 dan 19 tahun (Andriyani & Kushindarti, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa propaganda
yang dilakukan ISIS di Asia Tenggara melalui media khususnya media digital
dalam bentuk teks, gambar, maupun tayangan video yang disebar secara masif,
telah berhasil menarik perhatian para simpatisannya di kawasan ini untuk segera
bergabung di bawah bendera hitam Negara Islam Irak dan Suriah.
Kelompok usia muda menjadi target sasaran
ISIS dan gerakan radikalisme hal ini dikarenakan kelompok muda memiliki
kemampuan untuk mengakses media social. Thomas Koruth Samuel menyatakan bahwa
para komandan jihadis di Asia Tenggara menempati posisi tinggi pada usia 20an,
setelah bertahun-tahun bergabung dalam lingkungan pendidikan, latihan perang
dan bahkan pertarungan pada usia belasan tahun (Samuel, 2012). Individu dan kelompok muda merupakan
target paling mudah mendapat pengaruh karena masa aktualisasi diri dan pola
interaksi yang memengaruhi pertumbuhan ideologi mereka. Oleh karena itu rekrutmen,
pengembangan jaringan dan aksi ISIS di Asia Tenggara banyak dilakukan melalui
kelompok muda (Sholeh, 2007).
Selain pemuda, wilayah yang tidak begitu
mendapatkan perhatian, khususnya dalam segi keamanan dari otoritas pemerintahan
seperti Mindanau di Filipina maupun negara-negara di Asia Tenggara sangat
berpotensi nilai-nilai ISIS berkembang dan tumbuh semakin kuat. Terlebih karena
nilai-nilai transnasionalime dapat tumbuh dengan bantuan dari penerimaan
masyarakat local. Indonesia dan Malaysia terhadap aktivitas jihadis di kawasan
juga lebih ditujukan kepada kelompok lokal Jamaah Islamiyah, nampaknya
dimanfaatkan oleh kelompok militan ISIS untuk menguasai kota kecil tersebut dan
menjadikannya sebagai basis kekuatan di Asia Tenggara. Selain itu, anggapan
para analis bahwa para jihadis di kawasan merasa kecewa terhadap pengangkatan
Hapilon sebagai �Emir wilayat� di
Asia Tenggara oleh Abu Bakar Al-Baghdadi, juga, anggapan bahwa sejak Hapilon
lebih memfokuskan aktivitasnya di luar wilayah kekuasaannya di Basilan,
menjadikan wilayah yang terletak di bagian selatan Filipina tersebut tidak
begitu diperhatikan oleh otoritas keamanan di kawasan maupun analis, oleh
karena itu, wilayah tersebut dapat dengan mudah jatuh ke tangan ISIS (Sholeh, 2007).
Meskipun pada akhirnya pasukan militer
Filipina berhasil mengembalikan keamanan di Marawi, pertempuran tersebut dapat
menjadi alasan kuat untuk menyatakan bahwa ISIS telah menemukan pintu masuk
untuk mengawali ekspansi di Asia Tenggara (Rijal, 2017). Mengacu pernyataan dari International
Center for Political Violence and Terrorism Research yang berpusat di
Singapura, langkah ISIS untuk memulai mengekspansi kawasan dimulai dengan
menjadikan Filipina sebagai pusat kekuatan mereka, di mana terdapat lebih 60
kelompok yang telah menyatakan dukungan kepada ISIS (Amin, 2018). Lebih lanjut, mengutip pernyataan
Jones, pertempuran di Marawi hanyalah salah satu alternatif kelompok Negara
Islam untuk mengawali eksistensi mereka di kawasan, karena hal serupa juga
berpotensi terjadi di wilayah lain di kawasan seperti di sepanjang perbatasan
Banglades dan Myanmar, di mana terdapat ribuan muslim Rohingya yang sedang
berupaya membebaskan diri dari konflik di wilayah mereka (Amin, 2018).
Pertempuran yang berlangsung selama lima
bulan antara pasukan militer Filipina dan jihadis ISIS di kota Marawi tidak
dapat dipandang secara sederhana sebagai kontak senjata yang hanya melibatkan
kelompok militan lokal, melainkan perlu dipandang sebagai bentuk vis-�-vis
dengan kelompok teroris terbesar saat ini karena dalam pertempuran tersebut
telah melibatkan jihadis dari berbagai negara, baik dari negara tetangga di
kawasan seperti Indonesia dan Malaysia, maupun dari negara di luar kawasan (Ana P. Santos & Welle, 2017).
Lebih khusus, dalam konteks serangan
teror, krisis di Marawi menjadi serangan teroris paling signifikan setelah
peristiwa bom Bali II yang menewaskan sekitar 202 orang dengan alasan peristiwa
tersebut menjadi permulaan yang sukses bagi jihadis ISIS dalam mengawali
kehadirannya di Asia Tenggara. Oleh karena itu, negara-negara di kawasan perlu
segera menyadari bahwa hadirnya ISIS di Asia Tenggara menjadi isu keamanan yang
perlu mendapat perhatian serius, terutama setelah mereka mengalami kekalahan
besar di Timur Tengah (Amin, 2018).
Beberapa aksi terorisme di Indonesia dan
Malaysia yang dilakukan oleh ISIS diawali melalui jaringan Suriah-Irak-Asia
Tenggara. ISIS jaringan Asia Tenggara berkembang melalui dua strategi. Pertama,
Katibah Nusantara (KN) organisasi yang dibentuk oleh kombatan ISIS asal
Indonesia, Indonesia dan Filipina di Suriah dan Irak menjadi hub yang
menyatukan kombatan berbahasa Melayu. KN tidak hanya aktif terlibat pertarungan
tetapi juga membantu publikasi versi Bahasa Indonesia pada majalah, artikel dan
pernyataan yang berasal dari pusat informasi ISIS di Suriah. KN juga aktif
dalam memberi informasi secara langsung melalui sosial media dan bloging yang
dibentuk oleh pasukan media ISIS asal Asia Tenggara. Kedua, strategi melalui
penguatan jaringan, interaksi dan aksi dengan kelompok-kelompok jihadis di
Indonesia, Malaysia dan Filipina.
Home-grown terorisme ini menjadi ancaman langsung atas pergerakan dan
aktis terorisme oleh jaringan dan individu yang berafiliasi dengan ISIS.
Hubungan saling mendukung antar organisasi teroris dalam afiliasi ISIS sangat
nampak. Misalnya dalam pernyataan dan tulisan Aman Abdurrahman, Santoso dan
Ba�asyir mendukung jihad di Filipina Selatan melawan pemerintah Thoghut, dan
sebaliknya Abu Sayaf juga mendukung aksi ISIS Indonesia dalam melakukan aksi
teror (Amin, 2018). Hal ini mengindikasikan bahwa jaringan
transnasional Asia Tenggara ISIS memiliki pola jejaring, strategi dan dinamika
pergerakan. Perkembangnya akan sangat berpengaruh terhadap radikalisasi Muslim
di Asia Tenggara.
Kesimpulan
Pembentukan negara Islam yang diperjuangkan oleh ISIS menjadi
nilai kontradiktif terhadap eksistensi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Eksistensi mereka juga menjadi tantangan demokratisasi di kawasan tersebut.
Kebebasan dalam konsep demokrasi membuka jalan bagi gerakan transnasionalisme untuk
tumbuh. Akan tetapi, ISIS berupaya untuk merubah tantanan demokrasi tersebut
menjadi konsep baru yang mereka namankan Islamic
state. Upaya ini tentunya mendapat perlawanan dari berbagai negara di
kawasan Asia Tenggara. Terutama negara memiliki structur government dan religious nature dimana bias
menjembatani ideology mereka masuk ke masyarakat sipil seperti di Indonesia,
Malaysia, dan Filipina. Negara-negara tersebut kemudian menjadi titik perluasan
dan rekruitmen ISIS di kawasan Asia Tenggara. ISIS melakukan movement berdasarkan konsep jihad yang
ditanamkan kepada anggotanya dengan menggunakan instrument kekerasan. Hal
inilah yang kemudian mengancam human
security. Pertempuran Marawi, tindakan terorisme di Indonesia, dan
meningkatnya rekruitmen kaum pemuda di wilayah melayu dan Filipina
mengindikasikan bahwa upaya deteritorialisme ISIS akan meluas dan semakin kuat
jika tidak segera ditangani bersama secara regional. Hal ini dikarena gerakan
ISIS adalah gerakan lintas batas, oleh karena itu perlu kesepakatan bersama di
tingkat regional untuk mencegah kekuatan dan rekrutiment ISIS semakin kuat dan
meluas.�
BIBLIOGRAFI
�Aksa, Aksa. (2017). Gerakan Islam Transnasional: Sebuah
Nomenklatur, Sejarah dan Pengaruhnya di Indonesia. Yupa: Historical Studies
Journal, 1(1), 1�14.
Amin, Khoirul. (2018). ISIS Menuju Asia Tenggara: Ancaman dan
Kerja Sama Keamanan Kawasan dalam Menghadapi Peningkatan Ekspansi ISIS. Jurnal
Hubungan Internasional, 6(2), 221�232.
Ana P. Santos & Welle, D. (2017). Is Phillipines� Marawi
free from ISIS influence?
Andriyani, Novie Lucky, & Kushindarti, Feriana. (2017).
Respons Pemerintah Indonesia dalam Menghadapi Perkembangan Gerakan Islamic
State Di Indonesia. Jurnal Penelitian Politik, 14(2), 223�238.
Assad, Muhammad Haidar. (2014). ISIS Organisasi Teroris
paling mengerikan abad ini. Jakarta: Zahira, 9, 55�107.
Creswell, J. W. (2010). Research design pendekatan
kualitatif, kuantitatif, dan Mixed. In Research design pendekatan
kualitatif, kuantitatif, dan Mixed ([Edisi Bah). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Edwards, S. (2016). Is ISIS�presence in South-East Asia
overstead?,�CNN.(daring).
Habulan, Angelica, Taufiqurrohman, Muh, Jani, Muhammad Haziq
Bin, Bashar, Iftekharul, Zhi�An, Fan, & Yasin, Nur Azlin Mohamed. (2018).
Southeast Asia: Philippines, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Thailand, Singapore,
Online Extremism. Counter Terrorist Trends and Analyses, 10(1),
7�30.
Hashim, Ahmed S. (2015). Impact Of The Islamic State In
Asia. S. Rajaratnam School of International Studies.
Hilmy, Masdar. (2011). Akar-Akar Transnasionalisme Islam
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Islamica: Jurnal Studi Keislaman, 6(1),
1�13.
Kaur, Ms Jasmeet. (2017a). Working of Jemaah Islamiya: A
Radical Trajectory from 2000-2009. Scholars Academic and Scientific Publishers(SAS
Publishers), 5(9), 1210�1219.
Kaur, Ms Jasmeet. (2017b). Working of Jemaah Islamiya: A
Radical Trajectory from 2000-2009. SAS Publishers, 5(9),
1210�1219.
Liow, Joseph Chinyong. (2016). Escalating ISIS threat in
Southeast Asia: Is the Philippines a weak line? CNN.(Daring),(Http://Edition.
Cnn. Com/2016/07/07/Opinions/Isis-Southeast-Asia-Liow/, Diakses Pada 26
November 2016).
Nainggolan, Poltak Partogi. (2018). Kekhalifahan ISIS di Asia
Tenggara, Sekadar Wacana atau Realitas? Jurnal Politica Dinamika Masalah
Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 8(2).
Neuman, W. Lawrence. (2013). Metodologi penelitian sosial:
Pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Jakarta: PT. Indeks.
Osborne, Simon. (2016). ISIS Asian Expansion: Southeast Asia
to become next jihadi base as terrorist expand EAST. Retrieved from
Express.co.uk website:
https://www.express.co.uk/news/world/700489/ISIS-terror-southeast-asia-britons-holiday-thailand-jihadis-tourists
Rappler. (2016). ISIS to followers in SE Asia: �Go to the Philippines.�
Retrieved from RAPPLER.COM website:
https://rappler.com/nation/isis-fight-southeast-asia-philippines
Samuel, Thomas Koruth. (2012). Reaching the youth:
countering the terrorist narrative. Southeast Asia Regional Centre for
Counter Terrorism (SEARCCT), Ministry of �.
Sholeh, Badrus. (2007). Budaya damai komunitas pesantren.
LP3ES.
Waid, Abdul. (2014). ISIS: Perjuangan Islam Semu Dan
Kemunduran Sistem Politik: Komparasi Nilai-Nilai Keislaman ISIS Dengan Sistem
Politik Kekinian. Epistem�: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 9(2),
401�425.