Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 5, No. 9, September 2020

PELAKSANAAN PEMBERIAN ASIMILASI BAGI NARAPIDANA SEBAGAI PENERAPAN UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN

 

Fauzan

Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Depok Jawa Barat, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstract

The guidance of prisoners conducted under the Correctional system aims to get inmates prepared according to reunite with the community, then they play a role as a freeman and have a responsibility as members of society. To make the purpose happen, one of the efforts that have been made is assimilation. Out of 331 inmates who are serving a criminal period between 1/2 - 2/3 only 3 people undergo the Assimilation program in Class IIA State Penitentiary of Padang. The research method used in this research is analytical descriptive research specification that is exposing the real data as it is to then performed an analysis of the data based on the relevant situation. In this study, the approach used is the method of normative juridical which is a study that emphasizes or refers to the legal norms contained in legislation related to the implementation of assimilation for prisoners. Also supported by an empirical juridical approach, by looking at how legislation is applied in practice in the field. The data source that the author use is secondary data and primary data. The data obtained were analyzed qualitatively and presented in an analytical descriptive form. Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the Implementation of Prisoners Assimilation Stage in Class IIA State Penitentiary of Padang has been implemented under applicable procedures, but actually the implementation of it, constraints and obstacles have been found which experienced by warden and prisoner itself, the lack of socialization of officers to prisoners, Family visiting can not run well due to overcapacity, there is still unenthusiastic attitude from some inmates in following assimilation activities, guarantors that are not under the rules, the absence of family as a guarantor, out of town guarantor, the Justice Collaborator (JC) processing difficulties, the lack of budget within the Correctional Institution.

 

Keywords: Prison; assimilation dan prisoners.

 

Abstrak

Pembinaan narapidana yang dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mempersiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga berperan kembali sebagai anggota masyarakat yangbertanggungjawab. Untuk mewujudkan tujuan pembinaan tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan asimilasi. Dari 331 orang narapidana yang sedang menjalani masa pidana antara 1/2 - 2/3 hanya 3 orang yang menjalani program Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian penelitian ini adalah dengan spesifikasi penelitian deskriptis analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini juga didukung oleh pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber data yang penulis gunakan adalah data sekunder dan data primer. Data yang didapat dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Tahap Asimilasi di Lapas Kelas IIA Padang telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku, namun dalam pelaksanaannya tentu saja akan ditemukan kendala-kendala yang dialami baik oleh petugas Lapas maupun oleh narapidana itu sendiri yaitu kurangnya sosialisasi petugas terhadap warga binaan, kunjungan Keluarga tidak dapat berjalan dengan baik karena Lapas yang over kapasitas, masih terdapat sikap tidak antusias dari beberapa narapidana dalam mengikuti kegiatan asimilasi, penjamin yang tidak sesuai dengan aturan, tidak adanya keluarga sebagai penjamin, penjamin yang berada di luar kota, sulitnya proses pengurusan Justice Collaborator (JC), kekurangan anggaran di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

 

Kata kunci : Lembaga pemasyarakatan; asimilasi dan narapidana

 

Pendahuluan

Tujuan dari sistem peradilan pidana bersifat jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana, bersifat menengah berupa pengendalian kejahatan yang di terima , dan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial. Maka, apabila dilihat dari sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System), pelaksanaan pidana dengan menerapkan sistem pemasyarakatan, merupakan salah satu sub-sistem yang saling berkaitan dengan sub-sistem lainnya. Oleh karena itu, keberhasilan pembinaan pelaku tindak pidana bukan dimulai sejak dia masuk kedalam lembaga pemasyarakatan, tetapipengalaman sejak diperiksa oleh polisimempengaruhi keberhasilan resosialisasi (Rumadan, 2013).

Pembinaan narapidana yang dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk mempersiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara baik dengan masyarakat sehingga berperan aktif sebagai anggota masyarakat yang merdeka dan bertanggungjawab (Marzuki, 2014). Untuk mewujudkan tujuan pembinaan tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan asimilasi.

Dengan keluarnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2016 yang dirubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3 Tahun 2018ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya lebih meningkatkan program pembinaan berupa Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Bersyarat (CB), dan Remisi bagi warga binaan. Pada pasal 23 disebutkan : a) Asimilasi dapat diberikan kepada narapidana setelah membayar lunas denda dan/atau uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. b) Dalam hal narapidana yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat membayar lunas denda dan/atau uang pengganti, narapidana wajib menjalani pidana kurungan dan/atau penjara pengganti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c) Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pida korupsi dapat diberikan asimilasi setelah membayar lunas denda dan/atau uang pengganti.

Peningkatan pelayanan pemberian Asimilasi ini merupakan langkah strategis dalam pencapaian visi dan misi pemasyarakatan kedepan. Berdasarkan Instruksi Menteri Hukum dan HAM RI Nomor : M.HH-01.OT.03.01 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kegiatan Kerja Narapidana dalam Rangka Mewujudkan Pemasyarakatan Produktif menyebutkan bahwa hakikat pembinaan narapidana semestinya bukan hanya sekedar mengisi waktu belaka, tetapi sebesar-besarnya untuk memberikan bekal hidup yang cukup bagi mereka ketika kembali dalam kehidupan masyarakat.

Pada kenyataannya banyak narapidana yang tidak memahami keberadaannya di Lembaga Pemasyarakatan untuk apa, apakah untuk menebus kesalahannya atau untuk perbaikan dirinya sendiri dan apa saja hak-hak yang diterima selama menjalani masa pidana penjaranya. Persyaratan dan prosedur pemenuhan hak yang dirasakan sangatlah rumit sehingga narapidana merasakan keengganan meminta hak-haknya dan pada akhirnya dapat menimbulkan perasaan yang terkucilkan dan tersingkirkan dari kehidupan masyarakat luar secara normal (Natsif, 2016).

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan yang menjalankan tugas untuk melaksanakan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini juga mengalami kelebihan kapasitas.

 

Tabel 1 Persentase Overcrowded Lapas Klas II A Padang

No.

UPT Pemasyarakatan

Kapasitas Hunian

Jumlah penghuni

persentase

 

Lapas Klas II A Padang

458 Orang

998 Orang

117%

Sumber : Data Registrasi Lapas Klas II A Padang per-Desember 2019

Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan program pembinaan khususnya program asimilasi. Pada tahun 2019 untuk terdapat 331 orang narapidana yang sedang menjalani � s.d 2/3 masa pidananya akan tetapi baru 132 narapidana yang sudah di usulkan dan hanya 3 orang narapidana yang sedang dan sudah menjalankan program asimilasi.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan spesifikasi penelitian deskriptis analitis yaitu menggambarkan dan menguraikan objek penelitian sebagaimana adanya untuk kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut berdasarkan kaidah-kaidah yang relevan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif sebagai pendekatan utama dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan dengan cara melihat dan mengamati faktor dan norma hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat dengan tujuan untuk mengetahui bekerjanya hukum di dalam masyarakat(Moleong, 2017).

Adapun sumber data yang penulis gunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan atau studi dokumen (Library Research) dan data primer yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan (Field Research) melalui wawancara dengan informan yaitu Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang, Kepala Seksi Binadik, Kepala Subseksi Bimaswat dan Petugas Staf Bimaswat. Data yang didapat dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk deskriptif analitis.

Penelitian ini dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang untuk mendapatkan informasi dan jawaban atas permasalahan yang diteliti dan mengetahui pelaksanaan pemberian Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang.

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara kualitatif, yaitu hanya akan menggambarkan saja dari hasil penelitian yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Sedangkan data yang sudah dianalisis akan disajikan deskriptif analitis (Prastowo, 2011).

 

Hasil dan Pembahasan

A.       Pelaksanaan Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang.

Pemberian asimilasi kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang tidak diberikan begitu saja, tetapi ada persyaratan yang harus dipenuhi supaya asimilasi bisa diberikan. Persyaratan asimilasi yang dilaksanakan di Lapas Kelas IIA Padang sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 8 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi,Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

Persyaratan substantif yang harus dipenuhi oleh narapidana dan anak pidana di Lapas Kelas IIA Padang adalah :

a)        Telah menunjukkan penyesalan dan kesadaran atas kesalahan yang menjadi sebab penjatuhan pidana.

b)        Telah menunjukkan perbaikan sikap, perkembangan budi pekerti dan moral ke arah yang baik.

c)        Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan rajin dan bersemangat.

d)        Masyarakat bisa menerima kegiatan pembinaan narapidana dan anak pidana yang dilaksanakan.

e)        Berkelakuan baik selama menjalani hukuman pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam 6 (enam) bulan terakhir.

f)         Telah menjalani � (setengah) dari masa pidananya.

Sementara persyaratan substantif yang harus dipenuhi oleh anak negara di Lapas Klas IIA Padang adalah :

a)        Telah menunjukkan penyesalan dan kesadaran atas kesalahan yang menjadi sebab penjatuhan pidana,

b)        Telah menunjukkan perbaikan sikap, perkembangan budi pekerti dan moral ke arah yang baik,

c)        Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan rajin dan bersemangat,

d)        Masyarakat bisa menerima kegiatan pembinaan narapidana dan anak pidana yang dilaksanakan,

e)        Berkelakuan baik selama menjalani hukuman pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam 6 (enam) bulan terakhir;

f)         Masa pendidikan yang telah dijalani di Lembaga Pembinaan Khusus Anak sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan.

Keberhasilan program Asimilasi ini sangat ditentukan oleh kondisi narapidana berdasarkan tindak pidana dan tingkat hukuman yang dijalankan oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Kondisi narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang demikian itu mempengaruhi pelaksanaan pembinaan melaui program Asimilasi yang akan diberikan Terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang masuk dalam kelompok tindak pidana khusus yang diatur secara khusus tentang pemberian remisi (Samosir, 2016), Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB) berdasarkan PP No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 32 Tahun 2009 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan akan memberikan konsekuensi yuridis terhadap penerapan program Asimilasi yang akan diberikan oleh Lapas Klas IIA Padang (Hukum, P. M., & Nomor, H. A. M. R. I., 2013).

Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika, terorisme, psikotropika, korupsi, kejahatan keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, hak asimilasi bisa diberikan setelah memenuhi syarat:

1.        Berkelakuan Baik;

2.        Aktif mengikuti program pembinaan yang diberikan;

3.        Telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa hukuman.

Selain harus memenuhi syarat tersebut diatas, untuk Narapidana yang dipidana kasus terorisme harus juga memenuhi syarat:

1.        Selesai mengikuti Program Deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan/atau Lembaga Pemasyarakatan;

2.        Menyatakan ikrar

a)    Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis untuk Narapidana warga negara Indonesia;

b)   Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis untuk Narapidana warga negara asing (Hariyanto, 2015).

Adapun Persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh narapidana atau anak didik pemasyarakatan di Lapas Kelas IIA Padang adalah :

1.        Kutipan Putusan Hakim (ekstrak vonis);

2.        Laporan perkembangan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dibuat wali pemasyarakatan atau laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat pembimbing kemasyarakatan atau;

3.        Surat pemberitahuan kepada Kejaksaan Negeri setempat tentang adanya rencana pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan;

4.        Salinan Register F (lampiran yang mencantumkan pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana dan anak didik pemasyarakatan selama menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan) dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepalai Rutan;

5.        Salinan daftar pengurangan atau perubahan masa pidana, seperti grasi, remisi dan lain-lain dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Rutan;

6.        Surat pernyataan dari pihak yang akan menerima Narapidana tentang kesanggupan menerima Narapidana dan anak didik pemasyarakatan, seperti pihak keluarga, wali, sekolah, instansi pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnyai Lurah atau Kepala Desa.

7.        Bagi narapidana atau anak pidana warga negara asing dengan syarat tambahan sebagai berikut:

a)    Surat jaminan dari Kedutaan Besar/Konsulat negara orang asing yang tersebut bahwa narapidana dan anak didik pemasyarakatan tidak akan melarikan diri dan selalu menaati syarat-syarat selama menjalani Asimilasi.

b)   Surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.

B.       Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Tahap Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang

Program pembinaan narapidana dalam tahap asimilasi yang diberikan oleh Lapas Kelas IIA Padang kepada narapidana dan anak didik pemasyarakatan dilaksanakan dengan prosedural sebagai berikut :

1.        Data narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan mendapatkan usulan Asimilasi diserahkan kepada Tim Pengamat Pemasyarakatan;

2.        Ketua Tim Pengamat Pemasyarakatan mengundang anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan untuk melakukan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan guna melakukan penilaian terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan diberikan rekomendasi usulan Asimilasi;

3.        Tim Pengamat Pemasyarakatan melakukan persidangan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang telah memenuhi syarat dan kelengkapan dokumen untuk mendapat rekomendasi usulan pemberian Asimilasi;

4.        Hasil penilaian langsung terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan dirembukkan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan guna menjadi rekomendasi dari Tim Pengamat Pemasyarakatan untuk diajukan kepada Kepala Lapas Klas IIA Padang;

5.        Kepala Lapas Kelas IIA Padang akan memberikan pandangan, baik itu berupa persetujuan, penolakan ataupun perbaikan atas rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan guna diteruskan kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat.

a)    Rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan yang diterima oleh Kepala Lapas akan diteruskan kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat

b)   Rekomendasi Tim TPP yang direvisi akan diperbaiki oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan saran dan masukan dari Kepala Lapas Klas IIA Padang

c)    Rekomendasi yang ditolak akan dilakukan penilaian ulang pada sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berikutnya

6.        Rekomendasi usulan pemberian Asimilasi yang telah disetujui oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Klas IIA Padang akan diberitahukan kepada Kantor Kejaksaan Negeri Padang sebagai eksekutor guna mendapat persetujuan tentang tidak adanya perkara lain belum di putusyang terkait dengan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan diusulkan pemberian Asimilasi;

7.        Pemberitahuan tersebut akan dibalas sebagai bentuk persetujuan oleh Kejaksaan Negeri Padang, dan jika dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari sejak disampaikannya pemberitahuan tidak dapat balasan maka dianggap disetujui untuk diteruskan kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat

8.        Hasil rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang yang diusulkan oleh Kepala Lapas Kelas IIA Padang yang telah memenuhi persyaratan, selanjutnya akan diperiksa oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat.

9.        Berdasarkan rekomendasi usulan pemberian Asimilasi dari Lapas Kelas IIA Padang, Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM melakukan pemeriksaan dan penilaian berkas yang diusulkan untuk masing-masing narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan mendapatkan program Asimilasi.

10.    Penilaian Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat dapat berupa persetujuan rekomendasi untuk diteruskan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI dan dapat juga berupa penolakan ataupun revisi terhadap rekomendasi.

a)    Penolakan terhadap usulan rekomendasi Lapas Kelas IIA Padang akan dikembalikan kepada Kepala Lapas Kelas IIA Padang untuk mendapatkan penilaian ulang dari Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang guna diusulkan ulang pada masa pengusulan berikutnya.

b)   Penilaian berupa revisi dikembalikan kepada Kepala Lapas Kelas IIA Padang untuk diperbaiki berdasarkan usulan yang diberikan

11.    Rekomendasi usulan Pemberian Asimilasi yang diajukan oleh Lapas Kelas IIA Padang yang disetujui oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat akan diteruskan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI untuk mendapatkan persetujuan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Pemberian Asimilasi terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang diusulkan setelah melalui penilaian dan pemeriksaan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI.

12.    Rekomendasi usulan pemberian Asimilasi yang disetujui oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI akan diterbitkan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SK PB) terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang bersangkutan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat atas nama Menteri berdasarkan persetujuan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI

13.    SK Asimilasi yang dikeluarkan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat diserahkan kepada Kepala Lapas Klas IIA Padang untuk dilaksanakan

14.    Kepala Lapas Kelas IIA Padang melaksanakan SK Asimilasi guna memberikan Asimilasi terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang telah disetujui usulan Asimilasinya.

15.    Narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang telah mendapatkan Asimilasi selanjutnya disampaikan kepada Kejaksaan Negeri Padang sebagai salah satu insitusi pengawas pelaksanaan Asimilasi terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang menjalani program Asimilasi.

16.    Bersamaan dengan itu Kepala Lapas Kelas IIA Padang menyerahkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk selanjutnya menjadi klien dari Bapas untuk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dalam menjalankan program Asimilasi.

Berdasarkan data realisasi pelaksanaan program Asimilasi tahun 2019 berjumlah 3 orang dari usulan 3 orang. Terhitung sampai Desember 2019 jumlah narapidana dan anak didik pemasyarakataan yang mendapat program Asimilasi berjumlah 3 orang sesuai dengan jumlah narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang diusulkan (Mashabi, 2020).

Program pembinaan asimilasi narapidana di Lapas Kelas IIA Padang saat ini belum dapat berjalan terhadap narapidana kasus Narkotika, dikarenakan diharuskan untuk membayar denda/ uang pengganti yang nominalnya tidak sedikit untuk dapat bekerja (asimilasi) di luar Lapas dan sulitnya untuk mendapatkan Justice Colabulator (JC) dari kepolisisan, kejaksaan maupun dari BNN dikarenakan dianggap tidak kooperatif dan bertele-tele dalam persidangan (Febriansyah, 2014). Apabila narapidana tersebut tidak mampu untuk membayar denda/ uang pengganti, mereka bisa mengikuti program asimilasi di dalam Lapas dengan ketentuan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dan dengan menggunakan biaya sendiri, karena sampai saat ini anggaran untuk pelaksanaan asimilasi belum ada pada DIPA Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada umumnya dan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Padang pada umumnya. Hal ini tentu menjadi penghambat dalam pelaksanaan program asimilasi terhadap narapidana narkotika. Untuk pidana korupsi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Padang sudah membuat MoU dengan melibatkan pihak ketiga untuk kerjasama yang salah satunya Yayasan Humaira Padang.

C.       Kendala-kendala Dalam Pelaksanaan Asimilasi Narapidana dan Upaya Untuk Mengatasi Kendala-Kendala Tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang

Berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan oleh penulis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang, ditemukan beberapa kendala dalam pelaksanaan pembinaan narapidana dalam tahap asimilasi dan upaya untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, yaitu:

1.        Kurangnya sosialisasi petugas terhadap warga binaan tentang hak-hak dan kewajiban warga binaan khususnya tentang asimilasi.

Hal tersebut merupakan permasalahan yang paling mendasar dan umum terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Dari hasil wawancara dengan beberapa narapidana yang peneliti ambil secara acak, ternyata banyak sekali narapidana yang tidak mengetahui tentang asimilasi. Menurut mereka selama ini, mulai saat mereka tiba di Lembaga Pemasyarakatan sampai saat ini belum pernah ada sosialisasi dari petugas Lembaga Pemasyarakatan kepada narapidana tentang asimilasi. Hal ini dibenarkan oleh salah seorang tamping yang sehari-hari bekerja membantu petugas di bagian pembinaan. Menurut dia, memang tidak ada sosialisasi tentang asimilasi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan tetapi bila seorang narapidana sudah waktunya asimilasi, otomatis akan dipanggil dan diberitahu secara pribadi kepada narapidana yang bersangkutan.

Untuk mengatasi hal tersebut pihak Lembaga Pemasyarakatan hendaknya dapat mensosialisasikan secara maksimal terkait dengan hak-hak dan kewajiban warga binaan mulai dari proses penahanan sampai dengan habis masa pidananya.

2.        Kondisi Lapas yang over kapasitas mengakibatkan asimilasi ke dalam Lapas seperti Kunjungan Keluarga tidak dapat berjalan dengan baik.

Saat pelaksanaan program asimilasi ke dalam yaitu kunjungan keluarga. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang over kapasitas dengan waktu kunjungan yang terbatas menyebabkan keluarga yang mengunjungi anggota keluarga yang sedang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Padang mengalami keadaan yang tidak nyaman setiap kali datang berkunjung. Sejak mulai pendaftaran hingga bertemu narapidana yang dikunjungi memakan waktu yang cukup lama, paling cepat 1 jam, sedangkan waktu yang diberikan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan untuk bertemu narapidana yang dikunjungi hanya 30 (tiga puluh) menit, yang dirasakan kurang oleh kebanyakan keluarga yang berkunjung. Tapi menurut mereka pelayanan kunjungan secara umum mereka nilai baik, karena di ruang kunjungan pun banyak tamping kunjungan yang selalu siap siaga yang bertugas untuk membantu petugas Lembaga Pemasyarakatan dan para pengunjung yang datang. Para tamping tersebut dengan sigap selalu mengingatkan para pengunjung yang sudah habis waktu kunjungannya agar dapat bergantian dengan pengunjung-pengunjung yang lain yang masih menunggu giliran. Dengan begitu semua pengunjung mendapat kesempatan untuk bertemu dengan anggota keluarganya yang sedang menjalani pidana. Walaupun sesekali terjadi ada pengunjung yang tidak dapat bertemu dengan narapidana anggota keluarganya karena waktu kunjungan telah habis. Tapi kejadian ini sangat jarang terjadi dan biasanya pengunjung yang baru pertama kali ingin berkunjung yang mengalaminya. Untuk mengatasi hal tersebut hendaknya Lapas dapat mengatur waktu kunjungan keluarga dengan cara membagi dan membedakan waktu kunjungan antara narapidana dan tahanan agar tidak terjadi kesenjangan sosial antar warga binaan.

3.        Masih terdapat sikap tidak antusias dari beberapa narapidana dalam mengikuti kegiatan asimilasi.

Hal ini dapat menyebabkan program pembinaan yang dilaksanakan tidak dapat berjalan dengan baik dan tidak tepat sasaran. Karena program asimilasi yang dilaksanakan dan dijalani mereka hanya dianggap sebagai formalitas sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan program Pembebasan Bersyarat. Selain itu mereka juga dapat keluar dan meninggalkan Lapas yang kondisi saat ini sudah sangat over kapasitas.Untuk mengatasi hal tersebut,seluruh Pegawai Lapas dapat memberikan motivasi kepada warga binaan terkait program-program pembinaan yang akan dijalaninya selama menjalani masa pidana di dalam Lapas. Karena proses pidana yang dijalaninya hanya merupakan kehilangan kemerdekaan.

4.        Penjamin yang tidak sesuai dengan aturan.

Pelaksanaan Asimilasi mewajibkan adanya surat jaminan keluarga terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan menjalani program tersebut. Keluarga yang dapat memberikan jaminan tersebut dinyatakan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 3 Tahun 2018 yang menyebutkan :keluarga adalah suami atau isteri, anak kandung, anak angkat, atau anak tiri, orang tua kandung atau angkat atau tiri atau ipar, saudara kandung atau angkat atau tiri atau ipar, dan keluarga dekat lainnya sampai derajat kedua baik horizontal maupun vertikal.� Merujuk pada ketentuan tesebut ada batasan tali keluarga yang dapat memberikan jaminan terhadap pelaksanaan asimilasi bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Jaminan yang diberikan oleh pihak yang tidak jelas hubungan kekeluargaanya dengan narapidana dan anak didik pemasyarakatan tidak dapat diterima dan menjadi kendala terhadap pelaksanaan usulan program Asimilasi . Kendala yang demikian juga ditemui di Lapas Kelas IIA Padang, dimana narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang terputus hubungan dengan keluarga dekatnya seringkali menggunakan pihak lain yang tidak jelas keterkaitannya dengan narapidana dan anak didik pemasyarakatan, sehingga Lapas Kelas IIA Padang harus melakukan pengecekan baik itu pengecekan lapangan maupun pengecekan administrasi tentang status hubungan antara pemberi jaminan dengan narapidana atau anak didik pemasyarakatan yang akan dijamin. Persoalan lebih lanjut yang timbul terhadap penjamin yang tidak jelas hubungan keluarganya dengan narapidana dan anak didik pemasyarakatan adalah ketika dilakukan verifikasi lapangan oleh pihak Balai Pemasyarakatan (Bapas) ke tempat penjamin. Dalam proses verifikasi tersebut akan dilakukan pengecekan kepada aparat pemerintahan setempat tentang keberadaan dari narapidana atau anak didik pemasyarakatan yang akan dijamin oleh pihak penjamin. Terhadap hal itu harus ada surat keterangan yang dikeluarkan oleh aparat pemerintahan setempat setingkat Lurah atau Kepala Desa (Wali Nagari) tentang keberadaan narapidana atau anak didik pemsyarakatan di tempat tinggal si penjamin. Tanpa adanya surat keterangan tersebut maka hubungan kedekatan antara penjamin dengan narapidana atau anak didik pemasyarakatan tidak dapat diterima atau diakui oleh Lapas Klas IIA Padang. Untuk mengatasi hal tersebut seharusnya bisa lebih mempermudah prosedur yang bersifat birokratif terkait dengan proses pengusulan program pembinaan untuk mempercepat integrasi.

5.        Tidak adanya keluarga sebagai penjamin.

Pelaksanaan Asimilasi sangat ditentukan oleh adanya penjamin terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan menjalani program tersebut. Penjamin ini akan memberikan jaminan bahwa selama pelaksanaan proram tersebut narapidana dan anak didik pemasyarakatan tidak akan melarikan diri dan akan mematuhi semua ketentuan yang ditetapkan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) sebagai pembinan dalam pelaksanan program bebas bersyarat. Tanpa adanya penjamin, maka terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan tidak dapat diberikan program Asimilasi. Tidak adanya kelauarga sebagai penjamin bagi narapidana dan anak didik pemasyaraktan untuk pelaksanaan program bebas bersayarat menjadi kendala dalam kelancara dan optimalisasi pelaksanaan program tersebut. Kedala yang demikian itu juga terjadi di Lapas Kelas IIA Padang.

Narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang sudah terputus hubungan dengan keluarga ataupun yang tidak jelas keberadaan keluarganya tidak bisa diusulkan untuk program Asimilasi. Di Lapas Kelas IIA Padang Narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang demikian itu disebut dengan istilahanak hilang�. Dimana narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang disebut dengan istilahanak hilangini tidak pernah mendapat kunjungan keluarga atau saudaranya. Lapas Klas IIA Padang tidak bisa melaksanaan pembianaan melalui program asimilasi terhadap kelompok anak hilang ini, sebab syarat penjamin untuk usulan program Asimilasi tidak dapat dipenuhi oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang masuk kelompok ini.

Untuk mengatasi hal tersebut seharusnya bisa lebih mempermudah prosedur yang bersifat birokratif terkait dengan proses pengusulan program pembinaan untuk mempercepat integrasi.

6.        Penjamin yang berada di luar kota.

Penjamin terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang akan diusulkan program bebas bersyarat harus memberikan jaminan tersebut secara langsung dalam artian pihak keluarga harus bertemu dengan petugas pembinaan di Lapas Kelas IIA Padang yang berada di bawah struktur kerja Seksi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasayarakatan (Seksi Binadik). Hal ini mengharuskan adanya kontak langsung dari pemberi jaminan dengan pihak pembinaan di Lapas Kelas IIA Padang. Untuk itu penjamin harus dapat berkunjung langsung ke Lapas Kelas IIA Padang sehingga dapat diberikan paparan tentang bagaimana penjaminan yang dilakukan dan kewajiban apa yang harus dijalankan oleh pemberi jaminan selama pelaksanaan program Asimilasi dijalankan oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pemaparan demikian itu diperlukan agar penjamin mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan selama mereka menjalani program Asimilasi.

Penjamin yang berada di luar kota ini juga menjadi penyebab terlambatnya pengajuan pengusulan Asimilasi terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Hal ini disampaikan oleh Alfin Djamalus, Kepala Sub Seksi Pembinaan Masyarakat dan Perawatan (Kasubsi Bimaswat) Lapas Kelas IIA Padang. Penjamin yang berada di luar kota akan sulit untuk dilakukan verifikasi lapangan dan akan memperlama proses administratif bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk pengajuan program asimilasi.

Untuk mengatasi hal tersebut seharusnya bisa lebih mempermudah prosedur yang bersifat birokratif terkait dengan proses pengusulan program pembinaan untuk mempercepat integrasi.

7.        Sulitnya proses pengurusan Justice Collaborator (JC) bagi Narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dikenai aturan PP No. 99 Tahun 2012

Berdasarkan Pasal 43A PP No. 99 Tahun 2012 terungkap bahwa untuk tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, terorisme, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, harus memenuhi syarat bersedia bekerja sama dengan aparat hukum untuk membantu mengungkap perkara yang di lakukan. Surat kesedian tersebut dikenal dengan istilah Justice Collaborator (JC).

Merujuk kepada aturan tersebut diungkapkan bahwa Justice Collaborator (JC) dikeluarkan oleh aparat penegak hukum yang memproses perkara pidana yang dikenai oleh aturan PP No. 99 Tahun 2012 tersebut. Pengurusan JC didahului dengan adanya pernyataan dari Narapidana dan anak didik pemasyarakatan dengan dasar pengantar dari Lapas Klas IIA Padang untuk diajukan kepada penyidik atau aparat hukum yang memeriksa perkara bersangkutan untuk mengeluarkan pernyataan telah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu mengungkap tindak pidana yang dilakukannya.

Persoalan yang sering timbul dalam pengurusan tesebut adalah lambatnya proses keluarnya surat pernyataan dari aparat penegak hukum bahwa yang bersangkutan telah bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Surat pernyataan tersebut yang dijadikan bukti sebagai Justice Collaborator (JC) bagi narapidana atau anak didik pemasyarakatan tersebut. Keterlambatan keluarnya surat JC tersebut akan menjadi kendala bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk mendapatkan hak-haknya dalam program Asimilasi.

Untuk mengatasi hal tersebut agar pihak Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang lebih mengintensifkan koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan terkait dengan kelancaran pemenuhan hak-hak narapidana selama menjalani pidana di dalam Lapas (Yudiansyah, 2019).

8.        Kekurangan anggaran di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Anggaran yang disediakan Negara untuk pelaksanaan program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sangatlah kurang, sehingga untuk pelaksanaan asimilasi dengan pihak ketiga tersebut harus menggunakan biaya pribadi dari pelaksana asimilasi.

Untuk mengatasi hal tersebut pihak Lembaga Pemasyarakatan dapat memaksimalkan anggaran yang ada dan melakukan kerjasama dengan pihak terkait baik pemerintahan maupun swasta untuk dapat bekerja sama dalam pelaksanaan proses pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang.

 

Kesimpulan

Proses pemberian program Asimilasi dalam kegiatan pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang sudah didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan aturan yang ada tersebut Lapas Kelas IIA Padang melaksanakan program asimilasi sebagai tahap integrasi narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk kembali ke masyarakat. Program asimilasi ini dilaksanakan setelah melalui tahap pengamatan dan pembinaan yang berkelanjutan di Lapas Kelas IIA Padang mulai dari masa penahanan sampai dengan masa pelaksanaan program asimilasi.

Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Tahap Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang ini telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku, namun dalam pelaksanaannya tentu saja akan ditemukan kendala-kendala yang dialami baik oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan maupun oleh narapidana itu sendiri. Kendala yang ditemui dalam pelaksanaan asimilasi di Lapas Kelas IIA Padang yaitu kurangnya sosialisasi petugas terhadap warga binaan tentang hak-hak dan kewajiban warga binaan khususnya tentang asimilasi, kondisi Lapas yang over kapasitas mengakibatkan asimilasi ke dalam Lapas seperti Kunjungan Keluarga tidak dapat berjalan dengan baik, masih terdapat sikap tidak antusias dari beberapa narapidana dalam mengikuti kegiatan asimilasi, penjamin yang tidak sesuai dengan aturan, tidak adanya keluarga sebagai penjamin, penjamin yang berada di luar kota, sulitnya proses pengurusan Justice Collaborator (JC) bagi Narapidana dan anak didik pemasyarakatan terkait PP No. 99 Tahun 2012, kekurangan anggaran di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Selama kehilangan kemerdekaannya, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan. Asimilasi bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara pasca hukuman, serta mencegah penolakkan masyarakat terhadap bekas narapidana. Pembinaan yang diberikan kepada mereka harus dapat merubah sifat dan mental mereka, supaya tidak lagi mengulangi perbuatan mereka dan menyadari apa yang mereka lakukan itu adalah salah. Program pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana juga dilakukan dengan berkesinambungan dan pola pembinaan tersebut harus bersifat dinamis tidak bersifat statis. Harus ada kenyamanan yang tercipta antara narapidana dan yang membina supaya pembinaan tersebut tidak menimbulkan efek dendam dan sakit hati yang berkepanjangan, melainkan memberikan efek positif baik bagi narapidana itu sendiri, petugas Lembaga Pemasyarakatan maupun penilaian masyarakat. Selain itu dalam pembinaan juga harus ada reward dan punishment. Penghargaan dan penghukuman bagi narapidana itu harus disosialisasikan secara transparan, sehingga narapidana menjadi tahu akan hak dan kewajibannya.

 

BIBLIOGRAFI

 

Febriansyah, Artha. (2014). Realitas Penjara Indonesia. Jakarta: Center for Detention Studies (Pusat Kajian Penahanan).

 

Hariyanto, Indra. (2015). Asimilasi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta.Yogyakarta: Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

 

Hukum, Peraturan Menteri, & Nomor, Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (2013). Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi. Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat.

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2014). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

 

Mashabi, Sani. (2020). Kemenkumham: Asimilasi Bukan Berarti Membebaskan Napi untuk Berulah Lagi. Retrieved September 22, 2020, from Kompas.com website: https://nasional.kompas.com/read/2020/05/06/12074691/kemenkumham-asimilasi-bukan-berarti-membebaskan-napi-untuk-berulah-lagi?page=all

 

Moleong, Lexy J. (2017). Metodologi penelitian kualitatif (Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

 

Natsif, Fadli Andi. (2016). Kejahatan HAM: perspektif hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional. Depok: Rajawali Pers.

 

Prastowo, Andi. (2011). Metode penelitian kualitatif dalam perspektif rancangan penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

 

Rumadan, Ismail. (2013). Problem Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 2(2), 263�276.

 

Samosir, Djisman. (2016). Penologi dan pemasyarakatan. Bandung: Nuansa Aulia.

 

Yudiansyah, Mai. (2019). Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana Sebagai Penerapan Undang-Undang Pemasyarakatan Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang. UNES Journal of Swara Justisia, 2(3), 274�285.