Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

� Vol. 5, No. 10, Oktober 2020

�����

IMPLIKASI KEBIJAKAN AUSTRALIA OPERATION SOVEREIGN BORDERS DALAM KERJASAMA PERTAHANAN-KEAMANAN INDONESIA DAN AUSTRALIA (2013-2018)

 

Hendra Maujana Saragih dan Hasta Aisyah Trida Pramita

Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Indonesia

Email: [email protected] dan [email protected]

 

Abstract

This study aims to analyze the implications of the OSB policy implemented by Australia to reduce the number of IMAs arrivals in connection with the defense-security cooperation between Indonesia and Australia in 2013-2018, using the concept of foreign policy and international cooperation. This research method is a method qualitative, namely to understand the meaning of individuals or groups regarding the phenomenon under study with secondary data sources through literature. The results of the study describe that Australia is one of the main destination countries for asylum seekers arriving by sea. Although the asylum seekers are not illegal immigrants, the Australian government categorizes them as Illegal Maritime Arrivals (IMAs), given their entry status. Every year, the number of IMAs arrivals in Australia is increasing. Therefore, under the government of Prime Minister Tony Abbott, Australia implemented a foreign policy. Operation Sovereign Borders (OSB). OSB is a policy to return IMAs ships to their countries of origin, which was implemented in 2013 and is valid until today. The implementation of OSB has implications for defense-security cooperation between Indonesia and Australia. This is because the implementation of the OSB has violated Indonesian sovereignty by returning IMAs ships or boats to Indonesian territorial waters six times from December 2013-January 2014. Indonesia and Australia have the same non-traditional security interests and different traditional security interests because Indonesia has a territorial interest base that is in conflict with Australia's immigration interests. Indonesia and Australia have carried out defense diplomacy bilaterally through 2 + 2 Dialogue, Defense Minister Meeting and Navy to Navy Talk but have not yet produced a concrete solution so that sharing responsibility and Confidence Building Measures have not been achieved.

 

Keywords: Operation Sovereign Borders (OSB); Irregular Maritime Arrivals (IMAs); Foreign Policy; Defence-Security Cooperation

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi yang ditimbulkan akibat kebijakan OSB yang diterapkan oleh Australia untuk mengurangi jumlah kedatangan IMAs kaitannya dengan kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia pada tahun 2013-2018, dengan menggunakan konsep kebijakan luar negeri dan kerjasama internasional. Metode penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu untuk memahami makna individu atau kelompok mengenai fenomena yang diteliti dengan sumber data sekunder melalui pustaka. Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa Australia merupakan salah satu negara tujuan utama pencari suaka yang datang melalui jalur laut. Meskipun para pencari suaka bukan merupakan imigran ilegal, namun pemerintah Australia menkategorikan mereka sebagai Illegal Maritime Arrivals (IMAs), mengingat status entri kedatangan mereka. Setiap tahunnya, jumlah kedatangan IMAs di Australia semakin meningkat. Oleh sebab itu di bawah pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott, Australia menerapkan kebijakan luar negeri. Operation Sovereign Borders (OSB). OSB merupakan kebijakan pengembalian kapal IMAs ke negara asalnya, yang dimulai diterapkan pada tahun 2013 dan berlaku hingga saat ini. Penerapan OSB ternyata berimplikasi pada kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia. Hal ini disebabkan karena penerapan OSB telah melanggar kedaulatan Indonesia dengan mengembalikan kapal atau perahu IMAs ke wilayah perairan Indonesia sebanyak enam kali sejak Desember 2013-Januari 2014.. Indonesia dan Australia memiliki kepentingan keamanan non-tradisional yang sama dan kepentingan keamanan tradisional yang berbeda sebab Indonesia mempunyai basis kepentingan teritorial yang bertolak belakang dengan kepentingan imigrasi Australia. Indonesia dan Australia telah melaksanakan diplomasi pertahanan secara bilateral melalui 2+2 Dialogue, Pertemuan Menteri Pertahanan dan Navy to Navy Talk tetapi belum menghasilkan solusi konkrit sehingga sharing responsibility dan Confidence Building Measures belum tercapai.

 

Kata kunci:� Operation Sovereign Borders (OSB); Irregular Maritime Arrivals (IMAs); Kebijakan Luar Negeri; Kerjasama Pertahanan-Keamanan

 

Pendahuluan

Isu migrasi internasional telah menjadi perhatian utama masyarakat dunia pada beberapa tahun belakangan. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya arus imigran akibat masalah sosio-ekonomi yang berkelanjutan di negara asal imigran yang meliputi, pengangguran yang tinggi, kemiskinan, kelaparan, dan konflik yang berkepanjangan di negara asal. Sehingga, banyak penduduk yang melakukan perpindahan ke negara lain untuk mencari kehidupan yang lebih layak.

Menurut (International Rescue Committee, 2018) imigran didefinisikan sebagai �someone who makes a conscious decision to leave his or her home and move to a foreign country with the intention of settling there� (seseorang yang membuat keputusan secara sadar untuk meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke negara asing dengan tujuan menetap di sana). Terdapat dua kategori imigran, yakni imigran legal (legal immigrant) dan imigran ilegal (illegal immigrants atau juga disebut undocumented immigrants). Imigran legal memiliki dokumen resmi, seperti visa atau paspor, sehingga dapat menetap di suatu negara secara sah. Sebaliknya, imigran ilegal tidak memiliki dokumen resmi untuk menetap di negara lain.

Australia merupakan salah satu negara tujuan utama para imigran. Kestabilan ekonomi maupun politik negara tersebut, menjadi pull factor bagi para imigran untuk datang ke Australia (Rafiki, 2017). Mereka yang datang ke Australia, umumnya, berasal dari negara Asia Selatan dan Timur Tengah, seperti Sri Lanka, Iran, dan Afganistan, dengan berbagai tujuan, seperti menjalankan tugas dinas, mencari pekerjaan yang layak, dan namun tidak sedikit pula yang ingin tinggal secara permanen. Kedatangan para imigran ke Australia dapat melalui dua melalui dua jalur, yakni jalur udara dengan menggunakan pesawat terbang, dan jalur laut dengan menggunakan perahu (boat people).

Istilah �boat people� sebenarnya mengacu kepada para pengungsi yang datang ke suatu negara dengan menggunakan perahu. Meski begitu, istilah boat people banyak digunakan oleh media untuk menyebut pengungsi (refugee), pencari suaka (asylum seeker), dan imigran ilegal. Sehingga ketiga istilah tersebut sering kali disamakan dan menimbulkan kerancuan. (International Rescue Committee, 2018) mendefinisikan pengungsi (refugee) sebagai seseorang yang terpaksa meninggalkan negaranya akibat perang, kekerasan atau persekusi, biasanya tanpa peringatan, mereka tidak dapat kembali ke negaranya kecuali dan hingga kondisi negara asalnya telah aman kembali bagi mereka. Adapun yang dimaksud dengan pencari suaka (asylum seeker)adalah seseorang yang mencari perlindungan internasional dari bahaya di negaranya, tetapi klaim untuk status pengungsinya masih belum ditentukan secara legal. Definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa apabila seseorang meninggalkan tempat asalnya untuk mencari perlindungan internasional dari bahaya dan orang tersebut belum atau sedang mengajukan status pengungsinya maka ia disebut sebagai pencari suaka (asylum seeker). Sedangkan, apabila orang tersebut telah diputuskan statusnya sebagai pengungsi, maka ia disebut pengungsi (refugee) dan berhak mendapat suaka. Singkatnya, seorang pencari suaka belum tentu dapat dikategorikan sebagai seorang pengungsi tetapi seorang pengungsi sudah pasti merupakan pencari suaka. Pemerintah Australia melalui Department of Immigration and Citizenship (DIAC) mengkategorikan pencari suaka dan pengungsi yang datang dengan menggunakan perahu atau boat people sebagai imigran ilegal atau yang disebut juga sebagai Illegal Maritime Arrivals/IMAs (Ardianti, 2015) Sehingga, makna kata �imigran ilegal� atau IMAs menurut Pemerintah Australia adalah orang-orang yang datang menggunakan perahu, baik statusnya sebagai imigran ilegal, pencari suaka, maupun pengungsi. Untuk selanjutnya, penelitian ini akan menggunakan kata IMAs yang lebih mengacu kepada pencari suaka (asylum seeker).

Mengendalikan arus IMAs yang masuk, Pemerintah Australia menerapkan beberapa kebijakan luar negeri, salah satunya adalah Operation Sovereign Borders (OSB) yang dicetuskan dan mulai diterapkan masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott pada tahun 2013. Pada penerapannya, OSB tidak hanya mengembalikan IMAs ke negara asal, melainkan juga ke negara transit, yaitu Indonesia. Namun, pengembalian imigran ilegal tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan resmi dari Pemerintah Australia kepada Pemerintah Indonesia. Tercatat, pada periode 1 Desember 2013 hingga 20 Januari 2014, Australia telah memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin ketika Australia sedang melakukan OSB (Elizabeth et al., 2016). Pelanggaran tersebut dilakukan sebanyak enam kali. Hal tersebut telah mempengaruhi kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia-Australia, khususnya yang berkaitan dengan penanganan imigran ilegal.

Indonesia memutuskan kerjasama pertahanan-keamanannya dengan Australia pada bulan Januari 2014. Sebelumnya, kedua negara telah memutuskan kerjasama pertahanan-keamanannya dalam bidang intelligence sharing, dan latihan bersama antara TNI dan ADF, setelah terungkapnya kasus penyadapan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia terhadap Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya, Ani Yudhoyono. Namun, kerjasama ini telah kembali diaktifkan setelah penandatanganan Joint Understanding on a Code of Conduct pada tahun 2014. Adapun, kerjasama yang terputus akibat penerapan OSB, baru terjalin kembali pada tahun 2015 melalui The Third Australia and Indonesia Foreign and Defence Ministers 2+2 Dialogue.

Mengacu hasil penelitian Gumay, Octavian & Swastono, bahwa peran Indonesia melakukan pendekatan kemanusiaan dan Australia melakukan pendekatan keamanan melalui Operation Sovereign Border yang berdampak pada konfrontasi diplomatik kedua negara. Fokus studi ini adalah menilai sinergi kedua negara dalam upaya menangani imigran ilegal di wilayah perbatasan laut. Hubungan Australia dan Indonesia selalu memiliki dinamika yang tinggi. Salah satu persoalan yang seringkali menjadi hambatan bagi kedua negara adalah isu pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia untuk menuju ke Australia melalui jalur laut atau Illegal Maritime Arrivals (IMA). Posisi Indonesia sebagai negara transit dan Australia sebagai negara tujuan mengharuskan keduanya bekerja sama agar isu IMA dapat ditangani dengan baik (Prabaningtyas, 2016) Materi ini menarik untuk diteliti karena adanya dinamika dalam kerjasama pertahahan-keamanan Indonesia dan Australia. Penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai dampak penerapan OSB terhadap hubungan keamanan-Indonesia-Australia. Terlebih, kedua negara merupakan negara tetangga yang berbatasan dengan wilayah perairan.sehingga dalam penelitian ini memberikan informasi tentang perubahan kebijakan IMA Australia ke arah yang lebih restriktif dan mengedepankan tindakan unilateral akan berdampak negatif terhadap perkembangan hubungan kedua negara.

 

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat suatu permasalahan dan menganalisisnya dengan cara deskriptif. Oleh karena itu, penelitian kualitatif lebih mengutamakan penjelasan atau analisis dengan menggunakan kata-kata bukan dengan data statistik. Data statistik dalam pendekatan kualitatif hanya digunakan sebagai data penunjang untuk memperjelas analisis. Lebih lanjut, menurut (Moleong, 2019) pendekatan kualitatif dapat didefinisikan sebagai pendekatan yang bertujuan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, yang dapat berupa perilaku, perspesi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik dan dengan cara deskripsi. Adapun, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah gabungan dari studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka dari beberapa jurnal, tesis, dokumen, website, dan buku. Sedangkan, hasil wawancara berasal dari narasumber di Kementrian Pertahanan RI, Jakarta. �Penelitian ini digunakan dnegan menggunakan Soft System Methodology (SSM) yang dikembangkan oleh Peter Checkland sebagai prosedur analisis data. SSM sangat berguna dalam menganalisis fenomena yang kompleks, pandangan yang tidak terstruktur, dan pandangan yang berbeda dari sebuah fenomena.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Permasalahan Illegal Maritime Arrivals (IMAs) di Australia

Kedatangan pencari suaka dengan perahu atau IMAs pertama ke Australia adalah pada April 1976, ketika sebuah perahu dari yang membawa 5 penumpang yang tiba di Pelabuhan Darwin. Mereka melarikan diri dari negaranhya setelah Pemerintahan Vietnam Selatan jatuh kepada Pemerintah Vietnam Utara, yang menandai kemenangan pemerintah komunis. Sejak itu, banyak IMAs, yang tidak hanya berasal dari Vietnam, yang terus berdatangan ke Australia. Pada tahun 1976-1986, terdapat 2.069 IMAs dengan 60 perahu. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 1986-1996 menjadi 2.371 IMAs dengan 56 perahu. Selanjutnya di tahun 1996-2006, terdapat 227 perahu (Phillips, 2017)

IMAs yang datang ke Australia, berasal dari negara-negara yang sedang mengalami konflik bersenjata di wilayah Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Menurut (Australian Human Rights Commission, 2015), lima negara asal IMAs dengan jumlah terbesar, yang memasuki wilayah Australia adalah Afghanistan, Sri Lanka, Iran, Pakistan, dan Irak. (Australian Human Rights Commission, 2015) juga menyebutkan bahwa pada tahun 2012 saja, terdapat 2.940 IMAs yang berasal dari Afghanistan, sementara itu IMAs Sri Lanka, Iran, Pakistan, dan Irak, masing-masing berjumlah 2.334, 1.317, 784, dan 440 orang. Selain negara-negara tersebut, terdapat pula beberapa IMAs yang berasal dari Somalia, Sudan, dan Myanmar. Untuk dapat mencapai Australia, salah satu rute terdekat yang ditempuh oleh IMAs dengan menggunakan perahu adalah melalui Samudera Hindia lalu menuju Selat Malaka di Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara transit di Asia Tenggara.

B.  Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB)

Operation Sovereign Borders (OSB) merupakan operasi penghalauan dan pengembalian perahu atau kapal yang membawa IMAs ke negara asalnya (Jufri, 2017). OSB merupakan kebijakan luar negeri Australia pada masa pemerintahan Tony Abbott, yang menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Australia mulai tahun 2013-2015. Sebelum adanya kebijakan OSB, Pemerintah Australia telah menerapkan kebijakan Pacific Solution dan PNG Solution. Pacific Solution merupakan kebijakan yang diterapkan pada masa pemerintahan John Howard (1996-2007) (Rizal, 2018). Berdasarkan kebijakan ini, IMAs dilarang untuk memasuki wilayah perairan Australia, termasuk Pulau Christmas tidak secara otomatis akan mendapatkan status sebagai pengungsi. IMAs harus melewati serangkaian proses pendataan dan pemeriksaan terlebih dahulu di Pulau Nauru dan Pulau Manus di Papua Nugini. Setelah penerapan Pacific Solution, angka kedatangan IMAs menurun secara drastis. Pada tahun 2002-2007, hanya ditemukan sebanyak 18 perahu dengan 288 IMAs (Phillips, 2017). Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan sebelum adanya kebijakan Pacific Solution, tepatnya pada tahun 1996-2001, yang mana terdapat� 227 perahu dengan 13.375 IMAs.

Selanjutnya, Pacific Solution digantikan oleh The Regional Settlement Arrangement between Australia and Papua New Guinea (PNG Solution), yang diberlakukan pada masa pemerintahan Kevin Rudd (Juni 2013-September 2013) (Rizal, 2018). Berdasarkan kebijakan ini, pencari suaka atau IMAs yang memasuki wilayah Australia akan dikirimkan ke Papua Nugini untuk diproses status pengungsinya (offshore processing) (Rizal, 2018). Apabila status pengungsi telah ditetapkan, maka mereka tidak akan diperkenankan untuk menetap di Australia, melainkan di Papua Nugini. Selain itu, tidak ada batas maksimum jumlah pengungsi yang menetap di Papua Nugini.

Seperti Pacific Solution dan PNG Solution, kebijakan ini diambil untuk mengurangi arus pencari suaka atau IMAs ke Australia. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak tanggal 18 September 2013 atau bersamaan dengan pelantikan Tony Abbott sebagai PM Australia ke-28. Pelaksanaan OSB dilakukan oleh beberapa lembaga Pemerintah Australia atau Joint Agency Task Force (JATF), yang merupakan gabungan 16 lembaga Pemerintahan Australia, diantaranya Australian Defence Force, Maritime Border Command, Department of Foreign Affairs and Trade, Department of Defence,Australian Federal Police, dan Department of Immigration and Border Protection. Meski demikian, komponen utama pelaksanaan OSB terdiri atas tiga lembaga yang memiliki tugasnya masing-masing, yaitu: Disruption and Detterence Task Group (DDTG) yang dipimpin oleh Australian Federal Police (AFP); Detection, Interception, and Transfer Group (DITG) yang dipimpin oleh Maritime Border Command (MBC); dan Detention and Removals Task Group (DRTG) yang dipimpin oleh Department of Immigration and Border Protection (DIBP) (Ardianti, 2015).

Adapun tindakan yang dilakukan dalam proses penerapan OSB adalah sebagai berikut: a) Pengembalian kapal, dengan memberikan bantuan untuk proses pengembalian ke negara asal dan transit; b) Pencegatan terhadap Suspected Irregular Entry Vessel (SIEV), yang berasal dari Sri Lanka dan kemudian mengembalikan para penumpang, terlepas dari status mereka; c) Peningkatan kapasitas pusat penahanan lepas pantai di Manus Pulau dan Nauru; d) Pemberian orange life boat untuk mengembalikan pencari suaka yang tiba dengan perahu tidak layak; e) Pemberian TPV untuk pencari suaka yang telah berada di Australia dan sedang menunggu untuk penentuan status pengungsi mereka; f) Menolak untuk memberikan status pengungsi kepada orang-orang yang diyakini memilikinya sengaja dirusak atau dihilangkan dokumen identitasnya (Asylum Seeker Resource Center, 2014).

Penerapan kebijakan OSB dilakukan secara rahasia. Departement of Immigration and Border Protection (DIBP) membatasi informasi terkait OSB di segala aspek kebijakan, karena alasan operasional. Informasi yang dibatasi tersebut mencakup jumlah dan pemberitahuan terkait kedatangan perahu ilegal, jumlah perahu yang dikembalikan serta jumlah penggunaan kapal penyelamat pencari suaka yang digunakan, dan keadaan di pusat-pusat offshore processing di Papua Nugini dan Nauru (Jufri, 2017). Namun, sepanjang bulan Desember 2013-Juli 2014, tercatat bahwa OSB telah mengembalikan 12 perahu dengan jumlah IMAs sebanyak 224 IMAs serta 1 perahu berjumlah 41 IMAs diambil oleh otoritas negaranya. Selanjutnya, pada bulan Agustus 2014-Februari 2015, sebanyak 4 perahu dan 54 IMAs dikembalikan, dengan 2 perahu berisi 41 IMAs berstatus takeback (diambil oleh otoritas negaranya). Pada bulan Maret 2015-Juni 2018, terdapat 17 perahu yang membawa 275 IMAs dikembalikan ke negaranya, dengan 8 perahu berisi 109 berstatus takeback dan 1 perahu berisi 29 IMAs berstatus not provided. Jika dijumlah, maka penerapan OSB terhitung sejak Desember 2013-Juni 2018, telah mengembalikan perahu sebanyak 33 dengan 810 IMAs (Spinks, 2018).

Kebijakan OSB pada awalnya bertujuan untuk mengembalikan perahu IMAs ke negara asalnya, pada faktanya tidak hanya mengembalikan IMAs ke negara asal, melainkan juga ke negara transit, yaitu Indonesia. Namun, pengembalian IMAs tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan resmi dari Pemerintah Australia kepada Pemerintah Indonesia. Tercatat, pada periode 1 Desember 2013 hingga 20 Januari 2014, Australia telah memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin ketika Australia sedang melakukan OSB (Elizabeth et al., 2016). OSB merupakan bentuk dari perubahan kebijakan luar negeri Australia dalam bentuk program change, yang menurut Charles Hermann didefinisikan sebagai perubahan pada insturmen kebijakan luar negeri tanpa mengubah tujuan atau kepentingan nasional. Sebelumnya, Australia telah menerapkan beberapa kebijakan penanganan IMAs, diantaranya Pacific Solution, New Direction in Detention dan PNG Solution. Perubahan tersebut terjadi karena faktor, yang menurut Howard Letner disebut sebagai unstable determinants, yang merujuk pada persepsi jangka panjang. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor idiosinkratik (kepribadian pemimpin). Hal ini terbukti karena meski tujuan kebijakan-kebijakan Australia adalah untuk menangani permasalahan IMAs, namun instrument penerapannya berbeda, tergantung kepada siapa yang berkuasa,

Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, pencari suaka tidak dikategorikan sebagai imigran ilegal karena statusnya yang memerlukan perlindungan internasional, namun Pemerintah Australia tetap mengkategorikan mereka sebagai imigran ilega, merujuk pada entri kedatangan mereka yang dianggap telah melanggar kedaulatan Australia karena mereka telah memasuki wilayah negara tersebut tanpa izin dan visa (Azis, 2004). Penerapan kebijakan OSB merupakan upaya sekuritisasi yang dilakukan Australia terhadap negaranya. Kehadiran IMAs dianggap sebagai gangguan terhadap identitas bangsanya (Azis, 2004).

Peningkatan jumlah IMAs di Australia, telah menimbulkan sejumlah kekhawatiran bagi Pemerintah Australia, yaitu meningkatnya angka kriminalitas. Meski tidak ada laporan resmi yang menyebutkan bahwa kenaikan angka IMAs ke Australia juga telah menaikkan angka kriminalitas, namun Pemerintah Australia mengklaim bahwa kehadiran dapat membuka jalur penyeludupan dan perdagangan manusia (people smuggling and trafficking), yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negaranya. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa terdapat beberapa imigran ekonomi yang memalsukan identitas sebagai pencari suaka untuk dapat masuk ke negara tujuan.Pada tahun 2001, tercatat sekitar 80% pencari suaka yang telah mendapat status warga negara (naturalisasi) adalah imigran ekonomi (Pujayanti, 2014). Para imigran ekonomi tersebut datang ke Australia dengan menggunakan perahu dan memalsukan identitas diri sebagai pencari suaka atau IMAs. Hal ini karena kurangnya alternatif pilihan migrasi, yang pada akhirnya mendorong para imigran ekonomi untuk memalsukan diri sebagai pencari suaka, agar dapat diterima di negara tujuannya.

C.  Kerjasama Pertahanan-Keamanan Indonesia dan Australia

Kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia telah terjalin sejak tahun 1980-an melalui Defence Cooperation Program (DCP). Pada dasarnya, DCP merupakan program Australia Department of Defence yang bekerjasama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat Daya, dan Asia Selatan untuk menjaga stabilitas keamanan di kawasan-kawasan tersebut. Kerjasama ini mencakup latihan militer bersama dan pertemuan rutin (Marsetio, 2014). Namun demikian, kerjasama ini bersifat bilateral karena pertemuan dan latihan militer dilaksanakan oleh Australia dengan masing-masing negara bukan secara bersamaan.

Kaitannya dengan Indonesia, pertemuan DCP dilaksanakan secara rutin dan bergiliran di Australia dan Indonesia. Adapun, latihan militer bersama DCP yang dilaksanakan oleh Australian Defence Force (ADF) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mencakup Latihan Kartika Kangaroo (TNI Angkatan Darat dan Australian Army), Latihan Cassowary, Latihan Passex, dan Latihan Cakrwala Baru (TNI Angkatan Laut dan Royal Australian Navy), Latihan Kakadu, Latihan Albatros, serta penyediaan kapal patroli dan pesawat Nomad - TNI Angkatan Udara dan Royal Australian Air Force (Marsetio, 2014).� Namun pada tahun 1999, kerjasama ini dihentikan akibat permasalahan referendum Timor Timur, dimana Australia mendukung Timor Timur untuk memisahkan diri dari Indonesia. Kerjasama baru kembali terjalin pada tahun 2001, setelah adanya pertemuan bilateral antara Australian Department of Defence dengan Kementerian Pertahanan RI. �DCP kemudian berkembang menjadi kerjasama Bali Process dan Lombok Treaty.

The Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons, and Related Transnational Crime (Bali Process) merupakan kerjasama penanggulangan kejahatan transnasional, khususnya penanganan terhadap penyeludupan imigran ilegal dan Irregular Maritime Arrivals (IMAs), yang merujuk pada pencari suaka.� merupakan forum komunikasi yang memfasilitasi perundingan dan kerjasama dalam bidang penanganan penyeludupan dan perdagangan orang, serta kejahatan transnasional lainnya. Kerjasama keamanan ini mencakup pertukaran informasi mengenai irregular migration, penegakan hukum, serta patroli bersama di wilayah yang merupakan rute irregular migration. The Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons, and Related Transnational Crime (Bali Process) merupakan kerjasama penanggulangan kejahatan transnasional, khususnya penanganan terhadap penyeludupan imigran ilegal dan Irregular Maritime Arrivals (IMAs), yang merujuk pada pencari suaka. Kerangka Bali Process didukung dan diperkuat dengan adanya Lombok Treaty.

Agreement Between the Republic of Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation (Lombok Treaty) pada tanggal 13 November 2006 di Lombok, Indonesia. Lombok Treaty ditujukan untuk menghadapi ancaman keamanan tradisional dan non-tradisional lainnya, khususnya yang terdapat di wilayah perbatasan kedua negara. Terdapat beberapa bidang kerjasama Lombok Treaty, diantaranya: a) Bidang intelijen, bentuk kerjasama yang dilakukan berupa intelligence sharing (pertukaran informasi) antara kedua negara; b) Counterterrorism dan capacity building antara Polri dengan� AFP, c) Keamanan maritim, ditujukan untuk menghadapi tantangan keamanan maritim yang dilakukan berupa latihan dan patroli bersama yang dilakukan oleh TNI (TNI AL dan AU) dengan ADF (Royal Australian Navy dan Royal Australian Air Force), serta latihan penyelamatan yang dilakukan oleh SAR Indonesia dan Australia; d) Pendidikan dan pelatihan militer; dan e) Penanggulangan bencana. Bentuk kerjasama penanggulangan bencana antara lain dilakukan oleh Palang Merah Indonesia dengan Palang Merah Australia, serta pelatihan di bidang ini (Hakim, 2010).

D.  Pemutusan Kerjasama Pertahanan-Keamanan Indonesia dan Australia

Kebijakan OSB yang merupakan tindakan unilateral yang dilakukan oleh Australia untuk mengurangi jumlah kedatangan IMAs di negaranya, telah membuat Indonesia keberatan. Indonesia melayangkan pernyataan protesnya melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) saat itu, Marty Natalegawa dalam pertemuannya di New York pada September 2013 dengan Menlu Australia pada masa itu, Julie Bishop. Pasalnya, Australia merupakan Co-Chairs Bali Process bersama dengan Indonesia. Menlu Marty menyatakan bahwa Indonesia telah berulang kali memperingatkan bahwa kebijakan turn back boat, yang merupakan bagian dari OSB, Australia dapat berisiko pada kerjasama dan kepercayaan antara kedua negara. Ia juga mengatakan bahwa masalah para pencari suaka harus ditangani melalui pengaturan kerja sama regional yang ada. Ia juga mengatakan Australia ingin bekerja "di belakang layar" dan "diam-diam" dalam masalah ini untuk mencegah publisitas terlalu banyak (Roberts, 2016).

OSB sebenarnya diberlakukan oleh Australia dengan tujuan untuk mendapat dukungan sepenuhnya dari Indonesia (Berdasarkan hasil wawancara Kemhan RI, 2019). Selama ini, Indonesia dan Australia telah terlibat dalam kerjasama pertahanan-keamanan, yang telah dimulai sejak program DCP dan berlanjut hingga ke Bali Process, serta Lombok Treaty. Kerjasama tersebut juga mencakup kerjasama di bidang maritim, seperti patroli laut bersama, intelligence sharing, pelatihan militer bersama operasi pencarian dan penyelamatan hingga bantuan dana dari Australia untuk membangun rumah komunitas (pusat penampungan) di Indonesia (Paulsen, 2016). Indonesia dan Australia juga telah saling bertukar perwakilan militernya untuk mengikuti konferensi, diskusi maupun seminar yang membahas isu-isu pertahanan-keamanan, baik kemanan tradisional maupun keamanan non-tradisional. Di samping itu, Indonesia yang merupakan pintu masuk sekaligus negara transit yang disinggahi oleh pencari suaka atau IMAs yang akan menuju ke Australia, bukanlah negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Sehingga, besar harapan Australia agar Indonesia mendukung kebijakan luar negerinya, yaitu OSB, agar dapat mengurangi jumlah IMAs yang datang ke negaranya. Namun, kebijakan OSB rupanya tidak mendapat persetujuan dari Indonesia. Hal ini karena kebijakan OSB dinilai dapat mengusik kedaulatan Indonesia. Jalur pengembalian perahu (turn back boat) IMAs adalah melewati Indonesia. Kebijakan OSB dapat membahayakan nyawa IMAs, yang sewaktu-waktu dapat terdampar di perairan Indonesia. Jika demikian, akan menjadi tugas Indonesia untuk mengurus mereka. Indonesia bukan merupakan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan belum memiliki mekanisme kebijakan luar negeri yang mengatur urusan pencari suaka atau pengungsi (Berdasarkan hasil wawancara di Kemhan RI, 2019).

Pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014, Australia terbukti telah mengembalikan perahu IMAs ke wilayah perairan Indonesia sebanyak enam kali tanpa adanya pemberitahuan dari Pemerintah Australia kepada Pemerintah Indonesia (Tempo, 2014). Hal ini memicu ketegangan hubungan bilateral antara dua negara. Indonesia meminta klarifikasi Australia terkait hal tersebut. Australia mengakui adanya pelanggaran tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sebuah ketidaksengajaan serta kesalahan perhitungan dari Angkatan Laut Australia mengenai batas wilayah perairan. Australia meminta maaf atas insiden ini dan meminta Indonesia untuk tidak memperpanjang kasus tersebut. Namun demikian, Indonesia tetap memutuskan kerjasama pertahanan-keamanannya dengan Australia pada Januari 2014 (Taylor, 2014).

Indonesia dan Australia sebenarnya telah memutuskan kerjasama pertahanan-keamanan sejak kasus penyadapan terhadap Presiden ke-6 RI, SBY dan istrinya, Ani Yudhoyono yang dilakukan pada kurun waktu 2007-2009 dan baru terungkap pada November 2013. Kasus penyadapan ini juga membuat Indonesia menarik duta besarnya di Australia. Adapun, kerjasama yang diberhentikan adalah latihan militer bersama (military exercises) dan intelligence sharing (dalam hal informasi keamanan kedua negara) yang dilakukan oleh TNI dan ADF, yang merupakan program dari DCP sejak 1980, yang kemudian diperkuat dengan Lombok Treaty (Paulsen, 2016).

Selanjutnya, dengan adanya kasus pelanggaran kedaulatan Indonesia yang dilakukan Australia saat melaksanakan OSB bulan Desember 2013-Januari 2014, pemberhentian kerjasama semakin meluas ke bidang yang lain, yaitu penanganan imigran ilegal, seperti patroli laut dan intelligence sharing (dalam hal informasi keamanan maritim menyangkut irregular migration) TNI-ADF, kerjasama imigrasi, serta operasi pencarian dan penyelamatan yang dilakukan oleh Australia Federal Police (AFP) dan Indonesia National Police/INP (Paulsen, 2016). Kerjasama tersebut merupakan merupakan bagian dari kebijakan Bali Process dan Lombok Treaty.

Kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia kembali terjalin setelah adanya penandatanganan Joint Understanding on a Code of Conduct between the Republic of Indonesia and Australia in implementation of Lombok Treaty pada tahun 2014. Akan tetapi, reinforcement kerjasama ini hanya merupakan upaya rekonsiliasi hubungan kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia dalam bidang intelijen dan latihan militer, yang telah terputus akibat terungkapnya kasus penyadapan terhadapan pada tahun 2013.� Sementara itu, kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia yang terputus akibat penerapan OSB, justru menunjukkan tren negatif.

Sebagai tanggapan atas kebijakan Indonesia tersebut, Australia mengeluarkan kebijakan pada bulan November 2014 untuk melarang penerimaan pencari suaka (termasuk IMAs), yang terdaftar di UNHCR Indonesia. Berdasarkan kebijakan tersebut, pencari suaka (asylum seekers, termasuk IMAs), yang telah terdaftar di UNHCR Indonesia setelah 1 Juli 2014 tidak lagi memenuhi syarat untuk dapat memasuki wilayah Australia. (Brown, 2014).Perubahan kebijakan tersebut berarti bahwa ribuan pencari suaka yang saat ini tinggal di Indonesia, akan dilarang untuk memasuki dan dimukimkan kembali di Australia. Menurut otoritas Australia, keputusan itu juga akan mengurangi asupan pengungsi dan pencari suaka Australia dari Indonesia yang terdaftar di UNHCR sebelum 1 Juli, dengan jumlah tempat yang lebih terbatas (Brown, 2014). Sebelumnya, Indonesia dan Australia telah bekerjasama dalam menangani pencari suaka dalam kerangka Bali Process, yang mencakup kerjasama penanganan imigran ilegal serta pencari suaka.

Selain itu, Australia juga telah memberikan bantuan dana kepada IOM Indonesia untuk membangun tempat penampungan sementara bagi pencari suaka di Indonesia, yang merupakan negara transit. Hingga saat ini, terdapat 13 pusat penahanan di seluruh Indonesia. Selain itu, Australia juga memberikan pelatihan dan intelijen untuk mendukung Indonesia dalam operasi penyelundupan manusia. Hingga kini, Australia masih memberlakukan larangan penerimaan pencari suaka dan pengungsi yang terdaftar di UNHCR Indonesia. Menurut UNHCR (2018), kebijakan tersebut telah menyebabkan adanya peningkatan jumlah pencari suaka dan pengungsi di Indonesia. Sepanjang tahun 2014, terdapat 11.186 orang pencari suaka dan pengungsi di Indonesia. Jumlah tersebut naik sebesar 21% di tahun 2015 mencapai 13.548 orang pencari suaka dan pengungsi. Selanjutnya tahun 2016, 2017, hingga 2018, jumlah pencari suaka dan pengungsi berturut-turut sebesar 14.405, 13.840, dan 14.016 orang. Namun demikian, Pemerintah Indonesia tidak langsung menanggapi kebijakan tersebut.

Indonesia baru menanggapi kebijakan Australia tersebut setelah adanya penemuan sebuah kapal yang didorong kembali dari Pulau Christmas ke laut lepas oleh Royal Australian Navy. Kapal tersebut kehabisan bahan bakar dan hanyut di sebuah pantai di Kuoang Barat, Indonesia. Kapal tersebut membawa 16 pencari suaka (IMAs) India, Bangladesh, dan Nepal. Pemerintah Indonesia menyatakan keberatannya lewat Wakil Menlu Muhammad Fachir, yang menyatakan bahwa: �kebijakan unilateral Australia tersebut tidak mencerminkan semangat kerjasama kedua negara�. Fachir juga menyatakan bahwa seharusnya Bali Process dapat menjadi wadah penyelesaian permasalahan IMAs ini.

E.  Reinforcement Kerjasama Pertahanan-Keamanan Indonesia dan Australia

Sebenarnya, tidak ada kesepakatan resmi yang menyatakan adanya penguatan kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia yang terhenti akibat pelanggaran kedaulatan oleh kebijakan OSB Australia. Karena hingga saat ini, Australia masih menerapkan kebijakan OSB dan larangan penerimaan pencari suaka dan pengungsi tersebut. Meski demikian, bukan berarti tidak ada upaya penguatan kembali (reinforcement) kerjasama pertahanan-keamanan kedua negara.

Di sisi lain, pada bulan Mei 2015, ditemukan 65 IMAs yang dikembalikan di dekat Pulau Rote, Indonesia (Paulsen, 2016). Menurut laporan �diketahui bahwa otoritas Australia telah membayar sejumlah uang yang bertotal US$ 32.000 bagi enam buah awak kapal yang membawa IMAs tersebut. Australia tidak memberian keterangan apapun mengenai insiden ini. Menlu RI saat itu, Retno Marsudi, telah mengajukan permohonan penjelasan kepada Pemerintah Australia namun tidak ada jawaban hingga dua bulan kemudian, dalam sebuah pertemuan antara Menlu RI dan Australia, tanpa membahas insiden tersebut, bersepakat untuk memperkuat kerjasama pertahanan-keamanan kedua negara (Paulsen, 2016).

Sejatinya, kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia telah kembali membaik sejak Desember 2015, ketika kedua negara menandatangani komunike bersama dari The Third Australia and Indonesia Foreign and Defence Ministers 2+2 Dialogue. Dalam komunike tersebut dinyatakan bahwa kedua negara memiliki banyak kepentingan maritim bersama, termasuk menjaga ketertiban di laut; mencegah pembajakan, penyelundupan manusia, dan penangkapan ikan ilegal; melindungi lingkungan laut; dan mengelola ketidakstabilan regional, perselisihan wilayah, dan ancaman terhadap keamanan jalur komunikasi laut. Berdasarkan kepentingan-kepecntingan tersebut, Indonesia dan Australia menandatangani Joint Declaration on Maritime Cooperation pada Februari 2017. Deklarasi tersebut menegaskan kembali komitmen kedua negara untuk: perdagangan sah tanpa hambatan, kebebasan navigasi dan penerbangan serta penggunaan sumber daya hayati laut berkelanjutan, menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan tersebut, penghormatan penuh terhadap proses hukum dan diplomatik, serta penyelesaian sengketa maritim secara damai.

Selanjutnya, pada bulan Agustus 2018, PM Australia yang baru, Scott Morrison mengunjungi Jakarta untuk bertemu dengan Presiden RI Joko Widodo guna membahas hubungan bilateral kedua negara. Pertemuan tersebut menghasilkan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), yang disepakati pada akhir tahun 2018. Di samping itu, kedua pemimpin juga sepakat untuk meningkatkan hubungan bilateral menjadi Comprehensive Strategic Partnership (CSP), yang akan didasarkan pada lima pilar, yaitu: meningkatkan kemitraan ekonomi dan pembangunan, menghubungkan orang (connecting people), mengamankan kepentingan bersama kawasan, kerja sama maritim, berkontribusi terhadap stabilitas dan kemakmuran Indo-Pasifik.

Deklarasi tersebut memang tidak dicantumkan mengenai kerjasama pertahanan-keamanan dalam menangani IMAs, namun poin kerjasama maritim, dapat dimaknai sebagai upaya dari kedua negara untuk memperkuat kerjasama maritim, termasuk di dalamnya menjaga keamanan maritim, yang secara tidak langsung juga merujuk pada penanganan imigran ilegal dan IMAs. Dalam hal penanganan imigran ilegal, kerjasama kantor imigrasi Indonesia dan Australia mencakup patroli laut dan proses deportasi imigran tersebut ke negara asalnya. Hal ini dapat dilakukan mengingat status mereka adalah imigran ilegal, bukan IMAs. Namun demikian, penguatan kerjasama tersebut baru sebatas kesepakatan yang belum disertai dengan action, berupa kebijakan atau langkah yang konkret. Sehingga, dalam konteks pengelolaan IMAs, maka kerjasama Indonesia dan Australia, dapat dikatakan belum cukup efektif meski telah ada reinforcing kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia yang telah dibahas dalam pertemuan tingkat Menteri. Hal Di satu sisi, Indonesia bukan merupakan negara yang ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Sehingga, Indonesia tidak memiliki mekanisme khusus yang dapat mengatur kedatangan pencari suaka (termasuk IMAs) dan pengungsi.

Pada dasarnya terdapat tiga metode dalam penanganan Irregular Maritime Arrivals (IMAs), yaitu pengiriman IMAs ke negara tujuan, repatriasi IMAs dengan syarat bahwa negara asal mereka benar-benar telah dalam kondisi aman dan terkendali, serta repatriasi tersebut dilakukan secara sukarela (tanpa paksaan), dan integrasi lokal yang berarti IMAs suaka dapat dapat diberikan visa permanen atau ijin tinggal di Indonesia (Zayzda et al., 2018). Mengingat status Indonesia yang bukan merupakan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, maka Indonesia hanya dapat melakukan dua metode dalam menangani permasalahan IMAs, yaitu pengiriman pencari suaka dan pengungsi ke negara tujuan dan repatriasi IMAs.

Permasalahan domestik Indonesia, baik ekonomi maupun politik yang rumit dan masih berkembang, membuat negara ini tidak meratifikasi konvensi tersebut. Meski demikian, Indonesia perlu mencari solusi dari permasalahan IMAs. Hal mengingat status Indonesia sebagai negara transit. Dengan demikian, Indonesia perlu bekerjasama dengan negara-negara tetangga untuk menanggapi permasalahan IMAs, dengan tetap memperhatikan hak IMAs yang telah tercantum dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia Internasional 1949.

Di sisi lain, Australia memiliki kepentingan yang besar dalam mengurangi jumlah IMAs, meningat negara ini merupakan negara tujuan IMAs. Untuk mengurangi jumlah IMAs yang semakin bertambah setiap tahunnya, Australia melakukan sekuritisasi dengan menerapkan kebijakan OSB tanpa memperhatikan statusnya sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 sekaligus Co-Chair daripada Bali Process. Kebijakan unilateralisme Australia tersebut seharusnya tidak terjadi apabila Bali Process dilaksanakan secara efektif (Berdasarkan hasil wawancara di Kemhan RI 2019)

Sikap lunak Indonesia dalam �menghadapi Australia cenderung menunjukkan bahwa Indonesia lebih memerhatikan urusan kedaulatan wilayahnya. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan yang diberikan Pemerintah Indonesia terkait kebijakan OSB, yang mana tidak terlalu menunjukkan adanya hard power. Indonesia hanya akan memberikan tanggapan apabila Australia mulai menyinggung kedaulatannya. Hal ini bukan berarti bahwa kedaulatan tidak penting. Kedaulatan wilayah merupakan salah satu unsur negara dan merupakan sesuatu yang harus dijaga. Namun, persoalan IMAs tidak hanya mengenai kedaulatan wilayah, melainkan merupakan permasalahan yang kompleks dan mengglobal (Berdasarkan hasil wawancara di Kemhan RI 2019). Di samping itu, sikap Indonesia dan Australia yang memutuskan untuk memperkuat kerjasama, juga dilatarbelakangi oleh kepentingannya masing-masing. Bagi Indonesia, telah membantu dalam hal pendanaan guna membangun pusat penampungan sementara. Selain itu, pelatihan militer telah membantu TNI untuk meningkatkan kualitas personelnya. Sementara itu, bagi Australia, Indonesia merupakan negara tetangga yang juga merupakan negara transit dari IMAs.

F.   Masa Depan Kerjasama Pertahanan-Keamanan Indonesia dan Australia

Pemerintahan Australia yang baru di bawah komando Scott Morrison, masih akan menerapkan kebijakan OSB dan larangan penerimaan IMAs. Padahal, kedua negara telah memperkuat kerjasama pertahanan-keamannya dengan Indonesia. Hal tersebut tentu berdampak pada jumlah IMAs yang ada di Indonesia. Jika demikian, dapat dikatakan penguatan kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia belum maksimal, khususnya dalam bidang penanganan IMAs.

Masa depan kerjasama kedua negara rumit dan dipenuhi ketidakpastian.� Diharapkan pada masa mendatang, kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia dapat memberikan kontribusi nyata. Sehingga, penguatan kerjasama tersebut dapat memberikan solusi yang efektif dalam permasalahan IMAs. Kedua negara perlu menyadari bahwa IMAs merupakan orang-orang yang membutuhkan perlindungan. Sehingga, solusi yang diterapkan dapat menjamin perlindungan terhadap mereka. Permasalahan IMAs yang berkepanjangan, dapat menyebabkan konflik sosial, terutama di Indonesia. Indonesia dan Australia juga perlu berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan IMAs, tanpa merugikan pihak manapun, termasuk IMAs itu sendiri.

 

Kesimpulan

Pelaksanaan kebijakan luar negeri Australia, Operation Sovereign Borders (OSB), telah berdampak negatif sekaligus positif terhadap kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia. Dampak negatif ditandai dengan adanya pemutusan kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia, pada bulan Januari 2014. Pemutusan kerjasama tersebut diakibatkan oleh pelanggaran kedaulatan wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Australia dengan mengembalikan enam perahu ke wilayah Indonesia selama periode Desember 2013 hingga Januari 2014.� Bentuk erjasama yang diberhentikan tersebut semakin meluas ke bidang intelligence sharing terkait informasi imigran ilegal serta patroli laut. Kerjasama yang diberhentikan tersebut merupakan bagian dari Bali Process dan Lombok Treaty.

Implikasi negatif lainnya adalah kebijakan Australia yang melarang penerimaan IMAs yang terdaftar di UNHCR Indonesia setelah tanggal 1 Juli 2015. Kebijakan tersebut merupakan tanggapan atas kebijakan Indonesia yang memberhentikan kerjasama pertahanan-keamannya dengan Australia. Akibat adanya larangan ini, jumlah IMAs di Indonesia semakin meningkat. Hingga saat ini, larangan tersebut masih berlaku. Akibat kebijakan ini, jumlah IMAs yang tertahan di Indonesia, semakin meningkat.

Implikasi positif penerapan OSB, terjadi pada tahun 2015. Indonesia dan Australia menandatangi komunike �The Third Indonesia-Australia Defence Ministry 2+2 Dialogue�, yang menyatakan akan memperkuat kerjasama maritim kedua negara. Kerjasama maritim yang dimaksud juga merujuk pada penanganan IMAs. Selain itu, kesepakatan lain yang dilakukan oleh kedua negara antara lain: pembaharuan Defence Cooperation Arrangement (DCA) pada 2017, dan penandatanganan Cooperation Strategic Partnership (CSP) pada 2018. Meski begitu, kerjasama-kerjasama tersebut dapat dikatakan belum cukup efektif karena kerjasama yang ada masih sebatas kesepekatan dan belum ada action atau kebijakan nyata yang dapat menangani permasalahan IMAs. Selain itu, Australia juga masih memberlakukan kebijakan OSB dan larangan��� penerimaan IMAs yang terdaftar di UNHCR Indonesia. Dengan demikian, masa depan kerjasama pertahanan-keamanan Indonesia dan Australia dalam bidang penanganan IMAs dapat dikatakan rumit dan dipenuhi ketidakpastian.

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ardianti, A. (2015). Kebijakan Australia dalam Menangani Imigran Ilegal Dibawah Kepemimpinan Perdana Menteri Tony Abbott Tahun 2013. Riau University.

 

Asylum Seeker Resource Center. (2014). Operation Sovereign Borders ,. https://www.asrc.org.au/wp-content/uploads/2013/07/Operation-Sovereign-Borders-May-2014.pdf

 

Australian Human Rights Commission. (2015). Face the Facts: Asylum Seekers and Refugees. https://humanrights.gov.au/our-work/education/face-facts-asylum-seekers-and-refugees

 

Azis, A. (2004). Menelaah Konsep Human Security: Studi Kasus Penanganan Masalah Pengungsi Afganistan di Australia (1999-2002). Global: Jurnal Politik Internasional, 7(1).

 

Brown, T. (2014). Afghan Hazaras in Indonesia. Hum. Rts. Defender, 26, 5.

 

Elizabeth, C. D., Setyawanta, L. T., & Trihastuti, N. (2016). Kebijakan Operation Sovereign Borders Australia dalam Penanganan Manusia Perahu dan Implikasinya terhadap Kedaulatan Indonesia. Diponegoro Law Journal, 5(3), 1�17.

 

Hakim, F. (2010). Perjanjian Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia-Australia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

 

International Rescue Committee. (2018). Migrants, Asylum Seekers, Refugees, and Immigrants, What�s the difference?. https://www.rescue.org/article/migrants-asylum-seekers-refugees-and-immigrants-whats-difference

 

Jufri, M. M. (2017). Violations of International Law by the Government of Australian in Practice of Turn Back the Boat Management Policy For Asylum Seekers. Indonesian J. Int�l L., 14, 205.

 

Moleong, L. J. (2019). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

 

Paulsen, J. (2016). Australia s refugee policies and bilateral relations with Indonesia. Norwegian University of Life Sciences, �s.

 

Phillips, J. (2017). Boat Arrivals and Boat�turnbacks� in Australia Since 1976: A Quick Guide to the Statistics. Parliamentary Library Canberra.

 

Prabaningtyas, R. F. (2016). Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (IMA) Australia terhadap Hubungan Australia-Indonesia Kontemporer. Jurnal Penelitian Politik, 12(1), 13.

 

Pujayanti, A. (2014). �Isu Pencari Suaka Dalam Hubungan Bilateral Indonesia-Australia, Info Singkat Hubungan Internasional, Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014.

 

Rafiki, A. (2017). Alasan Indonesia-Australia Bekerjasama dalam Bali Process Untuk Menanggulangi Irregular Migration. E-Journal Ilmu Hubungan Internasional, 5(2), 597�612.

 

Rizal, F. (2018). Kebijakan Unilateral Penanganan Imigran Ilegal Australia Pasca Pemilihan Umum Australia Tahun 2013. Global: Jurnal Politik Internasional, 20(2), 137�159.

 

Roberts, G. (2016). Indonesia�s foreign minister Marty Natalegawa divulges contents of talks with Julie Bishop,. https://www.abc.net.au/news/2013-09-26/indonesia-says-asylum-policy-risks-damaging-relations/4983514

 

Spinks, H. (2018). Boat Turnback: A Quick Guide tio the Statistic Since 2001. Parliament of Australia.

 

Taylor, L. (2014). Indonesia Demands Suspension of Australia�s Asylum Seekers Cooperation,. https://www.theguardian.com/world/2014/jan/17/australia-apologises-patrol-boats-indonesian-waters

 

Tempo. (2014). Australia Enam Kali Langgar Batas Perairan Indonesia,. https://dunia.tempo.co/read/555995/australia-enam-kali-langgar-batas-perairan-indonesia

 

Zayzda, N. A., Ash-Shafikh, M. H., & Kusuma, A. S. (2018). Securitization and Desecuritization of Migration in Indonesia: Its Implication to Refugee Rights in the Southeast Asian Region. JSEAHR, 3, 81.

�