Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
� e-ISSN: 2548-1398
� Vol. 5, No. 9, September
2020
PELAKSANAAN PEMBERIAN ASIMILASI
BAGI NARAPIDANA SEBAGAI PENERAPAN UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN
Fauzan
Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
Depok Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
The guidance of prisoners conducted under the
Correctional system aims to get inmates prepared according to reunite with the
community, then they play a role as a freeman and have a responsibility as
members of society. To make the purpose happen, one of the efforts that have
been made is assimilation. Out of 331 inmates who are serving a criminal period
between 1/2 - 2/3 only 3 people undergo the Assimilation program in Class IIA
State Penitentiary of Padang. The research method used in this research is
analytical descriptive research specification that is exposing the real data as
it is to then performed an analysis of the data based on the relevant
situation. In this study, the approach used is the method of normative
juridical which is a study that emphasizes or refers to the legal norms
contained in legislation related to the implementation of assimilation for
prisoners. Also supported by an empirical juridical approach, by looking at how
legislation is applied in practice in the field. The data source that the author
use is secondary data and primary data. The data obtained were analyzed qualitatively and presented in an analytical
descriptive form. Based on the results of research and discussion, it can be
concluded that the Implementation of Prisoners Assimilation Stage in Class IIA
State Penitentiary of Padang has been implemented under applicable procedures,
but actually the implementation of it, constraints and obstacles have been
found which experienced by warden and prisoner itself, the lack of
socialization of officers to prisoners, Family visiting can not
run well due to overcapacity, there is still unenthusiastic attitude from some
inmates in following assimilation activities, guarantors that are not under the
rules, the absence of family as a guarantor, out of town guarantor, the Justice Collaborator (JC) processing
difficulties, the lack of budget within the Correctional Institution.
Keywords: Prison; assimilation dan prisoners.
Abstrak
Pembinaan narapidana
yang dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan bertujuan untuk
mempersiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat
sehingga berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang� bertanggungjawab. Untuk mewujudkan tujuan pembinaan
tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan asimilasi.
Dari 331 orang narapidana yang sedang menjalani masa pidana antara 1/2 - 2/3
hanya 3 orang yang menjalani program Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IIA Padang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian penelitian ini
adalah dengan spesifikasi penelitian deskriptis analitis dengan metode
pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini juga didukung oleh pendekatan
yuridis empiris. Adapun sumber data yang penulis gunakan adalah data sekunder
dan data primer. Data yang didapat dianalisis secara kualitatif dan disajikan
dalam bentuk deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Tahap Asimilasi
di Lapas Kelas IIA Padang telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang
berlaku, namun dalam pelaksanaannya tentu saja akan ditemukan kendala-kendala
yang dialami baik oleh petugas Lapas maupun oleh narapidana itu sendiri yaitu
kurangnya sosialisasi petugas terhadap warga binaan, kunjungan Keluarga tidak
dapat berjalan dengan baik karena Lapas yang over kapasitas, masih terdapat
sikap tidak antusias dari beberapa narapidana dalam mengikuti kegiatan
asimilasi, penjamin yang tidak sesuai dengan aturan, tidak adanya keluarga
sebagai penjamin, penjamin yang berada di luar kota, sulitnya proses pengurusan
Justice Collaborator (JC), kekurangan anggaran di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.
Kata
kunci : Lembaga pemasyarakatan; asimilasi dan narapidana
Pendahuluan
Tujuan dari sistem
peradilan pidana bersifat jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak
pidana, bersifat menengah berupa pengendalian kejahatan yang di terima , dan
jangka panjang berupa kesejahteraan sosial. Maka, apabila dilihat dari sistem peradilan
pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System), pelaksanaan pidana
dengan menerapkan sistem pemasyarakatan, merupakan salah satu sub-sistem yang
saling berkaitan dengan sub-sistem lainnya. Oleh
karena itu, keberhasilan pembinaan pelaku tindak pidana bukan dimulai sejak dia
masuk kedalam lembaga pemasyarakatan, tetapi�
pengalaman sejak diperiksa oleh polisi�
mempengaruhi keberhasilan resosialisasi (Rumadan, 2013). �
Pembinaan narapidana yang
dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk
mempersiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara baik dengan masyarakat
sehingga berperan aktif sebagai anggota masyarakat yang merdeka dan
bertanggungjawab (Marzuki, 2014). Untuk
mewujudkan tujuan pembinaan tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan memberikan asimilasi.
Dengan keluarnya
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2016 yang dirubah dengan Peraturan
Menteri Hukum dan HAM No 3 Tahun 2018�
ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya lebih meningkatkan program pembinaan
berupa Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti
Bersyarat (CB), dan Remisi bagi warga binaan. Pada pasal 23 disebutkan : a) Asimilasi dapat diberikan kepada narapidana setelah
membayar lunas denda dan/atau uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. b) Dalam hal narapidana yang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat membayar lunas denda dan/atau uang pengganti, narapidana wajib
menjalani pidana kurungan dan/atau penjara pengganti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. c) Bagi narapidana yang
dipidana karena melakukan tindak pida korupsi dapat diberikan asimilasi setelah
membayar lunas denda dan/atau uang pengganti.
Peningkatan pelayanan
pemberian Asimilasi ini merupakan langkah strategis dalam pencapaian visi dan
misi pemasyarakatan kedepan. Berdasarkan Instruksi Menteri Hukum dan HAM RI
Nomor : M.HH-01.OT.03.01 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kegiatan Kerja
Narapidana dalam Rangka Mewujudkan Pemasyarakatan Produktif menyebutkan bahwa
hakikat pembinaan narapidana semestinya bukan hanya sekedar mengisi waktu
belaka, tetapi sebesar-besarnya untuk memberikan bekal hidup yang cukup bagi
mereka ketika kembali dalam kehidupan masyarakat.
Pada
kenyataannya banyak narapidana yang tidak memahami keberadaannya di Lembaga
Pemasyarakatan untuk apa, apakah untuk menebus kesalahannya atau untuk
perbaikan dirinya sendiri dan apa saja hak-hak yang diterima selama menjalani
masa pidana penjaranya. Persyaratan dan prosedur pemenuhan hak yang dirasakan
sangatlah rumit sehingga narapidana merasakan keengganan meminta hak-haknya dan
pada akhirnya dapat menimbulkan perasaan yang terkucilkan dan tersingkirkan
dari kehidupan masyarakat luar secara normal (Natsif, 2016).
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Padang sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Pemasyarakatan yang menjalankan tugas untuk melaksanakan pembinaan bagi warga
binaan pemasyarakatan merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini
juga mengalami kelebihan kapasitas.
Tabel 1 Persentase
Overcrowded Lapas Klas II A Padang
No. |
UPT
Pemasyarakatan |
Kapasitas
Hunian |
Jumlah
penghuni |
persentase |
|
Lapas
Klas II A Padang |
458
Orang |
998
Orang |
117% |
Sumber : Data Registrasi
Lapas Klas II A Padang per-Desember 2019
�
Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan program
pembinaan khususnya program asimilasi. Pada tahun 2019 untuk terdapat 331 orang
narapidana yang sedang menjalani � s.d 2/3 masa pidananya akan tetapi baru 132
narapidana yang sudah di usulkan dan hanya 3 orang narapidana yang sedang dan sudah
menjalankan program asimilasi.
Metode Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan spesifikasi
penelitian deskriptis analitis yaitu menggambarkan dan menguraikan objek
penelitian sebagaimana adanya untuk kemudian dilakukan analisis terhadap data
tersebut berdasarkan kaidah-kaidah yang relevan.
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif sebagai
pendekatan utama dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan
yuridis normatif adalah pendekatan dengan menggunakan peraturan
perundang-undangan yang ada. Sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah
pendekatan dengan cara melihat dan mengamati faktor dan norma hukum yang
berlaku di tengah-tengah masyarakat dengan tujuan untuk mengetahui bekerjanya
hukum di dalam masyarakat� (Moleong, 2017).
Adapun
sumber data yang penulis gunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh
dengan melakukan penelitian kepustakaan atau studi dokumen (Library Research)
dan data primer yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan (Field
Research) melalui wawancara dengan informan yaitu Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Padang, Kepala Seksi Binadik, Kepala Subseksi Bimaswat
dan Petugas Staf Bimaswat. Data yang didapat dianalisis secara kualitatif dan
disajikan dalam bentuk deskriptif analitis.
Penelitian
ini dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang untuk mendapatkan
informasi dan jawaban atas permasalahan yang diteliti dan mengetahui
pelaksanaan pemberian Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang.
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara kualitatif, yaitu hanya akan menggambarkan
saja dari hasil penelitian yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Sedangkan data yang sudah dianalisis akan disajikan deskriptif analitis (Prastowo, 2011).
Hasil
dan Pembahasan
A. Pelaksanaan Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Padang.
Pemberian asimilasi kepada narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang tidak diberikan begitu saja, tetapi ada
persyaratan yang harus dipenuhi supaya asimilasi bisa diberikan. Persyaratan asimilasi yang dilaksanakan di Lapas Kelas IIA Padang sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor 8 Tahun
2018 tentang Syarat dan
Tata Cara Pemberian Remisi,
Asimilasi,Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
Persyaratan substantif yang harus dipenuhi oleh narapidana dan anak pidana di Lapas Kelas IIA Padang adalah :
a)
Telah menunjukkan penyesalan dan kesadaran atas kesalahan yang menjadi sebab penjatuhan pidana.
b)
Telah menunjukkan perbaikan sikap, perkembangan budi pekerti dan moral ke arah yang baik.
c)
Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan rajin dan bersemangat.
d)
Masyarakat bisa menerima kegiatan
pembinaan narapidana dan anak pidana yang dilaksanakan.
e)
Berkelakuan baik selama
menjalani hukuman pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam 6 (enam) bulan terakhir.
f)
Telah menjalani � (setengah) dari masa pidananya.
Sementara persyaratan substantif yang harus dipenuhi oleh anak negara di Lapas Klas IIA Padang adalah :
a)
Telah menunjukkan penyesalan dan kesadaran atas kesalahan yang menjadi sebab penjatuhan pidana,
b)
Telah menunjukkan perbaikan sikap, perkembangan budi pekerti dan moral ke arah yang baik,
c)
Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan rajin dan bersemangat,
d)
Masyarakat bisa menerima kegiatan
pembinaan narapidana dan anak pidana yang dilaksanakan,
e)
Berkelakuan baik selama
menjalani hukuman pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam 6 (enam) bulan terakhir;
f)
Masa pendidikan yang telah dijalani di Lembaga Pembinaan Khusus Anak sekurang-kurangnya 6
(enam) bulan.
Keberhasilan program Asimilasi ini sangat ditentukan
oleh kondisi narapidana berdasarkan tindak pidana dan tingkat hukuman yang dijalankan oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Kondisi narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang demikian itu mempengaruhi pelaksanaan pembinaan melaui program Asimilasi yang akan diberikan Terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang masuk dalam kelompok tindak pidana khusus yang diatur secara khusus
tentang pemberian remisi (Samosir, 2016), Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB) berdasarkan PP No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 32 Tahun 2009 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan akan memberikan konsekuensi yuridis terhadap penerapan program Asimilasi yang akan diberikan oleh Lapas Klas IIA Padang (Hukum, P. M., & Nomor, H. A. M. R. I., 2013).
Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika, terorisme, psikotropika, korupsi, kejahatan keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia
berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, hak asimilasi bisa
diberikan setelah memenuhi syarat:
1.
Berkelakuan Baik;
2.
Aktif mengikuti program pembinaan yang diberikan;
3.
Telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa hukuman.
Selain harus memenuhi
syarat tersebut diatas, untuk Narapidana
yang dipidana kasus terorisme harus juga memenuhi syarat:
1.
Selesai mengikuti Program Deradikalisasi yang diselenggarakan
oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan/atau Lembaga Pemasyarakatan;
2.
Menyatakan ikrar
a)
Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis untuk Narapidana warga negara Indonesia;
b)
Tidak akan mengulangi
perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis untuk Narapidana warga negara asing (Hariyanto, 2015). �
Adapun Persyaratan
administratif yang harus dipenuhi oleh narapidana atau anak didik
pemasyarakatan di Lapas
Kelas IIA Padang adalah :
1.
Kutipan Putusan Hakim (ekstrak vonis);
2.
Laporan perkembangan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang dibuat wali pemasyarakatan atau laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat pembimbing kemasyarakatan atau;
3.
Surat pemberitahuan kepada Kejaksaan Negeri setempat tentang adanya rencana pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan;
4.
Salinan Register F
(lampiran yang mencantumkan
pelanggaran tata tertib
yang dilakukan narapidana
dan anak didik pemasyarakatan selama menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan) dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepalai Rutan;
5.
Salinan daftar pengurangan atau perubahan masa pidana, seperti grasi, remisi dan lain-lain dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Rutan;
6.
Surat pernyataan dari pihak yang akan menerima Narapidana tentang kesanggupan menerima Narapidana dan anak didik pemasyarakatan,
seperti pihak keluarga, wali, sekolah, instansi pemerintah atau swasta dengan diketahui
oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnyai Lurah atau Kepala
Desa.
7.
Bagi narapidana atau anak pidana
warga negara asing dengan syarat tambahan
sebagai berikut:
a)
Surat jaminan dari Kedutaan
Besar/Konsulat negara orang
asing yang tersebut bahwa narapidana dan anak didik pemasyarakatan
tidak akan melarikan diri dan selalu menaati syarat-syarat selama menjalani Asimilasi.
b)
Surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.
B.
Pelaksanaan
Pembinaan Narapidana Dalam Tahap Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang
Program pembinaan narapidana dalam tahap asimilasi yang diberikan oleh Lapas Kelas IIA
Padang kepada narapidana
dan anak didik pemasyarakatan dilaksanakan dengan prosedural sebagai berikut :
1.
Data narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan mendapatkan usulan Asimilasi diserahkan kepada Tim Pengamat Pemasyarakatan;
2.
Ketua Tim Pengamat Pemasyarakatan mengundang anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan untuk melakukan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan guna melakukan penilaian terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan diberikan rekomendasi usulan Asimilasi;
3.
Tim Pengamat Pemasyarakatan melakukan persidangan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang telah memenuhi syarat dan kelengkapan dokumen untuk mendapat
rekomendasi usulan pemberian Asimilasi;
4.
Hasil penilaian langsung terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
dirembukkan oleh Tim Pengamat
Pemasyarakatan guna menjadi rekomendasi dari Tim Pengamat Pemasyarakatan untuk diajukan kepada Kepala Lapas Klas
IIA Padang;
5.
Kepala Lapas Kelas IIA Padang akan memberikan pandangan, baik itu berupa persetujuan,
penolakan ataupun perbaikan atas rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan guna diteruskan kepada Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat.
a) Rekomendasi
Tim Pengamat Pemasyarakatan
yang diterima oleh Kepala Lapas akan diteruskan
kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM
Sumatera Barat
b) Rekomendasi
Tim TPP yang direvisi akan diperbaiki oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan saran
dan masukan dari Kepala Lapas Klas
IIA Padang
c) Rekomendasi
yang ditolak akan dilakukan penilaian ulang pada sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berikutnya
6.
Rekomendasi usulan pemberian
Asimilasi yang telah disetujui oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Klas IIA Padang akan diberitahukan kepada Kantor Kejaksaan Negeri Padang sebagai eksekutor guna mendapat persetujuan tentang tidak adanya
perkara lain belum di putus� yang terkait
dengan narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang akan diusulkan pemberian Asimilasi;
7.
Pemberitahuan tersebut akan dibalas sebagai
bentuk persetujuan oleh Kejaksaan Negeri Padang, dan jika
dalam jangka waktu 12 (dua belas)
hari sejak disampaikannya pemberitahuan tidak dapat balasan
maka dianggap disetujui untuk diteruskan kepada Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat
8.
Hasil rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA
Padang yang diusulkan oleh Kepala
Lapas Kelas IIA Padang yang telah
memenuhi persyaratan, selanjutnya akan diperiksa oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM
Sumatera Barat.
9.
Berdasarkan rekomendasi usulan pemberian Asimilasi dari Lapas Kelas IIA Padang, Tim Pengamat
Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
HAM melakukan pemeriksaan
dan penilaian berkas yang diusulkan untuk masing-masing narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan mendapatkan program Asimilasi.
10. Penilaian
Tim Pengamat Pemasyarakatan
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat dapat
berupa persetujuan rekomendasi untuk diteruskan ke Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan HAM RI dan dapat juga berupa penolakan ataupun revisi terhadap rekomendasi.
a) Penolakan terhadap usulan rekomendasi Lapas Kelas IIA
Padang akan dikembalikan kepada Kepala Lapas
Kelas IIA Padang untuk mendapatkan
penilaian ulang dari Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA
Padang guna diusulkan ulang pada masa pengusulan berikutnya.
b) Penilaian berupa revisi dikembalikan
kepada Kepala Lapas Kelas IIA Padang untuk diperbaiki berdasarkan usulan yang diberikan
11. Rekomendasi usulan Pemberian Asimilasi yang diajukan oleh Lapas Kelas IIA Padang yang disetujui
oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat akan diteruskan ke Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI untuk mendapatkan persetujuan dikeluarkannya Surat
Keputusan (SK) Pemberian Asimilasi
terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang diusulkan setelah melalui penilaian dan pemeriksaan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI.
12. Rekomendasi usulan pemberian Asimilasi yang disetujui oleh Tim
Pengamat Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI akan diterbitkan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SK PB) terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang bersangkutan oleh Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM Sumatera Barat atas nama
Menteri berdasarkan persetujuan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI
13. SK Asimilasi yang dikeluarkan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM
Sumatera Barat diserahkan kepada
Kepala Lapas Klas IIA Padang untuk dilaksanakan
14. Kepala Lapas Kelas IIA Padang melaksanakan
SK Asimilasi guna memberikan Asimilasi terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang telah disetujui usulan Asimilasinya.
15. Narapidana
dan anak didik pemasyarakatan yang telah mendapatkan Asimilasi selanjutnya disampaikan kepada Kejaksaan Negeri Padang sebagai salah satu insitusi pengawas pelaksanaan Asimilasi terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang menjalani program Asimilasi.
16. Bersamaan dengan itu Kepala
Lapas Kelas IIA Padang menyerahkan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada Balai Pemasyarakatan
(Bapas) untuk selanjutnya menjadi klien dari Bapas
untuk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dalam menjalankan program Asimilasi.
Berdasarkan
data realisasi pelaksanaan
program Asimilasi tahun
2019 berjumlah 3 orang dari
usulan 3 orang. Terhitung sampai Desember 2019 jumlah narapidana dan anak didik pemasyarakataan
yang mendapat program Asimilasi
berjumlah 3 orang sesuai dengan jumlah narapidana
dan anak didik pemasyarakatan yang diusulkan (Mashabi, 2020).
Program pembinaan asimilasi narapidana di Lapas Kelas IIA Padang saat ini belum dapat
berjalan terhadap narapidana kasus Narkotika, dikarenakan diharuskan untuk membayar denda/ uang pengganti yang nominalnya tidak sedikit untuk
dapat bekerja (asimilasi) di luar Lapas dan sulitnya untuk mendapatkan Justice Colabulator (JC) dari kepolisisan, kejaksaan maupun dari BNN dikarenakan dianggap tidak kooperatif dan bertele-tele dalam persidangan (Febriansyah, 2014). Apabila narapidana tersebut tidak mampu untuk
membayar denda/ uang pengganti, mereka bisa mengikuti program asimilasi di dalam Lapas dengan ketentuan
melakukan kerja sama dengan pihak
ketiga dan dengan menggunakan biaya sendiri, karena sampai saat ini
anggaran untuk pelaksanaan asimilasi belum ada pada DIPA Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada umumnya dan
Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Padang pada umumnya. Hal ini
tentu menjadi penghambat dalam pelaksanaan program asimilasi terhadap narapidana narkotika. Untuk pidana korupsi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Padang sudah membuat MoU dengan melibatkan pihak ketiga untuk
kerjasama yang salah satunya
Yayasan Humaira Padang.
C. Kendala-kendala Dalam Pelaksanaan Asimilasi Narapidana dan
Upaya Untuk Mengatasi Kendala-Kendala Tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Padang
Berdasarkan hasil studi pustaka
yang dilakukan oleh penulis
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang, ditemukan beberapa kendala dalam pelaksanaan
pembinaan narapidana dalam tahap asimilasi
dan upaya untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, yaitu:
1.
Kurangnya sosialisasi petugas terhadap warga binaan tentang
hak-hak dan kewajiban warga binaan khususnya
tentang asimilasi.
Hal tersebut merupakan permasalahan yang
paling mendasar dan umum terjadi di Lembaga Pemasyarakatan
Dari hasil wawancara dengan beberapa narapidana yang peneliti ambil secara acak,
ternyata banyak sekali narapidana yang tidak mengetahui tentang asimilasi. Menurut mereka selama ini, mulai
saat mereka tiba di Lembaga Pemasyarakatan sampai saat ini
belum pernah ada sosialisasi dari petugas Lembaga Pemasyarakatan kepada narapidana tentang asimilasi. Hal ini dibenarkan oleh salah seorang
tamping yang sehari-hari bekerja
membantu petugas di bagian pembinaan. Menurut dia, memang
tidak ada sosialisasi tentang asimilasi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan tetapi bila seorang narapidana
sudah waktunya asimilasi, otomatis akan dipanggil dan diberitahu secara pribadi kepada narapidana yang bersangkutan.
Untuk mengatasi hal tersebut
pihak Lembaga Pemasyarakatan
hendaknya dapat mensosialisasikan secara maksimal terkait dengan hak-hak dan kewajiban warga binaan mulai dari
proses penahanan sampai dengan habis masa pidananya.
2.
Kondisi Lapas yang over kapasitas mengakibatkan asimilasi ke dalam
Lapas seperti Kunjungan Keluarga tidak dapat berjalan
dengan baik.
Saat pelaksanaan program asimilasi ke dalam yaitu
kunjungan keluarga. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan
yang over kapasitas dengan waktu kunjungan yang terbatas menyebabkan keluarga yang mengunjungi anggota keluarga yang sedang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Padang mengalami keadaan yang tidak nyaman setiap kali datang berkunjung. Sejak mulai pendaftaran
hingga bertemu narapidana yang dikunjungi memakan waktu yang cukup lama, paling cepat 1 jam, sedangkan waktu yang diberikan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan untuk bertemu narapidana yang dikunjungi hanya 30 (tiga puluh) menit,
yang dirasakan kurang oleh kebanyakan keluarga yang berkunjung. Tapi menurut mereka pelayanan kunjungan secara umum mereka
nilai baik, karena di ruang kunjungan pun banyak tamping kunjungan yang selalu siap siaga yang bertugas untuk membantu petugas Lembaga Pemasyarakatan dan para pengunjung
yang datang. Para tamping tersebut
dengan sigap selalu mengingatkan para pengunjung yang sudah habis waktu kunjungannya
agar dapat bergantian dengan pengunjung-pengunjung yang
lain yang masih menunggu giliran. Dengan begitu semua pengunjung
mendapat kesempatan untuk bertemu dengan
anggota keluarganya yang sedang menjalani pidana. Walaupun sesekali terjadi ada pengunjung yang tidak dapat bertemu
dengan narapidana anggota keluarganya karena waktu kunjungan
telah habis. Tapi kejadian ini
sangat jarang terjadi dan biasanya pengunjung yang baru pertama kali ingin berkunjung yang mengalaminya. Untuk mengatasi hal tersebut hendaknya
Lapas dapat mengatur waktu kunjungan keluarga dengan cara membagi
dan membedakan waktu kunjungan antara narapidana dan tahanan agar tidak terjadi kesenjangan
sosial antar warga binaan.
3.
Masih terdapat sikap tidak antusias dari beberapa narapidana
dalam mengikuti kegiatan asimilasi.
Hal ini dapat
menyebabkan program pembinaan
yang dilaksanakan tidak dapat berjalan dengan baik dan tidak tepat sasaran.
Karena program asimilasi yang dilaksanakan
dan dijalani mereka hanya dianggap sebagai formalitas sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
program Pembebasan Bersyarat.
Selain itu mereka juga dapat keluar dan meninggalkan Lapas yang kondisi saat ini sudah
sangat over kapasitas.Untuk
mengatasi hal tersebut,seluruh Pegawai Lapas dapat memberikan
motivasi kepada warga binaan terkait
program-program pembinaan yang akan
dijalaninya selama menjalani masa pidana di dalam Lapas. Karena proses pidana yang dijalaninya hanya merupakan kehilangan kemerdekaan.
4.
Penjamin yang tidak sesuai dengan aturan.
Pelaksanaan Asimilasi mewajibkan adanya surat jaminan
keluarga terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan menjalani program tersebut. Keluarga yang dapat memberikan jaminan tersebut dinyatakan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 3 Tahun
2018 yang menyebutkan : �keluarga adalah
suami atau isteri, anak kandung,
anak angkat, atau anak tiri,
orang tua kandung atau angkat atau
tiri atau ipar, saudara kandung
atau angkat atau tiri atau
ipar, dan keluarga dekat lainnya sampai
derajat kedua baik horizontal maupun vertikal.� Merujuk pada ketentuan tesebut ada batasan tali
keluarga yang dapat memberikan jaminan terhadap pelaksanaan asimilasi bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Jaminan yang diberikan oleh pihak yang tidak jelas hubungan kekeluargaanya dengan narapidana dan anak didik pemasyarakatan tidak dapat diterima
dan menjadi kendala terhadap pelaksanaan usulan program Asimilasi
. Kendala yang demikian juga ditemui di Lapas Kelas IIA
Padang, dimana narapidana
dan anak didik pemasyarakatan yang terputus hubungan dengan keluarga dekatnya seringkali menggunakan pihak lain yang tidak jelas keterkaitannya dengan narapidana dan anak didik pemasyarakatan,
sehingga Lapas Kelas IIA
Padang harus melakukan pengecekan baik itu pengecekan lapangan maupun pengecekan administrasi tentang status hubungan antara pemberi jaminan dengan narapidana atau anak didik pemasyarakatan
yang akan dijamin. Persoalan lebih lanjut yang timbul terhadap penjamin yang tidak jelas hubungan
keluarganya dengan narapidana dan anak didik pemasyarakatan adalah ketika dilakukan
verifikasi lapangan oleh pihak Balai Pemasyarakatan
(Bapas) ke tempat penjamin. Dalam proses verifikasi tersebut akan dilakukan
pengecekan kepada aparat pemerintahan setempat tentang keberadaan dari narapidana atau anak didik pemasyarakatan
yang akan dijamin oleh pihak penjamin. Terhadap hal itu
harus ada surat keterangan yang dikeluarkan oleh aparat pemerintahan setempat setingkat Lurah atau Kepala Desa
(Wali Nagari) tentang keberadaan narapidana atau anak didik
pemsyarakatan di tempat tinggal si penjamin.
Tanpa adanya surat keterangan tersebut maka hubungan
kedekatan antara penjamin dengan narapidana atau anak didik pemasyarakatan
tidak dapat diterima atau diakui
oleh Lapas Klas IIA Padang.
Untuk mengatasi hal tersebut seharusnya
bisa lebih mempermudah prosedur yang bersifat birokratif terkait dengan proses pengusulan program pembinaan untuk mempercepat integrasi.
5.
Tidak adanya keluarga
sebagai penjamin.
Pelaksanaan Asimilasi sangat ditentukan oleh adanya penjamin terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan menjalani program tersebut. Penjamin ini akan memberikan
jaminan bahwa selama pelaksanaan proram tersebut narapidana dan anak didik pemasyarakatan tidak akan melarikan
diri dan akan mematuhi semua ketentuan yang ditetapkan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) sebagai pembinan dalam pelaksanan program bebas bersyarat. Tanpa adanya penjamin, maka terhadap narapidana
dan anak didik pemasyarakatan tidak dapat diberikan program Asimilasi. Tidak adanya kelauarga sebagai penjamin bagi narapidana dan anak didik pemasyaraktan
untuk pelaksanaan program bebas bersayarat menjadi kendala dalam kelancara dan optimalisasi pelaksanaan program tersebut. Kedala yang demikian itu juga terjadi di Lapas Kelas IIA
Padang.
Narapidana
dan anak didik pemasyarakatan yang sudah terputus hubungan dengan keluarga ataupun yang tidak jelas keberadaan keluarganya tidak bisa diusulkan untuk program Asimilasi. Di Lapas Kelas IIA Padang Narapidana
dan anak didik pemasyarakatan yang demikian itu disebut dengan
istilah �anak hilang�. Dimana narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang disebut dengan istilah �anak hilang�
ini tidak pernah mendapat kunjungan keluarga atau saudaranya. Lapas Klas IIA Padang tidak bisa melaksanaan
pembianaan melalui program asimilasi terhadap kelompok anak hilang
ini, sebab syarat penjamin untuk usulan program Asimilasi tidak dapat dipenuhi oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang masuk kelompok ini.
Untuk mengatasi hal tersebut
seharusnya bisa lebih mempermudah prosedur yang bersifat birokratif terkait dengan proses pengusulan program pembinaan untuk mempercepat integrasi.
6.
Penjamin yang berada di luar kota.
Penjamin terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang akan diusulkan program
bebas bersyarat harus memberikan jaminan tersebut secara langsung dalam artian pihak
keluarga harus bertemu dengan petugas pembinaan di Lapas Kelas IIA Padang yang berada
di bawah struktur kerja Seksi Pembinaan
Narapidana dan Anak Didik Pemasayarakatan (Seksi Binadik). Hal ini mengharuskan adanya kontak langsung dari pemberi jaminan
dengan pihak pembinaan di Lapas Kelas IIA
Padang. Untuk itu penjamin harus dapat berkunjung langsung ke Lapas
Kelas IIA Padang sehingga dapat
diberikan paparan tentang bagaimana penjaminan yang dilakukan dan kewajiban apa yang harus dijalankan oleh pemberi jaminan selama pelaksanaan program Asimilasi dijalankan oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pemaparan demikian itu diperlukan agar penjamin mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
selama mereka menjalani program Asimilasi.
Penjamin
yang berada di luar kota ini juga menjadi
penyebab terlambatnya pengajuan pengusulan Asimilasi terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Hal ini disampaikan oleh Alfin Djamalus, Kepala Sub Seksi Pembinaan Masyarakat dan Perawatan (Kasubsi Bimaswat) Lapas Kelas IIA Padang.
Penjamin yang berada di luar kota akan
sulit untuk dilakukan verifikasi lapangan dan akan memperlama proses administratif bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan
untuk pengajuan program asimilasi.
Untuk mengatasi hal tersebut
seharusnya bisa lebih mempermudah prosedur yang bersifat birokratif terkait dengan proses pengusulan program pembinaan untuk mempercepat integrasi.
7.
Sulitnya proses pengurusan Justice
Collaborator (JC) bagi Narapidana
dan anak didik pemasyarakatan yang dikenai aturan PP No. 99 Tahun 2012
Berdasarkan Pasal 43A PP No. 99 Tahun 2012 terungkap bahwa untuk tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, terorisme, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia
yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, harus memenuhi syarat bersedia bekerja sama dengan
aparat hukum untuk membantu mengungkap perkara yang di lakukan. Surat kesedian tersebut dikenal dengan istilah Justice
Collaborator (JC).
Merujuk kepada aturan tersebut
diungkapkan bahwa Justice
Collaborator (JC) dikeluarkan oleh aparat penegak hukum yang memproses perkara pidana yang dikenai oleh aturan PP No. 99 Tahun 2012 tersebut. Pengurusan JC didahului dengan adanya pernyataan
dari Narapidana dan anak didik pemasyarakatan
dengan dasar pengantar dari Lapas Klas IIA Padang untuk diajukan kepada penyidik atau aparat hukum
yang memeriksa perkara bersangkutan untuk mengeluarkan pernyataan telah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk
membantu mengungkap tindak pidana yang dilakukannya.
Persoalan
yang sering timbul dalam pengurusan tesebut adalah lambatnya proses keluarnya surat pernyataan dari aparat penegak
hukum bahwa yang bersangkutan telah bersedia bekerjasama dengan aparat penegak
hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Surat pernyataan tersebut yang dijadikan bukti sebagai Justice Collaborator (JC) bagi narapidana atau anak didik
pemasyarakatan tersebut. Keterlambatan keluarnya surat JC tersebut akan menjadi kendala
bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan
untuk mendapatkan hak-haknya dalam program Asimilasi.
Untuk mengatasi hal tersebut
agar pihak Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Padang lebih mengintensifkan
koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya seperti
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan terkait dengan kelancaran pemenuhan hak-hak narapidana selama menjalani pidana di dalam Lapas (Yudiansyah, 2019).
8.
Kekurangan anggaran di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Anggaran
yang disediakan Negara untuk
pelaksanaan program pembinaan
di Lembaga Pemasyarakatan sangatlah
kurang, sehingga untuk pelaksanaan asimilasi dengan pihak ketiga tersebut
harus menggunakan biaya pribadi dari
pelaksana asimilasi.
Untuk mengatasi hal tersebut
pihak Lembaga Pemasyarakatan
dapat memaksimalkan anggaran yang ada dan melakukan kerjasama dengan pihak terkait
baik pemerintahan maupun swasta untuk
dapat bekerja sama dalam pelaksanaan
proses pembinaan Narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang.
Kesimpulan
Proses pemberian program Asimilasi dalam kegiatan pembinaan
yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang sudah didasarkan
pada aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan aturan yang ada tersebut Lapas
Kelas IIA Padang melaksanakan program asimilasi sebagai tahap integrasi
narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk kembali ke masyarakat. Program
asimilasi ini dilaksanakan setelah melalui tahap pengamatan dan pembinaan yang berkelanjutan
di Lapas Kelas IIA Padang mulai dari masa penahanan sampai dengan masa
pelaksanaan program asimilasi.
Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Tahap Asimilasi di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang ini telah dilaksanakan sesuai dengan
prosedur yang berlaku, namun dalam pelaksanaannya tentu saja akan ditemukan
kendala-kendala yang dialami baik oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan maupun
oleh narapidana itu sendiri. Kendala yang ditemui dalam pelaksanaan asimilasi
di Lapas Kelas IIA Padang yaitu kurangnya sosialisasi petugas terhadap warga
binaan tentang hak-hak dan kewajiban warga binaan khususnya tentang asimilasi,
kondisi Lapas yang over kapasitas mengakibatkan asimilasi ke dalam Lapas
seperti Kunjungan Keluarga tidak dapat berjalan dengan baik, masih terdapat
sikap tidak antusias dari beberapa narapidana dalam mengikuti kegiatan
asimilasi, penjamin yang tidak sesuai dengan aturan, tidak adanya keluarga
sebagai penjamin, penjamin yang berada di luar kota, sulitnya proses pengurusan
Justice Collaborator (JC) bagi Narapidana dan anak didik pemasyarakatan
terkait PP No. 99 Tahun 2012, kekurangan anggaran di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.
Selama kehilangan kemerdekaannya, narapidana harus dikenalkan
dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan. Asimilasi bertujuan untuk
menghilangkan citra buruk penjara pasca hukuman, serta mencegah penolakkan
masyarakat terhadap bekas narapidana. Pembinaan yang diberikan kepada mereka
harus dapat merubah sifat dan mental mereka, supaya tidak lagi mengulangi
perbuatan mereka dan menyadari apa yang mereka lakukan itu adalah salah.
Program pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana juga dilakukan dengan
berkesinambungan dan pola pembinaan tersebut harus bersifat dinamis tidak
bersifat statis. Harus ada kenyamanan yang tercipta antara narapidana dan yang
membina supaya pembinaan tersebut tidak menimbulkan efek dendam dan sakit hati
yang berkepanjangan, melainkan memberikan efek positif baik bagi narapidana itu
sendiri, petugas Lembaga Pemasyarakatan maupun penilaian masyarakat. Selain itu
dalam pembinaan juga harus ada reward dan punishment. Penghargaan dan
penghukuman bagi narapidana itu harus disosialisasikan secara �transparan, sehingga narapidana menjadi tahu
akan hak dan kewajibannya.
BIBLIOGRAFI
Febriansyah, Artha. (2014). Realitas Penjara Indonesia. Jakarta:
Center for Detention Studies (Pusat Kajian Penahanan).
Hariyanto, Indra. (2015). Asimilasi narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta.Yogyakarta: Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga
Hukum, Peraturan Menteri, & Nomor, Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. (2013). Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi. Asimilasi,
Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti
Bersyarat.
Marzuki, Peter Mahmud. (2014). Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Mashabi, Sani. (2020). Kemenkumham: Asimilasi Bukan Berarti Membebaskan
Napi untuk Berulah Lagi. Retrieved September 22, 2020, from Kompas.com website:
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/06/12074691/kemenkumham-asimilasi-bukan-berarti-membebaskan-napi-untuk-berulah-lagi?page=all
Moleong, Lexy J. (2017). Metodologi penelitian kualitatif (Revisi).
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Natsif, Fadli Andi. (2016). Kejahatan HAM: perspektif hukum pidana
nasional dan hukum pidana internasional. Depok: Rajawali Pers.
Prastowo, Andi. (2011). Metode penelitian kualitatif dalam perspektif
rancangan penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rumadan, Ismail. (2013). Problem Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan
Reorientasi Tujuan Pemidanaan. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 2(2),
263�276.
Samosir, Djisman. (2016). Penologi dan pemasyarakatan. Bandung:
Nuansa Aulia.
Yudiansyah, Mai. (2019). Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana Sebagai
Penerapan Undang-Undang Pemasyarakatan Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Padang. UNES Journal of Swara Justisia, 2(3), 274�285.