Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 10,
Oktober 2020
PERBEDAAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF, STATUS SOSIAL EKONOMI, RIWAYAT PENYAKIT ISPA
PADA BALITA STUNTING DAN NON STUNTING
Lia Natalia dan Desi Evitasari
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) YPIB Majalengka Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstract
This study aims to
determine the differences in exclusive breastfeeding, socio-economic status,
and the history of ARI disease among under-five children with stunting and
non-stunting. This was an analytical
study with case control design. The number of samples was 90 under-five
children. The samples were collected using�
purposive sampling technique. The study was conducted at Cigasong CHC
Unit, Majalengka District, in April-May 2020. The data were analyzed using
univariate analysis and bivariate analysis. Based on the results of the study, it was found that the proportion of
under-five children with non-exclusive breastfeeding was 40.0%, the proportion
of under-five children with low socio-economic status was 57.8%, the proportion
of under-five children who had experienced ARI disease was 37.8%, there were
differences in exclusive breastfeeding. (r value=0.010 and OR=3.619), Socio-economic
status (r value=0.020 and OR=5.421), and the history of ARI disease among
under-five children (r value=0.008 and OR=7.067) with stunting and non-stunting. Midwives can cooperate with the cadre to motivate Posyandu to be more
active and motivate the mothers of toddler to keep coming to Posyandu to
conduct the growth and development assessment.
Keywords: Nutrition; Exclusive Breastfeeding,
Socio-economic; ARI; Stunting
Abstrak
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pemberian ASI eksklusif, status sosial ekonomi, riwayat
penyakit ISPA pada balita stunting dan
non stunting. Jenis penelitiannya adalah penelitian
analitik dengan case control. Jumlah sampel
adalah 90 balita. Teknik pengambilan sampelnya dengan purposive sampling. Penelitiannya dilakukan di UPTD
Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka April-Mei 2020. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat bivariat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan proporsi
balita stunting dengan pemberian ASI
tidak eksklusif sebesar 40,0%, proporsi balita stunting dengan status sosial ekonomi rendah sebesar 57,8%, �proporsi balita stunting dengan pernah mengalami penyakit ISPA 37,8%, Terdapat perbedaan
pemberian ASI
Eksklusif (r value = 0,010 dan OR = 3,619)., status sosial ekonomi �(r value = 0,020dan OR =5,421), terdapat perbedaan riwayat penyakit ISPA (r value
= 0,008 dan OR =7,067) pada balita stunting dan non stunting. Diharapkan bidan bekerja sama dengan
kader untuk menggerakan
posyandu agar lebih aktif, ibu balita
agar tetap datang ke posyandu untuk
dilakukan penilaian tumbuh kembang.
Kata kunci: Gizi; ASI Eksklusif; Sosial Ekonomi; ISPA; Stunting
Pendahuluan
Masalah status gizi yang
dialami oleh balita di dunia saat ini adalah stunting. Tahun 2017 sebesar 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita
di dunia mengalami stunting. Data Riskesdas (2018)
prevalensi stunting sangat pendek sebanyak 11,5% dan kategori pendek sebanyak 19,3%. Prevalensi
balita stunting di Provinsi Jawa Barat tahun 2018 sebesar 20,80% untuk
balita pendek dan 8,40% untuk balita sangat pendek. Upaya yang dilakukan untuk
menurunkan prevalensi dalam lima tahun kedepan menjadi di bawah 20% bahkan
menjadi zero stunting� tahun 2023
adalah dengan menjadikan 14 kabupaten menjadi fokus intervensi dalam menekan
angka stunting di Provinsi Jawa Barat salah satu diantaranya Majalengka.
Upaya yang dilakukan dengan pemberian suplemen tambah darah untuk ibu,
memberitahu manfaat pemberian ASI dan melakukan imunisasi (Kementrian kesehatan RI, 2018).�
Pada tahun 2017
menunjukkan bahwa jumlah balita di Majalengka yang mengalami stunting sangat pendek sebanyak 228
(0,25%) dan stunting pendek sebanyak
2.066 (2,29%) dari jumlah balita sebanyak 92.568 balita. Salah satu puskesmas
di Majalengka pada tahun 2017, dengan kejadian balita stunting paling terdapat di UPTD Puskesmas Cigasong yaitu sebanyak
218 (8,66%) balita pendek dan 33 (1,31%) balita sangat pendek dari 2.516
balita. Sedangkan tahun 2018, jumlah balita di UPTD Puskesmas Cigasong tercatat
sebanyak 2.369 balita yang mengalami stunting
dengan kategori pendek sebanyak 243 (10,26%) dan sangat pendek 38 (1,60%) (Majalengka, 2018). Penanganan stunting harus memperoleh perhatian yang lebih sebab bisa menghambat pertumbuhan fisik,
perkembangan mental dan status kesehatan pada anak (Soetjiningsih, 2014).
Secara umum, penyebab stunting adalah kecukupan gizi (asupan makanan), status infeksi/
penyakit ibu dan anak, ketersediaan pangan, sosial
ekonomi, pola asuh, pemberian Air Susu Ibu (ASI), pemberian Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI), kehamilan remaja, jarak kelahiran yang dekat, kebersihan dan
sanitasi, pelayanan kesehatan, dan lingkungan yang� kotor dapat menyebabkan anak menjadi lebih sering
sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Kegagalan ASI
Eksklusif dimasyarakat dikarenakan banyak ibu yang memberikan ASI Eksklusif
pada awal kelahiran (ASI Awal) dengan memberikan susu formula karena cemas bayi
tidak mendapatkan ASI. Menurut (Roesli, 2015) bayi bisa bertahan 24-48 jam
karena dibekali dari kandungan. Hasil penelitian (Kullu, 2018) adalah adanya hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada
balita Usia 24-59 bulan.
Hasil studi pendahuluan di
Puskesmas Cigasong terhadap 10 ibu balita, diketahui sebanyak 3 orang (30%) ibu
mengatakan tinggi badan anaknya lebih pendek dibanding teman seusianya dan 2
balita pernah mengalami ISPA dan kurang memperhatikan gizi makanan anaknya
sedangkan 7 orang (70%) normal. Dari 10 ibu diketahui bahwa yang memberikan ASI
secara eksklusif hanya 5 (50%). Oleh
sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian.
Metode Penelitian
Jenis penelitiannya adalah
analitik dengan desain case control. Pengambilan sampel menggunakan perbandingan 1:1 dengan jumlah keseluruhan 90 orang dengan
perbandingan 45 kasus: 45 kontrol. Kriteria inklusinya ibu yang mempunyai balita dan masih
memiliki Buku KIA dan bersedia menjadi responden. Teknik pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling. Penelitian
ini telah dilaksanakan di UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka bulan April - Mei 2020. Analisis bivariat
menggunakan chi-square.
Hasil dan Pembahasan
A.
�Hasil Penelitian
1.
Analisis Univariat
Tabel 1
Distribusi
Frekuensi Kasus dan Kontrol berdasarkan
Pemberian ASI Eksklusif
No. |
Pemberian ASI Eksklusif |
Balita |
|||
Stunting (Kasus) |
Non
Stunting (Kontrol) |
||||
f |
% |
f |
% |
||
1 |
Tidak eksklusif |
18 |
40,0 |
7 |
15,6 |
2 |
Eksklusif |
27 |
60,0 |
38 |
84,4 |
|
Jumlah |
45 |
100 |
45 |
100 |
Balita stunting
dengan pemberian ASI tidak eksklusif (40,0%) lebih tinggi dibanding balita non stunting dengan pemberian ASI tidak
eksklusif (15,6%).
Tabel
2
Distribusi Frekuensi Kasus dan Kontrol
berdasarkan
Status Sosial Ekonomi
No |
Status Sosial Ekonomi |
Balita |
|||
Stunting (Kasus) |
Non Stunting(Kontrol) |
||||
f |
% |
f |
% |
||
1 |
Rendah |
26 |
57,8 |
15 |
33,3 |
2 |
Tinggi |
19 |
42,2 |
30 |
66,7 |
|
Jumlah |
45 |
100 |
45 |
100 |
Balita stunting dengan
status sosial ekonomi rendah (57,8%) lebih tinggi dibanding balita non stunting dengan status sosial
ekonomi rendah (33,3%).
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Kasus dan Kontrol berdasarkan
Riwayat Penyakit ISPA
No |
Riwayat Penyakit ISPA |
Balita |
|||
Stunting (Kasus) |
Non
Stunting (Kontrol) |
||||
f |
% |
f |
% |
||
1 |
Pernah |
17 |
37.8 |
6 |
13,3 |
2 |
Tidak pernah |
28 |
62,2 |
39 |
86,7 |
|
Jumlah |
45 |
100 |
45 |
100 |
Balita stunting dengan
riwayat pernah mengalami penyakit ISPA (37,8%) lebih tinggi dibanding balita non stunting riwayat pernah mengalami
penyakit ISPA (13,3%).
2.
Analisis Bivariat
Tabel 4
Perbedaan ASI Eksklusif
pada Balita Stunting
dan NonStunting
No |
Pemberian ASI Eksklusif |
Balita |
r value |
OR |
|||
Stunting (Kasus) |
Non Stunting (Kontrol) |
||||||
f |
% |
f |
% |
||||
1 |
Tidak eksklusif |
18 |
40,0 |
7 |
15,6 |
0.010 |
3.619 |
2 |
Eksklusif |
27 |
60,0 |
38 |
84,4 |
||
|
Jumlah |
45 |
100 |
45 |
100 |
Dari tabel
4 didapatkan nilai r value = 0,010 dan OR = 3,619, hal ini berarti r value < α (0,05) artinya terdapat perbedaan pemberian
ASI Eksklusif dengan kejadian stunting. Berdasarkan nilai OR = 3,619,
artinya bahwa balita yang tidak diberi ASI eksklusif mempunyai peluang 3,619 kali
lebih besar mengalami stunting dibandingkan yang diberi ASI eksklusif.
Tabel 5
Perbedaan Status Sosial Ekonomi
pada
Balita Stunting dan Non
Stunting
No. |
Status Sosial Ekonomi |
Balita |
r value |
OR |
|||
Stunting (Kasus) |
Non Stunting (Kontrol) |
||||||
f |
% |
f |
% |
||||
1 |
Rendah |
26 |
57,8 |
15 |
33,3 |
0,020 |
5,421 |
2 |
Tinggi |
19 |
42,2 |
30 |
66,7 |
||
|
Jumlah |
45 |
100 |
45 |
100 |
Dari tabel
5, diperoleh nilai r value = 0,020 dan OR = 5,421, hal ini berarti rvalue < α (0,05 artinya terdapat perbedaan status
sosial ekonomi dengan kejadian stunting. Berdasarkan nilai OR = 5,421,
artinya bahwa balita yang status sosial ekonomi orang tuanya rendah mempunyai peluang 5,421 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan yang status sosial ekonominya
tinggi.
Tabel 6
Perbedaan Riwayat Penyakit ISPA pada
Balita Stunting dan Non
Stunting
No |
Riwayat Penyakit ISPA |
Balita |
r value |
OR |
|||
Stunting (Kasus) |
Non Stunting (Kontrol) |
|
|
||||
f |
% |
f |
% |
||||
1 |
Pernah |
17 |
37.8 |
6 |
13,3 |
0,008 |
7,067 |
2 |
Tidak pernah |
28 |
62,2 |
39 |
86,7 |
||
|
Jumlah |
45 |
100 |
45 |
100 |
Dari tabel
6 diperoleh nilai r value = 0,008, hal ini berarti r value > α
(0,05) maka terdapat perbedaan riwayat
penyakit ISPA dengan kejadian stunting. Berdasarkan nilai OR = 7,067, artinya bahwa balita yang mempunyai riwayat penyakit ISPA mempunyai peluang 7,067 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan yang tidak
pernah mempunyai riwayat ISPA.
B. Pembahasan
Hasil pengamatan di
lapangan masih banyak ibu yang masih memberikan MP ASI seperti susu formula dan
air putih sebelum usia 6 bulan. Alasan responden memberikan selain ASI sebelum
6 bulan adalah ASI sedikit, ASI tidak lancar, ibunya sakit serta kurang pahamnya
ibu mengenai ASI sebagai makanan utama atau makanan pokok yang tidak dapat
tergantikan oleh susu formula terutama bagi bayi usia 0-6 bulan dan juga bisa
diteruskan sampai usia 2 tahun. Ketidakpahaman ini akibatnya ibu tidak berusaha
untuk sekuat tenaga memberikan ASI saja pada anaknya dan malah gampang
terpedaya oleh iklan atau temannya yang sudah terlebih dulu memberikan susu
formula kepada anaknya dengan iming-iming bahwa kandungan susu formula lebih
lengkap daripada ASI.
Pemberian ASI eksklusif mempengaruhi status gizi, gizi bayi akan baik dan pertumbuhan yang sesuai
dengan usianya sedangkan bayi yang tidak mendapatkan ASI cenderung
pertumbuhannya di bawah normal atau berada di bawah garis merah (Lubis, Tampubolon, & Jumirah, 2012). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian (Verya, Indrawati, & Hanif, 2016), di Desa
Karangrejek Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul menyimpulkan bahwa ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian stunting pada balita 2-3
tahun ρ-value (r = 0,000).
Hasil pengamatan di
lapangan sebagian besar mata pencaharian responden adalah pedagang dan �buruh tani, dimana penghasilan mereka tidak
menentu setiap hari atau setiap bulannya.
Status ekonomi dapat diukur
dengan mengetahui pendapatan atau penghasilan keluarga setiap bulannya. Penghasilan keluarga dapat menentukan
kualitas makanan yang dikonsumsi. Apabila penghasilan keluarga meningkat, maka konsumsi
makanan yang bergizipun akan meningkat. Tidak bisa dipungkiri bahwa pendapatan mempengaruhi makanan yang akan dikonsumsi keluarga
sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan (Susianto, 2015). Penambahan penghasilan
keluarga dapat meningkatkan kesehatan dan kondisi keluarga dan selanjutnya
berhubungan dengan kejadian stunting.Tetapi penambahan
penghasilan seringkali tidak
dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan terhadap perbaikan gizi yang efektif �(Beck, 2011).
Menurut (Arisman, 2015) (Arisman, 2015)(Arisman, 2015)menyatakan bahwa ada kaitan
erat antara penghasilan dan perbaikan
konsumsi pangan hubungannya dengan status gizi, tetapi penghasilan yang tinggi tidak menjamin gizinya baik. Hasil penelitian
ini juga sesuai dengan hasil penelitian
(Setiawan,
Machmud, & Masrul, 2018) di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat tingkat pendapatan
keluarga dengan kejadian stunting.
Hasil pengamatan di
lapangan banyak halaman rumah yang terlihat kotor, kebiasaan merokok dalam
rumah dan kebiasaan ibu membawa anaknya ke dapur saat memasak, hal ini
mendorong kuatnya penularan dan penyebaran penyakit ISPA.��
Ada tiga unsur dalam
ISPA yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Infeksi ialah
masuknya kuman atau mikroorganisme ke tubuh manusia
serta berkembang yang akhirnya menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan mulai dari hidung
hingga alveoli dengan
organ-organ andeksnya seperti
sinus, rongga telinga
tengah serta pleura.
Infeksi akut adalah infeksi yang terjadi selama 14 hari meskipun beberapa
penyakit seperti ISPA dapat terjadi infeksi
>14 hari (Muliawati & Sulistyawati, 2019). Penyakit infeksi adalah faktor penyebab langsung stunting.Adanya
penyakit infeksi dapat memperburuk kondisi jika mengalami
kekurangan gizi. Balita yang kurang gizi dapat dengan
mudah mengalami penyakit infeksi. Oleh sebab itu penanganan
yang baik pada penyakit infeksi dapat membantu
perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan
anak balita (Priatna, 2014). Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), diare dan
infeksi lainnya sangat erat kaitannya
dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Penyakit infeksi dalam tubuh anak dapat
mempengaruhi keadaan gizi anak. Sebagai
reaksi pertama akibat terdapatnya infeksi ialah berkurangnya
nafsu makan anak sehingga tidak
mau makan makanan yang diberikan ibunya sehingga berkurangnya asupan zat gizi ke
tubuh anak yang dapat menyebabkan stunting (Kullu, 2018).
Kesimpulan
Proporsi Balita stunting dengan
pemberian ASI tidak eksklusif (40,0%) lebih tinggi dibanding balita non stunting dengan pemberian ASI tidak
eksklusif (15,6%), proporsi Balita stunting dengan status sosial ekonomi
rendah (57,8%) lebih tinggi dibanding balita non stunting dengan status sosial ekonomi rendah (33,3%), proporsi Balita
stunting dengan riwayat pernah
mengalami penyakit ISPA (37,8%) lebih tinggi dibanding balita non stunting riwayat pernah mengalami
penyakit ISPA (13,3%).4). Terdapat perbedaan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif, status sosial
ekonomi, riwayat penyakit ISPA pada balita stunting dan non stunting.
BIBLIOGRAFI
Arisman. (2015). Gizi
Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: Buku. Kedokteran EGC.
Beck, Mary E. (2011). Ilmu Gizi dan Diet Hubungannya dengan
Penyakit-penyakit untuk perawat dan dokter. Yogyakarta: CV
Andi Offset.
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Situasi dan Analisis Gizi Pusat Data
dan Informasi. Jakarta: Direktorat Bina Gizi.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di
Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi.
Kementrian kesehatan RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. 61.
Kullu, V. M. (2018). Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting
Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten
Konawe Selatan Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat,
Vol. 3.
Lubis, Zulhaida, Tampubolon, Elmina, & Jumirah, Jumirah. (2012).
Analisis Implementasi Program Penanggulangan Gizi Buruk Pada Anak Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Medan Labuhan, Kota Medan Tahun 2008 (Analysis of the
Implementation of Children Undernutrition Improvement Program in Working Area
Medan Labuhan Health C. Nutrition and Food Research, 35(1),
70�77.
Majalengka, Dinas Kesehatan Kabupaten. (2018). Profil Kesehatan Kabupaten
Majalengka tahun 2017.
Muliawati, Dyah, & Sulistyawati, Nining. (2019). Pemberian Ekstrak
Moringa Oleifera Sebagai Upaya Preventif Kejadian Stunting Pada Balita.
Priatna. (2014). Pencegahan Balita Stunting. diakses tanggal
l5 September 2020. Kesehatan. Skripsi Universitas
Pancasakti Tegal.
Roesli, U. (2015). Panduan Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif.
Jakarta: Pustaka Bunda.
Setiawan, Eko, Machmud, Rizanda, & Masrul, Masrul. (2018).
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59
Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang
Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2), 275�284.
Soetjiningsih. (2014). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Jakarta: EGC.
Susianto. (2015). The Miracle of Vegan. Jakarta: Qanitadst.
Verya, E., Indrawati, N., & Hanif, R. (2016). Analisis Pengaruh Ukuran
Perusahaan, Leverage Dan Good Corporate Governance Terhadap Integritas Laporan
Keuangan (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Listing Di Bursa Efek
Indonesia Periode Tahun 2012-2014). Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Riau, 4(1), 982�996.
����������������������������������������������������������������������������������